Tampilkan postingan dengan label agunan kredit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label agunan kredit. Tampilkan semua postingan

agunan kredit




 Konsep bisnis waralaba (franchise) akhir-akhir ini telah menjadi salah 

satu trendsetter yang memberi warna baru dalam dinamika perekonomian 

negara kita . Setidaknya dalam tiga tahun terakhir, animo masyarakat 

negara kita  terhadap munculnya peluang usaha waralaba sangat signifikan. 

Animo ini terefleksi pada dua cermin yakni : jumlah pembeli waralaba dan 

jumlah peluang usaha (business opportunity) yang terkonversi menjadi 

waralaba. berdasar  data Asosiasi Franchise negara kita  (AFI) di tahun 

2014, jumlah semua waralaba yang ada di negara kita  sebanyak 2.100 merek, 

dan 400 di antaranya adalah merek asing

Menurut Reitzel, Lyden, Roberts dan Severance dikutip dari buku 

yang berjudul “Study Guide To Accompany Reitzel-lyden-roberts-severance 

Contemporary Business Law: Principles And Cases”, bahwa franchise di 

definisikan sebagai sebuah kontrak atas barang yang intangible yang 

dimiliki oleh seseorang (franchisor) seperti merek yang diberikan kepada 

orang lain (franchisee) untuk menggunakan barang (merek) ini  pada 

usahanya sesuai dengan teritori yang disepakati2

. sedang  menurut 

Peraturan Pemerintah Republik negara kita  Nomor 42 Tahun 2007 tentang 

waralaba, di dalam ketentuan umumnya disebutkan bahwa “waralaba adalah 

hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha 

terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan 

barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan 

dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasar  perjanjian waralaba”.

Hak Eksklusif yang dapat diberikan oleh undang-undang dalam hal 

kontrak franchise ialah Hak untuk membuka dan mengelola counter atau 

tempat usaha di lokasi yang disepakati para pihak, hak untuk menggunakan 

nama dan karakteristik milik franchisor yang sudah dikenal secara baik oleh 

masyarakat, hak untuk menerima informasi mengenai manajemen bisnis dan 

pemasaran milik franchisor, hak untuk menerima petunjuk/padoman teknis 

tertentu secara komprehensif dari franchisor ,dan hak promosi atas seluruh 

counter di negara kita . berdasar  fakta ini  bahwa sifat dari kontrak

franchise memiliki nilai yang berguna dan mengandung beberapa hak 

ekslusif kekayaan intelektual lainnya seperti hak merek dalam hal 

penggunaan atas nama dan karakteristik milik franchisor serta hak ekslusif 

lainnya seperti hak paten dan kontrak, sehingga kontrak franchise ini  

dapat menjadi suatu asset tidak berwujud (intangible asset)

yang membawa 

manfaat ekonomi jika diperalihkan karena isi dari kontrak ini  

menghasilkan royalty yang cukup besar. kontrak franchise ini  dapat 

dikategorikan sebagai hak milik industri. Bagi bangsa negara kita ,  

pengembangan Hak Milik Industri merupakan perkembangan yang baru, 

tetapi bagi negara maju telah dikenal karena pandangan akan prinsip 

manfaat atau nilai ekonomi (economic value) yang cukup besar bagi 

pendapatan Negara4

.

Pengertian jaminan berdasar  Undang-Undang Perbankan Nomor 

10 Tahun 1998 tidak sama dengan pengertian jaminan berdasar  Undang Undang Perbankan Tahun 1967. Menurut Undang-Undang Perbankan 

Tahun 1967, pengertian “jaminan” disamakan dengan “agunan”. Adapun 

“jaminan” menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 

diartikan “keyakinan atas iktikad dan kemampuan nasabah serta 

kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan 

pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”. Jaminan kredit 

yang dimaksud Undang-Undang Perbankan Nomor 8 Tahun 1998 bukanlah 

jaminan kredit yang selama ini dikenal dengan sebutan collateral yang 

merupakan bagian dari Prinsip 5 C sebagai penerapan analisis kredit 

perbankan5

.

Selama ini masyarakat awam mempersamakan pengertian “jaminan 

kredit” dengan “agunan kredit”, padahal pengertian keduanya berbeda. 

Jaminan kredit adalah jaminan utama yang berwujud tidak nyata, yaitu 

jaminan yang berupa “keyakinan” bank atas “iktikad baik” nasabah debitur  

untuk melunasi utangnya sesuai perjanjian, sedang  agunan kredit adalah 

jaminan tambahan yang pada umumnya berwujud fisik (misalnya : rumah, 

tanah, mobil, surat berharga, dan lain-lain) yang dicadangkan untuk 

pelunasan hutang. Agunan kredit terdiri dari agunan pokok dan agunan 

tambahan. Pengertian jaminan kredit secara tersirat dan tersurat dijelaskan 

dalam pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang 

Perbankan yang menyatakan bahwa: 

“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasar  Prinsip Syariah, 

Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasar  analisis yang 

mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur 

untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai 

dengan yang diperjanjikan”. 

Agunan kredit tidaklah menjadi masalah apabila barang yang 

dijadikan sebagai agunan merupakan barang yang lazim digunakan 

masyarakat sebagai objek penjaminan atas utang, tetapi akan timbul masalah 

apabila barang yang dijadikan agunan tidaklah umum dipakai sebagai objek 

jaminan. Dalam hal konsep hukum perdata dikenal dengan asas kebebasan 

berkontrak (freedom of contract) yakni suatu perjanjian dapat 

mengesampingkan undang-undang selama perjanjian ini  tidak 

mencederai kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat dan berlaku sebagai 

undang-undang bagi mereka yang membuatnya, melainkan kebebasan 

berkontrak ini  akan batal demi hukum apabila tidak memberikan 

keadilan yang proporsional kepada salah satu pihak, karena hal ini  

dianggap tidak memenuhi Pasal 1320 tentang syarat sahnya perjanjian 

terkait sebab yang halal. Oleh sebab itu dalam hal perjanjian yang bersifat  

tambahan, undang-undang harus memberikan legitimasi perlindungan 

terhadap pihak-pihak yang melakukan hubungan hukum perjanjian. Hukum 

penjaminan di negara kita  diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 

1999 tentang Jaminan Fidusia dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 

serta peraturan pelaksanaannya melalui peraturan pemerintah, peraturan 

menteri, dan peraturan Bank negara kita . Surat berharga itu sendiri adalah 

surat yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksana 

pemenuhan suatu prestasi, yang berupa pembayaran sejumlah uang yang 

pembayarannya tidak dilakukan dengan menggunakan mata uang, 

melainkan dengan alat bayar lain6

.

Seiring berkembangnya bisnis dan dunia perbankan khususnya 

perkreditan surat berharga pun bisa dijadikan jaminan. Saat ini berdasar  

regulasi yang terkait, Surat berharga yang dapat dijadikan jaminan antara 

lain saham, obligasi, sukuk dan lain-lain, namun didalam praktik ada  

surat berharga yang tidak termasuk kedalam kategori surat berharga yang 

dapat dijadikan agunan, melainkan surat yang berharga untuk pihak tertentu 

saja dan tidak berlaku umum, yakni Sertifikat franchise. Seiring dengan hal 

ini , keberadaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) hak yang timbul bagi 

hasil olah pikir yang menghasikan suatu produk atau proses yang berguna 

untuk manusia khususnya kontrak franchisse kurang diperhatikan untuk 

dimasukkan ke dalam bentuk barang-barang yang dapat dijadikan agunan. 

Hal ini  dikarenakan nilai objek dari HKI bersifat fluktuatif atau tidak  

tetap, namun akan terjadi perbedaan kepentingan yang disebabkan oleh 

terpenuhinya nilai-nilai yang terkandung dalam HKI sehingga dapat 

dijadikan sebagai objek collateral apabila dikaitkan dengan syarat-syarat 

benda jaminan yang diatur di dalam hukum jaminan di negara kita  dengan 

praktik yang terjadi. Sehubungan dengan surat berharga yang dapat 

dijadikan sebagai jaminan, maka penulis tertarik membahas status surat 

kontrak franchise sebagai jaminan kredit perbankan ditinjau dari hukum 

jaminan negara kita . Dengan judul “KONTRAK FRANCHISE SEBAGAI 

AGUNAN KREDIT DALAM HUKUM JAMINAN DI negara kita ” 

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 

1. Pembatasan Masalah 

 Mengingat luasnya cakupan pembahasan terkait hukum jaminan 

maka penelitian ini difokuskan pada status surat kontrak franchise

yang dijadikan sebagai objek agunan penjaminan dalam kredit 

perbankan di negara kita  dikaitkan dengan regulasi yang mengatur 

hukum jaminan seperti Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang 

Jaminan Fidusia, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Peraturan Bank 

negara kita  (PBI) No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum 

Pemberian Kredit Bank Umum dan Peraturan Pemerintah Republik 

negara kita  Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba.

2. Perumusan Masalah  

berdasar  uraian pada latar belakang dan batasan masalah di atas, 

maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 

a. Bagaimanakah kedudukan kontrak franchise dalam pemberian kredit 

perbankan? 

b. Apakah kontrak franchise dapat digolongkan sebagai suatu surat 

berharga yang dapat menjadi jaminan dalam pemberian kredit 

perbankan? 

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 

1. Tujuan Penelitian 

 Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui tinjauan 

hukum jaminan di negara kita  terhadap pernyataan kontrak franchise

sebagai objek jaminan kredit perbankan. sedang  secara khusus 

penelitian ini bertujuan : 

a. Untuk mengetahui kedudukan kontrak franchise dalam pemberian 

kredit perbankan. 

b. Untuk mengetahui kontrak franchise digolongkan sebagai suatu 

surat berharga yang dapat menjadi jaminan dalam pemberian kredit 

perbankan. 

