Home »
fisika pasar modal 1
» fisika pasar modal 1
fisika pasar modal 1
Sejarah mencatat babak baru. Tahun 1997, ranah keilmuan
manusia telah bertambah dengan terbitnya istilah ’econophysi-
cs ’ (ekonofisika). Istilah ini pertama kali digunakan dalam
sebuah workshop di kota Budapest Hungaria pada bulan Juli,
’Workshop on econophysics’ (De Liso dan Filatrella, 2001, hlm.
2). Maka, mulai saat itu frasa ekonofisika tertera dan mengalir
dalam bentangan peradaban manusia.
Konferensi ilmiah pertama yang membahas ini diadak-
an 2 tahun kemudian (1999) oleh Himpunan Fisika Eropa
(European Physical Society) dengan tajuk International Ap-
plications of Physics in Financial Analysis di Dublin Irlandia
dan dilanjutkan di Liège setahun berikutnya (2000) (Sima-
nungkalit, 2002; Stauffer, 2000; Surya, 2002). De Liso dan
Filatrella (2001) menyatakan bahwa beberapa artikel generasi
16 Selayang Pandang Ekonofisika
awal yang mengupas konsep-konsep ini antara lain An Intro-
duction to Econophysics oleh Mantegna dan Stanley tahun
2000, Theory of Financial Risk: From Statistical Physics to
Risk Managament oleh Bouchaud dan Potters tahun 2000 dan
An Intoduction to High Frequency Finance oleh Dacorragna
et al tahun 2001.
Sebenarnya, sejarah ekonofisika tidak hanya bermula pada
tahun 1997. Tahun ini lebih tepat jika sekedar dipan-
dang menjadi penanda bahwa nama ekonofisika baru lahir.
Acapkali, econophysics juga disebut dengan phynance (fisika
keuangan). Namun, Stauffer (2000) menyatakan istilah eco-
nophysics jauh lebih berkembang dibanding phynance. De
Liso dan Filatrella (2001) menyatakan bahwa kata economics
dan physics dalam frasa econophysics merupakan cermin dari
kerja para fisikawan yang mulai menerapkan fisika statistik
ke dalam ranah keuangan pada masa-masa itu. Jika ditilik
dengan cakupan yang lebih luas, yakni dengan memandang
ekonofisika sebagai interaksi timbal balik antara ekonomi dan
fisika, maka penelusuran terhadap rekam jejak ekonofisika
menemukan akarnya jauh sebelum bilangan tahun ini .
Pada tahun 1973, Black dan Scholes memaklumkan sebuah
cara baru dalam menghitung harga opsi yang adil di pasar mo-
dal dengan memakai model gerak Brown geometrik dan
persamaan rambatan panas. Model ini sebenarnya merupak-
an penyempurnaan dari model yang dirancang oleh Bachelier
pada tahun 1900. Pada waktu itu Bachelier memakai
pendekatan limit jalan acak (gerak Brown).
Bahkan yang lebih mengejutkan, karya klasik Bapak Eko-
nomi Adam Smith (1723-1790) yang berjudul The Principles
which Lead and Direct Philosophical Enquiries; Illustrated by
17
the History of Astronomy —sering disingkat sebagai The His-
tory of Astronomy saja1 — secara jelas membuktikan bahwa
ia memakai teori gerak planet untuk menjelaskan prinsip-
prinsip ekonominya (De Liso dan Filatrella, 2001; Simanung-
kalit, 2002; Supratikno, 2002). Teorinya yang menyatakan,
"fungsi pasar mirip dengan fungsi matahari dalam sistem ta-
ta surya" atau pandangannya tentang "tangan-tangan gaib"
(the invisible hands) yang menciptakan kesetimbangan pasar
(market equilibrium) menunjukkan betapa kuat pengaruh ini.
Karenanya mudah untuk dimafhumi jika Dagun (1992) banyak
memakai kiasan-kiasan dalam fisika di dalam artikel nya
yang berjudul Pengantar Filsafat Ekonomi demi menjelaskan
konsep-konsep ekonomi.
Sedini sebelum workshop yang fenomenal itu, Stanley da-
lam Nature edisi 29 Februari 1996 telah mencoba memberikan
takrif apa itu ekonofisika. Menurutnya, ekonofisika meru-
pakan penerapan teknik-teknik fisika untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan ekonomi.
Dengan demikian, tujuan dari ekonofisika adalah menerap-
kan gagasan ilmu fisika dengan sebaik-baiknya ke dalam ranah
ekonomi. Bisa jadi, ekonofisika akan mengurai hukum-hukum
alam dan perilaku manusia dalam gejala ekonomi, dan proses
ini akan berujung pada lahirnya sebuah ekonomi baru.
Dalam konteks ini, takrif ekonofisika yang diberikan oleh
Wang et al. (2005) menjadi takrif yang lebih rinci daripada
takrif Stanley. Ekonofisika merupakan disiplin yang menerap-
kan dan menawarkan gagasan, metode dan model dalam fisika
1Bentuk penyingkatan judul karya Smith ini sebenarnya amat rancu,
sebab singkatan ini menunjukkan seolah-olah karya Smith berisi
tentang kronologis ilmu astronomi saja
18 Selayang Pandang Ekonofisika
statistik dan kompleksitas untuk menganalisis data-data dari
gejala ekonomi.
Sebenarnya, sampai sekarang belum ada takrif yang terang
mengenai ekonofisika. Kendati demikian, jumlah karya ilmiah
di bidang ini sejak 1992 sampai April 2003 telah mencapai
662 dengan lebih dari 20 jurnal (Fan et al., 2004).
1.1 Hubungan Fisika dan Ekonomi
Selain menunjukkan bahwa gagasan-gagasannya banyak diil-
hami oleh fisika, karya Smith The History of Astronomy juga
menunjukkan ada tumpang tindih yang tak terduga dengan
Thomas Kuhn mengenai konsep paradigma (De Liso dan Fi-
latrella, 2001, hlm. 5-8). Merujuk pada pendapat Skinner
dan Loasby, Smith merupakan perintis konsep paradigma di
ekonomi (De Liso dan Filatrella, 2001) sebagaimana Kuhn di
fisika (Capra, 2001).
Ternyata tidak hanya Smith yang tertarik dengan metode-
metode dalam fisika. Ada sederetan ekonom yang menyusul
jejak Smith, seperti Jevons, Walras, Marshall, Stigler, Kim,
Lux dan pemenang anugerah nobel ekonomi 1990 Harry Mar-
kowitz2. Marshall dengan adikaryanya The Principle of Eco-
nomics 1890 telah mengubah ilmu ekonomi politik (political
economy)3 menjadi ekonomi (economics) dengan model-model
2Karyanya yang berjudul Portfolio Selection dianggap merupakan
titik tonggak lahirnya teori portofolio modern. Karya ini pulalah yang
mengantarkannya mendapat anugerah nobel ekonomi 1990.
3Ilmu ekonomi lahir ketika Adam Smith mengeluarkan karyanya,
Wealth of Nation 1776. Generasi setelahnya menyebut Smith sebagai
pendiri madzhab klasik dalam ekonomi. Saat itu ilmu ekonomi lahir
sebagai political economy dan bukan economics. Ekonomi politik adalah
1.1 Hubungan Fisika dan Ekonomi 19
yang bersifat matematis. Adikarya Marshall ini dianggap seba-
gai tonggak kelahiran madzhab neo-klasik (Mubyarto, 1987).
Sebelumnya, Jevons dan Walras telah mempeloporinya pada
1860-an. Penetrasi model-model matematis ke dalam ilmu
ekonomi saat itu dilakukan melalui fisika dan menempatkan
fisika sebagai benchmark (tolok ukur) (De Liso dan Filatre-
lla, 2001). Sedangkan Stigler yang berasal dari Perguruan
Ekonomi Chicago memaklumkan simulasi Monte Carlo yang
diterapkan untuk menelisik pasar pada tahun 1964. Kim dan
Markowitz mencoba membuat model kejatuhan Wall Stre-
et 1987 yang mirip dengan model yang digunakan fisikawan.
Dan penelitian Lux berdasar pada hasil kerja para fisikawan,
seperti misalnya Haken (Stauffer, 2000).
Ekonomi merupakan disiplin tentang perilaku manusia
yang berhubungan dengan manajemen sumberdaya, keuang-
an, pendapatan, produksi dan konsumsi barang-barang dan
jasa (Wang et al., 2005). Sehingga ekonomi biasanya dii-
dentikkan dengan ilmu sosial. Namun dalam beberapa hal,
hukum-hukum ekonomi menunjukkan keserupaan dengan ilmu
alam. Meskipun ekonomi berkepentingan dengan motivasi
dan keputusan manusia, namun seringkali perilaku kolektif
dapat diterangkan dengan proses yang tertentu, setidaknya
dengan cara statistik. Dagun (1992, hlm. 265) menguatkan
bahwa aktivitas bebas manusia tidak semata-mata merupakan
akibat kehendak bebas tetapi muncul dari motif-motif. Maka,
motif-motif inilah yang memungkinkan untuk diterapkannya
statistik.
Mengingat ekonomi selama ini dimasukkan dalam ranah
suatu ilmu yang membahas hubungan antara proses-proses politik dan
ekonomi (Mubyarto, 1987, hlm. 7).
