Tampilkan postingan dengan label manajemen laba 8. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label manajemen laba 8. Tampilkan semua postingan

manajemen laba 8




 hnya, perusahaan dapat mengubah metode penjualannya dari FOB shipping point menjadi FOB destination atau menganggap semua penjualan dilakukan dengan metode FOB destination. Hingga setiap barang yang telah keluar dan dikirim kepada pembeli harus dicatat sebagai transaksi penjualan, namun ditunda pengakuannya sampai barang diterima oleh pembeli. Hal inilah yang mengakibatkan pencatatan pendapatan penjualan harus menunggu sampai barang diterima pembeli, sehingga bila  barang baru diterima pembeli pada periode berikutnya maka pengakuan pendapatan penjualan pun juga akan dilakukan pada periode berikutnya. Oleh sebab itu hal ini dapat membuat laba periode berjalan akan menjadi lebih rendah dari laba sesungguhnya. b.   Barang Konsinyasi  Barang konsinyasi merupakan barang yang dititipkan perusahaan kepada pihak lain untuk dijualkan. Secara teoritis barang konsinyasi tetap menjadi hak milik perusahaan yang menitipkan sampai dengan barang itu terjual. Artinya sebelum barang itu terjual maka perusahaan yang menitipkan tidak dapat mengakuinya sebagai pendapatan penjualan meski barang telah dikeluarkan dari perusahaan. Transaksi ini baru akan diakui sebagai pendapatan penjualan bila  barang konsinyasi benar-benar telah dibeli oleh pihak ketiga.  Serupa dengan metode pengakuan pendapatan penjualan yang lain, metode konsinyasi juga dapat dipakai untuk rekayasa manajerial. Untuk menaikkan laba maka perusahaan akan membuat pendapatan penjualannya lebih tinggi dari pendapatan penjualan yang sesungguhnya. Hal ini dilakukan dengan mengakui semua barang konsinyasi sebagai barang yang telah terjual. Hingga pendapatan yang seharusnya diakui lebih cepat dari seharusnya, yaitu saat  barang benar- 

benar telah dibeli oleh pihak ketiga. sedang  untuk menurunkan laba maka perusahaan akan membuat pendapatan penjualannya lebih rendah dari pendapatan penjualan yang sesungguhnya. Hal ini dilakukan dengan mengakui barang terjual seolah-olah barang konsinyasi yang belum terjual. Hingga pendapatan yang seharusnya diakui ditunda satu atau beberapa periode lebih lambat dari seharusnya.       Ilustrasi-Metode Penentuan Harga Pokok Ilustrasi berikut ini akan menunjukkan bagaimana dengan memakai  metode penentuan harga pokok yang berbeda akan menghasilkan harga pokok penjualan dan nilai persediaan akhir yang berbeda. Perbedaan harga pokok penjualan inilah yang berdampak pada besar kecilnya laba perusahaan. Ilustrasi ini memakai  data-data sebagai berikut: sebuah perusahaan mempunyai persediaan awal sebanyak 1000 unit dengan harga Rp 25 per unit, membeli barang sebanyak 2000 unit dengan harga Rp 30 per unit, dan melakukan penjualan sebanyak 1500 unit. Maka perhitungan harga pokok penjualan dan persediaan akhir untuk setiap metode harga pokok adalah:   Pembelian Penjualan Saldo A. FIFO 100@Rp25=Rp2500  100@Rp25=Rp2000 200@Rp30=Rp6000  200@Rp30=Rp6000  150=100@ Rp25=Rp2500         =  50@Rp30=Rp1500  150@Rp30=Rp4500  Rp4000*  B. LIFO 100@Rp25=Rp2500  100@Rp25=Rp2500 200@Rp30=Rp6000  200@Rp30=Rp6000  150=150@Rp30=Rp4500    100@Rp25=Rp2500   50@Rp30=Rp1500   Rp4000** C. Rata-rata 100@Rp25=Rp2500  100@Rp25=Rp2500 200@Rp30=Rp6000  200@Rp30=Rp6000   300@Rp28=Rp8500***  150=150@Rp28=Rp4250    150@Rp28=Rp4250  Keterangan:  *      Penjumlahan saldo harga pokok penjualan Rp 25.000 dan Ro 15.000  

  

**    Penjumlahan saldo persediaan yang masih tersisa dari Rp 25.000 dan Rp 15.000 *** Harga pokok barang per unit berasal dari penghitungan rata-rata semua persedian yang dimiliki perusahaan, yaitu:  


  Dari tabel di atas terlibat bahwa dengan memakai  metode penentuan harga pokok yang berbeda akan menghasilkan harga pokok penjualan dan nilai persediaan akhir yang berbeda pula. Perbedaan ini akan mempengaruhi besar kecilnya laba yang diterima perusahaan. Untuk membuat labanya menjadi lebih besar dari laba yang sesungguhnya maka perusahaan dapat memakai  metode FIFO, sebab metode ini membuat harga pokok penjualan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan metode penentuan harga pokok yang lain. Rendahnya harga pokok penjualan akan membuat laba perusahaan menjadi lebih tinggi dibanding bila  perusahaan memakai  metode penentuan harga pokok yang lain. Sebaliknya untuk membuat labanya menjadi lebih kecil dari laba yang sesungguhnya maka perusahaan dapat memakai  metode LIFO, sebab metode ini membuat harga pokok penjualan menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan metode penentuan harga pokok yang lain. Tingginya harga pokok penjualan akan membuat laba perusahaan menjadi lebih rendah dibanding bila  perusahaan memakai  metode penentuan harga pokok yang lain.  Selain berdampak pada harga pokok penjualan maka perbedaan pemakaian metode penentuan harga pokok ini akan mempengaruhi nilai persediaan akhir yang dimiliki perusahaan. bila  perusahaan memakai  metode FIFO maka nilai persediaan akhirnya akan lebih besar dibandingkan dengan memakai  metode LIFO dan rata-rata. Hal ini membuat nilai aktiva lancar dan total aktiva perusahaan menjadi lebih besar pula. Hingga kinerja perusahaan pun akan terlihat lebih bagus bila  diukur dengan memakai  memakai  aktiva lancar atau total aktiva itu. Sebaliknya bila  perusahaan memakai  metode LIFO atau rata-rata maka nilai persediaan akhirnya akan lebih kecil dibandingkan dengan memakai  metode FIFO. Hal ini membuat nilai aktiva lancar dan total aktiva perusahaan menjadi lebih kecil pula.  

