ted circuit
design).
Sebagai contoh, Anda memiliki sebuah usaha kreatif pem-
buatan tahu dari susu sapi murni. Usaha Anda tergolong unik
sebab Anda menemukan suatu metode pembuatan tahu dari
susu sapi murni yang tentunya sangat bergizi. Anda memiliki
nama usaha dan merek yang Anda cantumkan pada label,
katakanlah Panir&Co.
Untuk melindungi Panir&Co dari tindak pemalsuan, plagiar-
isme, dan peniruan lain yang tidak bertanggung jawab, Anda
harus mendaftarkan kreasi usahan Anda itu. Dalam usaha Anda
ada unsur-unsur sebagai berikut: (1) Nama usaha atau merek
dagang; (2) teknik atau metode pengolahan; (3) prosedur
standar pembuatan tahu susu yang baku; (4) keunikan tahu susu
Anda, cara pengepakan, dan rasanya. Keempat substansi usaha
Anda ini adalah aset kekayaan intelektual yang harus Anda
proteksi. Karena itu, Anda setidaknya harus memiliki empat jenis
proteksi. Pertama, untuk melindungi nama usaha dan merek
dagang Anda, Anda harus memiliki hak merek. Dengan hak
merek, brand, logo, slogan dan unsur-unsur merek Anda
dilindungi oleh hukum. Jika ada pihak yang menjiplak, Anda
bisa meminta royalti kepadanya.
Kemudian, untuk melindungi teknik rahasia dan metode
pengolahan tahu susu Anda, terdapat dua jenis hak, yakni hak
paten dan hak cipta desain industri. Hak paten dipakai untuk
menyatakan bahwa Andalah pencipta suatu alat, perangkat,
atau algoritma. Hak paten inilah yang membuat Edison meme-
nangkan paten atas penemuan lisrik AC/DC, sebab Nikola Tesla
terlambat mempatenkan temuannya. Jadi, jika Anda memiliki
ciptaan yang unik, segeralah patenkan agar tidak diambil alih
orang lain. bila Anda telah memiliki paten atas karya Anda,
Anda bisa dibayar royalti milyaran rupiah tanpa harus bekerja
jika kreasi Anda ternyata memiliki prospek luar biasa bagi
warga .
Sementara itu, hak cipta desain industri dipakai untuk
menyatakan dengan sah bahwa Anda adalah pencipta desain
tahu susu Anda, baik dari cita rasa, bahan dan sebagainya. Anda
juga bisa melindungi kerahasiaan resep Anda dengan perlin-
dungan rahasia dagang.
Di sisi lain, hak cipta bisa Anda gunakan untuk membaku-
kan bentuk tertulis dari prosedur pembuatan tahu susu Anda.
Jadi, hak cipta terkait dengan bagaimana Anda menulis resep
itu untuk kali pertamanya. Jadi, jika ada orang yang mengutip
resep Anda untuk buku atau jurnalnya, secara hukum Anda
berhak memintainya royalti.
sesudah Anda benar-benar yakin bahwa trademark Anda
telah dilindungi hukum, saatnya berekspansi. Anda bisa mema-
jang logo, mempromosikannya di media sosial dan memajang-
nya di berbagai media tanpa takut dijiplak. Sebuah perusahaan
waralaba pasti memiliki hak trademark (yang biasa disingkat TM
dengan lingkaran kecil di sudut setiap merek). Anda bisa
melihat judul-judul film franchise Holywood yang selalu
memiliki tanda TM di sudutnya. Ini adalah tanda bahwa mereka
telah memiliki hak trademark sebagai syarat paling pokok
sebuah franchise.
Bidang usaha waralaba sebagai jenis usaha yang berkon-
tribusi dalam peningkatan kesejahteraan warga tentunya
mendapat perlindungan hukum di Indonesia. Tahun 1985,
saat belum ada pengaturan hukum mengenai waralaba,
pemerintah berpatokan pada Yurisprudensi MA Nomor
3051/K/Sip/1981 tentang pemberian lisensi merek. Ini adalah
cikal bakal perlindungan hak merek di Indonesia. Sebelum
lahirnya perlindungan hukum yang paling pertama ini,
perjanjian waralaba di Indonesia masih bisa dikatakan belum
kuat karena tidak ada payung hukumnya7.
Singkat cerita, lisensi merek kemudian dikukuhkan kembali
dalam Undang-Undang Merek Nomor 19/1992 (yang
diperbaharui dengan Undang-Undang No. 14/1997. Ada pula
perlindungan desain produk industri dengan dikeluarkannya
Undang-Undang No. 5/1984 tentang perindustrian, dan
Undang-Undang No. 6/1982 tentang hak cipta (yang kemudian
diganti dengan Undang-Undang No. 7/1987. Barulah pada saat
itu Indonesia memiliki payung hukum yang jelas terkait hak
cipta dan hak kekayaan intelektual meskipun belum secanggih
sekarang.
Peraturan tentang waralaba kala itu hanya diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 16/1997 tentang waralaba. Meskipun
kurang rinci, peraturan ini setidaknya memberi perlindungan
bagi usaha waralaba di Indonesia, sebab waralaba adalah
segitiga antara perserikatan, merek dan perjanjian. Kemudian,
peraturan mengenai waralaba kembali diperbaharui dengan
Peraturan Pemerintah No. 42/2007 tentang waralaba.
Karena waralaba telah memiliki landasan dan perlindungan
hukum, baik dari sisi operasional maupun hak atas kekayaan
intelektual, ini juga berarti bahwa waralaba harus mematuhi
perundang-undangan yang terkait dengan hak dan kewajiban-
nya, baik secara internal maupun yang bersentuhan dengan hak
dan kewajiban pihak lain. Terkait dengan ketenagakerjaan, pihak
penerima waralaba harus mematuhi perundang-undangan ter-
kait ketenagakerjaan sebab pihak penerima waralaba mempe-
kerjakan tenaga kerja. Ada kewajiban kepada pekerja (upah
minium, jaminan sosial dan kesehatan, serta tunjangan) dan
kewajiban-kewajiban lain yang harus dipenuhi, termasuk
kewajiban wajib lapor ketenagakerjaan.
Dalam bidang perpajakan, ada pajak terkait hak merek yang
ditangung atas penyerahan hak kekayaan intelektual dari
pemberi waralaba kepada penerima waralaba. Ada pula pajak-
pajak lain seperti pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan
nilai, serta pajak penghasilan.
Selain itu, pihak-pihak yang terlibat dalam usaha waralaba
harus mendaftarkan perusahaannya ke dinas perizinan masing-
masing kabupaten/kota. Ini terkait dengan kepengurusan
Nomor Induk Berusaha (NIB) yang kini bisa diproses daring
lewat portal OSS online. Melalui portal ini , penerima
waralaba akan mendapat sertifikat NIB dan Izin Usaha (yang
dulu dikenal dengan SIUP—Surat Izin Usaha Perdagangan). Buat
Anda yang belum pernah mengurus NIB dan SIUP, pengalaman
pertama bisa menjadi kenangan tak terlupakan sebab
persyaratannya memerlukan persiapan yang lumayan panjang.
Satu peraturan lagi yang mesti ditaati oleh pemberi
maupun penerima waralaba adalah larangan praktik monopoli
dan persaingan usaha yang tidak sehat sesuai dengan Undang-
Undang No. 5/1999. Ada pula peraturan yang mesti ditaati
pelaku usaha warlaba sesuai dengan Undang-Undang No.
20/2008 tentang UMKM, terutama pasal-pasal yang terkait
dengan kemitraan.
Aturan hukum juga sangat diperhatikan bagi waralaba-
waralaba di luar negeri. Nisar8, misalnya, melakukan studi kasus
pada dua merek waralaba internasional Dunkin Brands dan
Domino‘s Pizza. Karena hak kekayaan intelektual mereka dipakai
di negara-negara yang berbeda dengan aturan yang berbeda,
mereka harus memastikan bahwa sekuritas hukum terhadap hak
kekayaan intelektual mereka tetap kuat walaupun melintasi
batas-batas negara. Suatu waralaba harus memiliki modal untuk
tumbuh dan menjaga hubungan antara franchisor dan franch-
isee, sehingga pihak franchisor harus berusaha meningkatkan
keuangan dengan cara pemanfaatan aset-aset yang tidak
berwujud (intangible assets). Di antara semua aset ini , hak
kekayaan intelektual adalah yang paling signifikan. Sebuah
perusahaan waralaba bisa menarik royalti pemakaian hak
kekayaan intelektualnya walaupun melintasi batasan negara.
Dengan cara demikian, pemberi waralaba bisa mengembangkan
bisnisnya secara lebih baik.
Mempertimbangkan usaha waralaba yang semakin meng-
akar dalam warga Indonesia milenial, Kementerian
Perdagangan kembali menerbitkan Peraturan Menteri Perda-
gangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang waralaba. Peraturan
menteri ini menjadi tonggak hukum teranyar tentang waralaba
yang merevisi empat permendag sebelumnya. Yang menarik
dari peraturan menteri ini adalah banyaknya aksesibilitas yang
dibuka oleh pemerintah. Sebagai contoh, di sana tidak ada
aturan mengenai jumlah threshold atau batasan maksimum
gerai waralaba, TKDN9 dan master franchise threshold bagi
pemberi waralaba asing.
Terbitnya peraturan kementerian ini membuat para pelaku
usaha kecil menengah menjadi waswas. Tak hanya itu, peda-
gang tradisional pun bakal kena imbas. Namun pemerintah
meyakinkan bahwa walaupun tidak ada batasan threshold dalam
jumlah gerai, masih ada kekuatan hukum berupa peraturan
daerah yang memberi batasan jumlah gerai sesuai dengan
zonasi yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun
2007.
Peraturan kementerian perdagangan ini sebenarnya mem-
buka peluang bagi penanam modal dalam negeri untuk
mengembangkan usaha dalam bentuk waralaba. Meskipun me-
rek usahanya adalah merek luar negeri, tetap saja yang menja-
lankan usaha waralaba adalah orang Indonesia. Ini berbeda
dengan sistem cabang, di mana keuntungan sepenuhnya masuk
ke headquarters.