20 Selayang Pandang Ekonofisika
ilmu sosial, maka ada baiknya jika menengok pendapat ’Abdu-
lrahim. Dalam angapannya, ’Abdulrahim memandang bahwa
sebenarnya ilmu sosial adalah juga ilmu pasti (eksakta). Me-
nurutnya, dikotomi ilmu menjadi ilmu sosial dan ilmu eksakta
adalah tidak tepat. Secara lengkap pendapat ’Abdulrahim
dapat dilacak dalam kutipan berikut:
"Biasanya para ahli ilmu sosial menganggap hukum-
hukum yang berkenaan dengan manusia, baik seba-
gai individu maupun masyarakat tidak termasuk
hukum yang pasti. Oleh karena itu mereka memi-
sahkan ilmu sosial dari ilmu alam dan matematika
(ilmu-ilmu eksakta). Mereka mengatakan ilmu sosi-
al tidak pasti. Padahal sebenarnya hukum-hukum
sosial itupun eksak, sebagaimana diterangkan da-
lam Al Quran itu. Namun variabelnya sangat
banyak, sama banyaknya dengan jumlah manusia
di dunia ini dikalikan dengan segala macam kei-
nginan mereka, sehingga sangat sukar diperkirakan
korelasi antara variabel yang satu dengan yang la-
in. Mereka yang mengatakan hukum-hukum sosial
yang universal itu tidak eksak, pada dasarnya ka-
rena kegagalan mereka menemukan korelasi antara
variabel yang sangat banyak ini. Tetapi dengan
majunya ilmu statistik sesudah mendapat bantuan
komputer sekarang ini, dapat dibuktikan betapa
anggapan para pakar ilmu-ilmu sosial selama ini
adalah salah." (’Abdulrahim, 1997, hlm. 95)
Pencantuman kutipan di atas dalam bagian dari pembahasan
ini tidak berkepentingan terhadap perdebatan dikotomi ilmu
1.1 Hubungan Fisika dan Ekonomi 21
sosial dan eksakta. Titik tekan yang hendak diajukan di
sini ialah bahwa unit-unit yang berinteraksi dalam sistem
ekonomi dapat didekati dengan cara pandang yang sama ketika
fisikawan mengamati sistem fisis pada skala mikroskopik (Lux,
2000). Johnson (Jawa Pos, 23/09/2002) dari laboratorium
Clarendon menunjukkan ada keterkaitan yang sangat kuat
antara kegiatan keuangan dengan perilaku dari zarah, atom,
dan molekul.
Tsallis, seperti yang ditulis oleh Kebamoto (2002), juga
mempunyai kesimpulan yang paralel dengan Johnson. Me-
nurutnya, dengan statistik termodinamika, manusia dapat
dimodelkan sama dengan atom dalam segala hal kecuali ma-
salah intelegensi dan budaya. Dengan kata lain, andaikan
masalah intelegensi dan budaya ini untuk sementara diabaik-
an, maka kelakuan manusia dapat dipandang seperti kelakuan
atom. Ringkasnya, sistem ekonomi sama dengan sistem fisika.
Paradigma ini semakin menemukan kekuatannya ketika
merujuk pada hakikat manusia dan benda-benda nirnyawa.
Atom adalah unsur pembentuk yang sama dalam manusia,
batu, gunung, air, matahari, hewan dan tumbuhan. Ibnul
Qayyim (2005) menyebutkan bahwa setiap makhluk bernyawa
atau nirnyawa seluruhnya mempunyai roh. Pada aras ini, ma-
ka tidak ada lagi beda antara manusia atau atom. Penyebutan
manusia bersamaan dengan matahari, tumbuhan dan hewan
melata dalam Kitab Suci dapat dipahami dalam kerangka
ini .
"Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa kepada
Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, ma-
tahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan,
22 Selayang Pandang Ekonofisika
binatang-binatang yang melata dan sebagian besar
daripada manusia?" (QS Al Hajj: 18)
Beberapa ayat lain yang semakna tentang masalah ini antara
lain dapat ditemui dalam Al Isra’: 44, Shaad: 18, dan An
Nuur: 41.
Topik penelitian yang digarap oleh Amaral et al. (2003)
memberi kejelasan terhadap masalah ini. Dalam kajiannya,
Amaral et al. memusatkan pada 3 jejaring, yakni jejaring
ekonomi dan teknologi, jejaring sosial dan terakhir adalah
jejaring fisis dan biologis. Dalam jejaring pertama dimana
diteliti jalur transmisi dan lalu lintas di bandara (penumpang
dan pesawat) menunjukkan bahwa keduanya mematuhi hukum
pangkat. Demikian pula dalam jejaring kedua dan ketiga yang
juga mematahui hukum pangkat. Pada akhirnya, kesimpulan
yang didapat Amaral et al. dari kajian itu adalah fenomena-
fenomena ini dapat dikiaskan dengan teori fenomena
kritis (critical phenomena). Kesimpulan yang sama juga
didapat oleh Drăgulescu dan Yakovenko (2004) yang meneliti
kelakuan uang, pendapatan dan kekayaan masyarakat dengan
mekanika statistik sebagai pisau telisiknya. Sedangkan Stanley
et al. (2002) berhasil memakai paradigma transisi fase dan
fenomena kritis untuk menerangkan kemajemukan pengaturan
diri dalam ekonomi dan keuangan.
Gagasan tentang pengaturan diri ini sebenarnya banyak
ditemukan di sepanjang sejarah ilmu-ilmu sosial yang digunak-
an untuk mendeskripsikan proses pengaturan diri kehidupan
sosial. ’Tangan gaib’ dalam teori ekonomi Smith dapat di-
kategorikan di sini. Contoh lainnya ialah ’check and balance’
dalam Undang-Undang Amerika Serikat dan hubungan tim-
1.2 Model Ekonofisika 23
bal balik tesis dan antitesis dalam dialektika Hegel dan Mark
(Capra, 2001, hlm. 97).
Interaksi yang begitu erat antara fisika dan ekonomi ini
membuat De Liso dan Filatrella (2001) dan Stauffer (2000)
menyatakan dengan tegas bahwa ekonofisika bukanlah ranah
keilmuan yang baru. Merujuk pada dua pendapat ini, maka
anggapan Kebamoto (2002) dan Mart (2001) bahwa ekonofisi-
ka merupakan gagasan fisika yang baru atau bidang penelitian
baru dalam fisika dapat dinilai sebagai anggapan yang kurang
tepat. Pada aras ini pula, kecurigaan Mubyarto (2002) ter-
hadap ekonofisika sehingga mengimbau LIPI dan AIPI untuk
"membahas ekonofisika secara serius" dapat dilihat sebagai
pendapat yang tidak mempunyai pijakan ilmiah.
1.2 Model Ekonofisika
Dalam konteks ekonomi, model merupakan sebuah bangu-
nan teoritis yang menggambarkan proses ekonomi dengan
seperangkat peubah (variabel) dan seperangkat hubungan
kekerabatan logis dan kuantitatif antar peubah-peubah terse-
but (Boediono, 1981; Wikipedia, 2005). Sebagaimana dalam
ranah ilmu lainnya, maksud dari suatu model adalah menye-
derhanakan proses-proses yang majemuk (kompleks). Dalam
pengertian yang sekarang, setiap model dalam ekonomi selalu
dikaitkan dengan bentuk matematika (De Liso dan Filatrella,
2001, hlm. 10), meskipun ada juga model kualitatif seperti
misalnya perencanaan skenario yang memungkinkan peristiwa-
peristiwa mendatang dikerjakan dan analisis pohon keputusan
non-numerik. Namun, model-model kualitatif bukanlah model
yang cermat (Wikipedia, 2005).
24 Selayang Pandang Ekonofisika
Sebelumnya, Boediono (1981, hlm. 1-2) bahkan lebih tegas
dengan menyatakan bahwa ekonom tidak lagi puas dengan
jawaban bahwa "bila harga beras naik maka jumlah yang
diminta akan turun". Ekonom menghendaki jawaban yang
lebih rinci dan cermat, seperti "bila harga beras naik 10%,
maka berapa persen penurunan jumlah yang diminta". Atau,
berapa kenaikan maksimal jumlah uang yang beredar agar
inflasi tidak melebihi suatu nilai tertentu.
Terkait dengan ekonofisika, sedikitnya ada 2 pendekatan
(Baaquie et al., 2002; Mart, 2001; Stauffer, 2000; Wang et
al., 2005) yang bisa digunakan untuk memodelkan dinamika
perkembangan sektor-sektor ekonomi, yaitu model analisis
data dan penggunaan model-model fisika sebagai model acuan.
Mengacu pada pembagian fisika yang menjadi 2 kelompok:
fisika teori dan fisika eksperimen (dengan fisika komputasi bisa
bekerja pada keduanya), Stauffer (2000) menyebut pendekatan
pertama sebagai ekonofisika eksperimen dan pendekatan kedua
sebagai ekonofisika teori. Sedangkan Baaquie et al. (2002)
menyebut pendekatan pertama sebagai pendekatan bottom up
dan pendekatan kedua sebagai pendekatan top down.
1.2.1 Model Analisis Data
Di dalam fisika, metode statistik (lebih tepat disebut fisika
statistik) digunakan ketika berhadapan dengan masalah inte-
raksi antarsub-unit dengan jumlah sangat besar, sementara
interaksi individual antarsub-unit itu sendiri sangat sulit un-
tuk dijelaskan. Dengan demikian, metode ini memberikan
prediksi sifat kolektif dari kumpulan sub-unit.
Kritik yang dilontarkan oleh ilmuwan pada metode ini me-
nyangkut keabsahan penggunaan metode fisika pada masalah-
1.2 Model Ekonofisika 25
masalah sosial yang dikatakan memiliki jumlah sub-unit sa-
ngat terbatas.
Di dalam termodinamika, di mana fisika statistik sangat
sukses untuk menjelaskan fenomena alam, jumlah sub-unit
yang dibahas umumnya dapat mencapai 1020. Meski demikian,
simulasi-simulasi komputer untuk gas dan zat cair sudah
menunjukkan hasil yang sangat memuaskan untuk sistem
yang terdiri dari 20 hingga 30 atom saja, yang menunjukkan
bahwa metode ini sudah dapat bekerja untuk sistem-sistem
kecil.
Kritik lain adalah lagi-lagi menyangkut perbedaan antara
manusia dan sistem zarah (elektron, nukleon, atom, atau mo-
lekul) yang dibahas fisika statistik, karena manusia dikatakan
memiliki daya adaptasi terhadap fluktuasi-fluktuasi ekono-
mi, sedangkan kumpulan zarah akan terus patuh mengikuti
hukum alam jika terjadi fluktuasi pada keadaan di sekitarnya.