Hingga kinerja perusahaan pun akan terlihat lebih lebih rendah bila  diukur dengan memakai  memakai  aktiva lancar atau total aktiva itu.    

A.5.  BIAYA DIBAYAR DIMUKA   Biaya dibayar dimuka (deffered charge) adalah biaya yang telah dikeluarkan perusahaan secara tunai untuk memperoleh barang atau jasa tertentu yang baru akan diterima dimasa depan. Hal ini terjadi sebab  saat ini perusahaan memesan atau membeli barang atau jasa kepada pihak lain yang baru bisa diserahkan atau dirasakan manfaatnya dimasa depan. Ada berbagai macam bentuk biaya dibayar dimuka yang selama ini dikenal, misalkan porsekot pembelian barang atau aktiva tetap lain, asuransi dibayar dimuka, gaji dibayar dimuka, bunga dibayar dimuka, dan lain-lain. Pada prinsipnya semua semua biaya yang akan dikeluarkan perusahaan dapat diperlakukan sebagai biaya dimuka asalkan pengeluaran kas secara tunai telah dilakukan namun barang atau jasa belum diterima perusahaan. bila  barang atau jasa telah diterima maka perusahaan mempunyai kewajiban untuk mengakuinya sebagai biaya periode berjalan pada saat yang sama dengan periode diterimanya barang atau jasa bersangkutan.  Biaya dibayar dimuka untuk pembelian jasa yang bersifat tidak akan diterima secara langsung tetapi dapat dinikmati manfaatnya selama periode tertentu maka biaya ini harus dialokasikan atau diamortisasi selama periode yang telah ditentukan itu. Atau dengan kata lain, biaya dibayar dimuka harus diakui sebagai biaya periodik secara proporsional sesuai dengan estimasi periode pemakaian dan metode amortisasi. Secara konseptual prinsip akuntansi memberi kebebasan kepada perusahaan untuk menentukan estimasi periode pemanfaatan biaya dibayar dimuka itu, sesuai dengan perkiraan berapa lama perusahaan dapat menerima manfaat dari biaya itu. Namun biasanya perusahaan memakai  periode yang disepakati dengan penyedia atau penjual jasa untuk menentukan periode estimasi amortisasi itu, misalkan biaya asuransi dibayar dimuka akan diamortisasi selama 2 tahun untuk pembayaran asuransi 2 tahun kedepan.  Meski demikian, sejalan dengan kebebasan dalam menentukan nilai estimasi, perusahaan dapat mempermainkan besar kecilnya laba dengan mengatur nilai estimasi biaya itu. Seandainya menginginkan laba periode berjalan lebih besar dibandingkan laba sesungguhnya maka perusahaan dapat melakukannya dengan membuat nilai  

estimasi amortisasi biaya dibayar dimuka lebih panjang. Sebab dengan membuat nilai estimasi biaya itu lebih panjang akan membuat biaya periodiknya lebih kecil dan labanya lebih besar. Namun seandainya menginginkan laba periode berjalan lebih kecil dibandingkan laba sesungguhnya maka perusahaan dapat melakukannya dengan membuat nilai estimasi amortisasi biaya dibayar dimuka lebih pendek. Sebab dengan membuat nilai estimasi biaya itu lebih pendek akan membuat biaya periodiknya lebih besar dan labanya lebih kecil.     Ilustrasi-Penentuan Biaya Periodik Dari Amortisasi Biaya Dibayar Dimuka Ilustrasi berikut ini akan menunjukkan bagaimana dengan menentukan nilai estimasi yang berbeda akan menghasilkan biaya periodik yang berbeda pula. Perbedaan biaya periodik inilah yang berdampak pada besar kecilnya laba perusahaan. Ilustrasi ini memakai  data-data sebagai berikut: sebuah perusahaan mempunyai komponen biaya dibayar dimuka Rp 1.000.000 dan akan diamortisasi dengan metode garis lurus selama 2 atau 4 tahun. Maka perhitungan biaya periodik untuk setiap nilai estimasi adalah:   Nilai Estimasi Amortisasi 2 tahun 4 tahun 

   Dari tabel di atas terlibat bahwa dengan memakai  estimasi umur ekonomis yang berbeda akan menghasilkan biaya amortisasi yang berbeda pula. Perbedaan ini secara langsung akan mempengaruhi besar kecilnya laba yang diterima perusahaan. Untuk membuat labanya menjadi lebih besar dari laba yang sesungguhnya maka perusahaan dapat memakai  estimasi amortisasi yang lebih panjang, sebab hal itu akan membuat biaya depresiasi menjadi lebih rendah dibandingkan bila  estimasi amortisasi yang lebih pendek. Rendahnya biaya amortisasi per periode akan membuat laba periode berjalan menjadi lebih tinggi. Sebaliknya untuk membuat labanya menjadi lebih kecil dari laba yang sesungguhnya maka perusahaan dapat memakai  estimasi amortisasi yang lebih pendek, sebab hal itu akan membuat biaya amortisasi menjadi lebih besar dibandingkan bila  estimasi amortisasi yang lebih panjang. Tingginya  