Kisah Go-Jek sang ‘Hantu’ Hukum
Dari dalam negeri, ada kasus menarik terkait ranah hukum
yang memayungi praktik bisnis waralaba. Yang masih menjadi
topik tren adalah tentang payung hukum yang mengatur Go-
Jek. Walaupun telah beroperasi beberapa tahun dan bahkan
membuka cabang di negara-negara tetangga, Go-Jek ternyata
tidak punya payung hukum yang mengatur aktivitasnya10.
Bahkan, transportasi ojek konvensional pun tidak punya
hukum yang mengatur. Dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, ojek tidak
memiliki legalitas. Sementara itu, dalam Permenhub Nomor PM
108 Tahun 2017, ojek juga tidak memiliki tata aturan
operasional walaupun ojek tergolong dalam jenis transportasi
paratransit, atau angkutan orang dengan kendaraan bermotor
tidak dalam trayek. Permenhub ini juga tidak menye-
butkan sepeda motor sebagai angkutan orang dengan kenda-
raan bermotor umum tidak dalam trayek. Yang tergolong moda
transpotasi jenis ini adalah ―angkutan yang dilayani dengan
mobil penumpang umum atau mobil bus umum dalam wilayah
perkotaan dan/atau kawasan tertentu atau dari suatu tempat ke
tempat lain, mempunyai asal dari suatu tempat ke tempat lain,
mempunyai asal dan tujuan tetapi tidak mempunyai lintasan
dan waktu tetap.‖ Dengan demikian, jelas ojek (yang memakai
sepeda motor) bukan termasuk angkutan orang dengan
kendaraan bermotor tidak dalam trayek. Karena itu, ojek sepeda
motor sebenarnya masih belum memiliki legalitas secara hukum
untuk beroperasi resmi sebagai angkutan orang, namun hanya
kendaraan bermotor umum.
Di sisi lain, kini ojek daring tidak hanya berfungsi mengan-
tarkan orang, namun juga barang dan makanan. Otomatis, ojek
daring menimbulkan kasus baru lagi,—bahwa ia bukan hanya
angkutan orang, namun juga barang. Ia melayani jasa pengan-
taran barang dan orang, namun tidak memiliki aset berupa
sepeda motor layaknya perusahaan taksi konvensional berplat
kuning atau perusahaan jasa kurir barang. Dengan kata lain, ia
melayani jasa transportasi, namun tidak memiliki alat trans-
portasi. Nyatanya, ia adalah sebuah program aplikasi berbasis
platform transportasi, yang menghubungkan calon pengguna
jasa dan alat transportasinya. Karena itu, jadilah ojek daring
(semacam Go-Jek dan sejenisnya) sesosok ‗hantu‘ hukum yang
sakti, layaknya sosok yang bisa berubah-ubah wujud sehingga
tidak ada payung hukum pasti dan tepat yang bisa mengatur
ruang pergerakannya.
Keberadaan ‗hantu‘ hukum yang sakti ini adalah salah satu
efek dari digitalisasi. Tatkala suatu usaha beralih ke modus
digital, terutama platform, Anda bisa menjadi penjual sayur
tanpa perlu menanam sayur. Anda bisa jadi penjual barang-
barang bekas tanpa harus membuka toko. Anda menjadi
maya,—nyatatapi seolah-olah tidak nyata. Ada namun tiada.
Inilah permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh para
perumus aturan hukum di era milenial ini.
Kekosongan aturan hukum ini membuat Go-Jek bagaikan
hantu hukum yang nyaris tidak bisa ‗dirantai‘ oleh produk
hukum mana pun saat ini, sebab Go-Jek adalah ‗makhluk baru‘
berbasis platform yang lahir di ranah digital. Jadi, Go-Jek adalah
subyek hukum (termasuk pula wajib pajak) yang hidup di
tataran dimensi aktivitas yang lebih tinggi sehingga aturan
hukum yang dimensinya sesuai harus dirancang untuk dapat
mengatur ruang geraknya.
Yang menjadi sumber kekhawatiran berbagai pihak adalah
karena belum ada undang-undang yang spesifik mengatur
tentang definisi, jenis usaha dan aturan operasional ojek daring,
maka ojek daring kemungkinan besar melakukan kesewenang-
wenangan kepada pihak-pihak yang terkait dengannya. Sebagai
contoh, Go-Jek adalah sebuah perusahaan yang menjalin kerja
sama mitra,—yang bisa digolongkan sebagai waralaba antara
sebuah badan usaha dengan individu sebab adanya
pembayaran royalti dan pemakaian hak kekayaan intelektual.
Namun yang terjadi adalah, tatkala seseorang berminat
menjalin kerja sama dengan menjadi driver Go-Jek, Go-Jek
hanya memberikan pilihan setuju dan tidak setuju dalam
pernyataan perjanjian elektronik dalam aplikasinya. Secara
hukum, ini berpotensi memunculkan apa yang dikenal sebagai
ketidakseimbangan perjanjian kemitraan,
Seharusnya, dalam sebuah perjanjian kemitraan, ada diskusi
antara pemberi dan penerima waralaba, sehingga terjalin suatu
kesepakatan kedua belah pihak. Sementara itu dalam kasus Go-
Jek, penerima waralaba seolah hanya diberikan pilihan ‗setuju‘
dan ‗tidak setuju‘. Dengan kata lain, Go-Jek-lah yang menen-
tukan semua kesepakatan.
Karena tidak adanya payung hukum yang kuat untuk
mengatur operasional Go-Jek, dan karena tidak adanya perjan-
jian yang seimbang antara kedua belah pihak, maka pihak Go-
Jek bisa saja sewenang-wenang menaik-turunkan harga,
mengambil persentase keuntungan dan mencabut izin driving
tanpa pemberitahuan. Ini tentu merugikan pihak penerima
lisensi aplikasi Go-Jek. Karena itulah terjadi demo driver Go-Jek
besar-besaran beberapa waktu silam untuk menuntut penga-
turan dari pemerintah. Kini, tarif ojek daring telah diatur oleh
pemerintah, dan syukurlah situasi kembali kondusif.
Meskipun secara legalitas ojek daring belum mendapat
payung hukum yang kuat dan tegas, secara sosial ekonomi ojek
daring sangat membantu warga . warga yang
mendambakan sistem transportasi yang bisa mudah diakses,
pengiriman barang dalam kota yang cepat dan murah, atau
pengiriman makanan siap saji pasti memilih ojek daring.
Masalah selanjutnya diuraikan dalam Mawanda & Muhshi
(2019):
“Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak
Dalam Trayek adalah angkutan yang dilayanidengan mobil
penumpang umum atau mobil bus umum dalam wilayah
perkotaandan/atau kawasan tertentu atau dari suatu tempat
ke tempat lain, mempunyai asal dari suatu tempat ke tempat
lain, mempunyai asal dan tujuan tetapi tidak mempunyai
lintasan dan waktu tetap.” Sehingga ojek dengan
memakai sepeda motor bukan merupakan angkutan
orang dengan kendaraan bermotor tidak dalam trayek. Dalam
UUNo. 22 Tahun 2009 dan Permenhub No. PM 108 Tahun
2017 tidak menyebutkanlarangan beroperasinya ojek sepeda
motor. bila dilihat dari segi regulasi, ojek sepeda motor
tidak mempunyai legalitas untuk beroperasi sebagai
angkutan orang, tetapi hanya diakui sebagai kendaraan
bermotor umum.12”
Selain itu, Undang-Undang Ketenagakerjaan pun tidak bisa
menjerat ojek daring karena hubungan antara driver dengan
perusahaan ojek daring bukan sebagai pekerja (employee),
namun mitra yang memakai hak kekayaan intelektual
dengan imbalan berupa royalti. Yang unik adalah, dalam
AD/ART Go-Jek sendiri, pihaknya dengan jelas menyebutkan
bahwa Go-Jek bukan perusahaan transportasi, namun sebuah
perusahaan teknologi aplikasi mobile yang praktiknya adalah
menghubungkan pihak pemilik alat transportasi dengan mereka
yang membutuhkan jasa transportasi. Jadi, Go-Jek juga tidak
bisa diatur oleh Undang-Undang LLAJ. Pintar, bukan?
Undang-Undang Waralaba pun tidak bisa menjerat Go-Jek
sebab Go-Jek tidak memiliki perjanjian kemitraan antara kedua
belah pihak. Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya,
perjanjian itu hanya berupa terms and conditions yang diberi
opsi ‗setuju‘ dan ‗tidak setuju‘. Ini yang membuat Go-Jek
berbeda dengan waralaba pada umumnya, sehingga Undang-
Undang Waralaba tidak bisa menentukan sanksi kepada pihak-
pihak Go-Jek dan mitranya sebagai entitas waralaba.
Satu lagi yang menjadi pekerjaan rumah bagi para ahli
hukum di Indonesia adalah terkait dengan perjanjian kemitraan.
Dalam hukum di Indonesia, belum ada pengertian yang tepat
mengenai perjanjian kemitraan13, terutama yang terkait dengan
perjanjian ‗instan‘ dengan opsi let‘s agree to disagree ala
milenial. Selama ini, perjanjian kemitraan yang tidak diatur
secara spesifik termasuk ke dalam perjanjian tak bernama14 atas
landasan kebebasan berkontrak. Mengenai definisi selanjutnya,
belum ada peraturan yang memuatnya secara spesifik dan
komplet.
Karena itu, untuk menjaga hubungan yang baik antara
pihak penyedia aplikasi ojek daring dan mitra-mitranya, peme-
rintah memberlakukan peraturan preventif dan represif. Peratur-
an preventif tertuang dalam Permenhub Nomor 12/2019
tentang keselamatan dan keamanan pengemudi dan pengusaha
aplikasi. Di sisi lain, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP
348 Tahun 2019 menyebutkan tentang tarif jasa pemakaian
sepeda motor berbasis aplikasi. Kedua peraturan ini untuk
sementara dapat meredam berbagai ketimpangan yang terjadi
terkait ojek daring.