2. Manfaat Penelitian 

Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi 

dua, yaitu : 

a. Manfaat Teoritis 

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah 

pengetahuan tentang perjanjian dengan klausul perjanjian tambahan 

menggunakan objek jaminan kontrak franchise. 

b. Manfaat Praktis 

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan 

bagi pelaku usaha dan masyarakat yang hendak mengajukan kredit 

perbankan agar bisa menggunakan surat perjanjian kontrak franchise. 

Bahan Hukum 

 Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat 

autoritatif artinya mempunyai otoritas. Dalam penelitian ini yang 

termasuk dalam bahan hukum primer adalah Undang-undang : Kitab 

Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang nomor 10 Tahun 

1998 Tentang Perbankan, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan 

Peraturan Pemerintah Republik negara kita  Nomor 42 Tahun 2007 

Tentang Waralaba. 

 Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum 

yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang 

hukum meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan 

komentar-komentar atas putusan pengadilan. Bahan-bahan non-hukum 

ini  dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan 

peneliti. 

4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum 

 Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun sumber 

non-hukum yang telah didapatkan itu kemudian dikumpulkan  

berdasar  rumusan masalah dan diklasifikasikan menurut sumber 

dan hierarkinya. 

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum 

 Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum 

sekunder maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan 

sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih 

sistematis untuk menjawab permasalah yang telah dirumuskan. Cara 

pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik 

kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap 

permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya setelah bahan 

hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum ini  yang 

akhirnya akan diketahui tinjauan hukum jaminan di negara kita  tentang 

kontrak franchise sebagai jaminan kredit perbankan. 

G. Sistematika Penelitian 

Skripsi ini disusun berdasar  buku Petunjuk Penulisan Skripsi 

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012 

dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri 

atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun 

perinciannya sebagai berikut: 


Waralaba atau dalam istilah Bahasa Inggris disebut dengan Franchise

adalah suatu sistem yang berkembang dari lisensi di bidang hak milik 

intelektual di bidang penjualan barang-barang dan jasa. Apa yang ada  

dalam kontrak lisensi biasanya juga ada  dalam suatu kontrak franchise, 

hanya saja kontrak franchise biasanya lebih luas (comprehensif). Hal ini 

karena selain franchise harus memproduksi barang dan jasa yang sama 

dengan yang dibuat oleh franchisor atau perusahaan induknya, juga sering 

sekali pula harus disajikan dan harus dipasarkan sesuai dengan cara yang 

dilakukan dan diminta oleh franchisor. 

Franchise sebagai suatu cara melakukan kerjasama di bidang bisnis 

antara dua atau lebih perusahaan, satu pihak bertindak sebagai franchisor 

dan pihak lain sebagai franchisee, dimana di dalamnya diatur, bahwa pihak 

franchisor sebagai pemilik suatu merek dan teknologi, memberikan haknya 

kepada franchise untuk melakukan kegiatan bisnis berdasar  merek dan 

teknologi ini .8

Ada beberapa pendapat lain yang dikemukakan oleh para ahli 

mengenai pengertian atau definisi dari franchise. Dalam hal ini akan  


dikemukakan beberapa pengertian mengenai franchise sebagai gambaran 

untuk mengetahui apa itu franchise.

Menurut Gunawan Widjaja, Waralaba merupakan salah satu bentuk 

pemberian lisensi, hanya saja agak berbeda dengan pengertian lisensi pada 

umumnya, waralaba menekankan pada kewajiban untuk mempergunakan 

sistem, metode, tata cara. prosedur, metode pemasaran dan penjualan 

maupun hal-hal lain yang telah ditentukan oleh pemberi waralaba secara 

eksklusif, serta tidak boleh dilanggar maupun diabaikan oleh penerima 

lisensi. Hal ini mengakibatkan bahwa waralaba cenderung bersifat 

eksklusif.9

Jadi, dalam hal ini Penerima Waralaba tidak dapat menggabungkan 

usaha miliknya dengan usaha milik Pemberi Waralaba. Menurut pasal 13 

ayat (1) Undang-Undang Republik negara kita  Nomor 15 Tahun 2001 tentang 

Merek menjelaskan bahwa: 

“Perjanjian Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemilik merek 

terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasar  pada 

pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menggunakan Merek 

ini , baik untuk seluruh atau sebagaian jenis barang dan/atau jasa yang 

didaftarkan dalam jangka waktu dan syarat tertentu”.

Lisensi tidak hanya menyangkut mengenai Merek tetapi juga mencakup 

hak-hak intelektual lainnya seperti paten, hak cipta, desain industri dan 

sebagainya. 

Menurut Adrian Sutendi, Perjanjian Lisensi biasa tidak sama dengan 

perjanjian waralaba. Pada perjanjian lisensi biasa hanya meliputi satu bidang  

kegiatan saja, misalnya pemberian izin lisensi bagi penggunaan merek 

tertentu ataupun lisensi pembuatan satu/beberapa jenis barang tertentu 

sedang  pada perjanjian waralaba, pemberian lisensi melibatkan berbagai 

macam hak milik intelektual, seperti nama perniagaan, merek, model, 

desain.”10 Menurut Asosiasi Franchise negara kita , yang dimaksud dengan 

waralaba ialah: “suatu sistem pendistribusian barang dan jasa kepada 

pelanggan akhir, dimana pemilik merek (franchisor) memberikan hak 

kepada individu atau perusahaan (franchise) untuk melaksanakan bisnis 

dengan merek, nama, sistem, prosedur dan cara – cara yang telah ditetapkan 

sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu”. Di dalam 

kamus ekonomi bisnis perbankan mengartikan bahwa franchise adalah 

“suatu hak tunggal yang diberikan kepada perorangan atau suatu organisasi, 

oleh suatu pihak lain, baik perorangan atau organisasi (perusahaan, 

pemerintah dan sebagainya) untuk menjalankan suatu wewenang 

khususnya menyangkut perbuatan dan atau penjualan di wilayah tertentu

.

Dari sudut pandang ekonomi franchise adalah hak yang diberikan 

secara khusus kepada seseorang atau kelompok, untuk memproduksi atau 

merakit, menjual, memasarkan suatu produk atau jasa. sedang  dari sudut 

pandang hukum franchise adalah perjanjian legal antara dua pihak dalam  


bekerjasama memproduksi, merakit, menjual, memasarkan suatu produk 

jasa. 

berdasar  semua pengertian atau definisi tentang waralaba 

(franchise) diatas pada dasarnya mengandung elemen/unsur pokok sebagai 

berikut : 

1. Franchisor yaitu pihak pemilik/produsen dari barang atau jasa yang 

telah memiliki merek tertentu serta memberikan atau melisensikan hak 

eksklusif tertentu untuk pemasaran dari barang dan jasa itu. 

2. Franchise yaitu pihak yang telah menerima hak eksklusif itu dari 

franchisor.

3. Penyerahan hak – hak secara eksklusif (dalam praktek meliputi 

berbagai macam hak milik intelektual/hak milik perindustrian) dari 

franchisor kepada franchise.

4. Standarisasi mutu yang ditetapkan oleh franchisor bagi franchisee, 

serta supervisi secara sukarela berkala dalam mempertahankan mutu. 

5. Imbalan prestasi dari franchise kepada franchisor yang berupa initial 

fee dan royalties biaya – biaya lain yang disepakati oleh kedua belah 

pihak. 

6. Penempatan wilayah tertentu. 

7. Pelatihan awal, pelatihan yang berkesinambungan yang 

diselenggarakan oleh franchisor guna peningkatan ketrampilan.  


Waralaba dapat berkembang dengan pesat dikarenakan sarana 

pengembangan usaha ini, digunakan oleh berbagai jenis bidang usaha retail, 

makanan, salon, binatu dan lain sebagainya. Waralaba juga mulai 

berkembang di berbagai negara termasuk di negara kita , baik waralaba asing 

yang dijalankan oleh pengusaha negara kita  sebagai Penerima Waralaba, 

maupun waralaba yang dikembangkan oleh pengusaha negara kita , yang 

sering disebut sebagai waralaba lokal, di antaranya Es Teller 77, Alfamart, 

dan Sabana Fried Chicken.

B. Sejarah Franchise

Konsep waralaba/franchise pada mulanya muncul sejak 200 tahun 

sebelum masehi. Ketika itu, ada  seorang pengusaha keturunan Cina 

memperkenalkan konsep rangkaian toko untuk mendistribusikan produk 

makanan dengan merk tertentu. Kemudian juga terjadi di Perancis pada 

tahun 1200-an, ketika itu penguasa Negara dan penguasa gereja 

mendelegasikan kekuasaannya kepada para pedagang dan ahli pertukangan. 

Pada saat itu hal ini disebut “diartes de franchise”, yang berarti bahwa para 

pedagang dan ahli pertukangan memiliki hak untuk menggunakan dan 

mengolah hutan yang berada dibawah kekuasaan Negara dan gereja. 

Kemudian sebagai imbalannya penguasa Negara dan penguasa gereja 

menuntut jasa tertentu atau uang. Namun, sebenarnya konsep waralaba 

seperti yang kita kenal saat ini berasal dari Amerika Serika 

Pada tahun 1851 konsep dasar waralaba ini diawali dan berkembang 

di Amerika Serikat, kemudian tumbuh dengan pesat pada tahun 1950-an dan 

1960-an. Ide atau dasar pemikiran ini walnya adalah bagaimana agar suatu 

produk yang dihasilkan di suatu negara bagian dapat dijual ke negara bagian 

lainnya. Selanjutnya dikemudian hari ide ini  diistilahkan sebagai 

franchise. Hal ini merupakan bentuk penyempurnaan dan/atau 

perkembangan dari masa-masa sebelumnya

.

