a seperti: ziarah
kubur, merupakan perwujudan
kebudayaan yang diwariskan secara
turun temurun.
Contoh akulturasi lainnya, antara
budaya Islam dan Jawa dapat dilihat
pada tradisi suran di Magelang.
28
tradisi nyekar pundhen, tercermin
dalam prosesi dan fungsi upacara.
Pelaksanaan ritual tradisi nyekar
pundhen mempunyai makna
terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
dalam pelaksanaannya masyarakat
memohon supaya dalam kehidupan
sehari-hari diberikan kemudahan,
kelancaran dalam bertani karena
mayoritas masyarakat Desa Wonotirto
memiliki mata pencaharian sebagai
petani. Selain itu juga memohon
agar selalu diberikan keselamatan
di dunia maupun di akhirat. Setiap
kegiatan keagamaan seperti upacara
tradisi dan selamatan mempunyai
nilai-nilai yang diwujudkan melalui
bentuk-bentuk, atau simbol-simbol
yang digunakan dalam upacara
tradisional. Simbol-simbol dalam
pelaksanaan upacara tradisi berperan
sebagai media untuk menunjukkan
secara tidak langsung maksud dan
tujuan tradisi kepada masyarakat
pendukungnya. Pada simbol-simbol
terdapat petunjuk-petunjuk dari para
leluhur yang ditujukan bagi anak cucu
keturunannya, terkandung pula nilai
luhur untuk mempertahankan budaya
dengan cara melestarikannya.
Upacara tradisi nyekar pundhen
dimaksudkan untuk mengenang para
sesepuh dan Nyai Rantamsari yang
telah mbubak alas dan telah berjasa
bagi masyarakat Desa Wonotirto.
Upacara tradisi nyekar pundhen
bertujuan mengenang jasa Nyai
Rantamsari, meminta perlindungan
dan keselamatan bagi seluruh warga
desa. Masyarakat percaya, jika selalu
melaksanakan upacara tradisi, akan
diberi keselamatan dan berkah.
Sesaji untuk perayaan suran yang
berjumlah 142 macam, di antaranya:
tumpeng tolak rasukan, tumpeng wajar,
tumpeng rasul, tumpeng krombyong,
tumpeng wenang, tumpeng brontok,
tumpeng tigan dadar, golong, tukon
pasar, palawija, palakesimpar, wedang,
banyu saringan, rokok, klembak,
menyan, rokok jeruk, rokok kretek,
kinang, dan kembang. Sesaji suran
tidak terlepas dari tradisi keluarga
yang antara lain untuk memohon
berkah dari Tuhan agar selalu sehat,
memperoleh keselamatan dalam
hidup, dimudahkan mendapatkan
rejeki, dan tercapainya cita-cita. Tradisi
suran dilaksanakan bertepatan dengan
bulan purnama atau pada tanggal
15 Sura dengan beberapa acara, di
antaranya: pemasangan janur pada
berbagai tempat di dusun setempat,
acara Yasinan dan kenduri di pendopo
padepokan, penabuhan gamelan
sebagai gendhing caosan yang disebut
uyon-uyon candi di area makam
sesepuh padepokan, makam Romo
Yoso (antarajateng.com).
Penutup
Warga Kwadungan Desa Wonotirto
selalu melaksanakan upacara tradisi
nyekar pundhen karena adanya
rasa takut untuk meninggalkan
upacara tersebut. Warga takut terjadi
malapetaka di Desa Wonotirto.
Ketakutan ini memunculkan
suatu kebijakan-kebijakan berupa
sikap, ide atau gagasan untuk
melaksanakan upacara tradisi
untuk menjawab berbagai masalah
yang terjadi pada masyarakat.
Kebijakan-kebijakan berupa sikap,
ide atau gagasan tersebut kemudian
diwujudkan dalam bentuk upacara
Permohonan keselamatan tersebut
ditujukan kepada Tuhan dengan
melalui perantara Dhanyang yang
dianggap sebagai penunggu pundhen.
Referensi
“Kiriman Sesaji Suran dari Tutup
Ngisor Merapi” dalam http://www.
antarajateng.com/detail/index.
php?id=70616#.Uk-ERlP5sX4
Barnard, Alan and Spencer, Jonathan
(Eds). 1996. The Routledge Encyclopedia
of Social and Cultural Anthropology.
Second Edition. New York: Routledge.
Herusatoto, Budiono. 2001.
Simbolisme dalam Budaya Jawa.
Yogyakarta: PT. Hanindita.
https://sabdalangit.wordpress.
com/2015/04/07/mengungkap-
rahasia-sesaji-sajen/
Koentjaraningrat. 1979. Manusia
dan Kebudayaan di negara kita . Jakarta:
Penerbit Djambatan.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan
Jawa. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka.
Moore, Jerry D. (Ed). 2009. Visions
of Culture: An Annotated Reader. New
York, UK: AltaMira Press.
29
Memang benar, makanan yang kita kenal
beraneka ragam. Penyajiannya pun dibuat
semenarik mungkin dari segi rasa, bentuk,
dan warna. Kita juga tahu bahwa makanan
yaitu bagian dari kebudayaan yang paling
luwes. Makanan lebih mudah ditemukan,
dibawa, dan dinikmati dibandingkan
benda yang lainnya. Makanan juga
menjadi bagian penting ketika kita hendak
menjalin komunikasi dengan orang lain.
DEMIKIANLAH bunyi puisi
karya Emha Ainun Nadjib.
Usai membaca puisi tersebut,
terasa ada sesuatu yang menggelitik di
hati dan berseliweran di pikiran saya. Kata
makan yang tentu saja berkaitan dengan
makanan seakan-akan menari-nari dalam
angan-angan saya. Jika memang seperti
yang dikatakan Emha bahwa tujuan
hidup yaitu berak dan kencing, apakah
ini sebatas sebuah realita atau ada sesuatu
yang lain yang hendak disampaikannya.
Kita tidak akan menolak untuk
berbincang berlama-lama jika di hadapan
kita dihidangkan makanan. Selain itu,
ketika seseorang melakukan liburan atau
perjalanan, biasa sesampai di tempat
tujuan yang ditanyakan yaitu tentang
makanan khas daerah yang dikunjunginya.
Selain itu, oleh-oleh yang sering dibawa
pun yaitu makanan khas. Oleh karena
itu, makanan merupakan kebudayaan
yang cair sebab disadari atau tidak,
sebuah peradaban bisa dibangun melalui
Wacana Kuliner
dalam Sastra negara kita
Fitri Merawati
R E S E N S I
MAKAN DAN MINUM I
Selalu jiwa saya bertanya kenapa tiap hari
orang mesti makan dan minum
Saya bilang itu merupakan syarat agar mereka
bisa berak dan kencing
Kalau yang orang maui, kata jiwa saya, hanya
buang air baik besar maupun kecil
Kenapa makanan dan minuman dibikin bermacam-macam,
bertingkat-tingkat serta berhias-hias
Saya bilang karena mereka tak bisa tentukan
kualitas berak, hiasan tinja atau bau harum kencing
Kalau begitu, kata jiwa saya lagi, segera
mendekatlah padaku, agar tak terlalu
lama engkau dikungkung oleh tujuan hidup
berak dan kencing
1984
30
Mengapa demikian? Apakah orang
sudah mulai ragu pada apa yang akan
disantapnya sehingga membutuhkan
semacam “keyakinan” bahwa ada kata
“halal” sebagai patokan layak tidaknya
makanan disantap? Mengapa label “halal”
menjadi semacam Tuhan baru yang patut
untuk diyakini? Tampaknya, kini makanan
hadir sebagai sebuah bentuk kebudayaan
yang rumit. Begitulah Laksmi Pamuntjak
mewacanakan makanan dalam novel
Aruna dan Lidahnya.