Kritik ini ternyata tidak sepenuhnya benar, karena pene-
litian dengan metode fisika statistik ternyata cukup sukses
jika diterapkan pada masalah non-coding DNA, inflasi paru-
paru manusia, interval denyut jantung, bahkan pada masalah
perkembangan kota dan beberapa sifat hewan, yang tentu
saja memiliki daya adaptasi tersendiri untuk mengantisipasi
perubahan yang terjadi dengan lingkungannya (Amaral et al.,
1999). Model ekonofisika dengan analisis data ini misalnya
dapat dijumpai dalam pustaka Drăgulescu dan Yakovenko
(2004), Amaral et al. (2003), dan Stanley et al. (2002).
1.2.2 Model acuan
Dalam model ini, model-model yang telah jamak dikenal da-
lam fisika dimanfaatkan sebagai acuan untuk memodelkan
26 Selayang Pandang Ekonofisika
sistem maupun gejala ekonomi. Wang et al. (2005) menye-
butkan bahwa model spin telah digunakan oleh Krawiecki et
al. untuk menerangkan pengambilan keputusan pemain pasar
modal dan Wu et al. memakai nya untuk menerangkan
kelakuan manusia dalam aktivitas ekonomi yang lain. Da-
lam model ini , status agen merupakan salah satu dari
{1, 0,−1} yang ditafsirkan sebagai membeli, menunggu dan
menjual atau hanya salah satu dari {1,−1}. Sehingga kea-
daan status dari sistem keseluruhan dengan N agen adalah
{S1, S2, S3, · · · , SN}. Keuntungan setiap agen ditentukan oleh
fungsi hasil E
(
~S, ~J, IEs
)
, dengan ~J adalah interaksi terus-
menerus dari seluruh transaksi dan IEs merupakan peubah
internal seperti harga saham atau informasi eksternal seperti
lingkungan dan rekam jejak perusahaan. Karena setiap agen
ingin memaksimalkan keuntungannya, maka
ωi (Si(t)→ Si(t+ 1)) ∼ e
∆Ei
T (1.1)
dengan T merupakan koefisien evaluasi rerata, yang berarti
pengaruh sebuah keputusan untuk suatu keuntungan. Bentuk
keputusan agen ini muncul dari distribusi ansambel dalam
mekanika statistik.
Model gas ideal juga digunakan sebagai model acuan da-
lam ekonofisika (Drăgulescu dan Yakovenko, 2000). Model
ini mencoba menerangkan persaingan dan perkawanan antar
perusahaan atau antar individu atau agen. Di sini, pertu-
karan acak kekayaan satu dengan lainnya dipandang seperti
pertukaran acak tenaga dalam gas ideal. Sehingga distribusi
kesetimbangan akan berbentuk eksponensial.
Lux (2000) bahkan melakukan sebuah gebrakan dengan
1.3 Topik Ekonofisika 27
menghadapkan hipotesis pasar efisien vis a vis hipotesis per-
tukaran agen. Gagasannya terinspirasi dari hasil kajian fisika
statistik, bahwa sistem fisis yang terdiri dari banyak zarah
yang berinteraksi akan mematuhi hukum universal (scaling
law) yang bebas dari detil mikroskopik. Ini dapat disepa-
dankan dalam ekonomi keuangan dimana unit-unit yang ber-
interaksi adalah pemain pasar dan scaling law yang bekerja
adalah kenyataan yang selalu mengikuti tren semisal klaster
volatilitas. Hipotesis pasar efisien memegang peran kunci
dalam teori keuangan. Hipotesis ini merupakan andaian pen-
ting dalam beberapa teori keuangan seperti teori struktur
modal, model penentuan harga aset (Capital Asset Pricing
Model/CAPM) dan model penentuan harga opsi (Sartono,
1996).
Model yang lain misalnya penggunaan persamaan difusi
(Baaquie et al., 2002) yang secara gemilang telah ditunjukkan
oleh Black dan Scholes ketika mendesain model penentuan
harga opsi. Selain persamaan difusi, model Black-Scholes juga
memakai gerak Brown geometrik sebagai model acuannya.
Model Black-Scholes merupakan salah satu contoh dari model
ekonomi standard (Ilinski, 1999; Wikipedia, 2005). Bahkan,
model ini berhasil memenangkan anugerah nobel ekonomi
1997. Maka, dapat dipahami jika Sembel dan Baruno (2002)
menyebutnya sebagai sebuah teori besar.
1.3 Topik Ekonofisika
Dari uraian di muka, tampak bahwa ranah ekonofisika teramat
luas untuk dikaji. Aneka topik ekonofisika yang tersedia tidak
mungkin dikupas semua dalam kesempatan ini. Karenanya,
28 Selayang Pandang Ekonofisika
artikel kecil ini perlu membatasi dan menyempitkan topik yang
akan dikaji.
Masalah yang akan menjadi topik ialah model penentuan
harga opsi. Mengapa opsi? Opsi (option) merupakan produk
derivat yang menyatakan hak seseorang (namun bukan kewa-
jiban) untuk membeli saham atau aset lainnya dengan harga
tertentu sebelum atau pada saat yang telah dijadwalkan.
Opsi merupakan surat berharga yang istimewa. Sebab,
jika dibandingkan dengan aset keuangan yang lain, investasi
dalam opsi membutuhkan modal yang jauh lebih kecil tetapi
menjanjikan keuntungan yang jauh lebih besar. Andai pun
mengalami kerugian, maka kerugian yang diderita karena
investasi dalam bentuk opsi jauh lebih kecil dibanding jika
berinvestasi pada aset keuangan lainnya. Selain itu, opsi juga
bisa digunakan untuk mempertahankan portofolio investasi.
Bahkan, Weston dan Copeland (1995) menulis bahwa seluruh
kontrak keuangan dapat disederhanakan hanya menjadi 4
surat berharga saja, 2 diantaranya adalah opsi.
Namun, sebagai produk derivat yang sepenuhnya bergan-
tung pada surat berharga acuan dan kesepakatan dalam kon-
trak, harga opsi selalu berubah-ubah terhadap waktu. Maka,
pertanyaan mendasar yang lekat dengan opsi adalah berapa
harga yang pantas (adil) untuk dikeluarkan oleh pembeli opsi
dan siasat investasi seperti apa yang harus dipasang oleh pen-
jual opsi selama masa kontrak untuk meminimalkan risiko
kerugian. Pada gilirannya, jika harga opsi ini berhasil diru-
muskan secara eksak maka model penentuan harga opsi akan
menjadi semacam lingua franca bagi semua pemain di pasar
saham.
Ada banyak opsi yang dikenal di pasar saham. Kita ak-
1.3 Topik Ekonofisika 29
an membatasi kajian pada jenis opsi Eropa dengan surat
berharga acuan adalah saham. Opsi Eropa merupakan opsi
yang hanya bisa dilaksanakan pada saat jatuh tempo saja.
Model ekonofisika yang akan dipakai adalah model kedua,
yakni memakai model dalam fisika sebagai acuan untuk
menurunkan model penentuan harga opsi.
Model penentuan harga opsi merupakan topik penting da-
lam manajemen keuangan dan investasi 4. Kajian mengenai
harga opsi dipelopori oleh Bachelier dalam disertasi doktor-
nya di Universitas Sorbonne Perancis tahun 1900. Bachelier
menghitung harga opsi secara analitik dengan memakai
gerak Brown dan andaian pengembalian (return) saham yang
memiliki distribusi normal.
Hakiman (2005) mengatakan bahwa persamaan Bachelier
dapat ditulis sebagai berikut
C = SN
(
S −K
σ
√
T − t
)
−KN
(
S −K
σ
√
T − t
)
+σ
√
T − tN
(
K − S
σ
√
T − t
)
(1.2)
dengan S : harga saham saat ini, K : harga laksana saat jatuh
tempo dan N : kumulatif distribusi normal.
Namun, penemuan Bachelier ini menimbulkan masalah
yang serius yaitu dimungkinkannya harga negatif baik pada
harga saham maupun harga opsi. Meskipun begitu, pijakan
yang diletakkan Bachelier merupakan andaian penting dalam
4Lihat kepustakaan Basuki et al. (1997); Berlianta (2005); Brigham
dan Houston (2001); Fabozzi (2000); Hakiman (2005); Halim (2003);
Hull (1989); Husnan (1995); Kamaruddin (1996); Keown et al. (2000);
Rutterford (1993); Sartono (1996); Sharpe et al. (1999); Sundjaja (2003);
Weston dan Copeland (1995); Yuliati et al. (1996)
30 Selayang Pandang Ekonofisika
perkembangan model penentuan harga opsi selanjutnya. Se-
jarah perkembangan model harga opsi sejak Bachelier dapat
dilihat dalam pustaka Hakiman (2005) dan Hull (1989).
Perkembangan yang paling menonjol adalah ketika Black
dan Scholes memaklumkan model penentuan harga opsinya
pada tahun 1973. Bisa dikatakan model Black-Scholes inilah
yang kemudian menjadi pijakan bagi model-model berikutnya.
Model Black-Scholes kemudian dikembangkan oleh Merton,
Ingersoll, Garman dan Kohlagen, Geske, Roll dan Whaley
(Copeland dan Weston, 1988; Hakiman, 2005; Hull, 1989).
Sampai sekarang, hampir seluruh artikel -artikel teks mana-
jemen keuangan dan investasi yang dirujuk sebagai pustaka
dalam artikel ini hanya menyebut ada 2 model penentuan har-
ga opsi, yaitu model Black-Scholes dan model binomial yang
dibangun oleh Cox dan Ross 3 tahun setelah Black-Scholes.
Dibandingkan dengan model Black-Scholes, model binomial
tidak mengalami perkembangan yang pesat. Bahkan, mo-
del Black-Scholes merupakan contoh yang baik dari model
ekonomi (Wikipedia, 2005).