Kurang lebih dua abad yang lalu perusahaan-perusahaan bir 

memberikan lisensi kepada perusahaan-perusahaan kecil sebagai upaya 

mendistribusikan produk mereka. Pada masa ini waralaba yang sekarang 

dikenal diistilahkan sebagai “straight product franchising” (waralaba 

produksi murni). Pada awalnya sistem ini dipergunakan pada industri Coca 

Cola yang kemudian berkembang sebagai sistem pemasaran industri mobil 

(general-motor) oleh produsen bahan bakar, yang memberikan hak waralaba 

kepada pemilik pompa bensin sehingga terbentuk jaringan penyediaan untuk 

memenuhi suplai bahan bakar dengan cepat15

.

Setelah perang dunia ke II di amerika serikat berkembang sistem 

waralaba generasi ke dua yang istilahkan “entire business francheshing”. 

Jadi, sistem waralaba mengalami perkembangan, yaitu tidak hanya 

perjanjian mengenai satu aspek produksi, tetapi cenderung meliputi seluruh 

aspek pengoprasian perusahaan waralaba. Dimana pemberi waralaba  


(Franchisor) memiliki konsep berupa bentuk atau dekorasi tempat usaha, 

kebijakan perusahaan, dan sistem manajemen atau organisasi perusahaan. 

Kemudian di berikan kepada penerima waralaba (franchise).

Bentuk franchise yang paling sederhana dan umum adalah produk 

franchise atau trade name franchise yang dipelopori oleh mesin jahit singer. 

Singer sewing machine company merupakan pihak pertama yang 

mengembangkan franchise sebagai cara menjual produk dan jasa serta telah 

menciptakan suatu bentuk pemasaran produknya (dalam hal ini mesin-mesin 

jahit), dimana bentuk pemasaran produk ini  dapat dianggap sebagai 

bentuk embrio dari sistem franchise. Pada tahun 1980-an singer

membangun jaringan dealer dan salesman yang membayar kepada singer, 

sebagai royalti atas diberikannya hak memasarkan mesin jahit singer ke 

daerah tertentu. Meskipun usaha ini  kurang sukses dan tidak 

dilanjutkan setelah berjalan sepuluh tahun, singer telah berjasa 

mengembangkan franchise.

Bisnis franchise ini seolah-olah melejit begitu saja, banyak orang 

terkejut. Franchise dianggap tanpa melalui proses perkembangan dari awal. 

Apa yang dilakukan oleh Ray Kroc pada McDonald’s adalah 

mempopulerkan sistem bisnis yang telah ada beberapa abad yang lalu. 

Sesungguhnya franchise telah ada sejak dulu, sebelum McDonald’s sukses. 

Baru tahun 1950-an sistem bisnis franchise mulai dikenal luas yang juga 

dikenal sebagai peristiwa “Franchise Boom” di kawasan Amerika dan  


sekitarnya. Sejak saat itu mulai nampak variasi bentuk dari sistem franchis 

dan rupanya sistem bisnis ini semakin berkembang hingga saat ini. 

Ekspansi di bidang franchise secara bertahap dimulai pada era tahun 

1950-an, dimana pada masa itu sistem bisnis franchises merupakan suatu 

jaringan usaha suatu mata rantai. Para franchisor mulai berfikir untuk 

mencari lokasi yang tepat bagi pendirian output yang menentukan 

penempatan pengurus yang tepat bagi produksinya. Dalam 

perkembangannya dewasa ini franchise juga sudah melewati batas-batas 

negara, artinya sistem bisnis franchise tidak hanya dilakukan dalam wilayah 

suatu negara tertentu atau nasional, tetapi juga dilakukan dengan pihak asing 

di luar negara franchisor.

Jadi hubungan bisnis franchise bukan hanya bersifat lokal/nasional 

tetapi sudah bersifat internasional. Sebagai contoh di negara kita  saat ini 

sudah banyak perusahaan-perusahaan asing yang memberi hak lisensi 

kepada pengusaha di negara kita , baik untuk memproduksi barang, memberi 

hak pemakaian merek, service/format dan lain-lain. Perusahaan-perusahaan 

ini  beragam bentuknya mulai dari bisnis restaurant, retail shop, 

garment, hotel dan lain-lain, namun yang lebih banyak dikenal orang adalah 

dalam bisnis fast food seperti Kentucky Fried Chicken, McDonald’s, 

Wendy’s dan lain sebagainya. Yang terpenting dalam perkembangan 

franchise saat ini adalah bagaimana mengembangkan konsep atau ide 

franchisor agar dapat dikembangkan oleh franchisee dengan mutu, standar 

dan keseragaman tetap terjaga 

C. Perlindungan Terhadap Para Pihak Menurut Undang-Undang yang 

Berlaku di negara kita  

Waralaba merupakan suatu perjanjian yang bertimbal balik karena, 

baik pemberi waralaba maupun penerima waralaba, keduanya berkewajiban 

untuk memenuhi prestasi tertentu. Tiap-tiap perjanjian mempunyai dasar 

pembentukannya. Dasar pembentukkannya tertuang dalam syarat-syarat 

sahnya suatu perjanjian, yaitu:16

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 

3. Suatu pokok persoalan tertentu; 

4. Suatu sebab yang tidak terlarang. 

Para pihak (Franchisor dan franchise) yang bersepakat dalam suatu 

transaksi franchise selain mempermasalahkan persoalan persoalan yuridis, 

juga mengutamakan hal lain yang lebih penting yaitu adanya jaminan bahwa 

baik Franchisor maupun franchisee adalah pihak -pihak yang secara bisnis 

dapat diandalkan kerjasamanya, kemampuan manajerialnya dan 

bonafiditasnya untuk bersama – sama membangun kerjasama bisnis. 

Tuntutan di atas sebenarnya menjadi ukuran dalam menentukan 

unsur–unsur pokok kesepakatan, persyaratan, hak dan kewajiban para pihak 

yang pada akhirnya dituangkan di dalam klausula-klausula suatu perjanjian 

franchise. Dari sudut pandang yang terkandung dalam suatu perjanjian  

franchise yang umumnya terdiri dari pasal–pasal, jika dilakukan suatu 

identifikasi terhadap pokok materi yang terpenting di dalam perjanjian 

ini , maka ada  klausula–klausula utama, sebagai berikut: 

a. Objek yang difranchisekan 

Objek yang difranchisekan biasanya dikemukakan di awal 

perjanjian franchising. Objek yang di franchisekan harus menjelaskan 

secara cermat mengenai barang/jasa apa yang termasuk dalam 

franchise.

b. Tempat Berbisnis 

Tempat berbisnis dan penampilan yang baik dan membawa ciri 

Franchisor dibutuhkan dalam usaha franchise. Tempat yang akan 

dijadikan lokasi berbisnis harus diperhatikan dengan baik agar 

kerjasama yang dijalankan menghasilkan keuntungan yang layak. 

Bagian ini memuat persyaratan tempat berbisnis yang layak untuk 

memasarkan barang/jasa milik Franchisor. Franchisor biasanya turut 

menentukan dan atau memberikan persetujuan kepada franchisee 

mengenai tempat yang akan dipakai dalam menjalankan bisnis . 

c. Wilayah franchise

Bagian ini meliputi pemberian wilayah oleh Franchisor kepada 

franchisee, dimana dalam pertimbangan pemberian wilayah ini harus 

didasarkan pada strategi pemasaran. Idealnya wilayah yang diberikan 

merupakan wilayah yang tidak terlampau luas ataupun terlampau 

sempit, sehingga dapat dieksploitasi secara maksimal. Pemberian  

wilayah ini didasarkan agar pemberian suatu wilayah tertentu dapat 

menjamin tidak ada persaingan usaha sejenis baik yang dilakukan oleh 

sesama jenis franchisee ataupun oleh Franchisor sendiri. 

d. Sewa Guna 

Sewa guna ini dilakukan apabila lokasi usaha franchise didapat 

dengan suatu sewa. Jangka waktu sewa ini paling tidak harus sama 

dengan jangka waktu berlakunya perjanjian franchise. Seringkali 

franchise menggunakan tempat untuk berbisnis yang bukan miliknya, 

ia menyewa suatu tempat untuk melakukan aktivitas franchise. Dalam 

hal tempat ini  diperoleh berdasar  perjanjian sewa menyewa 

maka secara bijaksana lamanya waktu menyewa tempat tidak lebih 

singkat dibandingkan dengan jangka waktu perjanjian franchise. 

e. Pelatihan Dan Bantuan Teknik Dari Franchisor

Pelatihan dan bantuan teknik merupakan hal yang penting 

karena suatu bisnis dengan pola franchise mengandalkan kualitas 

produk baik barang/jasa dan kualitas pelayanan yang baik dalam 

menjalankan bisnisnya. Kualitas yang baik hanya dapat diperoleh 

dengan cara pemberian pelatihan yang baik, mantap, berkualitas, serta 

pemberian bantuan teknik yang diberikan secara berkala oleh 

Franchisor kepada franchisee. Franchisee harus menilai kelayakan 

dari pelatihan serta bantuan teknik yang diberikan oleh Franchisor 

kepadanya. Kelayakan ini penting karena sangat berguna bagi 

franchise didalam menjalankan bisnisnya, karena apabila franchise  

tidak mendapatkan bantuan teknik serta pelatihan yang cukup maka 

akan mendapat kesulitan di dalam menjalankan roda bisnisnya. 

f. Standar Operasional 

Standar operasional yang diterapkan dalam franchise biasanya 

terlampir dalam buku petunjuk/operation manuals. Petunjuk ini  

mengandung metode, dalam bentuk tertulis yang lengkap untuk 

menjalankan bisnis franchise. Menurut Martin Mendelsohn17 buku 

pedoman yang berisikan standar bisnis ini terbagi dalam beberapa 

bagian, yaitu : 

1. Pendahuluan yang mengutamakan uraian pendahuluan yang 

menguraikan hakikat dasar dari sistem kerja serta falsafah bisnis 

jasa personal yang mendasarinya; 

2. Sistem operasional yang menguraikan bagaimana sistem operasi 

dibentuk, dan bagaimana serta mengapa berbagai unsur – unsur 

pokok saling bersesuaian. 