… Bicara tentang makanan yaitu
cara paling asyik untuk bicara
tentang hal-hal di luar makanan,
ia mengodifikasi sekaligus
menyelubungi kebutuhan-kebutuhan
lain di dalam diri kita—seks, dendam
lama, kasih sayang, pengakuan,
ketakutan akan ditelantarkan,
penebusan—dan makanan, ternyata
sungguh merupakan simbol sekaligus
metafora kebudayaan, hingga pada
akhirnya kita akan selalu bisa berkata
(atau berkelit)… (Pamuntjak, 2014:
14)
meja makan-tempat makanan disajikan.
Berawal dari makanan kita akan dapat
memperbincangkan berbagai hal yang
ada di luar makanan. Hal ini juga
dikemukakan oleh Laksmi Pamuntjak,
penulis novel Aruna dan Lidahnya. Ia
tampaknya sadar betul bahwa makanan
bukan sekadar tentang bentuk dan rasa.
Makanan yaitu simbol, metafora, bahkan
lebih jauh lagi yaitu ideologi. Makanan
apa yang dipilih oleh seseorang tentu
bukan hanya karena rasanya saja tetapi
juga berhubungan dengan prinsip hidup.
Perhatikan saja fenomena pada makanan
saat ini! Para produsen makanan kini
berlomba-lomba memberikan label halal
pada kemasan makanan yang dibuatnya.
Novel ini juga sekaligus mengamini novel
sebelumnya berjudul Pulang karya Leila
S Chudori yang menceritakan tentang
tokoh eksil bernama Dhimas Suryo yang
menikah dengan perempuan Prancis
bernama Vivienne yang menjadikan
makanan sebagai pelepas rindu kepada
negaranya, negara kita . Meskipun kedua
novel ini memiliki alur dan kisah yang
berbeda, namun Laksmi Pamuntjak
maupun Leila S Chudori sama-sama
menunjukkan bahwa makanan tidak hanya
hadir sebagai obat lapar atau pemuas lidah
namun juga membawa pesan lain.
Seperti halnya yang dikemukakan oleh
Terry Eagliton, “Food, like literature, looks
like an object but is actually a relationships”,
makanan seperti halnya sastra. Jika
sastra memiliki banyak hubungan
dengan hal lain sehingga memunculkan
adanya multitafsir terhadap maknanya,
maka makanan pun demikian. Saat
kita menyantap gudeg—makanan khas
Yogyakarta, kita tidak hanya menikmati
warna merah hati, rasa manis, atau empuk
nangka mudanya namun juga menikmati
jalinan kisah-kisah yang turut disajikan
bersama gudeg tersebut. Ini berarti bahwa
makanan tidak hanya dilihat dari segi
31
menunjukkan warna merah-putih-hijau
sebagai representasi pusaka kaisar dan
negara yakni pedang, cermin dan mutiara.
Makanan negara kita lebih menunjukkan
hasil perpaduan warna dari aneka bumbu
sebagai representasi pluralitas perwujudan
dari “bhinneka tunggal ika”.
Menyaksikan fenomena ini, tampak
bahwa hubungan antara sastra dan
makanan atau kuliner memang sangat
erat. Perpaduan keduanya kemudian
disebut dengan istilah “sastra kuliner”
menambah kekayaan karakter estetika
dalam karya sastra di negara kita . Kadang
kala sebagian orang masih berpikir bahwa
sastra itu seakan di awang-awang, jauh
tidak terjangkau bahkan tidak membumi.
Padahal, sesungguhnya karya sastra yang
membumilah yang mampu menyentuh
pembacanya sehingga gudang wacana
fisik (makanan sebagai makanan) tetapi
juga dari segi metafisik (makanan sebagai
simbol yang dapat ditafsirkan).
Hal ini sejalan dengan pernyataan Yusri
Fajar dalam tulisannya yang dimuat di
Kompas, 27 Oktober 2013 berjudul “Sastra
dan Kuliner” berikut ini.
Sastra dan kuliner berhubungan
tidak hanya dalam hal yang
bersifat material dan fisikal, seperti
bagaimana tokoh-tokoh dalam karya
sastra mengonsumsi dan menikmati
makanan, tetapi juga bersifat sosial
kultural, yaitu bagaimana tokoh-
tokoh tersebut mengonstruksi
identitas budaya dan prinsip hidup
mereka melalui makanan. Khazanah
kuliner lokal, tradisional hingga
modern, membangun citra tokoh dan
lanskap kultural dalam karya sastra.
Makanan bisa membawa kita pada dunia
politik, ekonomi, sosial, budaya, gender,
psikologi, bahkan ideologi. Perbedaan
peran dan perlakuan antara satu negara
dengan negara yang lain terhadap
makanan tentu memiliki tujuan masing-
masing. Coba saja kita bandingakan
makanan negara kita dengan makanan
Jepang—makanan Jepang kini semakin
merebak di negara kita . Makanan Jepang
tidak terlalu memperhatikan tentang
rasa, tapi makanan Jepang sangat
memperhatikan soal warna (merah,
putih, hijau) sehingga memanjakan mata
penikmatnya. Sedangkan warna yang
tampak dari masakah negara kita cenderung
merupakan hasil perpaduan warna
dari aneka bumbu yang dimasukkan.
Mengapa demikian? Apakah ada
kaitannya dengan latar belakang negara
asal makanan tersebut? Jawabannya,
tentu saja iya. Makanan Jepang lebih
yang sama antara pembaca dan penulis
akan menciptakan suatu sikap yang juga
membumi. Di negara kita , kehadiran sastra
kuliner sudah cukup lama. Sebut saja
sastrawan terdahulu seperti M. Kasim,
Hamsad Rangkuti, dan Umar Kayam telah
memasukkan kuliner dalam kisah-kisahnya
meskipun tujuan awalnya mungkin saja
bukan dikhususkan untuk bercerita
tentang makanan.
Tahun 2014 novel Aruna dan Lidahnya
hadir sebagi sebuah karya yang dari
judulnya saja sudah mengarahkan
responnya terhadap fenomena kuliner,
dalam hal ini kuliner di negara kita .
32
sebagai indera pencecap sekaligus alat
bantu ucap. Oleh karena itu, tidak
heran jika keduanya memiliki korelasi
dalam membangun sebuah kebudayaan
dan peradaban. Peradaban dapat juga
diibaratkan makanan yang hadir dari
perpaduan berbagai macam bahan, bumbu
dan cara pengolahan. Bahan, bumbu dan
cara pengolahan yang berbeda-beda akan
menghasilkan makanan yang berbeda-
beda. Ini berarti keberagaman peradaban
yaitu hasil perpaduan dari berbagai
unsur.
… begitulah prinsip perteluran, kita
harus konsisten, kita harus punya
standar yang jelas, kita tidak boleh
plin-plan, sebab meskipun kita bisa
bermain-main dengan makanan,
mengganti lada dengan pala, asam
dengan belimbing wuluh, kacang
tanah dengan kacang mede, kita
tahu jahe yaitu jahe, kunyit yaitu
kunyit, sere yaitu sere, masing-
masing yaitu republik tersendiri,
dan setiap hidangan telur yang lahir
dari tangan seseorang, baik dikocok,
Penulisnya pun seorang penulis yang
dikenal sebagai food writer. Makanan
dalam novel ini tidak hanya sekadar
disisipkan dalam cerita namun justru
menjadi pembangaun alur cerita. Novel
ini mengisahkan tokoh bernama Aruna,
Bono, dan Nedezdha. Mereka masing-
masing memiliki profesi yang berbeda.
