Home »
televisi 2
» televisi 2
televisi 2
dengan menerapkan asumsi variasi shadowing dalam dB yang
berdistribusi Gaussian dengan simpangan baku σ yang diperoleh
dari pengukuran. Secara umum, jika ditentukan daya minimum
yang masih dianggap memberikan kualitas sinyal memadai Pmin,
maka proporsi daerah tercakup adalah rasio antara luas daerah
di mana daya terima lebih besar dari Pmin terhadap luas daerah
cakupan nominal. Khusus jika diasumsikan daya menurun
terhadap jarak dengan eksponen n dan simpangan baku variasi
shadowing σ maka proporsi cakupan dapat langsung diperoleh
dengan rumus:
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛
⎟
⎠
⎞
⎜
⎝
⎛−⎟
⎠
⎞
⎜
⎝
⎛+=
bb
F 1erf11exp
2
1
2
1
2
dengan 2/log10 10 σenb = dan asumsi tambahan bahwa pada
tepi sel terdapat margin daya nol [Jakes, 1994].
10
2
10
3
10
4
-130
-120
-110
-100
-90
-80
-70
-60
-50
Jarak (m)
D
a
y
a
r
e
la
ti
f
(d
B
)
pengukuran
regresi linear
Gambar 5.5: Perhitungan regresi linear untuk
menentukan pangkat jarak dan variasi shadowing
5.2.3. Pengukuran Efek Multipath
Efek multipath memanifestasikan diri dalam dua bentuk. Pertama
berupa fading atau variasi daya sinyal dalam area yang kecil (cukup
kecil untuk bisa dibilang bahwa variasi yang terjadi bukan
disebabkan efek jarak maupun shadowing) dan kedua berupa
multipath spread yang menyebabkan dispersi atau pelebaran
pulsa.
Fading mengakibatkan variasi kualitas cakupan pada lokasi-lokasi
yang berdekatan. Oleh sebab itu pengukuran terhadap efeknya
pun dilakukan pada beberapa titik dalam area yang tidak luas,
biasanya diambil 100 m × 100 m [Ladebusch, 2006]. Area-area
kecil tersebut dipilih untuk berbagai kondisi, seperti di luar gedung
(outdoor) pada jarak dekat, sedang, dan jauh, relatif terhadap
radius cakupan nominal, baik untuk kondisi LOS maupun NLOS.
Demikian juga dipilih beberapa area untuk kondisi indoor, baik yang
mewakili perumahan maupun gedung bertingkat. Dalam setiap
area dilakukan pengukuran kuat sinyal atau daya pada minimal
20 titik. Hasilnya digunakan untuk menentukan kualitas cakupan
pada area tersebut dalam persen, sesuai dengan kuat sinyal atau
daya sinyal minimum yang dikehendaki sebagai kriteria cakupan.
Untuk siaran analog, kualitas cakupan per area sebesar 50%
biasanya sudah dianggap cukup karena penurunan kualitas
gambar berlangsung secara bertahap (graceful degradation).
Tetapi pada siaran digital biasanya diharapkan kualitas cakupan
setinggi 95% karena sifat penurunan kualitas sinyal yang lebih
bersifat tiba-tiba, dapat berubah menjadi tidak ada gambar sama
sekali apabila sinyal melemah.
Efek dispersi pulsa dapat menyebabkan fenomena ISI (Inter-
Symbol Interference), yaitu bercampurnya pulsa-pulsa yang
berurutan pada penerima sehingga dapat mengakibatkan error
dalam proses deteksi. Biasanya diterapkan ekualisasi digital untuk
mengatasi efek ini. Pada sistem yang berbasis OFDM seperti
DVB-T, efek ini diatasi dengan cyclic prefix atau guard interval.
Namun multipath spread yang berlebihan, sampai melebihi
panjang ekualiser maupun guard interval, berpotensi
menyebabkan error yang tidak dapat dihilangkan.
Terdapat beberapa teknik yang cukup rumit untuk mengukur
multipath spread pada suatu lingkungan. Cara pertama adalah
dengan menggunakan pemancar pulsa yang kemudian ditangkap
oleh penerima dengan osiloskop yang memiliki fasilitas perekaman
otomatis untuk melihat pelebaran pulsa yang terjadi. Cara kedua
dengan pemancar yang mengirimkan deretan pulsa pseudo-noise
yang setelah sampai pada penerima dikorelasikan deretan pulsa
aslinya. Cara ketiga adalah dengan merekam respon frekuensi
kanal dengan spectrum analyzer dengan menggunakan pemancar
yang dapat melakukan pemindaian frekuensi. Pada beberapa alat
ukur TV digital seperti Pixelmetrix™ telah terdapat fasilitas
pengukuran multipath spread ini yang sebenarnya bekerja dengan
memanfaatkan teknik kedua di atas, menggunakan fasilitas
estimasi kanal OFDM.
Idealnya efek Doppler diukur dengan merekam langsung level
tegangan sinyal yang diterima di atas kendaraan yang bergerak
dengan kecepatan tertentu. Perekaman dapat dilakukan dengan
proses sampling yang diikuti konversi analog ke digital, dengan
frekuensi sampling minimal dua kali lebih besar dibandingkan
frekuensi Doppler maksimum yang ingin diukur. Frekuensi Doppler
maksimum (Hz) terjadi ketika kendaraan bergerak tepat menuju
atau menjauhi pemancar dan dapat diestimasi dari kecepatan
gerak kendaraan v (m/det) dan panjang gelombang λ (m) sebagai
berikut:
λ
vf =max
Jika perangkat pengukuran yang tersedia tidak mencukupi untuk
dapat melakukan pengukuran langsung seperti di atas, maka dapat
digunakan cara alternatif. Tentukan beberapa jalur jalan dengan
kriteria:
- memungkinkan mobil pengukur berjalan lambat dan sering
berhenti untuk melakukan pengukuran
- mewakili berbagai kondisi lingkungan seperti jalan yang
dikelilingi gedung tinggi, jalan di lingkungan perumahan,
dan jalan di tempat yang lebih terbuka.
- meliputi dua jenis jalur, yaitu lurus atau hampir lurus dan
berbelok-belok.
Untuk setiap jalur yang dipilih, telusuri jalur, berhenti setiap 1 atau
2 meter (pilih interval yang memungkinkan untuk dilakukan), ukur
daya pada setiap titik perhentian, lakukan sampai sejauh 100
meter atau lebih.
Sebagai gambaran, untuk frekuensi tepat 600 MHz jarak 1 meter
ekuivalen dengan dua kali panjang gelombang. Jika diasumsikan
kendaraan pelanggan bergerak dengan kecepatan 10 km/jam,
maka jalur 100 meter setara dengan jangka waktu pengukuran
36 detik dan periode sampling 0,36 detik, sehingga frekuensi
Doppler maksimum yang dapat terukur oleh sistem adalah 2,7
Hz. Sedangkan jika pelanggan melaju 40 km/jam, jangka waktu
pengukuran ekuivalen adalah 9 detik dengan periode sampling
0,09 detik dan frekuensi Doppler maksimum terukur 11 Hz. Artinya,
makin pendek interval pengukuran, makin tinggi pula kemampuan
sistem pengukuran untuk mendeteksi frekuensi Doppler.
Hasil pengukuran level sinyal sebagai fungsi waktu sampling (jika
yang terukur adalah daya sinyal, maka dapat dilakukan konversi
lebih dulu menjadi tegangan) diolah melalui transformasi Fourier
untuk mendapatkan spektrum Doppler. Dari fungsi ini dapat
diperoleh frekuensi Doppler maksimum yang terjadi dalam batas
kemampuan pengukuran oleh sistem.
Berikut ini dibahas beberapa studi kasus pengukuran untuk sistem
siaran TV digital. Tiga contoh pertama berkaitan dengan
pengukuran karakteristik propagasi gelombang radio untuk siaran
TV digital. Tiga kasus yang dibahas terjadi di tiga negara yang
berbeda dengan tujuan yang berbeda pula. Kasus pertama adalah
yang terjadi paling awal dan berlangsung di Amerika Serikat, salah
satu negara yang memelopori siaran TV digital. Tujuan pengukuran
adalah mempelajari pengaruh efek propagasi radio terhadap
kinerja sistem TV digital berbasis ATSC. Patut dicatat di sini bahwa
seluruh aktivitas pengukuran dilangsungkan di tiga kota dengan
karakteristik lingkungan propagasi yang berbeda sehingga hasil
yang diperoleh juga telah memperhitungkan variasi tersebut.
Kasus kedua adalah pengukuran yang dilakukan di Brasil yang
merupakan salah satu negara yang mengalami masalah
penentuan standar nasional sistem TV digital seperti negara kita .
Pengukuran yang dilakukan lebih bertujuan untuk membandingkan
kinerja tiga sistem TV digital, yaitu ATSC, DVB-T, dan ISDB-T, di
bawah berbagai efek propagasi pada lingkungan perkotaan di
Brasil. Konsekuensinya, pengukuran yang diperoleh belum
memberikan hasil yang dapat digunakan langsung untuk desain
sistem dan jaringan secara lengkap.
Keistimewaan pengukuran di Brasil adalah digunakannya teknik
simulasi dan pengukuran laboratorium yang dalam analisis
diintegrasikan dengan hasil pengukuran lapangan untuk melakukan
studi komparatif ketiga sistem yang diuji.
Contoh kasus ketiga adalah pengukuran di negara kita yang
menghasilkan berbagai analisis, termasuk prediksi coverage,
spektrum Doppler untuk penerima yang bergerak, dan efek lintasan
jamak atau echo, khususnya untuk sistem DVB-T. Hasil yang
diperoleh ini kelak dapat dimanfaatkan dalam tahap desain sistem
transmisi dan jaringan pemancar.
Studi Kasus 1: Pengukuran Propagasi di Amerika Serikat
Pada periode antara 1996-1998 dilakukan sejumlah pengukuran
di Amerika Serikat untuk keperluan implementasi sistem TV digital
Pengukuran dilakukan di tiga kota; Charlotte,
Raleigh, dan Chicago, dengan sasaran utama untuk mengukur
kuat sinyal yang diterima pada sejumlah titik pengukuran serta
respon frekuensi kanal. Di antara ketiga kota, Chicago memberikan
tantangan terbesar dari sisi propagasi radio karena lingkungannya
sangat variatif dengan wilayah yang sangat luas. Sebagai contoh,
keberadaan gedung-gedung tinggi di pusat kota menjadi masalah
tersendiri dalam penyediaan coverage di area tersebut.
Di Chicago pengukuran dilakukan pada kanal 20 yang menempati
pita 506-512 MHz, dengan daya pancar 284 kW (54,5 dBW).
Ketinggian antena pemancar 366 m di atas gedung bertingkat,
dan ketinggian antena penerima 9 m. Gambar 5.8 menunjukkan
hasil pengukuran kuat sinyal di Chicago dinyatakan sebagai fungsi
jarak. Sebagai pembanding telah dihitung nilai teoritis kuat sinyal
yang diterima dengan asumsi pantulan oleh permukaan tanah.
Setelah dilakukan koreksi 10 dB kepada kurva teoritis, didapatkan
kurva yang lebih mendekati hasil pengukuran.
Sementara itu magnitudo respon frekuensi kanal propagasi pada
spektrum frekuensi 506-512 MHz ditunjukkan oleh gambar 5.9.
Respon frekuensi ini diukur pada jarak 32 km dari antena
pemancar. Fluktuasi beberapa desibel sepanjang spektrum
menunjukkan adanya sifat selektivitas frekuensi pada kanal, di
mana enerji gelombang radio pada satu segmen spektrum
frekuensi mendapat respon yang lebih baik dari segmen yang lain.
Hal ini umum terjadi pada kondisi lingkungan yang memiliki banyak
obyek pemantul dan penghambur (scatterrer) gelombang radio.
Untuk mengompensasi efek ini dapat diterapkan proses ekualisasi
agar respon frekuensi kanal lebih homogen sepanjang spektrum
dan efek pantulan lintasan jamak dapat dieliminasi.
Gambar 5.8: Kurva kuat sinyal terukur di Chicago [Collins, 2001]
Studi Kasus 2: Pengukuran Propagasi di Brasil
Di Brasil telah dilakukan evaluasi, baik di laboratorium maupun di
lapangan, berkaitan dengan kinerja tiga sistem TV digital, yaitu
ATSC, DVB-T, dan ISDB-T selama periode 1998-2000 [Pessoa
dkk, 2000]. Pengukuran lapangan dilakukan di Sao Paolo pada
kanal 34 UHF (593 MHz) dengan ketinggian antena 104,2 meter
dari permukaan tanah. Daya pancar rata-rata adalah 2,5 kW (34
dBW) dan daya efektif 12 kW (40,8 dBW) termasuk penguatan
antena dan rugi saluran transmisi. Beberapa jenis pengukuran
telah dilaporkan. Tiga di antaranya yang terpenting adalah
pengukuran untuk penerimaan sinyal di luar gedung (outdoor), di
dalam gedung (indoor), dan pada kondisi bergerak (mobile).
Pengukuran outdoor dilakukan dengan kendaraan, sedangkan
antena penerima terpasang pada ketinggian 10 meter. Pengukuran
dilakukan pada 124 titik dalam wilayah yang berpusat pada lokasi
pemancar dengan radius sampai 40 km. Sedangkan pengukuran
indoor dilakukan di 39 lokasi dengan antena UHF logperiodik di
dalam rumah. Distribusi probabilitas intensitas medan threshold
Gambar 5.9: Magnitudo respon frekuensi kanal propagasi di
Chicago [Collins, 2001]
Elim yang diperoleh untuk kedua kondisi kemudian dibandingkan
dengan intensitas minimum Emin pada kanal AWGN (Additive White
Gaussian Noise) tanpa pengaruh shadowing dan multipath yang
didapat dari pengukuran di laboratorium. bahwa pada kedua kondisi tersebut ATSC lebih
unggul dibandingkan DVB-T dengan konfigurasi 64-QAM, laju
pengodean 3/4, guard interval 1/16, dan mode 2K.
Pengukuran untuk kondisi mobile didahului dengan simulasi untuk
mendapat gambaran awal. Hasil simulasi menunjukkan
keterbatasan sistem ATSC untuk beroperasi pada kondisi kanal
berubah karena pergerakan pesawat penerima. Sebaliknya DVB-
T mampu beroperasi sampai kecepatan gerak 60 km/jam dengan
frekuensi Doppler maksimum 33,3 Hz jika digunakan konfigurasi
64-QAM, 3/4, 1/16, 2K. Simulasi juga menunjukkan semakin sedikit
subcarrier yang digunakan, semakin tahan sistem DVB-T terhadap
perubahan kanal. ISDB-T dengan konfigurasi 64-QAM, 3/4, 1/16,
4K, 0,1s juga menunjukkan kemampuan yang sangat baik untuk
beroperasi pada kondisi kanal yang berubah karena pergerakan
penerima, bahkan mampu mencapai kecepatan gerak 107 km/
jam, atau ekivalen dengan frekuensi Doppler maksimum 59,4 Hz.
Pada pengukuran lapangan dalam kondisi mobile hanya dilakukan
pengamatan terhadap kualitas gambar dengan metode subyektif,
menelusuri 6 jalur pengukuran. Pengujian melibatkan sistem DVB-
T dan ISDB-T saja dengan hasil yang hampir sama; gambar pada
kedua sistem menunjukkan adanya artifak (gambar berhenti,
blocking, dan sebagainya) beberapa kali selama pengukuran.
c. Studi Kasus 3: Pengukuran Propagasi di negara kita
Sejak 2006 telah dilaksanakan serangkaian uji coba untuk
beberapa sistem TV digital di Jakarta yang merupakan salah satu
program dalam kerangka kerja Tim Nasional Migrasi dari Analog
ke Digital [Budiarto, 2007, Hendrantoro, 2007]. Sepanjang Februari
2007 tim gabungan BPPT dan ITS dengan dukungan dana riset
dari Kementerian Negara Riset dan Teknologi melakukan
pengukuran daya sinyal terima di berbagai titik di sekitar pemancar
siaran TV digital dengan standard teknologi DVB-T yang terpasang
pada ketinggian sekitar 100 meter di menara TVRI Senayan Jakarta
dan ditransmisikan pada kanal 34 (575,25 MHz). Sedangkan
setting parameter transmisi pada saat uji coba memiliki
karakteristik berupa daya pancar efektif 400 Watt, dengan
modulasi OFDM 8K 16-QAM yang memiliki konfigurasi code
rate 3/4 dan guard interval 1/16, dengan bandwidth 8 MHz. Alat
pengukuran yang digunakan adalah PRODIG-5™ dan
Pixelmetrix™ yang mampu mengukur parameter seperti CBER,
VBER, C/N, field strength, respon impulse, serta bandwidth audio
dan video. Sebagai antena penerima digunakan antena mobile
yang dipasang pada kaca jendela kendaraan pengukuran.
Gambar 5.10 menunjukkan tipikal display Pixelmetrix™ yang
menampilkan spektrum dan konstelasi sinyal, respon impuls kanal,
distribusi interval paket, pie chart alokasi laju bit per program,
tampilan gambar video yang diterima, serta parameter kinerja
lainnya seperti SNR, BER, MER, dan bandwidth, baik secara
terpisah maupun serentak pada satu layar.
Pada uji coba ini telah dibuktikan efisiensi kanal di mana 1 kanal
dengan kapasitas 17,56 Mbps dapat diisi sebanyak 5 program
siaran TV masing-masing sebesar 2 Mbps yang dapat diterima
untuk pesawat TV biasa (fixed), ditambah 5 program masing-
masing sebesar 0,1 Mbps yang dapat diterima oleh handheld
sesuai standar DVB-H. Gambar 5.11 menunjukkan konfigurasi
sistem pemancar yang digunakan pada uji caba, termasuk 5
pengode sinyal dari 5 program untuk DVB-T dan 5 pengode untuk
DVB-H, sedangkan gambar 5.12 menunjukkan pie chart
pembagian kapasitas kanal untuk program-program tersebut,
seperti yang terukur oleh Pixelmetrix™.
Secara umum, hasil analisis pengukuran sistem TV digital
terestrial (DVB-T) mengindikasikan kualitas penerimaan gambar
yang lebih baik, bebas dari echo, lebih tahan terhadap pelemahan
daya dan gangguan derau. Gambar 5.13 menunjukkan contoh
penangkapan gambar TVRI siaran analog (kiri) dan digital (kanan)
oleh Pixelmetrix™ pada lokasi yang sama di lantai 21 gedung
BPPT dengan antena dalam. Dapat diamati timbulnya gambar
ganda pada gambar siaran analog dibandingkan versi digital yang
bersih dari echo, padahal daya yang terukur dari siaran analog 10
kali lipat lebih besar dibanding yang digital.
Sementara itu pada analisis hasil pengukuran karakteristik
propagasi diperoleh beberapa temuan. Pengukuran efek
penurunan daya terima sebagai fungsi jarak dan lingkungan
(shadowing) menunjukkan penurunan daya yang sebanding dengan
pangkat 3,28 dari jarak dengan standar deviasi variasi redaman
sebesar 8,12 dB, seperti ditunjukkan pada gambar 5.14. Analisis
dari hasil tersebut menunjukkan bahwa dengan konfigurasi sistem
transmisi yang digunakan serta dengan daya pancar efektif 400
watt, diprediksi hanya sekitar 60% wilayah yang terliput dengan
kondisi QEF (quasi error free, terjadi jika C/N lebih dari 16,7 dB
pada kondisi NLOS dengan kanal berdistribusi Rayleigh) jika
diasumsikan radius 4 kilometer. Diperkirakan proporsi wilayah
cakupan dengan status QEF dapat meningkat sampai 90% jika
daya pancar efektif dinaikkan sepuluh kali lipat,
Ketika dilakukan pengukuran pada beberapa titik di dalam area
100 m × 100 m pada berbagai kondisi, ditemukan bahwa penerima
dalam kondisi LOS memiliki kualitas cakupan yang sangat baik
dengan peluang 95% untuk mencapai status QEF. Namun untuk
kondisi NLOS, hanya lokasi pada jarak cukup dekat saja yang
memiliki peluang serupa. Sedangkan lokasi pada jarak menengah
dan jauh, antara 2 sampai 5 km dari pemancar, memiliki kualitas
cakupan yang buruk dengan peluang sekitar 10% saja untuk
mencapai QEF, seperti ditunjukkan pada gambar 5.16. Garis 16,7
dB menunjukkan C/N minimum untuk kondisi QEF.
Sementara pada gedung bertingkat sampai jarak 5-6 kilometer
masih dapat diperoleh kualitas penerimaan yang cukup baik pada
lantai yang tinggi, seperti yang telah dicoba di gedung BPPT.
Sebagai catatan, status QEF tidaklah mutlak diperlukan untuk
mendapatkan gambar dengan kualitas yang memadai untuk
ditonton. Namun kondisi di atas masih dapat ditingkatkan dengan
berbagai cara, di antaranya dengan mengubah parameter
transmisi, seperti jenis modulasi, pengodean, dan daya pancar,
atau dengan menerapkan SFN.
Gambar 5.16: Probabilitas cakupan untuk lokasi berkondisi NLOS
pada jarak dekat, sedang, dan jauh.
Uji coba sederhana menyusur suatu jalur pengukuran sepanjang
100 meter mengindikasikan bahwa pesawat penerima yang
bergerak di dalam kendaraan dengan laju 40 km/jam di area
seputar Jakarta Pusat dapat mengalami pelebaran spektrum
karena efek Doppler sampai sebesar 4 Hz (lihat gambar 5.17).
Pelebaran spektrum ini meningkat sampai 10 Hz jika kendaraan
melaju dengan kecepatan 100 km/jam, hal yang bisa terjadi pada
jalan tol. Hasil pengukuran dengan Pixelmetrix™ pada sejumlah
titik juga menunjukkan kemungkinan munculnya lintasan jamak
atau echo dengan beda waktu lebih dari 50 mikrodetik, yaitu jarak
waktu terjauh datangnya sinyal duplikat yang masih bisa tertangani
oleh sistem OFDM dengan guard interval 1/16.
Gambar 5.18 menunjukkan contoh respon impuls kanal propagasi
terukur yang mengindikasikan adanya echo yang muncul terlambat
150 mikrodetik (ekivalen dengan beda jarak 45 km) dari berkas
sinyal utama. Walaupun masih belum konklusif karena
keterbatasan sampel, temuan-temuan di atas menunjukkan perlu
dipertimbangkannya kondisi lingkungan dan karakteristik
perambatan gelombang radio dalam pemilihan konfigurasi
transmisi yang paling tepat dan penentuan kriteria desain
perangkat penerima.
5.3. Pengukuran Parameter Kinerja Jaringan Penyiaran TV
Digital
5.3.1. Overview Parameter Kinerja dan Alat Ukur
Seperti dijelaskan pada bagian 5.1, terdapat perbedaan mendasar
pada pengukuran kinerja jaringan TV digital dibandingkan analog.
Perbedaan utama terletak pada parameter atau indikator kinerja
yang lebih banyak. Namun di antara indikator kinerja ini masih
terdapat beberapa kesamaan, di antaranya yang berkaitan dengan
penggunaan spektrum dan pengujian kualitas gambar. Bagian ini
akan menjelaskan pengukuran kinerja TV digital yang telah
operasional. Alat ukur yang relevan adalah spectrum analyzer
untuk mengukur spektrum (dalam kaitan dengan pengujian
spectrum mask dan pengukuran redaman bahu) dan alat ukur
sinyal TV digital yang di dalamnya meliputi BER test set sehingga
mampu mendeteksi parameter-parameter seperti BER dan MER.
Gambar 5.17: Spektrum Doppler untuk kecepatan penerima 40
km/jam.
Gambar 5.18: Contoh respon impuls kanal propagasi TV digital
hasil pengukuran di Jakarta
5.3.2. Spektrum
Pengukuran spektrum terutama diarahkan pada pemenuhan
kriteria rasio proteksi ataupun spectrum mask yang telah
digariskan. Pada dasarnya untuk pengukuran spektrum digunakan
spectrum analyzer yang dipasang pada tahap front-end dari
pemancar, baik sebelum maupun setelah tahap penguat akhir.
Hal ini penting untuk menjaga agar tidak terjadi saling interferensi
antarkanal RF yang bersebelahan. Sebagai contoh, gambar 5.19
menunjukkan spectrum mask untuk pemancar DVB-T yang
berlokasi sama dengan pemancar berstandar analog dan
kebetulan bersebelahan kanal, sedangkan gambar 5.20
menunjukkan contoh emission mask untuk pemancar TV digital
yang dipersyaratkan oleh FCC.
Gambar 5.19: Spectrum mask untuk pemancar DVB-T yang
berada pada lokasi yang sama dengan pemancar analog
dengan kanal yang bersebelahan [ETSI, 1997]
5.3.3. Kualitas Sinyal
Pada sistem TV digital, indikator obyektif untuk kualitas sinyal
adalah BER, MER, dan EVM. Sedangkan sebagai indikator kualitas
gambar, dapat digunakan evaluasi subyektif dengan melibatkan
sejumlah responden sebagai penilai.
Pengukuran BER, MER, atau EVM hanya dapat dilakukan dengan
BER test set atau alat ukur untuk sistem TV digital. BER adalah
ukuran proporsi bit informasi, baik video maupun audio, yang
terdeteksi oleh penerima tidak sesuai dengan nilai sebenarnya.
Nilai BER dapat diukur pada tahap-tahap yang berbeda pada
struktur penerima. Sebagai contoh, pada sistem DVB-T
pengukuran BER di tahap antara pendekode Viterbi dan
pendekode RS dapat dihubungkan langsung dengan kondisi
penerimaan, apakah mencapai QEF (Quasi Error Free) atau tidak.
Kondisi QEF ekivalen dengan BER < 10-3 yang diukur pada tahap
sebelum Viterbi decoder, < 2×10-4 antara Viterbi dan RS decoder,
atau < 10-11 setelah RS decoder. Pada keluaran MPEG-2 decoder,
hal ini setara dengan terjadinya maksimal satu error event dalam
periode satu jam.
Gambar 5.20: Emission mask yang dipersyaratkan FCC
untuk pemancar TV digital [ATSC, 2000]
MER mencerminkan besarnya penyimpangan yang terjadi pada
konstelasi sinyal, baik pada komponen in-phase maupun
quadrature, sesuai dengan sistem modulasi yang digunakan [ETSI,
2001]. MER dihitung dengan rumus berikut:
⎟
⎟
⎟
⎟
⎠
⎞
⎜
⎜
⎜
⎜
⎝
⎛
=
∑
∑
=
=
N
k
k
N
k
k
e
S
MER
1
2
1
2
10dB log10
dengan N menyatakan banyaknya simbol terekam untuk
perhitungan, Sk menyatakan simbol ke-k, dan ek menyatakan error
atau selisih simbol Sk dengan sinyal yang diterima. Dengan
demikian, semakin besar daya derau dan distorsi pada kanal,
semakin kecil nilai MER. EVM memiliki fungsi serupa dengan MER,
yaitu menguantifikasi kesalahan pada konstelasi sinyal. Bedanya,
sinyal yang diterima tanpa kesalahan justru memberikan EVM
sebesar 0%. Nilai EVM sendiri dihitung dari akar rata-rata error
sebagai berikut [Collins, 2001] :
%1001
21
1
2 ×⎟
⎠
⎞
⎜
⎝
⎛
= ∑
=
N
k
keN
EVM
Kualitas penerimaan juga dapat dinilai langsung dari kualitas
gambar dengan metode subyektif, di mana sejumlah responden
diminta melihat dan menilai gambar video yang telah melewati
sistem yang diuji. ITU-R merekomendasikan beberapa metode
subyektif, di antaranya yang relevan dan praktis adalah DSCQS
(double-stimulus continuous quality scale) dan SSCQE (single-
stimulus continuous quality evaluation) [ITU-R, 2002]. Untuk
pengukuran subyektif, konfigurasi kondisi monitor, jenis konten
materi, dan kondisi lingkungan tes harus diatur menurut aturan
tertentu agar memberikan hasil akurat tanpa pengaruh faktor luar.