3. Metode operasional yang mendetail menguraikan mengenai 

perlengkapan apa yang diperlukan, apa fungsinya, dan 

bagaimana mengoperasikannya. 

4. Serta instruksi pengoperasian yang meliputi : 

a. Buka jam/hari; 

b. Pola – pola Perdagangan; 

c. Jadwal dan pergantian staf; 

d. Penggunaan bentuk dan prosedur yang standar; 

e. Persyaratan yang berkaitan dengan penampilan staf; 

f. Prosedur pelatihan staf; 

g. Prosedur memperkerjakan staf dan peraturan perundang –

undangannya;  


h. Prosedur untuk mendisiplinkan staf serta kewajiban yang 

harus dipenuhi oleh franchise sebagi pemakai; 

i. Kebijakan penetapan harga; 

j. Kebijakan pembelian; 

k. Standar produk termasuk prosedur mengenai keluhan 

pelanggan; 

l. Standar layanan; 

m. Tugas–tugas staf; 

n. Pembayaran uang franchise; 

o. Akuntansi; 

p. Control kas dan prosedur perbankan; 

q. Termasuk prosedur yang berhubungan dengan cek, kartu 

cek dan kartu kredit; 

r. Periklanan dan pemasaran; 

s. Persyaratan yang berkenaan dengan presentasi gaya gedung 

yang dimiliki Franchisor; 

t. Juga persyaratan mengenai cara untuk mempergunakan 

merek dagang dan/atau jasa, asuransi, prosedur 

pengendalian sediaan. 

Sebelumnya berlakunya Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 

tentang waralaba (yang sekarang diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 

42 Tahun 2007), masalah waralaba menjadi persoalan besar, karena 

pewaralaba (franchisor) harus menggantungkan pada kesepakatan yang 

tertulis di dalam kontrak kerja sama. Artinya kedua belah pihak harus sangat 

teliti dan hati-hati atas apa yang disepakati. Perlindungan dari ketetapan lain 

yang mengatur suatu kerja sama waralaba dapat diasumsikan sulit diperoleh, 

kalaupun ada.18 Berarti yang menjadi dasar yang sangat kuat hingga 

kekuatannya sama dengan undang-undang ialah sebuah perjanjian yang 

tertuang dalam kontrak waralaba/franchise itu sendiri, sehingga perjanjian 

waralaba itu merupakan salah satu aspek perlindungan hukum kepada para 

pihak dari perbuatan merugikan pihak lain. Adapun asas ini  merupakan 

termaktub dalam sebuah asas yang disebut asas Pacta Sun Servanda. 

Walaupun suatu perjanjian waralaba merupakan kesepakatan antara 

dua pihak, tetapi paling tidak ada dua pihak lain yang terkena dampak dalam 

isi perjanjian waralaba, yaitu sebagai berikut: 

1. Franchisee lain dalam sistem waralaba yang sama; 

2. Konsumen atau klien dari franchisee maupun masyarakat umumnya. 

Franchisee lain dalam sitem waralaba (franchising) yang sama 

berharap bahwa franchisee yang baru menjadi anggota akan menjaga nama 

dari seluruh sistem dengan menepati standar yang telah menyebabkan 

seluruh sistem berhasil. 

Sebagai payung hukum (umbrella act) dari suatu perjanjian waralaba 

ada  Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 Pasal 5 mengatakan 

bahwa sebelum membuat perjanjian, pemberi waralaba harus 

mencantumkan secara tertulis dan benar, sekurang-kurangnya mengenai:

a. Nama dan alamat para pihak; 

b. Jenis Hak atas Kekayaan Intelektual; 

c. Kegiatan usaha; 

d. Hak dan kewajiban para pihak; 

e. Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran 

yang diberikan pemberi waralaba kepada penerima waralaba; 

f. Wilayah usaha; 

g. Jangka waktu perjanjian; 

h. Tata cara pembayaran imbalan; 

i. Kepemilikkan, perubahan kepemilikkan, dan hak ahli waris; 

j. Penyelesaian sengketa; 

k. Tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian.  


Hal-hal yang diatur oleh hukum dan peraturan perundang-undangan 

merupakan das sollen yang harus ditaati oleh para pihak dalam perjanjian 

waralaba. Jika para pihak mematuhi semua peraturan ini , maka tidak 

akan muncul masalah dalam pelaksanaan perjanjian waralaba. Akan tetapi, 

sering juga terjadi das sein yang menyimpang dari das sollen. 

Penyimpangan ini menimbulkan wanprestasi. Wanprestasi terjadi ketika 

salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana tertera di 

dalam perjanjian waralaba. Adanya wanprestasi dapat menimbulkan 

kerugian bagi salah satu pihak yang menyebabkan kerugian. Kemungkinan 

pihak yang dirugikan mendapat ganti rugi ini merupakan bentuk 

perlindungan hukum yang diberikan oleh hukum di negara kita . 

Selain itu ada  beberapa undang-undang yang mengatur terkait 

perlindungan para pihak yang melakukan perjanjian waralaba/franchising, 

yaitu Undang-undang Merek No. 15 Tahun 2001, Undang-undang Hak cipta 

No. 19 Tahun 2002, Undang-undang Hak Paten No 14 Tahun 2001.20

Dengan beranjak pada rumusan , pengertian, dan konsep waralaba yang 

telah dijelaskan dapat diketahui bahwa pemberian waralaba senantiasa 

terkait dengan pemberian hak untuk menggunakan dan/atau memanfaatkan 

HKI seperti penjelasan di atas. 





Pengertian dan Prinsip Dalam Pemberian Kredit Bank 

Kata “kredit” berasal dari bahasa latin yaitu “credere” yang berarti 

“kepercayaan”. Kata “kredit” dalam dunia bisnis pada umumnya diartikan 

sebagai kesanggupan akan meminjam uang, atau kesanggupan akan 

mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau 

jasa, dengan perjanjian akan membayarnya kelak21. Pasal 1 angka 11 

Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Undang-Undang 

Perbankan) menyebutkan definisi dari kredit yaitu: 

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan 

dengan itu, berdasar  persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam 

antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk 

melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian 

bunga”. 

Perjanjian kredit Bank merupakan perjanjian pendahuluan 

(woorowereenkomst) dari penyerahan uang. Perjanjian uang ini merupakan 

hasil permufakatan antara pemberi dan penerima jaminan mengenai 

hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Bila dilihat dari sudut 

pandang hukum perikatan, maka syarat dan ketentuan dari perjanjian kredit 

ini termasuk ke dalam perjanjian sepihak. Dikatakan perjanjian sepihak 

karena tidak ada  tawar menawar antara pelaku usaha dan konsumen.  


Inilah yang kemudian disebut sebagai perjanjian standar atau perjanjian 

baku. Perjanjian baku biasanya berupa sebuar formulir yang berisi 

kesepakatan antara pelaku usaha dan konsumen. Di dalam formulir ini  

pihak bank sudah mengatur mengenai hak dan kewajiban masing-masing 

pihak. Nantinya yang perlu dilengkapi hanga hal-hal yang bersifat subjektif, 

seperti waktu dan identitas. Peranan bank selaku pemberi kredit baru 

berfungsi apabila telah dicapai kesepakatan dalam perjanjian kredit antara 

pihak bank/Kreditor dengan pihak nasabah/Debitur yang selanjutnya diikuti 

dengan penyerahan uang kepada nasabah/Debitur oleh bank selaku Kreditor. 

Penyerahan uang sendiri adalah bersifat riil. Pada saat penyerahan uang 

dilakukan, barulah berlaku ketentuan yang berlaku dalam model perjanjian 

kredit kedua belah pihak. Dalam praktek perbankan menunjukkan bahwa 

seseorang yang bermaksud untuk mendapatkan kredit bank, memulai 

langkahnya dengan mengajukan permohonan kredit. Untuk itu biasanya 

bank telah menyediakan formulir tertentu yang harus diisi oleh pemohon 

kredit. Dalam formulir perjanjian ini  berisi tentang apa saja syarat syarat yang harus dipenuhi seseorang atau badan hukum untuk mengajukan 

kredit serta berisi syarat-syarat yang harus dipenuhi apabila permohonan 

kredit ini  diberikan. 

Secara umum ada  dua jenis kredit yang diberikan bank kepada 

nasabahnya, yaitu kredit ditinjau dari segi tujuan penggunaan dan kredit 

ditinjau dari segi jangka waktunya. Menurut segi penggunaannya, kredit 

dibagi menjadi :  

1. Kredit Produktif, yaitu kredit yang diberikan kepada usaha-usaha yang 

menghasilkan barang dan jasa sebagai kontribusi dari usahanya. 