Aruna yaitu konsultan ahli wabah, Bono
yaitu chef profesional, dan Nedezdha
yaitu seorang penulis. Mereka bertiga
disatukan dalam perjalanan dari Aceh
hingga Lombok dalam rangka menyelidiki
kasus flu burung yang dilakukan oleh
Aruna. Sebagaian besar pejalanan mereka
dihabiskan untuk menikmati kuliner di
masing-masing daerah sehingga novel
tersebut tampak lebih menunjukkan
kekayaan kuliner di negara kita . Selain itu
di setiap kesempatan mereka mencicipi
kuliner selalu ada perbincangan yang
berkaitan dengan berbagai hal, seperti
perbincangan tentang peristiwa politik
di balik kasus flu burung. Makanan
dan perbincangan yaitu dua hal yang
berkaitan dengan lidah. Lidah hadir
direbus, digoreng maupun didadar
tak akan pernah sama dan pada
akhirnya hal-hal seperti itulah yang
merusmuskan kita sebagai manusia…
(Pamuntjak, 2014: 15-16)
Demikianlah Laksmi Pamuntajk
merumuskan hakikat manusia melalui
karyanya. Hakikat manusia tidak dapat
diubah. Ini seperti halnya “asam” yang
sebenarnya tidak dapat digantikan dengan
“belimbing wuluh”. Sebab, meskipun
seakan-akan diperoleh rasa yang sama-
sama masam namun sesungguhnya
keduanya berbeda. Ini dikarenakan
masing-masing bahan makanan, bumbu
dan cara pengolahan itu berbeda. Masing-
masing memiliki kekhasan sendiri-sendiri.
Kekhasan ini yang kemudian akan
memberikan hasil yang berbeda-beda.
Bahkan lidah pun tidak bisa dibohongi.
Lidah tetap akan jujur. Kejujuran itu
diisyaratkan dengan menerima atau
menolak makanan. Penolakan terhadap
makanan tentu saja bukan sekadar
dikarenakan telah kenyang tapi karena
“Ia tampaknya sadar betul bahwa makanan bukan
sekadar tentang bentuk dan rasa. Makanan yaitu
simbol, metafora, bahkan lebih jauh lagi yaitu ideologi.
Makanan apa yang dipilih oleh seseorang tentu bukan
hanya karena rasanya saja tetapi juga berhubungan
dengan prinsip hidup. “
33
penamaan makanan. Pemberian nama
pada makanan seakan-akan menunjukkan
kelas makanan tersebut. Makanan yang
dianggap kelas atas sering kita jumpai pada
restoran-restoran Eropa yang memberi
nama makanan menggunakan istilah asing
(modern). Sedangkan makanan di warung-
warung sederhana seperti angkringan,
warteg, dan lesehan pinggir jalan yang
menggunakan istilah negara kita atau
daerah (tradisional) dianggap berada di
kelas bawah.
“Soal istilah foodie,” katanya, “Gua
lebih suka istilah foodist.”
“Apa bedanya?”
ada ketidakcocokan antara lidah dengan
makanan yang akan dimakan.
Makanan bagi Laksmi juga merupakan
sebuah ideologi. Seorang muslim tentu
saja tidak akan pernah memakan makanan
yang berbahan atau mengandung babi.
Dalam ajaran Islam babi tergolong
diharamkan. Berbeda dengan agama lain
yang mungkin saja tidak mengharamkan.
Selain itu, pemberian nama terhadap
makanan juga memiliki arti tersendiri.
Makanan yang dibuat bisa jadi merupakan
sebuah respon dari peristiwa tertentu
sehingga ini juga berpengaruh pada
“Gua lebih suka aja,” jawabnya,
“Foodist sejajar dengan
environmentalist, terrorist, nudist.
Lebih politis, lebih kental kesan isme-
nya. Karena bagi gua makanan sudah
jadi semacam ideologi, atau sebuah
paham.” (Pamuntjak, 2014: 84)
Dia melihat makanan sebagai
metafora. Setiap hidangan yang
dia ciptakan, menurut artikel itu,
menceritakan sesuatu. Hidangannya
yang terkenal itu, misalnya—
camouflage, paduan foie gras custard
dengan coklat dan buih espresso,
ilhamnya datang dari percakapan
34
perdurenan, Run, katanya dengan
serius. Jelas kiranya bagiku bahwa
dalam dunia perbuahan , orang-
orang seperti Nedezhda tak ubahnya
Soeharto atau Bush. Either you’re with
us or you’re against us: begitu mereka
memandang dunia (Pamuntjak,
2014: 252).
Sikap pasti yang dipilih nantinya akan
berpengaruh pada bagaimana seseorang
memandang sesuatu hal atau objek. Ini
ditujukan agar ketika seseorang memndang
sebuha objek dari sudut pandang tertentu,
dia tidak mudah tergoyahkan. Misalnya
saja jika kita memakan makanan tertentu,
seperti daging. Kita harus melihat daging
sebagai makan yang mengandung zat
yang dibutuhkan tubuh atau justru akan
melihatnya sebagai hasil dari bentuk
kekejaman makhluk, yaitu manusia.
“Sering aku merasakan dilemma
itu: makan daging tapi terusik oleh
ceriita-cerita kekejaman terhadap
binatang, dari pengebirian tanpa
anestesi dan sistem pencapan hewan-
hewan ternak, sampai perebusan
unggas dalam keadaan hidup-hidup.
Dan aku bertanya, manusia macam
apakah aku ini, yang berpikir satu hal
antara Picasso dan Gertrude Stein
di Paris, di awal Perang Dunia
Pertama, saat sebuah truk terselubung
sedang melintas di seberang jalan…
(Pamuntjak, 2014: 307)
Sebagai sebuah lambang ideologi,
persoalan makanan pun tidak boleh
sembarangan. Ideologi berarti juga
berkaitan dengan politik. Dari makanan
ini kita bisa melihat ideologi apa
yang dimiliki oleh seseorang. Selain
itu makanan juga berurusan dengan
konsistensi. Makanan melatih seseorang
untuk tidak plin-plan sebab bermula
dari makan kita bisa memandang dunia.
Mengajak dunia untuk memahami kita,
artinya kita memasukkan makanan yang
sesuai selara kita. Atau justru sebaliknya,
kita yang memahami dunia, artinya kita
memasukkan segala jenis makanan dan
membuat diri kita bisa menerimanya.
Sikap itu semestinya jelas, tidak samar-
samar.
Aku bukan orang yang tergila-gila
pada durian. Aku juga bukan orang
yang benci durian. Nedezhda pernah
menuduhku tidak normal karena
itu. Manusia tidak boleh mengambil
posisi di tengah-tengah dalam soal
tapi melakukan hal lain.” (Pamuntjak,
2014: 279).
Laksmi Pamuntjak menampilkan
kegelisahan itu dalam novel setebal 427
halaman tersebut sebagai contoh bahwa
makanan dapat juga menyiratkan dirinya
sebagai sesuatu yang dibutuhkan karena
sebagai pemenuh gizi. Selain itu juga
sebagai bukti kekejaman manusia yang
demi memenuhi nafsu makannya harus
membunuh makhluk lain, yaitu hewan
seperti ayam, bebea, kambing, sapi, dan
kerbau. Perisitiwa ini mengingatkan
kembali pada puisi Emha Ainun Nadjib
yang memepertanyakan esensi makan
atau menyantap makanan. Makanan atau
kuliner yang hadir dalam karya sastra baik
puisi, prosa, maupun drama sesungguhnya
bukan hanya hadir sebagai makanan itu
sendir tetapi dia hadir untuk mewakili
berbagai hal lain. Jadi, perpaduan sastra
dan makanan dalam sastra merupakan
alternatif yang dapat memperkaya wacana
karya sastra di negara kita .