biaya amortisasi per periode secara langsung akan membuat laba periode berjalan menjadi lebih kecil.  B.  AKTIVA TETAP  Aktiva tetap (fixed assets) merupakan harta perusahaan yang mempunyai wujud fisik, dipakai dalam operasi normal perusahaan, dimiliki perusahaan lebih dari satu periode akuntansi, dan tidak dimaksudkan untuk dijual. Aktiva tetap dapat diklasifikasikan menjadi aktiva tetap yang umurnya terbatas dan aktiva tetap yang umurnya tidak terbatas. Aktiva tetap yang umurnya terbatas adalah aktiva tetap tidak dapat terus menerus dipakai  tetapi suatu saat akan rusak atau usang sehingga harus diganti dengan aktiva sejenis, misalkan gedung, kendaraan, mesin, dan lain-lain. Dalam bahasa akuntansi hal itu disebut dengan umur ekonomis aktiva tetap, yang lamanya ditentukan atas dasar estimasi atau perkiraan. Umur ekonomis biasanya ditentukan sesuai dengan kebijakan perusahaan dengan mempertimbangkan jangka waktu pemakaian dan kemampuan aktiva tetap memberikan manfaatnya. Umur ekonomis merupakan dasar untuk mengalokasikan harga perolehan (cost) aktiva tetap selama periode pemakaiannya. Asumsinya, aktiva tetap jenis ini suatu saat akan rusak atau usang, sehingga nilainya semakin lama akan semakin berkurang. Alokasi inilah yang disebut dengan depresiasi.  sedang  aktiva tetap yang umurnya tidak terbatas adalah aktiva tetap yang dapat dipakai terus menerus dan tidak perlu diganti sebab  tidak pernah usang atau rusak, misalkan tanah. Oleh sebab itu aktiva tetap ini tidak mengenal umur ekonomis sebab  dapat dipakai sampai kapanpun sampai perusahaan mempunyai kebijakan untuk mengganti aktiva tetap ini. Selain itu aktiva ini juga tidak perlu dialokasikan harga perolehannya atau didepresiasi sebab tidak pernah mengalami kerusakan atau keusangan seperti halnya aktiva yang umurnya terbatas. Bahkan dalam beberapa kasus nilai aktiva tetap ini dapat meningkat sejalan dengan peningkatan harga pasar aktiva bersangkutan. Hingga untuk mengakomodir peningkatan nilai itu perusahaan harus melakukan penilaian kembali atau revaluasi terhadap aktiva tetap itu.  Secara teoritis hanya aktiva tetap dengan umur terbatas yang dapat dipakai sebagai obyek rekayasa manajerial, sedang  aktiva tetap dengan umur tidak terbatas relatif sulit untuk dijadikan obyek rekayasa manajerial ini. Alasannya, cara rekayasa  

yang paling mudah dilakukan adalah dengan memanfaatkan metode depresiasi dan menentukan estimasi umur ekonomis yang bebas dipilih dan dipakai  perusahaan untuk menentukan biaya depresiasi per periodenya. Perusahaan dapat mengatur besar kecilnya laba periode berjalan dengan memakai  metode depresiasi yang berbeda. Untuk mengatur besar kecilnya laba perusahaan dapat mengganti metode depresiasinya dengan metode depresiasi lain. Hal ini disebab kan memang ada metode depresiasi yang dapat membuat biaya depresiasi menjadi relatif lebih besar dibandingkan jika memakai  metode depresiasi lain. Atau sebaliknya, ada metode depresiasi yang dapat membuat biaya depresiasi menjadi relatif lebih rendah dibandingkan jika memakai  metode depresiasi lain.  usaha  lain untuk mempermainkan laba yang memanfaatkan aktiva tetap adalah dengan mengganti umur ekonomis aktiva tetap lebih panjang maupun pendek tergantung besar kecil laba yang diinginkannya. Untuk membuat biaya depresiasi periode berjalan menjadi lebih besar dibandingkan biaya depresiasi periode sebelumnya maka perusahaan dapat mengganti umur ekonomis aktiva tetap bersangkutan menjadi lebih pendek. Perubahan ini secara langsung akan membuat laba periode bersangkutan menjadi lebih kecil dibandingkan laba sesungguhnya. sedang  untuk membuat biaya depresiasi periode berjalan menjadi lebih rendah dibandingkan biaya depresiasi periode sebelumnya maka perusahaan dapat mengganti umur ekonomis aktiva tetap bersangkutan menjadi lebih panjang. Perubahan ini secara langsung akan membuat laba periode bersangkutan menjadi lebih besar dibandingkan laba sesungguhnya. Sementara rekayasa manajerial dengan mengubah nilai aktiva tetap tertentu dengan melakukan revaluasi relatif jarang dipakai  sebab revaluasi bukan proses yang mudah dilakukan perusahaan. Selain itu perusahaan juga dapat mempermainkan nilai residu aktiva tetap, yaitu nilai sisa yang diperkirakan masih melekat dalam suatu aktiva tetap tertentu pada saat dihentikan pemakaiannya. Hingga nilai residu akan dikurangkan dari nilai aktiva tetap sebelum aktiva tetap bersangkutan didepresiasi. Dengan mengubah-ubah nilai residu pun perusahaan juga dapat mempermainkan besar kecilnya laba periode berjalan. bila  perusahaan menginginkan labanya lebih tinggi maka perusahaan dapat mengecilkan biaya depresiasi dengan membuat nilai residu aktiva tetap lebih besar. Sebaliknya, bila  perusahaan menginginkan labanya lebih rendah maka perusahaan 

 

dapat membuat biaya depresiasi lebih besar dengan mengganti nilai residu aktiva tetapnya lebih kecil. usaha -usaha  semacam di atas itu diperbolehkan untuk dipraktikan oleh perusahaan dengan syarat harus diungkapkan secara jelas dalam laporan keuangan. Ada beberapa metode depresiasi yang selama ini dikenal dan dipakai secara umum, bahkan diterima oleh undang-undang dan peraturan perpajakan, yaitu metode garis lurus, saldo menurun, dan jumlah angka tahun. 1.   Metode Garis Lurus Metode depresiasi garis lurus merupakan metode alokasi harga perolehan aktiva tetap yang memakai  dasar alokasi estimasi jangka waktu pemakaian aktiva bersangkutan (umur ekonomis). Depresiasi ini dilakukan dengan membagi harga perolehan suatu aktiva tetap dengan estimasi umur ekonomisnya. Dalam beberapa kasus, sebelum dibagi dengan estimasi umur ekonomis harga perolehan aktiva tetap dapat dikurangi dengan nilai residunya.   


