Tampilkan postingan dengan label manajemen laba 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label manajemen laba 6. Tampilkan semua postingan

manajemen laba 6

 



sehat, bersih, dan bertanggung jawab. Oleh sebab itu akuntan publik akan diragukan komitmen etis dan moralnya oleh publik sebab  menjalin konspirasi dengan dunia usaha. Akuntan publik tidak memakai  kemampuan, keahlian, dan kesempatannya secara baik tetapi  justru merestui kecurangan-kecurangan yang dilakukan dunia usaha. Etika dan moral tidak lagi menjadi bahan pertimbangan utama dalam menjalankan tugasnya. Padahal keraguan publik terhadap komitmen etis dan moral merupakan awal kejatuhan akuntan publik. Sebagai contoh adalah KAP Arthur Anderson & Co., tanpa harus melewati proses hukum akuntan publik ini mati dengan sendirinya sebab  dijauhi publik.  3. Implikasi terhadap standar akuntansi  Selain mempertanyakan dan meragukan integritas dan kredibilitas orang-orangnya, publik ternyata juga mempertanyakan dan meragukan kelayakan berbagai regulasi yang selama ini dipakai untuk mengatur dunia usaha, termasuk standar akuntansi. Publik melihat bahwa standar akuntansi ternyata merupakan salah satu alat yang dipakai pengelola dunia usaha untuk menyembunyikan kecurangan-kecurangannya. Hanya dengan memanfaatkan berbagai metode dan prosedur yang tercakup dalam standar akuntansi pengelola dunia usaha dengan mudah menyembunyikan kecurang-kecurangannya itu. Bahkan dalam jangka pendek pengelola dunia usaha tidak perlu kuatir perbuatannya itu diketahui oleh publik. Oleh sebab itu bagi sebagian orang standar akuntansi justru mengakomodasi dan memfasilitasi seseorang untuk melakukan kecurangan.  Apa yang terjadi itu tentu diluar pemikiran penyusun standar akuntansi, sebab pada dasarnya standar akuntansi memang tidak berkeinginan dipakai untuk melakukan kecurangan. Apalagi pada dasarnya standar akuntansi merupakan regulation driven yang tidak mampu mengarahkan perilaku etis seseorang yang memakai  standar itu. Artinya sebaik apapun peraturan namun jika pelaku-pelaku tidak mempunyai 

  

niat dan kemauan untuk menjalan peraturan itu secara konsisten maka peraturan-peraturan itu akan kehilangan makna. Oleh sebab itu bisa disimpulkan bahwa penyelewengan terhadap standar akuntansi disebabkan oleh rendahnya komitmen etis dan moral pemakai standar itu.       

  

 5 GOOD CORPORATE GOVERNANCE  


Ada tuntutan publik yang berkembang sejalan dengan semakin maraknya kasus-kasus penyimpangan korporasi yang terjadi di seluruh dunia selama beberapa dekade terakhir ini, yaitu agar bisnis dijalankan secara bersih dan bertanggung jawab. Alasannya, pertama, publik melihat bahwa penyimpangan-penyimpangan korporasi itu seolah telah menjadi corporate culture dunia usaha. Hal ini tentu sangat merugikan semua pihak, termasuk pihak yang tidak mempunyai hubungan secara langsung dengan perusahaan bersangkutan. Apalagi secara empiris memang terbukti kasus penyimpangan itu tidak hanya mempengaruhi kondisi perusahaan maupun pihak-pihak yang mempunyai hubungan bisnis dengan perusahaan bersangkutan tetapi secara makro juga mempengaruhi kondisi perekonomian suatu negara. Bahkan dalam beberapa kasus ada  

penyimpangan korporasi yang secara global mempengaruhi perekonomian internasional. Hal ini disebabkan semakin banyaknya perusahaan multinasional yang beroperasi di berbagai negara. Hingga penyimpangan di satu negara secara langsung akan mempengaruhi perusahaan afiliasinya di negara lain.  Kedua, publik semakin menyadari bahwa penyimpangan korporasi sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh manajer perusahaan tetapi melibatkan pemilik (owner), auditor internal, komisaris, regulator (pemerintah dan asosiasi profesi), dan akuntan publik. Hingga kasus-kasus penyimpangan itu seolah merupakan ajang konspirasi antara manajer dan semua pihak yang mempunyai hubungan dengan perusahaan itu. Auditor internal dan komisaris yang seharusnya mengarahkan manajer agar berjalan sesuai dengan aturan justru merestui manajer melanggar aturan yang ada untuk mengamankan posisi dan rejekinya. Sementara regulator yang seharusnya mempersiapkan berbagai regulasi agar kehidupan bisnis yang bertanggung jawab dapat terwujud justru bekerja sama dengan perusahaan yang melakukan penyimpangan itu. sedang  akuntan publik yang seharusnya menjadi garda terdepan untuk menciptakan kehidupan bisnis yang bersih justru menjadi ligimator penyimpangan-penyimpangan itu. Inilah yang mengakibatkan dunia bisnis seolah-olah telah menjadi sarang kolusi, korupsi, dan perbuatan tercela lainnya yan\g merugikan publik.   


    Ketiga, semakin kasus penyimpangan itu tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang yang sistem bisnisnya memang belum terbangun dengan baik, namun juga di negara-negara maju yang sistemnya relatif telah tertata dengan baik. Sebagai contoh adalah kasus-kasus penyimpangan korporasi yang mengakibatkan krisis ekonomi berkepanjangan di Indonesia, negara yang dengan sistem bisnisnya belum tertata dengan baik. Contoh lain adalah skandal keuangan Enron, Worldcom,dan Xerox yang meruntuhkan KAP Arthur Anderson dan Co yang terjadi di Amerika Serikat, negara  

yang dikenal dengan mempunyai  sistem bisnis paling baik di seluruh dunia. Maka sangat bisa dimengerti jika pada akhirnya publik mempertanyakan dan meragukan etika, moral, dan tanggung jawab para pelaku dunia usaha. Mudah dimengerti juga jika publik mempertanyakan dan meragukan kelayakan berbagai regulasi yang dipakai untuk mengatur dunia usaha, termasuk standar akuntansi dan auditing.  Selain ketiga hal di atas sebenarnya ada hal lain yang cukup esensial untuk dijelaskan mengapa bisnis seakan telah berubah menjadi sarang pesakitan seperti saat ini. Sebagai sub sistem dari sistem kehidupan berbangsa dan bernegara maka apa yang terjadi dan dilakukan oleh dunia bisnis tidak bisa dilepaskan dengan situasi dan kondisi negara bersangkutan. Pemerintahan yang tidak bersih akan menghasilkan kehidupan bisnis yang tidak bersih pula. Atau sebaliknya, bisnis yang tidak bersih akan mengakibatkan sistem pemerintahan yang tidak bersih pula. Para pengusaha terpaksa harus mau bekerja “tahu sama tahu” dengan penguasa agar apa yang dikerjakannya tidak menemui hambatan. Oleh sebab itu bisa dikatakan bahwa salah satu penyebab penyimpangan korporasi yang selama ini terjadi adalah political cost yang selama ini harus ditanggung oleh dunia usaha.  Namun demikian bukan berarti dunia usaha dapat melepaskan diri dan cuci tangan dari tanggung jawabnya untuk menciptakan kehidupan bisnis yang bersih dan bertanggung jawab. Sebagai pelaku, dunia usaha tetap merupakan garda terdepan dalam menciptakan kehidupan bisnis yang bersih dan bertanggung jawab. Apalagi bagi publik dunia usaha tetap merupakan pihak yang paling bertanggung jawab dalam membangun bisnis yang bersih dan sehat. Publik pun tetap akan menuntut dunia usaha sebagai pihak yang harus berperan aktif untuk mewujudkan bisnis yang adil (fairness), transparansi (transparancy), akuntabilitas (accountability), dan responsibilitas (responsibility) ini. Publik tetap akan menuntut dunia usaha agar memenuhi kewajiban susaha  akuntabilitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Hingga secara adil dan transparan publik dapat menerima hak sebagaimana mestinya. Oleh sebab itu mendorong keadilan, transparansi, akuntabilitas, dan responsibilitas merupakan syarat mutlak untuk menciptakan kehidupan bisnis yang sehat, bersih, dan bertanggung jawab.      