Secara represif (perlindungan hukum akhir sesudah pelang-
garan atau sengketa terjadi) masih terkendala. Menurut
peraturan yang ada, tindakan hukum terhadap pelanggaran
akan diproses di pengadilan negeri, namun ini terkait dengan
domisili. bila ini diterapkan, maka Go-Jek dan perusahaan
ojek daring lainnya harus memiliki kantor di setiap
kabupaten/kota agar perkara bisa diselesaikan di pengadilan
negeri masing-masing kabupaten/kota. Sementara ini, kantor
pusat Go-Jek berada di Jakarta Selatan. Jika perkara terjadi di
Bali, maka pihak mitra harus pergi ke Jakarta Selatan untuk
memproses kasusnya. Tentu ini akan sangat memberatkan.
Demikian sekilas tentang case hukum untuk perusahaan
ojek aplikasi di Indonesia. Kasus unik ini memberi kita gambaran
bahwa sudah saatnya mata hukum di-upgrade sehingga mampu
melihat dan mengatur akivitas di ranah digital. Peraturan hukum
yang kompleks dan highly adaptive diperlukan untuk mengatur
aktivitas digital, sebab dalam dunia digital, segala sesuatu bisa
berubah-ubah kapan dan di mana saja.
Waralaba dan Pasar Tradisional
Membahas mengenai rival, sinergi dan elemen-elemen
penting dalam waralaba di era digital, kita tidak bisa lepas dari
pasar tradisional. Pasar tradisional bukan sebuah rival bagi
waralaba, namun kenyataannya waralabalah yang dianggap
menjadi rival bagi pasar-pasar tradisional15. Di Medan, contoh-
nya, keberadaan toko waralaba ritel mematikan pasar tradisi-
onal karena lokasinya yang tidak diatur oleh perda. Di beberapa
desa pakraman di Bali, waralaba ritel dilarang mendirikan gerai
di wilayah adat karena berpotensi mematikan pedagang di
pasar tradisional dan para pelaku usaha kecil-menengah.
Jika dilihat dari sisi konsumen, kehadiran waralaba ritel
memang memudahkan akses barang kebutuhan sehari-hari.
Lagipula, kondisi pertokoan ritel memang lebih bersih dan
tertata daripada pasar-pasar tradisional yang pada umumnya
kotor, rawan pencopetan dan seringkali tidak higienis. Selain itu,
tidak bisa dimungkiri bahwa gaya hidup berlatar esteem-
economy lagi-lagi mempengaruhi pola pikir warga dalam
berbelanja. Menurut perspektif esteem economy, berbelanja kini
identik dengan barkode, QR code, kartu-kartu, dan kasir
modern. Sementara itu, pasar tradisional tidak menyediakan
semua itu. Secara esteem, pamornya memang kalah. Namun
demikian, dalam sub-bab ini ada satu hal unik mengenai pasar
tradisional yang akan mengubah paradigma berbelanja dalam
atmosfer esteem ini.
Ada beberapa peraturan hukum yang mengatur kebera-
daan pasar tradisional di Indonesia. Pasar tradisional adalah
salah satu kekayaan budaya Indonesia yang mencerminkan
adanya interaksi sosial secara langsung melalui kegiatan tawar-
menawar dan pertukaran barang dan/atau jasa. Karena itu,
pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah menerbit-
kan Permendag Nomor 53 Tahun 2008 mengenai pedoman
penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan
dan toko modern. Pedoman ini dijadikan rujukan bagi peme-
rintah provinsi dan kabupaten untuk mengatur perkembangan
pusat-pusat perbelanjaan modern, ritel waralaba dan pasar
tradisional agar perputaran modal tetap berjalan lancar dan
tidak ada monopoli. Selain itu, ada pula Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 56/M-DAG/PER/9/2014 dan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2012 yang mengatur
tentang pasar tradisional.
Gambar 4.6 | Ada banyak jenis produk khas yang hanya bisa ditemukan di
pasar tradisional di Bali. Ini membuat keberadaan pasar tradisional di Bali
masih vital untuk mendukung pemenuhan kebutuhan harian warga .
Fakta membuktikan bahwa pasar modern di Indonesia
tumbuh sebesar lebih dari 30% per tahun sementara pasar
tradisional menyusut 8% per tahun16. Padahal, pasar tradisional
adalah salah satu ikon perekonomian Indonesia. Tidak hanya
pedagang dan pembeli yang berperan dalam pasar tradisional,
namun juga petani, pelaku usaha keuangan desa (seperti LPD,—
Lembaga Perkreditan Desa yang dikelola desa pakraman di
Bali), buruh angkut, dan sebagainya.
Permasalahan-permasalahan yang kerap terjadi di pasar
tradisional ternyata pernah terjadi di Jepang tatkala toko-toko
modern mulai masuk pada era Restorasi Meiji. Jepang kala itu
membuka hubungan luar negeri, dan banyak jenis usaha inter-
nasional masuk ke negeri itu. Pasar tradisional berganti menjadi
toko-toko yang lebih modern, dan terjadi ketimpangan dalam
perputaran modal. Ini menyebabkan para pedagang kecil mati
kutu. Kemudian, Jepang mengandalkan kreativitas. Pasar tradisi-
onal disulap menjadi pasar yang bernuansa modern namun
tetap mengedepankan ciri kebudayaan tradisional Jepang. Ada
label-label harga dalam setiap kios, dan orang-orang boleh
membayar dengan kartu kredit. Di pasar-pasar tradisional,
pembayaran untuk semua kios dilakukan di sistem pembayaran
satu pintu, sehingga kesan berbelanja di kios-kios pasar
tradisional Jepang sangat berbeda dengan stereotip pasar
tradisional pada umumnya.
Inilah yang kemudian diadaptasi oleh pemerintah Provinsi
Bali di tahun 2018. sesudah kebakaran hebat yang melanda
Pasar Badung beberapa tahun silam, pemerintah Provinsi Bali
kembali membangun Kompleks Pasar Badung dengan nuansa
tradisional-milenial. Kini, para pedagang di kios-kios Pasar
Badung bisa menerima pembayaran daring dengan hanya
memindai (men-scan) kode QR di masing-masing kios. Tak
hanya itu, Pasar Badung dilengkapi dengan 18 titik wifi gratis,
lahan parkir bawah tanah yang luas, pemandangan sungai yang
sejuk, serta berbagai macam lapak panganan khas Bali maupun
daerah-daerah lain. Kini, berkat inovasi teknologi dari pemerin-
tah dan pihak-pihak terkait, Pasar Badung menjadi destinasi
wisata belanja favorit di kota Denpasar dan menjadi ikon pasar
tradisional paling keren di Bali,—bahkan di Indonesia.
Jika seandainya Pasar Badung tidak disulap menjadi pasar
tradisional ber-wifi dan bergaya swalayan, keberadaan pasar
tradisional di Bali masih sangat vital bagi kehidupan warga
Bali. Dengan kata lain, pasar tradisional sebagai simpul pere-
konomian warga Bali masih berada dalam tahap sehat dan
masih menjadi andalan dalam perputaran modal dan peme-
nuhan kebutuhan sehari-hari warga ,
Ada beberapa kelebihan yang menyebabkan pasar tradisi-
onal di Bali masih hidup dan tetap berjaya mengarungi arus
zaman. Kelebihan pertama, yang tidak dimiliki oleh pasar
tradisional di daerah lain, adalah sistem pasar sebagai bagian
integral dari sebuah desa adat. Desa adat, atau yang kini po-
puler dengan istilah desa pakraman, pada umumnya harus
memiliki sebuah pasar tradisional yang terletak dekat dengan
catuspata, atau perempatan utama desa. Keberadaan pasar
tradisional dalam pakem adat Bali menjadi salah satu bagian tri
hita karana yang menjurus pada hubungan manusia dengan
sesamanya. Karena itu, sebuah desa adat memiliki tanggung
jawab memelihara keberadaan pasar tradisionalnya sebagai
simpul perekonomian warga desa. Secara religi, sebuah pasar
tradisional pasti memiliki sebuah pura khusus bernama Pura
Melanting, yang dikelola oleh para pedagang dan warga
desa setempat. Jadi, secara pakem religi, sebuah desa harus
memiliki sebuah Pura Melanting, sehingga dengan sendirinya
sebuah desa harus memelihara pasar tradisionalnya. Inilah
keunikan pakem adat Bali yang tidak dimiliki daerah lain.
Kelebihan kedua datang dari jenis permintaan konsumen.
Pasar modern dan ritel waralaba tidak bisa memenuhi kebutuh-
an warga Bali akan bahan-bahan alami untuk upacara
keagamaan. warga Bali yang sebagian besar beragama
Hindu dan memegang tradisi yang unik memerlukan banyak
bahan-bahan alami yang hanya bisa diperoleh dari pasar
tradisional. Menjelang hari raya, warga Bali memerlukan
berikat-ikat janur (yang tidak akan pernah bisa ditemukan
dalam list barang promo di Alfamart atau Indomaret), buah
pala, kelapa muda, sirih, rempah-rempah, bambu gelondongan,
hingga canang18. Beberapa swalayan modern di Denpasar telah
mencoba menjual canang segar dan menaruhnya di dalam pen-
dingin, namun pedagang canang di tepi pasar tradisional tetap
jadi pilihan nomor satu.
Kehadiran Lembaga Perkreditan Desa (LPD) adalah kele-
bihan ketiga yang dimiliki pasar tradisional di Bali. Ada sinergi
yang sangat kuat antara pasar tradisional dan LPD. Para
pedagang bisa meminjam modal di LPD dengan bunga ringan.
Sementara itu, LPD tetap dapat tersokong dengan adanya per-
putaran ekonomi di dalam pasar, termasuk retribusi parkir,
kredit dan pemungutan iuran wajib.
Kelebihan-kelebihan ini bisa menjadi bahan kajian
yang sangat menarik baik dalam bidang ekonomi, manajemen,
maupun ilmu budaya dan religi. Keunikan warga Bali
dengan konsep keseimbangan tri hita karana adalah gabungan
yang tak terpisahkan dari sistem religi, budaya, ekonomi, sosial,
pertahanan dan keamanan yang berada dalam satu pakem
tradisi yang sedemikian kompleks. Sinergi elemen-elemen
budaya ini menyebabkan pasr tradisional Bali mampu bertahan
di era milenial.