 2.   Metode Saldo Menurun   Metode depresiasi saldo menurun merupakan metode alokasi harga perolehan aktiva tetap yang memakai  dasar tarif depresiasi tertentu yang ditentukan sesuai dengan kebijakan perusahaan. Depresiasi ini dilakukan dengan mengalikan tarif depresiasi yang telah ditentukan dengan nilai buku (book value) aktiva tetap bersangkutan. Nilai residu aktiva atau nilai sisa yang diperkirakan masih melekat dalam suatu aktiva tetap tertentu pada saat dihentikan pemakaiannya juga akan dipertimbangkan dalam menentukan tarif depresiasi aktiva bersangkutan.   


Metode depresiasi jumlah angka tahun merupakan metode alokasi harga perolehan aktiva tetap yang memakai  dasar jumlah angka-angka tahun dari estimasi umur ekonomis aktiva tetap bersangkutan. Depresiasi ini memakai  asumsi bahwa semakin lama aktiva tetap dipakai semakin menurun kemampuannya dalam mamberikan manfaat, sehingga biaya depresiasinya pun semakin lama semakin menurun nilainya. Untuk memakai  metode ini maka yang pertama kali harus dilaksanakan adalah menghitung jumlah angka-angka tahun (JAT) yang akan dipergunakan dengan rumus:  


.

 Selanjutnya untuk menentukan biaya depresiasi per periode akan dihitung dengan mengalikan umur ekonomis dikurangi (periode depresiasi-1) yang dibagi JAT dengan nilai buku aktiva tetap bersangkutan atau dirumuskan sebagai berikut:  


)1( --=  Secara konseptual manajemen laba dapat dilakukan dengan memanfaatkan penentuan metode depresiasi ini. bila  manajer menginginkan laba periode berjalannya lebih tinggi pada periode awal pengalokasian maka manajer dapat memakai  metode saldo menurun untuk menentukan biaya depresiasi per periode. Hal ini disebabkan metode saldo menurun akan membuat biaya depresiasi relatif lebih tinggi dibanding bila  biaya depresiasi ditentukan dengan memakai  metode garis lurus dan jumlah angka tahun.  Sementara untuk membuat laba periode berjalannya lebih rendah pada periode awal pengalokasian maka manajer dapat memakai  metode garis lurus atau jumlah angka tahun untuk menentukan biaya depresiasi per periode. Hal ini disebabkan metode garis lurus atau jumlah angka tahun akan membuat biaya depresiasi relatif lebih rendah dibanding bila  biaya depresiasi ditentukan dengan memakai  metode saldo menurun. sedang  untuk membuat biaya depresiasi relatif konstan  

selama beberapa periode maka perusahaan dapat memakai  metode garis lurus untuk melakukan pengalokasian harga perolehan aktiva tetap.    Ilustrasi-Penentuan Biaya Depresiasi Dengan Umur Ekonomis dan Nilai Residu Berbeda  Ilustrasi berikut ini akan menunjukkan bagaimana dengan menentukan estimasi umur ekonomis dan nilai residu yang berbeda akan menghasilkan biaya depresiasi per periode yang berbeda pula. Perbedaan biaya depresiasi inilah yang berdampak pada besar kecilnya laba perusahaan. Ilustrasi ini memakai  data-data sebagai berikut: sebuah perusahaan mempunyai aktiva dengan harga perolehan Rp 10.000.000, didepresiasi dengan metode garis lurus selama 5 dan 10 tahun. Selain itu perusahaan menetapkan nilai residu aktiva tetap bersangkutan adalah Rp 0 dan Rp 500.000. Maka perhitungan biaya depresiasi per periode untuk setiap nilai estimasi umur ekonomis adalah:  


Dari tabel di atas terlibat bahwa dengan memakai  estimasi umur ekonomis dan nilai residu aktiva tetap yang berbeda akan menghasilkan biaya depresiasi per periode yang berbeda pula. Perbedaan ini akan mempengaruhi besar kecilnya laba periode berjalan yang diterima perusahaan. Untuk membuat labanya menjadi lebih besar dari laba yang sesungguhnya maka perusahaan dapat memakai  estimasi umur ekonomis yang lebih panjang dan nilai residu lebih besar, sebab hal itu akan membuat biaya depresiasi menjadi lebih rendah dibandingkan bila  estimasi umur ekonomis yang lebih pendek dan nilai residu lebih kecil. Rendahnya biaya depresiasi per periode akan membuat laba periode berjalan menjadi lebih tinggi.  Atau sebaliknya untuk membuat labanya menjadi lebih kecil dari laba yang sesungguhnya maka perusahaan dapat memakai  estimasi umur ekonomis yang lebih pendek dan nilai residu lebih kecil, sebab hal itu akan membuat biaya depresiasi  

menjadi lebih besar dibandingkan bila  estimasi umur ekonomis yang lebih panjang dan nilai residu lebih besar. Tingginya biaya depresiasi per periode akan membuat laba periode berjalan menjadi lebih kecil.   Ilustrasi-Penentuan Biaya Depresasi Dengan Metode Depresiasi Yang Berbeda  Ilustrasi berikut ini akan menunjukkan bagaimana dengan menentukan metode depresiasi yang berbeda akan menghasilkan biaya depresiasi per periode yang berbeda pula. Perbedaan biaya depresiasi inilah yang berdampak pada besar kecilnya laba perusahaan. Ilustrasi ini memakai  data-data sebagai berikut: sebuah perusahaan mempunyai aktiva dengan harga perolehan Rp 10.000.000, didepresiasi selama 10 tahun dan menetapkan nilai residu aktiva tetap adalah Rp 500.000. Maka perhitungan biaya depresiasi tahun pertama untuk setiap metode depresiasi adalah: :   

