Usaha kuliner 2

 



a seperti: ziarah 

kubur, merupakan perwujudan 

kebudayaan yang diwariskan secara 

turun temurun.

Contoh akulturasi lainnya, antara 

budaya Islam dan Jawa dapat dilihat 

pada tradisi suran di Magelang. 

28

tradisi  nyekar  pundhen, tercermin  

dalam  prosesi  dan  fungsi  upacara.

Pelaksanaan  ritual tradisi nyekar 

pundhen  mempunyai  makna  

terhadap Tuhan  Yang  Maha  Esa,  

dalam  pelaksanaannya masyarakat 

memohon supaya dalam kehidupan 

sehari-hari  diberikan  kemudahan,  

kelancaran  dalam  bertani karena 

mayoritas masyarakat Desa Wonotirto 

memiliki mata pencaharian sebagai 

petani. Selain itu juga memohon 

agar selalu diberikan keselamatan 

di dunia maupun di akhirat. Setiap 

kegiatan keagamaan seperti upacara 

tradisi dan selamatan  mempunyai 

nilai-nilai yang diwujudkan melalui 

bentuk-bentuk, atau simbol-simbol 

yang  digunakan dalam  upacara  

tradisional. Simbol-simbol dalam 

pelaksanaan upacara tradisi  berperan  

sebagai  media  untuk  menunjukkan 

secara tidak langsung  maksud  dan  

tujuan  tradisi  kepada masyarakat 

pendukungnya. Pada simbol-simbol 

terdapat petunjuk-petunjuk dari para 

leluhur yang ditujukan bagi anak cucu 

keturunannya, terkandung pula nilai 

luhur untuk  mempertahankan budaya 

dengan  cara melestarikannya.

Upacara tradisi nyekar pundhen 

dimaksudkan untuk mengenang para 

sesepuh dan Nyai  Rantamsari  yang  

telah  mbubak alas dan  telah  berjasa  

bagi masyarakat Desa Wonotirto. 

Upacara tradisi nyekar pundhen 

bertujuan mengenang jasa Nyai 

Rantamsari, meminta perlindungan 

dan keselamatan bagi seluruh warga 

desa. Masyarakat percaya, jika selalu 

melaksanakan upacara  tradisi, akan  

diberi  keselamatan  dan  berkah.  

Sesaji untuk perayaan suran  yang 

berjumlah 142 macam, di antaranya:  

tumpeng tolak rasukan, tumpeng wajar, 

tumpeng rasul, tumpeng krombyong, 

tumpeng wenang, tumpeng brontok, 

tumpeng tigan dadar, golong, tukon 

pasar, palawija, palakesimpar, wedang, 

banyu saringan, rokok, klembak, 

menyan, rokok jeruk, rokok kretek, 

kinang, dan kembang. Sesaji suran 

tidak terlepas dari tradisi keluarga 

yang antara lain untuk memohon 

berkah dari Tuhan agar selalu sehat, 

memperoleh keselamatan dalam 

hidup, dimudahkan mendapatkan 

rejeki, dan tercapainya cita-cita. Tradisi 

suran dilaksanakan bertepatan dengan 

bulan purnama atau pada tanggal 

15 Sura dengan beberapa acara, di 

antaranya: pemasangan janur pada 

berbagai tempat di dusun setempat, 

acara Yasinan dan kenduri di pendopo 

padepokan, penabuhan gamelan 

sebagai gendhing caosan yang disebut 

uyon-uyon candi  di area makam 

sesepuh padepokan, makam Romo 

Yoso (antarajateng.com).

Penutup

Warga Kwadungan Desa Wonotirto 

selalu  melaksanakan  upacara tradisi  

nyekar pundhen  karena  adanya  

rasa  takut  untuk  meninggalkan  

upacara tersebut. Warga takut terjadi 

malapetaka di Desa Wonotirto. 

Ketakutan  ini  memunculkan  

suatu  kebijakan-kebijakan  berupa  

sikap,  ide atau  gagasan  untuk  

melaksanakan  upacara  tradisi  

untuk  menjawab  berbagai masalah  

yang  terjadi  pada  masyarakat.  

Kebijakan-kebijakan berupa  sikap, 

ide atau gagasan  tersebut  kemudian  

diwujudkan  dalam  bentuk upacara  

Permohonan keselamatan tersebut 

ditujukan kepada Tuhan dengan 

melalui perantara Dhanyang yang 

dianggap sebagai penunggu pundhen.

Referensi

“Kiriman Sesaji Suran dari Tutup 

Ngisor Merapi” dalam http://www.

antarajateng.com/detail/index.

php?id=70616#.Uk-ERlP5sX4

Barnard, Alan and Spencer, Jonathan 

(Eds). 1996. The Routledge Encyclopedia 

of Social and Cultural Anthropology. 

Second Edition. New York: Routledge.

Herusatoto, Budiono. 2001. 

Simbolisme dalam Budaya Jawa. 

Yogyakarta: PT. Hanindita.

https://sabdalangit.wordpress.

com/2015/04/07/mengungkap-

rahasia-sesaji-sajen/

Koentjaraningrat. 1979. Manusia 

dan Kebudayaan di negara kita . Jakarta: 

Penerbit Djambatan.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan 

Jawa. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka.

Moore, Jerry D. (Ed). 2009. Visions 

of Culture: An Annotated Reader. New 

York, UK: AltaMira Press.

29


Memang benar, makanan yang kita kenal 

beraneka ragam. Penyajiannya pun dibuat 

semenarik mungkin dari segi rasa, bentuk, 

dan warna. Kita juga tahu bahwa makanan 

yaitu  bagian dari kebudayaan yang paling 

luwes. Makanan lebih mudah ditemukan, 

dibawa, dan dinikmati dibandingkan 

benda yang lainnya. Makanan juga 

menjadi bagian penting ketika kita hendak 

menjalin komunikasi dengan orang lain.

 

DEMIKIANLAH bunyi puisi 

karya Emha Ainun Nadjib. 

Usai membaca puisi tersebut, 

terasa ada sesuatu yang menggelitik di 

hati dan berseliweran di pikiran saya. Kata 

makan yang tentu saja berkaitan dengan 

makanan seakan-akan menari-nari dalam 

angan-angan saya. Jika memang seperti 

yang dikatakan Emha bahwa tujuan 

hidup yaitu  berak dan kencing, apakah 

ini sebatas sebuah realita atau ada sesuatu 

yang lain yang hendak disampaikannya. 

Kita tidak akan menolak untuk 

berbincang berlama-lama jika di hadapan 

kita dihidangkan makanan. Selain itu, 

ketika seseorang melakukan liburan atau 

perjalanan, biasa sesampai di tempat 

tujuan yang ditanyakan yaitu  tentang 

makanan khas daerah yang dikunjunginya. 

Selain itu, oleh-oleh yang sering dibawa 

pun yaitu  makanan khas. Oleh karena 

itu, makanan merupakan kebudayaan 

yang cair sebab disadari atau tidak, 

sebuah peradaban bisa dibangun melalui 

Wacana Kuliner 

dalam Sastra negara kita 

Fitri Merawati

R E S E N S I

MAKAN DAN MINUM I

Selalu jiwa saya bertanya kenapa tiap hari

orang mesti makan dan minum

Saya bilang itu merupakan syarat agar mereka

bisa berak dan kencing

Kalau yang orang maui, kata jiwa saya, hanya

buang air baik besar maupun kecil 

Kenapa makanan dan minuman dibikin bermacam-macam,

bertingkat-tingkat serta berhias-hias

Saya bilang karena mereka tak bisa tentukan

kualitas berak, hiasan tinja atau bau harum kencing

Kalau begitu, kata jiwa saya lagi, segera

mendekatlah padaku, agar tak terlalu

lama engkau dikungkung oleh tujuan hidup

berak dan kencing

1984

30

Mengapa demikian? Apakah orang 

sudah mulai ragu pada apa yang akan 

disantapnya sehingga membutuhkan 

semacam “keyakinan” bahwa ada kata 

“halal” sebagai patokan layak tidaknya 

makanan disantap? Mengapa label “halal” 

menjadi semacam Tuhan baru yang patut 

untuk diyakini? Tampaknya, kini makanan 

hadir sebagai sebuah bentuk kebudayaan 

yang rumit. Begitulah Laksmi Pamuntjak 

mewacanakan makanan dalam novel 

Aruna dan Lidahnya.