Kasali19 menuliskan fenomena shifting yang terjadi dalam
kebudayaan Bali. Ia mencontohkan pemesanan bahan-bahan
upacara yang kini bisa dipesan secara daring. Walaupun
demikian, tetap saja bahan-bahan upacara ini tersedia di
pasar-pasar tradisional. Pasar tradisional adalah muara dari
sumber daya alam Bali yang berbasis religi dan budaya,
sehingga keberadaannya patut dilestarikan.
Melalui peraturan daerah yang diperkuat oleh aturan-
aturan desa (yang disebut awig-awig), warga Bali telah
melaksanakan tindakan preventif maupun represif terhadap
berkembangnya ritel modern di berbagai pelosok. Beberapa
desa adat bahkan melarang ritel beroperasi di wilayah desa adat
untuk mencegah matinya pasar tradisional. Beberapa desa
memberlakukan pungutan yang tinggi untuk membantu me-
nyokong kehidupan warga desa, sementara di desa-desa lain
ritel masih boleh didirikan dengan sistem zonasi dan kuota
jumlah gerai.
Penggerak mobilitas dan demografi
Ada satu pepatah kapitalis yang berbunyi, ―Uang adalah
energi. Untuk bergerak, Anda memerlukan energi, dan dengan
energi itu Anda mengambil lebih banyak lagi energi.‖ Waralaba
beroperasi dengan prinsip ini. Ia mengumpulkan energi berupa
simpul-simpul franchisee di banyak tempat, lalu menghimpun
energi itu dan berkembang lagi. Sebagai tangan kanan
kapitalisme, waralaba adalah generator energi dalam bentuk
income yang besar dan ekspansi yang juga cepat. Bagaikan
sumber energi yang besar, waralaba berperan dalam
menggerakkan sektor-sektor kehidupan manusia, misalnya dari
sisi mobilitas, demografi, dan urbanisasi.
Dari sisi kesejahteraan warga , waralaba bisa membuka
lapangan pekerjaan yang jauh lebih luas daripada toko
konvensioal, terutama dalam sektor ritel. Sebagai bayangan,
bila satu toko waralaba ritel 24 jam memiliki 3 shift setiap
hari dengan delapan pegawai per shift, maka mereka akan
menyerap 24 pegawai per toko. bila ada seratus toko, maka
ada 2.400 tenaga kerja yang bisa diserap. Menurut data WALI
(Asosiasi Waralaba dan Lisensi Indonesia) tahun 2019, porsi
pemasukan minimarket waralaba adalah sebesar Rp 50 triliyun
per tahun, atau sekitar 40% dari total semua jenis waralaba di
negeri ini. Menurut data ini , kemampuan waralaba ritel
untuk menyerap tenaga kerja sangatlah tinggi. Jadi, dari sisi
tenaga kerja, tentu saja waralaba amat membantu memperbaiki
kesejahteraan warga .
Lebih lanjut lagi, waralaba juga berperan besar dalam
mendorong urbanisasi dan meningkatkan persentase penglaju
per hari. Mari kita lihat contoh data di kota Denpasar. Jumlah
penduduk migran di kota Denpasar adalah sejumlah 415.417
jiwa20. Sebagian bekerja di sektor swasta, dan sisanya di sektor
pariwisata dan memiliki usaha sendiri. Sektor waralaba ritel
menjadi mata pencaharian banyak penduduk pendatang.Yang
mengejutkan adalah, jumlah penduduk migran mencakup 60%
dari total jumlah penduduk Kota Denpasar,—lebih banyak
daripada penduduk asli. Tak heran jika setiap hari raya
Galungan dan Kuningan, jalanan Denpasar jadi lenggang karena
penduduknya sebagian pulang kampung.
Urbanisasi yang besar ini juga berdampak pada demografi,
ketersediaan lahan, perumahan, keamanan dan juga pelayanan
publik. Dengan arus urbanisasi yang besar, akan terbentuk
pusat-pusat hunian baik permanen, kontrakan maupun indekos.
Di pusat-pusat urbanisasi seperti inilah kerap terjadi banyak
konflik sehingga tingkat keamanan menjadi hal yang sangat
riskan.
Keuntungan lain yang didapatkan warga dengan
hadirnya waralaba adalah dipermudahnya akses bahan
kebutuhan sehari-hari bagi penduduk di daerah penggiran kota.
Dengan sistem waralaba yang ‗sama di mana saja‘, distribusi
barang menjadi lebih mudah. Penduduk pinggiran tidak perlu
lagi datang ke pusat kota untuk membeli barang-barang ber-
kualitas. Semuanya telah didistribusikan oleh pemberi waralaba
dengan sistem dan patokan harga yang nyaris tidak berbeda.
Tak hanya itu, sistem waralaba (terutama ritel) memiliki jaringan
distribusi yang cepat sehingga akses ke tempat-tempat yang
jauh pun bisa dilayani dengan baik.
Dari sisi positifnya, waralaba memiliki sisi praktikal yang
menguntungkan. Yang buruk dari sebuah waralaba adalah
hanya ketika ia menjadi besar sendiri dan melakukan monopoli.
Sebuah kasus yang terjadi beberapa tahun silam di sebuah desa
adat di Badung, Bali, menjadi contohnya. Sebuah toko ritel
waralaba dibangun tepat di depan pasar tradisional. Penerima
waralabanya adalah seorang penduduk desa. Beberapa bulan
sesudah ritel itu dibuka, pengunjungnya kian bertambah. Pem-
beli yang biasanya berbelanja ke warung-warung konvensional
mulai berpindah ke toko ritel itu sebab harganya lebih murah
dan cara berbelanjanya lebih mudah.
Kemudian terjadilah protes dari pedagang yang kehilangan
pembeli. Toko ritel itu pun ditutup atas permintaan aparat desa
karena berpotensi menurunkan pendapatan pedagang. sesudah
kasus itu, desa adat memberlakukan larangan bagi waralaba
untuk membuka ritel di wilayah desa ini . Toko bekas ritel
ini kini menjadi toko buah konvensional.
Kejadian ditutupnya toko ritel ini terjadi sebelum pemerin-
tah Provinsi Bali memberlakukan perda mengenai zonasi toko
ritel. Padahal, telah ada Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun
2007 kala itu, namun tampaknya beberapa aspek dari peraturan
itu belum benar-benar dirasakan oleh warga . Barulah
kemudian tatkala perda diberlakukan, ada keseimbangan antara
ruang gerak pasar tradisional dan toko-toko modern.
Agen perubahan sosial budaya
Sisi lain yang dipengaruhi oleh waralaba ada dalam ranah
sosial dan budaya. Yang signifikan adalah pemakaian media
sosial dalam interaksi dan membangun hubungan dengan
pelanggan atau penerima waralaba. Sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Kacker dan Perrigot21 mengungkap bahwa dari
500 usaha waralaba di Amerika Serikat, hampir semuanya
memakai media sosial dalam mempromosikan waralaba
mereka. Yang mengejutkan adalah, para konsumen dan calon
penerima waralaba tidak tertarik dengan berapa lama suatu
pemberi waralaba telah berdiri. Yang mereka perhatikan adalah
kelengkapan informasi dan besarnya merek yang ditawarkan
oleh pemberi waralaba. Ini menandakan bahwa bahkan
waralaba-waralaba yang baru berkembang pun (waralaba yang
tidak memiliki label ‗berdiri sejak tahun sekian‘ untuk
menunjukkan betapa tangguhnya mereka) memiliki potensi
pasar yang bisa jauh lebih besar daripada waralaba-waralaba
‗tua‘. Faktor-faktor penyebabnya adalah kesanggupan mereka
menyediakan apa yang dibutuhkan oleh warga modern
yang telah dimasuki paham esteem economy.
Secara sosial, waralaba berpengaruh pada pemerataan
warga . Di tahun 90-an, masih bisa kita lihat perbedaan
menonjol antara penduduk perdesaan dan perkotaan. Pendu-
duk kota berbelanja ke supermarket, sementara penduduk desa
berbelanja ke toko-toko kecil, atau paling tidak ke swalayan
kelas menengah di wilayah sub-urban yang jumlahnya tak
seberapa. sesudah waralaba menjamur, seolah-olah tidak ada
lagi perbedaan antara orang desa dan kota. Semua bisa
berbelanja di minimarket, memesan ojek daring, mengirim
barang dengan Go-Send atau mengirim paket dengan harga
standar lewat JNE atau JNT. Asalkan mereka punya ponsel,
setiap orang,—entah dari desa atau kota—bisa berbelanja
daring dan mendapat barang dambaan mereka dengan
mudah. Kini kita bisa melihat sebuah mobil Fortuner setengah
milyar parkir di depan minimarket di tepi desa, atau anak-anak
remaja desa yang mengenakan jam tangan bagus hasil
pembelian di internet. Semua itu berkat jaringan waralaba yang
merambah wilayah yang luas dan menghapus kesenjangan
warga dalam opsi konsumsi mereka.
Yang patut pula diperhatikan dari perkembangan waralaba
adalah dominasi budaya. Kita tentu mengingat prinsip utama
waralaba, yakni ‗sama di mana-mana‘. Secara tidak langsung,
sebuah jaringan waralaba juga membawa budaya yang
perlahan-lahan masuk ke dalam lingkungan sosial-budaya
warga lain. McDonalds dan KFC, misalnya, dengan budaya
drive thru dan cara makan simpel gaya Amerika, terbawa oleh
jaringan waralabanya di seluruh dunia. Dulu, budaya menyapa
seseorang dengan panggilan ‗kak‘ hanya dikenal di Jakarta dan
sekitarnya. Namun sejak sektor waralaba dan gerai digital
berkembang, kata sapaan ‗kak‘ kini menjadi lumrah buat para
admin toko yang tidak tahu sedang chatting dengan konsumen
dari usia berapa dan jenis kelamin yang mana.