 Dari tabel di atas terlibat bahwa dengan memakai  metode depresiasi aktiva tetap yang berbeda akan menghasilkan biaya depresiasi per periode yang berbeda pula. Perbedaan ini akan mempengaruhi besar kecilnya laba yang diterima perusahaan. Untuk membuat labanya menjadi lebih besar dari laba yang sesungguhnya di tahun-tahun pertama maka perusahaan dapat memakai  metode garis lurus atau JAT, sebab hal itu akan membuat biaya depresiasi menjadi lebih rendah dibandingkan bila  memakai  metode saldo menurun. Rendahnya biaya depresiasi per periode akan membuat laba periode berjalan menjadi lebih tinggi. Atau sebaliknya untuk membuat labanya menjadi lebih besar dari laba yang sesungguhnya di tahun-tahun berikutnya  

maka perusahaan dapat memakai  metode saldo atau JAT, sebab hal itu akan membuat biaya depresiasi menjadi lebih rendah dibandingkan bila  memakai  metode garis lurus. Rendahnya biaya depresiasi per periode akan membuat laba periode berjalan menjadi lebih tinggi.  Untuk membuat labanya menjadi lebih kecil dari laba yang sesungguhnya di tahun-tahun pertama maka perusahaan dapat memakai  metode saldo menurun, sebab hal itu akan membuat biaya depresiasi menjadi lebih rendah dibandingkan bila  memakai  metode garis lurus atau JAT. Rendahnya biaya depresiasi per periode akan membuat laba periode berjalan menjadi lebih tinggi. sedang  untuk membuat labanya menjadi lebih kecil dari laba yang sesungguhnya di tahun-tahun berikutnya maka perusahaan dapat memakai  metode garis lurus, sebab hal itu akan membuat biaya depresiasi menjadi lebih rendah dibandingkan bila  memakai  metode saldo menurun atau JAT. Rendahnya biaya depresiasi per periode akan membuat laba periode berjalan menjadi lebih tinggi.   C.  HUTANG LANCAR Hutang (liabilities) merupakan pengorbanan ekonomis yang harus dilakukan perusahaan oleh perusahaan di masa depan dalam bentuk penyerahan barang atau jasa yang disebabkan transaksi atau peristiwa di masa lalu. Secara teoritis hutang dapat diklasifikasikan menjadi hutang jangka panjang dan jangka panjang. Hutang jangka panjang adalah kewajiban perusahaan yang harus diselesaikan lebih dari satu periode akuntansi. sedang  hutang jangka pendek adalah kewajiban perusahaan yang harus diselesaikan kurang dari satu periode akuntansi. Hutang jangka pendek seringkali disebut dengan hutang lancar (current liabilities) sebab untuk menyelesaikannya pun dibutuhkan aktiva lancar yang dimiliki perusahaan.  Ada beberapa jenis hutang yang dapat diklasifikasikan sebagai hutang lancar ini, yaitu hutang dagang, pendapatan dibayar dimuka, biaya yang masih harus dibayar, hutang jangka panjang yang jatuh tempo (current maturity of long-term debt), hutang pajak,  dan hutang deviden.  1.   Hutang Dagang Hutang dagang merupakan kewajiban perusahaan untuk mengeluarkan dan menyerahkan sejumlah kas secara tunai kepada pihak lain yang harus diselesaikan  

dimasa depan sebab  perusahaan telah melakukan pembelian barang atau menerima jasa secara kredit.    2.   Pendapatan Diterima Dimuka Pendapatan diterima dimuka adalah kewajiban perusahan untuk penyerahan barang atau jasa kepada pihak lain yang harus diselesaikan dimasa depan sebab  perusahaan telah menerima sebagian atau keseluruhan pembayaran secara tunai dari pihak lain itu. Sebagai contoh adalah persekot yang dibayarkan secara tunai oleh pihak lain sebab  memesan barang atau jasa dari perusahaan.  3.   Biaya yang Masih Harus Dibayar Biaya yang masih harus dibayar merupakan kewajiban perusahaan berupa pengeluaran dan pembayaran kas secara tunai kepada pihak lain yang harus diselesaikan dimasa depan sebab  perusahaan telah menerima barang atau jasa dari pihak lain itu. Sebagai contoh adalah berbagai hutang biaya (administrasi dan umum maupun pemasaran) sebab  perusahaan telah menerima barang atau jasa dari pihak lain. 4.   Hutang Jangka Panjang yang Jatuh Tempo Hutang jangka panjang yang jatuh tempo merupakan kewajiban perusahaan berupa pengeluaran dan pembayaran kas secara tunai kepada pihak lain yang harus diselesaikan  dimasa depan sebab  hutang jangka perusahaan telah jatuh tempo. 5.   Hutang Pajak Hutang pajak merupakan kewajiban perusahaan berupa pengeluaran dan pembayaran kas secara tunai dimasa depan kepada pemerintah yang harus diselesaikan dimasa depan sebab  perusahaan mempunyai tunggakan sejumlah pajak. 6.   Hutang Dividen Hutang dividen adalah kewajiban berupa pengeluaran dan pembayaran kas kepada pemegang saham yang harus diselesaikan dimasa depan sebab  perusahaan mempunyai janji untuk membagikan sejumlah dividen kepada pemegang sahamnya. Semua jenis hutang di atas pada dasarnya mempunyai sifat yang sama, yaitu hasus diselesaikan perusahaan dengan memakai  aktiva lancar dalam waktu kurang dari satu periode akuntansi. Sebagian besar hutang lancar merupakan hutang yang timbul dari transaksi-transaksi yang berkaitan dengan aktiva lancar. Artinya, semakin  