… Bicara tentang makanan yaitu  

cara paling asyik untuk bicara 

tentang hal-hal di luar makanan, 

ia mengodifikasi sekaligus 

menyelubungi kebutuhan-kebutuhan 

lain di dalam diri kita—seks, dendam 

lama, kasih sayang, pengakuan, 

ketakutan akan ditelantarkan, 

penebusan—dan makanan, ternyata 

sungguh merupakan simbol sekaligus 

metafora kebudayaan, hingga pada 

akhirnya kita akan selalu bisa berkata 

(atau berkelit)… (Pamuntjak, 2014: 

14)

meja makan-tempat makanan disajikan. 

Berawal dari makanan kita akan dapat 

memperbincangkan berbagai hal yang 

ada di luar makanan. Hal ini juga 

dikemukakan oleh Laksmi Pamuntjak, 

penulis novel Aruna dan Lidahnya. Ia 

tampaknya sadar betul bahwa makanan 

bukan sekadar tentang bentuk dan rasa. 

Makanan yaitu  simbol, metafora, bahkan 

lebih jauh lagi yaitu  ideologi. Makanan 

apa yang dipilih oleh seseorang tentu 

bukan hanya karena rasanya saja tetapi 

juga berhubungan dengan prinsip hidup. 

Perhatikan saja fenomena pada makanan 

saat ini! Para produsen makanan kini 

berlomba-lomba memberikan label halal 

pada kemasan makanan yang dibuatnya. 

Novel ini juga sekaligus mengamini novel 

sebelumnya berjudul Pulang karya Leila 

S Chudori yang menceritakan tentang 

tokoh eksil bernama Dhimas Suryo yang 

menikah dengan perempuan Prancis 

bernama Vivienne yang menjadikan 

makanan sebagai pelepas rindu kepada 

negaranya, negara kita . Meskipun kedua 

novel ini memiliki alur dan kisah yang 

berbeda, namun Laksmi Pamuntjak 

maupun Leila S Chudori sama-sama 

menunjukkan bahwa makanan tidak hanya 

hadir sebagai obat lapar atau pemuas lidah 

namun juga membawa pesan lain.

Seperti halnya yang dikemukakan oleh 

Terry Eagliton, “Food, like literature, looks 

like an object but is actually a relationships”, 

makanan seperti halnya sastra. Jika 

sastra memiliki banyak hubungan 

dengan hal lain sehingga memunculkan 

adanya multitafsir terhadap maknanya, 

maka makanan pun demikian. Saat 

kita menyantap gudeg—makanan khas 

Yogyakarta, kita tidak hanya menikmati 

warna merah hati, rasa manis, atau empuk 

nangka mudanya namun juga menikmati 

jalinan kisah-kisah yang turut disajikan 

bersama gudeg tersebut. Ini berarti bahwa 

makanan tidak hanya dilihat dari segi 

31


menunjukkan warna merah-putih-hijau 

sebagai representasi pusaka kaisar dan 

negara yakni pedang, cermin dan mutiara. 

Makanan negara kita  lebih menunjukkan 

hasil perpaduan warna dari aneka bumbu 

sebagai representasi pluralitas perwujudan 

dari “bhinneka tunggal ika”.

Menyaksikan fenomena ini, tampak 

bahwa hubungan antara sastra dan 

makanan atau kuliner memang sangat 

erat. Perpaduan keduanya kemudian 

disebut dengan istilah “sastra kuliner” 

menambah kekayaan karakter estetika 

dalam karya sastra di negara kita . Kadang 

kala sebagian orang masih berpikir bahwa 

sastra itu seakan di awang-awang, jauh 

tidak terjangkau bahkan tidak membumi. 

Padahal, sesungguhnya karya sastra yang 

membumilah yang mampu menyentuh 

pembacanya sehingga gudang wacana 

fisik (makanan sebagai makanan) tetapi 

juga dari segi metafisik (makanan sebagai 

simbol yang dapat ditafsirkan).

Hal ini sejalan dengan pernyataan Yusri 

Fajar dalam tulisannya yang dimuat di 

Kompas, 27 Oktober 2013 berjudul “Sastra 

dan Kuliner” berikut ini.

Sastra dan kuliner berhubungan 

tidak hanya dalam hal yang 

bersifat material dan fisikal, seperti 

bagaimana tokoh-tokoh dalam karya 

sastra mengonsumsi dan menikmati 

makanan, tetapi juga bersifat sosial 

kultural, yaitu bagaimana tokoh-

tokoh tersebut mengonstruksi 

identitas budaya dan prinsip hidup 

mereka melalui makanan. Khazanah 

kuliner lokal, tradisional hingga 

modern, membangun citra tokoh dan 

lanskap kultural dalam karya sastra.

Makanan bisa membawa kita pada dunia 

politik, ekonomi, sosial, budaya, gender, 

psikologi, bahkan ideologi. Perbedaan 

peran dan perlakuan antara satu negara 

dengan negara yang lain terhadap 

makanan tentu memiliki tujuan masing-

masing. Coba saja kita bandingakan 

makanan negara kita  dengan makanan 

Jepang—makanan Jepang kini semakin 

merebak di negara kita . Makanan Jepang 

tidak terlalu memperhatikan tentang 

rasa, tapi makanan Jepang sangat 

memperhatikan soal warna (merah, 

putih, hijau) sehingga memanjakan mata 

penikmatnya. Sedangkan warna yang 

tampak dari masakah negara kita  cenderung 

merupakan hasil perpaduan warna 

dari aneka bumbu yang dimasukkan. 

Mengapa demikian? Apakah ada 

kaitannya dengan latar belakang negara 

asal makanan tersebut? Jawabannya, 

tentu saja iya. Makanan Jepang lebih 

yang sama antara pembaca dan penulis 

akan menciptakan suatu sikap yang juga 

membumi. Di negara kita , kehadiran sastra 

kuliner sudah cukup lama. Sebut saja 

sastrawan terdahulu seperti M. Kasim, 

Hamsad Rangkuti, dan Umar Kayam telah 

memasukkan kuliner dalam kisah-kisahnya 

meskipun tujuan awalnya mungkin saja 

bukan dikhususkan untuk bercerita 

tentang makanan.

Tahun 2014 novel Aruna dan Lidahnya 

hadir sebagi sebuah karya yang dari 

judulnya saja sudah mengarahkan 

responnya terhadap fenomena kuliner, 

dalam hal ini kuliner di negara kita . 

32

sebagai indera pencecap sekaligus alat 

bantu ucap. Oleh karena itu, tidak 

heran jika keduanya memiliki korelasi 

dalam membangun sebuah kebudayaan 

dan peradaban. Peradaban dapat juga 

diibaratkan makanan yang hadir dari 

perpaduan berbagai macam bahan, bumbu 

dan cara pengolahan. Bahan, bumbu dan 

cara pengolahan yang berbeda-beda akan 

menghasilkan makanan yang berbeda-

beda. Ini berarti keberagaman peradaban 

yaitu  hasil perpaduan dari berbagai 

unsur. 

… begitulah prinsip perteluran, kita 

harus konsisten, kita harus punya 

standar yang jelas, kita tidak boleh 

plin-plan, sebab meskipun kita bisa 

bermain-main dengan makanan, 

mengganti lada dengan pala, asam 

dengan belimbing wuluh, kacang 

tanah dengan kacang mede, kita 

tahu jahe yaitu  jahe, kunyit yaitu  

kunyit, sere yaitu  sere, masing-

masing yaitu  republik tersendiri, 

dan setiap hidangan telur yang lahir 

dari tangan seseorang, baik dikocok, 

Penulisnya pun seorang penulis yang 

dikenal sebagai food writer. Makanan 

dalam novel ini tidak hanya sekadar 

disisipkan dalam cerita namun justru 

menjadi pembangaun alur cerita. Novel 

ini mengisahkan tokoh bernama Aruna, 

Bono, dan Nedezdha. Mereka masing-

masing memiliki profesi yang berbeda. 