A.  KONSEP, DEFINISI, DAN PENERAPAN A.1.  KONSEP DAN DEFINISI Konsep good corporate governance berkembang seiring dengan tuntutan publik yang menginginkan terwujudnya mewujudkan kehidupan bisnis yang sehat, bersih, dan bertanggung jawab. Tuntutan ini sebenarnya merupakan jawaban publik terhadap semakin maraknya kasus-kasus penyimpangan korporasi di seluruh dunia. Selain itu tuntutan ini juga mencerminkan keheranan publik mengapa kasus penyimpangan korporasi bisa terjadi dimanapun juga. Tidak hanya di negara-negara yang sistem bisnisnya memang belum tertata tetapi juga terjadi di negara-negara yang sistem bisnisnya yang telah tertata dengan baik, bahkan di negara dimana konsep ini pertama kali dikembangkan, yaitu Amerika Serikat. Publik pun bertanya-tanya mengapa penyimpangan korporasi seolah merupakan ajang konspirasi semua pihak yang mempunyi hubungan dengan perusahaan. Publik juga mempertanyakan mengapa kasus penyimpangan ini justru semakin marak sejalan dengan diterapkan dan dipraktikkannya konsep-konsep manajemen modern dalam pengelolaan dunia usaha. Ada yang perlu digarisbawahi sejalan dengan perkembangan dunia usaha sejak awal abad 20, yaitu berkembangnya konsep-konsep pengelolaan perusahaan secara modern. Dalam era modernitas dimana usaha semakin menggurita, baik dalam skala operasi maupun lokasi, pemilik tidak mungkin mengelola sendiri usahanya. Pemilik membutuhkan orang lain yang dipercaya untuk membantu menjalankan usaha itu. Bahkan dalam skala dan kapasitas tertentu saat  tidak mungkin melaksanakan sendiri, pemilik tidak lagi hanya membutuhkan orang lain untuk membantu namun secara penuh akan diserahi tanggung jawab untuk mengelola sebagian atau seluruh usahanya. Hal ini dilakukan agar perusahaan dapat dikelola dengan lebih baik oleh orang yang lebih mengerti bagaimana menjalankan perusahaan secara profesional. Selanjutnya pemilik hanya mengawasi dan mengendalikan tenaga-tenaga profesional itu agar tetap bekerja untuk meningkatkan nilai perusahaan dan kemakmurannya. Hal ini sejalan dengan agensi teori dalam konsep manajemen korporasi modern yang menekankan pentingnya pemisahan pemilik dan pengelola. Tujuan dari dipisahkannya pengelolaan dari kepemilikan ini yaitu agar pemilik perusahaan memperoleh keuntungan yang maksimal dengan biaya yang lebih efisien sebab  perusahaan telah dikelola oleh orang-orang profesional. Untuk menjalankan  

tugasnya maka para profesional ini diberi wewenang dan memiliki keleluasaan secara penuh dalam mengelola perusahaan. Hingga dalam konsep ini para profesional berperan sebagai agen (agent) yang mewakili kepentingan pemilik untuk menjalankan tugas mengelola perusahaan. Sebagai balasan atas kerjanya maka maka agen akan menerima penghargaan berupa gaji dan bonus sesuai dengan kinerja yang dicapainya. Artinya, semakin besar laba yang diperoleh perusahaan semakin besar pula penghargaan yang akan diterima agen itu. sedang  pemilik perusahaan bertugas untuk mengawasi dan memonitor jalannya perusahaan untuk memastikan bahwa mereka bekerja demi kepentingan perusahaan, mengembangkan sistem insentif, dan meminta pertanggungjawaban atas apa yang telah dikerjakan agen itu.  Namun ada di sisi segi negatif dari pemisahan kepemilikan dan pengelolaan perusahaan ini. Wewenang dan keleluasaan agen dalam memaksimalkan laba perusahaan mengarah pada proses memaksimalkan kepentingan pribadi dengan biaya yang harus ditanggung oleh pemilik perusahaan. Agen yang seharusnya bekerja untuk meningkatkan kepentingan dan kesejahteraan pemilik justru bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan pribadinya. usaha  untuk meningkatkan nilai perusahaan tidak lagi mencerminkan kinerja agen yang sesungguhnya, namun telah direkayasa sedemikian rupa sehingga menjadi lebih baik sesuai dengan keinginan agen. bila  penghargaan untuk agen ditentukan berdasarkan kinerja yang dicapainya maka agen akan memperoleh gaji dan bonus yang relatif lebih tinggi dibandingkan penghargaan sesungguhnya. Inilah disebut dengan permasalahan agensi (agency problem) dalam pengelolaan korporasi modern.  Secara konseptual permasalahan agensi inilah sumber dari segala penyimpangan korporasi yang selama ini terjadi di dunia usaha. Meski permasalahan agensi ini selalu muncul dalam setiap sistem pengelolaan korporasi modern namun bukan berarti bad (poor) corporate governance bisa ditolelir. Apalagi secara empiris banyak bukti yang menunjukkan bahwa penyimpangan-penyimpangan ini telah mengakibatkan rusaknya tatanan ekonomi, etika, dan moral, selain kerugian material yang terpaksa harus ditanggung oleh publik. Sebagai contoh adalah kasus Union Carbide di India yang membuat ratusan manusia tewas sia-sia. Hanya untuk menekan biaya produksi perusahaan ini mengoperasikan mesin produksinya secara nonstop tanpa pengawasan yang memadai, sehingga kebocoran di tangki penyimpanan bahan beracun tidak   

diketahui secara cepat. Akibatnya, bahan beracun itu menyebar ke pemukiman penduduk sekitar perusahaan itu. Selain kasus ini masih ada berbagai kasus lain yang pada akhirnya mendorong dikembangkan konsep good corporate governance agar dunia usaha dapat dikelola secara lebih profesional, bersih, dan bertanggung jawab. 