2. Kredit Konsumtif, yaitu kredit yang diberikan kepada orang yang 

perorangan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif. 

sedang  jenis kredit ditinjau dari segi jangka waktunya dapat berupa : 

1. Kredit Jangka Pendek, yaitu kredit yang diberikan tidak lebih dari satu 

tahun. 

2. Kredit Jangka Menengah, yaitu kredit dengan jangka waktu lebih dari 

satu tahun tapi tidak lebih dari tiga tahun. 

3. Kredit Jangka Panjang, yaitu kredit dengan jangka waktu lebih dari tiga 

tahun. 

Perjanjian kredit dalam prakteknya mempunyai 2 bentuk 

1. Perjanjian dalam bentuk Akta Bawah Tangan (diatur dalam Pasal 1874 

KUHPerdata), 

Akta bahwa tangan mempunyai kekuatan hukum pembuktian apabila 

tanda tangan yang ada dalam akta ini  diakui oleh yang 

menandatanganinya. Supaya akta bawah tangan tidak mudah dibantah 

maka diperlukan legalisasi oleh Notaris yang berakibat akta bawah 

tangan ini  mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta otentik. 

2. Perjanjian dalam bentuk Akta Otentik (diatur dalam Pasal 1868 

KUHPerdata) Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang 

sempurna yang artinya akta otentik dianggap sah dan benar tanpa perlu 

membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan dari para pihak.  

Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja yang 

memiliki kemampuan, untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara 

Pemberi utang (Kreditor) disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain 

pihak. Namun dalam pemberian kredit ini  haruslah memenuhi unsur unsur pokok kredit, yaitu : 

1. Kepercayaan, setiap pelepasan kredit dilandasi dengan adanya 

keyakinan oleh bank bahwa kredit ini  akan dibayar kembali oleh 

Debitur sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan. 

2. Waktu, pelepasan kredit oleh bank dan pembayaran kembali oleh 

Debitur dipisahkan oleh tenggang waktu. 

3. Risiko, pelepasan kredit jenis apapun akan terkandung resiko di 

dalamnya yaitu resiko yang terkandung dalam jangka waktu antara 

pelepasan kredit dan pembayaran kembali. 

4. Prestasi, setiap terjadi kesepakatan antara bank dan Debitur mengenai 

suatu pemberian kredit, pada saat itu pula terjadi suatu prestasi dan 

kontra prestasi

Pemrosesan permohonan kredit mencakup sejumlah aspek yang perlu 

dianalisis oleh bagian marketing, dengan melibatkan bagian lain seperti 

yang ditunjukkan dalam kurung berikut: 

1. Pengecekan daftar hitam atau kredit macet, apakah calon debitur 

termasuk di dalamnya (account officer).

 

2. Aspek yuridis, dari legalitas badan hukum dan legalitas usaha (account 

officer/bagian hukum). 

3. Mengenai usaha debitur, ditinjau dari aspek marketing, aspek keuangan, 

aspek teknik/produksi, aspek manajemen (marketing/account officer). 

4. Aspek jaminan kredit dan pengikatan barang-barang jaminan (account 

officer/bagian hukum). 

5. Kajian ulang permohonan atau persetujuan permohonan fasilitas kredit 

(risk management).

6. Cara pengikatan kredit (bagian hukum). 

7. Penandatanganan surat perjanjian kredit (bagian hukum dan bagian 

operasional). 

Menurut Kasmir, prosedur dan penilaian kredit secara umum bagi 

setiap bank tidak jauh berbeda; yang berbeda hanyalah pada persyaratan dan 

ukuran penilaian dengan pertimbangan masing-masing bank.23

Dalam ketentuan Pasal 9 dan Pasal 4 huruf b Undang-Undang 

Perbankan secara tegas disebutkan bahwa yang memberikan kredit adalah 

bank, baik bank umum maupun bank perkreditan rakyat sedang  yang 

menerima kredit secara tegas tidak disebutkan. Bank dalam menilai suatu 

permintaan kredit yang diajukan oleh pemohon kredit/calon penerima kredit 

berpedoman pada faktor-faktor sebagai berikut: 

1. Watak atau Characteristic 

Maksud watak disini adalah kepribadian, moral dan kejujuran 

pemohon kredit apakah, dia dapat memenuhi kewajibannya dengan baik 

sesuai dengan perjanjian kredit ini  atau yang akan diadakan. 

2. Kemampuan atau Capacity

Maksudnya adalah kemampuan mengendalikan, memimpin, 

menguasai bidang usahakanya, kesungguhan dan melihat perspektif masa 

depan, sehingga usaha pemohon kredit berjalan dengan baik dan 

memberikan keuntungan. 

3. Modal atau Capital 

Maksudnya adalah pemohon kredit itu wajib memiliki modal sendiri 

sebab adanya modal sendiri menunjukkan pemohon itu adalah pengusaha 

lalu untuk mengembangkan perusahaannya perlu mendapat kredit dari bank 

yang mana kredit ini berfungsi sebagai tambahan modal. 

4. Jaminan atau Collateral

Maksudnya adalah kekayaan yang dapat dilihat sebagai jaminan guna 

pelunasan hutang dikemudian hari seandainya penerima kredit tidak 

melunasi hutangnya. 

5. Kondisi Ekonomi atau Condition of Economy

Maksudnya adalah situasi ekonomi dalam jangka waktu tertentu akan 

memungkinkan pemohon kredit memperoleh keuntungan yang menurut 

perhitungan didapat dari kegunaan kredit itu. Kelima faktor-faktor ini  

dinamakan Analisa Kredit yang merupakan ukuran kemampuan penerima  

kredit untuk mengembalikan pinjaman kreditnya dari kelima faktor analisa 

kredit ini mengandung 3 (tiga) unsur pokok, yaitu: 

1. Unsur Subjektif, yaitu berupa modal. 

2. Unsur Objektif, yaitu berkenaan dengan organisasi, administrasi, 

modal dan keadaan ekonomi. 

3. Unsur Yuridis, yaitu yang berkenaan dengan struktur yuridis dari 

badan usaha penerima kredit dari bank. 

Setelah perjanjian ini  disepakati, maka lahirlah kewajiban pada 

diri Kreditur, yaitu untuk menyerahkan uang yang diperjanjikan kepada 

Debitur, dengan hak untuk menerima kembali uang itu dari Debitur pada 

waktunya, disertai dengan bunga yang disepakati oleh para pihak pada saat 

perjanjian pemberian kredit ini  disetujui oleh para pihak. Hak dan 

kewajiban Debitur adalah bertimbal balik dengan hak dan kewajiban 

Kreditor. Jadi dari berdasar  hal ini  di atas , diketahui bahwa: 

1. Pemberi kredit adalah bank. 

2. Penerima kredit adalah pihak yang memberikan jaminan dan memnuhi 

syarat-syarat dalam analisa kredit. 

B. Batasan dan Larangan dalam Pemberian Kredit 

Salah satu penyebab dari kegagalan usaha bank adalah penyediaan 

dana yang tidak didukung dengan kemampuan bank mengelola konsentrasi 

penyediaan dana secara efektif. Dalam rangka mengurangi potensi 

kegagalan usaha bank maka bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian 

dalam pemberian kredit, antara lain dengan melakukan penyebaran  

(diversifikasi) portofolio penyediaan dana melalui pembatasan penyediaan 

dana, baik kepada pihak terkait maupun kepada pihak bukan terkait. 

Pembatasan penyediaan dana adalah persentase tertentu dari modal bank 

yang dikenal dengan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). BMPK 

mendapatkan pengaturan dasar dalam Undang-Undang Perbankan.

Pengaturan ini  selanjutnya dijabarkan oleh Bank negara kita  dalam 

Peraturan Bank negara kita  (PBI) No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum 

Pemberian Kredit Bank Umum. 

Tujuan ketentuan BMPK adalah untuk melindungi kepentingan dan 

kepercayaan masyarakat serta memelihara kesehatan dan daya tahan bank, 

dimana dalam penyaluran dananya, bank diwajibkan mengurangi risiko 

dengan cara menyebarkan penyediaan dana sesuai dengan ketentuan BMPK 

3 vide Pasal 1 angka 2 PBI No. 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum 

Pemberian Kredit Bank Umum 5 yang telah ditetapkan sedemikian rupa 

sehingga tidak terpusat pada peminjam dan/atau kelompok peminjam 

tertentu. Penyediaan dana dalam kerangka BMPK tidak hanya berupa kredit, 

tetapi meliputi seluruh portofolio penyediaan dana yaitu penanaman dana 

bank dalam bentuk : 

a. kredit; 

b. surat berharga; 

c. penempatan; 

d. surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali; 

e. tagihan akseptasi; 

f. darivatif kredit (credit derivative);

g. transaksi rekening administratif (seperti guarantee, letter of credit);

h. tagihan derivatif;  

i. potential future credit exposure; 

j. penyertaan modal; 

k. penyertaan modal sementara; 

l. bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan 

huruf a sampai dengan huruf k. 

Seluruh portofolio penyediaan dana kepada pihak terkait dengan bank 

dapat dilakukan paling tinggi 10 % dari modal bank. Untuk penyediaan 

dana kepada seorang peminjam yang bukan merupakan pihak terkait dengan 

bank dapat dilakukan paling tinggi 20 % dari modal bank. Sementara,

penyediaan dana kepada satu kelompok peminjam yang bukan merupakan 

pihak terkait dapat dilakukan paling tinggi 25 % dari modal bank. Peminjam 

digolongkan sebagai anggota suatu kelompok peminjam apabila peminjam 

mempunyai hubungan pengendalian dengan peminjam lain baik melalui 

hubungan kepemilikan, kepengurusan dan/atau keuangan. Sementara, pihak 

terkait adalah peminjam dan/atau kelompok peminjam yang mempunyai 

keterkaitan dengan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 PBI No. 