Di samping dominasi budaya, waralaba juga berpotensi
mendorong heterogenitas penduduk. Ketika sebuah waralaba
membuka jaringan dan membutuhkan tenaga kerja, maka
tenaga kerja bisa datang dari mana saja, bahkan dari luar
daerah. Mereka tentunya membawa serta budaya dan kebia-
saan masing-masing daerah. Heterogenitas penduduk ini
memiliki berbagai dampak lain, seperti masalah keamanan,
ketertiban dan juga pertukaran budaya. Para pendatang yang
berasal dari daerah yang sama biasanya berkumpul bersama di
suatu lokasi. Konflik bisa terjadi bila terjadi ketersinggungan
yang bisa melibatkan seluruh komunitas pendatang. Tatkala
heterogenitas penduduk menjadi sedemikian tinggi, akan
sangat sulit membedakan kebudayaan lokal dan kebudayaan
dari luar, sehingga heterogenitas yang tidak diatur juga dapat
menimbulkan lenyapnya suatu budaya yang tidak mampu
bertahan. Probabilitas lain adalah adanya campuran unsur-
unsur budaya yang melahirkan jenis budaya baru, misalnya
kewajiban anak-anak sekolah dari berbagai latar belakang untuk
memakai pakaian adat Bali setiap Kamis. Bagi anak-anak pen-
datang dari luar Bali, perbedaan kebudayaan ini tentu menim-
bulkan rona baru dalam keseharian mereka.
Dampak yang lumrah dari sebuah jaringan waralaba adalah
instanisasi. Dari sisi pengusaha, waralaba memberikan keuntungan besar dalam waktu singkat. Tak hanya dari sisi pengu-
saha, keuntungan instan juga dirasakan para pekerja di sektor
waralaba. Dengan berkembangnya sebuah jaringan waralaba,
mereka bisa mendapat pekerjaan yang tidak menuntut
keahlian tinggi dan bisa cepat dipelajari. Dengan demikian, jenis
pekerjaan di sektor waralaba sangat cocok bagi para pekerja
paruh waktu, mereka yang memerlukan pekerjaan cepat tanpa
melalui pelatihan yang melelahkan, serta para perantau yang
kesulitan mendapat pekerjaan.
Masa depan tidak bisa dilihat, begitu kata orang tua.
Bahkan tukang ramal pun bisa salah. Di zaman
digital ini, hebatnya, Google Trends dan Google
Analytics nyaris tidak pernah keliru. Keduanya
adalah platform pengolah Big Data andalan Google dan
dipakai jutaan orang untuk memprediksi tren inquiry dari
setiap individu, kelompok warga , bahkan negara-negara di
dunia. Dengan algoritmanya, Google Trends dan Google
Analytics bisa memprediksi dengan akurat apa kecenderungan
inquiry pencarian di Google, dan apa mood suatu negara atau
suatu bangsa dalam periode waktu tertentu. Dengan prediksi
itu, Google membuat analisis kebutuhan konsumen yang akurat
dan bisa diakses gratis oleh siapa saja.
Dalam dunia bisnis dan ekonomi, seseorang harus pandai
meramal dan berani tanggung risiko jika ramalannya meleset.
Walaupun suatu prediksi tak pernah selalu tepat, minimal keru-
gian dapat diminimalisir. Anda mungkin mengenal Netflix, atau
malah sudah berlangganan paket nontonnya. Netflix ternyata
memakai Google Analytics untuk menentukan acara kesu-
kaan para pelanggannya. Berdasarkan data itu, Netflix menen-
tukan topik konten selanjutnya dan berhasil meningkatkan
followers-nya hingga dua kali lipat.
Dalam bab ini kita akan membahas lebih banyak tentang
salah satu dari tiga sektor utama yang menjadi primadona
investasi di tahun 2019 versi kementerian ekonomi, yakni sektor
e-commerce (termasuk di dalamnya startup dan segala jenis
online shops dan pasar digital), sektor smelting atau pengolahan
logam (terutama nikel dan tembaga), dan pariwisata. Ketiga
sektor ini mengalami kenaikan tajam dalam investasi sehingga
pertumbuhan ekonomi Indonesia melesat di atas 5% hingga
pertengahan tahun 2019.
Dari sisi e-commerce, kita akan lebih banyak membahas
waralaba perfilman dan dunia hiburan. Di Amerika, berdasarkan
data PAW tahun 2018 silam, waralaba perfilman dan dunia
hiburan adalah yang paling sukses mereguk keuntungan, diikuti
franchise makanan. Tahun 2019 ini, Amerika Serikat sedang
dilanda demam videostreaming dan ribuan franchisee yang
berlomba-lomba untuk melepaskan diri dari induknya dan
berdiri sebagai perusahaan independen yang juga mampu
menjual merek dan lisensi sendiri. Karena itu, berdasarkan
Kacker dan Perrigot1 dalam bab sebelumnya, waralaba ‗tua‘ tak
menjamin ketangguhannya melawan arus internet. Sebutan ‗tua‘
tidak lagi menunjuk pada merek waralaba yang sudah berdiri
sejak tahun seribu delapan ratusan. Kata ‗tua‘ kiranya lebih
gamblang disebut sebagai ‗suhu‘ oleh generasi milenial kini,—
semuda apa pun dia dari segi usia. Sebuah usaha yang ‗tua‘ kini
dilihat dari jumlah pengikutnya, keunikan penawarannya,
strategi marketingnya yang sesuai dengan kebutuhan pasar,
dan yang tidak kalah penting—kecepatannya ‗berubah wujud‘
sesuai kemauan konsumen.
Menurut Asosiasi Waralaba Indonesia, kunci-kunci dasar
dalam menjalankan bisnis waralaba di era milenial ada pada
komunikasi yang lancar antara pemberi dan penerima waralaba,
serta penerima waralaba dengan konsumen. Studi yang
dilakukan oleh Griessmair et. al di Jerman membuktikan bahwa
kebanyakan waralaba sangat mementingkan isu trust, rasa
saling percaya antara pemberi dan penerima waralaba2. Trust ini
dibangun dengan dukungan informasi yang cepat dan selalu
dimutakhirkan. Bahkan, Griessmar dan kawan-kawan penelitinya
menemukan bahwa pemerima waralaba yang memiliki tingkat
kepercayaan yang tinggi cenderung untuk bertahan dalam
jaringan waralaba dan bahkan membuka multi-unit franchise.
Membangun rasa saling percaya antara franchisor dan
franchisee membutuhkan komunikasi yang intens. Penerima
waralaba, menurut survei Blut et.al beberapa tahun silam,
memerlukan pembaharuan kontinyu mengenai SOP, pemeli-
haraan kualitas, pembaharuan merek dan dukungan teknis dan
mental bila penerima waralaba mengalami penurunan
omset3. Selain itu, kerja sama dalam meningkatkan omset juga
diharapkan oleh penerima waralaba, sebab bila pemberi
waralaba gagal dalam meningkatkan reputasi mereknya atau
strategi marketing yang tidak mengikuti arus tren, semua
penerima waralaba dalam jaringannya akan terkena dampaknya.
Kunci terakhir ada pada pemanfaatan teknologi. Yang
diutamakan tentunya adalah teknologi digital. Seringkali pene-
rima waralaba mengharapkan agar pemberi waralaba
memberikan sedikit kelonggaran untuk berinovasi dan berkrea-
tivitas bagi penerima waralaba, terutama dalam hal peman-
faataan teknologi. Indomaret dan Alfamart bisa jadi contoh
yang positif dalam pemanfaatan teknologi. Berkat teknologi,
kedua waralaba ritel itu kini juga menjual listrik, PDAM, pulsa,
hingga paket internet rumahan. Padahal, ia adalah sebuah toko
ritel bahan kebutuhan sehari-hari. Teknologi telah memberi-
kannya peluang untuk berkembang menjadi ritel di mana setiap
orang bisa membeli apa saja, termasuk membeli akses jalan tol
dan belanja daring lewat isi ulang e-money.
Sejak perkembangannya pada masa awal, waralaba telah
mengalami banyak evolusi. Dalam bab ini, ada sekelumit
tentang beberapa bentuk baru waralaba yang pernah dipakai,
sedang tren, atau malah bersiap ditinggalkan. Waralaba single-
unit yang seolah tak lekang oleh waktu adalah sistem waralaba
paling simpel yang pernah dipraktikkan. Kini berkembang pula
conversion franchise dan takeover. Alfamart telah mempraktik-
kan ketiga jenis franchise ini sejak beberapa tahun lalu.
Waralaba single-unit memang masih jadi pilihan nomor satu
karena permodalannya yang tidak terlampau besar dan sistem-
nya yang tidak begitu ribet. Meskipun grafik keuntungannya
masih kalah dibandingkan dengan multi-unit franchise, single-
unit franchise tak kalah pamor karena simplisitasnya baik dari
segi hirarki hegemoni maupun manajemen.
Dalam single-unit franchise package, misalnya, Alfamart
menawarkan kerja sama bisnis waralaba satu unit. Dalam
waralaba jenis ini, Alfamart menawarkan pembukaan gerai baru
dengan sistem waralaba. Belakangan, sistem ini mengalami
hambatan karena kebijakan pemerintah daerah maupun pakem
warga lokal yang membatasi ruang gerak waralaba, teru-
tama ritel, agar tidak melahap arus modal dan merugikan pasar
tradisional.
Alfamart juga menawarkan sistem conversion franchise, di
mana seseorang yang telah memiliki toko atau gerai ‗disulap‘
menjadi toko Alfamart namun masih memakai nama toko
yang lama. Dalam sistem ini, Alfamart mengakui barang
dagangan milik toko lama sebagai barang stok pembukaan
gerai Alfamart sistem conversion franchise.
Sistem ketiga yang ditawarkan Alfamart adalah sistem
takeover, yakni membeli waralaba yang telah beroperasi atau
membeli satu cabang Alfamart yang telah berkembang untuk
diwaralabakan. Harga waralaba jenis ini adalah yang paling
tinggi, sebab jaminan kesuksesannya lebih besar. Sistem ini juga
dinamakan sistem resale. Istilah lain untuk waralaba jenis ini
adalah waralaba second. Berbeda dengan barang second yang
harganya rendah, waralaba second justru memiliki harga yang
lebih tinggi,—terutama jika waralaba second ini telah
terbukti menghasilkan keuntungan yang besar dengan pasar
yang luas.