Selain itu, model Black-Scholes juga bisa didekati dengan
beragam teknik dalam fisika. Ilinski, sebagaimana dikutip
oleh Mart (2001), mengklaim bahwa persamaan model Black-
Scholes bisa diturunkan dengan konsep kuantum. Untuk
melompat dari dunia kuantum ke pasar saham Ilinski meng-
ganti medan elektromagnetik yang mengatur interaksi antar
zarah bermuatan dengan medan arbitrasi (arbitrage) yang
menjelaskan perubahan harga opsi serta saham sebagai fungsi
waktu.
Baaquie et al. (2002) memakai manipulasi matema-
tika untuk mengubah persamaan Black-Scholes menjadi per-
1.3 Topik Ekonofisika 31
samaan yang mirip dengan persamaan turunan Schrödinger
yang merupakan persamaan dasar dalam mekanika kuantum
non relativistik. Teknik yang dipakai Baaquie adalah dengan
memakai integral lintasan Feynmann.
Dalam manajeman keuangan dan investasi, opsi mempu-
nyai kedudukan yang sangat penting. Ini tercermin dalam
ungkapan Weston dan Copeland (1995) yang menegaskan
bahwa seluruh jenis kontrak keuangan pada dasarnya meru-
pakan gabungan dari hanya 4 bentuk surat berharga, yaitu:
saham, obligasi bebas risiko, opsi beli dan opsi jual. Atau,
jika disempitkan hanya mejadi saham, obligasi dan opsi saja.
Bahkan sebelum Weston dan Copeland (1995), Cox, Ross
dan Rubinstein dalam Journal of Financial Economics (Co-
peland dan Weston, 1988, hlm. 240) telah mengemukakan
bahwa model penentuan harga opsi dapat bekerja di ham-
pir semua ranah keuangan. Hampir semua surat berharga
perusahaan dapat ditafsiri dengan opsi beli dan opsi jual.
Pernyataan-pernyataan ini pada akhirnya hanya membuat
model penentuan harga opsi semakin bertenaga. Karenanya,
pemahaman yang baik mengenai model penentuan harga opsi
Black-Scholes merupakan jalan lurus untuk masuk ke ranah
ekonofisika. Dari sini pemandangan ekonofisika akan segera
terbentang.
Takrif Peluang
Ruang Peluang
Peluang peristiwa bersyarat
Peluang peristiwa saling bebas
Peubah Acak
Fungsi agihan
Nilai harap dan variansi
Kovariansi dan korelasi
2 — Teori Peluang
Istilah percobaan dalam matematika/fisika ialah sebuah usaha
yang dilakukan untuk mendapatkan satu dari sekian banyak
hasil keluaran yang mungkin. Salah satu contoh dari perco-
baan ini adalah usaha untuk mendapatkan hasil ’muka’
dalam pelantunan sebuah koin. Usaha ini termasuk percobaan
sebab dalam pelantunan sebuah koin ada dua hasil keluaran
yang mungkin yaitu ’muka’ dan ’belakang’. Demikian pula
usaha untuk mendapatkan ’nilai 1’ dalam pelantunan sebuah
dadu juga merupakan percobaan, sebab nilai 1 merupakan
salah satu dari hasil keluaran yang mungkin yaitu nilai 1, 2,
3, 4, 5 dan 6.
Dalam percobaan pelantunan sebuah koin dan dadu di
atas, munculnya ’muka’ dan ’nilai 1’ disebut sebagai hasil
percobaan atau hasil keluaran (outcome). Jika semua ha-
34 Teori Peluang
sil keluaran yang mungkin dari sebuah percobaan disatukan
dalam sebuah himpunan, maka himpunan demikian disebut
sebagai ruang sampel (sample space). Dalam percobaan di
atas, maka ruang sampel bagi percobaan pelantunan sebuah
koin adalah himpunan yang beranggotakan muka dan bela-
kang. Ruang sampel dari percobaan pelantunan sebuah dadu
beranggotakan nilai-nilai 1, 2, 3, 4, 5 dan 6.
Setiap percobaan selalu hanya memiliki satu ruang sampel.
Jika dilakukan percobaan pelantunan dua buah koin, maka
ruang sampel yang muncul adalah himpunan pasangan (muka,
muka), (muka, belakang), (belakang, muka), dan (belakang,
belakang). Ruang sampel ini jelas berbeda dengan ruang sam-
pel percobaan pelantunan sebuah koin. Karena itu, terdapat
perkawanan satu-satu antara percobaan dan ruang sampel:
satu percobaan←→ satu ruang sampel. (2.1)
Setiap tepat satu anggota dari ruang sampel disebut titik
sampel . Satu atau beberapa titik sampel yang termuat dalam
sebuah himpunan ruang sampel disebut peristiwa atau kejadi-
an (event). Jadi peristiwa merupakan himpunan bagian dari
ruang sampel. Kaitan ini menyiratkan bahwa ruang sampel
sebenarnya juga merupakan peristiwa yaitu sebuah peristiwa
yang memuat seluruh titik sampel yang ada. Peristiwa seperti
ini disebut peristiwa pasti (sure event), sebab setiap keluaran
yang muncul selalu merupakan anggota dari peristiwa itu. Se-
baliknya, himpunan kosong yang juga merupakan himpunan
bagian dari ruang sampel merupakan peristiwa mustahil (im-
posible event), sebab tidak mungkin sebuah percobaan tidak
memiliki hasil keluaran apapun. Apabila sebuah peristiwa
2.1 Takrif Peluang 35
hanya memuat satu titik sampel saja maka peristiwa demikian
disebut peristiwa unsuriah (elementary event) atau peristiwa
keunsuran.
Setiap peristiwa mempunyai ukuran kecenderungan untuk
terjadi yang berbeda-beda nilainya. Ukuran kecenderungan ini
dinamakan peluang terjadinya peristiwa atau cukup disebut
peluang saja.
2.1 Takrif Peluang
Ada beberapa cara untuk menguraikan takrif (definition)
peluang sebuah peristiwa. Andaikan peristiwa A merupak-
an peristiwa yang memenuhi A 6= peristiwa pasti dan A 6=
peristiwa mustahil, maka peluang terjadinya A dilambangkan
dengan P(A) dan dapat ditakrifkan menurut beberapa cara.
Yang pertama adalah takrif klasik. Menurut takrif ini,
peluang P(A) peristiwa A ditentukan secara a priori tanpa
pelaksanaan percobaan yang sebenarnya. Takrif ini mempu-
nyai pengandaian bahwa suatu percobaan selalu menghasilkan
N hasil keluaran yang tidak mungkin terjadi bersama-sama
dan masing-masing punya peluang yang sama untuk terjadi,
maka:
P(A) = NA
N
(2.2)
dengan NA menyatakan banyaknya hasil keluaran dalam A.
Karena peristiwa A bukan peristiwa mustahil dan juga bukan
peristiwa pasti atau 0 ≤ NA ≤ N , maka 0 ≤ P(A) ≤ 1.
Meskipun takrif ini mudah dimengerti dan digunakan, tetapi
persyaratan ’mempunyai peluang yang sama’ dalam praktik
36 Teori Peluang
mungkin sekali tidak masuk akal, disamping keterbatasan
penggunaannya yang hanya untuk percobaan dengan ruang
sampel berhingga.
Yang kedua adalah takrif empiris. Peluang A ditakrifkan
sebagai kekerapan nisbi (relative frequency, frekuensi rela-
tif) terjadinya peristiwa A, jika percobaan ini diulang
sebanyak mungkin. Artinya
P(A) = lim
N→∞
NA
N
. (2.3)
Dibandingkan dengan takrif klasik, takrif ini lebih masuk akal
sebab tidak diperlukan persyaratan seperti takrif klasik. Ha-
nya saja takrif ini mengharuskan percobaan dapat dilakukan
sebanyak mungkin. Takrif ini disebut juga takrif kekerapan
nisbi dan biasa digunakan sebagai penjelas dari takrif klasik
atau bisa juga sebaliknya.
Yang ketiga adalah takrif subjektif. Nilai sebuah pe-
luang dalam takrif ini lebih berdasar pada pertimbangan-
pertimbangan perseorangan atau subjektif dan biasanya di-
lakukan apabila pengertian-pengertian objektif tidak dapat
digunakan, misalnya dalam keadaan dimana percobaan belum
atau bahkan tidak pernah dilakukan. Karena itu takrif ini
hanya menunjukkan tingkat keyakinan terhadap peristiwa A
dalam 2 pilihan: terjadi atau tidak terjadi.
Yang keempat adalah takrif aksiomatis. Sesuai dengan
namanya, dalam takrif ini peluang diandaikan memenuhi
sejumlah aksioma tertentu. Dalam takrif ini, andaikan Ω
adalah ruang sampel suatu percobaan, A adalah himpunan
peristiwa maka P(A) adalah peluang terjadinya peristiwa A
jika memenuhi 3 aksioma berikut:
2.2 Ruang Peluang 37
Aksioma 2.1. P(A) ≥ 0
Aksioma 2.2. P(Ω) = 1
Aksioma 2.3. Jika A1 ∩ A2 = {∅} , maka P(A1 ∪ A2) =
P(A1) + P(A2)
Pendekatan secara aksiomatis dalam memberikan takrif
terhadap peluang seperti di atas diperkenalkan oleh A. N.
Kolmogorov pada tahun 1933. Dalam artikel ini, pembahas-
an tentang teori peluang selanjutnya akan berangkat dari
pendekatan aksiomatis ini.
2.2 Ruang Peluang
Syarat-syarat sebagaimana termaktub dalam aksioma (2.1),
(2.2), dan (2.3) merupakan aksioma teori peluang atau juga
dikenal sebagai aksioma Kolmogorov. Dalam perkembangan
teori peluang, seluruh kesimpulan berdasar secara langsung
maupun tidak langsung pada aksioma-aksioma di atas dan
hanya pada aksioma-aksioma di atas. Berikut adalah akibat-
akibat dari aksioma di atas:
1. Peluang peristiwa mustahil adalah nol, dapat ditulis
P(∅) = 0. Karena A ∩ ∅ = ∅ dan A ∪ ∅ = A, maka
P(A) = P(A ∪ ∅) = P(A) + P(∅).
