Tampilkan postingan dengan label manajemen laba 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label manajemen laba 2. Tampilkan semua postingan

manajemen laba 2

 



 









bahwa: 1. Ada beberapa sisi positif sebagai dampak perbedaan pandangan dan pemahaman terhadap manajemen laba.  2. Manajemen laba merupakan usaha  rekayasa manajerial untuk mempermainkan informasi-informasi dalam laporan keuangan.   3. Manajemen laba merupakan cermin perilaku oportunis seorang manajer perusahaan.  Tujuan Instruksional Khusus: Setelah membaca bab ini pembaca diharapkan dapat memahami bahwa: 1. Perbedaan pandangan pandangan dan pemahaman terhadap manajemen laba mempengaruhi perkembangan definisi manajemen laba, riset  akuntansi keuangan dan keperilakuan, model empiris untuk mendeteksi manajemen laba, dan konsep good corporate governance. 2. Manajemen laba telah mengakibatkan informasi dalam laporan keuangan menjadi tidak relevan, netral, komprehensif, serta mempunyai daya banding dan daya uji. 3. Manajer melakukan manajemen laba sebab  mempunyai kesempatan untuk mengoptimalkan kesesjahteraan dan kepentingan pribadinya. Kesempatan ini muncul sebab  adanya transaksi yang berkaitan dengan pasar modal, kontraktual, dan regulasi.    Ada permasalahan serius yang dihadapi para praktisi dan akademisi dibidang akuntansi dan keuangan selama beberapa dekade terakhir ini, yaitu manajemen laba1. Alasannya, pertama, manajemen laba seolah-olah telah menjadi corporate culture yang  

dipraktikkan oleh semua perusahaan di seluruh dunia. Tidak hanya di negara-negara dengan sistem bisnis yang belum tertata, aktivitas rekayasa manajerial ini juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di negara yang sistem bisnisnya telah tertata, seperti halnya Amerika Serikat. Kedua, sebab dan akibat yang ditimbulkan aktivitas rekayasa manajerial ini tidak hanya menghancurkan tatanan ekonomi, namun juga tatanan etika dan moral suatu negara. Inilah yang membuat publik mempertanyakan etika, moral, dan tanggung jawab pelaku bisnis yang seharusnya menciptakan kehidupan bisnis yang bersih dan sehat. Publik juga mempertanyakan dan meragukan integritas dan kredibilitas para akuntan yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mendeteksi manajemen laba dan regulator yang seharusnya mempersiapkan regulasi yang memadai untuk menciptakan kehidupan bisnis yang bersih dan sehat.  Alasan-alasan itulah yang membuat publik meragukan informasi-informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Informasi yang seharusnya menjadi sumber utama bagi publik untuk mengetahui kondisi perusahaan yang sesungguhnya justru kehilangan makna dan fungsi sebab  ulah menyimpang orang-orang tertentu. Laporan keuangan tidak lagi mampu menjalankan fungsinya untuk mengiformasikan apa yang sesungguhnya telah dilakukan dan dialami perusahaan selama satu periode. Selain meragukan orang yang menyusun dan memeriksa laporan keuangan, publik juga mempertanyakan dan meragukan kelayakan standar akuntansi dan pemeriksaan yang selama ini dipakai secara luas oleh dunia usaha. Berbagai pertanyaan dan keraguan publik ini terjadi mengingat manajemen laba tidak hanya mempengaruhi perekonomian nasional namun juga perekonomian internasional. Dari sudut pandang perekonomian nasional, secara mikro, manajemen laba mengakibatkan perusahaan yang melakukannya bagaikan menyimpan “bara dalam sekam”. Artinya, meski manajemen laba dapat disembunyikan dalam jangka pendek namun dalam jangka panjang perusahaan bersangkutan akan mengalami kesulitan keuangan, kolaps, bahkan bangkrut. Hal ini disebabkan manajemen laba tidak mungkin dilakukan perusahaan dalam jangka panjang. Alasannya, pertama, perusahaan tidak mampu lagi melanjutkan aktivitas rekayasa manajerial itu sebab sekali melakukan maka perusahaan terpaksa harus menutupinya dengan aktivitas rekayasa yang lain. Demikian ..

seterusnya sampai perusahaan kehilangan kemampuan untuk meneruskannya lagi. Kedua, aktivitas rekayasa manajerial ini diketahui publik saat  akuntan publik melakukan pemeriksaan keuangan dan menolak memberikan opini terhadap laporan keuangan perusahaan bersangkutan. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika perusahaan yang sebelumnya mempunyai kinerja bagus dan dinyatakan sehat selama beberapa periode tiba-tiba mengalami kesulitan keuangan, kolaps, atau bahkan bangkrut. 

  Tabel 1.1 Penyimpangan Korporasi di Indonesia Kekayaan perusahaan disalahgunakan orang dalam Diabaikannya hak-hak pemegang saham minoritas Ketidakterbukaan informasi bisnis pemakaian nama perusahaan untuk pinjaman pribadi Keputusan yang diambil sebab  moral hazard Intervensi pemegang saham dalam pengelolaan perusahaan Praktik perusahaan dalam perusahaan High leverage tapi tidak mempertimbangkan service capacity Diversifikasi dan ekspansi usaha dengan tidak prudential Resiko tidak dikelola dengan hati-hati Bank dipakai  sebagai kasir kelompok usaha Praktik transfer pricing antar affiliated companies 


 sedang  secara makro, manajemen laba telah membuat dunia usaha seolah berubah menjadi sarang pelaku korupsi, kolusi, dan berbagai penyelewengan lain yang merugikan publik. Publik menganggap apa yang diinformasikan dunia usaha hanya merupakan akal-akalan pelakunya untuk memaksimalkan keuntungan pribadi dan kelompok tertentu, tanpa memperhatikan kepentingan pihak lain. Hingga tidak aneh jika pada akhir dasawarsa 1980-an kasus creative accounting ini menyebabkan good corporate governance menjadi perhatian publik di Inggris. Demikian juga dengan kasus-kasus kecurangan korporasi di Indonesia yang terbukti menjadi salah satu penyebab runtuhnya perekonomian negara ini. Atau skandal keuangan Enron, Wolrdcom, dan Xerox yang menyebabkan publik Amerika Serikat meragukan integritas dan kredibilitas para pelaku dunia usaha. Skandal ini bahkan tidak hanya membuat 