Diperlukan sedikitnya 15 responden yang dipilih dari kalangan yang
awam terhadap teknologi televisi untuk mendapat hasil tanpa bias.
Pada metode DSCQS diperlukan pengamatan responden
terhadap dua tampilan konten yang sama, namun salah satu
adalah program asli sebagai referensi sedangkan yang lain telah
melewati proses pemancaran dan penerimaan yang diuji.
Responden diminta melakukan penilaian pada form yang telah
disediakan menggunakan skala kontinyu tanpa angka. Nilai
berskala kontinyu ini terbagi sama besar ke dalam 5 interval nilai,
sesuai dengan skema penilaian 1 – 5 pada tabel 5.4 yang
digariskan ITU-R. Metode SSCQE merupakan metode yang lebih
praktis karena pengamatan hanya diperlukan terhadap program
yang telah ditransmisikan, tanpa memerlukan program asli
sebagai referensi.
5.3.4 Studi Kasus: Pengukuran Kinerja Sistem DVB-T
Sistem DVB-T secara keseluruhan dibagi ke dalam tiga
komponen, yaitu pemancar, jaringan, dan penerima. Tabel 5.5
menunjukkan parameter yang perlu diukur pada ketiga komponen
sistem tersebut. Dari pengukuran yang menyeluruh, dapat
dideteksi lokasi permasalahan dalam suatu sistem DVB-T yang
telah operasional.
Pengukuran kinerja sistem DVB-T menggunakan acuan
diagram sistem pemancar dan penerima seperti pada gambar
5.21 [ETSI, 2001]. Titik-titik pengukuran, baik pada pemancar
maupun penerima, ditandai dengan huruf kapital.
Pemancar Jaringan Penerima
Akurasi frekuensi,
verifikasi guard
interval, derau fase
pada LO, daya dan
spektrum, END,
ENF, redaman bahu,
efisiensi daya,
interferensi koheren,
BER, MER, STE,
CS, AI, QE, jitter
fase, delay,
sinkronisasi SFN
Daya sinyal,
interferensi koheren,
BER, MER, delay
sinyal
Selektifitas, AFC
capture, noise fase
pada LO, daya
sinyal, derau dan
sensitivitas, END,
BER, MER, STE, CS,
AI, QE, jitter fase,
CSI
Tabel 5.4: Skala penilaian subyektif
Pengukuran untuk beberapa parameter penting pada sistem DVB-
T dijelaskan berikut ini:
a. Akurasi frekuensi
Akurasi frekuensi subcarrier OFDM sangat penting untuk
keberhasilan pengolahan sinyal OFDM. Oleh sebab itu akurasi
frekuensi pemancar perlu selalu dimonitor dengan
menghubungkan spectrum analyzer pada titik pengukuran L dan/
atau M. Pengukuran dilakukan terhadap pilot yang memiliki fase
kontinyu yang terletak pada subcarrier tertentu. Untuk mode 8K,
pilot terletak pada k = 3408, sedangkan untuk mode 2K terletak
pada k = 1140.
b. Selektivitas
Tujuan pengukuran adalah mengenali kemampuan penerima
dalam menolak interferensi di luar band (out-of-channel).
Pengukuran level sinyal input dan interferensi dilakukan pada titik
N, sedangkan pengukuran BER dilakukan pada W atau X, yaitu
antara pendekode Viterbi dan RS.
Pemancar Jaringan Penerima
Akurasi frekuensi,
verifikasi guard
interval, derau fase
pada LO, daya dan
spektrum, END,
ENF, redaman bahu,
efisiensi daya,
interferensi koheren,
BER, MER, STE,
CS, AI, QE, jitter
fase, delay,
sinkronisasi SFN
Daya sinyal,
interferensi koheren,
BER, MER, delay
sinyal
Selektifitas, AFC
capture, noise fase
pada LO, daya
sinyal, derau dan
sensitivitas, END,
BER, MER, STE, CS,
AI, QE, jitter fase,
CSI
Tabel 5.5: Pengukuran sistem DVB-T
c. AFC capture range
Pengukuran ini bertujuan menentukan rentang frekuensi di mana
penerima harus melacak dan mengunci frekuensi. Untuk
keperluan tersebut, sinyal uji diberikan pada titik N, sedangkan
evaluasi sinkronisasi TS dilakukan pada Z dengan mengecek nilai
Sync_byte_error pada TS.
Gambar 5.21: Diagram blok pemancar dan penerima
DVB-T beserta titik-titik pengukuran [ETSI, 2001]
d. Daya dan Spektrum Sinyal
Pengukuran daya sinyal diperlukan untuk mengatur dan memonitor
level sinyal pada pemancar dan penerima. Pengukuran dilakukan
pada titik K, L, dan M pada pemancar dan pada titik N dan P pada
penerima. Dalam mengukur daya sinyal yang diterima,
pengukuran harus dibatasi pada bandwidth sinyal yang diinginkan.
Jika digunakan spectrum analyzer atau power meter sebagai alat
ukur, harus dipastikan bahwa alat ukur tersebut mengintegralkan
daya sinyal dalam bandwidth nominal sesuai dengan banyaknya
subcarrier dan spasi frekuensi.
Pengukuran spektrum sinyal dimaksudkan untuk memastikan
kesesuaian spektrum dengan spectrum mask yang digariskan.
Pengukuran dilakukan dengan menghubungkan spectrum
analyzer ke titik K dan/atau M pada pemancar. ETSI
merekomendasikan penggunaan spectrum analyzer dengan
resolusi bandwidth sebesar 30 kHz atau kurang.
Kerapatan daya spektral terukur didefinisikan sebagai rata-rata
waktu dari daya sinyal per satuan bandwidth. Dengan demikian
kerapatan daya untuk dalam bandwidth yang berbeda dapat
diperoleh secara proporsional dari nilai tersebut. Untuk tujuan
pengetesan filter pembatas spektrum, dapat digunakan sinyal
input khusus berupa pseudo-noise.
e.Derau
Daya derau diukur pada titik N dan/atau P pada penerima dengan
spectrum analyzer pada kondisi pemancar tidak bekerja. Seperti
halnya daya sinyal, daya noise juga ditentukan dalam bandwidth
yang ditempati sinyal OFDM.
f.Sensitivitas dan rentang dinamis penerima
Sinyal tes diberikan pada titik N, kemudian titik W atau X (sebelum
tahap RS decoder) digunakan untuk memonitor BER. Dengan
mengukur daya minimum dan maksimum pada N yang
memberikan kondisi QEF (quasi error free, yaitu BER < 2 × 10-4
pada W atau X) dapat diperoleh sensitivitas penerima (daya
minimum) dan rentang dinamisnya (selisih antara daya
maksimum dan minimum).
g. Linieritas
Linieritas pemancar dapat dikarakterisasi dari redaman pada
bagian tepian atau bahu spektrum sinyal (shoulder attenuation).
Setelah spectrum analyzer dihubungkan pada titik M, dilakukan
identifikasi nilai maksimum spektrum. Kemudian dibuat garis lurus
yang menghubungkan titik-titik pengukuran pada 300 kHz dan 700
kHz dari tepi atas dan tepi bawah spektrum. Tambahkan garis-
garis paralel terhadap kedua garis yang telah dibuat lebih dulu,
sedemikian hingga nilai spektrum tertinggi dalam setiap rentang
dilewati oleh garis-garis paralel tersebut. Kemudian kurangkan
nilai daya pada bagian tengah garis paralel, yaitu pada 500 kHz
dari tepi bawah dan atas spektrum, dari nilai maksimum. Hasilnya
adalah redaman bahu pada tepi bawah dan atas. Dari kedua nilai
tepi bawah dan atas, ambil yang terburuk sebagai redaman bahu
keseluruhan.
h. Efisiensi daya
Efisiensi daya didefinisikan sebagai rasio daya output DVB
terhadap konsumsi daya total pemancar, mulai tahap input TS
sampai output RF termasuk yang dikonsumsi oleh perangkat
pendukung seperti kipas angin, transformator, dan sebagainya.
Daya output DVB diukur pada titik M pada pemancar, sedangkan
konsumsi daya total harus dihitung dari spesifikasi subsistem yang
menyusun pemancar.
i. Bit Error Rate
Variasi BER terhadap perubahan daya pancar maupun daya noise
dapat diukur dengan memberikan sinyal PBRS pada titik E atau
F, menambahkan sinyal derau eksternal pada antena penerima,
dan kemudian mengukur BER pada titik V atau U. Nilai BER selama
tahap operasional dapat dipantau dengan melakukan pengukuran
BER pada berbagai titik sepanjang struktur penerima. Beberapa
titik penting adalah sebelum Viterbi decoder (V) untuk pengukuran
kinerja sistem tanpa pengodean, sebelum RS decoder (W atau
X) untuk pengukuran kualitas link transmisi digital, dan setelah
RS decoder (Z) untuk mengetahui pola-pola bit yang menyebabkan
error.
Dengan menggunakan alat ukur TV digital, pengukuran BER dapat
pula dilakukan secara on-line. Gambar 5.22 menunjukkan contoh
display pengukuran BER serta indikator kinerja lainnya dari DVB-
T seperti yang terukur oleh Pixelmetrix™. Konstelasi sinyal yang
ditampilkan diambil dari tahap-tahap setelah koreksi kanal. Titik-
titik kuning yang tersebar di sekitar titik-titik konstelasi
menunjukkan adanya pengaruh derau maupun distorsi kanal yang
tidak dapat sepenuhnya dikompensasi oleh penerima, sehingga
mempengaruhi besarnya MER dan BER.
j. Delay
Bagi jaringan SFN, delay sinyal pada pemancar sangat penting
untuk diatur guna mencapai sinkronisasi antarpemancar. Harga
delay ini bervariasi antara satu pemancar dan pemancar lain
karena perbedaan delay fisik pada bagian analog, termasuk lebar
kabel antena, dan berbagai buffer yang digunakan untuk proses
modulasi OFDM. Delay total antara TS input pada pemancar dan
TS output pada penerima dapat diperoleh dengan mengukur delay
Gambar 5.22: Contoh pengukuran konstelasi sinyal dan kinerja
BER DVB-T
yang diperlukan untuk menyesuaikan pola data input dan output.
Jika delay pada penerima diketahui, maka delay pada pemancar
dapat dihitung.
Cara lain adalah dengan pengoperasian test mode di mana
pengiriman MIP (Megaframe Initialization Packet) pada input TS
menyebabkan pulsa yang dapat digunakan untuk memicu operasi
osiloskop. Pengiriman megaframe berikutnya digunakan untuk
mengirim pulsa khusus, seperti simbol null. Dengan demikian
delay antara pulsa pemicu dan pemancaran pulsa RF dapat diukur.
Dalam kaitannya dengan delay pada keseluruhan sistem, dapat
diklasifikasikan delay berdasarkan faktor penyebabnya, yaitu
overall delay, end-to-end encoder delay, total decoder delay, dan
relative audio/video delay atau lip sync. Yang terakhir ini
menyatakan beda delay antara lintasan audio dan video.
Parameter-parameter delay ini ditunjukkan pada Gambar 5.23.
Overall dan end-to-end encoder delay diukur dengan mendeteksi
transisi audio atau video pada TS yang membangkitkan pulsa
trigger untuk memicu perekaman TS. Deteksi ini dilakukan pada
saluran input encoder, output multiplexer, dan output dari dekoder.
Dengan perangkat audio/video analyzer, pengukuran ini dapat
dilakukan dengan menerapkan konfigurasi pada Gambar 5.24.
Sedangkan pengukuran delay relatif antara video dan audio (lip
sync) dapat dilakukan dengan konfigurasi pada gambar 5.25.
Gambar 5.23: Parameter-parameter delay [ETSI, 2001]
k. Interferensi
Keberadaan interferensi koheren dapat dilakukan dengan
menghubungkan spectrum analyzer pada titik N atau P pada
penerima. Dengan penyempitan resolusi bandwidth setahap demi
setahap maka seharusnya level terukur setiap subcarrier
termodulasi akan menurun. Adanya interferensi oleh sinyal CW
(carrier-wave) dapat langsung diketahui karena sinyal jenis ini tidak
terpengaruh oleh proses penyempitan bandwidth.
l. Sinkronisasi jaringan SFN
Guard interval pada sinyal OFDM berfungsi untuk mendeteksi
echo yang terjadi karena multipath. Echo tersebut terdeteksi
sebagai duplikat sinyal yang datang lebih kemudian dibanding
sinyal utama. Guard interval akan mampu mendeteksi echo jika
selisih waktu antara sinyal utama dengan echo tersebut lebih
pendek dari guard interval. Hasil deteksi echo ini berupa respon
impuls kanal yang justru dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
kinerja S/N melalui ekualisasi OFDM.
Gambar 5.25: Konfigurasi pengukuran delay relatif audio/video
[ETSI, 2001]
Gambar 5.24: Konfigurasi pengukuran overall delay
[ETSI, 2001]
Jika DVB-T bekerja dalam jaringan SFN, maka suatu pesawat TV
dapat menerima sinyal dari lebih dari satu stasiun pemancar pada
frekuensi yang sama. Akibatnya penerima TV seolah-olah
menerima echo berupa duplikat sinyal utama. Dengan demikian
agar jaringan SFN ini dapat bermanfaat untuk meningkatkan kinerja
S/N sinyal OFDM, maka jarak antarstasiun harus sedemikian
hingga duplikat sinyal yang datang dari pemancar yang lebih jauh
datang dengan selisih waktu kurang dari durasi guard interval.
Prasyarat untuk sinkronisasi jaringan pemancar pada SFN adalah
bahwa nilai STS (Synchronous Time Stamp) yang dibawa oleh
MIP (Mega-frame Initialization Packet) benar dan konsisten.
Pengukuran dilakukan pada titik A dan Z dengan mengecek beda
waktu antara dua STS yang dibawa oleh MIP yang berurutan.
Besarnya haruslah sama dengan durasi satu Mega-frame
ditambah kelipatan bulat dari waktu antarpulsa GPS. Caranya
adalah dengan lebih dulu mengekstrak STS dari 3 megaframe
yang berurutan, kemudian menguji berlakunya hubungan:
STS3 – STS2 = STS2 – STS1 + n×T
dengan n menyatakan suatu bilangan bulat dan T = 1 detik.
Gambar 5.26 mengilustrasikan hubungan waktu antara ketiga
mega-frame.
Gambar 5.26: Hubungan waktu antara Mega-frame dan pulsa
GPS
Pengukuran lainnya yang berkaitan dengan sinkronisasi SFN
adalah pengujian struktur, periodisitas, dan jumlah MIP per frame,
perhitungan panjang dan waktu awal/akhir Mega-frame
berdasarkan pointer pada MIP, serta konsistensi laju data TS
terhadap mode DVB-T yang terdefinisi dalam MIP.
KPeran TV Digital pada
Konverjensi Teknologi Informasi
dan Komunikasi
BAB 6
6.1. Menuju Konverjensi
eberadaan sistem TV digital memberikan banyak
keuntungan dari segi kinerja dan kualitas penyiaran
dibandingkan dengan sistem TV analog. Digitalisasi sinyal
Awalnya media penyiaran hanya ditujukan untuk penyiaran gambar
(video) dan suara (audio), namun digitalisasi memungkinkan
berbagai layanan interaktif sebagaimana yang tersedia pada media
teknologi informasi dan komunikasi. Penyertaan berbagai data
digital pada media penyiaran biasa disebut dengan data casting.
Kondisi itu mendorong arah perkembangan berbagai layanan
memungkinkan kompresi data dan transmisi yang jauh lebih
efisien, sehingga lebih banyak kanal frekuensi yang tersedia
dibandingkan dengan kondisi pada sistem analog. Selain itu,
sistem TV digital juga lebih tahan terhadap pengaruh interferensi
yang memungkinkan pemanfaatan pita frekuensi menjadi lebih
optimal. Sistem TV digital juga memungkinkan sinyal TV diterima
dengan baik pada penerima yang bergerak. Konsekuensinya, pada
sistem TV digital dapat dilakukan pengiriman informasi yang jauh
lebih besar sehingga memungkinkan terwujudnya berbagai layanan
inovatif yang sebelumnya hanya tersedia pada media layanan
lainnya.
menuju layanan multimedia atau konverjensi (convergence)
layanan. Konverjensi tiga layanan tradisional (telekomunikasi,
teknologi informasi, dan penyiaran) ditunjukkan pada gambar 6.1.
Fenomena konverjensi ini, dengan berbagai kesempatan dan
tantangannya, dapat memberikan ekstra stimulasi bagi kelayakan
bisnis dari implementasi TV digital.
Sifat generik dari jaringan penyiaran adalah one-to-many yakni
pengguna terhubung ke titik distribusi jaringan, dan menggunakan
sumber daya jaringan (network resources) bersama-sama.
Secara teoritis, capacity-per-user pada jaringan penyiaran adalah
rendah, sehingga memang lebih cocok digunakan untuk layanan-
layanan yang umum diminati khalayak ramai.
Konverjensi layanan dapat mendorong perkembangan berbagai
layanan yang semula tidak dirancang untuk jaringan penyiaran,
misalnya fasilitas interaktif dengan menggunakan return channel.
Personalisasi layanan seperti ini memerlukan pengembangan
aplikasi yang spesifik pada kerangka kerja penyiaran TV digital,
terlepas dari standar TV digital yang diadopsi. Kelebihan jaringan
penyiaran adalah dalam penetrasi penggunaannya, karena sifat
isi layanannya yang umum diminati. Bahkan suatu hasil penelitian
di Inggris menunjukkan bahwa pertumbuhan penggunaan TV digital
melebihi penggunaan komputer [ Sandbank, 2001].
Bab ini memberikan gambaran peranan TV digital pada proses
konverjensi sebagai sarana penyampaian multimedia data,
mengikuti alur layanan penyiaran pada gambar 6.1. Untuk
meletakkan landasan konverjensi multimedia, pada sub-bab 6.2
dijelaskan layanan/aplikasi khususnya yang bersifat interaktif pada
media TV digital. Kemudian pada sub-bab 6.3 akan dijelaskan
tentang konsep middleware yang berperan besar pada
pengembangan berbagai software aplikasi untuk TV digital.
Penjelasan tentang middleware lebih difokuskan pada salah satu
middleware terbuka yang banyak digunakan, yaitu MHP (Multimedia
Home Platform). Bab ini diakhiri oleh sub-bab 6.4. yang
menggambarkan secara sekilas tentang model konverjensi
teknologi informasi dan komunikasi beserta tantangan dan
problemnya terutama dalam penyelarasan regulasi.
6.2 Layanan Interaktif melalui Media TV Digital
Agar dapat menggunakan media TV digital secara optimal,
diperlukan suatu pemetaan karakteristik dari berbagai aplikasi yang
dapat digunakan. Pemetaan ini terutama membantu dalam
perancangan software set-top box sesuai dengan kebutuhan
pasar, walau hardware set-top box-nya telah ditetapkan sesuai
dengan standar yang diadopsi. Dengan digitalisasi content, ada
dua istilah yaitu layanan (service) dan aplikasi (application) yang
dapat digunakan bergantian. Sebagai contoh, suatu layanan dapat
merujuk kepada sebuah siaran TV reguler atau suatu siaran
enhanced yang berisi audio, video dan aplikasi yang menggunakan
DVB-Java sebagai bagian dari software pada set-top box
pengguna. Secara umum, faktor-faktor yang harus
dipertimbangkan dalam pengembangan dan implementasi aplikasi-
aplikasi TV digital selain konten dari aplikasi itu sendiri adalah user
interface, sistem arsitektur yang menjalankan aplikasi dan protokol-
protokol komunikasi.
Beberapa layanan umum yang tersedia pada sistem TV digital
adalah electronic program guide (EPG), video-on-demand (VOD),
tayangan berbayar (pay-per-view), multi-camera-angle sporting
Data
Teknologi Informasi Penyiaran
Audio, Video
Digitalisasi
Teknologi Informasi
Multimedia
Penyiaran
Multimedia
Telekomunikasi
Multimedia
Telekomunikasi
Voice, Data
Gambar 6.1: Digitalisasi mendorong konverjensi layanan multimedia.
events, koneksi Internet, layanan e-commerce seperti home billing,
home shopping, online entertainment seperti online games, TV
chat, dan sebagainya. Dengan kemampuan mobilitasnya, potensi
perkembangan layanan dan aplikasi melalui media TV digital makin
terbuka luas. Dari layanan dan aplikasi yang dikembangkan, akan
muncul industri sebagaimana dikembangkan melalui media
internet, dan mendapat prefix e, seperti e-commerce, e-education
dan sebagainya. Dalam dunia TV digital, mereka diberikan prefix
T atau Tele, seperti T-commerce, T-education, dan sebagainya.
Pemetaan aplikasi interaktif pada media TV digital ditunjukkan pada
gambar 6.2. Pada gambar tersebut terlihat variasi jenis aplikasi
mulai dari yang kontennya bersifat generik untuk keperluan banyak
orang sampai yang sangat spesifik ke tiap individu, dari yang tanpa
interaksi seperti pada penyiaran tradisional sampai yang sangat
interaktif yang memerlukan respon dari pemirsa atau pengguna.
Fenomena konverjensi juga ditunjukkan pada gambar 6.2. Layanan
TV tradisional (classic), tele-democracy, dan video-on-demand
dapat dikatakan generik pada media TV, namun munculnya
layanan-layanan lainnya yang berbasis internet menunjukkan
melebarnya peranan TV digital. Selain itu, munculnya layanan-
layanan gaming meningkatkan isi dan kualitas hiburan dari TV
digital. Aplikasi-aplikasi futuristik diprediksi akan menambahkan
fitur-fitur virtual reality menjadi TV digital tiga dimensi yang berperan
besar pada layanan seperti hiburan dan pendidikan [Zuffo].
Pengembangan aplikasi dari yang tidak interaktif sampai ke yang
sangat interaktif biasanya dibantu oleh ketersediaan profil-profil
dari middleware yang tersedia.
Selain layanan/aplikasi yang sifatnya umum, keberadaan TV digital
dapat mendukung berbagai aktivitas yang sifatnya lebih spesifik.
Beberapa proyek TV digital yang berguna untuk kepentingan umum
di negara kita misalnya adalah e-Gov, manajemen bencana,
pendidikan jarak jauh, penyediaan informasi kesehatan jarak jauh,
dan sebagainya. Menariknya, pengembangan aplikasi pada TV
digital dengan teknologi yang sifatnya terbuka kebanyakan
didasarkan pada pengembangan software berbasis teknologi Java.
Dengan banyaknya pengembang Java pada komunitas teknologi
informasi dan komunikasi di negara kita , maka ketersediaan TV
digital diharapkan akan memperluas peluang bisnis dan
memunculkan aplikasi-aplikasi baru yang berguna.
6.2.1 Model Komunikasi untuk Return Channel
Secara umum, sebagaimana telah dijelaskan di bab-bab terdahulu,
sistem penyiaran digital meliputi:
A. Broadcaster head-end system
Komponen ini bertugas menghasilkan MPEG-2 transport stream
dari berbagai masukan program TV dan mengirimkannya ke
pengguna tanpa kesalahan. Komponen ini telah dijelaskan di bab-
bab sebelumnya yang meliputi topik-topik kompresi, multiplex,
pengoreksian kesalahan, modulasi, pengodean kanal, dan
sebagainya.
Gambar 6.2: Klasifikasi layanan dan aplikasi.
Sumber: [Spieker, 2001]
Dikarenakan MPEG-2 transport stream adalah aliran data
penyiaran (broadcast atau multicast), maka data tidak ditujukan
kepada pengguna spesifik. Untuk penyampaian data ke pengguna
spesifik, diperlukan fungsi-fungsi untuk mengendalikan dan
mengatur MPEG-2 stream. Untuk itu, pada standar DVB,
dikembangkan protokol-protokol DSM-CC (Digital Storage Media
Command and Control). MPEG-2 stream pada kanal broadcast
memiliki bagian spesifik yang disebut MPEG-2 private sections
yang encapsulate bagian-bagian DSM-CC, di mana pengguna
dapat mengaksesnya untuk mendapatkan layanan yang spesifik.
B. Receiver
Komponen RF pada receiver (penerima) melakukan pemilihan
frekuensi (tuning), demodulasi dan koreksi kesalahan pada sinyal
MPEG-2 yang datang. Setelah itu, sinyal yang masuk menjadi aliran
data digital yang siap untuk di-demultiplex dan dikembalikan ke
sinyal semula, baik itu sinyal audio, video ataupun data dari suatu
aplikasi.
C. Conditional access system
Komponen ini digunakan untuk mengendalikan akses penggunaan
aliran data untuk layanan berbayar sehingga dapat menjamin
sumber pemasukan bagi penyedia layanan. Penggunaan
conditional access juga dapat memudahkan penyediaan layanan
yang menargetkan segmen pelanggan tertentu.
Data broadcasting (datacasting)
Komponen ini menyertakan data aplikasi pada MPEG-2 transport
stream. Pengiriman data dapat dilakukan dengan hanya
pengiriman yang bersifat asynchronous dan dititipkan pada
payload dari MPEG-2 transport stream (data piping), dan dapat
pula yang mensyaratkan suatu aliran dari ujung ke ujung (data
streaming) disertakan pada paket-paket PES (Packetised
Elementary Stream). Selain itu data yang dikirim dapat pula berupa
datagram dari suatu protokol komunikasi (mutiprotocol
encapsulation). Dikarenakan kapasitas penyimpanan dan memori
dari set-top box umumnya tidak sebesar komputer personal, maka
pada sistem TV digital dapat dilakukan transmisi modul data (dapat
berupa data yang sama) secara periodik (data dan object carousel).
Untuk sistem DVB, data dan object carousel didasarkan atas
spesifikasi DSM-CC data dan object carousel.
Melengkapi komponen-komponen tersebut, untuk implementasi
layanan-layanan interaktif pada media TV digital diperlukan sarana
supaya pengguna bisa mengirim respon atau perintah kembali ke
penyedia layanan. Sarana ini yang lazim disebut return channel
dapat dirancang dari berbagai sarana komunikasi yang tersedia.
Gambar 6.3 menunjukkan model layanan interaktif pada standar
DVB dengan menambahkan aliran data kembali dari pengguna ke
penyedia layanan interaktif melalui panah yang lebih kecil.
Sedangkan panah yang lebih besar menunjukkan komponen utama
aliran data penyiaran (broadcast) digital ke pengguna, yang meliputi
komponen-komponen yang telah dijelaskan sebelumnya.