2. Untuk sebarang peristiwa A, berlaku
P(A) = 1− P(A′) ≤ 1 (2.4)
dengan A′ merupakan imbangan atau pelengkap (com-
plement) bagi A dalam ruang sampel Ω. Karena A∪A′ =
38 Teori Peluang
Ω dan A ∩ A′ = ∅, maka 1 = P(Ω) = P(A ∪ A′) =
P(A) + P(A′).
3. Untuk sebarang peristiwa A1 dan A2 berlaku
P(A1∪A2) = P(A1)+P(A2)−P(A1∩A2) ≤ P(A1)+P(A2).
(2.5)
Seperti telah disinggung di atas, peristiwa merupakan
himpunan bagian dari ruang sampel Ω. Apabila A1 dan A2
keduanya merupakan peristiwa, maka A1∩A2 dan A1∪A2 juga
merupakan peristiwa. Hal ini menyebabkan bahwa gabungan
dan irisan berbagai peristiwa juga mempunyai nilai peluang
yang dapat dihitung. Konsep yang membahas tentang hal ini
dikenal sebagai lapangan (field).
Suatu lapangan L adalah himpunan yang beranggotakan
himpunan-himpunan dan L 6= ∅ sedemikian rupa sehingga
jika A ∈ L maka A′ ∈ L (2.6)
dan
jika A1 ∈ L dan A2 ∈ L maka A1 ∪ A2 ∈ L. (2.7)
Kedua sifat ini merupakan syarat minimal sebuah
lapangan. Sifat-sifat lainnya adalah sebagai berikut:
jika A1 ∈ L dan A2 ∈ L maka A1 ∩ A2 ∈ L (2.8)
Dari persamaan (2.6) terlihat juga bahwa A1′ ∈ L dan A2′ ∈
L. Dengan memakai persamaan (2.7) dan (2.6) pada
2.2 Ruang Peluang 39
himpunan A1′ dan A2′, dapat disimpulkan bahwa
A1
′ ∪ A2′ ∈ L, (A1′ ∪ A2′)′ = A1 ∩ A2 ∈ L.
Suatu lapangan juga memuat peristiwa pasti dan peristiwa
mustahil: Ω ∈ L dan ∅ ∈ L. Oleh karena L tidak kosong,
maka L memuat paling sedikit satu anggota A, akibatnya
(dengan memakai persamaan (2.6)) L juga harus memuat
A′. Jadi,
A ∪ A′ = Ω ∈ L dan A ∩ A′ = ∅ ∈ L.
Jika sekarang diandaikan A1, A2, . . . adalah barisan tak
hingga himpunan anggota L dan jika gabungan maupun iris-
an himpunan-himpunan ini juga ada dalam L, maka
L disebut lapangan Borel B. Dengan demikian, penger-
tian peristiwa dapat disempurnakan menjadi sekumpulan
himpunan-himpunan bagian dari Ω yang membentuk lapang-
an Borel. Akibat lanjutan dari pengertian ini adalah dapat
ditentukannya peluang yang tidak hanya pada gabungan dan
irisan berhingga peristiwa-peristiwa, namun juga pada limit-
nya. Dengan demikian jika peristiwa A1 ∩ A2 ∩ . . . = ∅ maka
P(A1 ∪ A2 ∪ . . .) = P(A1) ∪ P(A2) ∪ . . . . (2.9)
Namun demikian, sebenarnya amat sulit untuk menen-
tukan peluang keunsuran masing-masing peristiwa jika ruang
sampel Ω memiliki jumlah anggota tak hingga. Misalkan Ω
adalah himpunan seluruh bilangan riil. Himpunan-himpunan
bagiannya dapat dipandang sebagai himpunan titik-titik pada
garis riil. Untuk membangun ruang peluang pada garis riil,
40 Teori Peluang
maka seluruh selang (interval) x1 ≤ x ≤ x2 dengan segenap
gabungan dan irisannya dipandang sebagai peristiwa. Le-
bih rincinya dapat dilihat misalnya dalam pustaka (Rosyid,
2005) bab I. Peristiwa-peristiwa ini membentuk suatu lapang-
an L yang merupakan lapangan Borel terkecil yang memuat
separuh garis x ≤ xi untuk semua bilangan riil xi. Untuk
melengkapi ciri Ω, akan dicari peluang peristiwa (x ≤ xi).
Misalkan bahwa α(x) adalah fungsi sedemikian hingga∫ ∞
−∞
α(x) dx = 1, dan α(x) ≥ 0. (2.10)
Maka peluang peristiwa (x ≤ xi) ditakrifkan dengan integral
P(x ≤ xi) =
∫ xi
−∞
α(x) dx. (2.11)
Bangun persamaan (2.11) ini dapat digunakan untuk me-
nentukan peluang seluruh peristiwa dalam Ω. Misalnya, seka-
rang dapat dihitung peluang (x1 < x ≤ x2) yang terdiri dari
titik-titik pada selang (x1, x2] dengan
P(x1 < x ≤ x2) =
∫ x2
x1
α(x) dx. (2.12)
Persamaan (2.12) dapat dibuktikan dengan mengingat bahwa
irisan antara (x ≤ x1) dan (x1 < x ≤ x2) merupakan ∅ dan
gabungan keduanya sama dengan (x ≤ x2). Berdasarkan pada
aksioma (2.3), didapat
P(x ≤ x1) + P(x1 < x ≤ x2) = P(x ≤ x2) (2.13)
2.2 Ruang Peluang 41
dan dengan memakai persamaan (2.11) dan (2.12) maka
selanjutnya∫ x1
−∞
α(x) dx+
∫ x2
x1
α(x) dx =
∫ x2
−∞
α(x) dx. (2.14)
Persamaan di atas merupakan bukti yang jelas bagi persamaan
(2.12). Dengan demikian, jika Ω terdiri dari anggota tak
hingga maka peluang peristiwa di dalamnya dapat ditentukan
dengan memakai integral.
2.2.1 Peluang peristiwa bersyarat
Seandainya ada 2 peristiwa dimana peluang peristiwa kedua
hanya bisa diketahui setelah ada pengetahuan yang cukup
tentang peristiwa pertama, maka peluang peristiwa seperti
ini disebut sebagai peluang bersyarat. Peluang bersyarat
peristiwa B jika diketahui peristiwa A dilambangkan dengan
P(B|A) dan ditakrifkan sebagai
P(B|A) = P(A ∩ B)P(A) (2.15)
dengan syarat bahwa nilai P(A) tidak sama dengan nol. Bi-
langan P(B|A) dapat dibaca ’peluang B jika A diketahui’.
Persamaan (2.15) yang berbentuk nisbah dapat juga diubah
dalam bentuk perkalian menjadi
P(A ∩ B) = P(A)P(B|A). (2.16)
Dengan memakai aturan rantai, persamaan (2.16) dapat
diperluas untuk peristiwa yang lebih banyak. Seandainya ada
3 peristiwa yaitu A,B, dan C maka persamaan (2.16) akan
42 Teori Peluang
menjadi
P(A ∩B ∩ C) = P(A)P(B|A)P(C|A ∩ B). (2.17)
Perampatan (generalization) terhadap sebarang peristiwa
A1, A2, . . . , An ∈ Ω akan menghasilkan bentuk seperti ber-
ikut
P(A1 ∩ A2 ∩ . . . ∩ An) = P(A1)P(A2|A1)P(A3|A1 ∩ A2) . . .
. . .P(An|A1 ∩ . . . ∩ An−1). (2.18)
2.2.2 Peluang peristiwa saling bebas
Seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa peristiwa ber-
syarat (B|A) didasarkan pada anggapan bahwa peristiwa B
hanya dapat diketahui jika peristiwa A sudah diketahui se-
belumnya. Dengan demikian terjadinya peristiwa B sangat
tergantung pada peristiwa A dalam peristiwa bersyarat (B|A).
Artinya, kedua peristiwa ini tidak saling bebas sebab ke-
hadiran salah satu peristiwa menjadi kebutuhan bagi peristiwa
yang lain. Dua peristiwa A dan B akan disebut saling bebas
(independent) jika dan hanya jika memenuhi dua persamaan
berikut:
P(B|A) = P(B) (2.19)
dan
P(A|B) = P(A). (2.20)
Jika tidak memenuhi kaitan dalam 2 persamaan di atas,
2.3 Peubah Acak 43
maka peristiwa A dan B dikatakan tidak saling bebas. Dengan
mengaitkan persamaan (2.16) dapat juga ditentukan syarat
agar peristiwa A dan B saling bebas, yakni
P(A ∩ B) = P(A)P(B). (2.21)
Untuk 3 peristiwa yaitu A,B, dan C yang saling bebas
satu dari yang lain, persamaan (2.21) dapat ditulis kembali
menjadi
P(A ∩ B ∩ C) = P(A)P(B)P(C) (2.22)
sehingga perampatan terhadap kesalingbebasan sejumlah n
peristiwa A1, A2, . . . , An akan menghasilkan bentuk berikut
P(A1 ∩ A2 . . . ∩ An) = P(A1)P(A2) . . .P(An). (2.23)
2.3 Peubah Acak
Andaikan Ω merupakan ruang sampel dari sebuah percobaan.
Suatu fungsi yang mengaitkan setiap anggota ruang sampel
dengan suatu bilangan riil disebut sebagai peubah acak
(random variable). Dalam percobaan pelantunan sebuah ko-
in di atas, seandainya hasil keluaran yang muncul adalah
’muka’ kemudian diberi nilai 1 dan ’belakang’ diberi nilai -1,
maka kemunculan nilai 1 atau -1 sangat bergantung pada
hasil keluaran ’muka’ atau ’belakang’ pada pelantunan yang
dilakukan. Munculnya hasil keluaran ’muka’ atau ’belakang’
dalam percobaan ini tidak dapat dipastikan, semuanya
serba berkemungkinan. Dengan demikian kemunculan nilai 1
dan -1 sebagai peubah dalam pelantunan ini juga ber-
44 Teori Peluang
kemungkinan. Oleh karena kemunculan nilai 1 dan -1 tidak
dapat dipastikan, kemunculannya dapat disebut terjadi secara
acak. Inilah mengapa peubah yang bernilai 1 untuk hasil
muka dan -1 untuk hasil belakang dalam percobaan di atas
disebut sebagai peubah acak.