Aruna yaitu  konsultan ahli wabah, Bono 

yaitu  chef profesional, dan Nedezdha 

yaitu  seorang penulis. Mereka bertiga 

disatukan dalam perjalanan dari Aceh 

hingga Lombok dalam rangka menyelidiki 

kasus flu burung yang dilakukan oleh 

Aruna. Sebagaian besar pejalanan mereka 

dihabiskan untuk menikmati kuliner di 

masing-masing daerah sehingga novel 

tersebut tampak lebih menunjukkan 

kekayaan kuliner di negara kita . Selain itu 

di setiap kesempatan mereka mencicipi 

kuliner selalu ada perbincangan yang 

berkaitan dengan berbagai hal, seperti 

perbincangan tentang peristiwa politik 

di balik kasus flu burung. Makanan 

dan perbincangan yaitu  dua hal yang 

berkaitan dengan lidah. Lidah hadir 

direbus, digoreng maupun didadar 

tak akan pernah sama dan pada 

akhirnya hal-hal seperti itulah yang 

merusmuskan kita sebagai manusia… 

(Pamuntjak, 2014: 15-16) 

Demikianlah Laksmi Pamuntajk 

merumuskan hakikat manusia melalui 

karyanya. Hakikat manusia tidak dapat 

diubah. Ini seperti halnya “asam” yang 

sebenarnya tidak dapat digantikan dengan 

“belimbing wuluh”. Sebab, meskipun 

seakan-akan diperoleh rasa yang sama-

sama masam namun sesungguhnya 

keduanya berbeda. Ini dikarenakan 

masing-masing bahan makanan, bumbu 

dan cara pengolahan itu berbeda. Masing-

masing memiliki kekhasan sendiri-sendiri. 

Kekhasan ini yang kemudian akan 

memberikan hasil yang berbeda-beda. 

Bahkan lidah pun tidak bisa dibohongi. 

Lidah tetap akan jujur. Kejujuran itu 

diisyaratkan dengan menerima atau 

menolak makanan. Penolakan terhadap 

makanan tentu saja bukan sekadar 

dikarenakan telah kenyang tapi karena 

“Ia tampaknya sadar betul bahwa makanan bukan 

sekadar tentang bentuk dan rasa. Makanan yaitu  

simbol, metafora, bahkan lebih jauh lagi yaitu  ideologi. 

Makanan apa yang dipilih oleh seseorang tentu bukan 

hanya karena rasanya saja tetapi juga berhubungan 

dengan prinsip hidup. “

33


penamaan makanan. Pemberian nama 

pada makanan seakan-akan menunjukkan 

kelas makanan tersebut. Makanan yang 

dianggap kelas atas sering kita jumpai pada 

restoran-restoran Eropa yang memberi 

nama makanan menggunakan istilah asing 

(modern). Sedangkan makanan di warung-

warung sederhana seperti angkringan, 

warteg, dan lesehan pinggir jalan yang 

menggunakan istilah negara kita  atau 

daerah (tradisional) dianggap berada di 

kelas bawah. 

“Soal istilah foodie,” katanya, “Gua 

lebih suka istilah foodist.”

“Apa bedanya?”

ada ketidakcocokan antara lidah dengan 

makanan yang akan dimakan.

Makanan bagi Laksmi juga merupakan 

sebuah ideologi. Seorang muslim tentu 

saja tidak akan pernah memakan makanan 

yang berbahan atau mengandung babi. 

Dalam ajaran Islam babi tergolong 

diharamkan. Berbeda dengan agama lain 

yang mungkin saja tidak mengharamkan. 

Selain itu, pemberian nama terhadap 

makanan juga memiliki arti tersendiri. 

Makanan yang dibuat bisa jadi merupakan 

sebuah respon dari peristiwa tertentu 

sehingga ini juga berpengaruh pada 

“Gua lebih suka aja,” jawabnya, 

“Foodist sejajar dengan 

environmentalist, terrorist, nudist. 

Lebih politis, lebih kental kesan isme-

nya. Karena bagi gua makanan sudah 

jadi semacam ideologi, atau sebuah 

paham.” (Pamuntjak, 2014: 84)

Dia melihat makanan sebagai 

metafora. Setiap hidangan yang 

dia ciptakan, menurut artikel itu, 

menceritakan sesuatu. Hidangannya 

yang terkenal itu, misalnya—

camouflage, paduan foie gras custard 

dengan coklat dan buih espresso, 

ilhamnya datang dari percakapan 

34

perdurenan, Run, katanya dengan 

serius. Jelas kiranya bagiku bahwa 

dalam dunia perbuahan , orang-

orang seperti Nedezhda tak ubahnya 

Soeharto atau Bush. Either you’re with 

us or you’re against us: begitu mereka 

memandang dunia (Pamuntjak, 

2014: 252).

Sikap pasti yang dipilih nantinya akan 

berpengaruh pada bagaimana seseorang 

memandang sesuatu hal atau objek. Ini 

ditujukan agar ketika seseorang memndang 

sebuha objek dari sudut pandang tertentu, 

dia tidak mudah tergoyahkan. Misalnya 

saja jika kita memakan makanan tertentu, 

seperti daging. Kita harus melihat daging 

sebagai makan yang mengandung zat 

yang dibutuhkan tubuh atau justru akan 

melihatnya sebagai hasil dari bentuk 

kekejaman makhluk, yaitu manusia. 

“Sering aku merasakan dilemma 

itu: makan daging tapi terusik oleh 

ceriita-cerita  kekejaman terhadap 

binatang, dari pengebirian tanpa 

anestesi dan sistem pencapan hewan-

hewan ternak, sampai perebusan 

unggas dalam keadaan hidup-hidup. 

Dan aku bertanya, manusia macam 

apakah aku ini, yang berpikir satu hal 

antara Picasso dan Gertrude Stein 

di Paris, di awal Perang Dunia 

Pertama, saat sebuah truk terselubung 

sedang melintas di seberang jalan… 

(Pamuntjak, 2014: 307)

Sebagai sebuah lambang ideologi, 

persoalan makanan pun tidak boleh 

sembarangan. Ideologi berarti juga 

berkaitan dengan politik. Dari makanan 

ini kita bisa melihat ideologi apa 

yang dimiliki oleh seseorang. Selain 

itu makanan juga berurusan dengan 

konsistensi. Makanan melatih seseorang 

untuk tidak plin-plan sebab bermula 

dari makan kita bisa memandang dunia. 

Mengajak dunia untuk memahami kita, 

artinya kita memasukkan makanan yang 

sesuai selara kita. Atau justru sebaliknya, 

kita yang memahami dunia, artinya kita 

memasukkan segala jenis makanan dan 

membuat diri kita bisa menerimanya. 

Sikap itu semestinya jelas, tidak samar-

samar.

Aku bukan orang yang tergila-gila 

pada durian. Aku juga bukan orang 

yang benci durian. Nedezhda pernah 

menuduhku tidak normal karena 

itu. Manusia tidak boleh mengambil 

posisi di tengah-tengah dalam soal 

tapi melakukan hal lain.” (Pamuntjak, 

2014: 279).

Laksmi Pamuntjak menampilkan 

kegelisahan itu dalam novel setebal 427 

halaman tersebut sebagai contoh bahwa 

makanan dapat juga menyiratkan dirinya 

sebagai sesuatu yang dibutuhkan karena 

sebagai pemenuh gizi. Selain itu juga 

sebagai bukti kekejaman manusia yang 

demi memenuhi nafsu makannya harus 

membunuh makhluk lain, yaitu hewan 

seperti ayam, bebea, kambing, sapi, dan 

kerbau. Perisitiwa ini mengingatkan 

kembali pada puisi Emha Ainun Nadjib 

yang memepertanyakan esensi makan 

atau menyantap makanan. Makanan atau 

kuliner yang hadir dalam karya sastra baik 

puisi, prosa, maupun drama sesungguhnya 

bukan hanya hadir sebagai makanan itu 

sendir tetapi dia hadir untuk mewakili 

berbagai hal lain. Jadi, perpaduan sastra 

dan makanan dalam sastra merupakan 

alternatif yang dapat memperkaya wacana 

karya sastra di negara kita .