 

  Secara definitif good corporate governance diartikan sebagai sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan agar perusahaan itu menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder-nya. Untuk itu ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini, yaitu hak pemegang saham yang harus dipenuhi perusahaan dan kewajiban yang harus dilakukan perusahaan. Pemegang saham mempunyai hak untuk memperoleh semua informasi mengenai secara akurat dan tepat waktu. Artinya, semua pemegang saham tanpa terkecuali mempunyai hak yang sama untuk memperoleh informasi yang sama (fairness). Tidak ada informasi yang disembunyikan dari  

pemegang saham tertentu untuk kepentingan pribadi pihak-pihak lain (transparancy). sedang  perusahaan mempunyai kewajiban untuk mengungkapan semua informasi mengenai kinerja perusahaan secara akurat, tepat waktu, dan transparan. Artinya, perusahaan mempunyai tanggung jawab untuk menginformasikan semua apa yang telah dilakukan dan dicapai perusahaan selam satu periode tertentu  (responsibility). Apa yang diinformasikan oleh perusahaan kepada publik harus dapat dipertanggungjawaban kebenaran dan keakuratannya, serta tidak ada sesuatu yang disembunyikan dari publik (accountability).  Selain itu stakeholder mempunyai hak untuk memperoleh semua informasi mengenai secara akurat dan tepat waktu. Artinya, semua pemegang saham tanpa terkecuali mempunyai hak yang sama untuk memperoleh informasi yang sama (fairness). Tidak ada informasi yang disembunyikan dari pemegang saham tertentu untuk kepentingan pribadi pihak-pihak lain (transparancy). sedang  perusahaan mempunyai kewajiban untuk mengungkapan semua informasi mengenai kinerja perusahaan secara akurat, tepat waktu, dan transparan. Artinya, perusahaan mempunyai tanggung jawab untuk menginformasikan semua apa yang telah dilakukan dan dicapai perusahaan selam satu periode tertentu  (responsibility). Hal yang lebih penting lagi adalah apa yang diinformasikan oleh perusahaan kepada publik harus dapat dipertanggungjawaban kebenaran dan keakuratannya, serta tidak ada sesuatu yang disembunyikan dari publik (accountability).  Definisi di atas sejalan dengan pernyataan Asian Development Bank (ADB) 

1. Ada ketidakselaran kepentingan Ada ketidakselarasan kepentingan antara pemegang saham mayoritas (controlling shareholder) dan minoritas. Ketidakselarasan ini disebabkan kemampuan pemegang saham mayoritas untuk mengendalikan manajer sesuai dengan kepentingannya. Sebagai pemilik hak suara mayoritas, pemegang saham ini akan memilih manajer yang dapat mewakili kepentingannya. Secara konseptual kepemilikan yang terkonsentrasi memang mengakibatkan kelompok ini mempunyai akses yang besar untuk mengintervensi keputusan manajerial, yang seringkali merugikan dan melanggar asas akuntabilitas dan keadilan pemegang saham minoritas. Apalagi jika intervensi-intervensi ini dilakukan untuk kepentingan pribadi dan bukan kepentingan stakeholder yang lain.   sedang  di sisi lain lemahnya budaya litigasi dikalangan pemegang saham minoritas mengakibatkan kelompok ini cenderung mengalah daripada memperjuangkan haknya. Lemahnya posisi pemegang saham minoritas ini pada akhirnya mengakibatkan akses dan sumber terhadap informasi mengenai keuangan, manajemen, dan operasional perusahaan menjadi sangat terbatas. Inilah membuat unsur keadilan dan transparansi informasi tidak dapat terwujud dengan baik. Apalagi jika manajer perusahaan merupakan kepanjangan dari pemegang saham matoritas, sehingga apapun yang dilakukannya hanya untuk memenuhi kepentingan pemegang saham ini. 2. Munculnya permasalahan agensi Munculnya permasalahan agensi antara manajer dan pemilik perusahaan, khususnya untuk perusahaan yang kepemilikannya menyebar (manager controlled). Kepemilikan seperti ini menyebabkan tidak ada pemegang saham mayoritas yang dapat mengintervensi wewenang manajer perusahaan, sehingga semua pemegang saham mempunyai hak suara yang relatif sama antara satu dengan yang lain. Akibatnya, pemegang saham kesulitan dalam mengawasi dan mengendalikan manajer. Hal ini membuat manajer mempunyai keleluasaan penuh untuk mengelola perusahaan sesuai dengan kepentingannya. Manajer tidak lagi bekerja untuk mewakili kepentingan dan demi kesejahteraan pemegang saham tetapi bekerja untuk mengoptimalkan kesejahteraannya sendiri. Lemahnya posisi pemegang saham pada akhirnya mengakibatkan akses dan sumber terhadap informasi mengenai keuangan,  

manajemen, dan operasional perusahaan menjadi sangat terbatas. Hingga membuat unsur akuntabilitas dan responsibilitas informasi tidak dapat terwujud dengan baik. 3. Good corporate governance harus memberi perlindungan Sistem corporate governance yang baik seharusnya dapat memberikan perlindungan kepada pemegang saham dan kreditor melalui mekanisme internal maupun lewat eksternal perusahaan. Sebab sistem pengawasan dan pengendalian yang baik sebenarnya  harus melibatkan auditor internal dan komisaris (internal) serta akuntan publik (eksternal) secara penuh dan bertanggung jawab. Tetapi yang justru sebaliknya, internal dan eksternal perusahaan yang seharusnya mengawasi dan mengontrol jalannya perusahaan ternyata tidak melaksanakan tugas dan wewenangnya secara optimal. Apalagi jika manajer perusahaan merupakan pihak yang cukup cerdas untuk menjinakkan dan memuaskan kedua pihak itu agar bersedia menerima berbagai kebijakannya. Kuatnya posisi manajer ini pada akhirnya mengakibatkan akses dan sumber pemegang saham terhadap informasi mengenai keuangan, manajemen, dan operasional perusahaan menjadi sangat terbatas. Hingga membuat unsur keadilan, transparansi, akuntabilitas, dan responsibilitas informasi tidak dapat terwujud dengan baik. Definisi good corporate governance lain diungkapkan oleh Centre for European Policy Studies (CEPS). Organisasi mendefinisikan good corporate governance sebagai seluruh sistem hak, proses, dan pengendalian yang dibentuk didalam dan diluar manajemen dengan tujuan untuk melindungi kepentingan stakeholder. Hak merupakan wewenang yang dimiliki oleh stakeholder untuk mempengaruhi manajemen. Proses merupakan mekanisme implementasi hak ini . sedang  pengendalian merupakan mekanisme yang memungkinkan stakeholder untuk mendapatkan informasi berbagai aktivitas yang dilakukan perusahaan. Meski secara definitif ada perbedaan pengertian antara satu definisi dengan definisi yang lain namun ada benang merah yang dapat ditarik, yaitu pentingnya pengelola perusahaan untuk adil, transparansi, akuntabilitas atau dapat dipertanggungjawabkan, dan responsibilitas atau pertanggungjawaban sebagai usaha  untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan pemegang saham tanpa mengabaikan kepentingan stakeholder.   