Fitri Merawati, dosen di Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra negara kita ,
Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
“...makanan seperti halnya sastra. Jika sastra
memiliki banyak hubungan dengan hal lain
sehingga memunculkan adanya multitafsir terhadap
maknanya, maka makanan pun demikian. “
35
L I N TA S
Selo Ali, Mas Fajar Suharno, Linus Suryadi
AG dan Simon Hate.]
Masih saya ingat pula suatu festival teater
di gedung Purna Budaya tahun 1980an
ketika antara lain bersama Mas Kirdjo
saya ditugaskan menjadi juri. Dalam
diskusi dewan juri festival itu, Mas Kirdjo
memunculkan istilah “teater sampakan”.
Waktu itu dewan juri dihadapkan pada
kenyataan perbedaan pendekatan oleh
peserta festival dalam menggarap lakon-
lakon yang pada dasarnya lazim disebut
“realis”. Sebagian penyaji pada festival
itu secara mencolok menggunakan
pendekatan “teater rakyat tradisional”
SAYA mengenal Mas (begitu saya
biasa menyebut beliau) Kirdjomuljo
secara pribadi, tetapi saya merasa
tidak sempat kenal dekat dengan beliau.
Meski demikian, ada sejumlah kenangan
saya tentang tokoh yang sangat menarik
ini. Di antaranya, Mas Kirdjo pernah
membantu saya dan teman-teman Teater
Stemka dengan menjadi juri lomba baca
puisi yang kami selenggarakan. [Pada akhir
1970an dan awal 1980an kami beberapa
kali menyelenggarakan lomba baca puisi se
propinsi DIY pada bulan Oktober sembari
memperingati “Sumpah Pemuda”. Kawan
lain yang pernah ikhlas bekerja bakti
menjuri termasuk Mas Genthong Hariono
(baca: Jawa, khususnya Jawa Tengah
Selatan, lebih sempit lagi: Yogya) dalam
menyuguhkan lakon-lakon “realis” yang
kala itu lazim diasosiasikan dengan
“drama”, “konvensi barat”, dan “modern”.
Salah satu ciri menonjol dalam pendekatan
demikian yaitu penggunaan musik
gamelan yang menghentak sebagai
pembuka pergelaran. Gamelan juga
digunakan untuk memberikan penekanan
adegan, tanjakan dramatik, pergantian
babak dan/atau adegan, dan penutup
pergelaran. Ketika mengusulkan
penamaan “sampakan”, Kirdjomuljo
merujuk pada kemiripan kiat pembukaan
Landung Simatupang
Kirdjomuljo dan Tiga
di Antara Lakon-lakon Karyanya
36
II, Romansa Perjalanan III, Prelude, Daun
Permulaan Musim, Angin di antara Musim,
dan Kawan dan Karibmu.
Wikipedia:
“Kirdjomulyo dikenal sebagai seniman
serba bisa. Perjalanan hidupnya selama
70 tahun banyak menghasilkan berbagai
karya sastra dan senirupa. Tahun 1950an,
ia dikenal sangat produktif dalam menulis
puisi dan lakon. artikel puisi ciptaannya
antara lain Romansa Perjalanan I dan
Lembah Batu Pualam. Karyanya berupa
manuskrip yaitu Romansa Perjalanan II,
Romansa Perjalanan III, Prelude, Daun
Permulaan Musim, Angin di Antara Musim
serta Kawan dan Karibmu. Sejumlah
puisinya juga ada di dalam Antologi Sastra
negara kita Angkatan 1966 susunan H.B.
Jassin. Sedangkan naskah lakon karyanya
antara lain Nona Maryam, Penggali
Kapur, Penggali Intan, Bui, Dia Amat
Kesunyian, Tujuh Orang Tahanan, Laki-
laki Jaga Malam, Senja Dengan Sepasang
Kelelawar, Jauh di Rantau, dan lain-lain.
Sekitar dua puluhan naskah kumpulan
sajak dan naskah dramanya tersimpan di
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin,
Jakarta. Studi mengenai sajak-sajak
Kirdjomulyo dilakukan oleh H.B. Jassin,
dalam Kesusastraan negara kita Modern
dalam Kritik dan Esei IV (1996: 15-49).
Kirdjomulyo dikenal juga sebagai seorang
pelukis dan teater. Bergabung dengan
Sanggar Bambu dan menciptakan hymne
untuk sanggar tersebut. Ketrampilan
Kirdjomulyo dalam berolah kata,
kecintaannya pada kesenian, ketekunan
dan kesungguhan dalam menciptakan
karya, telah mendudukkan dirinya sebagai
seniman paling produktif pada masanya”.
Pada catatan tersebut kiranya dapat
ditambahkan, sejumlah puisi Kirdjomuljo
juga terdapat dalam antologi Tonggak
pergelaran beberapa peserta festival itu
dengan kiat pertunjukan rakyat tradisional
dalam menarik perhatian khalayak datang
menonton: gamelan yang memainkan
talu. Semacam preconditioning. Sedangkan
sampak mengacu pada musik gamelan
bertempo cepat untuk mengiringi adegan
pertempuran atau berbaris.
Berinteraksi dengan perkusi logam dengan
timbre dan kecenderungan volumenya
yang tertentu itu, para pemeran, entah
secara sepenuh sadar atau tidak, merespon
dengan teknik produksi vokal tertentu dan
intonasi tertentu yang bisa sangat berbeda
dengan, sebutlah, “kewajaran realis/
mimetis stanislavskian”. Teknik produksi
vokal itu, apalagi dalam konteks lomba
teater yang sengaja hanya menyediakan
perangkat pelantang yang minim, sering
sangat dekat dengan teknik memproduksi
teriakan. Pola akting juga menjadi sangat
teatrikal, bahkan mungkin bisa disebut
“ham” oleh para pemeluk teguh “akting
realis”.
Ketika itu para juri pada dasarnya
sepakat untuk memandang kedua corak
penggarapan pementasan itu (yang
mencoba setia pada jalur “realisme barat”
dan yang “sampakan”) sebagai dua dunia
berbeda yang tidak pada tempatnya
dibandingkan mana lebih baik mana lebih
buruk.
***
Sumber Wikipedia menyebutkan,
Kirdjomuljo (lahir di Yogya 1930
dan wafat di Yogya 19 Januari 2000)
menghasilkan karya berupa 2 artikel
kumpulan sajak yang masing-masing
berjudul Romansa Perjalanan I dan Lembah
Batu Pualam. Sedangkan yang berupa
manuskrip meliputi Romansa Perjalanan
2 suntingan Linus Suryadi AG terbitan
Gramedia Pustaka Utama 1987.
Mengenai naskah-naskah drama
karya Kirdjomuljo sumber Wikipedia
mencantumkan tak kurang dari 28 judul,
yaitu “Nona Maryam”, “Penggali Kapur”,
“Penggali Intan”, “Bui”, “Dia Amat
Kesunyian”, “Tujuh Orang Tahanan”,
“Laki-laki Jaga Malam”, “Senja Dengan
Sepasang Kelelawar”, “Jauh di Rantau”,
“Bulan Pagi”, “Maria”, “Derai Cemara”,
“Keluarga Wiyasti”, “Tanah Gersang”,
“Anak Haram”, “Yessi”, “Sebab yang
Dibawa Mati”, “Inah dan Manusia
di Sekitarnya”, “Lahirnya Kejahatan”,
“Matahari Juni”, “Dusta Yang Manis”,
“Pengawal Bertangan Besi”, “Sisa-sisa
Revolusi”, “Matahari April”, “Setetes
Darah”, “Pasukan Caraka”, “Bulan di
Langit Merah”, dan “Sepasang Mata
Indah”.