Fitri Merawati, dosen di Program Studi 

Pendidikan Bahasa dan Sastra negara kita , 

Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. 

“...makanan seperti halnya sastra. Jika sastra 

memiliki banyak hubungan dengan hal lain 

sehingga memunculkan adanya multitafsir terhadap 

maknanya, maka makanan pun demikian. “

35


L I N TA S

Selo Ali, Mas Fajar Suharno, Linus Suryadi 

AG dan Simon Hate.]   

Masih saya ingat pula suatu festival teater 

di gedung Purna Budaya tahun 1980an 

ketika antara lain bersama Mas Kirdjo 

saya ditugaskan menjadi juri. Dalam 

diskusi dewan juri festival itu, Mas Kirdjo 

memunculkan istilah “teater sampakan”. 

Waktu itu dewan juri dihadapkan pada 

kenyataan perbedaan pendekatan oleh 

peserta festival dalam menggarap lakon-

lakon yang pada dasarnya lazim disebut 

“realis”. Sebagian penyaji pada festival 

itu secara mencolok menggunakan 

pendekatan “teater rakyat tradisional” 

SAYA mengenal Mas (begitu saya 

biasa menyebut beliau) Kirdjomuljo 

secara pribadi, tetapi saya merasa 

tidak sempat kenal dekat dengan beliau. 

Meski demikian, ada sejumlah kenangan 

saya tentang tokoh yang sangat menarik 

ini. Di antaranya, Mas Kirdjo pernah 

membantu saya dan teman-teman Teater 

Stemka dengan menjadi juri lomba baca 

puisi yang kami selenggarakan. [Pada akhir 

1970an dan awal 1980an kami beberapa 

kali menyelenggarakan lomba baca puisi se 

propinsi DIY pada bulan Oktober sembari 

memperingati “Sumpah Pemuda”. Kawan 

lain yang pernah ikhlas bekerja bakti 

menjuri termasuk Mas Genthong Hariono 

(baca: Jawa, khususnya Jawa Tengah 

Selatan, lebih sempit lagi: Yogya) dalam 

menyuguhkan lakon-lakon “realis” yang 

kala itu lazim diasosiasikan dengan 

“drama”, “konvensi barat”, dan “modern”.  

Salah satu ciri menonjol dalam pendekatan 

demikian yaitu  penggunaan musik 

gamelan yang menghentak sebagai 

pembuka pergelaran. Gamelan juga 

digunakan untuk memberikan penekanan 

adegan, tanjakan dramatik, pergantian 

babak dan/atau adegan, dan penutup 

pergelaran.  Ketika mengusulkan 

penamaan “sampakan”, Kirdjomuljo 

merujuk pada kemiripan kiat pembukaan 

Landung Simatupang

Kirdjomuljo dan Tiga

di Antara Lakon-lakon Karyanya

36

II, Romansa Perjalanan III, Prelude, Daun 

Permulaan Musim, Angin di antara Musim, 

dan Kawan dan Karibmu. 

Wikipedia:

“Kirdjomulyo dikenal sebagai seniman 

serba bisa. Perjalanan hidupnya selama 

70 tahun banyak menghasilkan berbagai 

karya sastra dan senirupa. Tahun 1950an, 

ia dikenal sangat produktif dalam menulis 

puisi dan lakon. artikel  puisi ciptaannya 

antara lain Romansa Perjalanan I dan 

Lembah Batu Pualam. Karyanya berupa 

manuskrip yaitu Romansa Perjalanan II, 

Romansa Perjalanan III, Prelude, Daun 

Permulaan Musim, Angin di Antara Musim 

serta Kawan dan Karibmu. Sejumlah 

puisinya juga ada di dalam Antologi Sastra 

negara kita  Angkatan 1966 susunan H.B. 

Jassin. Sedangkan naskah lakon karyanya 

antara lain Nona Maryam, Penggali 

Kapur, Penggali Intan, Bui, Dia Amat 

Kesunyian, Tujuh Orang Tahanan, Laki-

laki Jaga Malam, Senja Dengan Sepasang 

Kelelawar, Jauh di Rantau, dan lain-lain. 

Sekitar dua puluhan naskah kumpulan 

sajak dan naskah dramanya tersimpan di 

Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, 

Jakarta. Studi mengenai sajak-sajak 

Kirdjomulyo dilakukan oleh H.B. Jassin, 

dalam Kesusastraan negara kita  Modern 

dalam Kritik dan Esei IV (1996: 15-49). 

Kirdjomulyo dikenal juga sebagai seorang 

pelukis dan teater. Bergabung dengan 

Sanggar Bambu dan menciptakan hymne 

untuk sanggar tersebut. Ketrampilan 

Kirdjomulyo dalam berolah kata, 

kecintaannya pada kesenian, ketekunan 

dan kesungguhan dalam menciptakan 

karya, telah mendudukkan dirinya sebagai 

seniman paling produktif pada masanya”.

Pada catatan tersebut kiranya dapat 

ditambahkan, sejumlah puisi Kirdjomuljo 

juga terdapat dalam antologi Tonggak 

pergelaran beberapa peserta festival itu 

dengan kiat pertunjukan rakyat tradisional 

dalam menarik perhatian khalayak datang 

menonton: gamelan yang memainkan 

talu. Semacam preconditioning. Sedangkan 

sampak mengacu pada musik gamelan 

bertempo cepat untuk mengiringi adegan 

pertempuran atau berbaris.

Berinteraksi dengan perkusi logam dengan 

timbre dan kecenderungan volumenya 

yang tertentu itu, para pemeran, entah 

secara sepenuh sadar atau tidak, merespon 

dengan teknik produksi vokal tertentu dan 

intonasi tertentu yang bisa sangat berbeda 

dengan, sebutlah, “kewajaran realis/

mimetis stanislavskian”. Teknik produksi 

vokal itu, apalagi dalam konteks lomba 

teater yang sengaja hanya menyediakan 

perangkat pelantang yang minim, sering 

sangat dekat dengan teknik memproduksi 

teriakan. Pola akting juga menjadi sangat 

teatrikal, bahkan mungkin bisa disebut 

“ham” oleh para pemeluk teguh “akting 

realis”.

Ketika itu para juri pada dasarnya 

sepakat untuk memandang kedua corak 

penggarapan pementasan itu (yang 

mencoba setia pada jalur “realisme barat” 

dan yang “sampakan”) sebagai dua dunia 

berbeda yang tidak pada tempatnya 

dibandingkan mana lebih baik mana lebih 

buruk.

***

Sumber Wikipedia menyebutkan, 

Kirdjomuljo (lahir di Yogya 1930 

dan wafat di Yogya 19 Januari 2000) 

menghasilkan karya berupa 2 artikel  

kumpulan sajak yang masing-masing 

berjudul Romansa Perjalanan I dan Lembah 

Batu Pualam. Sedangkan yang berupa 

manuskrip meliputi Romansa Perjalanan 

2 suntingan Linus Suryadi AG terbitan 

Gramedia Pustaka Utama 1987.

Mengenai naskah-naskah drama 

karya Kirdjomuljo sumber Wikipedia 

mencantumkan tak kurang dari 28 judul, 

yaitu “Nona Maryam”, “Penggali Kapur”, 

“Penggali Intan”, “Bui”, “Dia Amat 

Kesunyian”, “Tujuh Orang Tahanan”, 

“Laki-laki Jaga Malam”, “Senja Dengan 

Sepasang Kelelawar”, “Jauh di Rantau”, 

“Bulan Pagi”, “Maria”, “Derai Cemara”, 

“Keluarga Wiyasti”, “Tanah Gersang”, 

“Anak Haram”, “Yessi”, “Sebab yang 

Dibawa Mati”, “Inah dan Manusia 

di Sekitarnya”, “Lahirnya Kejahatan”, 

“Matahari Juni”, “Dusta Yang Manis”, 

“Pengawal Bertangan Besi”, “Sisa-sisa 

Revolusi”, “Matahari April”, “Setetes 

Darah”, “Pasukan Caraka”, “Bulan di 

Langit Merah”, dan “Sepasang Mata 

Indah”.