7/3/PBI/2005. Bank wajib memiliki dan menatausahakan daftar rincian 

pihak terkait dengan bank dan dilaporkan kepada Bank negara kita . 

Bank dinyatakan melakukan pelanggaran larangan terhadap ketentuan 

Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) apabila pada saat 

pemberiannya saldo kredit atau pembiayaan berdasar  Prinsip Syariah 

ini  melampaui batas maksimum yang telah ditetapkan oleh Bank 

negara kita . Pelanggaran terhadap ketentuan BMPK ini , selain dapat 

dikenakan sanksi, juga akan diperhitungkan dalam penilaian tingkat 

kesehatan bank. Bank diwajibkan pula untuk menyampaikan laporan  

bulanan setiap bulan kepada Bank negara kita  mengenai penyediaan dana 

kepada peminjam dan sekelompok peminjam yang melampaui BMPK, 

seluruh penyediaan dana kepada piihak-pihak yang terkait dengan bank.

Apabila kewajiban ini dilanggar oleh bank maka bank yang bersangkutan 

dapat dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar denda, administratif 

dan/atau sanksi pidana.

Selain pembatasan dalam pemberian kredit berupa BMPK, diatur pula 

pembatasan dalam pemberian kredit berupa larangan dalam pemberian 

kredit. Dalam Surat Keputusan Direksi Bank negara kita  Nomor 

23/70/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank negara kita  Nomor 23/3/UKU 

masing-masing tanggal 28 Februari 1991 telah mengatur pembatasan 

pemberian kredit untuk pembelian dan pemilikan saham oleh bank. 

Disebutkan, bahwa bank tidak diperkenankan atau dilarang: 

a. Memberikan kredit untuk membiayai pembelian saham atau modal 

kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham, kecuali untuk pemberian 

kredit investasi untuk pembiayaan barang modal (aktiva 

tetap/bergerak) yang diperlukan oleh perusahaan yang melakukan 

kegiatan jual beli saham atau pembelian obligasi yang diperdagangkan 

di pasar modal; 

b. Memiliki saham yang tidak dimaksudkan sebagai penyertaan.  

Pelanggaran akan ketentuan ini akan dikenakan sanksi dalam rangka 

pengawasan dan pembinaan oleh Bank negara kita . Ketentuan ini  

disempurnakan lagi dengan Surat Keputusan Direksi Bank negara kita  Nomor 

24/32/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank negara kita  Nomor 24/1/UKU 

masing-masing tanggal 12 Agustus 1991 tentang Kredit pada Perusahaan 

Sekuritas dan Kredit Dengan Agunan Saham. Disebutkan beberapa hal yang 

berkaitan dengan pembatasan dalam pemberian kredit bank untuk jual beli 

saham, yaitu: 

a. Bank dilarang memberikan kredit dengan agunan pokok dan agunan 

tambahan berupa saham perusahaan lain; 

b. Bank dilarang memberikan kredit kepada perorangan atau perusahaan 

yang bukan perusahaam sekuritas untuk jual beli saham kecuali 

pemberian kredit kepada koperasi dalam rangka pembelian saham 

bank yang bersangkutan.

C. Kegunaan dan Fungsi Jaminan Kredit dalam Pemberian Kredit 

Fungsi jaminan kredit dalam dunia perbankan sangat besar. 

Kewajiban untuk menyerahkan jaminan hutang oleh pihak peminjam dalam 

rangka pinjaman uang sangat terkait dengan kesepakatan di antara pihak pihak yang melakukan pinjam-meminjam uang. Pada umumnya pihak 

pemberi pinjaman mensyaratkan adanya jaminan hutang sebelum  

memberikan pinjaman uang kepada pihak peminjam. Sementara itu, 

keharusan penyerahan jaminan hutang ini  sering pula diatur dan 

disyaratkan oleh peraturan intern pihak pemberi pinjaman dan atau oleh 

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fungsi Jaminan secara yuridis 

adalah kepastian hukum pelunasan hutang di dalam perjanjian hutang piutang atau kepastian realisasi suatu prestasi dalam suatu perjanjian, 

dengan mengadakan perjanjian penjaminan melalui lembaga-lembaga 

jaminan yang dikenal dalam hukum negara kita . 

Menurut Subekti adanya jaminan ini sangat penting kedudukannya 

dalam mengurangi resiko kerugian bagi pihak bank (kreditor). Adapun 

jaminan yang ideal dapat dilihat dari : 

1. Dapat membantu memperoleh kredit bagi pihak yang memerlukan; 

2. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si penerima kredit untuk 

meneruskan usahanya; 

3. Memberikan kepastian kepada kreditor dalam arti bahwa apabila perlu 

maka diuangkan untuk melunasi utang si debitur27

Thomas Suyatno mengemukakan bahwa, 

”Jaminan secara umum dapat diartikan sebagai penyerahan kekayaan atau 

pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran 

kembali suatu hutang. Penyerahan kekayaan debitur merupakan bukti 

kesungguhan debitur untuk mengembalikan dana yang dipinjamkan oleh 

kreditur”. 

Thomas Suyatno berpendapat bahwa kegunaan jaminan adalah untuk:  

1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan 

pelunasan dari hasil penjualan barang-barang jaminan ini  

apabila nasabah melakukan cidera janji, yaitu tidak membayar 

kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam 

perjanjian. 

2. Menjamin agar nasabah berperan serta dalam transaksi untuk 

membiayai usahanya, sehingga kemungkinan unutk meninggalkan 

usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau 

perusahaannya, dapat dicegah atau sekurang-kurangnya 

kemungkinan untuk dapat berbuat demikian diperkecil terjadinya. 

3. Memberi dorongan kepada debitur (tertagih) untuk memenuhi 

perjanjian kredit. Khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai 

dengan syarat –syarat yang telah di setujui agar ia tidak kehilang an 

kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.

Dalam pelaksanaan perjanjian kredit, jaminan kredit juga sebagai 

motivator kepada debitur supaya menjalankan usahanya secara baik, dan 

menggunakan dana kredit sesuai dengan tujuan pengajuan dan pemberian 

kredit, memanajemen keuangannya secara hati-hati sehingga mampu untuk 

memenuhi prestasinya sampai berakhirnya perjanjian kredit dengan 

pelunasan sampai pada akhirnya kembalinya hak menguasai terhadap benda 

yang dijaminkan kepada kreditur dalam hal ini lembaga pembiayaan. Dari 

definisi jaminan dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa fungsi utama dari  

jaminan adalah untuk mendapatkan kepercayaan dari kreditur. Dalam hal ini 

bahwa seorang calon debitur mempunyai kemampuan untuk memenuhi 

clausul yang telah disepakati dalam perjanjian kredit yang telah disepakati 

bersama oleh para pihak.  


Kedudukan Kontrak Franchise Sebagai Surat Berharga 

Surat berharga biasanya sering disebut dengan istilah negotiable

instrument, negotiable paper atau commercial paper.

29 Surat berharga diatur 

secara lex generalis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). 

Dimana pada pokoknya KUHD tidak membatasi ruang lingkup surat 

berharga. 

Peranan surat berharga sebagai alternatif pendanaan atau pembiayaan 

dalam kegiatan pasar uang di negara kita  dirasakan mulai sangat penting. 

Faktor-faktor yang menciptakan kondisi para pelaku pasar uang giat 

mencari alternatif lain dari sumber penanaman pembiayaan dana antara lain 

adalah likuiditas perekonomian yang ketat, tingkat suku bunga di dalam 

negeri yang relatif tinggi, dan ekspansi kredit yang cenderung melambat. 

Tingginya ongkos pembiayaan perbankan serta sulitnya memperoleh kredit 

dari bank telah mendorong timbulnya praktek-praktek intermediasi, yaitu 

perusahaan-perusahaan mencari sumber danayang relatif murah dan cepat 

tersedia, sedang  di pihak lain pemilik dana berusaha mencari penanaman 

dana yang relatif aman. Hal ini tercermin dari pertumbuhan perdagangan 

instrumen-instrumen pasar uang yang baru seperti surat berharga.  

Jadi surat berharga itu sebetulnya sama dengan surat hutang lainnya 

seperti promes dan obligasi. Walaupun pada saat ini surat berharga sedang 

menarik perhatian berbagai kalangan, sebenarnya ketentuan yang mengatur 

mengenai surat berharga ini belum ada, sehingga masyarakat masih 

mengkhawatirkan tentang kepastian hukum atas kepemilikan surat berharga. 

Oleh karena itu aturan main tentang surat berharga sudah sangat mendesak 

dan hal ini seharusnya mulai dipikirkan mengingat akhir-akhir ini surat 

berharga sedang menjadi salah satu alternatif pembiayaan yang sangat 

diminati oleh kalangan yang membutuhkannya. 

Abdulkair Muhammad membedakan hal ini  kedalam surat 

berharga dan surat yang memiliki harga, dimana surat berharga adalah surat 

yang penerbitannya sengaja diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan 

suatu prestasi. sedang  yang kedua adalah surat yang memiliki harga, 

dimana surat yang memiliki harga atau nilai tidaklah untuk diperjualbelikan, 

melainkan hanya untuk alat bukti bagi pemegangnya bahwa ia merupakan 

orang yang berhak secara hukum untuk menikmati hak yang disebutkan 

dalam surat ini .