perusahaan yang melakukannya mengalami kebangkrutan namun juga mengakibatkan para pelakunya diseret ke pengadilan sebagai pelaku kejahatan ekonomi.  Sementara dari sudut pandang perekonomian internasional, dampak buruk manajemen laba terbukti telah menyebabkan hancurnya jaringan global Kantor Akuntan Publik (KAP) Arthur Andersson & Co. Sebagai sebuah akuntan publik, Arthur Andersson & Co merupakan KAP yang mempunyai klien paling banyak di antara KAP ternama lainnya sebab integritas dan kredibilitasnya telah diakui secara internasional. Bahkan KAP lokal di berbagai negara yang menjadi afiliasinya pun juga menjadi KAP terpercaya dan mempunyai klien terbanyak di negara bersangkutan. Namun usaha  yang dilakukan KAP Arthur Andersson & Co di Amerika Serikat untuk melegalisasi atau menyembunyikan penyelewengan yang dilakukan kliennya ternyata tidak hanya meruntuhkan KAP Arthur Andersson & Co di negara itu, tetapi juga seluruh afiliasinya di seluruh dunia. Lebih menarik lagi, KAP ini runtuh tanpa harus melewati proses pengadilan, namun hanya sebab  dijauhi oleh klien dan publik yang menganggapnya sebagai pesakitan. Hingga skandal keuangan yang melibatkan KAP ini berdampak secara luas terhadap bisnis internasional.     A.  PERSPEKTIF DASAR  Anehnya, meski berbagai kasus manajemen laba terbukti telah mengakibatkan hancurnya tatanan ekonomi, etika, dan moral masih ada perbedaan pandangan dan pemahaman terhadap aktivitas rekayasa manajerial ini. Sampai saat ini masih ada kontroversi dalam memandang dan memahami manajemen laba. Secara umum kontroversi ini terjadi antara praktisi dan akademi yang pada dasarnya mempertanyakan apakah manajemen laba dapat dikategorikan sebagai kecurangan (fraud) atau tidak. Para praktisi menilai manajemen laba sebagai kecurangan, sementara akademisi menilai manajemen laba tidak bisa dikategorikan sebagai kecurangan. Ada argumen yang cukup kuat yang diungkapkan oleh setiap pihak untuk mempertahankan pendapatnya ini. Tetapi meski setiap pihak berusaha mengungkapkan alasan logis sebenarnya ada satu benang merah dalam antara kedua pendapatan ini, yaitu kedua belah pihak menyepakati bahwa manajemen laba adalah usaha  untuk mengubah, menyembunyikan, dan menunda informasi keuangan. 

Secara umum para praktisi, yaitu pelaku ekonomi, pemerintah, asosiasi profesi dan regulator lainnya, berargumen bahwa pada dasarnya manajemen laba merupakan perilaku oportunis seorang manajer untuk mempermainkan angka-angka dalam laporan keuangan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya. Perbuatan ini dikategorikan sebagai kecurangan sebab  secara sadar dilakukan manajer perusahaan agar stakeholder yang ingin mengetahui kondisi ekonomis perusahaan tertipu sebab  memperoleh informasi palsu. Apalagi perbuatan ini dilakukan manajer dengan memanfaatkan kelemahan pihak lain yang tidak mempunyai sumber dan akses yang memadai untuk memperoleh informasi mengenai perusahaan. Selain itu perbuatan ini sebenarnya juga merupakan usaha  manajer untuk memaksimalkan kesejahteraan dan kepentingan pribadi. Akibatnya, stakeholder kehilangan kesempatan untuk memperoleh return dari hubungan ekonomi yang dijalinnya dengan perusahaan bersangkutan. Sementara para akademisi, termasuk peneliti, berargumen bahwa pada dasarnya manajemen laba merupakan dampak dari kebebasan seorang manajer untuk memilih dan memakai  metode akuntansi tertentu saat  mencatat dan menyusun informasi dalam laporan keuangan. Hal ini disebabkan ada beragam metode dan prosedur akuntansi yang diakui dan diterima dalam prinsip akuntansi berterima umum (generally accepted accounting prinsiples). Selama metode dan prosedur akuntansi yang dipilih dan dipakai  masih dalam ruang lingkup prinsip akuntansi maka apa yang dilakukan manajer tidak bisa dikategorikan sebagai kecurangan. Oleh sebab itu usaha  untuk mengurangi manajemen laba dianggap sebagai usaha  untuk melakukan koreksi terhadap standar akuntansi. Ada wacana untuk membuat standar akuntansi lebih dogmatis sehingga tidak ada lubang yang bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan pribadi dari standar itu.  Secara konseptual wacana ini memang dapat menyelesaikan masalah manajemen laba walaupun tidak mudah dan sulit untuk dilaksanakan. Alasannya, standar akuntansi bukan hukum tunggal maupun dogma yang mengikat pemakainya untuk mengikutinya secara penuh. Prinsip akuntansi pada dasarnya merupakan kumpulan dari berbagai metode dan prosedur akuntansi yang selama ini dipakai oleh perusahan-perusahaan di seluruh dunia. Hingga perusahaan mempunyai kebebasan untuk memilih dan memakai  sesuai dengan kepentingannya. Bahkan perusahaan juga mempunyai kebebasan untuk mengganti dari satu metode akuntansi menjadi 

metode akuntansi yang lain dan dari satu prosedur akuntansi yang satu menjadi prosedur akuntansi yang lain. Namun demikian ada beberapa sisi positif yang dapat diambil dari kontroversi pandangan dan pemahaman terhadap manajemen laba ini.  1. Semakin berkembangnya definisi manajemen laba Sampai saat ini ada belum ada kesepakatan mengenai batasan dan definisi manajemen laba. Perbedaan inilah yang menyebabkan setiap pihak yang concern pada masalah aktivitas rekayasa manajerial ini mencoba untuk mendefinisikannya, baik dari pemahaman positif maupun negatif. Akibatnya, ada banyak batasan dan definisi manajemen laba. Ada pihak yang mendefinisikan manajemen laba sebagai kecurangan yang dilakukan seorang manajer untuk mengelabui orang lain, sedang  pihak lain mendefinisikannya sebagai aktivitas yang lumrah dilakukan manajer dalam menyusun laporan keuangan. Manajemen laba tidak bisa dikategorikan sebagai kecurangan sejauh apa yang dilakukannya masih dalam ruang lingkup prinsip akuntansi. Inilah yang membuat spektrum manajemen laba menjadi sedemikian luas.  Secara umum manajemen laba didefinisikan sebagai usaha  manajer perusahaan untuk mengintervensi atau mempengaruhi informasi-informasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan. Istilah intervensi dan mengelabui inilah yang dipakai sebagai dasar sebagian pihak untuk menilai manajemen laba sebagai kecurangan. Sementara pihak lain tetap menganggap aktivitas rekayasa manajerial ini bukan sebagai kecurangan. Alasannya, intervensi itu dilakukan manajer perusahaan dalam kerangka standar akuntansi, yaitu masih memakai  metode dan prosedur akuntansi yang diterima dan diakui secara umum.  2. Semakin berkembangnya riset  akuntansi keuangan dan keperilakukan  Semakin berkembangnya riset  dibidang akuntansi keuangan dan keperilakukan didasari pada perkembangan perspektif manajemen laba yang tidak lagi hanya dalam konsteks informasi (information perpective) namun juga dalam perspektif oportunis (opportunistic perpective). Artinya, riset -riset  itu tidak hanya terfokus pada usaha  untuk mendeteksi keberadaan, bagaimana, dan konsekuensi manajemen laba, tetapi meluas menjadi riset  untuk mengetahui mengapa seorang manajer melakukan aktivitas rekayasa manajerial ini. Inilah yang membuat 