besar transaksi yang menimbulkan aktiva lancar semakin besar pula kemungkinan perusahaan untuk memiliki hutang lancar. Oleh sebab itu cara dan metode untuk merekayasa aktiva lancar juga bisa dilakukan untuk merekayasa hutang lancar. Maka atas pemikiran inilah ada beberapa usaha  rekayasa manajerial yang bisa dilakukan dengan memanfaatkan hutang lancar ini, yaitu: 1. Mengakui dan mencatat transaksi pembelian lebih besar dibandingkan pembelian sesungguhnya usaha  ini dilakukan dengan melakukan kerjasama dengan penjual barang agar mau mengubah bukti transaksi jual-beli itu menjadi lebih besar dibandingkan transaksi sesungguhnya. Sementara selisih dana yang seharusnya dipakai  untuk transaksi itu dipakai  secara pribadi oleh pelakunya. Untuk menutupi penyelewengan ini manajer akan memakai  barang-barang yang dibeli dari transaksi berikutnya sehingga pada saat ada pemeriksaan terhadap barang secara fisik ada kesesuaian jumlah antara yang dicatat dengan riilnya. Hal ini akan dilakukan terus menerus sampai pelaku mempunyai kemampuan untuk mengembalikan kas yang dipakainya itu. usaha  penyelewengan semacam ini dapat terungkap pada saat ada pemeriksaan (auditing) yang dilakukan secara berkala maupun tahunan. 2. Menunda mengakui pendapatan diterima dimuka sebagai pendapatan periodik    Secara konseptual pendapatan diterima dimuka harus segera diakui sebagai pendapatan periode berjalan bila  perusahaan telah menyelesaikan kewajibannya yang berupa penyerahan barang atau jasa senilai kas yang sebelumnya telah diterima. Namun perusahaan akan menunda pengakuan ini bila  menginginkan laba periode berjalan menjadi lebih rendah dibandingkan laba sesungguhnya, sebab semakin rendah pendapatan akan semakin rendah pula laba yang diperolehnya. Hal ini dilakukan perusahaan pada saat perusahaan ingin menghindari kewajiban-kewajibannya, seperti menghindari untuk membayar pajak yang lebih besar atau menunda penyelesaiannya hutang-hutangnya.  3. Menunda mengakui biaya yang masih harus dibayar sebagai biaya periodik Secara konseptual biaya yang masih harus dibayar harus segera diakui sebagai biaya periode berjalan bila  perusahaan telah menyelesaikan kewajibannya yang berupa penyerahan kas senilai barang atau jasa yang sebelumnya telah diterima. Namun perusahaan akan menunda pengakuan ini bila  menginginkan laba periode  

berjalan menjadi lebih tinggi dibandingkan laba sesungguhnya, sebab semakin rendah biaya akan semakin rendah pula laba yang diperolehnya. Hal ini dilakukan perusahaan pada saat perusahaan ingin terlihat mempunyai kinerja yang lebih bagus dibandingkan kinerja sesungguhnya, seperti pada saat manajer menginginkan agar sahamnya direspon secara positif oleh pasar, mengejar bonus yang dijanjikan pemilik, memperoleh pinjaman dana dari kerditur, dan sebagainya.  4. Menunda mengakui hutang jangka panjang yang jatuh tempo  Secara konseptual bagian hutang jangka panjang yang akan segera jatuh tempo harus segera diakui sebagai hutang lancar, sehingga perusahaan dapat mengetahui berapa jumlah hutang yang segera harus diselesaikannya. Namun hal ini akan mengakibatkan kinerja keuangan (likuiditas dan solvabilitas) perusahaan menjadi menurun dan terlihat kurang menguntungkan pada saat perusahaan menginginkan kinerja terlihat bagus di mata stakeholder. Oleh sebab itu perusahaan akan merekayasa hutang lancarnya dengan menunda untuk mengakui hutang jangka panjangnya yang akan jatuh tempo. Hutang ini baru akan diakui pada saat tujuan di atas sudah tercapai.      

MODEL EMPIRIS   

 Ada beberapa alasan yang mendasari mengapa riset  dan analisis empiris mengenai manajemen laba (earnings management) beberapa dekade terakhir ini semakin berkembang. Pertama, semakin tingginya angka dan aktivitas rekayasa keuangan yang terjadi. Bahkan bisa dikatakan hampir semua perusahaan di seluruh dunia, dengan alasan yang berbeda, melakukan manajemen laba saat  mencatat transaksi dan menyusun informasi keuangannya. Apalagi aktivitas rekayasa ini relatif mudah dilakukan oleh siapapun yang memahami dan menguasi konsep akuntansi keuangan (financial accounting), tanpa harus melanggar prinsip akuntansi yang ada. Hal ini bisa terjadi sebab  pada dasarnya manajemen laba merupakan usaha  manajerial untuk mempermainkan semua komponen laporan keuangan dengan memanfaatkan “celah” yang ada dalam standar akuntansi sesuai dengan keinginan manajer perusahaan. Oleh sebab  itu bisa dikatakan bahwa riset  dan analisis empiris terhadap  