Suatu peubah acak dinyatakan dengan suatu huruf kapital
dan nilainya dinotasikan dengan suatu huruf kecil. Jika X
menyatakan suatu peubah acak, maka nilai dari X dinyatakan
dengan x. Sehingga pernyataan {X ≤ x} menyatakan peris-
tiwa peubah acak X bernilai kurang dari atau sama dengan
x.
Dalam sebuah percobaan dengan ruang sampel Ω, lapang-
an Borel B yang beranggotakan himpunan-himpunan bagian
dari Ω yang disebut peristiwa dan suatu peluang yang di-
tentukan pada peristiwa-peristiwa ini , sebuah peubah
acak X : Ω → R merupakan suatu fungsi. Ini mengandung
pengertian bahwa X adalah peubah acak dan untuk semua
−∞ < a < b <∞ dapat dinyatakan bahwa
X−1((a, b)) := {ω ∈ Ω : a < X(ω) < b} ∈ B. (2.24)
Lambang X−1((a, b)) merupakan bayangan balikan (inverse
image) dari (a, b).
Dengan demikian, suatu peubah acak riil pada ruang sam-
pel Ω relatif terhadap lapangan Borel B adalah fungsi bernilai
riil pada Ω sedemikian rupa sehingga bayangan balikannya
merupakan anggota lapangan Borel B.
Suatu peubah acak X, selain merupakan fungsi bernilai
riil dapat juga merupakan himpunan X(Ω) = {X(ω)|ω ∈ Ω},
sehingga jika pada Ω terdefinisikan peubah acak Y : Ω→ R
2.3 Peubah Acak 45
dan tetapan α, β ∈ R maka kaitan antara peubah acak X, Y
dan tetapan α, β dapat disajikan sebagai berikut:
(αX + βY )(ω) := αX(ω) + αY (ω), (2.25)
(XY )(ω) := X(ω)Y (ω), (2.26)(
X
Y
)
(ω) :=
X(ω)
Y (ω)
, Y 6= 0. (2.27)
Peubah acak X dikatakan peubah acak tercacah jika se-
mua nilai yang mungkin dari X membentuk suatu himpunan
tercacah atau terbilang {x1, x2, . . .}. Peubah acak X dika-
takan kontinyu jika semua nilai (range) dari X merupakan
himpunan yang kontinyu atau tak tercacah.
2.3.1 Fungsi agihan
Dalam telaah peubah acak, peristiwa (X ≤ x) menyajikan
himpuan bagian Ω yang beranggotakan semua ω sedemikian
rupa sehingga X(ω) ≤ x. Jadi, peristiwa (X ≤ x) bukan
merupakan himpunan bilangan, melainkan himpunan hasil
percobaan. Peristiwa (x1 ≤ X ≤ x2) adalah serupa. Peristiwa
ini menyatakan himpunan bagian Ω yang terdiri dari
hasil-hasil ω sedemikian rupa sehingga x1 ≤ X(ω) ≤ x2
dengan x1 dan x2 merupakan dua bilangan yang diketahui.
Demikian pula untuk peristiwa (X = x) juga menyatakan
himpunan bagian Ω yang beranggotakan semua ω sedemikian
rupa sehingga X(ω) = x. Jadi, apabila I himpunan bagian
dari garis riil R, maka (X ∈ I) menyatakan himpunan bagian
dari Ω yang beranggotakan semua ω sedemikian rupa sehingga
X(ω) ∈ I.
Anggota-anggota himpunan Ω yang termuat dalam peristi-
46 Teori Peluang
wa (X = x) akan berubah bila x memiliki berbagai nilai. Aki-
batnya nilai peluang dari peristiwa (X = x) yaitu P(X = x),
adalah bilangan yang bergantung pada nilai x. Bilangan ini
diberikan oleh
P(x) := P(X−1(x)) := P(ω ∈ Ω|X(ω) ∈ x) (2.28)
yang disebut sebagai hukum peubah acak X. Hukum ini
dicirikan secara lengkap oleh fungsi agihannya (distribution
function), yang merupakan fungsi
F (x) = P(ω ∈ Ω|X(ω) ≤ x) (2.29)
untuk setiap x dari −∞ sampai∞. Jadi, F (x) merupakan pe-
luang munculnya nilai peubah acak X dalam selang (−∞, x],
yakni peluang munculnya nilai X yang kurang atau sama
dengan x.
Contoh 2.1. Andaikan pada pelantunan sebuah koin nilai
peluang untuk hasil keluaran ’muka’ sama dengan m dan
peluang untuk ’belakang’ sama dengan b, kemudian peubah
acak X sedemikian rupa sehingga
X(m) = 1 X(b) = 0.
Bila x ≥ 1, maka X(m) = 1 ≤ x dan X(b) = 0 ≤ x. Karena
itu,
F (x) = P(X ≤ x) = P({m, b}) = P(Ω) = 1 x ≥ 1.
(2.30)
2.3 Peubah Acak 47
Bila 0 ≤ x < 1, maka X(m) = 1 > x dan X(b) = 0. Karena
itu,
F (x) = P(X ≤ x) = P({b}) 0 ≤ x < 1. (2.31)
Bila x < 0, maka X(m) = 1 > x dan X(b) = 0 > x. Karena
itu pula,
F (x) = P(X ≤ x) = P(∅) = 0 x < 0. (2.32)
Fungsi agihan mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. F (+∞) = 1 dan F (−∞) = 0.
2. F (x) adalah fungsi yang tidak menurun: jika x1 < x2,
maka F (x1) ≤ F (x2).
3. Jika F (x0) = 0, maka F (x) = 0 untuk setiap x ≤ x0.
4. P(X > x) = 1− F (x).
5. Fungsi agihan F (x) malar (continue) dari kanan pada
setiap titik x ∈ R.
6. P(x1 < X ≤ x2) = F (x2)− F (x1).
7. P(X = x) = F (x)− lim→0F (x− ) dengan > 0.
8. P(x1 ≤ X ≤ x2) = F (x2) − lim→0F (x1 − ) dengan
> 0.
Dari persamaan (2.29) dan aksioma teori peluang dapat
diketahui bahwa peubah acak X mempunyai jenis-jenis ter-
tentu dalam fungsi agihannya. Jenis ini baru bisa diketahui
bila dapat dihitung dulu peluang P(X ∈ Ω), yakni bahwa
x ada dalam ruang sampel Ω dari sumbu x. Peubah acak
X disebut berjenis malar jika fungsi agihannya F (x) juga
malar. Untuk keadaan ini, lim→0 F (x− ) = F (x), > 0 se-
hingga P(X = x) = 0. Peubah acak X disebut berjenis cacah
48 Teori Peluang
atau diskrit (discrete) bila F (x) berbentuk fungsi tangga atau
F (xi)− limxi→(xi − ) = P(X = xi) = pi.
Jika pada fungsi agihan dilakukan penurunan (derivation)
yang ditunjukkan oleh persamaan
ρ(x) =
dF (x)
dx
, (2.33)
maka ρ(x) disebut fungsi kerapatan (probablity-mass function)
peubah acak X. Untuk peubah acak X berjenis cacah yang
memiliki nilai-nilai xi dengan peluang pi, maka
ρ(x) =
∑
i
piδ(x− xi) pi = P(X = xi) (2.34)
dengan δ(x) menyatakan dorongan (impulsion). Mengingat
bahwa fungsi F (x) yang tidak menurun, maka ρ(x) ≥ 0.
Pengintegralan ρ(x) untuk selang (−∞, x] dan memakai
sifat F (−∞) = 0 akan didapat
F (x) =
∫ x
−∞
ρ(ω) dω. (2.35)
Karena F (∞) = 1 maka bentuk di atas menghasilkan persa-
maan
∫∞
−∞ ρ(x) dx = 1 sehingga diperoleh F (x2)− F (x1) =∫ x2
x1
ρ)(x) dx atau
P(x1 < X ≤ x2) =
∫ x2
x1
ρ(x) dx. (2.36)
Jika peubah acak X berjenis malar maka himpunan pada ruas
kiri cukup diganti dengan (x1 ≤ X ≤ x2).
Disamping itu, dalam fungsi agihan juga dijumpai adanya
2.3 Peubah Acak 49
agihan bersyarat seperti saat membicarakan tentang peristiwa
bersyarat dalam ruang peluang. Agihan bersyarat F (x|A)
dari peubah acak X dengan diketahui A merupakan peluang
bersyarat untuk peristiwa (X ≤ x), yakni
F (x|A) = P(X ≤ x|A) = P(X ≤ x ∩ A)P(A) . (2.37)
Pada bentuk di atas, (X ≤ x ∩A) merupakan irisan peristiwa
(X ≤ x) dan A yakni peristiwa yng terdiri dari semua hasil ω
sedemikian hingga X(ω) ≤ x dan ω ∈ A.