 7 

riset  akuntansi tidak hanya terbatas pada besarnya angka laporan keuangan yang direkayasa, metode, dan obyek manajemen laba namun juga pada usaha  untuk mengidentifikasi pandangan, pemahaman, perilaku etis, dan motivasi apa yang mendorong seseorang untuk melakukan manajemen laba.  Oleh sebab itu riset  akuntansi tidak hanya berkutat dengan angka-angka laporan keuangan, namun juga pada usaha  pengumpulan data-data primer dengan memakai  kuisioner. Analisis yang dipakai  pun juga mulai memanfaatkan basis data primer untuk membuat kesimpulan riset  menjadi lebih valid. Selain itu perkembangan-perkembangan ini juga mengakibatkan berkembangnya teori akuntansi, khususnya teori akuntansi positif (positive accounting theory). Keterbatasan teori akuntansi yang selama ini menghambat perkembangan riset -riset  akuntansi diselesaikan dengan mengadopsi teori-teori dari disiplin ilmu lain yang relevan, misalkan ilmu manajemen dan psikologi. usaha  untuk mengadopsi inilah yang membuat teori akuntansi semakin diperkaya dengan berbagai teori yang relevan dengan perkembangan riset  dan teori akuntansi.  3. Semakin berkembangnya model empiris manajemen laba Perbedaan pemahaman terhadap manajemen laba juga mendorong semakin berkembangnya model empiris yang dipakai  untuk mengidentifikasi aktivitas rekayasa manajerial itu. Secara umum ada tiga kelompok model empiris manajemen laba yang diklasifikasikan atas dasar basis pengukuran yang dipakai , yaitu model yang berbasis akrual agregat (aggregate accruals), akrual khusus (specific accruals), dan distribusi laba (distribution of earnings). Model berbasis akrual merupakan model yang memakai  discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba. Model manajemen laba ini dikembangkan oleh Healy, DeAngelo, Jones, serta Dechow, Sloan, dan Sweeney. Model kedua merupakan model yang berbasis specific accruals, yaitu pendekatan yang menghitung akrual sebagai proksi manajemen laba dengan memakai  item laporan keuangan tertentu dari industri tertentu pula. Model ini dikembangkan oleh McNichols dan Wilson, Petroni, Beaver dan Engel, Beneish, serta Beaver dan McNichols. sedang  model ketiga merupakan model distribution of earnings dikembangkan oleh Burgtahler dan Dichev,  Degeorge, Patel, dan Zeckhauser, serta Myers dan Skinner.   

Namun sejauh ini hanya model berbasis aggregate accrual diterima secara umum sebagai model yang memberikan hasil paling kuat dalam mendeteksi manajemen laba. Alasannya, model empiris ini sejalan dengan akuntansi berbasis akrual (accruals basis of accounting) yang selama ini banyak dipergunakan oleh dunia usaha. Model akuntansi ini merupakan pencatatan yang membuat munculnya komponen akrual yang mudah untuk dipermainkan besar kecilnya. Hal ini disebabkan komponen akrual merupakan komponen yang muncul dari transaksi-transaksi yang tidak disertai penerimaan dan pengeluaran kas. Alasan kedua, model aggregate accrual memakai  semua komponen laporan keuangan untuk mendeteksi rekayasa keuangan ini. Hal ini sejalan dengan basis akuntansi yang selama ini diterima umum, sebab akrual memang ada dalam setiap komponen laporan keuangan tanpa terkecuali, baik dalam aktiva tetap maupun lancar dan pasiva jangka pendek maupun jangka panjang.  4. Semakin berkembangnya konsep good corporate governance Semakin merebaknya aktivitas manajemen laba juga telah mendorong berkembangnya perhatian publik terhadap konsep good corporate governance. Konsep ini secara definitif diartikan sebagai sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan agar selalu menciptakan nilai tambah untuk semua stockholder dan stakeholder-nya. Ada dua point penting yang ditekankan dalam konsep ini, yaitu hak stockholder dan stakeholder untuk memperoleh informasi akurat dan tepat waktu (timeliness) serta kewajiban perusahaan untuk mengungkapkan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, dan transparan semua informasi mengenai perusahaan. Atau dengan kata lain, konsep good corporate governance menekankan pentingnya kesetaraan (fairness), transparansi (transparancy), akuntabilitas (accountability), dan responsilitas (responsibility) informasi untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan. Alasannya, laporan keuangan merupakan alat komunikasi utama perusahaan dengan semua pihak yang mempunyai kepentingan dengan perusahaan. Hingga semakin berkualitas laporan 

keuangan semakin berkualitas pula keputusan yang dibuat stakeholder yang memakai  informasi itu.  B.  PERSPEKTIF INFORMASI Ada dua perspektif penting yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan mengapa manajemen laba dilakukan seorang manajer, yaitu perspektif informasi dan oportunis. Perspektif informasi merupakan pandangan yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan kebijakan manajerial untuk mengungkapkan harapan pribadi manajer tentang arus kas perusahaan dimasa depan. sedang  perspektif oportunis merupakan pandangan yang menyatakan bahwa manajemen laba merupakan perilaku oportunis manajer untuk mengelabui investor dan memaksimalkan kesejahteraannya sebab  menguasai informasi lebih banyak dibandingkan pihak lain. Secara konseptual kedua perspektif ini mempunyai hubungan sebab-akibat yang mendorong terjadinya manajemen laba. Artinya, manajemen laba sebenarnya merupakan usaha  oportunis seseorang untuk mempengaruhi informasi yang disajikannya dengan memanfaatkan ketidaktahuan orang lain mengenai informasi yang sebenarnya. usaha  mempengaruhi informasi itu dilakukan dengan memanfaatkan kebebasan untuk memilih, memakai , dan mengubah berbagai metode dan prosedur akuntansi yang ada. Selama ini memang ada berbagai metode akuntansi untuk satu komponen tertentu. Sebagai contoh adalah metode FIFO, LIFO, dan rata-rata untuk menentukan harga pokok penjualan atau metode depresiasi garis lurus, saldo menurun, dan jumlah angka tahun untuk mengalokasikan harga perolehan aktiva tetap. pemakaian metode yang berbeda akan menghasilkan nilai yang berbeda pula. Hingga seseorang dapat mengatur nilai perusahaan dengan memanfaatkan kebebasan untuk memilih dan mengubah metode-metode itu. Mengubah metode yang dipakai berarti mengubah nilai seperti yang dikehendaki orang itu. Selain itu juga ada berbagai prosedur akuntansi untuk satu komponen tertentu yang bisa dimanfaatkan untuk mengatur nilai perusahaan. Sebagai contoh adalah prosedur dalam menentukan nilai estimasi umur ekonomis untuk mengalokasikan harga perolehan aktiva tetap, nilai estimasi amortisasi aktiva tak berwujud, prosentase untuk menentukan kerugian piutang, dan lain-lain.   

Oleh sebab itu manajemen laba dapat dikatakan sebagai permainan akuntansi (accounting games). Apalagi jika melihat bahwa rekayasa ini merupakan usaha  untuk menyembunyikan dan mengubah informasi dengan mempermainkan besar kecilnya angka-angka komponen laporan keuangan yang dilakukan saat  mencatat dan menyusun informasi itu. Ada dua alasan yang dapat menjelaskan mengapa laporan keuangan rawan untuk dipermainkan oleh siapapun yang menyusun informasi itu. Alasan pertama adalah hanya dengan memahami dan menguasai konsep-konsep akuntansi dan keuangan seseorang dapat mempermainkan informasi keuangan ini sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya.  Alasan kedua adalah kebebasan dalam memilih dan memakai  metode dan prosedur akuntansi ini secara tidak langsung membuat standar akuntansi seakan-akan mengakomodasi atau memfasilitasi aktivitas rekayasa menajerial  ini. Hal inilah yang membuat publik mempertanyakan kembali kelayakan standar akuntansi yang dipakai secara umum. Meski untuk melakukan koreksi terhadap standar akuntansi sebenarnya bukan hal yang mudah sebab “kesalahan” itu tidak hanya terletak pada standar itu namun juga pada perilaku etis dari orang yang memakai nya. Oleh sebab itu untuk memahami persoalan manajemen laba seseorang harus memahami prinsip, standar, metode, prosedur, dan proses akuntansi dengan baik.  Akuntansi pada dasarnya merupakan proses untuk mencatat transaksi dan menyusun laporan keuangan, yaitu informasi mengenai aktiva, kewajiban, perubahan aktiva dan hutang, serta aktivitas operasional, pendanaan, dan investasi suatu perusahaan. Informasi-informasi dalam laporan keuangan ini tidak hanya dipakai oleh pihak internal namun juga pihak eksternal perusahaan, termasuk pemilik, calon investor, kreditur, asosiasi profesi, pemerintah, regulator dan publik secara umum. Alasan inilah yang membuat harus dapat dipahami dan dimengerti oleh pihak-pihk itu. Selain itu laporan keuangan harus dapat dipercaya para pemakainya sebab informasi ini akan dipakai untuk menaksir potensi perusahaan dalam menghasilkan laba dimasa depan. Untuk itu laporan keuangan harus disusun dengan memakai  metode dan prosedur akuntansi yang telah diakui, diterima, dan dipahami oleh semua pihak yang akan memakai  informasi ini.  Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar laporan keuangan dapat diakui dan diterima informasi yang berkualitas. Secara konseptual laporan keuangan dinilai  