manajemen laba sebenarnya merupakan usaha  untuk mengidentifikan komponen dan standar yang menjadi obyek rekayasa manajerial itu.    Kedua, semakin tajamnya perbedaan perspektif antara para praktisi dengan akademisi dalam memandang dan memahami manajemen laba. Praktisi menganggap manajemen laba sebagai kecurangan manajerial untuk mengelabui stakeholder perusahaan. Apalagi manajemen laba dilakukan manajer perusahaan untuk memaksimalkan kesejahteraan pribadi dan kelompoknya, meski harus merugikan pihak lain. sedang  para akademisi melihat manajemen laba sebagai dampak pemakaian basis akrual dan longgarnya standar akuntansi yang dipakai saat ini. Dalam pemahaman ini maka manajemen laba tidak bisa dikategorikan sebagai perbuatan curang (fraud), bila  aktivitas ini dilakukan masih dalam kerangka prinsip akuntansi yang diterima secara umum. Oleh sebab  itu  bisa dikatakan bahwa riset  dan analisis empiris terhadap manajemen laba sebenarnya merupakan jembatan untuk mempertemukan dan memadukan perbedaan pandangan kedua pihak ini. Ketiga, semakin berkembangnya riset  dibidang akuntansi, khususnya akuntansi keuangan dan keperilakuan (financial and behavior accounting). Saat ini riset  akuntansi tidak hanya terpaku pada angka-angka yang ada dalam laporan keuangan saja (perspektif informasi), namun juga mencoba mengurai motivasi apa yang mendasari seseorang saat  menyusun laporan keuangan (perspektis oportunis). Untuk ini, riset  akuntansi tidak hanya memakai  dasar informasi dalam laporan keuangan, namun juga memakai  informasi lain dan data-data primer untuk melakukan analisis empirisnya. Hingga kesimpulan yang dihasilkannya lebih komprehensif, valid, dan robust. Oleh sebab  itu  bisa dikatakan bahwa riset  dan analisis empiris terhadap manajemen laba sebenarnya merupakan usaha  untuk mengetahui dan menganalisis berbagai motivasi yang mendasari dan mendorong seseorang saat  mancatat transaksi dan peristiwa bisnis, selain ingin menyediakan informasi bagi pihak lain. Untuk itu beberapa peneliti telah mencoba mengembangkan kuisioner sebagai alat untuk menguji manajemen laba dari sudut pandang oportunis ini. Kondisi ini tentu sangat positif bagi perkembangan ilmu dan riset  akuntansi, sebab  membuat akuntansi tidak lagi hanya terfokus pada masalah proses pencatatan transaksi dan peristiwa bisnis semata, namun meluas untuk mengdeteksi dan mengevaluasi motivasi yang mempengaruhi dan mendorong seseorang saat  membuat 

dan menyusun laporan keuangan. riset  akuntansi tidak lagi hanya merupakan untuk mendeteksi proses mencatat, menggolongkan, dan mengolah angka, namun berkembang untuk mengdeteksi apakah seseorang mempunyai motivasi lain saat  menyusun laporan keuangan, selain motivasi untuk menyediakan informasi untuk semua pihak yang ingin mengetahui kondisi perusahaan. Selain mendeteksi mengapa dan bagaimana seseorang melakukan manajemen laba, perkembangan ini pada akhirnya mendorong berkembangnya model matematis yang dipakai  untuk mengdeteksikan manajemen laba. Hingga mudah dipahami jika pada akhirnya ada berbagai model matematis dengan berbagai pendekatan yang berhasil dirumuskan untuk mendeteksi manajemen laba sampai saat ini.      

A.  PENDEKATAN MANAJEMEN LABA Secara umum ada tiga pendekatan yang telah dihasilkan para peneliti untuk mendeteksi manajemen laba, yaitu model yang berbasis aggregate accrual, spesific accruals, dan distribution of earnings after management.  1.  Model Berbasis Aggregate Accrual Model pertama merupakan model yang berbasis aggregate accrual, yaitu model yang dipakai  untuk mendeteksi aktivitas rekayasa ini dengan memakai  discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba. Model ini pertama kali dikembangkan oleh Healy, DeAngelo, dan Jones. Selanjutnya Dechow, Sloan, dan Sweeney mengembangkan model Jones menjadi model Jones yang dimodifikasi (modified Jones model). Model-model ini memakai  total akrual dan model regresi untuk menghitung akrual yang diharapkan (expected accruals) dan akrual yang tidak diharapkan (unexpected accruals). Model Healy merupakan model yang relatif sederhana sebab  memakai  total akrual (total accruals) sebagai proksi manajemen laba. Padahal total akrual merupakan penjumlahan discretionary accruals dan nondiscretionary accruals. Secara konseptual discretionary accruals merupakan komponen akrual yang dapat diatur dan direkayasa sesuai dengan kebijakan (discretion) manajerial, sementara nondiscretionary accruals merupakan komponen akrual yang tidak dapat diatur dan direkayasa sesuai dengan kebijakan manajer perusahaan. Hingga atas dasar pemikiran ini bisa disimpulkan ada kelemahan mendasar dalam model Healy, sebab 

memasukkan komponen nondiscretionary accruals sebagai proksi manajemen laba seolah menganggap manajer dapat mengatur dan merekayasa semua komponen akrual tanpa terkecuali. Hal ini tentu kontradiktif dengan filosofi dasar akuntansi yang mengatakan bahwa manajer tetap mempunyai keterbatasan dalam mengatur besar kecilnya komponen akrual. Model DeAngelo dikembangkan dengan memakai  perubahan dalam total akrual (change in total accruals) sebagai proksi manajemen laba. Model Jones memakai  sisa regresi total akrual dari perubahan penjualan dan property, plant, and equipment sebagai proksi manajemen laba. sedang  model Jones dimodifikasi (modified Jones model) memakai  sisa regresi total akrual dari perubahan penjualan dan property, plant, and equipment, dimana pendapatan disesuaikan dengan perubahan piutang yang terjadi pada periode bersangkutan. Sementara Kang dan Suvaramakrishnan memakai  sisa regresi dari aktiva lancar non-kas yang dikurangi dengan kewajiban yang dibagi dengan aktiva ini  pada periode sebelumnya, yang disesuaikan dengan kenaikan pendapatan, biaya, dan plant and equipment sebagai proksi manajemen laba. 2.  Model Berbasis Spesific Accruals  Model kedua merupakan model yang berbasis akrual khusus (specific accruals), yaitu pendekatan yang menghitung akrual sebagai proksi manajemen laba dengan memakai  item atau komponen laporan keuangan tertentu dari industri tertentu, misalnya piutang tak tertagih dari sektor industri tertentu atau cadangan kerugian piutang dari industri asuransi. Model ini dikembangkan oleh McNichols dan Wilson, Petroni, Beaver dan Engel, Beaver dan McNichols. McNichols dan Wilson mengembangkan model yang memakai  sisa provisi untuk piutang tak tertagih, yang diestimasi sebagai sisa regresi provisi untuk piutang tak tertagih pada saldo awal, serta penghapusan piutang periode berjalan dan periode yang akan datang sebagai proksi manajemen laba. Model berikutnya dikembangkan oleh Petroni yang memakai  klaim terhadap estimasi cadangan kesalahan, yang diukur selama lima tahun perkembangan cadangan kerugian penjaminan kerusakan property sebagai proksi manajemen laba.  Model Beaver dan Engel memakai  biaya yang tersisa dari kerugian pinjaman, yang diestimasi sebagai sisa regresi biaya dari kerugian pinjaman  pada charge-of  