Tirto.id baru-baru ini merilis data4 bahwa jumlah gerai
Alfamart di Indonesia mencapai 9.302 gerai pada tahun 2013,
sementara Indomaret 8.834 gerai. Pada tahun 2017 silam,
jumlah itu disalip Indomaret dengan mencapai 15.335 gerai.
Menurut riset Nielsen, pangsa pasar kedua ritel ini mencapai
87%. Ekspansi yang masif ini adalah hasil dari waralaba.
Sebanyak 40% gerai Indomaret sendiri adalah gerai waralaba.
Sisanya adalah cabang-cabang yang dikelola perusahaan pusat.
Fenomena lain yang mesti disoroti adalah kecenderungan
penerima waralaba untuk memilih menjadi independen.
Persaingan yang makin ketat membuat kecenderungan
beberapa waralaba memilihberdiri sendiri dan mengadu merek
mereka sendiri di gelombang pasar digital yang semakin ganas.
Kecenderungan ini terjadi pada waralaba digital berbasis
platform. Begitu mudahnya membeli lisensi dari sebuah perusa-
haan hiburan dan menghadirkan kontennya dalam platform,
sehingga banyak perusahaan ingin mencoba mendirikan
platform independen.
Dengan perkembangan teknologi dan tren investasi yang
besar dalam ranah konten digital, banyak perusahaan penerima
waralaba akhirnya berdiri sendiri dan menciptakan branding
mereka sendiri. Dengan media sosial dan konten marketing
yang cetar, sebuah brand bisa melompati fase-fase inkubasi
awal5 dan melejit menjadi brand baru dengan keunikan dan
fleksibilitas tinggi. Fleksibilitas tinggi berarti bahwa ada
perkembangan dari ‗aku punya apa yang kamu mau‘ menjadi
‗aku bisa menjadi apa saja yang kamu mau‘. Pada akhirnya,
segala hal memang tidak kekal, namun yang bertahan adalah
yang paling adaptif terhadap perubahan. Manusia senantiasa
mencari akal untuk mendapat sesuatu, dan di sanalah seni
sebuah bisnis.
Tahap Lanjutan Evolusi Waralaba
Sebuah waralaba berkembang karena keinginan manusia
yang terus bertambah untuk menguasai pasar. Sebagai tangan
kanan kapitalisme yang telah ampuh menjadi agen ekspansi
ekonomi, waralaba juga memiliki peran dalam imperialisme
budaya. Namun demikian, sisi positif waralaba akan bisa
dirasakan bila ada aturan yang jelas yang membatasi ruang
gerak waralaba agar tidak merusak sistem ekonomi bangsa.
Telah kita bahas mengenai sistem waralaba dan hubung-
annya dengan pasar tradisional. Di Indonesia dan negara-
negara Asia, pasar-pasar tradisional terancam karena waralaba.
Sementara itu, di negara yang lebih maju seperti Amerika
Serikat, yang terancam oleh waralaba adalah ritel tradisional
seperti mom & pop stores dan mini market yang dijalankan
dengan usaha independen. Ritel-ritel tradisional ini berkembang
di Amerika Serikat karena tipikal demografi dan topografi yang
berjauhan, selain karena faktor watak warga yang liberal
dan cukup berbeda dengan warga Indonesia6.
Kehausan sistem waralaba untuk berekspansi menimbulkan
ide pengembangan yang terus-menerus diperbaharui. Sistem
waralaba unit tunggal (single-unit) adalah sistem yang paling
tua dan sederhana. Seorang pemberi waralaba memberikan hak
kepada seorang penerima waralaba yang mendirikan usaha
waralaba itu di suatu lokasi. bila ia ingin berekspansi di
tempat lain, ia akan mengundang penerima waralaba lain.
Sistem unit tunggal ini memang sederhana, namun agak kurang
efisien sebab masing-masing penerima waralaba harus
diberikan bimbingan, pelatihan, atau dukungan sendiri-sendiri.
Karena itu, waralaba unit tunggal (single-unit franchise) akhirnya
berkembang menjadi multi-unit franchise.
Dalam multi-unit franchise ‗waralaba unit jamak‘, satu
pemberi waralaba memberikan lisensi kepada satu orang
penerima waralaba. Lisensi ini tertuang dalam dua jenis
perjanjian, yakni franchise agreement dan development agree-
ment. Jadi, si penerima waralaba terikat perjanjian dengan
pemberi waralaba bahwa ia akan mengembangkan sejumlah
unit lain sesuai dengan target (biasanya 3-5 tahun). Jadi, si
penerima waralaba juga berfungsi sebagai pewaralaba dalam
wilayah tertentu dan diikat oleh perjanjian development itu.
bila si penerima waralaba gagal memenuhi kuota pengem-
bangan unit yang dijanjikan, maka pemberi warlaba tidak
memperpanjang kontraknya.
Waralaba unit jamak ini memiliki sistem yang lebih stabil, di
mana terjadi hegemoni ganda yang bertingkat. Pertama,
pemberi waralaba memiliki hegemoni tertinggi. Ia menghege-
moni franchisee dengan dua jenis perjanjian. Franchisee ini
kemudian berfungsi sebagai pemberi waralaba di tingkat kedua,
yang memiliki hak juga untuk mencetak franchisee dalam
jumlah tertentu. Franchisee-franchisee yang berhasil dicetaknya
akan memiliki hegemoni terhadap konsumen. Jadi, di sini ada
tingkatan hegemoni berjenjang majemuk. Bagi pemberi wara-
laba, ini mempermudah koordinasi sebab jumlah franchisee
yang harus dibina tidak terlalu banyak namun ekspansinya di
tingkat kedua bisa jauh lebih luas daripada single-unit franchise.
Sistem waralaba yang mirip dengan multi-unit franchise ini
disebut master franchisee. Dalam sistem ini, pemberi waralaba
memberi hak waralaba kepada seorang penerima waralaba
yang kemudian berfungsi sebagai pemberi waralaba khusus di
area tertentu saja. Jadi, si penerima waralaba ini boleh menjual
lisensi itu kembali kepada calon penerima waralaba, dengan
catatan persentase keuntungan yang didapatkan oleh master
franchisee harus disetorkan kepada pemberi waralaba. Sistem ini
rumit dalam manajemen keuangannya sehingga kurang begitu
diminati.
Yang lebih sederhana dalam pengaturan keuangan dan
manajemen perjanjian kemitraan adalah area representative.
Misalnya, ritel P ingin memperluas usaha di kota Denpasar. Ia
memilih empat agen waralaba untuk empat kecamatan di
Denpasar, katakanlah A, B, C dan D. Keempat agen ini bertugas
mempromosikan, mengajak dan menghubungkan calon peneri-
ma waralaba dengan pemberi waralaba. Tidak ada perjanjian
apa pun antara area representative dan penerima waralaba,—
berbeda dengan sistem master franchisee. Sang area represent-
ative memperoleh persentase keuntungan dari berapa banyak
penerima waralaba yang bergabung di wilayahnya.
Jenis waralaba lain yang berekspansi bagaikan berkamo-
flase disebut conversion franchise, atau waralaba konversi. Jenis
ini sudah dipraktikkan oleh Alfamart dan terbukti mendulang
sukses. Sebuah toko ritel tradisional di kota Denpasar sudah
berdiri selama dua puluh tahun. Kemudian, ada perusahaan
waralaba ritel yang berniat mengkonversi toko ini dengan
branding dan SOP milik si pemberi waralaba. Kesepakatan
dibuat, dan berubahlah toko itu menjadi waralaba. Barang-
barang yang sudah ada di toko itu biasanya disepakati sebagai
barang dagangan bersama yang dihitung pada saat pendirian
waralaba. Waralaba konversi terjadi biasanya karena pemilik
toko ritel tradisional tidak mampu lagi mengelola usahanya
sendiri. Karena itu, ia menginvestasikan modalnya agar ada
yang meneruskan usahanya ini . Sebab lain adalah lantaran
sebuah toko mengalami kolaps dari segi manajemen atau
pemasaran.
Di Bali sendiri, banyak toko yang kini dikonversi menjadi
waralaba. Ini bisa menjadi topik riset yang sangat menarik.
Secara kualitatif, faktor-faktor yang mempengaruhi pemilik toko
untuk mengkonversi usahanya akan menjadi indikator yang
sangat berharga untuk mengetahui tren kalangan pengusaha
Bali di masa depan. Dari ranah kuantitatif, peningkatan atau
penurunan pendapatan suatu usaha sesudah dikonversi akan
menentukan apakah waralaba konversi memang bisa diterapkan
secara positif atau tidak.
Kadangkala ketika pameran, konser atau pertandingan bola,
kita melihat stand-stand merek terkenal berdiri di lokasi keramaian. sesudah acara selesai, stand itu pun ikut bubar. Di Inggris,
jenis waralaba ini disebut pop-up store franchise, atau waralaba
lapak. Jenis waralaba ini berpindah-pindah mengikuti perge-
rakan keramaian konsumen. Biasanya, waralaba yang member-
lakukan sistem pop-up store adalah waralaba makanan dan
minuman. Bagi warga yang memiliki modal kecil, waralaba
jenis ini boleh jadi menggiurkan dan mudah. Yang menjadi
kerugiannya adalah tempat usaha yang berpindah-pindah dan
‗bermusim‘ sehingga memerlukan tenaga dan waktu yang
lumayan merepotkan untuk memindahkan sebuah stand dari
waktu ke waktu.
Langkah yang lebih straight to the target adalah dengan
cara membeli waralaba second atau franchise resale. Sebagai-
mana yang telah dijabarkan dalam bagian sebelumnya,
waralaba ‗bekas‘ memiliki harga yang lebih tinggi. Alfamart,
contohnya, mematok harga hingga 600 juta rupiah untuk satu
unit waralaba second,—hampir empat kali lipat harga franchise
baru7. Sebuah waralaba yang telah berjalan dan berkembang
akan memiliki reputasi yang baik, sehingga bila dibeli,
harganya juga melambung tinggi.