Dalam telaah fungsi agihan di atas, fungsi agihan dapat
juga dimaknai sebagai pola agihan dari sekelompok peubah
acak. Dalam teori peluang, pola agihan yang sudah jamak
dikenal secara luas adalah fungsi agihan binomial, Poison,
Gauss, dan log-normal. Peubah acak X disebut mempunyai
agihan binomial orde n bila X memiliki nilai-nilai 0, 1, . . . , n
dengan peluang
P(X = k) =
(
n
k
)
pkqn−k, p+ q = 1 (2.38)
p menyatakan peluang peristiwa bercirikan tertentu (sukses)
dan q menyatakan peluang peristiwa yang tak bercirikan
tertentu itu (gagal) atau q = 1 − p. Fungsi agihan yang
bersesuaian dalam selang (0, n) diberikan oleh
F (n) =
n∑
k=0
(
n
k
)
pkqn−k. (2.39)
50 Teori Peluang
Bila n→∞, maka
lim
n→∞
P(X = k) = lim
n→∞
n(n− 1) . . . (n− k + 1)
k!
pk(1− p)n−k
=
(np)k
k!
e−np (2.40)
yang kemudian dikenal sebagai agihan Poisson. Dalam fungsi
agihan binomial dan Poison, peubah k hanya boleh bervariasi
secara cacah dan positif. Fungsi agihan yang peubahnya bisa
bervariasi secara malar dari −∞ sampai ∞ adalah fungsi
agihan normal atau Gaussan yang dijabarkan oleh Gauss
dalam bentuk
N(x) =
1
σ
√
2π
e−
1
2
(x−µ
σ
)2 (2.41)
dengan variansi σ dan rataan µ.
Untuk agihan normal di atas, jika µ 1 pada x > 0,
maka
x = ln y, µ = ln y0, dx =
dy
y
(2.42)
sehingga bila dimasukkan dalam bentuk (2.41) akan menjadi
N(x)dx =
1
σ
√
2π
e
− 1
2
(
ln(y/y0)
σ
)2 dy
y
(2.43)
yang merupakan agihan log-normal.
Dalam hubungan pola agihan dan peubah acak di atas, ji-
ka peubah acak yang terlibat berjumlah mendekati tak hingga
maka pola agihannya akan selalu mengikuti fungsi agihan nor-
mal. Hal ini dapat ditunjukkan jika E(X1) {= E(X2) = · · · } =
2.3 Peubah Acak 51
µ dan Var(X1) {= Var(X2) = · · · } = σ2 > 0 maka
lim
n→∞
P
(
X1 + · · ·+Xn − nµ
σ
√
n
< x
)
=
1√
2π
∫ x
−∞
e
−u2
2 du = N(x)
(2.44)
Ini dikenal sebagai dalil limit pusat (the central limit theorem).
Dalil ini memberikan jaminan bahwa agihan peluang akan
selalu normal jika sejumlah besar peubah acak yang saling
bebas terpenuhi.
2.3.2 Nilai harap dan variansi
Salah satu cara untuk mencakup suatu agihan kemungkinan
menjadi satu nilai ialah dengan mengganti agihan ini de-
ngan nilai harap (expectation) rataan (mean) peubah acaknya.
Nilai harap adalah suatu ukuran lokasi yang bisa memberi
gambaran tentang nilai rerata hasil percobaan jika percobaan
dilakukan secara berulang kali. Dengan demikian nilai harap
merupakan ukuran kecenderungan peubah acak. Bila X pe-
ubah acak yang malar dengan fungsi kerapatan ρ(x) maka
nilai harapnya diberikan oleh persamaan
E(X) =
∫ ∞
−∞
x ρ(x) dx. (2.45)
Untuk peubah acak berjenis cacah integral pada persamaan
di atas dapat ditulis sebagai jumlahan. Misalkan bahwa X
menjalani berbagai nilai xi dengan peluang pi. Untuk keadaan
52 Teori Peluang
ini
ρ(x) =
∑
i
pi δ(x− xi). (2.46)
Dengan memasukkan bentuk di atas pada (2.45) dan meng-
gunakan identitas∫ ∞
−∞
x δ(x− xi) dx = xi (2.47)
akan didapat
E(X) =
∑
i
pi xi, pi = P(X = xi). (2.48)
Untuk peubah acak yang bersyarat, maka tinggal dilakuk-
an penggantian notasi dalam kedua persamaan (2.45) dan
(2.48). Seandainya peubah acak X mensyaratkan diketahuinya
A maka kedua persamaan ini akan menjadi
E(X|A) =
∫ ∞
−∞
x ρ(x|A) dx (2.49)
untuk peubah acak malar dan
E(X|A) =
∑
i
xiP(x = xi|A) (2.50)
untuk peubah acak cacah.
Jika nilai harap rataan memberi gambaran tentang suatu
nilai rerata hasil percobaan, maka ukuran keruncingan dari
grafik fungsi agihannya disajikan oleh apa yang disebut vari-
ansi. Semakin kecil nilai variansi semakin meyakinkan nilai
2.3 Peubah Acak 53
harap rataannya. Jadi variansi merupakan ukuran simpangan
atau penyebaran (dispersion) yang baik karena mencerminkan
besarnya simpangan tiap-tiap peubah acak. Semakin besar
nilai variansi suatu kelompok data semakin bervariasi kelom-
pok data ini . Variansi peubah acak X diberikan oleh
persamaan berikut
σ2 =
∫ ∞
−∞
(x− E(X))2 ρ(x) dx (2.51)
Dari persamaan di atas terlihat bahwa σ2 adalah juga nilai
harap dari peubah acak (X − E (X) )2. Dengan demikian
dapat ditulis
σ2 = E
(
(X − E(X))2)
= E
(
X2 − 2XE(X) + (E(X))2)
= E(X2)− 2E(X)E(X) + (E(X))2 (2.52)
sehingga
σ2 = E(X2)− (E(X))2 . (2.53)
Variansi mempunyai kelemahan karena sifatnya yang kua-
drat, padahal simpangan pada hakikatnya merupakan jarak
sehingga linier. Maka untuk mengatasi hal ini, variansi ditarik
akarnya yang positif sehingga diperoleh apa yang kemudian
disebut dengan simpangan baku (standard deviation) dan
dilambangkan σ. Simpangan baku lebih sering digunakan
daripada variansi. Simpangan baku berguna untuk mengukur
rerata jarak masing-masing individu terhadap nilai reratanya.
54 Teori Peluang
2.3.3 Kovariansi dan korelasi
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, variansi digunakan
untuk mengukur tingkat variasi, namun hanya untuk satu
peubah acak saja, X saja atau Y saja. Untuk mengukur
tingkat variasi dua peubah acak X dan Y secara bersama-
sama (simultan) dapa digunakan kovariansi. Kovariansi dua
peubah acak X dan Y adalah ukuran keeratan hubungan atau
ukuran asosiasi antara kedua peubah acak X dan Y . Takrif
kovariansi dua peubah acak X dan Y adalah
Cov(X, Y ) = E(XY )− E(X)E(Y ). (2.54)
Kovariansi yang positif menunjukkan kenaikan X diikuti oleh
kenaikan Y dan penurunan X diikuti penurunan Y . Persama-
an kovariansi di atas menunjukkan kemiripan bentuk dengan
persamaan variansi (2.53). Seandainya peubah acak Y diganti
dengan peubah acak X maka kovariansi dua peubah acak X
merupakan variansinya sendiri. Dengan memakai kaitan
ini dan andaikan X dan Y merupakan peubah acak dengan
rataan E(X), E(Y ) dan variansi σ2X , σ2Y , maka dari sini dapat
dibentuk peubah acak baru yakni
X ′ =
x− E(X)
σX
Y ′ =
y − E(Y )
σY
yang dengan mudah dapat dicari nilai kovariansinya, yaitu
Cov(X ′, Y ′) = E(X ′Y ′)−E(X)E(Y ) = Cov(X, Y )
σXσY
. (2.55)
2.3 Peubah Acak 55
Nisbah antara Cov(X, Y ) dan σXσY dalam persamaan di atas
disebut koefisien korelasi, diberi lambang r, sehingga
r =
Cov(X, Y )
σXσY
. (2.56)
Koefisien korelasi merupakan nilai untuk mengukur kuatnya
hubungan (corelation) antara peubah acak X dan Y sekaligus
arah hubungan itu. Spektrum nilainya membentang antara 0
dan ±1. Nilai ini sebanding dengan tingkat keeratan hubung-
an. Tanda (±) hanya menunjukkan arah hubungan, yakni (+)
menunjukkan hubungan yang searah dimana jika satu peubah
naik maka akan diikuti kenaikan peubah yang lain, sedangkan
tanda (−) menyatakan hubungan yang berlawanan arah. Saat
nilai koefisien korelasi sama dengan nol, kedua peubah acak
X dan Y disebut peubah acak yang tidak berkorelasi (tidak
ada hubungan). Ini terjadi ketika Cov(XY ) sama dengan nol
atau peubah acak X, Y keduanya saling bebas. Namun, bila
r = 0, hal ini tidak selalu menunjukkan bahwa peubah acak
X, Y keduanya saling bebas.
Dengan demikian, untuk dua peubah acak X, Y yang tak
berkorelasi berlaku persamaan
E(XY ) = E(X)E(Y ). (2.57)
Dua peubah acak X, Y dapat saling tak berkorelasi tanpa
keduanya harus bebas, tapi semua peubah acak bebas selalu
tidak berkorelasi. Jadi ketiadaan korelasi merupakan sifat
yang lebih lemah dari kebebasan.
Proses Martinggil
Proses Markov
3 — Proses Stokastik
Kata stokastik (stochastic) merupakan jargon untuk keacakan
(Kim, 2005, hlm. 50). Oxford dictionary (1993) menakrifk-
an proses stokastik sebagai suatu barisan kejadian yang
memenuhi hukum-hukum peluang. Hull (1989, hlm. 62) me-
nyatakan bahwa setiap nilai yang berubah terhadap waktu
dengan cara yang tidak tertentu (dalam ketidakpastian) di-
katakan mengikuti proses stokastik. Dengan demikian, jika
dari pengalaman yang lalu keadaan yang akan datang su-
atu barisan kejadian dapat diramalkan secara pasti, maka
barisan kejadian itu dinamakan deterministik. Sebaliknya
jika pengalaman yang lalu hanya dapat menyajikan struktur
peluang keadaan yang akan datang, maka barisan kejadian
yang demikian disebut stokastik.