sebagai informasi yang berkualitas bila  menyajikan informasi yang relevan netral, lengkap (komprehensif), serta mempunyai daya banding dan uji. Agar dapat memenuhi syarat-syarat ini maka seluruh informasi yang disajikan dalam laporan keuangan harus disusun dengan memakai  standar akuntansi yang berlaku secara umum. Inilah yang membuat metode dan prosedur yang tercakup dalam standar akuntansi harus diikuti dan ditaati oleh penyusun laporan keuangan. Tujuannya, agar peran strategis laporan keuangan dalam menyediakan informasi yang relevan dengan kebutuhan pemakai laporan keuangan dapat terpenuhi.  1. Informasi yang relevan Informasi akuntansi dikatakan relevan bila  dapat memenuhi kebutuhan semua pihak yang akan memakai nya. Secara konseptual bukan hanya pihak internal perusahaan atau manajer yang membutuhkan informasi-informasi dalam laporan keuangan, tetapi juga pihak eksternal yang mempunyai kepentingan yang berbeda antara satu dengan yang lain. Perbedaan kepentingan ini menyebabkan informasi yang dibutuhkan satu pihak dengan pihak lain menjadi berbeda. Untuk itu laporan keuangan harus mampu mengakomodasi dan memfasilitasi semua kebutuhan itu dengan baik. Oleh sebab itu laporan keuangan akan dianggap sebagai informasi yang relevan bila  mampu memenuhi semua kebutuhan informasi dari pihak yang berbeda ini. a. Manajer membutuhkan informasi-informasi dalam laporan keuangan untuk menyusun rencana dan anggaran, strategi untuk masa depan, pengendalian, serta menilai kinerja yang telah dicapainya selama satu periode tertentu. b. Pemilik membutuhkan informasi-informasi dalam laporan keuangan untuk menilai apakah yang dilakukan manajer perusahaan telah sesuai dengan apa yang disepakati. Penilaian ini akan dipakai untuk menentukan kinerja, kompensasi, dan kompetensi manajer yang mengelola perusahaannya.     c. Calon investor membutuhkan informasi-informasi dalam laporan keuangan untuk menilai dan menentukan apakah dana yang dimilikinya tepat untuk diinvestasikan di perusahaan itu atau tidak.  d. Kreditur membutuhkan informasi-informasi dalam laporan keuangan untuk menilai dan menentukan apakah suatu perusahaan layak menerima kucuran  

kredit. Selain itu kreditur membutuhkan informasi ini untuk mengetahui dan memperkirakan apakah dana yang dipinjam perusahaan dapat diterima kembali.  e. Supplier membutuhkan informasi-informasi dalam laporan keuangan untuk menilai apakah barang yang dikirim telah dimanfaatkan dengan baik oleh perusahaan. Selain itu kreditur membutuhkan informasi ini untuk mengetahui dan memperkirakan apakah perusahaan bersangkutan dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar barang yang telah diterimanya. f. Regulator membutuhkan informasi-informasi dalam laporan keuangan untuk menilai dan menentukan tingkat kesehatan perusahaan, kebijakan yang harus disusun, dan menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi dalam dunia usaha.     g. Pemerintah membutuhkan informasi-informasi dalam laporan keuangan untuk menentukan berapa besarnya pajak yang harus dipungut dari perusahaan itu, sehingga pajak dapat dipungut dalam jumlah yang tepat sesuai dengan tingkat kemampuan dan kewajiban perusahaan bersangkutan.    2. Informasi yang netral Informasi akuntansi dikatakan netral bila  informasi itu bebas dari ketergantungan dan keinginan pihak-pihak tertentu. Oleh sebab itu usaha  menyajikan informasi yang menguntungkan pihak-pihak tertentu dan merugikan pihak lain tidak diperbolehkan dalam proses akuntansi. Selain itu, usaha  untuk menyembunyikan informasi tertentu demi kepentingan pihak tertentu tetapi merugikan pihak-pihak lain juga dilarang untuk dilakukan. Atau dengan kata lain informasi akuntansi harus melaporkan apa yang seharusnya dilaporkan secara terbuka. Secara adil (fairness) laporan keuangan harus menyediakan, menyajikan, dan memberikan informasi yang sama persis untuk semua pihak yang membutuhkan. Hingga bila  ada dua orang yang berbeda memakai  laporan keuangan untuk kepentingan yang sama akan menghasilkan keputusan yang sama. Kesetaraan kesempatan untuk memperoleh informasi ini diharapkan dapat membuat laporan keuangan menjadi lebih berkualitas.      3. Informasi yang lengkap Informasi laporan keuangan juga harus lengkap atau komprehensif untuk mengungkapkan (disclosure) semua fakta, baik transaksi (transaction) maupun peristiwa (event), yang dilakukan dan dialami perusahaan selama satu periode  

tertentu. usaha  untuk menyembunyikan, menunda pengungkapan, atau mengubah fakta-fakta yang ada merupakan kegiatan yang melanggar aturan yang tidak diperbolehkan dalam proses akuntansi. Apalagi jika usaha  itu dilakukan untuk menyembunyikan penyelewengan, kecurangan, kekurangan, kegagalan, dan kelemahan suatu perusahaan. Oleh sebab itu standar akuntansi tidak mentolelir usaha  menyembunyikan, menunda atau mengubah informasi untuk kepentingan pihak tertentu. Setiap orang dapat memperoleh informasi mengenai kondisi dan kinerja perusahaan secara lengkap dan berkualitas. Tujuannya, agar keputusan ekonomi yang dibuat stakeholder atas dasar informasi itu juga menjadi lebih berkualitas.   4. Informasi yang mempunyai daya banding dan uji Maka agar dapat menyajikan informasi yang relevan, netral, dan lengkap, akuntansi menyediakan standar yang harus diikuti dan dipakai oleh orang yang menyusun laporan keuangan. Artinya, penyusun laporan keuangan terikat untuk memakai  standar akuntansi itu sehingga informasi yang dihasilkan tidak dipengaruhi oleh selera orang bersangkutan. Harapannya, informasi yang disajikan dalam laporan keuangan mempunyai daya banding (comparability) dan daya uji (veriability), serta dapat dimengerti oleh pihak lain yang memakai  laporan keuangan itu. Laporan keuangan yang mempunyai daya banding merupakan laporan yang dapat dibandingkan dengan laporan periode sebelumnya atau dengan laporan perusahaan lain dalam periode yang sama. sedang  laporan keuangan yang mempunyai daya uji merupakan laporan yang tidak dibuat atas dasar pertimbangan yang subyektif. Agar laporan keuangan mempunyai daya banding dan daya uji maka informasi itu harus disusun dengan memakai  standar akuntansi yang berlaku secara umum. Laporan keuangan yang tidak disusun dengan memakai  standar akuntansi itu akan dinilai sebagai informasi yang tidak mempunyai daya banding dan daya uji, tidak berkualitas, tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk membuat keputusan-keputusan ekonomi. Alasannya, standar akuntansi secara umum juga dipakai untuk menyusun laporan keuangan perusahaan-perusahaan lain. Oleh sebab itu bila  perusahaan tidak memakai  standar akuntansi itu maka laporan keuangannya tidak mungkin dapat diperbandingkan dengan laporan keuangan perusahaan lain.  