   Corporate Governance   Meskipun secara definitif berbeda, namun ada benang merah antara satu definisi dengan definisi yang lain. Setiap definisi menekankan pentingnya keadilan, transparansi, akuntabilitas, dan responsibilitas untuk setiap pihak yang mempunyai hubungan dengan perusahaan. Ada harapan yang ingin diraih dengan menerapkan keempat prinsip secara konsisten, yaitu terwujudnya kehidupan bisnis yang sehat, bersih, dan bertanggung jawab.  1. Keadilan   Keadilan merupakan perlindungan terhadap hak seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas (minority shareholder), untuk memperoleh informasi secara tepat waktu dan teratur, memberikan suara dalam rapat pemegang saham, memilih direksi dan komisaris, dan pembagian laba perusahaan. Selain itu keadilan juga menekankan pentingnya perlindungan untuk pemegang saham dari berbagai penyimpangan orang dalam perusahaan, misalnya praktek insider trading, self-dealing, keputusan manajer lain yang merugikan kepentingan seluruh pemegang saham, dan konflik kepentingan dalam menetapkan peran dan tanggung jawab dewan komisaris, manajer (direksi), dan komite, termasuk sistem renumerasi, menyajikan dan mengungkapkan informasi secara wajar.  2. Transparansi  Transparansi merupakan pengungkapan (disclosure) setiap kebijakan atau aturan yang (akan) diterapkan perusahaan, sebab kepercayaan investor dan efisiensi pasar 

 

sangat tergantung dari pengungkapan kinerja perusahaan secara adil, akurat, dan tepat waktu. Ada beberapa hal yang harus dilakukan perusahaan untuk mewujudkan prinsip ini, yaitu: a. Mengembangkan sistem akuntansi yang berbasis standar akuntansi yang diterima secara umum dan best practices yang menjamin adanya laporan keuangan dan pengungkapan yang berkualitas.  b. Mengembangkan teknologi informasi (information technology) dan sistem informasi manajemen (management information system) untuk menjamin adanya pengukuran kinerja yang memadai dan proses pengambilan keputusan yang efektif oleh komisari dan manajer.  c. Mengembangkan manajemen resiko korporasi (enterprise risk management) untuk memastikan bahwa semua resiko telah diidentifikasi, diukur, dan dapat dikelola pada tingkat yang jelas.  d. Mengumumkan jabatan yang kosong, agar setiap pihak mengetahuinya. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi pengangkatan pejabat perusahaan dengan cara-cara yang kolutif atau nepotisme. 3. Akuntabilitas   Akuntabilitas didasarkan pada sistem internal checks and balances yang mencakup praktik audit yang sehat dan dicapai melalui pengawasan yang efektif yang didasarkan pada keseimbangan kewenangan antara pemegang saham, komisaris, manajer, dan auditor. Ada beberapa hal yang harus dilakukan perusahaan untuk mewujudkan prinsip ini, yaitu: a. Perusahaan dituntut untuk menyiapkan laporan keuangan pada waktu dan cara yang tepat.  b. Perusahaan harus mengembangkan komite audit dan resiko untuk mendukung fungsi pengawasan yang dijalankan oleh dewan komisaris.  c. Perusahaan harus mengembangkan dan merumuskan kembali peran dan fungsi auditor internal sebagai mitra bisnis strategis berdasarkan best practices.  d. Perusahaan harus menjaga manajemen kontrak yang bertanggung jawab dan menangani pertentangan. e. Perusahaan harus memakai  jasa auditor eksternal yang profesional.     

4. Responsibilitas  Responsibilitas merupakan tanggung jawab perusahaan untuk mematuhi hukum dan perundang-undangan yang berlaku, termasuk ketentuan mengenai lingkungan hidup, perlindungan konsumen, perpajakan, ketenagakerjaan, larangan monopoli dan praktik persaingan yang tidak sehat, kesehatan dan keselamatan kerja, dan peraturan lain yang mengatur kehidupan perusahaan dalam menjalankan aktivitas usahanya.  Agar semua prinsip-prinsip yang tercakup dalam good corporate governance ini dapat berjalan secara efektif maka diperlukan sistem pengawasan dan pengendalian yang memadai dalam pengelolaan sebuah perusahaan. Untuk itu setiap perusahaan mempunyai kewajiban untuk membentuk sistem pengawasan dan pengendalian sesuai aturan yang berlaku untuk mewujudkan kehidupan bisnis yang bersih, sehat, dan bertanggung jawab. Secara konseptual pengawasan dan pengendalian ini dapat terlaksana dengan baik bila  dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai independensi dengan kepentingan manajer perusahaan. Artinya, orang-orang ini tidak mempunyai ikatan kepentingan yang dapat mengakibatkannya tidak bebas dari tekanan dan intevensi manajerial. Seluruh tindakan dan keputusan yang dibuatnya harus lepas dari kepentingan manajer, apalagi jika hal itu menyangkut kepentingan stakeholder.  Untuk membangun sistem pengawasan dan pengendalian yang efektif dalam suatu perusahaan ada dua pihak yang diperlukan, yaitu komite audit (audit committee) dan komisaris independen (board of director). Komite audit merupakan pihak yang mempunyai tugas untuk membantu komisaris dalam rangka peningkatan kualitas laporan keuangan dan peningkatan efektivitas internal dan eksternal audit. sedang  komisaris independen merupakan pihak yang mempunyai tanggung jawab untuk mendorong diterapkannya prinsip good corporate governance di dalam perusahaan melalui pemberdayaan dewan komisaris agar dapat melakukan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada manajer secara efektif dan lebih memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Meski setiap pihak mempunyai tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang berbeda namun pada prinsipnya kedua pihak ini mempunyai tujuan yang serupa, yaitu mewujudkan kehidupan bisnis yang bersih, sehat, dan bertanggung jawab.       1. Komite Audit Secara konseptual komite audit bertugas melakukan pengawasan untuk meningkatkan efektivitas dalam menciptakan keterbukaan dan pelaporan keuangan  

yang berkualitas, ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan pengawasan internal yang memadai. Untuk itu ada beberapa aspek penting pengawasan yang harus dilakukan komite audit untuk mewujudkan kehidupan bisnis yang sehat, bersih, dan bertanggung jawab, yaitu:  a. Penyusunan laporan keuangan. Secara konseptual pihak yang bertanggung jawab untuk menyusun laporan keuangan adalah manajer dan dewan komisaris. sedang  komite audit melaksanakan pengawasan independen atas proses penyusunan laporan keuangan dan pelaksanaan audit ekstern untuk memastikan bahwa laporan keuangan yang dibuat manajer telah mengungkapkan informasi kondisi keuangan, hasil usaha, serta rencana dan komitmen jangka panjang yang sesungguhnya. Untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan maka komite audit berperan dan mempunyai tanggung jawab:  § Melakukan pengawasan apakah proses penyusunan pelaporan keuangan telah sesuai dengan standar dan kebijaksanaan keuangan. § Menelaah apakah laporan keuangan telah sesuai dengan standar dan kebijaksanaan serta konsisten dengan informasi lain yang diketahui oleh komite audit. § Melakukan pengawasi terhadap pelaksanaan audit laporan keuangan oleh auditor eksternal dan menilai mutu pekerjaan dan kewajaran biaya audit (auditor’s fee) yang diajukan oleh auditor eksternal. b. Manajemen risiko dan pengendalian. Secara konseptual manajer dan dewan komisaris mempunyai tanggung jawab terhadap manajemen risiko dan kontrol perusahaan. sedang  komite audit memberikan pengawasan independen atas proses pengelolaan risiko dan kontrol, khususnya untuk berbagai hal yang mempunyai potensi risiko, pemberdayaan sistem pengendalian intern, serta pemantauan terhadap proses pengawasan yang dilakukan auditor internal. bila  menemukan pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku maka komite audit mempunyai kewajiban untuk melaporkannya kepada dewan komisaris. Untuk itu komite audit mempunyai peran dan tanggung jawab untuk: § Melakukan pengawasan terhadap proses pengelolaan risiko dan kontrol, serta mengidentifikasi risiko dan evaluasi kontrol untuk meminimalisasi risiko.  