Secara umum surat berharga memiliki fungsi antara lain sebagai alat 

pembayaran, alat pemindahan hak tagih, dan surat legitimasi (surat bukti 

hak tagih). berdasar  ciri-cirinya, Pennington dan Hudson menjelaskan 

ciri-ciri surat berharga antara lain:


1. Persyaratan dari dokumen ini  harus mengizinkan dokumen 

ini  dipindah tangankan 

2. Mengandung suatu kewajiban untuk membayar sejumlah uang 

3. Perpindahan hak 

4. Memiliki sumber hukum peralihan 

Selain memiliki ciri-ciri, surat berharga juga memiliki persyaratan 

yang harus dipenuhi agar suatu surat dapat dikatakan sebagai surat berharga. 

Persayaratan ini  antara lain:

1. Syarat Formal 

Syarat Formal dalam satu surat berharga meliputi, nama atau 

jenis surat berharga disebutkan secara jelas; memuat atau 

mengandung persyaratan suatu kesanggupan, janji atau perintah 

membayar yang tidak bersyarat; mencantumkan pihak yang 

wajib melakukan pembayaran atau memenuhi kewajiban; tertera 

tanggal dan tempat surat berharga diterbitkan atau ditarik; 

ditandatangani penerbit atau penarik yang sah.

2. Syarat Materil 

Syarat materiil dari surat berharaga ialah; adanya perikatan dasar 

atau sebab yang halal; merupakan hak tagih untuk mendapatkan 

pembayaran; dapat dialihkan dengan endosemen dan cessie; 

tidak dapat dibatalkan oleh penerbit atau penarik; tersedia dana 

atau objeknya jika surat ini  dicairkan.  

Bila dianalisis berdasar  penjelasan yang telah disebutkan diatas, 

maka kontrak franchise dapat saja tergolong kedalam surat berharga 

berdasar  KUHD, hal ini  tidak lepas dari tidak terbatasnya surat 

berharga menurut KUHD. Akan tetapi karena kebutuhan agar surat berharga 

dapat dipindahtangankan atau dicairkan secara cepat maka terjadi 

pembagian dalam pengertian surat berharga yang awalnya tidak terbatas 

menjadi terbatas. 

Bila dilihat berdasar  ciri-ciri surat berharga kontrak franchise

dapat saja digolongkan menjadi surat berharga, dimana kontrak franchise

telah memenuhi sebagian besar ciri-ciri surat berharga, yakni perpindahan 

hak dan memiliki sumber hukum perlihan. sedang  dalam ciri yang 

kedua yakni, “mengandung suatu kewajiban untuk membayar sejumlah 

uang”, kontrak franchise setidaknya juga memiliki kewajiban untuk 

menyerahkan suatu barang, akan tetapi barang ini  tidak berbentuk 

uang, melainkan berbentuk Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) yang 

tentunya bernilai ekonomis dan dapat diukur dengan uang. Hanya dalam ciri 

pertama yang tidak dipenuhi secara mutlak oleh kontrak franchise agar 

dapat disebut sebagai surat berharga, dimana dalam kontrak franchise tidak 

diizinkan atau dijelaskan bahwa kontrak ini  dapat dipindahtangankan, 

sehingga sementara ini kontrak franchise tidak termasuk kedalam surat 

berharga dan hanya digolongkan kedalam surat yang memiliki harga yang 

tidak diperuntukkan untuk diperjualbelikan. Akan tetapi seiring dengan 

perkembangan dunia usaha yang semakin pesat bukan tidak mungkin bila 

kedepannya kontrak franchise dapat lebih mudah dipindahtangankan 

sebagai objek jaminan, baik berbentuk gadai maupun fidusia. 

B. Posisi Agunan Dalam Perjanjian Kredit Yang Disalurkan Oleh 

Lembaga Perbankan 

Secara etimologis kredit berasal dari bahasa latin, yakni credere yang 

berartikepercayaan. sedang  menurut kamus besar bahasa negara kita , 

kredit berarti pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara 

mengangsur atau pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh 

bank atau badan lain.33

Menurut pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 

Tentang Perbankan:

“kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat 

dipersamakan dengan itu, berdasar  persetujuan atau kesepakatan 

pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan 

pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu 

tertentu dengan pemberian bunga”. 

berdasar  pengertian kredit ini , maka diketahui bahwa pemberian 

kredit oleh bank kepada nasabah debitur dilakukan dengan kesepakatan 

(biasa disebut perjanjian) pinjam-meminjam. Perjanjian ini  dibuat 

berdasar  asas kepercayaan bank sebagai kreditur kepada nasabah sebagai 

debitur bahwa nasabah akan melunasi pinjamannya berdasar  waktu dan 

cara yang telah ditentukan serta disertai dengan pemberian bunga atau bagi 

hasil.  


Setidaknya ada  4 (empat) unsur dalam pemberian kredit, yakni

1. Kepercayaan, yakni adanya keyakinan dari pihak bank atas prestasi 

yang diberikan kepada nasabah debitur akan dilunasi berdasar  

waktu dan cara yang disepakati.

2. Waktu, yakni adanya jangka waktu yang diberikan oleh bank 

sebagai kredit antara pemberian dan pelunasan kredit yang telah 

disepakati. 

3. Prestasi dan kontraprestasi, yakni adanya objek tertentu dalam 

pemberian kredit, berupa prestasi dan kontraprestasi pada saat telah 

dicapainya kesepakatan pemberian kredit oleh bank.

4. Resiko, yaitu adanya resiko yang mungkin akan terjadi selama 

jangka waktu antara pemberian dan pengembalian kredit.

Guna meminimalisir potensi resiko yang terjadi dalam pemberian 

kredit, maka bank perlu melakukan analisis kredit yang bertujuan untuk 

meyakinkan bank bahwa debitur benar-benar dapat dipercaya dan memiliki 

itikad baik dalam pengembalian pinjamannya. Dalam menerapkan analisis 

kredit, maka bank wajib menerapkan prinsip 5 C’s dan 5 P yang terdiri 

atas:

a. Penilaian watak/kepribadian (charachter)  

Penilaian terhadap watak atau kepribadian debitur dimaksudkan 

untuk mengetahui kejujuran dan itikad baik debitur dalam 

mengembalikan dana pinjamannya. 

b. Penilaian kemampuan (capacity) 

Penilaian kemampuan ini ditujukan untuk mengetahui 

kemampuan dan keahlian debitur dalam bidang usaha yang akan 

dibiayai. Sehingga bank akan memiliki keyakinan bahwa usaha 

yang akan dibiayainya akan berjalan dengan baik dan debitur 

dapat mengembalikan pinjamannya sesuai dengan waktu yang 

ditentukan. 

c. Penilaian terhadap modal (capital) 

Dalam menyalurkan kredit bank wajib untuk mengetahui posisi 

keuangan calon debitur, sehingga dapat diketahui kemampuan 

debitur dalam menunjang pertumbuhan usahanya. 

d. Penilaian terhadap agunan (collateral) 

Untuk menanggung resiko yang mungkin muncul dikemudian 

hari, maka calon debitur pada umumnya wajib menyediakan 

jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah 

dicairkan serta memiliki nilai minimal setara dengan jumlah 

pinjaman. 

e. Penilaian terhadap prospek usaha debitur (condition of economy)  

Dalam menyalurkan kredit, bank wajib menganalisis keadaan 

dan potensi pasar, baik didalam maupun diluar negeri, sehingga 

prospek perkembangan usaha debitur dapat diketahui prospek 

usahanya dilihat dari beberapa aspek, diantaranya: 

a. Pihak Yang terlibat (Party) 

Para pihak yang terlibat adalah titik sentral dalam pemberian 

kredit, maka dari itu bank wajib memperhatikan hal ini. 

b. Tujuan kredit (Purpose) 

Tujuan kredit merupakan hal harus diketahui debitur, apakah 

kredit ditujukan untuk hal yang diperbolehkan oleh undang undang atau tidak, serta memastikan bahwa kredit benar-benar 

diperuntukkan untuk hal yang telah diperjanjikan. 

c. Pembayaran (Payment) 

Bank juga wajib memperhatikan pula apakah debitur memiliki 

ketersediaan dana untuk melunasi kredit. 

d. Perolehan laba (Profitability) 

Dalam pemberian kredit, bank juga wajib untuk memperkirakan 

dan memastikan potensi keuntungan yang akan didapatkan oleh 

debitur. 

e. Perlindungan (Protection) 

Dalam memberikan kredit bank wajib untuk mendapatkan 

perlindungan dan kepastian dari adanya kemungkinan macetnya 

kredit yang diberikan oleh bank.  

berdasar  analisa dan penilaian yang dilakukan oleh bank dalam 

pemberian kredit, maka bank memerlukan suatu jaminan dalam memberikan 

kredit. hal ini bertujuan untuk melindungi bank sebagai kreditur apabila 

sewaktu-waktu kreditur melakukan wanprestasi yang menyababkan 

kerugian bagi bank. 

Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana 

telah diubah dengan Undang-Undang no. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan 

menjelaskan bahwa:

“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan dalam prinsip syariah, Bank 

Umum wajib mempunyai keyakinan berdasar  analisis yang mendalam 

atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk 

melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai 

dengan yang diperjanjikan”.

sedang  dalam penjelasannya dijelaskan bahwa “mengingat bahwa 

agunan merupakan salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila 

berdasar  unsur-unsur lain telah diperoleh keyakinan, agunan dapat hanya 

berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang 

bersangkutan”.

berdasar  hal yang telah disebutkan diatas, maka Undang-Undang 

nomor 10 tahun 1998 telah membedakan antara jaminan kredit dengan 

agunan kredit, dimana jaminan kredit dalam Undang-undang ini  

berbeda dengan collateral yang dimaksud dalam prinsip 5 C’s. Yang 

dimaksud jaminan dalam Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998 adalah 

“keyakinan atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan debitur dalam 

melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan yang dimaksud sesuai 

dengan yang diperjanjikan”.36 sedang  agunan merupakan istilah dari 

konsep jaminan didalam Undang-Undang nomor 14 Tahun 1967 yang 

berorientasi barang atau jaminan kebendaan (collateral orientation). 