Selain itu perusahaan diharapkan menerapkan standar akuntansi secara konsisten dari periode ke periode. Hal ini dilakukan untuk menghasilkan informasi yang mempunyai daya banding dan daya uji, khususnya bila  informasi ini akan diperbandingkan dengan informasi dari periode-periode lalu. Meskipun demikian suatu perusahaan diijinkan mengganti metode dan prosedur akuntansi yang selama ini dipakai  dengan metode dan prosedur akuntansi yang lain. Syaratnya, perubahan ini diungkapkan dengan jelas dalam laporan keuangan, sehingga pemakai laporan keuangan dapat mengetahui adanya perubahan-perubahan itu.  Oleh sebab itu laporan keuangan yang secara konsisten disusun dengan memakai  standar akuntansi dianggap sebagai informasi relevan, netral, dan lengkap. Apalagi standar akuntansi sudah mengatur semua komponen dalam laporan keuangan secara lengkap. Bahkan satu komponen mempunyai lebih satu metode akuntansi yang bebas dipilih dan dipakai  oleh pemakainya, termasuk mengganti metode yang dipakainya, asal diungkapkan secara jelas dalam laporan keuangan. Selain kebebasan dalam memilih dan mengganti metode akuntansi, prinsip akuntansi juga memberikan kebebasan pemakainya untuk menentukan nilai estimasi yang dipakai nya. Secara konseptual nilai estimasi merupakan nilai yang dipakai  periode waktu alokasi harga perolehan (cost) aktiva tetap dan biaya dibayar dimuka (differed charge), nilai residu aktiva tetap, prosentase biaya kerugian piutang, dan lain-lain. Kebebasan memilih metode akuntansi dan nilai estimasi inilah yang memicu dan mendorong seseorang untuk merekayasa informasi keuangan. Penyusun laporan keuangan hanya mau memilih dan memakai  metode akuntansi dan menentukan nilai estimasi yang dapat mengoptimalkan kesejahteraannya. Artinya, penyusun laporan keuangan hanya mau memakai  suatu metode akuntansi tertentu bila  ada manfaat yang bisa diperoleh. Sementara metode yang tidak memberi manfaat tidak akan dipergunakan dalam menyusun laporan keuangan. Oleh sebab itu secara konseptual ada dua cara yang bisa dipakai  seorang manajer untuk mempengaruhi laporan keuangan, yaitu, pertama, bermain dengan memakai  metode akuntansi atau nilai estimasi akuntansi dan, kedua, memakai  metode akuntansi sekaligus nilai estimasi akuntansi. Cara yang terakhir ini biasanya dipakai  untuk mengatur besarnya kecilnya biaya depresiasi aktiva tetap atau biaya amortisasi aktiva tak berwujud.   

bila  penyusun laporan keuangan memilih memakai  metode akuntansi  maka kebijakan ini relatif lebih mudah diketahui oleh pemakai laporan keuangan. Alasannya, metode akuntansi yang dipakai  harus diungkapkan dalam laporan keuangan bersangkutan, termasuk jika terjadi perubahan metode akuntansi yang dipakai . sedang  bila  seorang penyusun laporan keuangan memilih memakai  nilai estimasi akuntansi untuk mengendalikan transaksi akrual maka kebijakan ini lebih relatif lebih sulit untuk diketahui pihak lain, sehingga penyusun laporan keuangan cenderung memilih kebijakan rekayasa dengan mengendalikan berbagai akrual. Alasannya, transaksi akrual yang diatur dengan memanfaatkan kebebasan menentukan nilai estimasi akuntansi ini merupakan transaksi yang tidak mudah untuk diketahui pemakai laporan. usaha  mempengaruhi informasi keuangan inilah yang disebut dengan manajemen laba. Secara umum manajemen laba dapat dilakukan sebab  dasar pencatatan transaksi yang dipakai adalah akrual, yaitu pencatatan transaksi yang dilakukan tanpa harus disertai penerimaan kas dan atau pengeluaran kas. Akuntansi berbasis akrual (accuals basis of accounting) berusaha mencatat semua pengaruh keuangan yang terjadi dalam suatu transaksi dan peristiwa yang mempunyai konsekuensi kas untuk periode bersangkutan, tidak hanya saat  kas diterima atau dibayarkan secara tunai. Akuntansi berbasis akrual memakai  prosedur akrual, defferal, pengalokasian yang bertujuan untuk menghubungkan pendapatan, biaya, keuntungan (gains), dan kerugian (losses) selama periode tertentu, meski kas belum diterima atau dikeluarkan. Maka esensi pemakaian akuntansi akrual terletak pada usaha  untuk mempertemukan seluruh pendapatan dan biaya (matching of cost and revenues) untuk mengukur kinerja perusahaan.   Secara konseptual laporan keuangan yang disusun dengan memakai  basis akrual dapat memberikan informasi yang lebih lengkap dan komprehensif dibandingkan laporan keuangan yang memakai  basis kas. Alasannya, dalam akuntansi berbasis akrual semua transaksi dan peristiwa yang dilakukan perusahaan selama satu periode tertentu, baik kas maupun non-kas. Inilah yang membuat laporan keuangan lebih relevan dengan kebutuhan pemakai informasi ini dibandingkan dengan laporan keuangan basis kas. Sebab pada dasarnya pemakai laporan keuangan ingin mengetahui kinerja yang telah dicapai oleh perusahaan bersangkutan secara utuh. Tidak hanya 

kinerja kas, namun juga kinerja non-kas. Oleh sebab itu perusahaan-perusahaan dan stakeholder di seluruh dunia lebih banyak menerima dan memakai  laporan keuangan basis akrual ini.                   

 Oleh sebab itu manajemen laba dapat dikatakan sebagai usaha  manajerial untuk mengintervensi informasi dalam laporan keuangan dengan cara memanfaatkan kebebasan memilih dan memakai  metode akuntansi dan menentukan nilai estimasi akuntansi. Meskipun demikian secara praktis aktivitas rekayasa manajerial ini sulit untuk dideteksi. Pemakai laporan keuangan akan merasa kesulitan untuk mengetahui apakah informasi itu telah direkayasa atau tidak hanya dengan melihat dan membaca informasi itu. Ada dua keterbatasan pemakai laporan keuangan dalam menginterprestasikan laporan keuangan untuk mendeteksi manajemen laba, yaitu, pertama, kriteria penyajian laporan keuangan rawan terhadap kebijakan manajerial, yang merupakan fleksibilitas dalam menghitung laba, sebab  akuntansi memang memberikan peluang bagi manajer untuk mencatat fakta dengan cara tertentu dan mengestimasi secara subyektif. Kedua, tidak ada observasi yang sempurna terhadap kebijakan manajerial, mengingat tidak semua kebijakan manajerial dapat diobservasi 