Waralaba dalam dunia hiburan, terutama perfilman juga
mengalami evolusi yang signifikan. Dunia perfilman di era ini
mulai merambah pada transmedia sehingga diperlukan suatu
sistem licensing yang lebih kompleks daripada lisensi franchise
perfilman biasa. Karena transmedia memerlukan kreativitas dan
perspektif yang baru dari plot utama, maka setiap lisensi
franchise dalam media-media yang berbeda membutuhkan
spesifikasi berbeda. Misalnya, sebuah rumah produksi merilis
film Star Wars dengan plot utamanya. Kemudian, tatkala
branding Star Wars menjadi terkenal, sebuah perusahaan game
berniat membeli lisensi franchise film ini . Namun karena
perusahaan game ini akan membuat sebuah versi Star Wars
yang mengisahkan petualangan sebelum terjadinya plot utama
pada versi filmnya, maka baik perusahaan game ini maupun
pihak produser Star Wars harus memiliki perjanjian yang benar-
benar jelas mengenai sejauh mana plot dan karakter Star Wars
akan dikembangkan dalam game ini . bila
pengembangan plot ini tidak dijabarkan secara detail dalam
perjanjian kerja sama franchise, maka pihak produser game
dapat dikenai sanksi pelanggaran hak cipta dan hak merek,
Transmedia telah secara langsung membuat sistem
waralaba menjadi lebih kompleks dan kuat, terutama mengenai
isu-isu konten dan originalitasnya. Ranah digital membuat
konten begitu rentan penggandaan, sebab menyalin isi konten
digital tidak memerlukan usaha yang besar. Karena itu, isu dan
tren yang mencuat mengenai konten digital pada masa kini
adalah bagaimana proses licensing terkait erat dengan proses
monetizing. Maksudnya adalah, sebuah lisensi atau patokan
bahwa konten itu benar diciptakan oleh seseorang ditentukan
oleh monetisasinya di ranah digital. bila dua orang memiliki
konten yang sama, namun orang pertama memonetisasi
kontennya terlebih dahulu, maka ia menjadi pemegang lisensi
di ranah konten digital.
Di negara-negara yang kesadaran hukumnya telah maju,
warga cenderung telah memiliki kesadaran bahwa konten
original adalah hasil kreativitas yang bernilai tinggi. Karena itu,
mereka rela membayar lebih mahal untuk sebuah konten
original daripada konten bajakan sebagai bentuk penghargaan
pada hak kekayaan intelektual penciptanya. Kenyataannya
cukup berbeda di negara-negara berkembang yang kesadaran
hukumnya belum tinggi. Di negara-negara berkembang, konten
bajakan menjadi populer, sebab orientasi mereka masih dalam
motif ekonomi daripada motif sekuritas dan prestise. Di Jepang,
misalnya, orang-orang membeli konten manga digital yang asli,
walaupun konten bajakannya bertebaran di mana-mana. Ini
menimbulkan sakit kepala berat bagi produsen manga di
Jepang. Situs pembajakan manga terkenal Jepang, Mangamura,
adalah salah satu biang keladinya. Situs ini populer di luar
Jepang, memberikan akses download gratis untuk konten
manga. Akhirnya, berkar kebijakan pemerintah Jepang, situs ini
ditutup pada tahun 2018 lalu,
Dengan berkembangnya teknologi dalam bidang media
digital, keaslian suatu konten semakin sulit dibedakan. Karena
itu, yang menentukan originalitas suatu konten adalah proses
monetisasi. bila suatu konten telah dimonetisasi, maka pada
saat yang bersamaan monetisasi berarti sebuah lisensi. Jadi,
pihak lain tidak dapat mengklaim konten yang telah dimone-
tisasi ini . Singkatnya, semakin cepat sebuah konten
dimonetisasi, maka kemungkinan konten itu dipakai pihak
lain akan semakin kecil. Toh pun jika pihak lain memakai
konten ini , hak monetisasi tetap ada pada pihak yang
memonetisasinya. Misalnya, Anda mengunggah sebuah konten
di YouTube dan memonetisasinya. YouTube akan menganggap
bahwa Andalah pemegang lisensi konten ini . bila
orang lain mengambil konten video Anda dan mengunggahnya,
maka segala keuntungan finansial adSense yang dihasilkan dari
viewing konten itu tetap jatuh ke tangan Anda.
Mulai 2016, Google, Bing dan mesin pencari lainnya telah
bekerja keras untuk mengurangi konten bajakan di hasil
pencarian mereka. Ini menjadi satu langkah besar dalam
penghargaan atas hak kekayaan intelektual10. Isu hak kekayaan
intelektual dan lisensi konten digital bisa menjadi topik riset
yang sangat menarik di tahun-tahun ke depan. Di Indonesia
sendiri, perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual
sudah mengalami evolusi yang signifikan. Namun demikian,
tindakan hukum bagi para pelanggar hak kekayaan intelektual
belum dilakukan secara nyata dan tegas. bila undang-
undang hak kekayaan intelektual benar-benar diterapkan di
Indonesia, maka akan terjadi penurunan omset yang sangat
drastis di kalangan pengusaha fotokopi dan digital printing.
Imbasnya juga berujung pada pada kenaikan PHK dan mele-
mahnya ekonomi rakyat. Dilema ini juga layak dikaji baik dari
perspektif hukum maupun ekonomi.
Sektor pendukung waralaba milenial
Berdirinya sebuah waralaba dan bagaimana ia berkembang
tidak bisa dilepaskan dari peranan sektor-sektor lain. Mari kita
sebut sektor-sektor ini sebagai sektor pendukung. Tanpa ada-
nya sektor pendukung, waralaba di era milenial ini nyaris tidak
dapat berkembang. Dalam ranah licensing digital, keberadaan
sektor-sektor pendukung, mulai dari penyedia platform, deve-
loper, programmer hingga konten kreator bagaikan sebuah
ekosistem digital yang tidak bisa diputus. Jadi, dunia digital saat
ini bukan hanya kumpulan data, namun juga kumpulan
kreativitas. Semua elemen ini telah membentuk sebuah
ekosisitem digital yang sekompleks ekosistem dalam food chain
di dunia nyata.
Sektor e-commerce, misalnya, menjadi sedemikian penting
dalam kelancaran waralaba di era digital. Investasi untuk e-
commerce di Indonesia mencapai 950 juta dolar AS di awal
tahun 201911, menjadi yang terbesar daripada sektor-sektor
lainnya. Besarnya investasi pada sektor e-commerce ini ber-
potensi menimbulkan e-commerce boom. Menurut Lieu, ada tiga
komponen yang menimbulkan potensi ‗ledakan e-commerce‘
mulai tahun 2019. Ketiga komponen ini adalah personal-
isasi, keterlibatan AI/ML (Artificial Intelligence/Machine Learning)
dan semakin canggihnya perangkat gawai.
Semakin canggihnya fitur-fitur belanja online membuat
setiap orang kini bisa menikmati tokonya sendiri. Para calon
pembeli bisa mengelompokkan barang-barang yang sering
mereka beli dalam kustomisasi toko. Dengan sistem login dan
logout, kini siapa pun dapat menstok barang di toko online dan
membelinya kapan saja. Personalisasi ini memudahkan setiap
orang dalam berbelanja tanpa perlu mengingat-ingat lagi
barang yang ingin dibelinya dan di toko mana.
Kemudahan makin terasa dengan disematkannya fitur
kecerdasan buatan dan robotisasi. Kecerdasan buatan, yang berupa algoritma berpikir, disematkan ke dalam web e-commerce
untuk mengetahui impresi pelanggan terhadap barang dan jasa
yang dipilih. Kecenderungan seseorang untuk memilih barang
dan jasa akan direkam oleh AI, dan dipakai untuk
menentukan jenis barang dalam periode promo selanjutnya.
Sektor copywriting menjadi satu lagi yang paling menen-
tukan berkembangnya sebuah franchise di era digital. Sektor ini
sebenarnya dibagi menjadi dua, yakni copywriting dan content
writing dengan spesifikasi berbeda. Ketika Anda membuat
sebuah konten promosi dengan mengaitkan produk atau jasa
dengan keadaan konsumen, maka Anda sedang melakukan
aktivitas copywriting. Di sisi lain, saat Anda menulis topik yang
relevan dengan sebuah produk atau web, maka Anda sedang
melakukan content writing. Kedua jenis keterampilan ini sangat
diperlukan dalam digital marketing. bila Anda mengikuti
seminar Google Gapura Digital secara teratur, Anda akan
disuguhi banyak materi e-commerce yang sangat bermanfaat,
termasuk mengenai content writing dan copywriting. Sangat
baik jika Anda meluangkan waktu Anda untuk mendaftar gratis
di Google Gapura Digital di kota Anda dan mengikuti pelatihan
ringkas mengenai konten digital dan digital marketing dari
narasumber yang telah berpengalaman.
Menurut survei Tirto.id, copywriting dan content writing
melesat menjadi dua bidang pekerjaan yang paling menjanjikan
di ranah digital saat ini13. Bidang pekerjaan ini sangat
terkait dengan sistem waktu yang fleksibel dan tidak terikat
yang menjadi dambaan hampir setiap generasi masa kini.
Waktu kerja yang fleksibel memungkinkan kreativitas yang lebih
baik dan pengaturan waktu dengan lebih efisien. Dengan
pengaturan jam kerja yang fleksibel, seseorang bisa menen-
tukan saat-saat yang tepat untuk menyelesaikan pekerjaan.
Digempurnya sistem kerja 9-5 oleh kemajuan teknologi
membuat sistem kerja konvensional itu mulai tenggelam dalam
berbagai kecaman, terutama terkait dengan manajemen stres
dan kesehatan para pekerja.
Bidang pekerjaan yang juga sangat membantu waralaba di
era digital ini adalah application developing dan social media
strategy, atau pengembangan aplikasi dan strategi media sosial.
Saat ini telah banyak pakar media sosial yang bekerja mem-
bantu perusahaan untuk mendapat rating tinggi dalam
marketing dan promosi. Para app. developer bekerja untuk
membangun sistem aplikasi yang mempererat kedekatan kon-
sumen dengan produsen. Perusahaan-perusahaan platform
menghubungkan berbagai kebutuhan produsen dan kebutuhan
konsumen. Semua bidang itu adalah simpul-simpul penting
dalam ekosistem digital.