Karakteristik interaksi bergantung pada aplikasi yang digunakan
oleh pengguna. Interaksi yang paling sederhana adalah ketika
semua data dari suatu layanan dikirimkan dan disimpan pada set-
top box, sehingga interaksi sifatnya lokal antara pengguna dan
set-top box. Pada aplikasi-aplikasi tertentu yang memerlukan
interaksi lebih lanjut antara pengguna dengan penyedia layanan,
diperlukan suatu protokol spesifik untuk interaksi dan return
channel.
Mengacu pada model referensi layanan interaktif, DVB telah
mendefinisikan beberapa kelompok protokol mulai dari Network
Independent Protocol (DVB-NIP) dan beberapa protokol yang
spesifik dengan jenis return channel yang digunakan sebagaimana
ditunjukkan pada tabel 6.1. Network independent protocol
diperlukan supaya aplikasi-aplikasi interaktif yang telah
dikembangkan dapat berjalan di berbagai pilihan sarana
komunikasi untuk return channel tanpa pemrograman ulang.
Tersedia beberapa pilihan untuk return channel, baik menggunakan
media satelit, jaringan kabel ataupun berbagai pilihan teknologi
menggunakan media nirkabel terestrial. Tiap pilihan memiliki
kelebihan dan kekurangan, sehingga implementasinya disesuaikan
dengan tujuan dan jenis layanan interaktif yang akan ditawarkan.
Secara umum ada tiga faktor yang mendasari pemilihan return
channel yaitu waktu reaksi (time reaction), akurasi dan biaya
investasi. Waktu reaksi didefinisikan sebagai waktu yang
disediakan untuk menyimpan, memroses dan melaporkan semua
reaksi dari pengguna. Ini juga tergantung dengan skala waktu dari
aplikasi interaktif. Misalnya untuk aplikasi T-Polling: waktu bereaksi
untuk polling menjelang pemilihan umum dapat lebih lama
misalnya, dibandingkan polling untuk pemilihan negara kita n Idol.
Keakuratan dari hasil polling dapat diturunkan dari jumlah
maksimum respon yang dapat diproses oleh sistem. Faktor waktu
reaksi dan akurasi (quality of sevice dari suatu layanan) bergantung
kepada kapasitas dari return channel, yang terkait dengan biaya
investasi.
Penggunaan PSTN/ISDN sebagai return channel sangat umum
digunakan terutama di negara-negara maju yang memiliki
infrastruktur telepon yang mapan, dengan laju data maksimum
mencapai kira-kira 150kbps. Biaya investasi untuk menggunakan
PSTN relatif kecil, namun kapasitasnya terbatas untuk penggunaan
layanan yang intensif pada daerah dengan kepadatan pengguna
tinggi. Kapasitas return channel yang lebih besar ditawarkan oleh
media satelit, walau harga perangkatnya lebih mahal. Penggunaan
media nirkabel seperti GSM atau DECT memberikan opsi
penggunaan layanan interaktif melalui media TV digital dengan
mobilitas terbatas, walau perlu diingat bahwa kapasitas koneksi
GSM atau DECT tidaklah lebih baik daripada PSTN/ISDN.
Gambar 6.3. Model layanan interaktif pada standard DVB.
Sumber: [Rao, 2006]
Dari berbagai pilihan return channel, DVB-RCT memberikan opsi
yang menarik karena selain menggunakan media terestrial, sistem
ini menggunakan pita frekuensi bersama dengan layanan
penyiaran. Baik pengiriman dan penerimaan data interaktif
menggunakan antena yang sama. Sistem ini berpotensi menjadi
medium komunikasi dua arah pita lebar (broadband) dan dapat
bersaingan dengan layanan broadband wireless access lainnya.
Untuk itu, DVB-RCT dibahas tersendiri, dengan berbagai pilihan
media untuk return channel, set-top box dengan kemampuan
interaktif akan dilengkapi berbagai jenis interface seperti modem
telepon, port untuk DSL atau port untuk satellite transceiver,
ethernet modem kabel, dan sebagainya.
DVB Terrestrial Return Channel System (DVB-RCT)
Model referensi untuk DVB-RCT adalah sebagaimana ditunjukkan
pada gambar 6.4. Sistem ini memungkinkan layanan interaktif
memanfaatkan infrastruktur yang telah digunakan oleh jaringan
DVB. Pada sistem ini, terdapat dua kanal antara penyedia layanan
dan pengguna. Yang pertama adalah kanal penyiaran yang
unidirectional untuk memancarkan program-program TV digital dari
penyedia layanan ke pengguna. Sedangkan kanal yang kedua
adalah kanal bidirectional untuk keperluan interaksi.
Kanal interaksi terdiri dari forward interaction channel (downstream)
yang didasarkan atas MPEG-2 transport stream dan
ditransmisikan melalui jaringan penyiaran terestrial DVB-T,
sedangkan return interaction (upstream) dikirim melalui transmisi
terestrial pada kanal-kanal yang tidak terutilisasi pada pita frekuensi
VHF/UHF.
Standar DVB-RCT menggunakan skema modulasi OFDM untuk
downstream (fully DVB-T compliant) dan upstream. Untuk
upstream terdapat beberapa carrier paralel dan time-slot yang
berbeda untuk mengirimkan data dan perintah kembali ke base
station. Penggunaan OFDMA (Orthogonal Frequency Division
Multiple Access) dan TDMA seperti ini menawarkan saluran
nirkabel dengan bandwidth yang lebar, dan cocok digunakan untuk
interaksi secara real-time. Untuk tiap carrier, frekuensi, rentang
daya dan pewaktuan dari modulasi disinkronisasikan oleh base
station.
Bebarapa kelebihan dari sistem DVB-RCT ini adalah sbb.:
- Penggunaan spektrum lebih efisien, dan biaya terminal yang
lebih rendah.
- Dapat melayani cell yang relatif lebih luas, dengan radius
dapat mencapai 65 km dan kapasitas bit-rate mencapai
Standard Return
Channel
Keterangan
DVB-NIP - Network independent protocol
untuk layanan interaktif
DVB-RCC CATV Return channel DVB untuk
sistem distribusi TV kabel
DVB-RCCS SMATV Return channel DVB untuk
sistem distribusi Satellite
Master Antenna TV (SMATV)
DVB-RCD DECT Return channel melalui jaringan
Digital Enhanced Cordless
Telecommunications (DECT)
DVB-RCG GSM Return channel melalui jaringan
Global System for Mobile
Communications (GSM)
DVB-RCL LMDS Return channel melalui Local
Multipoint Distribution System
(LMDS)
DVB-RCP PSTN/ISDN Return channel melalui Public
Switched Telecommunications
Network (PSTN)/Integrated
Services Digital Networks
(ISDN)
DVB-RCS Satelit Return channel melalui satelit
DVB-RCT VHF dan UHF Return channel melalui jalur
nirkabel terrestrial pada pita
VHF dan UHF menggunakan
Orthogonal Frequency Division
Multiple Access (OFDMA)
Tabel 6.1. Beberapa spesifikasi return channel untuk layanan interaktif
pada standard DVB.
beberapa kilobits per detik. Maksimum kapasitas bit-rate
dapat mencapai beberapa megabits per detik, untuk cell yang
lebih kecil dengan maksimum radius mencapai 3,5 km.
- Dapat menangani peningkatan trafik yang tinggi, dan
dirancang untuk memroses sampai 20.000 respon singkat
tiap detik untuk layanan tele-polling.
- Dirancang untuk menggunakan kanal yang kosong atau tidak
terutilisasi pada band III, IV dan V tanpa menimbulkan
interferensi pada layanan lainnya pada band tersebut yang
sifatnya primer.
- Mendukung portabilitas karena digunakan di mana saja
selama sinyal dari penyiaran digital terestrial dapat diterima.
- Dapat digunakan di berbagai negara yang menggunakan
versi DVB yang berbeda, baik yang menggunakan kanal 6,
7, atau 8 MHz.
- Power yang diperlukan tidak lebih dari 0,5W rms untuk
transmisi dari set-top box ke base station.
6.3. Middleware pada Set-Top Box
Konsep-konsep untuk perangkat keras pada TV digital sudah
dijelaskan pada bab-bab terdahulu dan infrastruktur untuk layanan
interaktif telah didiskusikan pada sub-bab sebelumnya. Hal yang
masih kurang adalah pengembangan perangkat lunak set-top box
untuk aplikasi interaktif.
Gambaran umum layering untuk pengembangan perangkat lunak
set-top box adalah sebagaimana ditunjukkan pada gambar 6.5.
Gambar 6.4: Sistem Jaringan DVB beserta Terestrial Return channel
(DVB-RCT). Sumber: [Rao, 2006]
Layer terbawah adalah set-top box yang melakukan proses
pengiriman dan penerimaan data digital, dengan berbagai
komponennya misalnya tuner, demodulator, demultiplexer,
decryptor, pemrosesan data MPEG, pembaca smart card, media
penyimpanan, dan sebagainya. Layer di atas hardware, mulai dari
device drivers sampai aplikasi mulai digolongkan pada layer
software. Device drivers memberikan modul library spesifik untuk
device hardware tertentu yang hendak diakses oleh aplikasi.
Selanjutnya, terdapat RTOS (Real-Time Operating System) yang
memberikan dukungan pada sistem level, misalnya dalam hal
pengalokasian sumber daya, untuk aplikasi yang sedang berjalan.
Untuk conditional access, dibuat layer tersendiri di mana
dimungkinkan middleware untuk dapat langsung mengakses
sumber daya pada layer hardware. Dalam penggunaannya, sering
terdapat kombinasi antar middleware dan sistem conditional
access tertentu. Satu layer penting yang akan dibahas dengan
lebih detil pada sub-bab ini adalah layer middleware sebagai layer
software yang menjembatani layer aplikasi dengan layer-layer
lainnya.
Dengan adanya middleware, pengembang aplikasi dapat
berkonsentrasi penuh pada konten dan tidak perlu repot-repot
dengan hal-hal yang sifatnya low seperti protokol komunikasi,
sistem operasi dan sumber daya perangkat keras lainnya. Hal ini
dimungkinkan karena middleware memberikan abstraksi atas
fungsi-fungsi di layer bawah dan sebagai gantinya menyediakan
fungsi-fungsi interface untuk mengaksesnya.
Selain itu, keberadaan middleware dengan profil-profil yang
diberikan membantu pengembangan aplikasi-aplikasi yang
kompleks, menjamin portabilitas saat aplikasi digunakan pada
hardware atau sistem operasi yang berbeda dan interoperabilitas
antara aplikasi yang satu dan yang lainnya. Kondisi di mana
beberapa aplikasi berjalan secara bersamaan tanpa ada konflik
juga dibantu dengan keberadaan middleware, yang umum disebut
sebagai application manager.
Beberapa layanan yang diberikan oleh middleware diantaranya
akses ke MPEG decoder/demux, akses ke fitur-fitur grafik/video,
akses ke service information, manajemen memori, akses ke return
channel, lingkungan pengembangan software dalam bahasa C/
C++, Java, HTML, dsb, beserta profil untuk akses internet.
Middleware yang tersedia ada dua jenis, yaitu proprietary
middleware dan open middleware. Proprietary middleware biasanya
dirancang oleh suatu perusahaan yang telah memiliki segmen
pasar yang cukup besar, dan lisensinya kemudian dipakai oleh
pembuat set-top box. Proprietary middleware umum digunakan
pada jaringan TV berbayar.
Permasalahan dengan proprietary middleware di antaranya adalah
biaya lisensi yang tinggi yang menaikkan harga set-top box. Selain
itu, aplikasi yang dikembangkan terkunci pada vendor-vendor
tertentu dan harus dikembangkan lagi dari awal bila hendak
dipasarkan pada pengguna atau pasar yang berbeda. Beberapa
contoh dari proprietary middleware adalah PowerTV, Liberate,
Microsoft TV, MediaHighway, dan OpenTV Core yang merupakan
iTV middleware dari Microsoft.
Sedangkan open middleware distandarisasi oleh konsorsium
industri atau lembaga internasional yang sifatnya nirlaba, dan dapat
diimplementasikan oleh siapa saja tanpa lisensi atau dengan biaya
lisensi yang rendah. Open middleware umum digunakan untuk
aplikasi pada jaringan TV bebas (free-to-air). Tantangan dari open
middleware adalah bagaimana keterbukaannya dapat
memperbesar pasar.
Middleware
STB hardware
CA System
Device drivers
RTOS
Aplikasi Aplikasi Aplikasi Aplikasi
Gambar 6.5: Gambaran layering untuk pengembangan aplikasi
Popularitas dari open middleware dapat membuat keseluruhan
industri mengubah model bisnisnya, karena pasar yang
sebelumnya bersifat vertikal, kini menjadi horisontal dengan
interoperabilitas antarproduk dari vendor-vendor baru. Set-top box
akan dijual secara retail, sehingga pengguna memiliki banyak pilihan
dan tidak lagi terikat dengan penyedia jaringan. Beberapa contoh
open middleware adalah MHEG, DAVIC (MHEG + Java), MHP,
OCAP, ACAP, dan JavaTV. OCAP adalah standar terbuka untuk
pasar TV kabel di Amerika Serikat, ACAP adalah standar
middleware untuk ATSC, dan MHP adalah standar middleware yang
awalnya dirancang untuk DVB dan telah memperoleh dukungan
luas dari industri dan juga menjadi acuan dari standar-standar yang
lain.
Untuk memperoleh dukungan yang lebih luas, DVB juga telah
merilis MHP dengan spesifikasi GEM (Globally Executable MHP),
dengan menghilangkan bagian-bagian yang spesifik DVB sehingga
dapat dikustomisasi untuk standar yang lain. Pengembangan
software sangatlah penting untuk menilai skala ekonomi dari
implementasi TV digital. Oleh karena itu, dalam mempelajari suatu
standar, perlu mempertimbangkan keseluruhan protocol stack dari
layer terbawah sampai ke layer aplikasi.
Akan menjadi suatu pertanyaan yang menarik apakah negara kita
perlu juga mendefinisikan standar software set-top sendiri yang
disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Sebagai contoh, negara
Brasil melakukan penyesuaian standar baik di level hardware
maupun software dan menyebut middleware versi Brasil yang
didasarkan atas GEM dengan nama GINGA [Zuffo]. Dalam buku
ini, MHP dipilih untuk dijelaskan lebih lanjut karena sifatnya yang
terbuka, serta dapat dikembangkan dan diselaraskan dengan
standar DVB.
6.3.1. Multimedia Home Platform (MHP)
Dibandingkan dengan open middleware yang lain MHP terlihat lebih
menonjol dan diterima oleh berbagai kalangan. Ini dikarenakan MHP
yang lebih mendekat ke pasar, dan menyediakan platform yang
sifatnya umum untuk pengembangan aplikasi pada TV digital.
Karena sifatnya yang terbuka, spesifikasi standar ini disediakan
secara gratis dan pengembang bebas mengimplementasikannya.
Biaya yang muncul hanya untuk pengujian compliance supaya
aplikasi yang dibuat memenuhi spesifikasi MHP dengan benar.
Secara umum biaya pengujian compliance lebih murah
dibandingkan dengan lisensi untuk proprietary middleware.
Walau MHP dikembangkan dengan standar DVB, namun telah
dilakukan harmonisasi standar sehingga spesifikasinya lebih
bersifat global. Dengan menghilangkan spesifikasi-spesifikasi MHP
yang spesifik DVB (misalnya DVB service information API), forum
standarisasi DVB kemudian merilis spesifikasi Globally Executable
MHP (GEM). Spesifikasi ini juga diakui oleh ITU sebagai
Rekomendasi ITU-T J.202.
Spesifikasi GEM tidaklah berdiri sendiri, namun dapat digunakan
oleh organisasi standar lainnya sebagai basis standar mereka,
dan dimungkinkan penggantian elemen-elemen GEM dengan
teknologi yang lebih relevan dengan pasar mereka. Sebagai contoh,
ATSC, ARIB dan CableLabs telah menggunakan pendekatan ini
dan menggunakan GEM sebagai basis untuk standar ACAP, ARIB
B23 dan OCAP.
Keberadaan GEM menguntungkan pengembang aplikasi karena
aplikasi yang dibuat akan kompatibel pada platform GEM apa saja,
demikian juga dengan pengembang middleware karena dapat
menggunakan GEM sebagai core (inti) dari produk-produk mereka
dan kustomisasi sesuai dengan pasar yang ada. Jadi, MHP tidak
semata menjadi pengganti berbagai solusi proprietary yang telah
ada, namun digunakan untuk menyempurnakan dan menjamin
interoperabilitas antaraplikasi di masa depan.
Spesifikasi MHP menyediakan profil-profil berikut ini:
- Enhanced broadcast.
Profil ini ditujukan untuk memberikan nilai tambah pada
layanan penyiaran tradisional yang satu arah (broadcast).
Pada profil ini, data stream video dan audio dikombinasikan
dengan aplikasi yang dapat di-download sehingga interaksi
lokal dapat terwujud antara pengguna dan set-top box.
- Interactive broadcast
Profil ini menyediakan berbagai layanan interaktif dari penyedia
layanan interaktif yang dapat terpisah dengan penyedia
layanan penyiaran. Profil ini mensyaratkan keberadaan return
channel.
- Internet services
Profil ini ditujukan untuk penyediaan layanan internet.
Keberadaan profil ini memungkinkan MHP menggunakan
berbagai protokol komunikasi generik pada jaringan internet.
Klasifikasi profil-profil MHP dengan beberapa aplikasinya
ditunjukkan pada gambar 6.6. Pada gambar tersebut juga
ditunjukkan perkembangan standar MHP di mana dengan makin
lengkapnya profil layanan internet akan mencakup semua layanan
yang ada, dengan tentunya tetap mempertimbangkan sumber daya
yang spesifik untuk layanan TV.
Agar dapat melihat pengorganisasian MHP secara lebih efektif,
dan hubungannya dengan komponen-komponen software lainnya,
Gambar 6.6: Profil-profil pada standar MHP.
Sumber: [MHP]
maka diperlukan suatu abstraksi pelapisan (layering) dari suatu
terminal berbasis MHP sebagaimana ditunjukkan pada gambar
6.7. Spesifikasi MHP memberikan suatu lingkungan eksekusi
(excution environment) untuk aplikasi yang tidak tergantung dengan
perangkat keras atau perangkat lunak dari vendor tertentu. Untuk
itu, digunakan lingkungan eksekusi JVM (Java Virtual Machine)
yang dikembangkan pada kerangka kerja CDC (Connected Device
Configuration) sebagai bagian dari JavaTM Mobile Edition (Java
ME). Teknologi yang didasarkan atas CDC ditujukan untuk
perangkat-perangkat embedded seperti komunikator cerdas, PDA
dan set-top box.
Setiap aplikasi memiliki persyaratan tersendiri yang disesuaikan
dengan kebutuhannya. Untuk itu, di atas JVM disediakan API
(Application Programming Interface) generik untuk MHP yang
menyediakan akses ke sistem dan sumber daya hardware, dan
menjamin interoperabilitas antaraplikasi MHP. Selain API generik
untuk MHP, tersedia juga berbagai add-on API untuk memudahkan
akses ke berbagai informasi lainnya. Pada gambar 6.7, ditunjukkan
beberapa add-on API seperti PBP (Personal Basis Profile), DVB-
Gambar 6.7: Arsitektur software pada terminal berbasis MHP.
SI (Service Information), HAVI-UI (Home Audio Video
Interoperability-User Interface), Xlet Management, JMF (Java
Media Framework), dan sebagainya.
Penggunaan PBP untuk lebih melengkapi fitur-fitur yang ditawarkan
oleh Java versi ringan untuk perangkat embedded. Beberapa fitur
tambahan dari PBP adalah dukungan yang lebih baik untuk peng-
input-an dan tampilan teks, dan dukungan pada penggunaan IPv6
yang sangat diperlukan apabila jumlah device yang terhubung
makin banyak.
DVB-SI dan HAVI-UI digunakan oleh aplikasi MHP untuk mengakses
layanan informasi dari transport stream, misalnya untuk EPG
(Electronic Program Guide) dan aplikasi berita atau ramalan cuaca
yang meliputi informasi video dan audio juga ada opsi pemilihan
data yang lebih spesifik. Pada SI terdapat metadata yang diperlukan
untuk melokasikan, menyesuaikan dan menampilkan layanan pada
terminal, dan data tersebut disebar di berbagai tabel seperti EIT
(Event Information Table), SDT (Service Description Table), dan
BAT (Bouquet Allocation Table). Sedangkan HAVI API diperlukan
untuk penampilan grafik dan teks pada layar.
Pada sistem TV digital juga disediakan mekanisme penyampaian
obyek secara mengalir (carousel-like fashion). Contoh
penggunaannya adalah saat suatu aplikasi interaktif harus
disinkronkan dengan sebuah acara TV, misalnya acara kuis. Untuk
ini, aplikasi harus bereaksi pada waktu yang tepat, dan disesuaikan
dengan jadual event yang disampaikan melalui DSM-CC.
Sebagaimana disampaikan di atas, sistem TV digital harus
mengendalikan baik video, audio, subtitle, dan data-data lainnya.
Salah satu media pengaturan ini adalah melalui JMF (Java Media
Framework). Beberapa fungsi spesifik untuk aplikasi TV telah
ditambahkan ke JMF, misalnya penyampaian subtitle, peletakan
dan skala, konversi format decoder, dan metode referensi konten.
Untuk dapat menggunakan fitur JMF, disediakan JMF API yang
diakses melalui MHP API.
Arsitektur layering pada gambar 6.7 menunjukkan fleksibilitas MHP
dengan berbagai API plug in yang dapat disertakan, walau tidak
semua API pada terminal MHP disertakan. Pada gambar tersebut
juga disertakan suatu layer untuk aplikasi-aplikasi yang sifatnya
generik seperti navigator yang spesifik vendor dan memiliki akses
langsung ke sistem dan sumber daya pada hardware. Karena
spesifik vendor, umumnya aplikasi-aplikasi generik ini tidak
berinteraksi langsung dengan aplikasi MHP, namun secara tidak
langsung dapat terjadi melalui sistem apabila mereka mengakses
layanan yang sama.
6.3.2 Aplikasi berbasis MHP
Keberadaan middleware MHP menjamin interoperabilitas
antaraplikasi dan membantu developer untuk fokus pada
pengembangan aplikasi. Aplikasi MHP sendiri dapat ditulis dengan
script HTML atau bahasa pemrograman Java. Kedua jenis aplikasi
ini umum dinamakan aplikasi DVB-HTML dan DVB-Java (DVB-J).
Untuk DVB-HTML, aplikasi disusun sebagai kumpulan halaman
HTML yang dikirim sebagai bagian dari layanan. Spesifikasinya
didasarkan atas versi modular dari XHTML 1.1, dan juga termasuk
CSS 2.0, DOM 2.0 dan ECMAScript. Sayangnya, spesifikasi HTML
pada profil MHP awalnya hanya bersifat opsional, sehingga kurang
popular pada industri set-top box. Selain itu, pengembang aplikasi
merasakan penggunaan HTML pada media TV sangat kompleks
dan susah untuk diimplementasikan. Kelemahan HTML adalah
tidak tersedianya komputasi lokal sehingga mempersulit
pengembangan aplikasi interaktif. Selain itu, tampilan halaman
pada layar TV berbeda dengan layar komputer, sehingga
memerlukan penyesuaian lagi atas berbagai konten HTML yang
tersedia pada jaringan internet.
Aplikasi DVB-Java juga disebut dengan istilah Xlet, karena
konsepnya mirip dengan Java aplet, yaitu kode-kode yang
dipindahkan melalui jaringan dan dieksekusi pada browser lokal.
Untuk aplikasi Xlet, application manager pada set-top box akan
mengatur eksekusinya. Keuntungan penggunaan Java adalah
karena sifatnya yang portabel, sehingga pengembang hanya perlu
menulis kode aplikasinya sekali, dan dapat dieksekusi di semua
jenis terminal dan tidak tergantung dengan sistem operasi dan
konfigurasi hardware yang digunakan. Kelemahan HTML juga
teratasi karena Java memungkinkan komputasi lokal yang
menunjang berbagai interaksi tingkat lanjut dan pengaturan grafik
yang lebih optimal dalam perancangan user interface, navigasi,
penyusunan dan pemindahan konten.
Dikarenakan penggunaan TV dan komputer personal sangatlah
berbeda, pengembang aplikasi pada set-top box harus
mempertimbangkan beberapa kendala dan kriteria dalam hal:
ukuran layar, kompleksitas peng-input-an data melalui remote
control, konteks data dengan isi program TV, dan tentu saja
keterbatasan sumber daya dari set-top box dan jaringan TV seperti
memori, media penyimpanan, latency dan bandwidth. Kendala-
kendala di atas memberikan tantangan untuk pengembang-
pengembang yang inovatif. Untuk melatih penggunaan MHP,
pembaca dapat mencoba software OpenMHP yang merupakan
proyek open-source untuk lingkungan pengembangan aplikasi
berbasis MHP [OpenMHP].
6.4 Model Konverjensi Teknologi Informasi dan Komunikasi
Kita telah menyaksikan bagaimana teknologi yang tersedia pada
sistem TV digital memungkinkan pengembangan layanan-layanan
interaktif berbasis multimedia, dan berpotensi tumpang tindih
dengan layanan pada media komunikasi lainnya. Selain itu, kita
juga dapat menyaksikan bahwa konten dari TV digital dalam bentuk
MPEG transport stream tidak harus selalu dikirimkan melalui media
penyiaran (broadcasting), namun dapat dikirimkan melalui media
komunikasi lainnya. Konverjensi pada teknologi informasi dan
komunikasi ini merupakan fenomena yang memerlukan kajian
tersendiri dikarenakan besarnya peranan pasar dan regulasi, selain
teknologi, yang mempengaruhi arah perkembangannya. Untuk itu,
sub-bab ini akan membahas model konverjensi teknologi informasi
dan komunikasi yang dapat dijadikan acuan bagi para pelaku
industri TV digital.
Pada paparan sebelumnya, konverjensi hanya dilihat dari aspek
teknologi, di mana digitalisasi memungkinkan perpindahan konten
dalam bentuk multimedia. Namun, pengertian konverjensi sendiri
amatlah luas dan belum ada suatu standar definisi yang baku.
Selama ini konverjensi dapat dilihat dari berbagai sudut pandang
yang berbeda tergantung kepentingannya.
Definisi yang cukup generik diberikan oleh ITU (International
Telecommunication Union) yang mengartikan konverjensi sebagai
kemampuan untuk mengintegrasikan teknologi, pasar, kebijakan
dan regulasi yang sebelumnya didefinisikan pada struktur industri
yang terpisah. ITU juga mengaitkan konverjensi dengan proses
globabalisasi konten dan layanan teknologi informasi dan
komunikasi.
Untuk melihat faktor-faktor pendorong konverjensi, konsep yang
merujuk pada network ekonomi dapat dijadikan rujukan. Pada
konsep ini, keluaran yang dilihat adalah nilai tambah ekonomi,
dengan menempatkan teknologi, kebijakan dan kondisi pasar
sebagai masukan. Ketiga masukan di atas dapat dianggap sebagai
peluang ekonomi yang harus diimplementasikan menjadi suatu
aplikasi, layanan dan regulasi yang efektif, sebagaimana
ditunjukkan pada gambar 6.8. Adanya sinergi antara aplikasi,
layanan, dan regulasi yang efektif akan mendorong pertumbuhan
ekonomi yang nyata.