Informasi-informasi perantara 

Laba sebelum manipulasi incremental 

Manajer memilih dan memakai metode akuntansi: tujuan PABU dan informasi yang diketahui oleh pemegang saham 

Investor riil dan potensial 

Laporan industri, laporan ekonomi, lapoan lain-lain Harapan analisis, pertemuan manajemen, voluntary disclosure, dan lain-lain 

Laba yang dilaporkan  

oleh pemakai laporan keuangan. Bahkan jika kebijakan itu diungkapkan dalam laporan keuangan sekalipun.    usaha -usaha  rekayasa inilah yang membuat informasi yang disajikan dalam laporan keuangan menjadi tidak relevan dengan kebutuhan pemakainya. Informasi yang telah direkayasa hanya relevan dengan kebutuhan pihak-pihak tertentu, khususnya manajer. Apalagi penyelewengan itu sebenarnya telah mengakibatkan informasi keuangan menjadi tidak relevan, netral, lengkap, serta tidak mempunyai daya banding dan daya uji lagi. Sementara kebutuhan dan kepentingan pihak lain atau stakeholder untuk memperoleh informasi yang berkualitas menjadi terabaikan. Hal ini disebabkan penyelewengan telah membuat informasi tidak dapat lengkap menyajikan secara lengkap apa yang seharusnya diungkapkan dalam laporan keuangan. Pemilik yang membutuhkan informasi untuk menilai kinerja manajer menjadi keliru dalam menetapkan kebijakan untuk kompetensi dan kompensasi manajerial. Calon investor akan keliru dalam memilih perusahaan sebagai tempat menanamkan dananya. Kreditur akan keliru saat  menilai kelayakan perusahaan yang akan atau telah menerima dananya. Supplier akan keliru mengirimkan barangnya kepada perusahaan yang sebenarnya tidak layak menerimanya. Regulator akan keliru dalam menilai kesehatan perusahaan. Pemerintah akan keliru dalam menentukan berapa pajak yang harus dipungutnya.   C.  PERSPEKTIF OPORTUNIS Secara konseptual laporan keuangan merupakan media yang dipakai perusahaan untuk menginformasikan apa yang telah dilakukan dan dialami perusahaan itu selama satu periode tertentu. Laporan keuangan juga dipergunakan untuk menginformasikan hasil yang diperoleh dari seluruh aktivitas perusahaan selama satu periode itu. Selain itu laporan keuangan pun dipergunakan untuk menginformasikan kondisi perusahaan pada saat tertentu sebagai akibat dari apa yang dilakukan dan dialaminya. Oleh sebab itu laporan keuangan secara langsung harus disusun, dipersiapkan, dan disajikan oleh orang yang mengelola perusahaan atau oleh orang yang memperoleh tugas untuk melaksanakan pekerjaan itu, yaitu akuntan internal. Alasannya, sebagai pengelola perusahaan, manajer merupakan satu-satunya pihak yang menguasai seluruh informasi yang diperlukan untuk menyusun laporan keuangan. Manajer bisa menjelaskan secara  

rinci mengapa dan untuk apa informasi itu ada. Manajer juga mengetahui dan memahami hubungan antara satu informasi dengan informasi lain.     Sementara pihak lain diluar perusahaan, yaitu pemilik, calon investor, kreditur, supplier, regulator, pemerintah, dan stakeholder lain, yang mempunyai keterbatasan sumber dan akses untuk memperoleh informasi mengenai perusahaan. Pihak-pihak ini hanya bisa mengandalkan informasi yang disajikan manajer jika ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan. Artinya, seberapa banyak informasi yang dapat dikuasai pihak-pihak ini sangat tergantung pada seberapa banyak informasi yang diterimanya dari manajer. Semakin banyak informasi yang diungkapkan manajer semakin banyak pula informasi yang dapat dikuasainya, sebaliknya semakin sedikit informasi yang diungkapkan manajer semakin sedikit pula informasi yang dapat dikuasainya.  Selain kuantitas informasi maka kualitas informasi yang diterima dan dikuasai stakeholder juga sangat tergantung pada kamauan manajer perusahaan. Semakin berkualitas informasi yang diungkapkan manajer semakin berkualitas pula informasi yang diterima dan dikuasainya, sebaliknya semakin tidak berkualitas informasi yang diungkapkan manajer semakin tidak berkualitas pula informasi yang diterima dan dikuasainya. Secara konseptual kemauan seorang manajer dipengaruhi oleh motivasi dan perilaku etisnya, sehingga kualitas informasi dalam laporan keuangan pun juga sangat tergantung pada motivasi dan perilaku etis manajer bersangkutan. Artinya semakin meragukan motivasi dan perilaku etis seorang manajer semakin meragukan pula kualitas laporan keuangan yang dipublikasikannya. Oleh sebab itu bila  integritas dan kredilitas sebuah perusahaan juga sangat tergantung pada integritas dan kredibilitas manajernya.           Situasi inilah yang membuat manajer cenderung menjadi pihak yang lebih superior dalam menguasai informasi dibandingkan pihak lain. Secara konseptual kesenjangan informasi antara manajer dengan pihak lain ini disebut dengan asimetri informasi (information aymmetry). Kesenjangan informasi inilah yang mendorong manajer untuk berperilaku oportunis dalam mengungkapkan informasi-informasi penting mengenai perusahaan. Semakin besar asimetri informasi semakin besar dorongan bagi manajer untuk berperilaku oportunis. Hal inilah yang mengakibatkan manajer hanya akan mengungkapkan suatu informasi tertentu jika ada manfaat yang diperolehnya. sedang  bila  tidak manfaat yang bisa diperolehnya maka manajer  

akan menyembunyikan atau menunda pengungkapan informasi itu. Bahkan manajer akan mengubah atau memalsukan informasi jika ada manfaat yang bisa diperolehnya.  Ada tiga pola laba yang bisa dipilih dan dipakai manajer untuk mengubah informasi ini.  Pola yang dipilih dan dipakai manajer tergantung pada tujuan yang ingin dicapainya. bila  manajer menginginkan kinerja terlihat lebih bagus daripada kinerja sesungguhnya maka manajer akan menaikkan informasi labanya lebih tinggi dibanding laba sesungguhnya. Sementara bila  manajer menginginkan kinerja perusahaan rendah maka manajer itu akan mengaturnya labanya lebih rendah dibandingkan kinerja sesungguhnya. sedang  agar kinerjanya terlihat lebih merata selama beberapa periode, manajer akan mengatur informasi sedemikian rupa sehingga labanya tidak bergerak secara fluktuatif selama periode-periode itu. usaha  untuk mempermainkan informasi dalam laporan keuangan dengan menyembunyikan, menunda pengungkapan, dan mengubah informasi inilah yang disebut dengan manajemen laba.  usaha  menyembunyikan, menunda pengungkapan, dan mengubah informasi ini dipandang sebagai kecurangan (fraud) seorang manajer dalam melaporkan kinerjanya. Alasannya, usaha  ini dilakukan manajer untuk menyesatkan pihak lain yang ingin mengetahui dan menilai kinerja dan kondisi perusahaan. Apalagi jika usaha  itu merupakan tindakan-tindakan manajerial yang disengaja untuk menipu pihak lain yang menyebabkannya kehilangan kekayaan. Hilangnya kekayaan ini disebabkan manajemen laba dapat mengakibatkan kesalahan alokasi sumberdaya. Manajer tidak bisa mengalokasikan apa yang telah didapatnya kepada pihak-pihak yang tepat. Hingga investor kehilangan kesempatan memperoleh deviden, kreditur dan supplier memperoleh kesempatan pengembalian pinjaman dan bunganya, serta pemerintah yang kehilangan kesempatan memperoleh sejumlah pajak.       Oleh sebab itu perspektif ini dinilai sejalan dengan teori agensi yang menyatakan bahwa pemisahan kepemilikan dan pengelolaan perusahaan akan mendorong setiap pihak berusaha memaksimalkan kesejahteraan masing-masing. Pemilik akan mendorong manajer agar mau bekerja lebih keras dengan memakai  berbagai intensif untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Alasannya, kesejahteraan pemilik akan meningkat seiring dengan peningkatan nilai perusahaan itu. Sebaliknya manajer sebab  kesuperiorannya dalam menguasai informasi akan berperilaku oportunis. usaha  manajer untuk memaksimalkan nilai perusahaan akan mengarah pada  