bersih, pinjaman yang beredar, aktiva yang tidak bermanfaat dan melebihi satu tahun perubahan aktiva tidak bermanfaat sebagai proksi manajemen laba. sedang  Beneish mengembangkan model yang memakai  hari-hari dalam indeks piutang, indeks laba kotor (gross margin), indeks kualitas aktiva, indeks depresiasi, indeks biaya administrasi umum dan penjualan, indeks total akrual terhadap total aktiva sebagai proksi manajemen laba. Terakhir adalah model Beaver dan McNichols yang memakai  korelasi serial  dari satu tahun perkembangan cadangan kerugian penjaminan kerusakan property sebagai proksi manajemen laba. 3.  Model Berbasis Distribution Of Earnings After Management.  Sementara model distribution of earnings dikembangkan oleh Burgtahler dan Dichev, Degeorge, Patel, dan Zeckhauser, serta Myers dan Skinner. Pendekatan ini dikembangkan dengan melakukan pengujian secara statistik terhadap komponen-komponen laba untuk mengdeteksi faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan laba. Model ini terfokus pada pergerakan laba disekitar benchmark yang dipakai, misalkan laba kuartal sebelumnya, untuk menguji apakah incidence jumlah yang berada di atas maupun di bawah benchmark telah didistribusikan secara merata, atau merefleksikan ketidakberlanjutan kewajiban untuk menjalankan kebijakan yang telah dibuat.  Model Burgtahler dan Dichev merupakan model yang menguji apakah frekuensi realisasi laba tahunan yang merupakan bagian atas (bawah) laba yang besarnya nol dan laba akhir tahun adalah lebih besar (kecil) daripada yang diharapkan untuk mengdeteksi manajemen laba. Selanjutnya Degeorge, Patel, dan Zeckhauser mengembangkan model yang menguji apakah frekuensi realisasi laba kuartalan yang merupakan bagian atas (bawah) laba yang besarnya nol, laba akhir kuartal dan forecast investor adalah lebih besar (kecil) daripada yang diharapkan untuk mengdeteksi manajemen laba. sedang  model Myers dan Skinner merupakan model yang menguji apakah angka-angka laba meningkat yang berurutan adalah lebih besar dibandingkan angka-angka jika tanpa manajemen laba untuk mengdeteksi manajemen laba. Di bidang akademis, perkembangan setiap model manajemen laba dengan berbagai dan keunggulan dan kelemahan ini tentu sangat menggembirakan. Namun sejauh ini hanya model yang memakai  basis akrual (accruals basis) yang diterima sebagai model yang memberikan hasil yang cukup kuat untuk mendeteksi keberadaan  

manajemen laba. Ada dua alasan yang mendasari mengapa model yang memproksikan manajemen laba dengan discretionary accruals ini lebih dapat diterima dan dipergunakan dalam berbagai riset  manajemen laba.  1. Akuntansi berbasis akrual Model manajemen laba berbasis aggregate accruals sejalan dengan basis akuntansi yang selama ini banyak dipergunakan di berbagai negara, yaitu akuntansi berbasis akrual (accruals accounting). Secara konseptual akuntansi berbasis akrual merupakan basis akuntansi yang mengakui dan mencatat semua transaksi (transaction) dan peristiwa (event) berdasarkan waktu terjadinya dan bukan pada saat kas diterima atau dikeluarkan. Artinya, suatu transaksi sudah dapat diakui dan dicatat sebagai hak walaupun kas baru akan diterima pada periode berikutnya atau mengakui hak pada periode berikutnya walaupun kas telah diterima. Sebaliknya, suatu transaksi sudah dapat diakui dan dicatat sebagai kewajiban walaupun kas baru akan dikeluarkan pada periode berikutnya atau mengakui kewajiban pada periode berikutnya walaupun kas telah dikeluarkan. Hingga dalam akuntansi berbasis akrual tidak semua transaksi dan peristiwa harus dilakukan secara tunai.   2. memakai  seluruh komponen laporan keuangan Model manajemen laba berbasis aggregate accruals merupakan model yang memakai  komponen-komponen laporan keuangan yang secara langsung dideteksikan sebagai obyek rekayasa akuntansi ini . Secara teoritis, akuntansi berbasis akrual mengakibatkan munculnya beberapa komponen non-kas dalam laporan keuangan, misalkan hutang, piutang, biaya dibayar dimuka (deffered charge), pendapatan diterima dimuka, biaya cadangan kerugian dan penurunan nilai aktiva lancar, biaya penyusutan (amortisasi, depresiasi, dan deplesi) aktiva, dan lain-lain. Atau dengan kata lain, komponen non-kas merupakan penyebab munculnya komponen akrual dalam laporan keuangan. Komponen non-kas ini tidak akan ada jika perusahaan memakai  akuntansi berbasis kas,  Komponen non-kas atau akrual inilah yang selama ini ditengarai dipakai sebagai obyek “permainan” manajer saat  mengelola dan mengatur laba yang akan dilaporkannya. Hal ini bisa dilakukan sebab  manajer mempunyai kebebasan untuk memilih dan mengganti metode dan prinsip akuntansi untuk mencatat komponen-komponen ini  sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya. Sehingga  

pengembangan model manajemen yang memakai  komponen-komponen ini  relatif dapat diterima sebab  sejalan dengan akuntansi berbasis akrual. Apalagi mengingat discretionary accruals (proksi manajemen laba) merupakan selisih antara total akrual dan nondiscretionary accruals, yang merupakan komponen utama laba dalam akuntansi berbasis akrual.