Tampaknya lakon-lakon drama 

Kirdjomuljo, setidaknya beberapa di 

antaranya, masih terus dipentaskan di 

negara kita . Beberapa sumber daring 

yang sempat saya sambangi antara lain 

mencatat sebagai berikut. Tahun 1996 

Benny Yohanes (BenJon), tokoh teater 

yang berbasis di Bandung, menyutradarai 

“Senja dengan Dua Kematian”; tahun 

2007, “Sepasang Mata Indah” dan “Senja 

dengan Dua Kelelawar” dipentaskan 

keliling oleh Teater 76 Kudus dengan 

sutradara Asa Jatmiko; 11 Juni 2009, 

“Sepasang Mata Indah” dipentaskan di 

Palu oleh Mahasiswa FKIP Universitas 

Haluoleo, Palu, Sulawesi Tengah; pada 

1 dan 2 Agustus 2009 “Penggali Intan” 

dipentaskan oleh Teater Koma dengan 

sutradara Paulus Simangunsong di TIM 

Jakarta; pada Festival Teater Jakarta 

2015 “Penggali Intan” dipentaskan oleh 

Lab Study Teater dengan sutradara Idris 

37


menyebut-nyebut revolusi). Kegeraman, 

kekerasan, kekecewaan, kenekadan, 

pembunuhan. Kematian mewarnai ketiga 

lakon itu. Ada pembalasan dendam. Ada 

letupan kebencian dan amarah yang tak 

bisa dikekang.

Dalam “Senja Dengan Dua Kelelawar” 

seorang perempuan menemui ajal, 

didorong ke kereta api yang melaju oleh 

lelaki yang dendam kepadanya karena 

dikhianati dan dipermainkan. Di “Penggali 

Intan” si tokoh utama mati terperosok 

ke jurang dalam obsesinya untuk jadi 

kaya raya agar bisa melampiaskan 

dendam kepada perempuan yang pernah 

menghinanya. Tetapi “Penggali Kapur” 

yaitu  yang paling tega mencabut nyawa; 

tak kurang dari empat orang tewas di sana. 

Semboyan “to be or not to be” samasekali 

tak hanya berkait dengan eksistensi 

mental, psikologis atau spiritual melainkan 

juga fisikal, darah dan daging. 

Ketiga lakon ini mengandung potensi 

suspense dan surprise yang menggiurkan 

buat dimainkan. Penulisnya yaitu  juru 

cerita yang pintar, cerdik. Hal ini tampak 

sangat menonjol dalam “Senja dengan 

Dua Kelelawar”. Di sini, layaknya dalam 

cerita detektif, ada mayat dan pertanyaan: 

siapa pembunuhnya? Surprise terjadi 

ketika tokoh yang ditampilkan sebagai 

paling masuk akal menjadi pembunuh, 

dan bahkan mengaku sebagai pembunuh, 

ternyata bukan pelakunya. Tokoh 

lainlah, yang dimunculkan sebagai sosok 

misterius di bagian akhir lakon, pelaku 

pembunuhan itu.  Tetapi si pembunuh ini 

juga membuka “fakta” lain: si terbunuh 

bukanlah korban yang patut dikasihani 

sebagai yang terkesankan sebelumnya, 

justru dialah si jahat yang berbahaya.

Senopati; dan di Jember, Jawa Timur, 

Teater UKM Ringin Conthong STKIP 

PGRI Jombang mementaskan “Penggali 

Intan” dengan sutradara Misbahul Karim 

pada tahun 2016.

***

Dalam Sepasang Mata Indah - Kumpulan 

Drama Kirdjomuljo (Gama Media 

2006) yang belum lama saya peroleh, 

terhimpun empat drama Kirdjomuljo 

yaitu “Sepasang Mata Indah” (adaptasi 

cerpen Kirdjomuljo oleh Subandi); “Senja 

Dengan Dua Kelelawar”; “Penggali Intan”; 

dan “Penggali Kapur”. Keempatnya tidak 

bertitimangsa. Meski begitu, dengan 

mengingat sumber Wikipedia yang saya 

kutip di atas, cukup aman jika saya 

asumsikan lakon-lakon itu ditulis pada 

1950-60an.  Kiranya asumsi demikian 

akan klop dengan pernyataan: 

“Kirdjomuljo juga tokoh pendiri teater 

Sanggar Bambu yang tetap berjaya 

hingga tahun 1990-an. Pada tahun 

1954 Kirdjomuljo mendirikan Teater 

negara kita  bersama Kusno Sudjarwadi. 

Teater negara kita  yang didirikannya itu 

merupakan cikal bakal teater modern 

di Yogyakarta.” (https://ensiklopedia.

kemdikbud.go.id/sastra/artikel/

Kirdjomuljo)

Ketiga lakon Kirdjomuljo, saya tak 

membicarakan “Sepasang Mata Indah” 

yang justru dijadikan judul kumpulan 

drama ini, bagi saya terasa sebagai gaung 

masa darurat yang penuh ketegangan. Saya 

membayangkan penulisnya, yang lahir 

tahun 1930, jadi berusia remaja ketika 

revolusi fisik berkecamuk, sedikit-banyak 

masih terimbas oleh pengalaman di masa 

penuh tantangan dan kekerasan itu. (Dan 

memang ada satu-dua tokoh lakon yang 

Sedangkan kejutan dalam “Penggali 

Kapur” menyangkut penelanjangan tokoh 

yang pada mulanya ditampilkan seolah 

hero tetapi ternyata seorang egois dan 

megalomaniak. Sementara itu, seorang 

tokoh lain yang semula dikesankan 

sekadar sosok sampingan, yaitu adik 

sang seolah-hero, muncul sebagai hero 

- atau sekurangnya calon hero - yang 

sesungguhnya. Hero bagi sebuah kampung 

pertambangan kapur yang miskin dan 

terbelakang dan bagi tokoh utama 

perempuan yang ditinggalkan begitu saja 

oleh kekasihnya yak tak lain tak bukan 

yaitu  si hero gadungan.

Sumber daring “ensiklopedia.kemdikbud” 

yang dikutip di atas menyebutkan juga 

bahwa Kirdjomuljo menulis skenario film 

pula meski tidak disebut apa saja judulnya. 

Memang, dari membaca tiga lakon itu saya 

bayangkan agaknya tidak terlalu sulit bagi 

Kirdjomuljo untuk beralih dari lakon ke 

skenario film. Dengan disiplin penulisan 

lakon drama “realis” yang ngetren di kurun 

yang bersangkutan, Kirdjomuljo tentunya 

sudah terbiasa memberikan petunjuk 

pengadeganan yang lazim disebut “filmis” 

(imitatif rinci bin jlimet/meticulous 

terhadap realitas-inderawi). Ini misalnya:

“Ibu memandang ke bawah, bibir 

berkerinyut menahan kesedihan, tapi 

bisa menguasainya. Memandangi seorang 

demi seorang. Seorang demi seorang 

menghadapinya dengan keharuan 

yang menguatkan dan masing-masing 

menghadapinya dengan air mata dan 

gemetar bibir, sunyi sekali. Seruling dan 

gitar memperkosanya. Darpo yang sejak tadi 

dengan tenang mendapatkan jalan baginya, 

saat itu tak bisa mengucapkan sesuatu.” 

(“Penggali Kapur”)

38

berlaku untuk “Senja dengan Dua 

Kelelawar”: stasiun kereta api dengan 

kereta api melintas beberapa kali, dan 

dengan melibatkan interaksi penting 

antara si kereta dan tokoh. Set bukit kapur 

dengan jalan yang meliuki, untuk lakon 

“Penggali Kapur”, juga cukup menantang. 

Ini mengingat bahwa perkelahian di situ 

dan jatuh atau menjatuhkan diri ke jurang 

di bawahnya menjadi titik penting dalam 

jalan cerita maupun tanjakan dramatik. 

Saya sampai sempat berkhayal, barangkali 

ketika menulisnya yang dibayangkan Mas 

Kirdjo memang bukan pertunjukan drama 

melainkan film. Film eksyen pula!