usaha  memaksimalkan kesejahteraan pribadi. Artinya, perilaku oportunis mengimplikasikan usaha  manajer dalam mentransfer kemakmuran pemilik perusahaan kepada dirinya sendiri.  Atas dasar pemikiran itulah mengapa manajemen laba dinilai sebagai cermin perilaku oportunis seorang manajer dengan mempercantik laporan keuangannya (fashioning accounting reports), yaitu melaporkan laba atau kinerja sesuai dengan kepentingan yang dicapainya. Manajemen laba tidak lagi hanya dipandang sebagai usaha  untuk mengintervensi laporan keuangan dengan mempermainkan dan mengutak-atik angka-angka dalam laporan keuangan agar kelihatan lebih cantik. Namun juga merupakan usaha  untuk memaksimalkan kesejahteraan seorang manajer dengan biaya yang harus ditanggung pihak lain. Bahkan dalam beberapa kasus, perilaku oportunis itu membuat seseorang terpaksa harus menanggung biaya agensi, yaitu kehilangan kesempatan untuk memperoleh kekayaan, menderita kerugian, atau kehilangan kekayaannya. Selanjutnya, sejalan dengan perkembangan bisnis perusahaan, bukan hanya pemilik perusahaan yang harus menanggung biaya agensi sebab  perilaku oportunis itu namun juga stakeholder lain yang mempunyai hubungan dengan perusahaan.  Perilaku oportunis ini telah menyebabkan kekayaan perusahaan tidak dialokasi yang dengan tepat (misallocation). Pemilik tidak memperoleh return sesuai dengan besarnya modal  yang ditanamkannya. Calon investor keliru dalam memilih perusahaan yang dapat memberikan return atas investasinya itu. Kreditur keliru dalam menilai kemampuan perusahaan sehingga dana yang dipinjamkannya terancam tidak dikembalikan. Supplier keliru menilai kelayakan perusahaan kehilangan kesempatan untuk memperoleh return dari barang yang dikirimkannya, bahkan juga bisa kehilangan barang-barang yang telah diserahkan kepada perusahaan itu. Regulator keliru dalam menilai kesehatan perusahaan sehingga membuat kebijakan yang tidak tepat untuk perusahaan bersangkutan. Pemerintah pun tidak memperoleh hak yang seharusnya diterima dalam bentuk pajak sebagaimana mestinya. Perilaku oportunis yang tercermin dari manajemen laba ini hanya membuat sebagian besar kekayaan perusahaan dialokasikan dan diterima manajer sendiri. Bahkan dalam beberapa kasus, seluruh kekayaan perusahaan dialokasikan dan diterima manajer itu sendiri.    

Meski demikian ada sebagian pihak yang mencoba memahami mengapa manajer berperilaku oportunis. Secara konseptual manajer berperilaku oportunis saat  menghadapi intertempory choice, yaitu kondisi yang memaksa manajer membuat keputusan tertentu untuk mengoptimalkan kesejahteraannya (moral hazard). Sebagai contoh adalah saat  seorang manajer mencoba mensiasati regulasi pemerintah dibidang perpajakan untuk meminimalkan pajak yang harus dibayarkannya atau saat  seorang manajer berusaha mengoptimalkan keuntungan yang diperoleh manajer dari kontrak yang dibuat antara seorang manajer dengan pihak lain, misalkan dalam mengoptimalkan bonus yang akan diperoleh seorang manajer saat  mencapai tingkat kinerja tertentu. Contoh lain adalah saat  seorang manajer ingin mengoptimalkan nilai saham yang ditawarkan di pasar modal, manajer dapat mengatur kinerja perusahaannya sehingga dapat menarik minat investor untuk membeli saham yang ditawarkan. Hal ini disebabkan sebab  investor tidak mampu mendeteksi keberadaan dan besarnya bagian laba yang telah dimanipulasi dan gagal memahami implikasi pemakaian akrual dalam laporan keuangan. Ada berbagai motivasi yang ditengarai mendasari dan mendorong seorang manajer berperilaku oportunis. Motivasi-motivasi inilah yang mempengaruhi pola rekayasa manajerial yang dilakukan manajer perusahaan. Artinya, bagaimana pola rekayasa ini sangat tergantung pada apa yang ingin dicapai oleh manajer bersangkutan. Manajer bisa merekayasa labanya menjadi lebih tinggi atau lebih rendah daripada laba sesungguhnya tergantung motivasi apa yang mendasarinya. Demikian juga bila  manajer merekayasa laba agar cenderung selalu sama selama beberapa periode sebelumnya. Secara umum ada beberapa motivasi-motivasi yang mendorong manajer untuk berperilaku oportunis, yaitu motivasi bonus (bonus purposes), motivasi kontrak (contractual motivations), motivasi politik (political motivations), motivasi pajak (taxes motivations), pergantian chief executive officers (changes of CEO), initial public offerings dan mengkomunikasikan informasi ke investor (to communicate information to investors), yang bisa dikelompokkan sebagai berikut:  1. Memanfaatkan transaksi di pasar modal Studi tentang pasar modal yang berkembang saat ini mendorong pengujian terhadap perilaku oportunis terfokus pada saat perusahaan mempunyai dorongan yang tinggi untuk melakukan manajemen laba, yaitu pada saat perusahaan melakukan periode  

transaksi. Apalagi pada saat ada kesenjangan informasi antara perusahaan, investor, dan analis. Sebagai contoh adalah pada saat perusahaan melakukan penawaran saham perdana (initial public offerings), seasoned equity offerings, dan management buyout. Dalam transaksi-transaksi ini manajer perusahaan merekayasa informasi sedemikian rupa agar laporan keuangan yang disajikannya mampu menarik minat publik untuk merespon penawarannya secara positif. Atau dengan kata lain, dengan menyajikan informasi yang lebih baik daripada informasi sesungguhnya diharapkan dapat membuat publik mau membeli saham yang ditawarkan dengan harga yang relatif lebih tinggi daripada harga sesungguhnya.  usaha  merekayasa informasi ini disebabkan laporan keuangan merupakan sumber informasi utama bagi investor yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan untuk menilai apakah perusahaan bersangkutan tepat untuk dijadikan tempat berinvestasi. Investor bahkan cenderung memakai  laporan keuangan sebagai satu-satunya sumber informasi sebelum membuat keputusan membeli saham-saham yang ditawarkan itu. Investor akan membeli saham-saham itu bila  melihat informasi yang disajikan dalam laporan keuangan cenderung positif dan prospektif. Oleh sebab itu manajer perusahaan yang menginginkan saham yang ditawarkannya direspon secara positif oleh pasar akan melakukan manajemen laba. Apalagi sebagai pihak yang menguasai informasi, seorang manajer mempunyai kebebasan untuk menyembunyikan, menunda sementara pengungkapan, dan mengubah laporan keuangan agar terlihat lebih cantik.  2. Memanfaatkan kontrak dengan pihak lain Motivasi kontraktual ini muncul sebab  perjanjian antara manajer dan pihak lain yang berbasis pada kompensasi manajerial (managerial compensations) dan perjanjian hutang (debt convenant). Motivasi manajerial yang berbasis bonus ini merupakan dorongan bagi manajer dalam melaporkan laba yang diperolehnya untuk memperoleh bonus yang dihitung atas dasar laba yang diperolehnya. Jika laba lebih rendah daripada target yang ditetapkan maka akan mendorong manajer untuk melakukan rekayasa dengan mentransfer laba masa depan (future earnings) menjadi laba sekarang (current earnings) dengan harapan akan memperoleh laba.  Hipotesis tentang perencanaan bonus memprediksi bahwa pengunduran diri dalam pendekatan chief executive officers (CEO) dipakai  sebagai strategi untuk  