§ Menilai ruang lingkup pemeriksaan auditor internal dan eksternal untuk memastikan bahwa semua bidang berisiko dan memerlukan pengendalian telah dikerjakan. § Memastikan bahwa manajer telah melaksanakan semua rekomendasi mengenai risiko dan pengendalian itu. c. Corporate governance. Secara konseptual direksi dan dewan komisaris merupakan pihak yang bertanggungjawab atas pelaksanaan corporate governance. sedang  komite audit mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan pengawasan independen atas proses pelaksanaan corporate governance suatu perusahaan, khususnya untuk memastikan bahwa perusahaan telah dijalankan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melaksanakan usaha secara beretika, dan melaksanakan secara efektif terhadap benturan kepentingan atau kecurangan yang dilakukan oleh karyawan atau menajer perusahaan. Untuk itu komite audit mempunyai peran dan tanggung jawab untuk: § Melakukan pengawasan terhadap proses penerapan corporate governance. § Memastikan bahwa manajer senior secara aktif mensosialisasikan budaya corporate governance. § Memonitor bahwa code of conduct telah dilaksanakan secara konsekuen. § Memahami semua pokok persoalan dan issues yang mungkin dapat mempengaruhi kinerja finansial maupun non finansial perusahaan. § Memantau bahwa perusahaan telah mematuhi peraturan perundang-undang yang berlaku. § Mewajibkan auditor internal melaporkan secara tertulis hasil evaluasi pelaksanaan corporate governance dan temuan lainnya. Oleh sebab itu secara singkat fungsi komite audit adalah untuk menciptakan iklim disiplin dan kontrol yang akan mengurangi kemungkinan terjadinya penyelewengan-penyelewengan. Fungsi lainnya adalah untuk memperkuat posisi auditor internal dengan memperkuat independensinya dari manajer. Hingga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap kelayakan dan objektifitas laporan keuangan serta meningkatkan kepercayaan terhadap adanya kontrol internal yang lebih baik.  

2. Komisaris Independen Ada beberpa misi yang diemban komisaris independen untuk mewujudkan kehidupan bisnis yang sehat, bersih, dan bertanggung jawab, pertama, mendorong terciptanya iklim yang objektif dan keadilan untuk semua kepentingan sebagai prinsip utama pembuatan keputusan manajerial. Kedua, mendorong diterapkannya prinsip dan praktek good corporate governance di Indonesia. Ketiga, bertanggung jawab untuk mendorong diterapkannya prinsip good corporate governance melalui pemberdayaan dewan komisaris agar dapat melakukan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada manajer secara efektif dan lebih memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Untuk itu ada beberapa tugas dan tanggung jawab yang harus dilakukan oleh komisaris independen, yaitu memastikan bahwa perusahaan:  a. Memiliki strategi bisnis yang efektif, termasuk memantau jadwal, anggaran dan efektifitas strategi itu. b. Mengangkat eksekutif dan manajer-manajer profesional. c. Memiliki informasi, sistem pengendalian, dan sistem audit yang bekerja dengan baik. d. Mematuhi hukum dan perundangan yang berlaku maupun nilai-nilai yang ditetapkan perusahaan dalam menjalankan operasinya. e. Resiko dan potensi krisis selalu diidentifikasikan dan dikelola dengan baik. f. Prinsip-prinsip dan praktek good corporate governance  dipatuhi dan diterapkan dengan baik, khususnya: § Menjamin transparansi dan keterbukaaan laporan keuangan perusahaan. § Perlakuan yang adil untuk pemegang saham minoritas dan stakeholder lain. § Diungkapkannya transaksi yang mengandung konflik kepentingan secara wajar dan adil. § Kepatuhan perusahaan pada perundangan dan peraturan yang berlaku.  § Menjamin akuntabilitas organ perseroan.

  A.2.  GOOD CORPORATE GOVERNANCE DI INDONESIA Good corporate governance mulai menarik perhatian publik Indonesia sejak 1998-an saat  krisis ekonomi melanda negara ini. Apalagi saat  Asian Development Bank (ADB), Political and Economic Risk Consultancy (PERC), Booz-Allen &  

Hamilton, World Bank, dan PricewaterhouseCoopers menyimpulkan bahwa salah satu penyebab krisis ekonomi ini adalah tidak dipenuhinya syarat-syarat pengelolaan korporasi yang memadai. Ada beberapa faktor yang ditengarai sebagai penyebab, yaitu sistem regulasi yang lemah, standar akuntansi dan audit yang inkonsisten, dan praktek perbankan yang buruk. Kondisi ini mirip yang terjadi di Inggris pada akhir dasawarsa 1980-an saat  good corporate governance menjadi perhatian publik sebagai akibat publisitas masalah-masalah korporasi, seperti creative accounting, kebangkrutan perusahaan dalam skala yang sangat besar, penyalahgunaan dana stakeholder oleh para manajer, terbatasnya peran auditor, tidak jelasnya kaitan antara kompensasi manajer dengan kinerja perusahaan, dan merger dan akuisisi yang merugikan perekonomian secara keseluruhan. Oleh sebab itu sejalan dengan letter of intent (LOI) International Monetary Fund (IMF), yang salah satu bagian pentingnya adalah pencantuman jadwal perbaikan pengelolaan dunia usaha, perusahaan-perusahaan, Indonesia mulai menerapkan prinsip good corporate governance. Untuk itu pemerintah menekankan pentingnya dunia usaha di Indonesia untuk menerapkan standar good corporate governance seperti yang diterapkan di tingkat internasional. Alasannya, Indonesia merupakan negara terburuk dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya dalam mewujudkan kehidupan bisnis yang sehat, bersih, dan bertanggung jawab. Namun meski menyadari pentingnya good corporate governance, saat ini masih sedikit perusahaan yang menerapkan prinsip ini. Masih banyak perusahaan menerapkan prinsip good corporate governance sebab  dorongan regulasi dan menghindari sanksi yang ada dibandingkan yang menganggap prinsip ini sebagai bagian dari kultur perusahaan.      

 Sumber: Daniri, 2000. Tabel 5.2 Score on Good Corporate Governance  Ada banyak kasus penyelewengan korporasi yang dapat dijadikan contoh betapa buruknya pengelolaan dunia usaha (bad corporate governance) di Indonesia. Sebagai contoh adalah pemakaian nama perusahaan untuk mendapatkan pinjaman pribadi manajer yang memperoleh back up dari pemegang saham mayoritas. Meski demikian anggota direksi (manajer) yang lain tidak melaporkannya kepada akuntan publik mengenai transaksi itu saat  perusahaan diaudit.  Hal ini disebabkan setiap orang merasa lebih baik diam untuk mengamankan posisi dan kepentingannya. Hingga seolah-olah penyelewengan menjadi konspirasi yang melibatkan semua unsur manajer perusahaan. Namun hal ini mengakibatkan laporan keuangan yang disampaikan kepada publik menjadi misleading sebab  tidak memuat informasi yang benar. Pihak yang memakai  informasi ini menjadi tertipu dan keputusan yang dibuatnya pun menjadi keliru pula.    Tabel 5.3 Kasus Good Corporate Governance di Indonesia Perusahaan Kasus Sinar Mas Group Melakukan pelanggaran kegagalan mengumumkan kepada publik informasi material berupa penandatanganan perjanjian penyelesaian dengan krediturnya, tidak mengumumkan laporan keuangan tahunan, dan tidak menginformasikan kepada Bapepam mengenai gugutan piutang dagang dalam jumlah yang cukup material. Indomobil Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan bahwa tender penawaran saham perusahaan ini mengandung praktik persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh pemenang tender bekerja sama dengan penjual, penasehat keuangan, dan pendamping tender. Kimia Farma Perusahaan diduga melakukan mark up laporan keuangan, yaitu menggelembungkan laba sebesar Rp 32,668 milyar. Kasus ini menyeret KAP yang mengaudit perusahaan ini meskipun KAP ini yng berinisiatif melaporkan adanya overstated itu.  Lippo Bank Menerbitkan 3 versi laporan keuangan sekaligus yang saling berbeda antara satu dengan yang lain, yaitu laporan keuangan yang dipublikasikan dalam media massa, laporan keuangan yang dilaporkan kepada Bapepam, dan laporan keuangan yang  