Tampaknya lakon-lakon drama
Kirdjomuljo, setidaknya beberapa di
antaranya, masih terus dipentaskan di
negara kita . Beberapa sumber daring
yang sempat saya sambangi antara lain
mencatat sebagai berikut. Tahun 1996
Benny Yohanes (BenJon), tokoh teater
yang berbasis di Bandung, menyutradarai
“Senja dengan Dua Kematian”; tahun
2007, “Sepasang Mata Indah” dan “Senja
dengan Dua Kelelawar” dipentaskan
keliling oleh Teater 76 Kudus dengan
sutradara Asa Jatmiko; 11 Juni 2009,
“Sepasang Mata Indah” dipentaskan di
Palu oleh Mahasiswa FKIP Universitas
Haluoleo, Palu, Sulawesi Tengah; pada
1 dan 2 Agustus 2009 “Penggali Intan”
dipentaskan oleh Teater Koma dengan
sutradara Paulus Simangunsong di TIM
Jakarta; pada Festival Teater Jakarta
2015 “Penggali Intan” dipentaskan oleh
Lab Study Teater dengan sutradara Idris
37
menyebut-nyebut revolusi). Kegeraman,
kekerasan, kekecewaan, kenekadan,
pembunuhan. Kematian mewarnai ketiga
lakon itu. Ada pembalasan dendam. Ada
letupan kebencian dan amarah yang tak
bisa dikekang.
Dalam “Senja Dengan Dua Kelelawar”
seorang perempuan menemui ajal,
didorong ke kereta api yang melaju oleh
lelaki yang dendam kepadanya karena
dikhianati dan dipermainkan. Di “Penggali
Intan” si tokoh utama mati terperosok
ke jurang dalam obsesinya untuk jadi
kaya raya agar bisa melampiaskan
dendam kepada perempuan yang pernah
menghinanya. Tetapi “Penggali Kapur”
yaitu yang paling tega mencabut nyawa;
tak kurang dari empat orang tewas di sana.
Semboyan “to be or not to be” samasekali
tak hanya berkait dengan eksistensi
mental, psikologis atau spiritual melainkan
juga fisikal, darah dan daging.
Ketiga lakon ini mengandung potensi
suspense dan surprise yang menggiurkan
buat dimainkan. Penulisnya yaitu juru
cerita yang pintar, cerdik. Hal ini tampak
sangat menonjol dalam “Senja dengan
Dua Kelelawar”. Di sini, layaknya dalam
cerita detektif, ada mayat dan pertanyaan:
siapa pembunuhnya? Surprise terjadi
ketika tokoh yang ditampilkan sebagai
paling masuk akal menjadi pembunuh,
dan bahkan mengaku sebagai pembunuh,
ternyata bukan pelakunya. Tokoh
lainlah, yang dimunculkan sebagai sosok
misterius di bagian akhir lakon, pelaku
pembunuhan itu. Tetapi si pembunuh ini
juga membuka “fakta” lain: si terbunuh
bukanlah korban yang patut dikasihani
sebagai yang terkesankan sebelumnya,
justru dialah si jahat yang berbahaya.
Senopati; dan di Jember, Jawa Timur,
Teater UKM Ringin Conthong STKIP
PGRI Jombang mementaskan “Penggali
Intan” dengan sutradara Misbahul Karim
pada tahun 2016.
***
Dalam Sepasang Mata Indah - Kumpulan
Drama Kirdjomuljo (Gama Media
2006) yang belum lama saya peroleh,
terhimpun empat drama Kirdjomuljo
yaitu “Sepasang Mata Indah” (adaptasi
cerpen Kirdjomuljo oleh Subandi); “Senja
Dengan Dua Kelelawar”; “Penggali Intan”;
dan “Penggali Kapur”. Keempatnya tidak
bertitimangsa. Meski begitu, dengan
mengingat sumber Wikipedia yang saya
kutip di atas, cukup aman jika saya
asumsikan lakon-lakon itu ditulis pada
1950-60an. Kiranya asumsi demikian
akan klop dengan pernyataan:
“Kirdjomuljo juga tokoh pendiri teater
Sanggar Bambu yang tetap berjaya
hingga tahun 1990-an. Pada tahun
1954 Kirdjomuljo mendirikan Teater
negara kita bersama Kusno Sudjarwadi.
Teater negara kita yang didirikannya itu
merupakan cikal bakal teater modern
di Yogyakarta.” (https://ensiklopedia.
kemdikbud.go.id/sastra/artikel/
Kirdjomuljo)
Ketiga lakon Kirdjomuljo, saya tak
membicarakan “Sepasang Mata Indah”
yang justru dijadikan judul kumpulan
drama ini, bagi saya terasa sebagai gaung
masa darurat yang penuh ketegangan. Saya
membayangkan penulisnya, yang lahir
tahun 1930, jadi berusia remaja ketika
revolusi fisik berkecamuk, sedikit-banyak
masih terimbas oleh pengalaman di masa
penuh tantangan dan kekerasan itu. (Dan
memang ada satu-dua tokoh lakon yang
Sedangkan kejutan dalam “Penggali
Kapur” menyangkut penelanjangan tokoh
yang pada mulanya ditampilkan seolah
hero tetapi ternyata seorang egois dan
megalomaniak. Sementara itu, seorang
tokoh lain yang semula dikesankan
sekadar sosok sampingan, yaitu adik
sang seolah-hero, muncul sebagai hero
- atau sekurangnya calon hero - yang
sesungguhnya. Hero bagi sebuah kampung
pertambangan kapur yang miskin dan
terbelakang dan bagi tokoh utama
perempuan yang ditinggalkan begitu saja
oleh kekasihnya yak tak lain tak bukan
yaitu si hero gadungan.
Sumber daring “ensiklopedia.kemdikbud”
yang dikutip di atas menyebutkan juga
bahwa Kirdjomuljo menulis skenario film
pula meski tidak disebut apa saja judulnya.
Memang, dari membaca tiga lakon itu saya
bayangkan agaknya tidak terlalu sulit bagi
Kirdjomuljo untuk beralih dari lakon ke
skenario film. Dengan disiplin penulisan
lakon drama “realis” yang ngetren di kurun
yang bersangkutan, Kirdjomuljo tentunya
sudah terbiasa memberikan petunjuk
pengadeganan yang lazim disebut “filmis”
(imitatif rinci bin jlimet/meticulous
terhadap realitas-inderawi). Ini misalnya:
“Ibu memandang ke bawah, bibir
berkerinyut menahan kesedihan, tapi
bisa menguasainya. Memandangi seorang
demi seorang. Seorang demi seorang
menghadapinya dengan keharuan
yang menguatkan dan masing-masing
menghadapinya dengan air mata dan
gemetar bibir, sunyi sekali. Seruling dan
gitar memperkosanya. Darpo yang sejak tadi
dengan tenang mendapatkan jalan baginya,
saat itu tak bisa mengucapkan sesuatu.”
(“Penggali Kapur”)
38
berlaku untuk “Senja dengan Dua
Kelelawar”: stasiun kereta api dengan
kereta api melintas beberapa kali, dan
dengan melibatkan interaksi penting
antara si kereta dan tokoh. Set bukit kapur
dengan jalan yang meliuki, untuk lakon
“Penggali Kapur”, juga cukup menantang.
Ini mengingat bahwa perkelahian di situ
dan jatuh atau menjatuhkan diri ke jurang
di bawahnya menjadi titik penting dalam
jalan cerita maupun tanjakan dramatik.
Saya sampai sempat berkhayal, barangkali
ketika menulisnya yang dibayangkan Mas
Kirdjo memang bukan pertunjukan drama
melainkan film. Film eksyen pula!