memaksimalkan laba sebagai usaha  untuk menaikkan bonusnya. CEO melakukan manajemen laba untuk menaikkan kemungkinan laba masa depan agar positif. riset  mengenai pelanggaran perjanjian hutang (debt covenant violations) membuktikan adanya manajemen laba dengan menaikkan laba dalam laporan keuangan tahunan perusahaan yang melanggar perjanjian ini. Perjanjian hutang terbukti mempunyai pengaruh terhadap pilihan akuntansi pada tahun pelaporan dan tahun terjadinya pelanggaran. riset  sejenis membuktikan bahwa perusahaan yang dinyatakan melanggar perjanjian hutang secara signifikan akan menaikkan laba sehingga rasio debt-to-equity dan interest coverage pada level yang ditentukan.    3. Memanfaatkan regulasi pemerintah Motivasi regulasi (politik) merupakan motivasi yang muncul sebab  manajer berperilaku oportunis dengan memanfaatkan kelemahan akuntansi yang memakai  estimasi akrual dan pemilihan metode akuntansi dalam mendasar berbagai regulasi pemerintah. Perusahaan yang terbukti menjalankan praktik pelanggaran terhadap regulasi anti-trust dan anti monopoli melakukan manajemen laba untuk menurunkan laba yang dilaporkannya. Perusahaan akan menurunkan laba dengan tujuan untuk mempengaruhi keputusan pengadilan dalam menetapkan finalti terhadap perusahaan yang mengalami damage award. Selain itu income taxation juga merupakan motivasi dalam manajemen laba. Pemilihan metode akuntansi akan memberikan hasil yang berbeda terhadap laba yang dilaporkan yang dipakai sebagai dasar perhitungan pajak. Manajer cenderung memilih untuk memakai  metode akuntansi yang menghasilkan laporan laba dan pajak yang relatif lebih rendah.    

   Ada sisi negatif yang tidak diharapkan dari perkembangan konsep-konsep manajemen sejak awal abad dua puluhan. Konsep pengelolaan korporasi yang seharusnya membuat dunia usaha dijalankan secara profesional justru menjadi pemicu kehancuran dunia usaha dan merugikan publik. Konsep yang seharusnya membuat permasalahan pengelolaan usaha dieliminasi seminimal mungkin justru diselewengkan hingga membuat munculnya permasalahan-permasalahan baru yang merugikan kepentingan berbagai pihak. Permasalahan ini tentu bukan hanya disebabkan adanya kelemahan yang melekat dalam konsep-konsep manajemen itu namun juga didorong oleh moral hazard orang-orang yang memakai nya. Ada kecenderungan seseorang untuk selalu mencari celah dari suatu aturan atau pedoman tertentu yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pribadinya. Akibatnya konsep-konsep manajerial yang sebenarnya bertujuan positif diselewengkan hingga seolah-olah menjadi sesuatu yang negatif dan merugikan publik.   

Hubungan sisi positif dan negatif konsep manajerial ini salah satunya terjadi dalam hubungan antara agensi teori (agency theory) dan manajemen laba. Secara konseptual manajemen laba memang merupakan sisi lain dari teori agensi yang menekankan pentingnya penyerahan operasionalitas perusahaan dari pemilik (prinsipals) kepada pihak lain yang mempunyai kemampuan untuk mengelola perusahaan dengan lebih baik (agents). Konsep manajerial yang mengatur hubungan antara pemilik dan pengelola ini menyatakan bahwa setiap pihak mempunyai hak dan tanggung jawab dalam pengelolaan sebuah perusahaan. Setiap pihak harus mempunyai komitmen untuk menghargai dan menghormati hak dan wewenang pihak lain. Oleh sebab itu setiap pihak tidak diperbolehkan untuk mengintervensi hak dan wewenang pihak lain. Apalagi jika intervensi itu dilakukan demi kepentingan pribadi tanpa memperhatikan kepentingan pihak lain.  Sebagai pihak yang menyerahkan wewenang pengelolaan perusahaan, pemilik mempunyai hak dan tanggung jawab untuk melakukan pengawasan, pengendalian, dan meminta laporan pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan dan dialami pengelola perusahaan. Pemilik juga mempunyai hak untuk menerima hasil (return) yang layak dari modalnya sehingga kesejahteraannya meningkat. Seandainya pemilik merasa bahwa pengelola tidak menjalankan kewajiban maka pemilik berhak mengganti pengelola dengan orang lain yang dianggap lebih mampu. Selain itu pemilik mempunyai kewajiban untuk memperhatikan dan memberikan penghargaan secara layak kepada pengelola perusahaan. Untuk memotivasi agar pengelola mau bekerja dengan lebih baik pemilik juga dapat menjanjikan bonus yang akan diterima pengelola sesuai dengan kinerja dan prestasinya. Secara konseptual usaha  semacam ini merupakan usaha pemilik untuk meningkatkan kesejahteraan pribadi sebab peningkatan nilai perusahaan berarti peningkatan kesejahteraan pemilik.   Sementara sebagai penerima wewenang, pengelola mempunyai kewajiban untuk menjalankan dan mengoperasikan perusahaan secara bertanggung jawab. Pengelola mempunyai kewajiban untuk melaporkan secara berkala atas apa yang telah dilakukan dan dialaminya kepada pemilik secara terbuka, lengkap, dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu pengelola juga harus mau menerima pengawasan dan pengarahan dari pemilik saat  menjalankan perusahaan, apalagi jika hal ini dilakukan untuk kepentingan umum dan bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi  

pemilik perusahaan. Namun demikian pengelola berhak menolak intervensi pemilik yang ingin mencampuri urusan manajerial perusahaan, apalagi jika intervensi ini dilakukan untuk kepentingan pribadi yang merugikan publik. Untuk semua pekerjaan yang telah dilakukannya itu maka pengelola mempunyai hak untuk menerima penghargaan yang layak sesuai dengan kinerja dan prestasinya. Bahkan pengelola perusahaan juga mempunyai hak untuk menerima penghargaan lain yang telah dijanjikan pemilik bila  kinerja dan prestasinya lebih bagus daripada yang ditargetkannya.  Secara konseptual hubungan agensi antara pemilik dan pengelola perusahaan ini seharusnya menghasilkan hubungan simbosa mutualisma yang menguntungkan semua pihak, khususunya bila  setiap pihak menjalankan hak dan kewajibannya secara bertanggung jawab. Namun yang terjadi justru sebaliknya, yaitu munculnya permasalahan agensi (agency problem) antara pemilik dan pengelola perusahaan. Permasalahan ini muncul sebab  ada pihak yang lebih