Dari ketiga faktor pendorong tersebut, tidak dapat ditentukan yang
mana yang lebih tepat untuk didahulukan. Semua itu kembali ke
G b 6 8 F k f k d k i j
Pasar Teknologi
Kebijakan
Aplikasi Layanan
Regulasi
Gambar 6.8. Faktor-faktor pendorong konverjensi menuju
pertumbuhan ekonomi. Sumber: [Henten,2002].
strategi yang diterapkan pada tiap negara. Dapat saja
perkembangan teknologi yang pesat menciptakan berbagai aplikasi
yang direspon dengan cepat oleh pasar, sebelum regulasi yang
diperlukan berjalan, namun dapat juga regulator yang proaktif untuk
membuat berbagai regulasi lebih dahulu sebagai antisipasi
perkembangan teknologi yang diikuti oleh minat investasi.
Pendekatan awal melalui regulasi lebih banyak dilakukan di negara-
negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat,
yang selain menata regulasinya, juga untuk menarik minat investasi
dan menstimulasi berbagai aktivitas ekonomi.
Dari beberapa model konverjensi TIK yang ada, semuanya terlihat
menuju ke suatu model yang hampir serupa didasarkan atas
konsep di atas. Perbedaannya adalah dalam bagaimana
implementasi model yang mirip itu pada klasifikasi industri yang
diinginkan. Perbedaan ini secara umum disesuaikan dengan
kondisi pihak-pihak yang merancang dan mengimplementasikan
model konverjensi itu sendiri.
Dalam mengklasifikasikan suatu industri dalam menuju
konverjensi, umumnya mengacu ke model pada gambar 6.9. Pada
model ini, sektor industri yang dipilih adalah penyiaran
(broadcasting), telekomunikasi (telecommunication), teknologi
informasi (information technology) dan berita (media). Terlihat
bahwa konverjensi dapat terjadi antar industri (konverjensi
horisontal) ataupun antarlevel yang berbeda pada satu industri
(konverjensi vertikal atau konglomerasi). Namun, tidak tertutup
pula kemungkinan disintegrasi (divergence), di mana terjadi
pemisahan aktivitas oleh pelaku tertentu pada satu industri, dalam
rangka efisiensi kerja dan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang
lebih optimal.
Salah satu model untuk kondisi negara kita adalah yang diusulkan
oleh Masyarakat Telekomunikasi negara kita , yang pada dasarnya
selaras dengan konverjensi rantai nilai pada gambar 6.9. Mastel
memilah industri teknologi informasi dan komunikasi ke segmen-
segmen sebagaimana ditunjukkan pada gambar 6.10. Pembagian
segmen-segmen tersebut adalah sebagai berikut:
- Segmen industri yang masuk ke blok content adalah industri
pencipta/penyedia isi (content generator) dan pengintegrasi
isi (content packager).
- Segmen industri yang masuk ke blok service adalah industri
penyedia jasa (service provider) seperti penyedia jasa konten
dan penyedia jasa aplikasi.
- Segmen industri yang masuk ke blok infrastruktur adalah
penyedia jasa jaringan (network service provider) dan
penyedia fasilitas jaringan (network facilities provider-NFP).
- Segmen industri yang masuk ke blok terminal adalah industri
perangkat yang akan digunakan atau terkait langsung dengan
konsumen.
Dari masing-masing segmen industri ini seperti penyiaran,
telekomunikasi, teknologi informasi dan lainnya tentunya harus
dikelompokkan menjadi segmen yang sesuai dengan segmen yang
ada. Seperti misalnya, semua industri penyedia isi di industri
telekomunikasi, penyiaran, teknologi informasi dan lainnya harus
dikelompokkan ke segmen ini. Sehingga tidak ada lagi suatu industri
menguasi semua segmen yang ada.
Namun, dengan pembagian ke dalam segmen-segmen ini semua
industri yang ada tersebut harus dapat saling bersinerji untuk
memberikan yang terbaik bagi konsumen. Permasalahan yang
ada sekarang adalah satu industri pada umumnya menguasai
semua aktivitas dari hulu ke hilir. Kondisi seperti ini menyebabkan
beberapa hal, antara lain:
Gambar 6.9. Konverjensi pada rantai nilai (value chain) industri
teknologi informasi dan komunikasi. Sumber: [Henten,2002].
O Menyulitkan pemain baru untuk ikut bersaing dalam bisnis
yang sama terutama dalam biaya investasi, infrastruktur,
menggaet konsumen dan lain-lain.
O Menghambat penetrasi penggunaan aplikasi teknologi
informasi dan komunikasi yang sangat dibutuhkan pada
saat ini.
O Menghambat tumbuhnya inovasi-inovasi baru di bidang
teknologi informasi dan komunikasi.
Dari penjelasan model konverjensi tersebut, terlihat bahwa sistem
TV digital memiliki peranan yang cukup besar. Berbagai teknologi
dan model usaha pada sistem TV digital yang telah dijelaskan
sebelumnya, memungkinkan pembagian segmen industri seperti
pada model konverjensi di atas, dan dapat memberikan nilai
tambah ekonomi untuk tiap transisi antarsegmen sebelum
mencapai konsumen.
6.4.1. Problem Regulasi
Untuk tercapainya berbagai layanan yang bersifat konverjensi,
diperlukan suatu pemetaan atas regulasi-regulasi yang ada.
Beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah turunannya
Gambar 6.10. Segmen-segmen industri Teknologi Informasi
dan Komunikasi versi Masyarakat Telekomunikasi negara kita .
Sumber: [Mastel, 2005].
yang terkait dengan teknologi informasi dan komunikasi adalah
sbb.:
- UU Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
- UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
- PP Nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan
Telekomunikasi.
- PP Nomor 53 tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum
Frekuensi Radio dan Orbit Satelit.
- PP Nomor 49 tahun 2005 tentang Pedoman Kegiatan
Peliputan Lembaga Penyiaran Asing.
- PP Nomor 50 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran
Lembaga Penyiaran Swasta.
- PP Nomor 51 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran
Lembaga Penyiaran Komunitas.
- PP Nomor 52 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran
Lembaga Penyiaran Berlangganan.
Selain regulasi yang spesifik telekomunikasi dan penyiaran,
terdapat rencana regulasi yang masih dalam bentuk rancangan
undang-undang yaitu RUU tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE).
Dapat terlihat bahwa telah disusun suatu regulasi untuk tiap sektor
industri. Namun, perlu dikaji dampak berbagai konverjensi yang
telah dijelaskan, dan apakah terjadi tumpang tindih atau kerancuan
di antara regulasi yang ada.
Secara tradisional, regulasi penyiaran biasanya ada pada kerangka
kerja regulasi layanan radio dan TV. Namun, dengan adanya
konverjensi diperlukan suatu regulasi baru ataupun penyelarasan
atas regulasi-regulasi yang telah ada. Sebagai contoh, apakah
penyediaan fitur interaktif pada layanan TV diatur pada regulasi
penyiaran atau telekomunikasi, dan bagaimana pula dengan
penyiaran TV melalui infrastruktur telekomunikasi pita lebar.
Penyelarasan regulasi tiap sektor ataupun penyusunan regulasi
super yang memayungi konverjensi antarsektor memerlukan kajian
lebih lanjut, agar keberadaan teknologi TV digital dengan berbagai
keuntungan yang ditawarkan dapat segera dimanfaatkan.
PPerkembangan TV
Digital di Dunia
BAB 7
erkembangan sistem penyiaran TV digital di sebagian besar
negara di dunia dalam beberapa tahun terakhir ini
berlangsung begitu cepat. Beberapa negara bahkan telah
Banyak perhatian dan biaya dicurahkan negara-negara itu untuk
mempercepat proses perkembangan TV digital, walaupun masing-
masing negara memiliki alasan berbeda tentang tujuan migrasi.
Namun paling tidak ada beberapa kesamaan alasan yang
mendasari langkah mereka itu. Antara lain: efisiensi daya
pemancar dan efisiensi dalam penggunaan pita frekuensi
(bandwidth), peningkatan kualitas gambar dan suara, sinyal TV
digital dapat ditangkap dalam keadaan TV bergerak (mobile),
peluang terbuka untuk konvergensi dengan aplikasi lain (telepon
selular dan komputer), layanan multimedia, TV interaktif, TV on
demand.
melakukan atau sedang dalam persiapan untuk mematikan secara
total (switch off) TV analognya. Belanda telah melakukan switch
off pada 11 Desember 2006. Inggris akan melakukan switch off
TV analog secara bertahap. Kongres Amerika Serikat telah
memberikan mandat untuk menghentikan siaran TV analog secara
total 2009, begitu pula Jepang (2011). Negara-negara Eropa lainnya
dan Asia juga akan mengikuti migrasi total itu.
Dalam bab ini dibahas perkembangan TV digital di beberapa
negara, yang dikelompokkan berdasarkan kategori negara maju,
kelompok negara berkembang, dan kelompok negara yang
mengembangkan sendiri teknologi TV digitalnya.
7.1. Perkembangan TV Digital di negara-negara maju
Sebagian besar negara maju di dunia telah melakukan migrasi
siaran TV dari analog ke digital. Bahkan ada beberapa yang sudah
selesai melakukan cut off analog atau paling tidak sudah
menentukan secara resmi kapan waktu penghentian siaran
analog.
7.1.1. Perkembangan TV Digital di Inggris
Inggris memperkenalkan siaran digital terestrial dengan standar
DVB-T sejak 1996, ketika pemerintah secara resmi
mengumumkan pemberian lisensi untuk multiplex. Pada
November 1998 sebuah stasiun TV mengudara dengan sistem
tersebut yang diyakini merupakan siaran digital komersial pertama
di dunia. Saat ini teknologi HDTV (High Definition Television)
sedang diuji coba oleh beberapa stasiun penyiaran seperti BBC,
ITV, Channel 4 dan Channel Five yang sudah mulai dapat dinikmati
di beberapa kota. Uji coba DVB-H (Digital Video Broadcasting –
Handheld) juga sudah dilakukan khususnya di Kota Oxford yang
dilakukan oleh operator seluler O2 dan broadcaster Arqiva.
Di akhir September 2006 populasi pemirsa DVB-T telah mencapai
73%, dan tahun 2007 sudah berada dalam tahap persiapan swich
off TV analog secara bertahap dari satu wilayah ke wilayah lainnya.
Namun pemerintah mensyaratkan paling tidak dua kriteria untuk
dapat dilakukan
switch off. Kriteria pertama availability; setiap
orang yang sudah memperoleh layanan publik berupa siaran TV
analog, harus dapat menerima siaran dalam format digital. Kriteria
kedua: affordability; migrasi ke digital harus memberikan pilihan
yang berguna kepada masyarakat luas.
Office of Communications (Ofcom) – lembaga independen yang
mengelola regulasi dan kompetisi untuk industri komunikasi di
Inggris – telah menetapkan dimulainya Digital Dividend Review
(DDR), berupa pengujian terhadap sisa spektrum yang ditimbulkan
akibat migrasi ke digital. Migrasi penyiaran digital akan
menggunakan spektum 6 kali lebih hemat dibanding penggunaan
spektrum analog. Hal ini membuat pemerintah dan para pelaku
industri penyiaran publik terus melakukan sosialisasi TV digital
kepada masyarakat, agar proses migrasi berlangsung dengan
sukses.
Periode Perkembangan Migrasi TV Analog ke TV Digital di UK
Oktober 1996 Pemerintah mengumumkan pemberian lisensi untuk
multiplex
Desember 1997 British Digital Broadcasting (kemudian menjadi Ondigital dan
ITV Digital) memperoleh tiga izin penyelenggaraan layanan
TV digital
November 1998 Ondigital diluncurkan, menjadi lembaga penyiaran TV
digital pertama di Inggris, bahkan di dunia
Mei 1999 STB (Set-top box) dibagikan bebas untuk waktu terbatas
September
2000
Ondigital membawa internet ke dalam TV
Desember 2000 Tercapai satu juta pelanggan
Maret 2002 STB untuk pertama kali tersedia di pasar dengan harga
retail di bawah 100 poundsterling
Juli 2002 Tiga lisensi multiplex lain diberikan kepada konsorsium
BBC (yang sudah memiliki satu izin layanan multiplex) dan
Crown Castle
Maret 2004 Harga STB sudah mencapai di bawah 40 poundsterling
Februari 2005 Uji coba layanan HDTV dan DVB-H
September 2006 Populasi DVB-T telah mencapai 73% dari seluruh pemirsa
TV
[Sumber: Dari beberapa sumber]
Tabel 7.1: Perkembangan TV Digital di Inggris
Kondisi pasar
Saat ini paling tidak ada 5 penyedia layanan TV analog untuk publik
(Public service broadcaster - PSB) di Inggis dengan pelanggan
sekitar 24,5 juta yang siap melakukan migrasi menuju TV digital.
Model Bisnis TV Digital
Sejak pemberian lisensi penyelenggaraan multiplex, yang dibatasi
6 operator dan jumlah kanal per multiplex sebanyak 4-8 channel,
pemerintah telah berperan besar terhadap terjadinya model bisnis
TV digital berbasis pay TV dan free to air (FTA).
Keenam operator multiplex tersebut, baik yang dimiliki pemerintah
maupun swasta, telah berhasil membuktikan bahwa mereka
mampu memberikan layanan yang optimal kepada para pelanggan
dan terus berusaha untuk meningkatkan kualitas layanannya.
g
Channel analog terestrial (nasional) 5
Public service broadcaster (PSB) BBC
PSB analog (nasional) 5
Jumlah pelanggan TV 24,5 juta
Jumlah pelanggan TV khusus Terestrial 14,1 juta
Jumlah pelanggan TV kabel 3,4 juta
Jumlah pelanggan DTH TV 7 juta
(sumber: dari beberapa sumber)
Tabel 7.2: Pasar TV Analog
Jumlah penyedia Multiplex 6
Jumlah Channels per multiplex 4–8
Assignment mechanism Per multiplex
Business model Pay-TV, FTA sejak 2002
Target Jumlah Transmitter sites untuk DTV 1154 sites
Tabel 7.3: Pemberian izin TV Digital
Pemberian izin kepada enam operator membuat model
penyelenggaraan penyiaran TV digital di Inggris berbeda dengan
era penyiaran analog, yang bisa dikelompokkan jenis penyiaran
berdasar content serta efisiensi penggunaan bandwidth.
Produksi conten (content production) merupakan pengeluaran
yang paling dominan untuk broadcaster. Pada 2003, berdasarkan
perhitungan Ofcom, lima penyedia siaran analog telah
memberikan pendapatan sekitar £ 4.9 milyar, dari jumlah itu £ 2.9
milyar telah dikeluarkan untuk memproduksi konten. Ofcom juga
Multiplex Operator sebelum 1 Mei 2002 Operator sesudah 1 Mei 2002
1 BBC
2 Digital 3 & 4 (untuk ITV & Channel 4)
A SDN (swasta dengan izin untuk multiplex)
B ITV Digital BBC
C ITV Digital Crown Castle
D ITV Digital Crown Castle
Tabel 7.4: Operator multiplex
NTL CROWN CASTLE
SDN (A);
Dig 3&4 (2)
Network Operator
MUX Operator
Content
(Channels)
Subscription Advertising Public Funds
Top Up TV
(Pay TV)
FTA Channels
ITV, Sky, UKTV, etc
BBC
Channels
BBC
(1 & B)
Crown
Castle
(C & D)
Gambar 7.1: Model penyelenggaraan TV Digital Terestrial di Inggris
telah mengusulkan program digital switch over, dimulai 2008 dan
selesai sekitar 2012.
TV Digital Mobile & Interaktif
Walaupun masih terbatas popularitasnya, solusi ITV digital telah
menawarkan layanan interaktif yang lebih bervariasi seperti internet
access, email, sport interactivity. Dengan layanan sport
interactivity penonton dapat memperoleh data statistik selama
pertandingan sepak bola, skor pertandingan lainnya dan
berpartisipasi dalam berbagai kuis dan kompetisi interaktif.
Parameter Teknik
Untuk memperoleh efisiensi yang tinggi, pemerintah bekerja sama
dengan masing-masing lembaga penyiaran telah memutuskan
untuk menentukan beberapa parameter teknik yang digunakan
dalam implementasi TV digital.(Tabel 7.7)
Switch over digital
Sejak TV digital diperkenalkan pada 1998, pertumbuhan jumlah
konsumennya sangat tinggi. Hal itu antara lain karena tidak
Layanan Lembaga Penyiaran
Free to Air BBC1, BBC2, BBC3, BBC4, ITV1, ITV2, Channel 4, Five, ftn, Sky Travel,
UKTV Bright Ideas, UKTV History, Cbeebies, CBBC, The Hits, BBC News
24, BBC Parliament, Sky News, Sky Sports News, ITV News, Community
Channel QVC, Ideal World, Bid-up TV, Price-Drop TV, Screenshop, ABC1
(since September 2004)
Top Up TV
(Pay-TV)
E4, UKTV Gold, UKTV Style, Discovery, Discovery Home & Leisure, TCM,
Boomerang, Cartoon Network, Bloomberg, Television X: The Fantasy
Channel
Layanan
terprogram
ITV3 (November 2004), More 4 (2005)
Radio BBC Radio 1, 1Xtra, Radio 2, Radio 3, Radio 4, Five Live, Five Live
Sports Extra, Radio 6 Music, Radio 7, BBC Asian Network, BBC World
Service, The Hits Radio, Smash Hits Radio, Kiss, Heat, Magic, Q,
Oneword, Jazz FM, Mojo, Kerrang!, talkSport, 3c, Premier
Tabel 7.5: TV Digital di Inggris berdasarkan jenis Layanan
diperlukan lagi antena parabola, sebagaimana mutlak diperlukan
pada DTH, dan kabel coaxial pada TV kabel. Proyeksi Ofcom
mengindikasikan bahwa jumlah rumah tangga yang memiliki
pesawat penerima TV digital akan naik 7-8 juta sampai akhir 2010.
Ofcom juga merekomendasikan rencana switch over secara
regional seperti di Jerman. Diyakini bahwa dengan mengumumkan
tanggal switch over akan mempercepat pertumbuhan TV digital.
Switch over juga memungkinkan peningkatan level power
transmitter pada siaran digital tanpa meningkatkan risiko
interferensi terhadap sinyal TV analog.
7.1.2. Perkembangan TV Digital di Jerman
Jerman mengawali siaran TV digital terestrial dengan standar
DVB-T pada 2002. Migrasi ke digital dilakukan secara bertahap
dari daerah satu ke daerah lainnya dengan periode waktu transisi
yang cukup pendek. Bahkan di Berlin siaran analog sudah
dimatikan pada Agustus 2003 dan sudah terdapat 28 program
siaran digital dengan 7 kelompok multiplex. Sedangkan uji coba
DVB-H telah dimulai sejak 2005 di beberapa kota besar seperti
Berlin, Hamburg, Hannover, Munich dan beberapa kota besar di
Jerman bagian utara. Sistem DVB-H sedang dipersiapkan untuk
diluncurkan secara komersial tahun 2007.
Parameter Detail
Tipe Modulasi 16QAM untuk multiplex 1, B, C dan D
64QAM untuk multiplex 2 dan A
Tipe Jaringan national MFN
Channel bandwidth 8MHz pada UHF band
Mode carrier Saat ini 2k, akan dirubah menjadi 8k pada 2012
FEC (redundancy) 3/4 untuk 16QAM, 2/3 untuk 64QAM
Guard interval 1/32
Transmitter ERP 20kW (max.)
Cakupan saat ini Sekitar 80% untuk BBC multiplex (1 & 2); 73%
untuk semua multiplex
Target cakupan 98.5% Digital TV Terrestial coverage dari 3
multiplex Lembaga Penyiaran Publik (1, 2 dan B)
Tabel 7.6: Parameter Teknik
abe e e ba ga g a
Tanggal Perkembangan Migrasi ke TV Digital di Jerman
Agustus 1997
Uji coba pengoperasian Digital TV Terrestrial (DTT) dimulai
dengan SFN network dalam suatu pilot project oleh
Deutsche Telekom, MABB dan SFB; Uji coba lainnya
dilakukan di bagian utara Jerman dan Bavaria.
17 Desember
1997
Dibentuk ‘Digital Broadcasting’ Initiative oleh kabinet untuk
mengelaborasi strategi yang dapat mendukung
terbentuknya siaran digital.
July 2001 MABB mengumumkan peraturan tentang DTT
17 Desember
2001
MABB’s board (media council) memutuskan untuk
mendukung secara finansial proses switch over ke DTT
13 February 2002
MABB, ARD, ORB, SFB, ZDF, ProSiebenSAT.1 dan RTL
mengadakan perjanjian mengenai detail switch-over ke DTT
di area Berlin-Brandenburg
Oktober 2002
Regulatory Authority for Telecommunications and Posts
(RegTP) mengalokasikan frekuensi yang diminta oleh MABB
untuk kepentingan pemerintah Berlin dan Brandenburg
28 February 2003
Transmisi analog untuk semua TV komersial siaran nasional
diakhiri.; TV layanan publik yang menggunakan high-power
frequencies (kecuali untuk channel 39) telah diubah menjadi
siaran digital; Program-program layanan publik diubah menjadi
kanal analog yang menggunakan power lebih rendah.
4 Agustus 2003 Transmisi TV analog terestrial di Berlin-Brandenburg diakhiri
Mei 2004
DTT dimulai di Cologne Bonn, Bremen/Unterweser dan
daerah-daerah Hannover/Braunschweig
November 2004 DTT dimulai di North Rhine-Westphalia
Mei 2005
Diluncurkan di Leipzig/Halle, Erfurt/Weimar dan Bavaria
(Munich / Nuremberg)
Januari 2006 Diluncurkan di Stuttgart Mannheim/Heidelberg/Ludwigshafen
Maret 2007 DTT telah diluncurkan di Lüneburger Heide dan Wendland
April 2007
Regulator media untuk daerah Baden-Wuerttemberg, LFK,
bersama dengan regulator media daerah lainnya
menyiapkan prosedur yang diperlukan untuk melakukan
seleksi terhadap penyedia layanan DVB-H.
Semua kandidat dapat mengajukan permintaan izin
penyelenggaraan DVB-H nasional, yang memungkinkan
penyelenggaraan sampai 16 program siaran TV dan radio.
Applikasi harus dikirim kepada LFK pada 13 April 2007.
[Sumber: Dari beberapa sumber]
Tabel 7.7: Perkembangan TV Digital
Proses Migrasi
Perkembangan migrasi TV analog ke digital di Jerman dimulai
1997, ketika dilakukan uji coba oleh Deutsche Telekom, MABB
dan SFB. Uji coba lainnya dilakukan di bagian utara Jerman dan
Bavaria. Sejak saat itu Jerman memberikan perhatian sangat besar
bagi migrasi TV analog ke digital. Bahkan sampai pada akhir 2006
hampir seluruh pemirsa TV di kota-kota besar Jerman sudah dapat
menikmati layanan TV digital berbasis teknologi DVB-T.
Kondisi pasar siaran TV
Saat ini paling tidak terdapat 5 penyedia layanan TV analog untuk
publik di Jerman dengan total channel sekitar 12, dengan
pelanggan sekitar 36,2 juta yang siap melakukan migrasi menuju
era siaran TV digital.
Model Bisnis TV Digital
Sejak memberikan lisensi penyelenggaraan multiplex – dengan
pembatasan jumlah penyedia multiplex sebanyak 5-7 operator di
tiap kota dan jumlah channel per multiplex sebanyak 4-5 –,
Pemerintah Jerman memiliki peran besar dalam perubahan model
bisnis TV digital berbasis FTA.
g
Jumlah channel analog terrestrial 3–12
Public service broadcaster (PSB) ARD, ZDF
Jumlah PSB channel analog 2–5
Rumah Tangga pelanggan TV 36.2 juta
Pelanggan TV Terrestrial 2.6 juta
Pelanggan Cable TV Kabel 20.6 juta
Pelanggan TV Digital Terrestrial 13 juta
Tabel 7.8: Pasar TV Analog di Jerman
(sumber: dari beberapa sumber)
Ketujuh operator multiplex tersebut (Berlin) telah berhasil
memberikan layanan yang optimal kepada para pelanggannya.
Untuk dua operator multiplex telah ditetapkan channel secara
individual, sementara lima operator multiplex lainnya kanal dipilih
sendiri oleh operator multiplex tersebut.
TV Digital portable & Mobile
Terjadinya kombinasi layanan antara digital TV dan jaringan
komunikasi mobile, misalnya yang disediakan oleh Vodafone, telah
memberikan solusi TV digital yang lebih bervariasi. Aplikasi DVB-
Berlin Bremen /
Unterweser
Hannover Cologne/
Bonn
Jumlah operator multiplex 7 5 - 7 5 6
Jumlah channels per multiplex 4 4 – 5 4 4
Mekanisme penunjukkan Per multiplex dan per channel
Business model FTA (Free to Air)
Tabel 7.9: Pemberian izin/lisensi TV Digital di Jerman
NETWORK OPERATOR
T SYSTEM
Transmission Charge
Regulated by Reg TP
Major Broadcaster receives
a multiplex each
Public Funds (&
Some Advert.)
CSB mux’s
RTL, Pro 7
PSB mux’s
ARD, ZDF,
RBB
Other Channels
BBC, etc
Advertising + MABB Subsidy
Gambar 7.2: Model penyelenggaraan TV Digital Terestrial di Jerman
T portable dapat dinikmati pelanggan di rumah dan DVB-H mampu
memberikan layanan bergerak untuk pelanggan yang sedang
dalam perjalanan.
Parameter Teknik TV Digital
Pemerintah Jerman dan para broadcaster bersama-sama telah
menentukan parameter teknik yang digunakan dalam
implementasi TV digital.( Tabel 7.10)
Switch over digital
Proses switch over secara regional pada perioda simulcast diyakini
dapat memberikan keseimbangan antara kebutuhan biaya siaran
dari sebagian besar operator TV dan ketersediaan spektrum pita
frekuensi UHF. Sebab kanal UHF di Jerman telah digunakan secara
intensif dan hampir semua kanal sudah terisi penuh. Hal ini
menyebabkan hampir tidak mungkin lagi dilakukan simulcast
dengan jumlah multiplex yang banyak. Switch off analog yang
sudah, sedang atau akan dilakukan di masing-masing daerah
secara regional diperkirakan akan selesai secara nasional pada
tahun 2010.
Parameter Detail
Jumlah multiplex 4 operator
Tipe Modulasi 16QAM
Tipe Network SFN dalam area yang kecil, beberapa area MFN
Channel BW 8MHz UHF & 7MHz VHF
FEC 2/3 & 3/4 (redundancy)
Guard interval 1/8
Transmitter ERP 10kW VHF, 120kW UHF (maksimum)
Midleware Akan diadopsi MHP (Multimedia Home Platform)
Cakupan saat ini Mendekati angka 100% di Berlin-Brandenburg; 44% dari seluruh
rumah tangga secara nasional
Target cakupan 100% di Berlin-Brandenburg; 55% dari seluruh rumah tangga secara
nasional di tahun 2005
Tabel 7.10: Layanan TV Digital
7.1.3. Perkembangan TV Digital di Belanda
Digitienne operator multiplex TV digital terestrial (Digital Terrestrial
TV— DTT) yang sudah mengantongi izin selama 15 tahun sejak
2002 dari Kementerian Ekonomi – lembaga pemerintah yang
memiliki kewenangan pemberian izin – pada awalnya mengalami
kesulitan untuk mendapatkan pelanggan. Karena sebagian besar
(92 %) rumah tangga di Belanda sudah merasa nyaman
berlangganan televisi kabel analog. Sementara itu operator TV
kabel digital dan TV Satelit DTH (Direct to Home) juga mengalami
kegagalan karena selama beberapa tahun beroperasi hanya
mendapatkan sekitar 100.000 pelanggan untuk TV kabel digital
dan sekitar 400.000 untuk DTH.