Yang juga berpotensi besar sebagai ladang perluasan wara-
laba adalah sektor transportasi dan pariwisata. Tahun 2019,
investasinya di Indonesia saja mencapai 275,4 juta dolar AS,
menempati posisi ketiga daftar investasi terbesar di Indonesia
sesudah e-commerce dan smelting logam.
Dari Waralaba ke Independensi
Migrasi sistem waralaba ke perusahaan independen
sebenarnya sudah banyak terjadi sejak waralaba itu ada. Tatkala
suatu branding mencapai tahap tertentu, maka branding
ini memiliki kecenderungan untuk menjadi independen
dengan tidak lagi mengadakan perpanjangan kerja sama
kemitraan waralaba14. Berakhirnya suatu waralaba tidak hanya
disebabkan oleh karena hal yang negatif atau merugikan, na-
mun dalam banyak kasus,—seperti kasus Netflix dan Spotify
yang akan kita bahas kini—menjadi entitas independen karena
alasan keuangan dan originalitas. Bidang-bidang usaha kreatif
dan menekankan kepada konten original seperti perusahaan
film, musik, dan hiburan lainnya cenderung mengalami evolusi
begitu cepat dan kini lebih memilih menjadi perusahaan
independen yang bergantung sepenuhnya dari konten asli
ciptaan mereka.
Contoh menarik terjadi pada Netflix, perusahaan streaming
acara TV, show dan film paling menonjol saat ini. Sebelum
bertransformasi sebagai provider khusus video streaming dan TV
di internet, Netflix adalah sebuah perusahaan rental DVD di
tahun 1990-an akhir hingga 2000-an awal. Kemudian, medianya
berubah menjadi streaming karena DVD mulai ditinggalkan saat
ponsel pintar mewabah. Kini, pelanggan Netflix mencapai 139
juta orang di seluruh dunia kecuali Tiongkok, Korea Utara,
Suriah, dan beberapa daerah lain. Indonesia pada awalnya
menolak Netflix karena berpotensi meruntuhkan industri
pertelevisian, namun kini Netflix sudah bisa Anda unduh di Play
Store berkat izin yang diberikan pemerintah.
Untuk menonton video-video Netflix, Anda harus mem-
bayar paket nonton per bulan yang tergolong murah meriah.
Netflix berani keluar dari konsensus lama yang bergantung
pada iklan daring atau promo-promo paket yang berjenjang.
Dengan penuh percaya diri, ia memungut bayaran atas
langganan konten-konten video streaming-nya sehingga setap
orang yang berlangganan bisa menonton apa pun yang mereka
sukai dan memilih tontonan yang mereka inginkan. Kebebasan
memilih tontonan adalah kekuatan utama Netflix yang tidak
bisa dilakukan oleh stasiun TV komersil konvensional.
Pada awalnya, Netflix mendapat kecaman dari perusahaan
pertelevisian karena menjadi entitas OTT (Over The Top) yang
‗berbahaya‘ bagi kelangsungan hidup stasiun TV. Over The Top
adalah sistem broadcasting konten video dengan cara streaming
secara langsung kepada penonton lewat jaringan internet.
Sistem OTT mengalahkan jaringan TV satelit biasa dan TV kabel,
sehingga bila media streaming OTT berkembang, industri TV
konvensional dan TV berlangganan terancam gulung kabel.
Namun konsumen adalah pihak terakhir yang menentukan
bagus atau tidaknya suatu inovasi. Terbukti, streaming via
jaringan OTT lebih diminati, terutama buat para pengguna
internet yang kebanyakan memiliki perangkat mobile. Yang
paling diminati oleh konsumen adalah kebebasan mereka untuk
memilih apa yang ingin mereka tonton kapan saja. Ini adalah
hal yang tidak bisa dilakukan dengan TV biasa.
Sistem kerja Netflix adalah membeli franchise berupa lisensi
dari provider konten. Para provider konten ini bisa berupa
produser film, rumah produksi atau studio, stasiun televisi, dan
penyedia konten original lain. Netflix membeli lisensi film dan
TV show dari waktu ke waktu sehingga tayangannya senantiasa
terupdate, terutama menyangkut konten show. Untuk memper-
baharui konten, ia harus terus bernegosiasi dengan berbagai
jenis jaringan hiburan dan produsen film. Bentuk kerja sama
Netflix dengan para provider konten ini dikenal dengan nama
licensing process, di mana Netflix bertindak sebagai penerima
waralaba konten.
Investopedia.com memberikan definisi sederhana untuk
licensing. Istilah ini dipakai secara khusus dalam franchise dunia
hiburan, terutama film dan konten audio-visual. Jadi, dalam
ranah streaming daring, licensing berarti proses memperoleh
izin dari pemilik TV show atau film agar konten mereka bisa
ditayangkan lagi dalam versi streaming di jasa layanan
streaming. Jadi, posisi Netflix adalah sebagai penerima waralaba
dari berbagai jenis pemberi waralaba. Dalam pembahasan
sebelumnya tentang waralaba digital, kita telah membahas
mengenai crossmedia dan transmedia. Dalam hal ini, Netflix
adalah penerima waralaba crossmedia berbayar.
Jadi, ada sebuah keunikan di sini. Satu entitas penerima
waralaba dapat menerima lisensi dari banyak pemberi waralaba,
yang hampir mustahil dilakukan dengan cara konvensional
dalam brick-and-stone franchise tanpa keterlibatan teknologi
informasi. Bayangkan jika Anda mengelola sebuah minimarket
dan di saat yang sama mengelola waralaba tukang pangkas
rambut. Namun untuk konten digital, semua itu mungkin.
Sebagaimana yang disurvei oleh kementerian perdagangan
pada awal tahun 2019 lalu, sektor e-commerce, termasuk
startup, online shops dan perdagangan digital memiliki nilai
investasi terbesar di Indonesia. Ledakan investasi dalam sektor
e-commerce ini akan memunculkan fenomena yang dikenal
sebagai e-commerce boom.
Sebagaimana waralaba memiliki pihak franchisor dan
franchisee, dalam ranah konten digital dikenal istilah licensor
dan licensee. Fungsi, tugas dan tanggung jawabnya sama
dengan franchisor dan franchisee. Istilah ini lazim dipakai
dalam franchise digital karena sistem franchise ini kebanyakan
melibatkan pemakaian konten dan hak kekayaan intelektual.
Dalam kasus Netflix, bahkan ada konten eksklusif yang hanya
bisa ditonton di Netflix saja. Maksudnya, konten-konten
eksklusif ini dibuat oleh penyedia konten (stasiun TV atau
rumah produksi) dan dijual kepada Netflix degan harga
eksklusif. Untuk mendapat lisensi konten-konten ini, Netflix
harus merogoh saku lebih banyak.Imbasnya juga signifikan.
Berkat konten eksklusif ini, pelanggan Netflix meningkat drastis
hingga mencapai hampir 140 pelanggan di sleuruh dunia di
kuartal awal 2019. Netflix memakai prediksi rating untuk
menentukan konten selanjutnya. Dengan mengkalibrasi impresi
penonton dan jenis video apa yang banyak ditonton, Netflix
bisa menentukan konten-konten pilihan selanjutnya.
Walaupun Netflix mencuat dari penyewaan DVD
konvensional menjadi raksasa dunia konten digital berbayar,
bukan berarti Netflix tak punya ancaman. Sebenarnya, Netflix
tidak punya konten yang dibuat sendiri (disebut konten
original), melainkan bergantung pada perjanjian lisensi dengan
berbagai pihak. Karena pelanggan Netflix naik drastis, pihak
pemberi lisensi cenderung menaikkan royalti lisensinya. Di
tahun 2018 saja, biaya licensing yang harus dibayar oleh Netflix
mencapai 13 milyar dolar AS, terbesar dalam sejarah waralaba
crossmedia digital.
Ini membuat Netflix berpikir keras. Pengeluaran sebanyak
itu untuk membeli lisensi akan berdampak kurang sehat untuk
keuangan perusahaan. Untuk menjaga stabilitas keuangannya,
Netflix akhirnya menciptakan konten originalnya sendiri mulai
tahun 2013. Film-film originalnya antara lain House of Cards,
Orange Is a New Black, dan the Crown. Ia bahkan mengangkat
kisah dari banyak novel menjadi konten film original yang
kemudian terus bertambah jumlahnya hingga kini.
Netflix kini berada di ambang desruptif, meskipun ia sudah
bertransformasi berkali-kali dalam modus waralaba konten
digital.Yang terjadi sekarang adalah, banyak studio film telah
membuka platform layanan konten sendiri. Baru-baru ini, Disney
mengikuti jejak Netflix dengan membuat streaming berbayar
Disney Plus.Tak mau ketinggalan, Fox, Warner Bros. dan banyak
rumah produksi lainnya berbalapan meluncurkan platform
streaming. bila perkembangan ini terus tejadi, maka jalan
satu-satunya bagi Netflix adalah menjadi produsen film sendiri,
bukan lagi membeli lisensi franchise dari penyedia konten.
Rupanya, Netflix memang serius dalam mengembangkan
konten original. Perusahaan raksasa itu telah mengeluarkan 15,7
milyar dolar AS untuk mengembangkan konten-konten
originalnya dari tahun 2018.
Dari kasus ini, dapat kita amati bahwa terdapat
kecenderungan independensi baik dari pihak pemberi maupun
penerima waralaba dalam ranah digital. Pemberi warlabaa tidak
lagi memberikan lisensi produk dan jasanya karena dia dapat
berekspansi sendiri berkat semakin luasnya jangkauan media
digital dan platform. Menyusul Netflix, Fox mengeluarkan Hulu
dan Hulu Plus yang menjaring enam juta pelanggan. Amazon
mengeluarkan platform streaming bernama Amazon Prime
Video. Apple Inc. tak mau ketinggalan. Ia mengeluarkan Apple
TV yang siap menjadi raksasa dan menelan platform mana saja
yang tidak berevolusi.