Di sisi lain, ketiga lakon ini cenderung 

menampilkan tokoh-tokoh yang gemar 

bicara panjang-panjang. Sebagai contoh, 

ini runtunan kalimat cakapan Ismiyati 

dalam “Senja dengan Dua Kelelawar”:

Aku tahu perasaanmu yang sebenarnya. 

Kau meragukan aku. Dalam hati kau 

menerka, bahwa akulah perencana 

kematian istrimu. Kau bertanya ke sana-

kemari untuk ketentuan itu. Orang-orang 

banyak sepaham dengan kau. Akulah 

kira-kira orang yang cari. (Tersenyum 

memandang ke arah lain).  Kenapa 

Membacai lakon-lakon Kirdjomuljo 

ini, saya terkesan akan watak “filmis”-

nya. (Kontras dengan ketika membaca, 

misalnya, drama bersajak “Prabu dan 

Puteri” karya Rustandi Kartakusuma, 

Balai Pustaka 1950). Saya jadi penasaran 

bagaimana Iman Sutrisno atau Mien 

Brodjo, misalnya, melakukan pemeranan 

mereka untuk lakon-lakon Kirdjomuljo ini 

setengah abad yang silam. Bagaimana aktor 

dan aktris beken Jogja tahun 1950an itu 

“bermain film di panggung”?  Untuk masa 

sekarang, saya punya firasat para pemain 

film yang terbiasa berakting di depan 

kamera akan lebih siap memainkan lakon-

lakon ini ketimbang sebagian terbesar 

para pemain teater masa kini. Jangan salah 

paham, ini sebatas menyangkut ragam 

dan takaran ekspresi saja.  (Walaupun 

saya pernah mendengar juga bahwa teater 

Yogya masa kini, Gardanalla dengan 

sutradara Joned Suryatmoko, pernah 

berhasil memanggungkan film musikal 

“Tiga Dara” (1957) karya penyutradaraan 

Usmar Ismail. Secara “realis”, bukan 

“sampakan”.)

Sementara itu, set ketiga lakon ini bisa 

menjadi “PR” yang tidak sepele untuk 

corak pergelaran realis. Ini terutama 

kau tidak menuduh aku sama sekali? 

Menanyakan dengan tegas, lalu kau tinggal 

berbuat satu di antara dua kemungkinan 

membunuh atau mencintai. Kenapa kau 

tidak mempercepat penyelesaianmu sendiri? 

Aku akan menyerahkan diriku padamu 

untuk kau bunuh atau kau cintai. Atau 

keduanya. Kenapa kau ragu-ragu dan 

tidak berani menentukan jika kau telah 

menaruh prasangka. Kau mau berjanji jika 

telah mengetahui siapa orang itu akan bisa 

memperhatikan aku?  

Dan ini salah satu cakapan Sandjojo dalam 

“Penggali Intan”:

“Aku tidak percaya lagi kepada seorang pun 

di dunia ini. Aku akan mencari intan. Di 

mana ia memberi dunia kepada jiwaku 

yang penuh kekecewaan, kekosongan, 

dan kesunyian dan mencari rahasia 

jiwa perempuan yang penuh tikaman-

tikaman yang paling melukai. Sekalipun 

mempunyai roman yang mempesonakan. 

Itu masih belum malang bagimu, aku tidak 

membunuhmu, sebab kau berkata-kata  

semua yang bohong. Kalau sayang padaku, 

ikutlah aku. Akan kutunjukkan di sana 

tanah-tanah yang menarik bagimu. Di 

mana aku bisa hidup dengan impian dan 

“Di mana ia memberi dunia kepada 

jiwaku yang penuh kekecewaan, 

kekosongan, dan kesunyian dan 

mencari rahasia jiwa perempuan yang 

penuh tikaman-tikaman yang paling 

melukai”.

39


ke Kalimantan. Dia ingin menjernihkan 

duduk perkaranya dan mengajak Sandjojo 

pulang kampung. Tetapi Sandjojo, yang 

baru saja pada akhirnya berhasil mendapat 

intan buat pertama kalinya, sudah 

kehilangan kepercayaan pada gadis itu. 

Sandjojo bahkan berprasangka Sunarsih 

mau mendatanginya karena mengetahui 

keberhasilannya memperoleh intan cukup 

besar.

Cakapan tokoh yang begitu panjang 

dalam “sekali gebrak” itu seperti mau 

menyanggah watak dan corak “realis” 

ketiga lakon dalam kumpulan yang 

saya bicarakan ini. Apalagi ada pula 

kecenderungan bahasa yang “membubung” 

seperti ini:

“Di mana ia memberi dunia kepada jiwaku 

yang penuh kekecewaan, kekosongan, 

dan kesunyian dan mencari rahasia jiwa 

perempuan yang penuh tikaman-tikaman 

yang paling melukai”.

Juga, gaya bahasa dan kosakata personal 

maupun sosiolek (sociolect) para 

tokoh yang sangat kurang kentara ciri 

pembedanya cenderung menjadikan lakon-

lakon ini terasa kurang “realis” dalam 

artian seperti tersebut di atas (menyangkut 

mimesis/imitasi realitas).  

Tetapi konon “realis” dan “realisme” 

juga berkenaan dengan penolakan yang 

sepenuh sadar terhadap topik dan tema 

yang secara konvensional dipandang 

menarik atau “patut”, dan mengutamakan 

kejujuran, ketulusan serta fokus pada 

penyikapan yang nir-idealisasi terhadap 

kehidupan “kini, di sini”. Ini jika mengacu 

pada akar realisme sebagai gerakan di 

akhir abad 19 dalam seni lukis dan sastra 

Prancis.  Ditilik dari sini, terbetik di 

benak saya bahwa tiga lakon Kirdjomuljo 

pesona yang tidak pernah terbunuh. Kalau 

sayang kepadaku ikutlah aku. Jangan 

kau tarik kembali kepada rumah, kepada 

kampung halaman yang telah melemparkan 

aku selama ini. Aku ingin membuktikan 

bahwa perkataan yang lalu hanya senda 

gurau. Tinggalkan pakaian yang kaku dan 

tidak mengerjakan apa-apa itu. Kita akan 

terjun berdua ke dalam lubang penggalian, 

di mana kau akan melihat bayangan maut 

dan harapan yang bercampur dalam satu 

derita. Hingga kau tahu apa kelanjutan 

perkataan yang kau rasa sebagai senda 

gurau. Kau bisa menyesal, tetapi apa yang 

yang berlangsung selama ini terhadap diriku: 

aku merangkaki diriku sendiri. Kau tahu 

aku sebenarnya tidak tahan menghadapi 

tanah penggalian yang meracuni hidupku 

selama ini. Dan kini kau akan menarik 

hasilnya? Tidak bisa Nona! Kita terjun 

dahulu kepada tanah penggalian lubang. 

Kita nanti pulang bersama-sama dengan 

satu rasa penghargaan dan yang terpenting 

aku sudah tak menaruh dendam. Saya 

tunggu, bila Nona tetap sayang dan berkata 

benar.”

Dalam adegan ini Sandjojo sedang 

berbicara dengan Sunarsih. Mereka 

hanya berdua. Sudah tujuh bulan 

Sandjojo banting tulang menggali intan 

di kawasan Barito, Kalimantan. Telah 

dia tinggalkan kampung halamannya 

dan Sunarsih, bertekad mencari intan 

dan menjadi kaya raya setelah Sunarsih 

menghinanya dengan berkata-kata  tidak 

akan mau diperistri karena Sandjojo 

miskin. Perjuangan Sandjojo untuk kaya 

bukanlah demi memperistri Sunarsih. 

Justru sebaliknya, demi membalas dendam 

pada gadis itu dengan memamerkan 

keberhasilannya tetapi lalu mendepak 

dan mencemooh si gadis. Sunarsih yang 

sebenarnya memaksudkan kata-katanya 

itu sebagai gurauan semata, menyusul 

ini memang berada di jalur realis.  Tak 

soal apakah penggarapan teaternya secara 

“sampakan tradisional kerakyatan” atau—

menurut sebutan yang ngepop di era 

1980an—“drama” modern Barat”.   