Untuk mengatasi hal tersebut, Digitienne berupaya mendapatkan
pelanggan dengan terus memberikan informasi tawaran kelebihan
layanannya, seperti penerimaan portable, di samping kelebihan
lainnya dalam hal inovasi teknologi digital terestrial.
Proses Migrasi TV Digital
Belanda merupakan salah satu negara yang sangat cepat dalam
melakukan proses migrasi siaran TV analog ke digital. Dalam
waktu hanya empat tahun, telah dilakukan persiapan, uji coba
sampai implementasi siaran DTT. (Tabel 7.12)
Kondisi pasar siaran TV
Saat ini kondisi pasar TV digital di Belanda cukup kondusif, yang
diramaikan oleh lima operator multiplex termasuk satu penyedia
layanan TV untuk publik yang sebelumnya memiliki 3 kanal analog
dengan pelanggan sekitar 6,7 juta.
Model Bisnis TV Digital
Terdapat 5 operator multiplex, 4 operator di antaranya berada di
bawah bendera Digitienne, satu sisanya di bawah NOS yang
merupakan satu-satunya lembaga PSB di Belanda. (Tabel 7.13)
p p g g
Tanggal Perkembangan DTT di Belanda
Agustus 2001 Pendirian Digitienne
Januari 2002 Digitienne mendapat izin sebagai operator DTT
April 2003 Peluncuran DTT pada tanggal 23 April 2007
Januari 2004 Digitienne diperkirakan telah memiliki 40.000 pelanggan
Mei 2004 Peningkatan cakupan layanan menjadi 2,7 juta pelanggan di rumah di
sekitar Amsterdam, Den Haag dan Utrecht
November 2004 Peningkatan cakupan layanan menjadi sekitar 3 juta pelanggan
termasuk di daerah Rotterdam
Desember 2005 Operator Telekomunikasi KPN mengakuisisi 100% saham operator
jaringan penyiaran Nosema yang memiliki 40% saham di Digitienne,
untuk mengembangkan siaran berbasis DVB-H.
11 November
2006
Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melakukan analog
switch off menuju siaran TV digital
Maret 2007 KPN yang memiliki izin operasi DVB-H, mengundang seluruh
broadcaster di Belanda untuk berpartisipasi dalam siaran DVB-H.
[Sumber: Analysys, DVB.org]
Tabel 7.11: Tahap perkembangan TV Digital
Jumlah channel analog terrestrial 3 channel
Public Service Broadcaster (PSB) NOS
Jumlah PSB channel analogue 3 channel
Jumlah penduduk 16.1 juta (UN 2003)
Pelanggan TV 6.700.000
TV Terestrial 100.000
Pelanggan TV kabel 6.200.000
Pelanggan DTH TV 500.000
[Sumber: DVB.org]
Tabel 7.12: Kondisi pasar siaran TV di Belanda
Model bisnis TV digital yang diselenggarakan oleh Digitienne
berbentuk pay-TV. Pelanggan dapat menikmati sekitar 25 program
siaran dengan membayar uang langganan bulanan. Cara ini
mudah diterima pelanggan TV di Belanda, karena mereka sudah
terbiasa menyisihkan sebagian dari penghasilan bulanannya untuk
membayar iuran TV kabel. Selama ini pelanggan TV kabel biasanya
dapat menikmati sekitar 30 program siaran.
Dalam layanan TV digital penonton dapat memperoleh pilihan
kombinasi program siaran antara paket program basic dan paket
premium, di samping tambahan program siaran FTA yang
disiarkan oleh lembaga layanan TV publik (PSB) NOS. Paket
program premium yang ditawarkan Canal+ sebanyak 3 kanal
memiliki tarif yang sama dengan siaran TV kabel. Tarif awal
langganan bulanan yang ditetapkan oleh Digitienne sekitar • (Euro)
8,95 per bulan untuk paket satu set TV, • 11,95 untuk dua set TV
dan •14.95 untuk tiga set TV. Sedangkan tarif langganan bulanan
beberapa operator TV kabel sekitar •11 per bulan.
Perkembangan ke arah era konvergensi antara telekomunikasi
dan penyiaran sudah mulai dapat dilihat di Belanda. Hal ini
tercermin dari diakuisisinya kepemilikan 100% saham operator
jaringan transmisi broadcast Nozema yang memiliki 40% saham
di Digitienne oleh operator Telecommunication KPN (Koninklijke
KPN N.V.). Nozema memegang lisensi izin operasi jaringan
transmisi TV digital, yang untuk operasinya memperoleh
kompensasi pembayaran dari Digitienne dan operator PSB NOS.
Dapat diprediksi bahwa perkembangan jaringan transmisi TV
digital ini akan disesuaikan dengan perkembangan jaringan
transmisi telekomunikasi milik KPN. Saat ini KPN berkembang
menjadi operator multimedia termasuk penyedia jaringan telepon
Jumlah operator multiplex 5 operator
Channel per multiplex 5-6 channel (dipilih oleh multiplex operator)
Mekanisme izin Per multiplex
Model Bisnis Pay-TV
[Sumber: DVB.org]
Tabel 7.13. Mekanisme pemberian izin siaran TV di Belanda
Free to Air (FTA) Paket Basic Paket Premium
Nederland 1
Nederland 2
Nederland 3
RTL4
RTL5
SBS6
Yorin
NET5
Veronica
Regio TV
Fox Kids
Nickelodeon
Discovery Channel
Animal Planet
National Geographic
Eurosport
MTV
TMF
CNN
BBC World
Spice Platinum
Canal+ Rood
Canal+ Blauw
Canal+ Geel
[Sumber: Digitienne]
Tabel 7.14: Penawaran siaran TV digital di Belanda
NETWORK OPERATOR
NOZEMA
Subscribers
DIGITIENNE
(Pay Platform)
PSB
NOS
Public Funds Advertising
Channels
(including
Cannal+)
Gambar 7.3: Model jaringan siaran TV digital di Belanda
tetap dan telepon selular, termasuk jaringan 2G dan 3G yang
beroperasi di Belanda, Jerman dan Belgia [www.kpn.com].
Calon pelanggan TV digital mudah mendapatkan STB yang dijual
di banyak toko pengecer. Harga STB berkisar • 149 sampai model
yang lebih mahal sekitar • 676. Harga tersebut sudah termasuk
conditional access system yang memungkinkan pelanggan
menonton program yang di-encrypt pada kanal program premium.
Harga STB di pasar Belanda lebih mahal dibanding di kawasan
Eropa lainnya.
Parameter Teknik TV Digital
Pemerintah Belanda dan para broadcaster bersama-sama
menentukan parameter teknik yang digunakan dalam
implementasi TV digital di negeri tersebut.(Tabel 7.16)
Perluasan penerimaan di dalam ruangan (indoor reception)
merupakan salah satu inovasi kunci di Belanda. Jaringan TV digital
dirancang untuk penerimaan indoor pada ground level dengan
cakupan sebesar 70% pada area yang diharapkan dapat dilakukan
Cakupan siaran saat ini 45% dari seluruh rumah tangga
Target cakupan siaran 100%
Tipe Modulasi 64QAM
Tipe network MFN dan local SFN
Transmitter power ERP 10kW (maximum)
Channel bandwidth 8MHz
Operation band UHF
FEC (redundancy) 2/3
Guard interval 1/8
Tipe carrier 8k
Penerimaan Tetap, portable dan mobile (DVB-H)
Midleware MHP (dalam perencanakan & uji coba)
[Sumber: DVB.org]
Tabel 7.15: Parameter teknik siaran TV digital di Belanda
penerimaan siaran TV, dan direncanakan 90-95% untuk
penerimaan di daerah yang padat penduduk. Peningkatan daerah
cakupan dilakukan dengan penambahan infrastruktur transmisi
baik dengan penambahan perangkat transmiter utama maupun
penambahan gap filler.
TV Digital Mobile
Sejak 2005 KPN yang memiliki izin operasi DVB-H, telah
mengundang seluruh broadcaster di Belanda untuk berpartisipasi
dalam siaran DVB-H. Ini dapat memberikan peluang bagi
diterimannya siaran TV secara mobile. Saat ini siaran DVB-H
sudah dapat dinikmati oleh sebagian besar pelanggan,
menggunakan pesawat penerima yang diproduksi oleh Samsung.
7.1.4. Perkembangan TV Digital di Perancis
Di Perancis, DVB-T telah ditetapkan sejak 2000 dan diperbaharui
tahun 2004. Lembaga otoritas regulasi penyiaran Perancis, CSA
(Conseil supérieur de l’audiovisuel) telah menetapkan dan
membagi siaran ke dalam 6 multiplex, untuk menyiarakan siaran
TV digital di seluruh Perancis. Transmisi MPEG4 SDTV telah
ditetapkan untuk dipergunakan oleh semua layanan komersial
TV digital, namun CSA juga telah mengizinkan TPS broadcast
untuk melakukan uji coba penerapan HDTV menggunakan sistem
kompresi MPEG-4.
CSA juga telah memberikan izin kepada 3 lembaga penyiaran yaitu
TDF, TPS dan Cannal + untuk melakukan uji coba DVB-H dan
satu broadcaster lainnya untuk melakukan uji coba T-DMB yang
semuannya dilakukan di Paris pada September 2005. Uji coba
DVB-H memberikan hasil yang cukup memuaskan karena dari
500 pengguna, 73% mengatakan puas dan lebih dari 65%
menyatakan akan berlangganan siaran DVB-H ini.
CSA juga telah memberikan izin kepada NRJ 12 untuk melakukan
uji coba MHP (Multimedia Home Platform). CSA juga melakukan
konsultasi publik untuk mengimplementasikan HDTV melalui
jaringan DVB-T. Dalam implementasi TV digital ini Pemerintah
telah menunjuk ART (Agence de Régulation des
Télécommunications) sebagai lembaga yang melaksanakan
perencanaan jaringan TV di Perancis.
Proses Migrasi TV Digital
Prospek pasar TV digital di Perancis sangat cerah karena jumlah
pemirsa TV sangat banyak yaitu sekitar 23,5 juta, jauh lebih banyak
dibanding Inggris misalnya. Di samping itu, akibat rendahnya
penetrasi layanan multikanal dari kabel TV dan DTH membuat
peluang TV digital menjadi sangat menarik. Walau negara ini
menganut sistem per-channel licensing yang dapat menghambat
implementasi TV digital, namun proses migrasi TV digital yang
dimulai pada awal Maret 2002 telah ditargetkan oleh pemerintah
untuk diselesaikan dalam waktu lima tahun.(Tabel 7.16)
Pada bulan Februari 2007 Majelis Nasional Perancis menyetujui
rancangan Undang-undang baru bernama “Télévision du Futur”
yang mengatakan bahwa switch off analog akan dilakukan per
daerah mulai 31 Maret 2008 dan selesai 30 Nov 2011. Mulai
Desember 2007 semua pesawat TV yang dijual harus dilengkapi
dengan tuner digital, televisi berformat HD akan dilengkapi dekoder
HD MPEG4 AVC mulai 1 Desember 2008.
Setelah switch off analog, layanan TV digital akan dapat dinikmati
oleh 95% penduduk dan 5% sisanya akan dapat mengakses siaran
yang sama melalui transmisi satelit yang disediakan oleh
pemerintah. Layanan satelit ini akan tersedia mulai Desember
2007. Penonton akan dapat memperoleh siaran dari 20 FTA dan
TV digital berbayar.
Kondisi pasar siaran TV
Di Perancis, TV berbayar telah diperkenalkan oleh Canal+ pada
1984. Setelah Canal+ ada dua operator DTH yaitu TPS dan Canal
Satellite, yang secara kolektif memiliki 4 juta pelanggan. Di
samping itu terdapat sekitar 3,75 juta pelanggan TV kabel, 1 juta
pelanggan di antaranya adalah pelanggan TV kabel melalui
sambungan DSL yang baru saja diluncurkan oleh beberapa
perusahaan seperti Neuf Telecom, Free, dan France Telecom yang
semuanya menyediakan siaran FTA sebagaimana yang dilakukan
juga oleh TPS dan Canal+.
Model Bisnis TV Digital
Saat ini di Perancis terdapat 5 operator multiplex, yang dalam
waktu dekat direncanakan bertambah menjadi 6. Masing-masing
multiplex dapat menyiarkan antara 5-6 channel yang izinnya
g g g
Tanggal Perkembangan migrasi TV Digital
Maret 2002 70 channel TV mengajukan izin layanan TV digital
Oktober
2002
CSA memilih 20 channel TV digital (untuk menambah channel analog
existing)
Juni 2004 Keputusan untuk DTT difinalisasi, switch off analog akan dilakukan 5
tahun setelah TV digital dimulai
Oktober
2004
Pemerintah mengeluarkan peraturan yang memberikan sinyal untuk
menggunakan teknologi MPEG2 bagi TV digital FTA (free to air)
Oktober
2004
Pemerintah mencabut kembali 6 izin yang telah dikeluarkan
16 Des 04 CSA membuka tender baru untuk 6 channel TV digital
28 Februari
2005
Hari terakhir untuk penerimaan aplikasi izin TV digital (dalam menanggapi
tender oleh CSA)
17 May 05 Penerbitan izin baru untuk 6 channel
Maret 2005 Peluncuran layanan TV digital FTA berbasis MPEG2
Nov 2005 Peluncuran TV digital berbayar (Pay Digital TV) berbasis MPEG4
Jan 2006 Sebanyak 1,73 juta STB terjual sepanjang 2005
Maret 2006 Hasil uji coba DVB-H diumumkan dengan hasil sangat memuaskan
Maret 2006 NRJ 12 broadcast mendapat izin untuk melakukan uji coba MHP
April 2006 CSA memberikan izin untuk melakukan uji coba HD digital TV secara
terbatas kepada 5 broadcaster untuk perioda 28 Mei-17Juli 2006
Mei 2006 Pemerintah melakukan proses konsultasi publik untuk melakukan
peninjauan dan amendmen terhadap UU penyiaran tahun 1986.
September
2006
Uji coba HD digital TV berbasis MPEG-4 secara terbatas tahap kedua oleh
7 broadcaster untuk perioda September 2006-Januari 2007
Feb 2007 Majelis Nasional Perancis menyetujui rancangan undang-undang baru
bernama Télévision du Futur yang menetapkanswitch off analog dilakukan
per daerah mulai 31 Maret 2008 dan selesai 30 Nov 2011. Mulai
Desember 2007 semua TV yang dijual harus dilengkapi dengan tuner
digital.
[Sumber: DVB.org]
Tabel 7.16: Perkembangan migrasi TV digital di Perancis
diberikan per channel. Terdapat 3 operator jaringan yaitu TDF,
Antalis dan Towercast yang dipilih oleh operator multiplex.
Pada saat peluncuran TV digital, direncanakan dapat diperoleh
siaran sebanyak 15 kanal ditambah saluran TV berbayar, dengan
target harga langganan sekitar •10 - •15 per bulan.
Dalam model bisnis siaran TV digital di Perancis, kanal siaran
FTA dan TV berbayar disalurkan melalui beberapa multiplex. Kanal-
kanal yang sama pada multiplex bekerja sama membentuk sebuah
operator multiplex. Secara umum CSA telah memberikan izin kanal
berdasarkan kedekatan hubungan (affinity) antarlembaga
penyiaran, dengan cara mengelompokkan kanal dari lembaga
penyiaran yang sama ke dalam multiplex yang sama.
Operator multiplex dapat memilih salah satu dari tiga operator
yang ada, yaitu TDF, Antalis dan Towercast. ART sebagai lembaga
p
Jumlah channel analog 6
PSB France Television
Jumlah kanal PSB analog 3
Populasi penduduk 60,1 juta
Pelanggan TV teresterial 23,5 juta
Pelanggan TV 15,7 juta
Pelanggan TV kabel 3.75 juta
Pelanggan DTH TV 4 juta
[Sumber: DVB.org]
Tabel 7.17: Kondisi pasar siaran TV di Perancis
p
Jumlah penyedia multiplex 5 sudah beroperasi, direncanakan 6
Jumlah channel per multiplex 5-6
Mekanisme pemberian izin Per channel
Model Bisnis Hybrid, FTA dan TV berbayar
[Sumber: Analysys]
Tabel 7.18: Mekanisme pemberian izin siaran TV di Perancis
yang melaksanakan perencanaan jaringan TV telah
mengidentifikasi site mana yang akan dipergunakan dalam
transmisi siaran. TDF sebagai penyedia jaringan televisi nasional
dalam kenyataanya dapat mengontrol pengopersian site transmisi
dalam jumlah besar, karena sebagian site tersebut saat ini berada
di bawah pengawasannya.
Di Perancis sempat terjadi debat panjang di kalangan stakeholder,
dalam rencana penggunaan standar kompresi MPEG2 atau
MPEG4.10. Pada akhirnya pemerintah memutuskan untuk
menggunakan MPEG2 pada TV digital FTA dan MPEG4.10 untuk
siaran TV digital berbayar.
Mulai awal 2005, para pelanggan TV digital dapat memperoleh
STB di pasaran dengan harga sekitar • 30 yang hanya dilengkapi
fungsi dasar (tidak ada fasilitas interaktif). STB dengan
kemampuan lebih lengkap akan mulai dipasarkan kemudian pada
saat pasar TV digital sudah benar-benar siap.
g
Free to Air (FTA) Pay-TV channels
TF1 AB1
M6 Comédie !
Canal+ Cuisine TV
France 2 Eurosport France
France 3 LCI
France 5 Match TV
Festival Paris Première
Arte TF6
La Chaîne parlementaire TPS Star
Direct 8
M6 Music
NRJ TV
NT1
TMC
[Sumber: CSA]
Tabel 7.19: Siaran TV digital di Perancis
Parameter Teknik TV Digital
CSA dan para broadcaster bersama-sama menentukan parameter
teknik yang digunakan dalam implementasi TV digital. (Tabel.20)
NETWORK OPERATOR
TDF, Antalis, Towercast
MULTIPLEX OPERATORS
For Multiplexes R1 to R6
Public Funds Advertising
Pay TV
Platform
FTA Channels Pay Channels
Subscribers
Gambar 7.4: Model jaringan siaran TV digital di Perancis [Sumber: Analysys]
Operational bands UHF
Tipe Carrier 8k
Guard Interval (GI) 1/32 kecuali mux R1 di Paris GI = 1/8
FEC 2/3 kecuali mux R1 di Paris FEC=3/4
Modulation 64QAM
Tipe Jaringan Sebagian besar MFN
Channel bandwidth 8 MHz
Compression MPEG-2 dengan MPEG-4pt.10 untuk Pay TV
Middleware MHP (dalam perencanaan & uji coba)
Layanan Tambahan HDTV, sedang diuji coba
[Sumber: DVB.org]
Tabel 7.20: Parameter teknik siaran TV digital di Perancis
TV Digital penerimaan bergerak
CSA telah memberikan persetujuan untuk uji coba siaran TV untuk
penerimaan bergerak. Ada empat program uji coba: tiga program
menggunakan DVB-H, satu menggunakan T-DMB. Uji coba yang
dipimpin oleh operator TDF menggunakan kanal 37 selama 9 bulan
dimulai 15 September 2005 dan kemudian dalam channel yang
sama dilakukan uji coba yang kedua dipimpin oleh TPS. Uji coba
yang ketiga dipimpin oleh Canal+ menggunakan channel 29
selama 9 bulan. Uji coba ini memberikan hasil yang cukup
memuaskan.
7.1.5. Perkembangan TV Digital di Denmark
Sejak 2002, TV digital sudah mulai dikembangkan di Denmark
dengan dimulainya layanan TV digital terestrial oleh lembaga
penyiaran publik DR, DR2 dan TV2 dalam satu multiplex. Pada
2006 daya cakupan TV digital ini hampir sama dengan cakupan
siaran TV analog. Para pelanggan dapat menikmati layanan
interaktif dalam format DVB-MHP. Pada 22 Juni 2005 pemerintah
Denmark telah mengumumkan pelaksanaan switch off TV analog
pada bulan Oktober 2009.
Uji coba DVB-H telah dilakukan oleh konsorsium PSB Denmarks
Radio, Nokia Corp dan Motorola yang dikoordinasi oleh the
Technical University of Denmark untuk mengirimkan siaran video
dan data melalui ponsel.
Kondisi pasar siaran TV
Dengan jumlah penduduk sekitar 5,5 juta dan populasi pelanggan
TV sebanyak 2,4 juta, Denmark merupakan negara yang memiliki
peluang cukup bagus untuk implementasi TV digital. Perincian
kondisi pasar siaran TV adalah sebagai berikut. (Tabel 7.21)
Parameter Teknik TV Digital
Pemerintah dan para broadcaster bersama-sama telah
menentukan parameter teknik yang digunakan dalam
implementasi TV digital. (Tabel 7.22)
Saat ini siaran TV digital masih bersifat basic, namun uji coba
MHP sedang dilakukan untuk persiapan siaran TV digital interaktif
di masa mendatang.
7.1.6. Perkembangan TV Digital di Australia
Di Australia telah diluncurkan Digital Action Plan pada 23
November 2006, dengan tujuan untuk memberikan panduan bagi
Australia untuk melakukan transisi ke televisi digital. Rencana aksi
yang diberi nama “Ready, Get Set, Go Digital” berisi garis besar
dalam melakukan langkah-langkah migrasi ke digital, termasuk
Tabel 7.21: Kondisi pasar siaran TV di Denmark
p
Jumlah Populasi penduduk 5.5 Juta (UN 2003)
Pelanggan TV terestrial 2.34 Juta (2002)
Pelanggan TV digital terestrial Sekitar 600.000
Pelanggan TV kabel analog Sekitar 1.3 juta
Pelanggan TV kabel digital Sekitar 60.000
Pelanggan Satelit Digital Sekitar 500.000
[Sumber: DVB.org]
Lembaga penyedia Multiplex Direncanakan 4, saat ini baru 1
Operational Band UHF
Tipe Carrier 8k
Guard Interval ¼
FEC 2/3
Tipe Modulasi 64QAM
Model Penerimaan TV SDTV
Tipe Network MFN dengan SFN
Transmitter ERP (maximum) 50kW
Middleware MHP
Channel bandwidth 8MHz
[Sumber: DVB.org]
Tabel 7.22: Parameter teknik siaran TV digital di Denmark
pembentukan badan khusus migrasi yang bernama “Digital
Australia”. Lembaga ini bertugas melakukan koordinasi dengan
pemerintah, kalangan industri, pabrikan, regulator dan konsumen
dalam persiapan migrasi.
Negara ini telah secara resmi menentukan standar DVB-T sejak
2001 dan switch off analog diharapkan dapat terjadi antara 2010
dan 2012. Pemerintah telah melakukan percobaan penyiaran digital
sejak 1998 dan di akhir Juni 2006 diperkirakan sudah lebih dari
1,74 juta digital TV receiver terjual atau sekitar 23% dari 7,6 juta
total populasi penduduk yang memiliki pesawat televisi. Negara
ini juga telah melakukan uji coba DVB-H yang dilakukan oleh Bridge
Networks dan uji coba MHP TV interaktif oleh stasiun TV SBS.
7.2. TV Digital di negara-negara berkembang
Sebagaimana negara-negara maju, sebagian negara berkembang
di dunia juga telah melakukan migrasi siaran TV dari analog ke
digital. Bahkan ada beberapa negara yang sudah menentukan
secara resmi kapan waktu cut off analognya. Alasan utama migrasi
adalah lebih disebabkan karena negara-negara maju sebagai
pemasok utama perangkat penyiaran TV digital telah mulai beralih
ke teknologi digital sehingga mengakibatkan mulai berkurangnya
suplai perangkat dan komponen TV analog.
Alasan lainnya sama dengan negara maju yaitu peluang
peningkatan nilai ekonomis dari implementasi TV digital yang
diakibatkan oleh adanya peningkatan efisiensi daya pemancar dan
efisiensi dalam penggunaan pita frekuensi (bandwidth),
peningkatan kualitas gambar dan suara, penerimaan bergerak
(mobile), konvergensi dengan aplikasi lain (ponsel, komputer),
layanan multimedia, TV interaktif, TV on demand dll. Dalam sub
bab berikut ini dibahas perkembangan migrasi siaran TV dari di
India, Singapura, Malaysia dan Hongkong yang dapat digolongkan
ke dalam kelompok negara-negara berkembang, khususnya dalam
hal tingkat penguasaan teknologi TV digital.
7.2.1. Perkembangan TV Digital di India
India telah memilih standar DVB-T sejak Juli 1999 setelah
melakukan telaah dan uji coba selama 18 bulan. Stasiun penyiaran
milik pemerintah Doordarshan telah melakukan uji coba di New
Delhi selama tahun 2002 yang diperluas ke Calcutta, Mumbai dan
Chenai. Uji coba DVB-H akan dimulai awal 2007 yang dilakukan
oleh Doordarshan dengan dukungan dari Nokia. DVB-H
dimungkinkan akan menjadi standar tambahan bagi siaran TV
digital di India khususnya untuk penerimaan bergerak. Negara
dengan jumlah penduduk satu milyar ini memiliki jumlah penonton
TV terestrial sekitar 700 juta dan TV kabel sekitar 29 juta.
7.2.2. Perkembangan TV Digital di Singapura
Siaran TV digital telah diluncurkan Singapura sejak Agustus 2004
dan saat ini kurang lebih ada 250.000 rumah yang telah
menikmatinya. Siaran TV digital dipancarkan melalui jaringan TV
terestrial melalui dua jaringan multiplex MFN (Multi Frequency
Network) dan SFN (Single Frequency Network), bermodulasikan
QPSK, 2K untuk penerimaan bergerak dan 64QAM, 8K untuk
penerimaan tetap melalui band UHF. Sejak Juni 2006, MediaCorp
yang merupakan perusahaan penyiaran terbesar di Singapura
bekerja sama dengan Media Development Authority (MDA) sedang
melakukan uji coba HDTV. Siaran HDTV ini dipancarkan secara
terestial oleh MediaCorp melalui kanal 38 UHF dan melalui kabel
oleh StarHub. Saat ini MediaCorp menyiarkan 1 kanal mobile TV
dan 5 channel SDTV berbasis teknologi DVB-T.
Jumlah penduduk 4.2 Juta
Jumlah pemirsa TV 796.000 (2002)
Pelanggan TV Kabel 250.000
Satelit digital Tidak diizinkan
[Sumber: DVB.org]
Tabel 7.23: Pasar siaran TV di Singapur [Sumber: DVB.org]
Kondisi pasar siaran TV
Walau kondisi pasar siaran TV di Singapura termasuk relatif kecil,
dengan jumlah penduduk sekitar 4,2 juta jiwa (tahun 2002) dan
jumlah pemirsa sekitar 796.000, namun negara ini cukup
berpotensi menjadi penentu pasar siaran TV digital. Pasalnya,
beberapa lembaga penyiaran di Singapura telah mengembangkan
bisnisnya di negara lain khususnya di kawasan Asia.