Pemberian agunan sebagai salah satu instrumen penyerahan kredit 

bukan merupakan faktor utama hal ini  ditunjukkan dalam penjelasan 

pasal 8 Undang-Undang no. 10 Tahun 1998 bahwa:

“Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, 

maka apabila berdasar  unsur-unsur lain telah diperoleh keyakinan atas 

kemampuan nasabah debiturmengembalikan utang-utangnya, agunan 

dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan 

kredit yang bersangkutan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa 

barang yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang tidak berkaitan 

langsung dengan objek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan 

tambahan.”

berdasar  penjelasan ini , maka agunan dapat dibagi kedalam dua 

jenis, yakni:

1. Agunan utama 

Agunan utama dalam pemberian kredit merupakan batrang yang 

dibiayai oleh dana pinjaman dari bank, misalnya dana kredit dari 

bank digunakan untuk membeli sebuah truk, maka yang menjadi 

suatu agunan utama adalah truk ini  

2. Agunan tambahan  

Agunan tambahan merupakan barang yang tidak dibiayai oleh 

bank dan tidak terkait dengan kegiatan operasional usaha yang 

dibiayai oleh bank 

berdasar  Peraturan Bank negara kita  Nomor 9/6/PBI/2007 Tentang 

Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank negara kita  Nomor 7/2/2005 Tentang 

Penilaian Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, yang dapat menjadi 

agunan tambahan meliputi, surat berharga dan saham yang aktif 

diperdagangkan dalam bursa efek di negara kita  atau memiliki peringkat 

investasi diikat dengan gadai; tanah, gedung dan rumah tinggal diikat 

dengan hak tanggungan; pesawat udara atau kapal laut dengan ukuran diatas 

20 meter kubik diikat dengan hipotek; serta kendaraan motor dan persediaan 

diikat dengan fidusia. Sesuai dengan penjelasan ini , maka agunan 

bukanlah hal yang esensial dalam pemberian kredit. Hal ini  membuat 

bank dapat memberikan kredit selama jaminan yang berupa keyakinan 

terhadap kemampuan nasabah dalam mengembalikan pinjaman telah 

terpenuhi. Bahkan bank dapat memberikan kredit dengan menggunakan 

kredit yang seblumnya telah dibiayai sebelumnya dan dimungkinan untuk 

memberikan pinjaman tanpa agunan tambahan. 

Ditinjau dari sudut kontraknya, agunan merupakan perjanjian accesoir

dari suatu kontrak pemberian kredit. sedang  yang menjadi perjanjian 

pokoknya adalah perjanjian utang-piutang antara pihak bank sebagai 

kreditur dan nasabah sebagai debitur. Hal ini  ditujukan untuk 

memastikan posisi kreditur secara hukum terkait pengembalian piutangnya  

manakala debitur pailit atau wanprestasi. Hal ini  sejalan dengan pasal 

1338 ayat 1 KUH Perdata bahwa:

“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang 

bagi mereka yang membuatnya”.

sedang  perjanjian yang sah sendiri diatur dalam pasal 1320 KUH 

Perdata, dimana sayarat sahnya perjanjian meliputi:38

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 

3. Suatu pokok persoalan tertentu; 

4. Suatu sebab yang tidak terlarang. 

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa 

Ayat 29, yang berbunyi: 

Artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta 

sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang 

berlaku dengan suka sama suka diantara kamu." (Qs. An Nisa': 29)

Agunan yang diperjanjikan sebagai perjanjian accesoir dan telah 

memenuhi syarat sahnya perjanjian berdasar  pasal 1320 KUH Perdata 

akan memberikan kepastian hukum bagi bank sebagai kreditur karena 

perjanjian ini bersifat baku dan memiliki asas eksekutorial, sehingga pihak 

kreditur (dalam hal ini bank) akan berkedudukan sebagai kreditur preferen 

yang pelunasan hutangnya akan diutamakan ketimbang kreditur konkuren  

apabila debitur yang menyertakan agunan dalam pemberian kredit 

mengalaim pailit. 

C. Analisa Kontrak Franchise Sebagai Objek Jaminan Dalam Perjanjian 

Kredit 

berdasar  penjelasan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa 

kontrak franchise bukanlah suatu surat berharga, hal ini berdampak kepada 

sulitnya mengalihkan penguasaan terhadap kontrak franchise kepada pihak 

ketiga. Salah satu sebabnya ialah karena kontrak franchise erat kaitannya 

dengan Hak Kekayaan Atas Intelektual (HKI), khususnya merek dan rahasia 

dagang, sehingga dikhawatirkan apabila kontrak franchise dapat dengan 

mudah dialihkan akan menggugurkan aspek rahasia dagang yang merupakan 

bagian dari HAKI dalam kontrak franchise ini . 

Hal ini  bukan berarti kontrak franchise tidak dapat diuangkan, 

meskipun tidak semudah surat berharga dalam hal pemindahan tangan, 

setidaknya HAKI masih berpotensi dijadikan sebagai agunan dalam suatu 

pemberian kredit. Dimana dalam penjelasan Pasal 8 Undang-Undang 

Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan telah dijelaskan bahwa 

pemberian suatu kredit yang dilakukan oleh bank tidak diwajibkan 

menggunakan agunan tambahan, melainkan dapat menggunakan objek yang 

dibiayai sebagai jaminan selama bank yakin akan itikad dan kemampuan 

debitur dalam melunasi pinjamannya. 

Agunan pokok ini  antara lain dapat berupa barang, proyek 

ataupun hal tagih yang dibiayai, atau benda lain yang terkait dengan  

kegiatan operasional yang dibiayai oleh bank. Dalam hal ini pemberian 

kredit usaha waralaba oleh suatu bank BUMN di negara kita  tidak 

mensyaratkan adanya agunan tambahan seperti layaknya kredit lainnya. 

Salah satu faktor yang mendorong hal ini  menurut pendapat penulis 

adalah karena bank telah berkeyakinan akan itikad dan kemampuan debitur 

dalam melunasi hutangnya.

Keyakinan ini  antara lain disebabkan dengan pembiayaan 

terhadap usaha franchise lebih menjamin dibanding usaha lain karena objek 

franchise merupakan suatu konsep dan sistem usaha yang telah terbangun 

dan terbukti berhasil dalam mendapatkan keuntungan berdasar  

pengalaman yang dilakukan oleh Franchisor, maka dari itu kredit usaha 

waralaba seringkali mensyaratkan kontrak franchise dalam pengajuan kredit 

usaha waralaba, selain sebagai bukti otentik, hal ini  ditujukan sebagai 

bahan analisis bagi bank untuk mendapatkan keyakinan penuh atas itikad 

dan kemampuan debitur dalam mengembalikan kredit sebagai bentuk 

jaminan.

Pemberian kredit ini , lebih khususnya dalam hal pemberian 

kredit investasi, yang menjadi agunan pokok ialah usaha yang dibiayai 

(dalam hal ini usaha franchise yang dibuktikan dengan kontrak Franchisor

dengan franchisee). sedang  dalam hal pemberian kredit modal kerja, 

maka yang akan menjadi agunan pokoknya adalah persediaan barang dari  

usaha waralaba ini , dan dalam hal ini kontrak franchise akan menjadi 

syarat mutlak bagi pemberian kontrak ini.

Perkembangan hukum mengenai agunan ini mulai mengalami 

perkembangan setelah dikeluarkannya Undang-undang No 9 Tahun 2006 

tentang Resi Gudang, yang tmemasukan Resi Gudang sebagai bagian dari 

konstruksi hukum agunan di negara kita . Hal ini dapat dilihat berdasar  

Peraturan Bank negara kita  atau PBI (Peraturan Bank negara kita ) Nomor 

9/6/PBI/2007 tentang Perubahan Kedua Atas PBI No 7/2/PBI/2005 tentang 

Penilaian Aktiva Bank Umum, pada pasal 46 meliputi : 

a. Surat berharga dan saham yang aktif diperdagangkan dibursa 

efek di negara kita  atau memiliki peringkat investasi dan diikat 

secara gadai; 

b. Tanah, gedung dan rumah tinggal yang diikat dengan Hak 

Tanggungan; 

c. Pesawat udara atau kapal lau dengan ukuran diatas 20 meter 

kubik yang diikat dengan Hipotek; 

d. Kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara 

Fidusia; dan atau 

e. Mesin yang merupakan satu kesatuan dengan tanah dan iikat 

dengan Hak Tanggungan; 

f. Resi gudang yang diikat dengan hak Jaminan atas Resi 

Gudang.  

Sangat jelas bahwa hingga saat ini kontrak franchise belum 

tercantum sebagai salah satu bentuk agunan kredit yang diakui di negara kita , 

walaupun disatu sisi seluruh HKI yang diatur dalam undang-undang memuat 

syarat yang sangat memungkinkan HKI untuk dapat dijadikan sebagai 

agunan kredit perbankan. Oleh karenanya, menjadikan HKI sebagai bagian 

dari agunan di negara kita  akan sangat mungkin dilakukan, sebagaimana Resi 

Gudang yang pada akhirnya dapat dijadikan agunan (collateral).