Di sisi lain, ketiga lakon ini cenderung
menampilkan tokoh-tokoh yang gemar
bicara panjang-panjang. Sebagai contoh,
ini runtunan kalimat cakapan Ismiyati
dalam “Senja dengan Dua Kelelawar”:
Aku tahu perasaanmu yang sebenarnya.
Kau meragukan aku. Dalam hati kau
menerka, bahwa akulah perencana
kematian istrimu. Kau bertanya ke sana-
kemari untuk ketentuan itu. Orang-orang
banyak sepaham dengan kau. Akulah
kira-kira orang yang cari. (Tersenyum
memandang ke arah lain). Kenapa
Membacai lakon-lakon Kirdjomuljo
ini, saya terkesan akan watak “filmis”-
nya. (Kontras dengan ketika membaca,
misalnya, drama bersajak “Prabu dan
Puteri” karya Rustandi Kartakusuma,
Balai Pustaka 1950). Saya jadi penasaran
bagaimana Iman Sutrisno atau Mien
Brodjo, misalnya, melakukan pemeranan
mereka untuk lakon-lakon Kirdjomuljo ini
setengah abad yang silam. Bagaimana aktor
dan aktris beken Jogja tahun 1950an itu
“bermain film di panggung”? Untuk masa
sekarang, saya punya firasat para pemain
film yang terbiasa berakting di depan
kamera akan lebih siap memainkan lakon-
lakon ini ketimbang sebagian terbesar
para pemain teater masa kini. Jangan salah
paham, ini sebatas menyangkut ragam
dan takaran ekspresi saja. (Walaupun
saya pernah mendengar juga bahwa teater
Yogya masa kini, Gardanalla dengan
sutradara Joned Suryatmoko, pernah
berhasil memanggungkan film musikal
“Tiga Dara” (1957) karya penyutradaraan
Usmar Ismail. Secara “realis”, bukan
“sampakan”.)
Sementara itu, set ketiga lakon ini bisa
menjadi “PR” yang tidak sepele untuk
corak pergelaran realis. Ini terutama
kau tidak menuduh aku sama sekali?
Menanyakan dengan tegas, lalu kau tinggal
berbuat satu di antara dua kemungkinan
membunuh atau mencintai. Kenapa kau
tidak mempercepat penyelesaianmu sendiri?
Aku akan menyerahkan diriku padamu
untuk kau bunuh atau kau cintai. Atau
keduanya. Kenapa kau ragu-ragu dan
tidak berani menentukan jika kau telah
menaruh prasangka. Kau mau berjanji jika
telah mengetahui siapa orang itu akan bisa
memperhatikan aku?
Dan ini salah satu cakapan Sandjojo dalam
“Penggali Intan”:
“Aku tidak percaya lagi kepada seorang pun
di dunia ini. Aku akan mencari intan. Di
mana ia memberi dunia kepada jiwaku
yang penuh kekecewaan, kekosongan,
dan kesunyian dan mencari rahasia
jiwa perempuan yang penuh tikaman-
tikaman yang paling melukai. Sekalipun
mempunyai roman yang mempesonakan.
Itu masih belum malang bagimu, aku tidak
membunuhmu, sebab kau berkata-kata
semua yang bohong. Kalau sayang padaku,
ikutlah aku. Akan kutunjukkan di sana
tanah-tanah yang menarik bagimu. Di
mana aku bisa hidup dengan impian dan
“Di mana ia memberi dunia kepada
jiwaku yang penuh kekecewaan,
kekosongan, dan kesunyian dan
mencari rahasia jiwa perempuan yang
penuh tikaman-tikaman yang paling
melukai”.
39
ke Kalimantan. Dia ingin menjernihkan
duduk perkaranya dan mengajak Sandjojo
pulang kampung. Tetapi Sandjojo, yang
baru saja pada akhirnya berhasil mendapat
intan buat pertama kalinya, sudah
kehilangan kepercayaan pada gadis itu.
Sandjojo bahkan berprasangka Sunarsih
mau mendatanginya karena mengetahui
keberhasilannya memperoleh intan cukup
besar.
Cakapan tokoh yang begitu panjang
dalam “sekali gebrak” itu seperti mau
menyanggah watak dan corak “realis”
ketiga lakon dalam kumpulan yang
saya bicarakan ini. Apalagi ada pula
kecenderungan bahasa yang “membubung”
seperti ini:
“Di mana ia memberi dunia kepada jiwaku
yang penuh kekecewaan, kekosongan,
dan kesunyian dan mencari rahasia jiwa
perempuan yang penuh tikaman-tikaman
yang paling melukai”.
Juga, gaya bahasa dan kosakata personal
maupun sosiolek (sociolect) para
tokoh yang sangat kurang kentara ciri
pembedanya cenderung menjadikan lakon-
lakon ini terasa kurang “realis” dalam
artian seperti tersebut di atas (menyangkut
mimesis/imitasi realitas).
Tetapi konon “realis” dan “realisme”
juga berkenaan dengan penolakan yang
sepenuh sadar terhadap topik dan tema
yang secara konvensional dipandang
menarik atau “patut”, dan mengutamakan
kejujuran, ketulusan serta fokus pada
penyikapan yang nir-idealisasi terhadap
kehidupan “kini, di sini”. Ini jika mengacu
pada akar realisme sebagai gerakan di
akhir abad 19 dalam seni lukis dan sastra
Prancis. Ditilik dari sini, terbetik di
benak saya bahwa tiga lakon Kirdjomuljo
pesona yang tidak pernah terbunuh. Kalau
sayang kepadaku ikutlah aku. Jangan
kau tarik kembali kepada rumah, kepada
kampung halaman yang telah melemparkan
aku selama ini. Aku ingin membuktikan
bahwa perkataan yang lalu hanya senda
gurau. Tinggalkan pakaian yang kaku dan
tidak mengerjakan apa-apa itu. Kita akan
terjun berdua ke dalam lubang penggalian,
di mana kau akan melihat bayangan maut
dan harapan yang bercampur dalam satu
derita. Hingga kau tahu apa kelanjutan
perkataan yang kau rasa sebagai senda
gurau. Kau bisa menyesal, tetapi apa yang
yang berlangsung selama ini terhadap diriku:
aku merangkaki diriku sendiri. Kau tahu
aku sebenarnya tidak tahan menghadapi
tanah penggalian yang meracuni hidupku
selama ini. Dan kini kau akan menarik
hasilnya? Tidak bisa Nona! Kita terjun
dahulu kepada tanah penggalian lubang.
Kita nanti pulang bersama-sama dengan
satu rasa penghargaan dan yang terpenting
aku sudah tak menaruh dendam. Saya
tunggu, bila Nona tetap sayang dan berkata
benar.”
Dalam adegan ini Sandjojo sedang
berbicara dengan Sunarsih. Mereka
hanya berdua. Sudah tujuh bulan
Sandjojo banting tulang menggali intan
di kawasan Barito, Kalimantan. Telah
dia tinggalkan kampung halamannya
dan Sunarsih, bertekad mencari intan
dan menjadi kaya raya setelah Sunarsih
menghinanya dengan berkata-kata tidak
akan mau diperistri karena Sandjojo
miskin. Perjuangan Sandjojo untuk kaya
bukanlah demi memperistri Sunarsih.
Justru sebaliknya, demi membalas dendam
pada gadis itu dengan memamerkan
keberhasilannya tetapi lalu mendepak
dan mencemooh si gadis. Sunarsih yang
sebenarnya memaksudkan kata-katanya
itu sebagai gurauan semata, menyusul
ini memang berada di jalur realis. Tak
soal apakah penggarapan teaternya secara
“sampakan tradisional kerakyatan” atau—
menurut sebutan yang ngepop di era
1980an—“drama” modern Barat”.