Parameter Teknik TV Digital
Negara ini telah melakukan uji coba siaran TV digital bergerak
sejak 1999 dan dilanjutkan dengan uji coba siaran TV digital
penerimaan tetap pada 2000. Pemerintah telah memberikan izin
penyelenggaraan siaran TV digital mobile pada 1999 namun
peluncuran secara komersial baru dilakukan pada 2001. Uji coba
siaran HDTV juga sudah dilakukan sejak bulan Juni tahun 2006.
Uji coba siaran HDTV ini melibatkan 2.000 pemirsa, 1.000 dari
pemirsa TV digital terestrial dan 1.000 lainnya dari pelanggan TV
kabel. Uji coba dilaksanakan selama jangka waktu enam bulan
dan direncanakan segera dilanjutkan dengan peluncuran layanan
secara komersial.
Operational Band UHF
Tipe carrier 2k untuk mobile, 8k untuk fixed
Guard Interval 1/4 mobile, 1/8 fixed
FEC 1/2 mobile, 2/3 fixed
Modulasi QPSK mobile, 64QAM fixed
Model Penerimaan Bebas
Tipe Network MFN dan SFN
Transmitter ERP (maximum) 40kW
Middleware OpenTV, direncanakan MHP
Channel bandwidth 8MHz
[Sumber: DVB.org]
Tabel 7.24: Parameter teknik siaran TV digital di Singapura
7.2.3. Perkembangan TV Digital di Malaysia
Dalam simposium yang diselengggarakan oleh Asia-Pacific
Broadcasting Union Digital TV, di Kuala Lumpur pada April 2007,
pemerintah Malaysia secara resmi telah mengumumkan untuk
mengadopsi DVB-T sebagai standar bagi siaran TV digital. TV
digital juga sudah dirintis sejak 1998. Mulai November 2006, secara
resmi pemerintah melakukan uji coba siaran digital yang dilakukan
di daerah Klang Valley dengan melibatkan sekitar 1.000 pemirsa
di rumah. Uji coba menggunakan satu multiplex pada channel 44
UHF menggunakan mode 8k, yang mampu menyediakan 5
program TV dan 7 program siaran radio, yang kemudian akan
dikembangkan secara bertahap dengan dana awal 75 juta ringgit.
Selama perioda uji coba ini akan dilakukan beberapa tes termasuk
uji coba layanan interaktif.
Pemerintah juga merencanakan akan mengadakan uji coba HDTV
pada 2009. Pada 2007 pemerintah berencana untuk melakukan
siaran digital secara nasional.
7.2.4. Perkembangan TV Digital di Hongkong
Pemerintah Hongkong telah mengadakan uji coba siaran digital
menggunakan standar ISDB-T, ATSC dan DVB-T pada 1999. Uji
coba siaran digital telah dilakukan untuk sistem DVB-T dan ISDB-
T baik penerimaan tetap maupun penerimaan bergerak sementara
untuk sistem ATSC 8-VSB hanya dilakukan untuk penerimaan
tetap saja. Pada tahun 2000 pemerintah telah mempublikasikan
consultation paper yang pertama dilanjutkan yang kedua pada 5
Desember 2003. Walaupun sistem DVB-T telah dipilih namun
merujuk kepada hasil tanggapan atas consultation paper oleh ATV
dan TVB, pemilihan standar diundur sambil menunggu
perkembangan standar di China. Sampai saat ini sistim DVB-T
masih digunakan dengan pemahaman bahwa akan segera diganti
dengan perangkat yang kompatibel dengan standar yang
digunakan di China bila sudah tersedia. Di samping itu potensi
model bisnis baru berdasarkan keinginan pasar juga sedang
dijajaki sebelum standar yang baru tersedia.
7.3. Negara-negara yang mengembangkan Teknologi TV
digital
Ada beberapa negara telah berhasil mengembangkan sendiri
teknologi TV digitalnya, baik yang secara khusus mampu
menciptakan dan membangun teknologinya, maupun yang hanya
melakukan modifikasi terhadap teknologi yang sudah diciptakan
dan dibangun oleh negara lain.
Amerika Serikat (AS) dikenal pengembang teknologi ATSC, Jepang
mengembangkan teknologi ISDB-T, China mengembangkan
teknologi DMB-T dan Korea Selatan (Korsel) mengembangkan
teknologi T-DMB.
Alasan utama mereka melakukan migrasi dengan
mengembangkan sendiri atau melakukan modifikasi karena
potensi pasar domestiknya besar. Alasan ini terkait dengan nilai
tambah yang akan didapat untuk ekonomi domestiknya bila
mengimplementasikan TV digital menggunakan standar yang
dikembangkan sendiri.
7.3.1. Perkembangan TV Digital di Amerika Serikat
Negara ini berhasil mengembangkan sendiri teknologi TV digital
ATSC (Advanced Television Systems Committee). Sistem ini
diberlakukan sejak 16 Desember 1995, ditandai dengan dirilisnya
dokumen A/53 tentang Standar Televisi Digital oleh ATSC. Setelah
AS memakai sistem itu lantas menyusul beberapa negara seperti
Kanada, Meksiko, Korsel dan terakhir Honduras sejak 16 Januari
2007.
7.3.2. Perkembangan TV Digital di Jepang
Jepang yang dikenal sebagi negara yang mengembangkan
teknologi ISDB, memiliki potensi pasar siaran TV yang tinggi. Sejak
diperkenalkan setengah abad lalu, TV siaran terestrial telah menjadi
pilihan utama bagi masyarakat Jepang dalam memperoleh
informasi melalui TV. Walaupun luas daratan di Jepang hanya ¼
luas daratan AS misalnya, namun kondisi topografi yang sebagian
besar pegunungan dan memiliki banyak pulau yang terisolasi,
membuat negara ini memerlukan stasiun relai yang relatif banyak,
hampir dua kali yang dibutuhkan AS.
Sebagian dari stasiun tersebut bahkan memerlukan frekuensi yang
berbeda-beda untuk mengurangi interferensi. Kondisi seperti inilah
yang membuat teknologi TV digital terestrial menjadi hal yang
sangat penting dan menjadi harapan bagi solusi keterbatasan
jumlah siaran.
Perkembangan TV digital di Jepang secara resmi ditandai dengan
dikeluarkannya keputusan mengenai proses perizinan stasiun
penyiaran digital terestrial pada 27 September 2002 oleh MPHPT
(the Ministry of Public Management, Home Affairs, Posts and
Telecommunications). Keputusan itu sejalan dengan rencana
dasar penyiaran untuk melakukan migrasi penyiaran analog ke
digital secara dini dan lancar. Pelaksanaan siaran dilakukan pada
2003 di kota-kota metropolitan Kanto, Chukyo dan Kinki, dan
daerah lain pada 2006.
Perizinan itu mensyaratkan paling tidak dua kondisi yaitu penyiaran
program sebagaimana yang secara umum ada dalam siaran
analog, dan penyiaran program seperti pada penyiaran HDTV.
Dalam hal ini stasiun penyiaran harus memerhatikan sejumlah
kewajiban antara lain; menyediakan siaran simulcast identik
seperti pada siaran analog paling tidak 2/3 dari waktu siaran harian,
harus menyediakan siaran HDTV paling tidak 50% dari siaran
mingguan, dan paling tidak 10% dari siaran mingguan harus
mengandung unsur program edukasi dan 20% mengandung
unsur budaya. Pengajuan aplikasi izin siaran digital dimulai pada
11 November 2002.
Menindaklanjuti aplikasi yang telah dilakukan oleh NHK dan 16
lembaga penyiaran swasta, pada 18 April 2003, MPHPT telah
mengeluarkan izin siaran TV digital kepada total 20 lembaga
penyiaran di daerah Kanto, Chukyo, dan Kinki. Penyiaran digital
terestrial ini termasuk siaran HDTV, data broadcasting, dan
layanan EPG (Electronics Program Guide) serta beberapa
layanan baru seperti multi-channel broadcasting, interactive
programs, dan broadcasting for mobile technologies.
Penyiaran dilakukan melalui 8 channel UHF (channel 20-27) di
daerah Kanto (Tokyo) dan 7 channel UHF (channel 13, 18-23) di
daerah Chukyu (Nagoya) dan 7 UHF channel (13-18, dan 24) di
daerah Kinki (Osaka).
Sejak dikeluarkannya izin ini, perkembangan siaran TV digital di
Jepang berlangsung sangat cepat, yang ditandai dengan uji coba
implementasi siaran HDTV melalui penerimaan bergerak dan TV
digital yang dilengkapi akses Internet.
Pada 29 Januari 2003, dengan dukungan dari Toyota CRDL Inc
dan Telecommunication Advancement Organization of Japan
(TAO) telah dilakukan uji coba siaran untuk penerimaan bergerak
di Nagoya. Hasil yang didapat sangat memuaskan. Siaran HDTV
dapat ditangkap dengan bagus walau pesawat penerima bergerak
di daerah perkotaan di antara bangunan-bangunan yang tinggi.
Uji coba menggunakan high-sensitivity glass antenna yang
dipasang di kendaraan ini dilakukan di channel 15 UHF, mode 3,
dengan guard interval 1/8, modulasi 64QAM, coding rate 3/4, dan
13 segments menggunakan bandwidth 6 MHz. Data bit rate yang
digunakan adalah 18 Mbps (dengan sebuah bit rate HDTV 15
Mbps). [www.dibeg.org].
Pada September 2004 diluncurkan layanan multikanal ETV
(Educational TV channel), menggunakan siaran TV digital.
Penonton dapat menikmati dua sampai tiga siaran saluran pada
saat bersamaan hanya dengan menggunakan satu channel HDTV.
ETV-1 bersiaran simulcast (analog dan digital secara bersamaan)
sementara ETV-2 dan ETV-3 dikhususkan untuk menyiarkan
beberapa variasi program seperti ilmu pengetahuan, hobi,
permainan dan program latihan bahasa asing.
Saat ini sejalan dengan sangat tingginya penetrasi layanan
broadband di Jepang yaitu sekitar 23,2 juta (data akhir Maret 2006)
– berarti lebih dari setengah rumah tangga di Jepang sudah
menikmati layanan broadband, dimana lebih dari 87% - nya adalah
layanan mobile broadband – perkembangan TV digital juga sangat
dipengaruhi olehnya. Bahkan menurut NTT, pemerintah sedang
menyiapkan “Roadmap for Building the Next-Generation Network
(NGN).
Perkembangan lanjut “jaringan generasi mendatang” itu antara
lain jaringan telepon tetap yang akan bermigrasi ke jaringan
berbasis Internet Protocol (IP-based networks) yang kemudian
akan dikombinasikan dengan jaringan komunikasi mobile secara
menyeluruh. Jaringan telepon lokal akan menjadi jaringan
broadband yang dihubungkan dengan jaringan FTTH (fiber to the
Home) dan jaringan penyiaran TV analog akan bermigrasi secara
total ke siaran TV digital. Saat ini perjalanan menuju konvergensi
komunikasi dan penyiaran, dan bahkan konvergensi beragam
teknologi seperti jaringan kabel dan nirkabel dan komputer dan
barang-barang elektronik sedang mengalami proses yang sangat
cepat dan signifikan di Jepang. [www.soumu.go.jp].
Sejak April 2006, Jepang juga sudah mengimplementasikan
layanan one-seg service yang menggunakan satu dari 13
segment pada total satu bandwidth 6Mhz UHF, yang dipergunakan
oleh siaran TV digital (5,6 MHz digunakan untuk penerimaan tetap
dan dan 429 kHz untuk penerimaan bergerak). Siaran ini mampu
mengirim informasi gambar dari TV digital terestrial ke ponsel,
pesawat penerima siaran TV di mobil, komputer dan sebagainya.
Layanan ini juga dilengkapi “sistem peringatan dini”. Fasilitas
layanan ini sangat membantu bila terjadi keadaan darurat misalnya
gempa bumi dan angin topan, karena memberikan informasi
mengenai rute evakuasi, keamanan anggota keluarga dsb,
walaupun penerimaan sinyal pesawat telepon kurang baik.
Direncanakan pada awal 2007 seluruh rumah tangga di Jepang
sudah bisa menerima layanan TV digital dan direncanakan siaran
analog akan dimatikan secara total pada 24 Juli 2011.
7.3.3. Perkembangan TV Digital di China
China yang merupakan negara dengan jumlah pemilik TV
terbanyak di dunia yaitu sekitar 340 juta, memiliki strategi migrasi
TV digital melalui tiga tahapan. Tahap pertama yaitu peluncuran
TV kabel digital pada 2003. Tahap kedua peluncuran layanan DTH
dan uji coba TV digital terestrial pada 2005. Tahap ketiga
mempromosikan layanan TV digital terestrial dan menyediakan
program HDTV pada 2008. China sudah merencanakan untuk
melakukan swich off layanan TV analog pada 2015.
Pada 18 Agustus 2006, pemerintah China, mengeluarkan standar
untuk penyiaran TV digital terestrial. Standar dengan nomor
GB20600-2006 tersebut bernama Framing structure, Channel
Coding and Modulation for Digital Television Terrestrial
Broadcasting. Standar tersebut dikenal dengan nama DMB-T/H
(Digital Multimedia Broadcasting Terrestrial/Handheld). Standar
ini dihasilkan atas kerja sama dua universitas kenamaan di China
yaitu Tsinghua University yang berlokasi Beijing dan Jiaotong
University yang berada di Shanghai.
Standar ini merupakan integrasi dari pengembangan dua sistem
modulasi yang berbeda: sistem milik Tsinghua yaitu TDS-OFDM
(Time Domain Synchronous OFDM) yang menggunakan
multicarriers seperti pada DVB-T dan ISDB-T milik Jepang, dengan
milik Jiatong yang menggunakan ADTB-T (Advanced Digital
Television Broadcast Terrestrial) yang merupakan single carrier
vestigial sideband system berbasis pada standar 8-VSB milik AS.
Regulator industri penyiaran China SARF (State Administration
of Radio, Film and Television in China) juga mengabarkan
pengembangan teknologi yang memungkinkan penyelenggara
layanan ponsel melakukan penyiaran TV untuk ponsel. Standar
baru tersebut bernama StiMi (Satellite Terrestrial Interactive Multi-
service Infrastructure) yang saat ini sudah mulai digunakan secara
luas di China.
7.3.4. Perkembangan TV Digital di Korea Selatan
Negeri ini pada 1997 mengadopsi standar ATSC berbasis modulasi
8-VSB dari AS, yang diluncurkan secara komersial di Seoul dan
dikembangkan di sekitar Provinsi Kyonggi pada 2002. Pada 2003
komunitas penyiaran Korea, dibawah koordinasi Badan Penyiaran
Korea melakukan peninjauan kembali standar ATSC karena
kualitas teknologinya dinilai kurang memuaskan. Namun setelah
melalui beberapa uji coba dan diskusi di beberapa level pengambil
keputusan dalam kalangan industri, penggunaan standar ATSC
tetap dipertahankan.
Sejak 2003 di samping terus melakukan roll out berbasis standar
ATSC yang difokuskan kepada uji coba ATSC-HDTV, beberapa
kalangan juga melakukan uji coba beberapa standar khususnya
untuk penerimaan bergerak baik DVB-H maupun standar baru
berbasis DAB yaitu T-DMB (Terrestrial-Digital Multimedia
Broadcasting).
Walau pemerintah Korsel sedang berkonsentrasi untuk
mengembangkan teknologi DMB, pada 2005 dibentuk suatu satuan
tugas untuk melakukan uji coba DVB-H yang beranggotakan unsur
dari Kementerian Informasi dan Komunikasi, Komisi Penyiaran
Korea), KBS (Korean Broadcasting System) dan lainnya. Uji coba
ini dilaksanakan sampai pertengahan 2005.
Standar TV digital T-DMB yang diluncurkan pada 1 Desember 2005
lebih menitikberatkan pada aplikasi penerimaan bergerak (mobile)
dengan memanfaatkan jaringan DAB. Sistem ini mulai
berkembang setelah mendapat dukungan yang kuat dari para
pelaku industri manufaktur yang memproduksi perangkat-
perangkat elektronik seperti ponsel, perangkat navigasi GPS,
komputer, kamera digital, pemutar MP3 dan set-top box yang
modul-modulnya dikembangkan untuk dapat bersinergi dengan
teknologi T-DMB ini. Setelah 6 bulan diluncurkan sistem berbasis
T-DMB diperkirakan telah memiliki 1 juta konsumen. Awal 2007
ini paling tidak ada 7 kanal televisi dan 13 kanal radio yang telah
beroperasi menggunakan teknologi ini.
7.4.5. Perkembangan TV Digital di Brasil
Pemerintah Brasil yang menyadari bahwa potensi pasar TV
domestiknya sangat besar – lebih dari 120 juta penonton TV –
sejak semula telah merencanakan untuk memiliki standar TV
digital sendiri. Penjajakan pun telah dilakukan terhadap
kemungkinan penggunaan standar TV digital yang sudah ada yaitu
ISDB, ATSC 8-VSB dan DVB-T. Namun, upaya untuk
mengembangkan standar sendiri masih terus diintensifkan di
tengah keterbatasan dana penelitian.
Setelah melalui serangkaian uji coba, telaah mendalam terhadap
sistem DVB, ATSC dan ISDB dan studi banding ke Eropa, AS dan
Jepang, pemerintah Brasil mengambil keputusan. Pada 29 Juni
2006 Presiden Luiz Inaciao Lula da Silva menandatangani
keputusan akhir penggunaan standar baru TV digital untuk
negerinya. Standar yang bernama Sistema Brasileiro de Televisao
Digital Terrestre (SBTD-T) ini berbasis ISDB-T dari Jepang yang
dikembangkan berdasar permintaan khusus dari Brasil, atas kerja
sama dengan pemerintah Jepang. Standar ini menggunakan
kompresi baru berbasis MPEG-4, H.264 AVC dan Brazilian
Middleware.
Sistem yang mirip ISDB-T ini mampu mentransmisikan beberapa
program video dengan bit rate rendah ke pesawat penerima yang
bersifat mobile dan pada saat bersamaan dapat mengirimkan
sinyal video kualitas lebih tinggi ke pesawat penerima tetap.
Sistem ini juga mampu mengirim sinyal ke perangkat ponsel tanpa
harus melalui infrastruktur jaringan telekomunikasi, yang membuat
sistem ini sangat menarik bagi para pelaku industri penyiaran.
Dalam perjanjian antara pemerintah Brasil dan Jepang ditawarkan
pengecualian dalam pembayaran royalti kepada pemerintah
Jepang dan pembangunan fasilitas pabrik semikonduktor di Brasil
sebagai kompensasi penerapan teknologi berbasis ISDB-T ini.
Di samping itu lembaga keuangan Jepang JBIC bekerja sama
dengan bank pembangunan Brasil, BNDES, memfasilitasi
peralihan standar TV analog PAL-M menjadi SBTD-T.
Diperkirakan masa peralihan TV digital ini akan dapat
diimplementasikan di seluruh Brasil dalam waktu sepuluh tahun.
Namun beberapa kalangan di Brasil mengangap bahwa keputusan
pemilihan standar berbasis ISDB-T ini akan sangat memberatkan
para pemilik TV, sebab harga pesawat penerima (STB) relatif
mahal karena belum ada negara lain yang mengadopsinya.
Brasil yang merupakan negara pertama di luar Jepang yang
mengadopsi standar ISDB-T diperkirakan akan terus bekerja sama
dengan Jepang dalam pembangunan dan pengembangan sistem
tersebut agar lebih sempurna dan sesuai yang diharapkan.
JPenerapan Sistem Penyiaran
TV Digital di negara kita
BAB 8
8.1. Media akses informasi TV
Jaringan media informasi TV merupakan salah satu sarana
media informasi yang paling banyak penggunanya di
negara kita . Bahkan penetrasi penyebaran pengguna atau
Jumlah kepemilikan TV sebanyak itu tentu saja merupakan pasar
yang sangat potensial bagi Industri teknologi, informasi dan
komunikasi (TIK) dan TV digital. Media TV digital akan bisa
dimanfaatkan sebagai salah satu media akses informasi yang
memiliki prospek tinggi di samping media akses informasi
internet.
Media TV digital bakal menjadi salah satu alternatif teknologi
transpor digital yang mampu membawa muatan konten yang besar
di masa mendatang. Dengan penambahan fitur-fitur interaktif dan
pemirsa TV di negara kita lebih merata dibanding dengan pengguna
media informasi lain seperti internet dan telepon tetap (fixed
telephone). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik 2004,
jumlah pesawat televisi di negara kita antara 69 – 147 buah per
1.000 penduduk. Dengan populasi negara kita dewasa ini sekitar
230 juta orang, maka jumlah pesawat TV berkisar antara 16 juta
– 33,8 juta buah.
sesuai kebutuhan penggunanya, seperti video on demand, maka
media TV akan menjadi salah satu pesaing atau komplementari
bagi teknologi akses broadband lainnya.
Berdasarkan Data Indikator Teknologi Informasi dan Komunikasi
BPPT 2005 mengenai tingkat aksesibilitas informasi di negara kita ,
angka akses ke informasi sudah berkisar antara 40 - 50 juta saluran
yang berasal dari berbagai media akses seperti telepon tetap,
telepon seluler, televisi, radio serta dari media wireless lainnya. Di
era digital saat ini aspek yang paling tepat untuk melihat indikator
pengguna TIK adalah bukan lagi hanya melalui penetrasi telepon
tetapi “accessibility numbers”.
Istilah tingkat penetrasi pengguna telepon kini juga sudah tidak
dipakai lagi oleh International Telecommunication Union (ITU) dan
badan-badan regulator lainnya, dan diganti dengan istilah
aksesibilitas yaitu apakah masyarakat bisa atau tidak mendapatkan
akses informasi. ITU menyatakan, aksesibiltas ke sumber informasi
di jaringan internet tidak selalu harus melalui fixed telepon. Akses
atau penyebaran informasi juga bisa melalui berbagai media seperti
jaringan TV.
Akses informasi berbasis teknologi internet yang cukup popular
saat ini adalah melalui broadband wireless. Akses ini –
disebut hot spot atau wifi yang menggunakan kanal frekuensi radio
2,4 GHz ke atas – lebih banyak dinikmati masyarakat di kota-kota
besar. Bagi masyarakat negara kita , terlebih yang tinggal di kota
kecil dan terpencil atau di desa, infrastruktur broadband nirkabel
selain terbatas juga mahal. Data 2006 menyebut, biaya minimum
per jam akses internet melalui telepon (dial up) Rp 6.000 dengan
bit rate rata-rata 56 Kbps, sedangkan biaya broadband wireless
rata-rata mencapai Rp 2.000.000 per bulan dengan bit rate 64-
128 Kbps.
Konverjensi antara teknologi telekomunikasi dan penyiaran sudah
tidak bisa dihindarkan. Hal ini tampak dengan menyatunya akses
multi layanan aplikasi berbagai jenis data dan informasi melalui
beragam Infrastruktur jaringan, baik itu jaringan telekomunikasi,
jaringan internet-data maupun jaringan penyiaran. Jadi, akses ke
program TV tidak lagi harus melalui jaringan TV tetapi bisa melalui
jaringan internet atau jaringan telepon bergerak. Begitu pula akses
ke jaringan internet-data tidak selalu harus melalui komputer yang
terhubung ke internet, tapi pula bisa melalui ponsel atau televisi di
rumah dengan TV interaktif. Fenomena konverjensi inilah yang
disebut dengan “Open Platforms Access”.
Sistem jaringan TV digital untuk akses televisi di rumah diarahkan
menjadi layanan multimedia. Artinya layanan ini bisa sekaligus
untuk keperluan telefoni, akses data internet, juga siaran televisi
dengan kualitas gambar yang semakin mendekati realita melalui
pesawat TV –Ultra High Definition. Perkembangan layanan ini
biasa disebut dengan konsep “extended home”, dimana para
pengguna bisa menikmati akses berbagai konten multimedia (data
teks, suara, audio dan video). Selain itu, layanan TV digital tidak
lagi melulu bersifat fixed access, tetapi juga mobile access yang
bisa digunakan kapan saja, di mana saja hanya dengan
menggunakan satu terminal saja. (Lihat gambar 6.2)
8.2. Kesenjangan Informasi
Masyarakat negara kita masih belum semuanya dan juga belum
sepenuhnya dapat memanfaatkan TIK, khususnya teknologi
internet dengan mudah dan murah dibandingkan dengan
masyarakat di negara-negara tetangga dekat seperti Malaysia,
Singapura, Australia dan bahkan Filipina. Padahal internet sangat
penting untuk mengakses informasi publik yang bermanfaat seperti
informasi pendidikan, kesehatan ataupun informasi lainnya yang
bisa meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan.
Perkembangan TIK saat ini hanya bisa dirasakan di kota-kota besar
di Jawa dan hanya di beberapa ibukota provinsi di luar Jawa. Untuk
daerah yang berada di luar kota besar, kondisinya masih jauh dari
memadai dalam akses internet dengan mudah dan murah. Kondisi
inilah yang sering disebut dengan “kesenjangan (informasi) akses
digital” alias digital divide.
Apa boleh buat. Jangankan kesenjangan digital, kesenjangan
analog pun masih sangat terasa. Masyarakat di daerah perbatasan,
terpencil dan tertinggal masih sulit memperoleh siaran televisi.
Hampir semua program TV nasional yang disiarkan dari Jakarta
dan ibukota provinsi cakupannya hanya bisa diterima di ibukota
provinsi saja. Ada saluran nasional TVRI tetapi jangkauan dan
waktu siarannya masih sangat terbatas. Kesenjangan akses ini
sangatlah ironis apabila dikaitkan dengan akses informasi yang
bersifat strategis seperti pendidikan, kesehatan dan berita-berita
peringatan bencana atau early warning.
Masyarakat di kota besar lebih diuntungkan. Mereka bisa lebih
mudah dan bisa lebih murah dalam mendapatkan akses informasi
dan membeli perangkat TIK dan TV. Di sisi lain pendapatan per
kapita masyarakat di kota besar umumnya lebih besar dibanding
masyarakat di daerah. Namun, dalam menempuh sistem
penjenjangan pendidikan yang bersifat nasional, masyarakat
daerah diperlakukan sama dan setara dengan masyarakat di kota
besar. Tentu saja sistem ini sangat merugikan masyarakat di
daerah yang kurang mendapatkan layanan akses informasi yang
seharusnya bersifat universal.
Berdasarkan realita tersebut, tak heran peringkat DOI (Digital
Opportunity Index) negara kita , yang dibuat ITU, berada di posisi
ke-38, di bawah Singapura (peringkat 8), Malaysia (24), Thailand
(29) dan Filipina (37). DOI merupakan salah satu indikator dari
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi pada suatu
negara. DOI diukur berdasarkan 3 kategori yaitu peluang,
infrastruktur dan utilitas. Ini berarti negara kita tergolong sebagai
salah satu negara yang tingkat kesenjangan digitalnya masih cukup
tinggi.
Peringkat tersebut bisa ditingkatkan bila Pemerintah pusat dan
daerah mampu mendayagunakan seluruh potensi dan sumber
daya manusia yang dimiliki untuk bersama-sama menciptakan
peluang, memanfaatkan segala utilitas dan infrastruktur yang ada.
Upaya bersama itu lebih khusus terfokus pada penguasaan dan
pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi (TIK). Sudah
menjadi pengetahuan umum bahwa di era informasi keunggulan
dan kemajuan sebuah negara diukur dari aspek ini, yang berbasis
masyarakat ber-ilmu pengetahuan (knowledge-based
communities).