disampaikan akuntan publik kepada manajer perusahaan ini. Selain itu, perusahaan ini dinilai telah mencantumkan pendapatan audit secara tidak hati-hati. Sumber: Dikumpulkan dari berbagai sumber, 2005.  Kasus-kasus di atas ini terjadi sebagai sebagai akibat lemahnya budaya pengawasan dan pengendalian dunia usaha di Indonesia. Semua pihak, internal maupun eksternal, tidak melakukan tugasnya sebagaimana mestinya. Pemegang saham dan komisaris yang seharusnya mengawasi dan mengendalikan manajer jarang memakai  kewenangannya. Sementara manajer pun cukup cerdas untuk menjinakkan dan memuaskan pemegang saham dan komisaris agar selalu bersedia menerima semua kebijakan yang diputuskannya. Apalagi jika semua unsur manajer mewakili kepentingan pemegang saham mayoritas yang mengakibatkan terjadinya intervensi terhadap berbagai kebijakan manajerial dari pemegang saham itu yang merugikan pemegang saham minoritas. Kondisi ini rawan terjadi sebab  pasar modal Indonesia merupakan emerging market dengan ciri utama kepemilikan yang terkonsentrasi pada kelompok tertentu (closely held). Akibatnya, pemegang saham mayoritas mempunyai akses yang besar untuk mempengaruhi keputusan manajerial yang seringkali merugikan dan melanggar asas akuntabilitas dan keadilan pemegang saham minoritas.  Untuk itulah pemerintah Indonesia membentuk Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) yang bertugas menyiapkan kerangka dasar pelaksanaan good corporate governance, termasuk memperbaiki kerangka hukum, institusional, dan peraturan untuk pengelolaan korporasi. Bahkan selain mereposisi peran Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dan Bank Indonesia, komite ini juga memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk mengamandemen beberapa undang-undang (UU) untuk menampung aspek good corporate governance, yaitu UU Perseroan Terbatas, UU WDP, UU Pasar Modal, dan UU Perbankan. Bursa Efek Jakarta (BEJ), sebagai tempat bernaungnya  perusahaan-perusahaan public di Indonesia, secara khusus juga telah mengeluarkan peraturan tentang keharusan perusahaan publik untuk mengangkat komisaris independen dan pembentukan komite audit serta compliance officer untuk mendukung terlaksananya usaha  penerapan prinsip good corporate governance di Indonesia. 

Selain itu beberapa usaha  lain adalah melaksanakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman para pelaku bisnis dan pengelola korporasi mengenai good corporate governance. Harus diakui bahwa semua perangkat hukum dan peraturan tidak akan ada artinya jika aspek lain yang berkaitan dengan pelaksanaan prinsip good coporate governance tidak ditangani dengan baik. Hal ini disebabkan prinsip yang terkandung dalam code of cood corporate governance pada dasarnya bersifat regulation driven, bukan ethics driven. Padahal pelaksanaan hukum dan aturan tidak bisa sekedar menggantung diri pada rules tetapi juga menggantungkan diri pada sikap etis para penganutnya. Apalagi mengingat bahwa proses pengembangan regulasi di Indonesia terkadang menimbulkan “kekosongan-kekosongan” yang tidak dapat diisi oleh rules and regulation dengan baik. Hingga dalam rangka pelaksanaan good corporate governance aspek etis merupakan faktor yang juga harus dipahami oleh para pengelola korporasi di Indonesia. Apalagi sudah bukan jamannya lagi perusahaan melakukan bisnis berdasarkan faktor-faktor non business considerations (misalkan monopoli, fasilitas, proteksi, kolusi, dan lain-lain) yang menyebabkan high cost economy dan cenderung mengingkari prinsip-prinsip good corporate governance serta sound business practices. Selain itu, usaha  untuk menciptakan judiciary system yang independen, berintegritas, serta memahami perubahan yang ada diperlukan untuk menampung dan memberikan rasa keadilan bagi pencari keadilan. Pembentuk undang-undang harus memahami bahwa dunia usaha memerlukan pengaturan yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha, apalagi mengingat dunia usaha Indonesia saat ini sedang dalam proses recovery akibat krisis dan dampak globalisasi.   usaha  lain yang telah dilakukan di Indonesia adalah pemantauan atas implementasi good corporate governance untuk memonitor kepatuhan korporasi terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip ini  melalui pemberian Annual Report Award (ARA). Penghargaan yang diberikan oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), PT. Bursa Efek Jakarta (BEJ), Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), dan KNKCG pada prinsipnya diserahkan kepada perusahaan publik yang dinilai telah memberikan informasi yang paling terbuka dalam laporan keuangan tahunnya dibandingkan perusahaan-perusahaan lain. Penghargaan ini diberikan kepada perusahaan yang  

memenuhi kriteria kelengkapan dalam penyajian laporan keuangannya, khususnya untuk informasi mengenai profil perusahaan, pengungkapan visi dan misi perusahaan berkaitan dengan pelaksanaan corporate governance, analisis dan pembahasan manajemen atas kinerja perusahaan, laporan keuangan yang sesuai dengan prinsip akuntansi dan ketentuan pasar modal yang berlaku, dan informasi lain yang relevan dengan kebutuhan stakehoder.  Namun pada akhirnya ada point yang harus digarisbawahi bahwa implementasi good corporate governance di Indonesia sangat tergantung dalam lingkungan good (public) governance secara umum. Atau dengan kata lain, usaha  mewujudkan good corporate governance merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari usaha  mewujudkan ketatanegaraan yang bersih dan responsif di Indonesia. Oleh sebab itu pemerintah harus selalu berusaha  untuk berpegang pada prinsip rule of law dan melaksanakan good governance untuk menciptakan iklim yang konduksif yang menunjang dunia usaha, sebab  penegakan hukum yang imparsial dan efektif atas penyimpangan dan kejahatan korporasi akan mencegah perusahaan untuk melakukan pelanggaran. Apalagi secara empiris juga terbukti bahwa salah satu faktor kegagalan dunia usaha untuk menciptakan kehidupan bisnis yang sehat, bersih, dan bertanggung jawab adalah political cost yang harus ditanggung perusahaan. Bahkan sedemikian tingginya biaya ini hingga mengakibatkan beberapa perusahaan multinasional memilih pindah dan merelokasikan usahanya di negara lain. Oleh sebab itu, meskipun dunia usaha tetap merupakan garda terdepan dalam menciptakan bisnis yang sehat, bersih, dan bertanggung jawab, pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk kehidupan bernegara yang sehat, bersih, dan bertanggung jawab. usaha -usaha  kontraproduktif yang selama ini terjadi harus dieliminir seminimal mungkin untuk membangun kembali integritas dan kredibilitas bisnis Indonesia yang hancur, khususnya di mata internasional. Alasannya, Indonesia membutuhkan masuknya investasi asing dan bukan sebaliknya, yaitu hengkangnya investasi asing keluar dari negara ini. Hal ini didasari kenyataan bahwa untuk membangun kembali perekonomian di negara ini sangat membutuhkan peranan investasi-investasi asing, khususnya investasi dari negara-negara maju.             