“Sampel” yang dikemukakan lakon-lakon 

ini, kehidupan personal dan sosial yang 

tegang, yang menyimpan bara dendam 

dan kecurigaan termasuk prasangka kelas 

sosial satu terhadap yang lain, penduduk 

asli terhadap pendatang (khususnya dalam 

“Penggali Kapur”), beban kekecewaan di 

tengah pergulatan mencari penghidupan 

dan cinta tak sampai, di negeri yang masih 

diharu-biru gaung perjuangan bersenjata 

meraih kemerdekaan, memuara pada 

kekerasan yang fatal. Dengan caranya 

sendiri ketiga lakon Kirdjomuljo ini 

menjadi realis dalam bersaksi tentang 

kurun awal kemerdekaan yang gundah, 

depresi. Tapi tunggu dulu, aroma idealisasi 

toh terendus juga. Setidak-tidaknya “Senja 

dengan Dua Kelelawar” dan “Penggali 

Kapur” ber-”akhir bahagia” seperti 

kebanyakan film Hollywood. Tokoh-tokoh 

buruk kalah, ngacir atau mati, seperti di 

cerita-cerita pewayangan.

Bagaimana pun juga, sebagai penutup 

harap dibaca sekali lagi pernyataan di 

https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/

sastra/artikel/Kirdjomuljo seperti saya 

kutip di atas.  

 

Dirgahayu Sanggarbambu!

Landung Simatupang, teaterawan dan 

sastrawan, tinggal di Yogyakarta.

* Catatan ini untuk merespon acara 

“Membaca Kirdjomuljo, Sarasehan 

Sastra 58 Tahun Lingkar Persaudaraan 

Sanggarbambu” di Taman Budaya 

Yogyakarta, 9 April 2017

40

S K E TS A

dan berusaha mengamati titik yang 

sama dengan perempuan tua itu. 

“Aku ingin teras rumah ini dibuang. 

Dulu setiap pintu terbuka, aku bisa 

mencium bau tanah bercampur 

embun. Dan ingatkah kamu, kita biasa 

menyembunyikan segala sesuatu di 

gundukan tanah bawah jendela itu. 

Bagaimana bisa menghilang begitu 

saja.” Jawab perempuan itu dengan 

suara serak menahan ludah. Lelaki di 

sebelahnya mengangguk-angguk tidak 

hanya menyetujui, tetapi juga seperti 

tengah berjalan, susah payah, ke masa 

lalu dengan harapan-harapan yang 

lama disembunyikan.

“Juga seluruh cat yang melapisi 

dinding-dinding. Bagaimanapun 

caranya harus dikelupas. Rumah ini 

merah menyala seperti mata iblis. 

Aku trauma dengan warna merah. 

Aku mau cat rumah yang dulu beserta 

coretan-coretannya. Lukisan-lukisan 

kita. Mama papaku selalu marah 

dengan itu, tetapi mereka tidak pernah 

menghapusnya.”

Lalu, masihkah kau ingat seperti 

apa pohon mangga di depan rumah 

ini bertahun-tahun silam? Betapa 

besar dan rindangnya pohon itu. 

Carikan pohon mangga yang mirip 

dan tanamlah sesegera mungkin. 

Cabut hati-hati dengan akarnya 

dan pindahkan ke halamanku ini. 

RUMAH itu merah menyala. 

Tidak ada tumbuhan satu pun 

di halamannya. Hanya sepetak 

tanah cokelat yang mengeras berdebu. 

Sebuah tiang berdiri tanpa papan 

seperti batang pohon yang kehabisan 

daun. Tiang itu bisa diandaikan seperti 

sesuatu yang hidup hanya karena 

menyembul dari tanah. Selebihnya, 

tidak ada jejak atau bekas nafas tersisa. 

Saat berjalan mendekatinya, kenangan 

menjadi kacau tiba-tiba.

Di sudut teras rumah itu, seorang 

perempuan tua duduk termenung. 

Rambut putihnya yang menjadi jingga 

terkena pantulan awan-awan sesekali 

bergerak karena angin. Matanya 

tidak berhenti menatap pintu yang 

jelas tidak menarik perhatian. Titik-

titik keringat mengalir dari belahan 

rambutnya yang lebar, turun melalui 

lekuk hidungnya yang kecil dan jatuh 

ke dada. Ada sesuatu yang sedang 

bergerak hebat di kedalaman dada itu. 

Kenangan kacau dan otak yang sudah 

lamban bekerja membuat pergerakan 

itu semakin kuat. Untuk kesekian kali 

ia membuang nafasnya. Ia hendak 

mulai mengingat lagi ketika seseorang 

datang menghampiri.

“Chi, apa yang harus kami perbuat?” 

wajah lelaki itu bahkan belum terlihat 

jelas ketika suaranya lebih dulu 

memecah keheningan. Ia duduk sejajar 

Juga bunga-bunga Euphorbia iartikel  

yang dicuri tetangga-tetangga. Aku 

ingin mengambilnya kembali. Kalau 

perlu akan kubeli. Beberapa ada 

di rumahmu ‘kan? Mereka harus 

kembali pada tempatnya.” suara serak 

perempuan itu semakin keras seiring 

ingatannya yang berjejalan tidak sabar 

ingin dimuntahkan. Ingatan yang 

tidak pernah benar-benar kacau karena 

ketuaan. Ingatan yang di dalamnya 

nyawa Maria bertahan.

“Chi, tidak ada bunga Euphorbia yang 

bertahan berpuluh-puluh tahun. Tetapi 

akan kucarikan yang baru dan mirip. 

Aku mencurinya memang, sebuah 

pot Euphorbia, sebagai pengganti 

gambarmu.” kata lelaki itu sembari 

membuang muka. 

“Besok aku ajak teman-teman lain 

untuk membantumu. Sekarang hari 

sudah gelap. Di mana kau akan tidur, 

Chi? Malam begitu dingin,” lanjut 

lelaki tua itu ketika kembali memiliki 

keberanian untuk memandang 

perempuan yang ia panggil Chi itu. 

Senyumnya keriput. Matanya berkaca-

kaca. Perempuan Chi itu menjawab 

cepat, “Di sini. Di rumahku.” 

***

Demikianlah hari pertama Maria 

menghabiskan waktu di rumah yang 

hampir tidak menyisakan apa-apa 

untuk dikenang. Konon, setelah ia 

Ramayda Akmal

Sayap Malaikat di Dinding

41


yang sanggup bertahan. Maria hanya 

ingin hidup satu hari lagi dan pulang. 

Rumah dan kenangan akannya mengisi 

pikiran dan ruang tempat masa depan.

Kami hanya keluarga Cina miskin yang 

bertahan hidup dengan menimbangi 

minyak tanah setiap hari hingga 

keringat kami berbau kerosin. Aku 

tidak jauh berbeda, mataku hanya 

sedikit lebih kecil. Kulitku cokelat 

seperti mereka. Bahkan aku jatuh 

cinta pada pria yang sama yang biasa 

mereka cintai. Papaku meronda lebih 

rajin dari siapapun. Mamaku lebih 

giat bekerja daripada ibu-ibu manapun 

di tempat ini. Bahkan kami tidak lagi 

mengenakan baju berwarna merah 

menyala supaya kami tidak berbeda. 

Tetapi mengapa kami harus pergi? 

Mengapa kami dijarah? Mengapa kami 

dianggap jahat dan pelit? Mengapa kami 

menjadi musuh?

Pikiran-pikiran yang tersimpan 

berpuluh-puluh tahun muncul lagi 

menggantikan malam yang mestinya 

terlelap. Di atas tikar di dalam 

kamarnya dulu Maria mengendus-

endus lantai dan semua yang bisa ia 

cium hanya untuk mencari aroma 

minyak tanah. Tidak tersisa sama skali. 