“Sampel” yang dikemukakan lakon-lakon
ini, kehidupan personal dan sosial yang
tegang, yang menyimpan bara dendam
dan kecurigaan termasuk prasangka kelas
sosial satu terhadap yang lain, penduduk
asli terhadap pendatang (khususnya dalam
“Penggali Kapur”), beban kekecewaan di
tengah pergulatan mencari penghidupan
dan cinta tak sampai, di negeri yang masih
diharu-biru gaung perjuangan bersenjata
meraih kemerdekaan, memuara pada
kekerasan yang fatal. Dengan caranya
sendiri ketiga lakon Kirdjomuljo ini
menjadi realis dalam bersaksi tentang
kurun awal kemerdekaan yang gundah,
depresi. Tapi tunggu dulu, aroma idealisasi
toh terendus juga. Setidak-tidaknya “Senja
dengan Dua Kelelawar” dan “Penggali
Kapur” ber-”akhir bahagia” seperti
kebanyakan film Hollywood. Tokoh-tokoh
buruk kalah, ngacir atau mati, seperti di
cerita-cerita pewayangan.
Bagaimana pun juga, sebagai penutup
harap dibaca sekali lagi pernyataan di
https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/
sastra/artikel/Kirdjomuljo seperti saya
kutip di atas.
Dirgahayu Sanggarbambu!
Landung Simatupang, teaterawan dan
sastrawan, tinggal di Yogyakarta.
* Catatan ini untuk merespon acara
“Membaca Kirdjomuljo, Sarasehan
Sastra 58 Tahun Lingkar Persaudaraan
Sanggarbambu” di Taman Budaya
Yogyakarta, 9 April 2017
40
S K E TS A
dan berusaha mengamati titik yang
sama dengan perempuan tua itu.
“Aku ingin teras rumah ini dibuang.
Dulu setiap pintu terbuka, aku bisa
mencium bau tanah bercampur
embun. Dan ingatkah kamu, kita biasa
menyembunyikan segala sesuatu di
gundukan tanah bawah jendela itu.
Bagaimana bisa menghilang begitu
saja.” Jawab perempuan itu dengan
suara serak menahan ludah. Lelaki di
sebelahnya mengangguk-angguk tidak
hanya menyetujui, tetapi juga seperti
tengah berjalan, susah payah, ke masa
lalu dengan harapan-harapan yang
lama disembunyikan.
“Juga seluruh cat yang melapisi
dinding-dinding. Bagaimanapun
caranya harus dikelupas. Rumah ini
merah menyala seperti mata iblis.
Aku trauma dengan warna merah.
Aku mau cat rumah yang dulu beserta
coretan-coretannya. Lukisan-lukisan
kita. Mama papaku selalu marah
dengan itu, tetapi mereka tidak pernah
menghapusnya.”
Lalu, masihkah kau ingat seperti
apa pohon mangga di depan rumah
ini bertahun-tahun silam? Betapa
besar dan rindangnya pohon itu.
Carikan pohon mangga yang mirip
dan tanamlah sesegera mungkin.
Cabut hati-hati dengan akarnya
dan pindahkan ke halamanku ini.
RUMAH itu merah menyala.
Tidak ada tumbuhan satu pun
di halamannya. Hanya sepetak
tanah cokelat yang mengeras berdebu.
Sebuah tiang berdiri tanpa papan
seperti batang pohon yang kehabisan
daun. Tiang itu bisa diandaikan seperti
sesuatu yang hidup hanya karena
menyembul dari tanah. Selebihnya,
tidak ada jejak atau bekas nafas tersisa.
Saat berjalan mendekatinya, kenangan
menjadi kacau tiba-tiba.
Di sudut teras rumah itu, seorang
perempuan tua duduk termenung.
Rambut putihnya yang menjadi jingga
terkena pantulan awan-awan sesekali
bergerak karena angin. Matanya
tidak berhenti menatap pintu yang
jelas tidak menarik perhatian. Titik-
titik keringat mengalir dari belahan
rambutnya yang lebar, turun melalui
lekuk hidungnya yang kecil dan jatuh
ke dada. Ada sesuatu yang sedang
bergerak hebat di kedalaman dada itu.
Kenangan kacau dan otak yang sudah
lamban bekerja membuat pergerakan
itu semakin kuat. Untuk kesekian kali
ia membuang nafasnya. Ia hendak
mulai mengingat lagi ketika seseorang
datang menghampiri.
“Chi, apa yang harus kami perbuat?”
wajah lelaki itu bahkan belum terlihat
jelas ketika suaranya lebih dulu
memecah keheningan. Ia duduk sejajar
Juga bunga-bunga Euphorbia iartikel
yang dicuri tetangga-tetangga. Aku
ingin mengambilnya kembali. Kalau
perlu akan kubeli. Beberapa ada
di rumahmu ‘kan? Mereka harus
kembali pada tempatnya.” suara serak
perempuan itu semakin keras seiring
ingatannya yang berjejalan tidak sabar
ingin dimuntahkan. Ingatan yang
tidak pernah benar-benar kacau karena
ketuaan. Ingatan yang di dalamnya
nyawa Maria bertahan.
“Chi, tidak ada bunga Euphorbia yang
bertahan berpuluh-puluh tahun. Tetapi
akan kucarikan yang baru dan mirip.
Aku mencurinya memang, sebuah
pot Euphorbia, sebagai pengganti
gambarmu.” kata lelaki itu sembari
membuang muka.
“Besok aku ajak teman-teman lain
untuk membantumu. Sekarang hari
sudah gelap. Di mana kau akan tidur,
Chi? Malam begitu dingin,” lanjut
lelaki tua itu ketika kembali memiliki
keberanian untuk memandang
perempuan yang ia panggil Chi itu.
Senyumnya keriput. Matanya berkaca-
kaca. Perempuan Chi itu menjawab
cepat, “Di sini. Di rumahku.”
***
Demikianlah hari pertama Maria
menghabiskan waktu di rumah yang
hampir tidak menyisakan apa-apa
untuk dikenang. Konon, setelah ia
Ramayda Akmal
Sayap Malaikat di Dinding
41
yang sanggup bertahan. Maria hanya
ingin hidup satu hari lagi dan pulang.
Rumah dan kenangan akannya mengisi
pikiran dan ruang tempat masa depan.
Kami hanya keluarga Cina miskin yang
bertahan hidup dengan menimbangi
minyak tanah setiap hari hingga
keringat kami berbau kerosin. Aku
tidak jauh berbeda, mataku hanya
sedikit lebih kecil. Kulitku cokelat
seperti mereka. Bahkan aku jatuh
cinta pada pria yang sama yang biasa
mereka cintai. Papaku meronda lebih
rajin dari siapapun. Mamaku lebih
giat bekerja daripada ibu-ibu manapun
di tempat ini. Bahkan kami tidak lagi
mengenakan baju berwarna merah
menyala supaya kami tidak berbeda.
Tetapi mengapa kami harus pergi?
Mengapa kami dijarah? Mengapa kami
dianggap jahat dan pelit? Mengapa kami
menjadi musuh?
Pikiran-pikiran yang tersimpan
berpuluh-puluh tahun muncul lagi
menggantikan malam yang mestinya
terlelap. Di atas tikar di dalam
kamarnya dulu Maria mengendus-
endus lantai dan semua yang bisa ia
cium hanya untuk mencari aroma
minyak tanah. Tidak tersisa sama skali.
Ia meraba-raba tembok, menebak-
nebak di mana dulu ia menggambar
sayap malaikat yang membingkai
sebuah nama di dalamnya. Untuk
sekeluarga meninggalkan rumah itu
diam-diam bertahun-tahun silam,
beberapa keluarga sempat tinggal di
sana. Juragan sampah, simpanan lurah,
dan terakhir sebuah organisasi pemuda
partai menjadikan rumah Maria
sebagai markas sebelum kemudian
ditinggal pergi karena partainya
bubar. Pemuda-pemuda itu yang
melumurinya dengan warna merah.