 

 B. GOOD CORPORATE GOVERNANCE DAN MANAJEMEN LABA Salah satu kegagalan dunia untuk menciptakan kehidupan bisnis yang sehat, bersih, dan bertanggung jawab adalah manajemen laba. usaha  untuk merekayasa informasi ini telah menjadi faktor yang menyebabkan laporan keuangan tidak lagi mencerminkan nilai fundamental suatu perusahaan. Laporan keuangan yang seharusnya berfungsi sebagai media komunikasi antara perusahaan dengan stakeholder menjadi kehilangan makna. Laporan keuangan tidak lagi secara obyektif menginformasikan apa yang telah dilakukan dan dialami perusahaan, sebab aktivitas rekayasa manajerial ini dimanfaatkan manajer untuk menyembunyikan kecurangan-kecurangan yang pernah dilakukannya. Bahkan manajemen laba juga dimanfaatkan manajer untuk merencanakan kecurangan-kecurangan yang akan dilakukannya di masa depan. Oleh sebab itu manajemen laba sebenarnya merupakan alat bagi manajer untuk mewujudkan kemauan dan keinginan pribadi. Sementara laporan keuangan merupakan media bagi manajer untuk mengekspresikan kemauan dan keinginan itu.        usaha  menyembunyikan kecurangan-kecurangan ini bukan sesuatu yang sulit untuk dilakukan sebab manajemen laba pada dasarnya dilakukan hanya dengan memanfatkan metode dan prosedur akuntansi. Menariknya, kecurangan sekecil atau sebesar apapun dapat disembunyikan dengan mudah tanpa harus melanggar aturan yang ada, yaitu prinsip akuntansi berterima umum. Meskipun demikian usaha  menyembunyikan kecurangan ini tidak mungkin dapat dilakukan perusahaan dalam jangka panjang. Apalagi secara konseptual sekali perusahaan melakukan kecurangan dan manajemen laba maka perusahaan itu akan melakukannya secara terus menerus. Alasannya, ibarat gali lubang tutup lubang maka sebuah kecurangan akan ditutupi dengan kecurangan lain. Oleh sebab itu meskipun dalam jangka pendek perusahaan masih mampu menutu-nutupi kecurangannya dengan manajemen laba, namun pada suatu saat perusahaan dengan sendirinya akan kehilangan kemampuan untuk melanjutkan usaha nya itu. Akibatnya, perusahaan akan mengalami kesulitan keuangan dan kolaps, bahkan bangkrut.  usaha  menyembunyikan kecurangan dengan kecurangan lain ini membuat unsur keadilan, transparansi, akuntabilitas, dan responsibilitas tidak mungkin dapat terwujud  

dalam pengelolaan sebuah perusahaan. Secara konseptual seorang manajer seharusnya menyediakan informasi mengenai perusahaan yang dikelolanya sama persis untuk semua stakeholder. Tidak ada perbedaan informasi antara satu pihak dengan pihak lain, meskipun setiap pihak akan memakai  informasi itu sesuai dengan kebutuhannya dan membuat keputusan yang berbeda. Namun aktivitas rekayasa manajerial dengan menyembunyikan informasi-informasi tertentu telah mengakibatkan laporan keuangan tidak netral dan menjadi berpihak hanya pada orang-orang tertentu, khususnya manajer perusahaan. Laporan keuangan tidak relevan lagi dengan kebutuhan stakeholder perusahaan, yang mengakibatkan stakeholder yang memakai nnya akan membuat keputusan strategis yang keliru.  Aktivitas rekayasa manajerial ini juga membuat laporan keuangan tidak transparansi lagi dalam menginformasikan apa yang telah dilakukan dan dialami perusahaan selama periode tertentu. usaha  menyembunyikan informasi ini membuat laporan keuangan hanya berisi informasi-informasi yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan manajer perusahaan. Sementara informasi yang tidak memberi manfaat bagi manajer akan disembunyikan atau diubah. Akibatnya, laporan keuangan tidak  relevan dan netral lagi dengan kepentingan dan kebutuhan stakeholder perusahaan. Selain itu, usaha -usaha  manajerial ini juga membuat laporan keuangan tidak menginformasikan secara konprehensif atau lengkap semua transaksi atau kejadian yang telah dilakukan dan dialami perusahaan bersangkutan. Atau dengan kata lain, laporan keuangan menjadi tidak layak lagi dipakai  sebagai dasar pembuatan keputusan ekonomis stakeholder perusahaan.       Secara konseptual laporan keuangan merupakan media pertanggungjawaban manajer kepada stakeholder perusahaan. Manajer memakai  laporan keuangan untuk mempertanggungjawabkan semua transaksi dan kejadian yang telah dilakukan dan dialaminya selama satu periode tertentu. Manajer harus mengungkapkan semua informasi dan tidak boleh menyembunyikan informasi tertentu sebab informasi ini akan dipakai  stakeholder perusahaan untuk membuat keputusan-keputusan ekonomis. Oleh sebab itu usaha  untuk merekayasa informasi akuntansi hanya membuat laporan keuangan tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai media pertanggungjawaban manajer kepada semua pihak yang mempunyai hubungan dan kepentingan dengan perusahaan. Inilah yang membuat informasi-informasi dalam laporan keuangan tidak  

dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan validitasnya. Laporan keuangan tidak mampu menjadi cermin tanggung jawab manajer dalam mengelola sebuah perusahaan.         Ada berbagai kerugian yang terpaksa harus ditanggung oleh berbagai pihak akibat manajemen laba itu. Pertama, perusahaan pada suatu saat akan kehilangan kemampuan untuk melanjutkan rekayasa keuangan ini, yang mengakibatkan perusahaan mengalami kesulitan keuangan. Bahkan, bila  hal ini dilakukan dalam jangka panjang maka perusahaan dapat mengalami kebangkrutan. Kedua, stakeholder yang memakai  laporan keuangan sebagai dasar membuat keputusan memperoleh informasi palsu sehingga keputusan-keputusan strategis dan ekonomis yang dibuatnya pun menjadi keliru. Kekeliruan semacam ini tidak hanya merugikan stakeholder bersangkutan tetapi secara tidak langsung juga harus ditanggung oleh publik yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan perusahaan. Alasannya, kekeliruan ini akan mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam mengalokasikan sumberdaya kepada pihak-pihak yang tidak tepat. bila  hal ini dilakukan dalam jangka panjang akan mempengaruhi perekonomian suatu negara. Inilah yang membuat mengapa manajemen laba menjadi salah satu penyebab krisis ekonomi di Indonesia.             Untuk itu mengapa salah satu usaha  mewujudkan good corporate governance adalah usaha  untuk mengeliminir manajemen laba dalam pengelolaan  dunia usaha. Ada beberapa faktor yang ditengarai mengapa usaha  rekayasa manajerial ini seolah membudaya dalam pengelolaan sebuah perusahaan, pertama, aturan dan standar akuntansi, transpanrasi, dan auditing yang memang masih lemah. Kedua, sistem pengawasan dan pengendalian sebuah perusahaan yang belum optimal. Ketiga, moral hazard pengelola perusahaan yang memang cenderung mendahulukan dan mengutumakan kepentingan dan kesejahteraan pribadi dan kelompoknya. Untuk itu pengelola perusahaan akan selalu mencoba untuk memanfaatkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sebuah aturan, standar, dan sistem. Pengelola juga mencoba menjalin kerjasama konspirasi dengan pihak-pihak yang seharusnya mengawasi dan mengendalikannya. Sebaliknya pihak-pihak ini pun cenderung lebih menyukai untuk bekerjasama dengan manajer untuk mengamankan posisinya daripada berseberangan dengan pengelola perusahaan itu.   Untuk itu salah satu kunci utama untuk mewujudkan bisnis yang bersih, sehat, dan bertanggung jawab adalah dengan membangun sistem pengawasan dan  anak