Ia meraba-raba tembok, menebak-

nebak di mana dulu ia menggambar 

sayap malaikat yang membingkai 

sebuah nama di dalamnya. Untuk 

sekeluarga meninggalkan rumah itu 

diam-diam bertahun-tahun silam, 

beberapa keluarga sempat tinggal di 

sana. Juragan sampah, simpanan lurah, 

dan terakhir sebuah organisasi pemuda 

partai menjadikan rumah Maria 

sebagai markas sebelum kemudian 

ditinggal pergi karena partainya 

bubar. Pemuda-pemuda itu yang 

melumurinya dengan warna merah. 

Seperti pemiliknya, rumah itu jelas 

letih menahan perubahan yang dibawa 

penghuni-penghuninya. Bedanya, 

Maria bisa terus lari dan kembali, 

sementara rumah itu hanya bisa 

menghancurkan diri sendiri.

Saat keluarganya dipaksa pergi tanpa 

harta, orang tua Maria yang putus 

asa memasrahkannya ke gereja. 

Mereka sendiri memilih menunggu 

mati di panti jompo. Walau ayahnya 

hanya bertahan dua minggu sebelum 

kabur. Adik-adik dikirim ke tanah 

leluhur yang bagi mereka lebih asing 

daripada negeri dongeng. Tidak ada 

lagi yang mengingat rumah itu atau 

berani membicarakannya. Bahkan 

Maria. Dalam diamnya di gereja, 

pikirannya  mengembara, menemukan 

angan-angan baru berbagai rupa 

sebelum kemudian kehilangannya. 

Segala bentuk cita-cita yang pernah 

terpikirkan, cita-cita seperti dituliskan 

di artikel -artikel  pelajaran, tidak ada 

papa di surga, aku belum menemukan 

kuburmu. Pa, mama akan hidup damai 

dengan kepikunannya. Tak apa dia tidak 

mengingat kita asal dengan begitu ia 

tidak mengingat rumah ini lagi. Adik-

adik pulang ke tanah leluhur yang tidak 

menerima mereka kecuali sebagai orang 

asing. Begitulah Maria menggumam 

sembari menyilangkan salib di dada 

dalam detik-detik terakhir sebelum 

matanya tertutup dan tidur karena 

pedih berjam-jam melawan gelap.

Setelah hampir tiga dekade di gereja, 

Maria berhasil mengumpulkan harta 

yang tidak seberapa dan misterius 

jika ternyata jumlahnya banyak. 

Tidak ada anak untuk diwarisi, juga 

orang lain untuk didermai. Sebagai 

orang yang sendiri, Maria lebih 

banyak dicurigai daripada dipercaya 

berhati malaikat. Maka dari itu, ia 

ingin membangun masa depannya 

dengan mengembalikan masa lalu 

ketika sepucuk surat datang dari jauh 

mengabarkan tentang rumah. Surat 

itu mengagetkan. Ceritanya tentang 

rumah menyedihkan. Pengirimnya 

membuat Maria berdebar sepanjang 

42

mengokohkannya sebagai pohon yang 

berdiri tegak dengan bantuan pancang-

pancang bambu. Bunga-bunga 

Euphorbia sudah didatangkan dari 

toko bunga. Maria dan lelaki teman 

setianya berdebat mengenai bagaimana 

harus meletakkan bunga-bunga itu.

Maria tidak menghitung berapa hari 

terlewati untuk membuat rumah 

itu menjadi seperti sedia kala. 

Kenyataannya itu tidak mungkin. 

Rumahnya semakin berantakan. 

Seperti maket perusahaan properti 

yang salah bangun. Tetapi itu tidak 

penting lagi baginya. Benda-benda, 

waktu-waktu, energi-energi yang 

terbuang sudah mengembalikan 

rumah itu lagi, sebagai imajinasi. Di 

suatu malam ketika tidak ada lagi 

yang bisa dikerjakan, Maria duduk di 

tempat yang sama ketika pertama kali 

ia datang. Di sebelahnya laki-laki tua 

itu. Para pekerja masih bolak-balik 

membereskan perkakas atau sisa-sisa 

pembongkaran.

“Bagaimana hidup sebagai seorang 

biarawati?”

“Aku hidup nyaman. Aku merasa 

memiliki teman-teman yang sama 

denganku. Tidak ada kekurangan suatu 

apapun kecuali bahwa aku belum bisa 

melupakan ini.”

Laki-laki itu mengangguk. Seorang 

pekerja datang. “Minyak tanah 

pesanan Anda sudah datang. Tiga 

drum.” Katanya sambil berlalu 

menurunkan drum-drum minyak itu.

“Bagaimana caranya kau 

mengumpulkan tenaga untuk 

menjual minyak tanah itu?” laki-laki 

tua itu melontarkan pertanyaan dan 

kemudian tersenyum seperti sudah 

menemukan jawabannya sendiri.

“Bagaimana mungkin? Aku hanya 

malam. Kini, setelah kedatangannya di 

sore hari ketika langit bertaburan kulit 

jeruk masak, Maria sudah melupakan 

segalanya agar bisa mengingat rumah 

sepenuhnya. Ia akan mengembalikan 

rumahnya seperti dahulu. Walau 

itu berarti menghabiskan hidupnya. 

Walau totalitas itu menjadi citra 

terakhir sebelum ia benar-benar 

melupakannya.

***

Hari pertama mewujudkan mimpi 

terakhir itu, Maria menghabiskan 

waktu untuk menyirami halaman 

hingga becek hanya karena ingin segera 

melihat ada rumput yang tumbuh. 

Sementara itu, pekerja-pekerja 

membongkar teras menjadi puing-

puing debu yang tidak hilang hingga 

malam.

Hari berikutnya Maria menangis 

menyadari sulit sekali mengelupas 

cat tanpa merusak dindingnya. Maria 

hanya mempertahankan lukisan sayap 

malaikat di sudut kamarnya. Sebuah 

nama ia tulis ulang di dalamnya; 

Lukas. Sementara sisi dinding yang 

lain, alih-alih dikembalikan seperti 

semula justru upaya Maria semakin 

menghancurkannya. Dinding-dinding 

itu menjadi seperti kanvas raksasa 

lukisan geometris yang kacau. Malam 

hari Maria tidak tidur atau tertidur 

sambil menggambar perabot-perabot 

yang dulu memenuhi rumahnya. 

Subuh-subuh ia sudah mengirimkan 

gambarnya ke toko mebel. Ketika 

matahari naik, sebuah pohon mangga 

segar dan rindang diturunkan dari truk 

di halaman rumahnya. Butuh orang 

satu dusun untuk bisa memindahkan 

pohon itu, memasukkannya ke 

dalam galian yang nyaris berair dan 

menjadi sumur untuk kemudian 

suka baunya.” Jawab Maria sembari 

bangkit lalu ikut mengamati pekerja 

menggelindingkan tiga buah drum itu 

ke samping rumah. Maria mendekat 

dan berkata, “Lakukan pekerjaan 

kalian segera.” Pekerja-pekerja itu 

mengangguk dan bergegas. Tidak 

ada suara berarti kecuali aliran-aliran 

minyak dari drum yang dituang ke 

ember-ember kecil. Kemudian suara 

cairan yang dikibas-kibaskan. Suara 

kaki bergegas mengelilingi rumah. 

Suara hati yang gemetar. 

Maria masuk ke dalam rumahnya 

dan berkeliling pelan. Ia meraba 

setiap sisi dinding, mendengusi bau 

minyak tanah. Ia membayangkan 

sebuah aktivitas, keluarga dan 

benda-benda tua. Tidak bertahan 

lama Maria melakukan itu sebelum 

kemudian cepat-cepat keluar dan 

kembali duduk di samping lelaki tadi. 

Mereka tenggelam dalam diam hingga 

malam larut ke dini hari. Kaki yang 

kebas memaksa mereka berdiri saling 

menatih. 

“Semua sudah seperti yang kita 

inginkan.” Kata lelaki itu.

“Aku sudah menuliskan namamu 

kembali, Lukas. Aku berharap 

hidupmu selama ini baik dan bahagia.”

Mereka bergandengan tangan berjalan 

mundur tanpa melepaskan pandangan 

dari rumah yang menghitam jadi 

siluet. Maria menatap Lukas sebelum 

kemudian meraba saku celana dan 

mengambil sesuatu. Sebuah korek api 

digenggaman tangannya menunggu 

untuk dinyalakan.