Kunci keberhasilan pemanfaatan TIK, pertama adalah membangun
infrastruktur jaringan TIK sebanyak mungkin di daerah-daerah, baik
itu jaringan telefoni, jaringan internet sampai jaringan TV. Kedua,
memperbanyak pemanfaatan piranti lunak sistem operasi dan
sistem aplikasi yang berbasis open source. Ketiga, digitalisasi dan
memperbanyak konten yang bersifat lokal, khususnya konten ilmu
pengetahuan, sehingga bisa diakses secara cepat, baik oleh
terminal komputer ataupun TV.
Pada saat ini pipa jaringan untuk akses internet dan TV memang
belum menyatu. Artinya saluran transmisi untuk mengakses data
dan TV-video secara fisik masih berbeda protokol jaringannya. Hal
ini dikarenakan belum terpadunya kebijakan atau regulasi,
mahalnya bandwidth dan aspek-bisnisnya. Namun, dengan
perkembangan teknologi TV digital dan akses broadband internet
generasi terbaru atau yang disebut dengan Next Generation
Convergence Networks (NGcN) yang semakin murah dan cepat
maka satu pipa dengan multi konten akan lebih mudah disatukan.
8.3 Sistem Penyiaran TV Nasional
Sistem penyiaran TV merupakan sarana penyebaran informasi
yang paling ampuh di antara media lainnya. Keunggulannya dalam
menyajikan sekaligus teks, suara, dan gambar bergerak, serta
kecepatannya dalam mengirim informasi itu, menjadikan media
ini alat yang amat efisien dan efektif dalam mempengaruhi opini
publik. Dengan demikian keberadaan media ini sangat strategis,
baik bagi rakyat maupun pemerintah, sehingga diperlukan
pengaturan tersendiri.
Dunia penyiaran televisi diatur berdasarkan Undang-Undang
Republik negara kita Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pada
pasal 13 ayat 1 tentang jasa penyiaran dinyatakan bahwa jasa
penyiaran terdiri atas Jasa Penyiaran Radio dan Jasa Penyiaran
Televisi. Kemudian pada ayat (2) dinyatakan bahwa Jasa Penyiaran
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh :
- Lembaga Penyiaran Publik
- Lembaga Penyiaran Swasta
- Lembaga Penyiaran Komunitas dan
- Lembaga Penyiaran Berlangganan
Dinyatakan dalam UU tersebut bahwa yang dimaksud dengan
Sistem Penyiaran Nasional adalah tatanan penyelenggaraan
penyiaran nasional berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku menuju tercapainya asas, tujuan, fungsi,
dan arah penyiaran nasional sebagai upaya mewujudkan cita-cita
nasional sebagaimana tercantum dalam Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik negara kita Tahun 1945. Sedangkan
Tatanan Informasi Nasional yang adil, merata, dan seimbang
adalah kondisi informasi yang tertib, teratur, dan harmonis terutama
mengenai arus informasi atau pesan dalam penyiaran antara pusat
dan daerah, antarwilayah di negara kita , serta antara negara kita dan
dunia internasional.
Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan
manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral,
kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan,
serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya negara kita .
Berpijak kepada makna dan tujuan sistem Penyiaran nasional, itu
jelas bahwa masyarakat haruslah terbantu dengan adanya
informasi yang berasal dari siaran televisi dan radio, sehingga
masalah kesenjangan informasi di negara kita bisa teratasi melalui
siaran televisi dan radio.
Namun, kondisi penyiaran televisi nasional dewasa ini masih jauh
dari harapan yang diinginkan dalam UU No 32/2002 tersebut,
ditinjau dari aspek budaya, sosial, ekonomi, ideologi, politik, dan
keamanan negara. Dari sisi sosial, ekonomi dan budaya tampaknya
dunia penyiaran TV nasional masih didominasi oleh kepentingan
bisnis-ekonomi dibandingkan dengan sisi edukasinyaMemang
diakui bahwa untuk menghasilkan suatu konten program TV
membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Salah satu stasiun TV menyebut angka Rp. 50.000.000 untuk
membuat suatu program yang sangat sederhana seperti peliputan
dengan waktu tayang 1 jam. Di sisi lain, terjadi persaingan sengit
antarstasiun TV dalam berebut iklan di program prime time. Karena
itu sulit dihindari faktor bisnislah yang menentukan bentuk konten
dalam suatu program.
Faktor bisnis semata tentunya dapat berpengaruh kurang baik
karena mengakibatkan program siaran, termasuk juga produksi
lokal, lebih bermuatan budaya konsumtif, dan kurangnya muatan
inovatif, edukatif dan variatif. Di samping itu kuatnya budaya asing
dalam konten yang terkadang bertentangan dengan budaya dan
etika nasional kita.
Keterbatasan cakupan siaran juga berdampak kurang
menguntungkan dari sisi politik dan pertahanan negara. Masih
banyak daerah terpencil, dan daerah-daerah perbatasan yang
belum bisa menikmati secara utuh siaran nasional TVRI, dan
stasiun televisi swasta. Di daerah perbatasan dengan Malaysia di
Kalimantan, misalnya, tidak bisa menerima siaran nasional.
Sedangkan program siaran TV dari Malaysia hampir seluruh
kanalnya bisa diterima dengan jelas dan baik kualitasnya. Hal ini
bisa mengakibatkan kurang tercapainya keseimbangan informasi
bagi masyarakat di daerah-daerah perbatasan dan terpencil
tersebut, yang bisa berpengaruh negatif pada ketahanan nasional.
Memang tidak semua program-program siaran televisi nasional
belum memuaskan masyarakat.
Ada beberapa program TV nasional yang cukup baik dan edukatif.
Hanya sayangnya jumlah program tersebut masih terbatas serta
kemasannya kurang menarik. Boleh dikata, hampir semua
penyelenggara siaran “berwajah” sama, kecuali satu yang
mengkhususkan program siarannya bersifat informasi yang
informatif dan berita atau “news TV”. Umumnya semua program
siaran TV memiliki karakter yang hampir sama sehingga
keberagaman isi siaran (diversity of content) hampir tidak ada
walaupun jumlah lembaga penyiaran sudah begitu banyak.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan
pemanfaatan penyiaran TV nasional masih belum mendukung
program siaran yang memberi edukasi kepada masyarakat secara
optimal, yaitu berorientasi pada pendidikan demi nation and
character building. Kondisi penyiaran televisi baik yang berada di
pusat maupun di daerah, sedang mengalami euforia kebebasan
yang luar biasa. Mereka kurang memahami tanggung jawab yang
inheren dalam kebebasan tersebut. Ada kecenderungan,
khususnya penyelenggara penyiaran di daerah, masih belum
memahami secara menyeluruh arti, hakikat dan tujuan dari sistem
Penyiaran Nasional.
8.3.1. Indikator Sistem Penyiaran TV Nasional
Pada saat ini jumlah penyelenggara siaran TV nasional ada 11
stasiun yang terdiri dari 1 lembaga penyiaran TV publik yaitu TVRI
dan 10 Lembaga Penyiaran TV swasta yaitu (sesuai abjad):
ANTV (Anteve) ,Global TV (TVG), Indosiar, Lativi, Metro TV, RCTI,
SCTV, TPI, Trans TV dan TV7. Selain itu, terdapat kurang lebih 70
penyelenggara siaran TV lokal.
Semua penyelenggara siaran itu menggunakan jaringan transmisi
terestrial free to air terestrial. Standar sistem transmisi TV analog
di negara kita adalah Analogue transmission 625 lines System B
(VHF, channels 2-12) atau System G (UHF channels 21-69,
channels 22-62) yang secara resmi dialokasikan untuk
pemanfaatan siaran TV dengan PAL colour.
Ada pula siaran TV yang bisa diterima melalui satelit dan kabel
dengan menggunakan sistem berlangganan (Pay per View TV).
Penyelenggara siaran TV-berlangganan adalah : Indovision,
Telkomvision, Astro, dan Cablevision, dengan total pelanggan
diperkirakan sekitar 1 juta.
Hampir semua stasiun nasional telah memanfaatkan teknologi
digital khususnya pada sistem perangkat studio untuk
memproduksi program, melakukan editing, perekaman dan
penyimpanan data. Di samping itu untuk pengiriman sinyal gambar,
suara dan data sekalipun telah digunakan sistem transmisi digital
melalui satelit yang umumnya dimanfaatkan sebagai siaran TV
berlangganan. Sistem transmisi digital melalui satelit ini
menggunakan standar DVB-S (Digital Video Broadcast-Satellite).
Sistem transmisi melalui satelit siaran TV-berlangganan juga
dikirimkan melalui transmisi kabel yang di beberapa lokasi sudah
menggunakan sistem digital dengan memanfaatkan standar DVB-
C (Digital Video Broadcast -Cable).
8.3.2. Kondisi Kanal TV
Layanan TV terestrial di negara kita sampai saat ini masih
sepenuhnya menggunakan sistem analog. Standar TV analog yang
digunakan untuk VHF adalah PAL-B dengan bandwidth 7 MHz.
Penggunaan pita VHF diawali oleh TVRI sebagai stasiun penyiaran
nasional, dan saat ini jangkauan siarannya telah mencapai sekitar
80% wilayah negara kita . Dengan penetrasi yang sedemikian besar,
dapat dikatakan penggunaan kanal VHF untuk penyiaran TV di
negara kita sudah padat.
Dengan padatnya pita VHF, pilihan selanjutnya adalah
menggunakan pita UHF. Keperluan penggunaan pita UHF juga
didorong dengan munculnya layanan TV swasta. Secara perlahan
sejak 1990 dilakukan pembuatan master plan frekuensi TV UHF,
di mana standar TV analog yang digunakan untuk UHF adalah
PAL-G dengan bandwidth 8 MHz. Pada perencanaan awal
disediakan7 kanal frekuensi UHF untuk 5 penyelenggara TV swasta
nasional dan 2
kanal UHF untuk TVRI. Dalam perkembangan
selanjutnya, semakin banyak izin penyelenggaraan TV swasta
yang dikeluarkan, sehingga secara teknis sudah sulit untuk
diakomodasi.
[Sumber TVRI-Pusat]
Lembaga Penyiaran Publik:
- TVRI,
- 24 Stasiun Penyiaran,
- + 376 Satuan Transmisi.
Lembaga Penyiaran Swasta:
- 10 Stasiun: RCTI, SCTV, INDOSIAR,
ANTEVE, TPI, METROTV, TV7,
TRANSTV, LATIVI, GLOBALTV,
- + 300 Satuan Transmisi.
Lembaga Penyiaran Komunitas: Sekolah dan
kampus
Tabel 8.1: Lembaga Penyiaran Di negara kita
Karena jalur UHF juga sudah penuh sesak maka master plan pita
UHF secara perlahan mengalami modifikasi, yang tertuang dalam
Keputusan Menteri Perhubungan No: KM76/2003 tentang Rencana
Induk (Master Plan) Frekuensi Radio Penyelenggaraan
Telekomunikasi khusus untuk Keperluan Televisi Siaran Analog.
Keputusan menteri ini juga telah mempertimbangkan kemungkinan
migrasi ke sistem digital, dengan mempersiapkan kanal yang dapat
digunakan untuk proses transisi ke sistem digital.
Jenis layanan dan penggunaan spektrum frekuensi diatur oleh ITU
secara internasional. Pada tingkat nasional, pemerintah
mengusahakan sedapat mungkin mengacu pada pengaturan ITU
tersebut. Pita-pita spektrum yang dipertimbangkan untuk digunakan
oleh sistem penyiaran digital adalah pita MF, HF, VHF I, II dan III,
pita UHF IV dan V dan pita 1,5 GHz, 2,5GHz dan 3,5 GHz.
Pita-pita frekuensi di atas digunakan bersamaan dengan layanan
komunikasi radio, dan dalam beberapa kasus, layanan sekunder
seperti radio amatir, mikrofon nirkabel dan perangkat pengawasan.
Selain itu, negara kita memiliki kondisi geografis yang berbatasan
dengan sejumlah negara, yaitu Singapura, Malaysia, Timor Leste,
Papua Nugini, Filipina dan Australia, sehingga perlu diperhatikan
dalam koordinasi penggunaan frekuensi internasional di daerah
perbatasan, termasuk frekuensi penyiaran. Asumsi penjatahan
kanal frekuensi UHF (Tabel 8.3).
Tabel 8.2: Kanal Penyiaran TV Di negara kita [Setiawan-2003]
Regulasi Master Plan Frekuensi berdasarkan Keputusan Menteri
Perhubungan Nomor: KM 76/2003 tentang: Rencana Induk (Master
Plan) Frekuensi Radio Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus
untuk Keperluan Televisi Siaran Analog pada Pita Ultra High
Frequency (UHF)menurut Bab III Pasal 6 adalah sebagai berikut:
O Wilayah layanan yang dialokasikan sebanyak 13 (tiga belas)
atau 14 (empat belas) kanal frekuensi, 2 (dua) kanal frekuensi
di antaranya disediakan untuk kanal transisi televisi digital
sebagaimana tercantum dalam lampiran IV keputusan ini.
O Wilayah layanan yang dialokasikan sebanyak kurang dari atau
sama dengan 7 (tujuh) kanal frekuensi, 1 (satu) kanal frekuensi
di antaranya disediakan untuk kanal transisi televisi digital
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV keputusan ini.
O Kanal transisi televisi digital sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan (2) merupakan kanal frekuensi peralihan untuk
pengoperasian/pemancaran televisi siaran digital pada pita UHF
dimana televisi siaran digital dan televisi siaran analog dapat
beroperasi bersama-sama pada kanal frekuensi yang berbeda
(simulcast).
[ , ]
Jumlah
Kanal
TV
Swasta
Jumlah
Kanal
TVRI
Jumlah
Kanal
TV
Digital
Jumlah
Kanal TV
Lokal
Jabotabek dan
Ibu-Kota
Provinsi
10 1 2 1
Daerah lainnya 5 0 1 1
Tabel 8.3: Asumsi Penjatahan Kanal pada Master Plan UHF
[Setiawan, 2003]
O Ketentuan penggunaan kanal transisi televisi digital
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Keputusan tersendiri.
Belakangan ini semakin banyak lagi permohonan izin penyiaran
TV yang diajukan oleh banyak pihak di daerah, termasuk juga untuk
TV komunitas dan lembaga penyiaran daerah. Keinginan untuk
memiliki layanan penyiaran daerah dan komunitas ini didorong oleh
perkembangan otonomi daerah dan keinginan yang sangat tinggi
dari komunitas masyarakat beserta jajaran pimpinan di daerah
agar bisa menyebarkan secara cepat dan langsung program-
program komunitas dan kedaerahan mereka. Namun permohonan
izin tersebut masih belum bisa diproses oleh Departemen
Komunikasi dan Informatika karena keterbatasan kanal yang
tersedia.
Patut dicermati pula adanya konflik pada kanal 27 untuk area
cakupan Jakarta dan sekitarnya yang oleh Departemen
Komunikasi dan Informatika digunakan untuk uji coba dan transisi
TV digital, akan tetapi sudah digunakan oleh suatu lembaga
penyiaran swasta lokal yang memperoleh izin penyiaran dari Dinas
Perhubungan DKI Jakarta. Berbagai fenomena di atas mendorong
solusi penggunaan penyiaran digital, yang menjanjikan
penggunaan kanal frekuensi yang lebih optimal, dengan tetap
mempertimbangkan aturan dan layanan yang telah ada.
Namun, sebelum memutuskan alokasi kanal frekuensi dan
perizinan, haruslah lebih dulu dilakukan kajian yang mendalam
yang tentang tingkat kesesuaian, atau ketidaksesuaian, pita-pita
frekuensi tersebut bagi sistem penyiaran digital di negara kita . Selain
itu, harus pula dipertimbangkan kesesuaian dengan standar TV
digital yang dipilih dan persinggungannya dengan layanan
telekomunikasi lainnya. Sejumlah alternatif untuk memungkinkan
tersedianya spektrum frekuensi dan pengkanalan yang tepat bagi
layanan penyiaran digital di negara kita antara lain:
- Mencari spektrum yang bersebelahan (adjacent channels)
dengan layanan penyiaran yang sudah ada di sejumlah pita
frekuensi;
- Menggeser layanan yang sudah ada ke pita-pita yang lain;
- Menukar layanan dalam suatu pita supaya tersedia spektrum
yang memadai dan bersih untuk layanan penyiaran digital;
- Membatasi jumlah radio analog atau TV analog dalam pita-
pita frekuensi yang terkait.
- Memperketat pengawasan dan pelaksanaan aturan yang
telah dibuat atau akan dibuat untuk memberikan layanan yang
baik bagi pihak badan penyiaran maupun pengguna layanan
TV atau radio (pemirsa atau pendengar).
8.4. Model Struktur Bisnis Penyiaran TV-Digital
Bentuk jasa pelayanan sistem penyiaran TV digital akan sangat
berbeda dibandingkan dengan bentuk jasa pelayanan sistem
penyiaran TV analog. Bentuk jasa sistem penyiaran TV analog
umumnya bersifat vertikal. Artinya, para pemilik lembaga penyiaran
tersebut di samping menyediakan konten program siarannya harus
pula menyediakan infrastruktur jaringannya mulai dari pemancar,
relay sampai ke transponder di satelit. Sedangkan pada sistem
penyiaran TV digital para pemilik konten program (content provider)
tidak harus memiliki infrastruktur jaringan TV.
Pada layanan sistem penyiaran TV digital secara blok jaringan
akan terpisah-pisah yaitu mulai dari penyedia program atau yang
biasa disebut “content creator atau content provider” kemudian
akan dikirim ke “content agregator” yang berfungsi sebagai
pendistribusi program yang kemudian program tersebut diubah
dalam bentuk format MPEG2 atau MPEG4 untuk dikirim ke MPEG
multiplexer provider dan kemudian disalurkan ke pemirsa melalui
jaringan pemancar TV digital oleh network transport provider .
Masing-masing bentuk layanan tersebut bisa membentuk badan
usaha yang disesuaikan dengan kompetensi layanannya.
Semua aktivitas layanan jasa itu memang dimungkinkan untuk
ditangani oleh satu badan usaha seperti pada era sistem TV
penyiaran analog, tetapi tentu akan diperlukan modal usaha yang
sangat besar. Dengan pemisahan ini maka masing-masing bisa
lebih berkonsentrasi pada bidang bisnisnya sendiri, sehingga
masyarakat pemirsa TV akan memperoleh kualitas layanan yang
lebih beragam dan tentunya lebih baik.
Sistem penyiaran TV digital membuka jasa layanan baru seperti
informasi laporan lalu lintas, ramalan cuaca, berita, olah raga,
pendidikan, bursa saham, kesehatan dan informasi-informasi
layanan masyarakat lainnya. Para penyedia content hanya
terkonsentrasi pada isi program saja dan tidak perlu mengurus
penyiapan infrastruktur jaringan dan pengoperasiannya, cukup
membayar sewa jaringan transmisi saja atau bisa dijual kepada
content distributor.
Migrasi dari sistem penyiaran analog ke sistem digital diharapkan
akan diikuti oleh terjadinya konverjensi layanan TV yang lebih
mengarah kepada layanan yang lebih atraktif, interaktif dan variatif,
bahkan layanan yang bersifat on demand. Di samping itu sistem
penyiaran digital juga menawarkan keuntungan-keuntungan yang
tidak dimiliki oleh sistem analog seperti:
· Pemanfaatan kanal frekuensi yang lebih hemat, karena 1
kanal analog bisa dimanfaatkan 4 sampai 6 program siaran
· Layanan bergerak (mobile TV) dengan kualitas yang jauh lebih
baik dari analog
· Adanya electronic program guide yang bisa memberikan
keterangan atau informasi berharga tentang materi atau
konten dari program siaran tersebut.
· Layanan berbentuk data sebagai fitur untuk akses data dan
pesan atau yang biasa disebut sebagai data casting.
· Layanan berbasis high definition televisión untuk program-
program yang bersifat hiburan.
Dari keuntungan-keuntungan ini siaran TV digital tentunya akan
menyebabkan pergeseran karakteristik pola-pola siaran program
televisi seperti:
· Berkembangnya layanan televisi yang sebelumnya bersifat
free to air berpindah menjadi layanan yang bersifat langganan
(pay per view).
· Layanan yang sebelumnya hanya bersifat satu arah bisa
menjadi lebih interaktif dengan pola transmisi hybrid (return
channel path yang berbeda dengan kanal siaran), yang
memungkinkan interaksi antara program dengan
pemirsanya.
· Peluang bisnis baru melalui media elektronik yang semakin
atraktif seperti tele-advertising, tele-education dan tele-
shopping
· Semakin tipisnya perbedaan batas layanan media baik yang
melalui saluran telekomunikasi maupun saluran televisi,
khususnya untuk layanan yang berbasis video streaming.
Pergeseran pola-pola layanan di atas tentunya akan berdampak
kepada tumbuhnya pola-pola bisnis baru di bidang multimedia
seperti layanan tele-advertising yang bisa langsung masuk ke
rumah dengan teknologi multimedia home platform (MHP) yang
lebih atraktif dibanding dengan layanan iklan sebelumnya dan
layanan ini lebih bersifat personifikasi yang lebih menarik bagi para
pemirsanya.
Layanan tele-edukasi yang sebelumnya menggunakan jaringan
Internet pun bisa dimanfaatkan lewat jaringan TV digital dengan
tambahan fitur interaktif. Juga layanan electronic government untuk
keperluan informasi perizinan dan sosialisasi pada publik dan lain-
lain.
Dari pergeseran pola-pola layanan yang semakin interaktif tersebut
tentunya akan berdampak pada bentuk dan pola kebijakan
pemerintah (policy) dan peraturan (regulation) demi penyelarasan
layanan-layanan itu, khususnya interaksi antara layanan yang
berbasis pada televisi dengan telekomunikasi.
Oleh sebab itu, negara-negara berkembang yang cepat atau
lambat harus menjalani migrasi dari sistem analog ke sistem TV
digital itu perlu merencanakan dengan lebih matang dan terperinci
agar tidak merugikan atau membebani masyarakat, bahkan malah
menimbulkan kesenjangan baru (digital divide) bagi masyarakat
dalam mengakses siaran televisi. Apalagi, agenda dari negara-
negara maju yang pasti berkepentingan terhadap migrasi tersebut,
pada dasarnya sarat dengan kepentingan ekonomi, sosial-budaya
dan ideologi-politiknya.
Sejumlah negara maju seperti, Kanada dan Australia, telah
melakukan kajian mendalam tentang migrasi ke sistem TV digital
dan konverjensi. Di dua negara tersebut berkembang berbagai
wacana untuk dapat merumuskan kebijakan-kebijakan yang tepat
guna mengantisipasi transisi tersebut. Salah satu wacana yang
mengemuka adalah peran sosial dan budaya dari media dalam
era digital/ konverjensi. Terdapat kekhawatiran bahwa aturan yang
sudah ada dalam UU penyiaran mereka tidak akan sesuai lagi bila
dipakai dalan era media digital/konverjensi. Dikhawatirkan
kecenderungan dominasi pendekatan komersial akan mengabaikan
fungsi sosial dan budaya dari media khususnya media penyiaran.
Australia sudah punya guidance tentang fungsi dan tujuan sosial-
budaya dari penyiaran, yang dirumuskan sebagai berikut:
· Penyiaran memiliki peranan penting dalam membangun
karakter nasional sebagai sumber dari informasi publik dan
pemanfaatan pengalaman serta sebagai ekspresi dari
identitas budaya nasional dan sebagai cara menjembatani
perbedaan serta membangun komunikasi antara daerah maju
dan tertinggal.
· Penyiaran ditujukan sebagai media yang sangat strategis
dalam mengekspresikan budaya, dan penyiaran memiliki
kapasitas dalam mempertahankan keanekaragaman budaya.
· Penyiaran dimaksudkan untuk meningkatkan kehidupan
berkewarganegaraan, mempromosikan secara benar
informasi yang terkait dengan pengetahuan tentang
demokrasi, menciptakan pengetahuan umum dan bisa
merefleksikan dan mengomunikasikan cara pandang yang
berbeda-beda.
· Penyiaran dimaksudkan untuk membentuk standar
komunitas tentang pembentukan cita-rasa dan tata-
kesopanan.
· Industri penyiaran dimaksudkan untuk berkembang dan
berjalan lebih kompetitif, efisien dan responsif.
negara kita belum memiliki kebijakan formal yang mengatur khusus
tentang penyiaran digital. UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
belum membahas penyiaran digital secara khusus. Padahal
penyiaran digital memiliki karakteristik tersendiri dan
membutuhkan kebijakan yang spesifik setelah proses konsultasi
publik dilakukan. Sebagai alternatif dapat digunakan kebijakan
penyiaran yang sekarang berlaku untuk mengakomodasi seoptimal
mungkin penyiaran digital.
Kebijakan penyiaran digital diperlukan untuk mendukung proses
migrasi dari analog ke digital pada saat yang bersamaan di masa
depan. Ketika pemegang lisensi penyiaran yang sekarang akan
mengajukan pembaharuan lisensi, maka pemohon lisensi yang
tidak berkomitmen untuk migasi ke digital memiliki keunggulan
kompetitif terhadap pemohon yang memiliki komitmen untuk
migrasi. Oleh karena itu sebaiknya setiap pemohon lisensi harus
memasukkan proposal untuk dapat memberikan layanan
simulcast. Usulan ini dapat menjadi momentum untuk penyiaran
digital.
Kerangka hukum untuk penyiaran di negara kita dilakukan melalui
dua produk hukum yaitu :
1. UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yang
mengatur tentang penyelenggaraan Telekomunikasi baik
berupa Jaringan, Jasa dan Telsus; Standarisasi (Sertifikasi);
penggunaan spektrum frekuensi radio, yang dilaksanakan
oleh Dirjen Postel.
2. UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang mengatur
tentang penyiaran radio dan televisi baik publik, swasta,
berlangganan dan komunitas, dan dalam hal ini
dilaksanakan oleh Direktorat Penyiaran Direktorat Jenderal
Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi. Namun UU
ini tidak secara khusus membahas penyiaran digital.
Saat ini Dirjen Postel yang berada di bawah Departemen
Komunikasi dan Informatika hanya memberikan lisensi penyiaran
kepada lembaga penyiaran analog. Meskipun UU Penyiaran tidak
mengatur mengenai teknologi akan tetapi perkembangan teknologi
baru membutuhkan perubahan payung hukum. Kebutuhan-
kebutuhan tersebut termasuk penggunaan spektrum frekuensi dan
bandwidth, lisensi perizinan untuk stasiun penyelenggara penyiaran
digital, prosedur kebijakan migrasi analog ke digital, masa transisi
penggantian pesawat penerima analog, penggunaan single
frequency network dan lain-lain. Untuk membahas masalah
tersebut dibutuhkan pengkajian kembali produk hukum yang ada,
untuk membuat produk hukum yang baru.
Regulasi di bidang penyiaran saat ini membentuk suatu struktur
industri yang terhubung secara vertikal dalam satu kesatuan antara
lembaga penyiaran, konten penyiaran, fasilitas jaringan, dan akses
spektrum frekuensi. Konsekuensinya, setiap operator broadcasting
harus memiliki infrastruktur transmisi sendiri dengan menggunakan
kanal frekuensi radio sendiri untuk setiap lokasi dalam mengirimkan
program kepada pemirsanya. Jenis hubungan seperti ini sudah
tidak sesuai lagi dalam era konverjensi.