pengendalian yang lebih baik. Alasannya, terwujudnya keseimbangan pengawasan dan pengendalian pengelolaan sebuah perusahaan akan mendorong terciptanya ke ada lah, transparansi, akuntabilitas, dan responsibilitas dalam pengelolaan sebuah perusahaan. Sistem pengawasan dan pengendalian yang baik akan menjadi penghambat bagi manajer untuk membuat kebijakan sesuai dengan 

kepentingan dan kebutuhan pribadi dan mengabaikan kepentingan dan kebutuhan publik. Sistem pengawasan dan pengendalian yang baik akan akan menghambat manajer untuk menyembunyikan, mengubah, atau menunda informasi yang seharusnya diketahui oleh publik. Sistem pengawasan dan pengendalian yang baik akan mendrong manajer selalu mempertanggungjawabkan semua tindakan dan keputusan-keputusan yang dibuatnya. Sistem pengawasan dan pengendalian yang baik akan mendorong manajer hanya melakukan sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan.  Atas dasar pemikiran ini maka dalam pengelolaan perusahaan yang bersih, sehat, dan bertanggung jawab diperlukan adanya pihak yang berperan sebagai pengawas dan pengendali tindakan dan keputusan manajer perusahaan. Apalagi pada dasarnya setiap tindakan dan keputusan manajerial menyangkut kepentingan stakeholder. Untuk itulah dalam prinsip good corporate governance ditekankan pentingnya keberadaan komite audit dan komisaris independen sebagai pengawas dan pengendali sebuah perusahaan. Komite audit merupakan pihak yang mempunyai tugas untuk membantu komisaris dalam rangka peningkatan kualitas laporan keuangan dan peningkatan efektivitas internal dan eksternal audit. sedang  komisaris independen merupakan pihak yang mempunyai tanggung jawab untuk mendorong diterapkannya prinsip good corporate governance untuk menjamin bahwa transparansi dan keterbukaan lapoan keuangan, keadilan untuk semua stekeholder, dan pengungkapan semua informasi meski ada konflik kepentingan. Ada harapan yang ingin diwujudkan dengan dibangunkannya sistem pengawasan dan pengendalian sebagai bagian dari prinsip good corporate governance, yaitu menurunnya manajemen laba dalam pengelolaan sebuah perusahaan. Apalagi secara empiris memang terbukti bahwa penerapan prinsip good corporate governance secara konsisten dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan. Alasannya, prinsip good corporate governance yang diterapkan secara konsisten dapat menjadi penghambat (constrain) dan mengurangi penyimpangan yang mengakibatkan laporan  

keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan ini. Hal ini disebabkan usaha  menerapkan prinsip good corporate governance membuat sebuah perusahaan akan mempunyai komite audit dan komisaris independen sebagai pihak yang melakukan pengawasan dan pengendalian untuk menciptakan keadilan, transparansi, akuntabilitas, dan responsibilitas. Padahal keempat faktor inilah yang membuat laporan keuangan sebuah perusahaan menjadi lebih berkualitas.       

   Beberapa studi menyimpulkan bahwa ada hubungan antara karakteristik komite audit dan komisaris independen dengan usaha  manajemen laba sebagai ukuran keberhasilan penerapan prinsip good corporate governance. Selain itu proporsi independensi komite audit juga mempunyai hubungan positif antara komite audit dengan berkurangnya tekanan manajer terhadap komite audit pada saat menyusun laporan keuangan. Independensi komite audit merupakan salah satu ukuran penerapan prinsip good corporate governance selain kompetensi dan aktivitas komite audit. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa independensi komite audit mempunyai hubungan positif dengan level manajemen laba. Selain itu kompetensi anggota komite audit ternyata juga mempunyai hubungan dengan menurunnya kemungkinan dilakukannya  

manajemen laba. Atau dengan kata lain, semakin kompeten komite audit akan semakin mengurangi kemungkinan aktivitas manajemen laba.  Selain komite audit, dewan komisaris juga merupakan pihak yang mempunyai peranan penting dalam menyediakan laporan keuangan yang reliable. Oleh sebab itu keberadaan dewan ini akan mempunyai pengaruh terhadap kualitas laporan keuangan dan dipakai sebagai ukuran tingkat rekayasa keuangan yang dilakukan seorang manajer. Sejalan dengan pengujian yang membuktikan apakah besarnya dewan komisaris mempunyai hubungan yang positif dengan kemungkinan penyimpangan dalam pelaporan keuangan. Studi ini tidak menemukan hubungan antara kedua hal itu, sebab  semakin besar dewan direktur semakin tidak efisien dan semakin lemah kontrolnya terhadap manajer. Ada alasan logis mengapa hal ini bias terjadi, yaitu dewan komisaris yang independensi secara umum mempunyai pengawasan yang lebih baik terhadap manajer, sehingga mengaruhi kemungkinan penyimpangan dalam menyajikan laporan keuangan yang dilakukan manajer. juga menemukan hubungan negatif antara besarnya non-executif members dengan tingkat penyimpangan ini. Hingga secara singkat dapat dikatakan ada hubungan negatif antara proporsi independensi dewan komisaris dengan level manajemen laba. Demikian juga kompetensi dewan komisaris yang mempunyai hubungan negatif dengan level manipulasi ini. Atau dengan kata lain, semakin kompeten dewan komisaris, semakin mengurangi kemungkinan penyimpangan dalam pelaporan keuangan.  

  


METODE MANAJEMEN LABA     

Ada sisi positif dari perkembangan riset  akuntansi keuangan dan keperilakukan (financial and behavioral accounting) selama beberapa dekade ini.  Para akademisi mulai mengembangkan berbagai metode dan model untuk mengidentifikasi dan mendeteksi manajemen laba. Hal ini didasari kenyataan semakin meluasnya usaha  merekayasa informasi dalam laporan keuangan, padahal laporan ini merupakan sumber informasi utama bagi stakeholder dalam membuat keputusan ekonomi. Ada tujuan yang ingin dicapai manajer dengan manajemen laba ini, pertama, menyesatkan pihak lain yang memakai  informasi itu untuk membuat keputusan-keputusan strategis. Oleh sebab itu bila  dasar dan informasi yang dipakai untuk membuat keputusan telah direkayasa dan tidak lagi mencerminkan nilai fundamental perusahaan maka mudah dimengerti jika keputusan-keputusan yang dibuat stakeholder menjadi yang tidak tepat. Kedua, manajer dapat memperoleh manfaat pribadi dari kesalahan yang dibuat  

stakeholder. S