Seperti pemiliknya, rumah itu jelas
letih menahan perubahan yang dibawa
penghuni-penghuninya. Bedanya,
Maria bisa terus lari dan kembali,
sementara rumah itu hanya bisa
menghancurkan diri sendiri.
Saat keluarganya dipaksa pergi tanpa
harta, orang tua Maria yang putus
asa memasrahkannya ke gereja.
Mereka sendiri memilih menunggu
mati di panti jompo. Walau ayahnya
hanya bertahan dua minggu sebelum
kabur. Adik-adik dikirim ke tanah
leluhur yang bagi mereka lebih asing
daripada negeri dongeng. Tidak ada
lagi yang mengingat rumah itu atau
berani membicarakannya. Bahkan
Maria. Dalam diamnya di gereja,
pikirannya mengembara, menemukan
angan-angan baru berbagai rupa
sebelum kemudian kehilangannya.
Segala bentuk cita-cita yang pernah
terpikirkan, cita-cita seperti dituliskan
di artikel -artikel pelajaran, tidak ada
papa di surga, aku belum menemukan
kuburmu. Pa, mama akan hidup damai
dengan kepikunannya. Tak apa dia tidak
mengingat kita asal dengan begitu ia
tidak mengingat rumah ini lagi. Adik-
adik pulang ke tanah leluhur yang tidak
menerima mereka kecuali sebagai orang
asing. Begitulah Maria menggumam
sembari menyilangkan salib di dada
dalam detik-detik terakhir sebelum
matanya tertutup dan tidur karena
pedih berjam-jam melawan gelap.
Setelah hampir tiga dekade di gereja,
Maria berhasil mengumpulkan harta
yang tidak seberapa dan misterius
jika ternyata jumlahnya banyak.
Tidak ada anak untuk diwarisi, juga
orang lain untuk didermai. Sebagai
orang yang sendiri, Maria lebih
banyak dicurigai daripada dipercaya
berhati malaikat. Maka dari itu, ia
ingin membangun masa depannya
dengan mengembalikan masa lalu
ketika sepucuk surat datang dari jauh
mengabarkan tentang rumah. Surat
itu mengagetkan. Ceritanya tentang
rumah menyedihkan. Pengirimnya
membuat Maria berdebar sepanjang
42
mengokohkannya sebagai pohon yang
berdiri tegak dengan bantuan pancang-
pancang bambu. Bunga-bunga
Euphorbia sudah didatangkan dari
toko bunga. Maria dan lelaki teman
setianya berdebat mengenai bagaimana
harus meletakkan bunga-bunga itu.
Maria tidak menghitung berapa hari
terlewati untuk membuat rumah
itu menjadi seperti sedia kala.
Kenyataannya itu tidak mungkin.
Rumahnya semakin berantakan.
Seperti maket perusahaan properti
yang salah bangun. Tetapi itu tidak
penting lagi baginya. Benda-benda,
waktu-waktu, energi-energi yang
terbuang sudah mengembalikan
rumah itu lagi, sebagai imajinasi. Di
suatu malam ketika tidak ada lagi
yang bisa dikerjakan, Maria duduk di
tempat yang sama ketika pertama kali
ia datang. Di sebelahnya laki-laki tua
itu. Para pekerja masih bolak-balik
membereskan perkakas atau sisa-sisa
pembongkaran.
“Bagaimana hidup sebagai seorang
biarawati?”
“Aku hidup nyaman. Aku merasa
memiliki teman-teman yang sama
denganku. Tidak ada kekurangan suatu
apapun kecuali bahwa aku belum bisa
melupakan ini.”
Laki-laki itu mengangguk. Seorang
pekerja datang. “Minyak tanah
pesanan Anda sudah datang. Tiga
drum.” Katanya sambil berlalu
menurunkan drum-drum minyak itu.
“Bagaimana caranya kau
mengumpulkan tenaga untuk
menjual minyak tanah itu?” laki-laki
tua itu melontarkan pertanyaan dan
kemudian tersenyum seperti sudah
menemukan jawabannya sendiri.
“Bagaimana mungkin? Aku hanya
malam. Kini, setelah kedatangannya di
sore hari ketika langit bertaburan kulit
jeruk masak, Maria sudah melupakan
segalanya agar bisa mengingat rumah
sepenuhnya. Ia akan mengembalikan
rumahnya seperti dahulu. Walau
itu berarti menghabiskan hidupnya.
Walau totalitas itu menjadi citra
terakhir sebelum ia benar-benar
melupakannya.
***
Hari pertama mewujudkan mimpi
terakhir itu, Maria menghabiskan
waktu untuk menyirami halaman
hingga becek hanya karena ingin segera
melihat ada rumput yang tumbuh.
Sementara itu, pekerja-pekerja
membongkar teras menjadi puing-
puing debu yang tidak hilang hingga
malam.
Hari berikutnya Maria menangis
menyadari sulit sekali mengelupas
cat tanpa merusak dindingnya. Maria
hanya mempertahankan lukisan sayap
malaikat di sudut kamarnya. Sebuah
nama ia tulis ulang di dalamnya;
Lukas. Sementara sisi dinding yang
lain, alih-alih dikembalikan seperti
semula justru upaya Maria semakin
menghancurkannya. Dinding-dinding
itu menjadi seperti kanvas raksasa
lukisan geometris yang kacau. Malam
hari Maria tidak tidur atau tertidur
sambil menggambar perabot-perabot
yang dulu memenuhi rumahnya.
Subuh-subuh ia sudah mengirimkan
gambarnya ke toko mebel. Ketika
matahari naik, sebuah pohon mangga
segar dan rindang diturunkan dari truk
di halaman rumahnya. Butuh orang
satu dusun untuk bisa memindahkan
pohon itu, memasukkannya ke
dalam galian yang nyaris berair dan
menjadi sumur untuk kemudian
suka baunya.” Jawab Maria sembari
bangkit lalu ikut mengamati pekerja
menggelindingkan tiga buah drum itu
ke samping rumah. Maria mendekat
dan berkata, “Lakukan pekerjaan
kalian segera.” Pekerja-pekerja itu
mengangguk dan bergegas. Tidak
ada suara berarti kecuali aliran-aliran
minyak dari drum yang dituang ke
ember-ember kecil. Kemudian suara
cairan yang dikibas-kibaskan. Suara
kaki bergegas mengelilingi rumah.
Suara hati yang gemetar.
Maria masuk ke dalam rumahnya
dan berkeliling pelan. Ia meraba
setiap sisi dinding, mendengusi bau
minyak tanah. Ia membayangkan
sebuah aktivitas, keluarga dan
benda-benda tua. Tidak bertahan
lama Maria melakukan itu sebelum
kemudian cepat-cepat keluar dan
kembali duduk di samping lelaki tadi.
Mereka tenggelam dalam diam hingga
malam larut ke dini hari. Kaki yang
kebas memaksa mereka berdiri saling
menatih.
“Semua sudah seperti yang kita
inginkan.” Kata lelaki itu.
“Aku sudah menuliskan namamu
kembali, Lukas. Aku berharap
hidupmu selama ini baik dan bahagia.”
Mereka bergandengan tangan berjalan
mundur tanpa melepaskan pandangan
dari rumah yang menghitam jadi
siluet. Maria menatap Lukas sebelum
kemudian meraba saku celana dan
mengambil sesuatu. Sebuah korek api
digenggaman tangannya menunggu
untuk dinyalakan.






.png)
.jpeg)