Regulasi penyiaran saat ini tidaklah mudah dalam menyelesaikan
permasalahan penyelenggaraan layanan multimedia yang telah
mengalami konverjensi dari sisi konten. Konten baik untuk
komunikasi maupun untuk penyiaran dapat dikirimkan melalui
banyak alternatif jaringan transportasi seperti fixed services,
satellite, broadband ADSL, Wireless broadband, Digital televisi
dan mobile telephony.
Dalam kaitan untuk kepentingan nilai atau kompetisi dalam
pemanfaatan spektrum frekuensi, regulasi dalam penyiaran tidak
mengenal kepentingan di atas. Frekuensi untuk penyiaran harus
dialokasikan terpisah dengan pemanfaatan yang diperuntukkan
hanya khusus untuk siaran baik TV maupun radio. Pemanfaatan
sumber daya frekuensi di kanal-kanal UHF oleh institusi-institusi
penyiaran dipandang tidaklah setara dengan nilai sumber daya
kanal frekuensi yang mereka pakai, mengingat kanal-kanal UHF
yang dipakai pada sistem penyiaran TV sangatlah bernilai tinggi
apabila dimanfaatkan bagi penyelenggaran jaringan telekomunikasi
dan multimedia bergerak.
Tren regulasi internasional sangatlah mendorong adanya
konverjensi karena dalam pengaturannya akan terjadi pemisahan
antara penyelenggara konten dengan penyelenggara jaringan. Ini
berarti layanan konten ke depan akan diregulasi sesuai dengan
sifat dari konten itu sendiri. Hal ini juga berarti bahwa regulasi dan
akses terhadap jaringan akan didominasi oleh interkoneksi kepada
jaringan dan akses kepada infrastruktur. Kerangka ini tentunya akan
menjadikan sumber daya spektrum frekuensi menjadi suatu aset
yang bernilai baik bagi negara dan masyarakat.
Dengan tren internasional yang mendorong adanya layanan yang
berbentuk konverjensi maka perlu dipakai pendekatan model
horizontal untuk suatu regulasi dalam sistem penyiaran digital, yaitu
dengan melakukan pemisahan antara jenis-jenis layanan, konten,
mux operator dan network operator. Jadi ke depan nantinya untuk
penyiaran TV digital terestrial terdapat tiga jenis layanan yang akan
muncul yaitu layanan multiplex, layanan program televisi dan
layanan tambahan.
1.Operator Multiplex
Operator multiplex bertugas menggelar jaringan pemancar digital
terestrial, mengatur alokasi kapasitas kanal dari multiplex untuk
layanan program televisi maupun layanan tambahan dan
memancarkan layanan tersebut. Meskipun tidak berhubungan
langsung dengan pemirsa, namun operator multiplex merupakan
penghubung antara pemirsa dengan penyedia jasa layanan
program televisi dan atau penyedia jasa layanan tambahan.
2.Penyedia Layanan Program Televisi
Penyedia jasa program televisi menyediakan layanan televisi
termasuk data program. Penyedia layanan program televisi juga
sebagai penanggung jawab isi dari layanan program.
3.Penyedia jasa layanan tambahan.
Melalui aplikasi teknologi digital, data-data selain program, televisi
juga dapat dipancarkan dan diterima oleh pesawat penerima tanpa
mempengaruhi kualitas gambar meskipun menggunakan kanal
frekuensi yang sama. Layanan tambahan meliputi home banking,
home shopping, layanan interkatif dan multimedia. Layanan
tambahan dapat meningkatkan fitur layanan penerimaan teknologi
digital ini untuk pemirsa.
Untuk pemberian lisensi-perizinan terhadap tiga jenis layanan
tersebut terdapat dua pendekatan. Pendekatan pertama yaitu
lisensi kombinasi yang mana lembaga penyiaran diberi lisensi
untuk menyediakan layanan program televisi dan menggelar serta
mengoperasikan multiplex untuk menyiarkan layanan program
mereka sendiri. Kapasitas multiplex yang tersisa dapat digunakan
oleh penyedia layanan program lainnya atau untuk penyedia
layanan jasa tambahan. Pendekatan ini sama dengan layanan
program televisi analog yang sekarang diberikan kecuali bahwa
pemegang lisensi analog tidak diperkenankan untuk menyewakan
kapasitas pemancarnya kepada penyedia jasa lainnya.
Pendekatan yang kedua adalah memisahkan antara lisensi
operator multiplex, penyedia jasa layanan program televisi dan
penyedia jasa layanan tambahan. Untuk pendekatan ini kanal
frekuensi tidak dialokasikan bagi lembaga penyiaran tetapi diberikan
kepada operator multiplex yang mengatur (berdasarkan kontrak
bisnis) layanan program televisi maupun layanan tambahan pada
tiap kanal frekuensi. Dengan pendekatan ini penyedia jasa layanan
mungkin tidak ingin terlibat dalam pengoperasian multiplex. Namun,
perusahaan yang berminat untuk menjadi operator multiplex
sekaligus menjadi penyedia layanan program dapat memohon
lisensi keduanya.
Kedua pendekatan tersebut tentunya perlu dikonsultasikan terlebih
dahulu kepada publik atau stakeholder terkait. Berikut ini berapa
masukan yang bisa dipakai sebagai Rekomendasi untuk Lisensi :
· Pemberian lisensi untuk penyiaran TV digital sebaiknya
menggunakan pendekatan terpisah yaitu lisensi untuk
operator multiplex, penyedia jasa layanan program dan
penyedia jasa layanan tambahan.
· Sebuah perusahaan tidak diizinkan untuk meminta lebih dari
dua lisensi untuk operator multiplex.
· Jumlah lisensi untuk penyedia jasa layanan program televisi
akan dibatasi oleh ketersediaan spektrum frekuensi.
· Pemegang lisensi penyedia jasa layanan program televisi
baik berbayar ataupun free to air tidak diperbolehkan
memenuhi kapasitas lebih dari satu multiplex.
· Pemegang lisensi operator multiplex diperbolehkan untuk
menyediakan maximal 25% dari kapasitasnya untuk
memberikan jasa layanan tambahan.
Untuk itu perlu disempurnakan atau disusun regulasi baru dalam
penyiaran yang bersifat horizontal, yakni terjadinya pemisahan
aturan yang terkait paling tidak antara konten, layanan dengan
infrastruktur jaringan. Dengan regulasi yang mengedepankan model
horizontal ini maka penyiaran digital bisa disalurkan melalui
berbagai media seperti 3G mobile telephony, Cable TV, Broadband
Wireless Access dan jaringan terestrial TV digital itu sendiri.
8.5. Strategi Implementasi Penyiaran TV Digital
Pada Maret 2007 Pemerintah telah memutuskan sistem penyiaran
TV digital, melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika
Republik negara kita Nomer: 07/P/M.KOMINFO/3/2007, tentang
Standar Penyiaran Digital Terestrial Untuk Televisi Tidak Bergerak
di negara kita . Sistem Penyiaran Digital Terestrial untuk TV tidak
bergerak yang akan dipakai adalah : DVB-T (Digital Video
Broadcasting-Terestrial). Disebutkan pula pada Peraturan Menteri
tersebut, sebagai konsekuensi diputuskannya sistem DVB-T, yaitu
mengenai beberapa hal yang terkait dengan penyelenggaraan
penyiaran TV digital terestrial, seperti:
1. Rencana Induk (Master Plan) Frekuensi Penyiaran Digital
Terestrial.
2. Standarisasi perangkat penyiaran digital terestrial tersebut
3. Jadwal (time schedule) proses pelaksanaan peralihan
(migrasi) dari sistem penyiaran analog ke sistem penyiaran
digital termasuk masa transis penyelenggaraan penyiaran
analog dan digital secara bersamaan (simulcast periode).
Dengan keputusan tersebut maka akan terjadi proses perubahan
yang sangat berarti bagi negara kita . Perubahan-perubahan akan
terjadi baik di sisi teknis implementasi, kebijakan regulasi, sampai
pada sisi bisnis aplikasinya. Proses peralihan (migrasi) ini
sebaiknya harus disikapi oleh Pemerintah dengan sangat hati-hati,
mengingat dampak ekonomi, sosial politik dan budaya dari proses
digitalisasi media penyiaran ini akan sangat berpengaruh bagi
masyarakat.
Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika,
sejak Juni tahun 2004 telah membentuk Tim Nasional Migrasi
Penyiaran Sistem Analog ke Digital. Tim ini beranggotakan
sejumlah pejabat dan para pakar yang mewakili unsur-unsur
pemerintah, akademisi, lembaga riset, industri, serta asosiasi-
asosiasi di bidang TIK dan Penyiaran seperti antara lain Direktorat
Jenderal Postel, Direktorat Jenderal Sarana Komunikasi dan
Diseminasi Informasi, Departemen Perindustrian, Departemen
Keuangan, BPPT, Bappenas, TVRI, RRI, ATVSI, ATVLI, PRSSNI,
AEBI, PT LEN, PT Elektrindo Nusantara dan lainnya.
Tugas utama Tim ini adalah mempelajari berbagai aspek migrasi,
di antaranya mempelajari kesiapan regulasi, kesiapan
penyelenggara siaran, kesiapan industri dalam kaitan dengan set-
top box dan pesawat TV, kesiapan masyarakat baik dari segi teknis
maupun sosial, budaya, dan ekonomi. Tim juga membuat
pertimbangan dari aspek politis berkaitan dengan sinkronisasi
sistem standar dengan negara tetangga. Selain itu, Tim juga
merencanakan transisi analog ke digital yang diawali dengan masa
simulcast selama beberapa tahun. Pada masa transisi ini sistem
analog dan digital dipancarkan bersamaan sampai akhirnya sistem
analog dihentikan (analog cut off).
Salah satu tugas dari Tim adalah melaksanakan uji coba
penggunaan sistem TV digital di Jakarta. Uji coba telah
dilaksanakan sejak tahun 2006 oleh Tim Nasional bekerja-sama
dengan TVRI-Pusat Jakarta, lembaga riset-BPPT dan
Kementerian Riset & Teknologi dibantu beberapa akademisi dari
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) dengan
menggunakan perangkat Pemancar DVB-T dari Rohde&Shwarz
dan Thales serta pemancar DMB-T dari China milik PT Supersave
dengan perangkat preventif monitoring dari Pixelmetrix milik
Alphatron Asia-PTE Ltd. Uji coba ini cukup memuaskan Proses Migrasi sebagai Momentum Nasional
Sistem penyiaran digital akan mengubah secara signifikan
pemanfaatan kanal frekuensi. Penggunaan kanal menjadi sangat
efisien. Dengan sistem penyiaran analog saat ini 1 kanal frekuensi
hanya bisa diisi oleh satu program. Namun, dengan sistem
penyiaran digital 1 kanal frekuensi akan bisa diisi antara 4 sampai
6 program sekaligus. Sebagai contoh, 10 program siaran TV
swasta nasional saat ini menduduki 10 kanal di UHF, kelak dengan
sistem digital hanya akan menduduki 2 atau 3 kanal saja.
Sistem transmisi analog juga boros kanal. Karena, dari dua kanal
frekuensi yang digunakan selalu harus ada 1 kanal kosong sebagai
kanal perantara atau disebut guard channel, atau taboo channel.
Sedangkan pada sistem transmisi digital kanal perantara tidak ada.
Artinya kanal-kanal frekuensi di sistem digital bisa dimanfaatkan
secara bersebelahan.
Sebagai ilustrasi penggunaan alokasi kanal UHF untuk area
pelayanan di Jakarta. Kanal-kanal yang tidak digunakan di band
UHF bisa dimanfaatkan untuk siaran TV digital secara simulcast,
misalnya kanal 34, 36, 38 dan 40. Kanal-kanal tersebut akan
dimanfaatkan sebagai Multiplexer 1, Multiplexer 2, Multiplexer 3
dan Multiplexer 4 yang masing-masing multiplexer tersebut bisa
menyalurkan minimal 4 program siaran sekaligus. Sehingga hanya
dengan 4 kanal saja kita sudah bisa menikmati 16 program siaran
di Jakarta untuk siaran simulcast nanti. [sumber: presentasi Tim
Nasional Migrasi Sistem Digital & TVRI di Bali Nopember 2006]
Proses migrasi dari sistem penyiaran analog ke digital tentu saja
menyebabkan penambahan anggaran atau biaya pada operator
broadcasting dan masyarakat. Operator penyiaran perlu
menambah investasi peralatan pemancar digital, sedangkan
masyarakat perlu membeli peralatan penerima sinyal digital (set-
top box).
Untuk itu, sebelum memasuki era penyiaran digital penuh,
Pemerintah perlu menggariskan proses transisi migrasi
(simulcast) Tujuannnya adalah meminimalkan risiko kerugian pada
operator TV (broadcaster) maupun masyarakat pemirsa.
12/12/2006 38
TIM NASIONAL MIGRASI SISTEM PENYIARAN
Ch 40MUX 4
Ch 38MUX 3
Ch 36MUX 2
Ch 34MUX 1
PERIODE TRANSISI ~ 4 MUX(JAKARTA) (Ilustrasi)
Effisiensi Penggunaan Frequensi
Masa transisi simulcast, yaitu masa dimana sebelum masyarakat
mampu membeli pesawat penerima digital atau alat tambahan
yang diperlukan, pesawat penerima analog yang dimilikinya harus
tetap dapat dipakai menerima siaran (analog) dari pemancar TV
yang menyiarkan siaran digitalnya.
Masa transisi ini juga sebagai uji coba agar proses digitalisasi
sistem penyiaran berjalan sesuai dengan tahapan yang
dikehendaki serta selaras dengan peraturan yang berlaku. Contoh
proses tahapan dalam digitalisasi TV terestrial yang perlu dilalui
adalah pemanfaatan single frequency networks, penggunaan
portable atau mobile TV dan bahkan ke interactive access, serta
High Definition Television Program dan lain-lain.
Arah dan pentahapan menuju era penyiaran tersebut jelas sangat
kompleks, dan menyangkut kepentingan yang strategis. Karena
itulah peran Pemerintah dalam memberi arah menjadi amat
crucial.
Mengingat nilai strategisnya, maka sudah sewajarnya Pemerintah
bisa memanfaatkan masa transisi ini sebagai momentum bagi
perkembangan sistem penyiaran nasional. Era ini bisa dijadikan
momentum bagi Pemerintah untuk memacu perkembangan
industri dalam negeri baik dari sisi penyediaan perangkat keras,
perangkat lunak dan sumber daya manusianya. Dengan demikian
kandungan lokal pada sistem penyiaran digital kelak menjadi
optimum, yang tentu saja akan menguntungkan ekonomi nasional.
Pemilihan standar tentunya perlu dilakukan dengan persiapan dan
pengkajian secara komprehensif. Karena begitu sistem penyiaran
digital dipilih dan mulai diimplementasikan perlu didukung oleh
perangkat peraturan perundang-undangan yang telah dipersiapkan
secara matang sehingga semua pihak dapat ikut berperan serta
secara aktif serta dapat berkontribusi sesuai dengan kompetensi
yang dimiliki.
Sebagai contoh, pihak akademisi membantu dari segi penelitian
dan pengembangan teknologi, pihak industri berperan dalam
memproduksi perangkat digital baik perangkat pemancar maupun
penerima, broacaster berperan menambah konten siaran yang
lebih variatif, selektif dan terfokus, Pemerintah bertugas
memberikan kebijakan dan peraturan yang lebih berpihak kepada
masyarakat dan industri dalam negeri.
Dalam hal keseriusan dalam memasuki era digital tersebut, kita
patut mencermati negara tetangga; Malaysia dan Singapura.
Pemerintah dua negara ini menjadikan momentum migrasi sebagai
ajang peningkatan kemampuan industri mereka baik industri
manufaktur dan jasa di bidang perangkat keras, perangkat lunak,
sumber daya manusia dan industri konten sekaligus.
Kedua negara ini sangat antusias dalam mengembangkan
teknologi dan bisnis TV digital. Hal ini tampak pada acara tahunan
ASEAN-Broadcast Forum. kedua negara ini sangat berambisi
menjual kemampuan mereka kepada negara-negara tetangga
khususnya negara kita , yang memiliki potensi pasar paling besar
di ASEAN baik di bidang perangkat penyiaran digital maupun
kontennya.
8.5.2. Langkah-Langkah Pelaksanaan
Pelaksanaan sistem penyiaran digital harus dijalankan secara hati-
hati dan cermat, karena perubahan sistem digital akan membawa
dampak yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat luas.
Perlu dilakukan persiapan dan pengkajian yang matang dan
komprehensif. Karena apabila hanya didorong oleh faktor bisnis
semata maka akan menguntungkan pihak-pihak yang memiliki
kepentingan tertentu yang nantinya akan berusaha memengaruhi
kebijakan dan langkah yang akan diambil Pemerintah.
Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) saat ini
tengah mempersiapkan “peta jalan” (road map) yang berisi langkah-
langkah konkrit pelaksanaan migrasi. Juga akan diterbitkan “buku
putih” bertopik “Migrasi dari Sistem Penyiaran Analog ke Digital di
negara kita ” sebagai pegangan bagi masyarakat luas untuk
mengetahui apa dan bagaimana sistem TV digital dilaksanakan
pada masa transisi ini.
Dalam pelaksanaan sistem penyiaran TV Digital nanti sangat
penting diperhatikan sejumlah aspek ini:
a. Lisensi layanan dan bentuk perizinannya
b. Peningkatan kualitas SDM
c. Standarisasi dan pengembangan industri set-top box
nasional
d. Peningkatan aksesibilitas informasi khususnya untuk
daerah rural, daerah terpencil & perbatasan
e. Penataan kembali alokasi kanal frekuensi penyiaran
Lisensi pelayanan penyiaran TV digital untuk masa awal transisi
sebaiknya ditawarkan kepada operator TV yang sudah ada, baik
publik, swasta maupun lokal agar mereka bisa melaksanakan
siaran simulcast. Untuk itu perlu dipertimbangkan pemberian
insentif atau keringanan kepada operator penyelenggara konten
siaran TV digital yang free-to air. Karena mereka terbebani
tambahan investasi untuk penyelenggaraan TV digital bersamaan
dengan sistem analog. Sub-bab mengenai kerangka lisensi dan
perizinan telah dibahas
Momentum migrasi ke TV digital ini sebaiknya juga digunakan
sebagai kesempatan untuk peningkatan kualitas SDM baik di
bidang teknik pengoperasian sistem maupun pada teknik
memproduksi perangkat digital. Penyiapan SDM yang handal ini
harus dilaksanakan sejak awal pelaksanaan transisi, dengan
sesering dan sebanyak mungkin melibatkan lembaga-lembaga
terkait yang bergerak dalam peningkatan kualitas SDM seperti
lembaga penelitian dan pengembangan departemen terkait,
institusi riset seperti BPPT, LIPI dan perguruan tinggi serta pusat-
pusat pelatihan multimedia. Pemerintah seyogyanya berupaya
melakukan pengembangan SDM profesional melalui pembentukan
pusat-pusat unggulan teknologi atau disebut center of excellences.
Selain itu, pelaku industri penyiaran diberi kesempatan
memperoleh akses yang lebih besar bagi terjadinya proses alih
teknologi TV digital baik melalui inhouse training, field training
maupun factory training sehingga ketergantungan pada pihak
pemasok luar negeri menjadi berkurang. [Satya-Satriyo-2006]
Diharapkan nanti dalam proses transisi akan dihasilkan SDM-SDM
lokal yang bisa dibanggakan bahkan bisa menjadi tenaga TV digital
bagi pihak luar negara kita . Sebab, teknologi TV digital bakal
berkembang menjadi alternatif akses informasi yang sangat
dibutuhkan baik dilihat dari potensi pemanfaatannya dan prospek
jumlah penggunanya di dunia.
Perlu diprioritaskan peningkatan akses informasi di daerah rural,
terpencil dan perbatasan. Pembangunan pemancar televisi di
daerah perbatasan dan terpencil sangat penting dan strategis
khususnya untuk wilayah perbatasan di Kalimantan yang langsung
serta sangat dekat dengan negara tetangga seperti Malaysia.
Dasar pertimbangan yang melandasi pentingnya pembangunan
infrastruktur televisi perbatasan adalah sebagai berikut :
- Pemerintah negara kita perlu menyampaikan informasi yang
benar melalui saluran-saluran TV yang resmi mengenai
kebijakan negara kita untuk masyarakat di wilayah-perbatasan
tersebut.
- Televisi merupakan media yang paling efektif untuk
menyiarkan informasi-informasi positif dan produktif seperti
informasi pendidikan, kesehatan, teknologi tepat guna dan
lain-lain.
- Percepatan pembangunan sarana pendidikan, penerangan
dan hiburan, baik yang bersifat nasional maupun lokal.
Karena program-program siaran dari pemerintah lokal bisa
langsung disiarkan kepada masyarakatnya.
- Saat ini satu-satunya pemancar yang ada di wilayah
perbatasan dan terpencil adalah milik TVRI yang umumnya
sudah berumur lebih kurang 10 sampai 20 tahun. Kondisi ini
berakibat kurang stabilnya perangkat tersebut yang
berdampak mengganggu program siarannya serta daya
jangkau siarannya juga sangat terbatas.
Untuk itu peningkatan akses informasi masyarakat di daerah rural,
daerah terpencil dan daerah perbatasan juga perlu mendapatkan
kesempatan dalam pemanfaatan sistem penyiaran TV digital. Ini
untuk menyeimbangkan akses informasi dengan masyarakat
perkotaan.
Masyarakat di Jakarta dan kota besar lainnya dapat menikmati
kurang lebih 15 program siaran TV baik dari TVRI, swasta maupun
lokal. Sedangkan masyarakat di daerah terpencil hanya bisa
menikmati 1 program siaran dari TVRI (itupun jika ada dan on air),
kecuali apabila mereka membeli antena parabola untuk menerima
siaran dari satelit.
Pemanfaatan kanal dengan multiplexer sangat membantu daerah
untuk bisa memiliki banyak pilihan program siaran karena 1
kanal dengan multiplexer bisa menyiarkan lebih dari satu program,
sehingga mereka bisa melihat siaran TV lainnya, tidak hanya dari
1 saluran TVRI saja.
Dari sisi kebutuhan akan set-top box (STB), perlunya dikaji tidak
hanya dari aspek ekonomi melainkan juga dari aspek peningkatan
kemampuan riset dan pengembangan industri nasional. Perlu
keberpihakan dari Pemerintah terhadap industri dalam negeri agar
momentum transisi ini bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin bagi
kemampuan riset mereka.
Dalam hal ini, misalnya, industri didorong untuk mengembangkan
dan mendesain STB khas negara kita , seperti memiliki fitur
aplikasi khusus untuk kebutuhan peringatan akan bahaya bencana
(early warning system). Di samping itu perangkat STB yang akan
beredar di negara kita harus memerhatikan kaidah-kaidah yang
ditetapkan dalam SNI (Standar Nasional negara kita ) agar
perlindungan terhadap konsumen bisa dijamin
Dengan memberi peluang sebesar mungkin kepada industri
domestik dalam mengembangkan dan memproduksi STB, maka
diharapkan dapat dihasilkan STB yang harganya terjangkau
masyarakat. Karena, harga STB sebesar US $ 50 sampai US $
100 di Singapura dan Malaysia (tahun 2006). Harga ini tentu cukup
tinggi bagi sebagian besar penduduk negara kita . Karena itu, jika
dihasilkan oleh industri elektronika nasional diharapkan harganya
bisa di kisaran US$ 15 - US $25. Pertimbangan penentuan harga
seekonomis mungkin ini tentunya berdasarkan jumlah pemirsa
TV di negara kita yang jauh lebih banyak dibanding pemirsa TV di
Singapura dan Malaysia.
Salah satu cara untuk menekan harga STB antara lain dengan
meminimalkan fiturnya. Hal ini karena sistem penyiaran TV digital
memungkinkan memberikan banyak layanan yang bisa diakses
dengan STB yang sesuai. Semakin banyak fiturnya maka akan
semakin mahal harga STB.
Di sisi lain standarisasi nasional STB produk negara kita diperlukan
agar pasar kita tidak dibanjiri oleh STB dari luar negeri yang
mungkin jauh lebih murah dibanding STB nasional. Salah satu
bentuk proteksi kepada konsumen agar tidak menggunakan STB
berharga murah dan berkualitas rendah adalah dengan
memberlakukan standarisasi STB negara kita dengan
mengharuskan label SNI (Standard Nasional negara kita ). Selain
itu, perlu dipertimbangkan kerja sama dengan pihak operator
broadcasting agar hanya STB nasional saja yang bisa menangkap
siaran TV digital terestrial di negara kita .
Pola perlindungan terhadap produk pasar dalam negeri semacam
itu sudah dilakukan oleh beberapa negara. Namun, gagasan untuk
membuat satu standar STB secara regional juga berkembang di
negara-negara anggota ASEAN. Hanya saja, saat ini belum semua
negara ASEAN, termasuk negara kita , menerapkan standar STB
transmisi TV digitalnya. Karena itu, ide satu standar STB ASEAN
tampaknya belum bisa terealisasi.
Hal yang juga amat mendasar adalah perlunya suatu kajian indikator
sosial ekonomis yang mendalam untuk menentukan kapan
negara kita akan beralih secara total dari sistem analog ke digital.
Negara-negara lain umumnya memberi batas waktu paling lama
10 tahun untuk proses transisi ini, yang biasanya ditinjau kembali
apabila kesiapan-kesiapan migrasi itu mengalami perubahan.
Negara tetangga terdekat, Malaysia, bahkan sudah menetapkan
2014 sebagai tahun beralihnya secara total siaran TV dari sistem
analog ke sistem digital.
Kebutuhan lain yang juga menjadi prasyarat masa transisi itu
adalah pengaturan kembali alokasi spektrum frekuensi untuk
televisi, yang dituangkan dalam master plan frekuensi TV yang
baru. Sebab, salah satu keunggulan sistem TV digital adalah
penggunaan SFN (Single Frequency Network), yang
memungkinkan perluasan area cakupan dengan stasiun
pemancar yang tersebar namun semua beroperasi pada kanal
frekuensi yang sama. Dengan demikian, terjadi efisiensi yang tinggi
dalam penggunaan kanal frekuensi.
Karena itu, Pemerintah sebagai regulator perlu punya master plan
baru, sehingga pemanfaatan kanal frekuensi bisa lebih hemat,
tetapi juga menunjang transisi yang mulus dari analog ke digital,
serta mengakibatkan saling interferensi yang serendah-rendahnya,
baik untuk stasiun pada kanal frekuensi yang sama maupun yang
bersebelahan.
Sebagai regulator, kiranya sudah tepat bila pada masa transisi ini
Pemerintah segera mempersiapkan perencanaan jaringan TV
digital secara menyeluruh dengan menggunakan perangkat-
perangkat perencanaan seperti Network Planning Tools, Network
Monitoring Tools dan Network Measurement Tools. Semua
kesiapan itu diperlukan semata-mata supaya kelak, ketika
penyiaran digital digelar secara komersial, bisa berjalan sesuai
dengan apa yang diinginkan baik oleh regulator, operator jaringan
dan juga pengguna.
Related Posts:
televisi 2 persentase wilayah cakupan kemudian dapat dilakukandengan menerapkan asumsi variasi shadowing dalam dB yangberdistribusi Gauss… Read More