Proses stokastik banyak digunakan untuk memodelkan
58 Proses Stokastik
evolusi suatu sistem yang mengandung suatu ketidakpastian
atau sistem yang dijalankan pada suatu lingkungan yang tak
dapat diduga, dimana model deterministik tidak lagi cocok
dipakai untuk menelisik (menganalisis) sistem.
Secara baku (formal), proses stokastik {X(t), t ∈ T}1 di-
takrifkan sebagai sebuah barisan peubah acak, yaitu untuk
setiap t ∈ T mempunyai peubah acak X(t). Seringkali penju-
rus (index, indeks) t ditafsirkan sebagai waktu, karena banyak
sekali proses stokastik yang terjadi pada suatu selang waktu.
Nilai peubah acak X(t) atau Xt disebut sebagai keadaan pada
saat t. Himpunan T disebut ruang parameter atau ruang pen-
jurus dari proses stokastik X dan himpunan semua nilai X(t)
yang mungkin disebut ruang keadaan dari X. Nilai himpunan
penjurus T dapat berupa himpunan yang anggotanya terca-
cah ataupun malar. Jika T merupakan himpunan tercacah,
misalnya N , maka proses stokastik dikatakan sebagai proses
waktu tercacah (discrete time process) atau juga dikenal se-
bagai rantai (chain). Jika T merupakan sub himpunan pada
garis bilangan riil, baik dengan selang terbuka atau tertutup,
maka proses stokastik yang demikian merupakan proses waktu
kontinu (continuous time process).
Setiap realisasi dari X dinamakan lintasan sampel (sample
path) dari X. Sebagai contoh, jika peristiwa terjadi secara
acak dalam waktu dan X(t) mewakili jumlah peristiwa yang
terjadi dalam [0, t], maka gambar 3.1 menyajikan sample path
1Dalam artikel ini, lambang peubah acak X(t) seringkali ditulis juga
sebagai Xt. Sedangkan lambang penjurus t, acapkali ditulis dengan
huruf yang lain. Penggunaan lambang yang berbeda ini tidak akan
mengakibatkan kesalahan yang serius dalam memahami proses stokastik
dan keseluruhan artikel ini.
59
X yang berhubungan terhadap peristiwa awal yang terjadi
pada saat t = 1, peristiwa berikutnya pada saat t = 3 dan
peristiwa ketiga pada saat t = 4.
Gambar 3.1: Sebuah lintasan dari X(t) = jumlah peristiwa
dalam [0, t]
Yang menjadi perhatian dari proses ini adalah kelakuk-
an proses setelah proses ini berjalan lama. Mengingat
proses ini memuat suatu ketidakpastian, maka secara
matematis kelakuan dari proses ini dapat digambarkan
oleh agihan peluang dari X(t) atau fungsi dari X(t), untuk
t → ∞. Dari agihan peluang ini akan didapat beberapa
nilai harap dari beberapa besaran yang mungkin menjadi
perhatian.
Proses-proses stokastik dapat dikelompokkan berdasarkan
jenis ruang parameternya, ruang keadaannya, dan kaitan
antara peubah-peubah acak yang membentuk proses stokastik
ini .
60 Proses Stokastik
Berdasarkan jenis ruang parameter dan ruang keadaannya,
proses-proses stokastik dapat dibedakan menjadi:
1. Proses stokastik dengan ruang parameter tercacah dan
ruang keadaan tercacah
Contoh: stasiun televisi yang paling banyak ditonton di
negara kita atas survey bulanan, banyaknya sepatu yang
dibeli dari sebuah toko per hari.
2. Proses stokastik dengan ruang parameter malar dan
ruang keadaan tercacah
Contoh: banyaknya kertas fotokopi yang dibutuhkan
sebuah kantor dalam selang waktu tertentu, banyaknya
tikus yang sudah terperangkap di suatu perangkap pada
selang waktu t sebarang.
3. Proses stokastik dengan ruang parameter tercacah dan
ruang keadaan malar
Contoh: volume air di suatu bendungan yang diteliti
tiap pukul 7 pagi, waktu untuk melayani mahasiswa ke-
n yang datang untuk meminta pelayanan administrasi
akademik.
4. Proses stokastik dengan ruang parameter malar dan
ruang keadaan malar
Contoh: volume air di suatu bendungan yang diteliti
pada waktu t sebarang.
Berdasarkan kaitan antara peubah-peubah acak yang mem-
bentuknya, proses stokastik dapat dibedakan menjadi bebera-
pa kelas seperti proses Levy, proses Bernoulli, proses Markov,
proses martinggil, dan proses titik (point process). Dalam bu-
ku ini kelas proses stokastik yang hendak disajikan hanyalah
proses martinggil dan proses Markov.
3.1 Proses Martinggil 61
3.1 Proses Martinggil
Pada awalnya, martinggil (martingale) merujuk pada suatu
siasat bertaruh yang masyhur di abad ke-18 di Perancis (Wiki-
pedia, 2005). Dalam bahasa Perancis, kata martingale berarti
sebuah desain siasat taruhan untuk mendapatkan uang secara
pasti (kemenangan). Sebenarnya martingale berasal dari kata
martigues yang merupakan nama sebuah kota di Provence
Perancis (saat itu). Warga kota ini dikenal sangat suka untuk
menggandakan taruhan sehabis setiap kali kalah dengan mak-
sud untuk menutup kekalahannya yang lalu dengan harapan
kemenangan berikutnya (LeRoy, 1989, hlm. 1588). Dalam
kamus Oxford dictionary (1993), proses martinggil mengacu
pada sistem perjudian dimana harapan kemenangan akhir me-
rupakan keuntungan yang bersih (jujur). Konsep martinggil
diperkenalkan dalam teori peluang oleh Paul Pierre Lévy dan
kemudian dikembangkan secara serius oleh Joseph Leo Doob
(Weisstein, 2005; Wikipedia, 2005).
Proses martinggil merupakan proses stokastik {Xn, n ≥ 1}
yang memenuhi identitas
E (Xn+1|X1, . . . , Xn) = Xn, (3.1)
yakni nilai harap bersyarat untuk pengamatan mendatang
jika seluruh pengamatan yang lampau diketahui adalah pe-
ngamatan terakhir saja. Jika dilakukan perampatan terhadap
identitas ini, maka sebuah barisan peubah acak Y1, Y2, Y3, . . .
dikatakan merupakan sebuah martinggil yang mematuhi se-
buah barisan peubah acak yang lain X1, X2, X3, . . . apabila
62 Proses Stokastik
memenuhi identitas
E (Yn+1|X1, X2, . . . , Xn) = Yn, ∀ n. (3.2)
Sebagaimana telah diterangkan di muka, konsep marting-
gil berasal dari meja judi. Dengan demikian, jika peubah
Xn ditafsirkan sebagai keberuntungan penjudi setelah per-
mainan ke−n maka identitas martinggil menyatakan bahwa
harapan keberuntungan setelah permainan ke−(n+ 1) ada-
lah sama dengan keberuntungan ke−n, tidak gayut dengan
keberuntungan-keberuntungan sebelumnya. Atau, andaikan
Xn merupakan keberuntungan penjudi setelah pelemparan
ke−n dari sebuah koin yang ’adil’ —maksudnya jika koin itu
dilempar, kedua belah sisi koin punya peluang yang seimbang
untuk tampak—, dimana penjudi menang Rp 1 juta jika koin
tampak muka dan kalah Rp 1 juta jika koin tampak bela-
kang. Harapan keberuntungan bersyarat bagi penjudi untuk
pelemparan mendatang adalah sama dengan keberuntungan-
nya sekarang. Peristiwa yang demikian merupakan contoh
sebuah martinggil. Peristiwa ini juga disebut sebagai sistem
D’Alembert.
Konsep martinggil di atas sejalan dengan konsep perma-
inan yang adil atau fair game. Dalam sebuah permainan,
nilai adil ditentukan oleh apakah harapan keberuntungan
setelah permainan ke−n terpengaruh oleh keberuntungan
permainan-permainan sebelumnya. Permainan akan disebut
adil jika keberuntungan seluruh permainan sebelumnya tidak
mempunyai pengaruh sama sekali terhadap harapan keberun-
tungan saat ini. Andaikan keberuntungan itu dilambangkan
sebagai peubah acak X, maka sebuah barisan peubah acak
3.1 Proses Martinggil 63
{Xn, n ≥ 1} disebut adil jika
E(X1) = 0
dan
E(Xn+1|X1, . . . , Xn) = 0. (3.3)
Serupa dengan permainan adil ini, jika diandaikan sebuah
barisan peubah acak X1, X2, . . . merupakan peubah acak yang
saling bebas dengan nilai harap 0, dan Sn =
∑n
i=1Xi, maka
peristiwa {Sn, n ≥ 1} merupakan sebuah martinggil sebab
E (Sn+1|S1, S2, . . . , Sn) = E (Sn +Xn+1|S1, . . . , Sn)
= E (Sn|S1, . . . , Sn)
+E (Xn+1|S1, . . . , Sn)
= Sn + E (Xn+1)
= Sn. (3.4)
Submartinggil dan supermartinggil
Sebuah submartinggil adalah juga seperti martinggil, ha-
nya saja nilai sekarang dari peubah acak adalah selalu ’lebih
kecil atau sama dengan’ nilai mendatang yang diharapkan.
Secara baku, ini berarti
Xn ≤ E (Xn+1|X1, . . . , Xn) . (3.5)
Mirip dengan submartinggil, dalam sebuah supermartinggil,
nilai sekarang adalah selalu ’lebih besar atau sama dengan’ ni-
lai mendatang yang diharapkan. Pernyataan ini dapat ditulis
64 Proses Stokastik
sebagai
Xn ≥ E (Xn+1|X1, . . . , Xn) . (3.6)
Oleh karena itu, setiap martinggil adalah juga submarting-
gil atau supermartinggil. Jika pengertian ini dibalik, maka
setiap proses stokastik yang memenuhi keduanya secara serem-
pak (submartinggil dan juga supermartinggil) adalah sebuah
martinggil. Dengan memakai contoh permainan di atas
lagi —dimana penjudi akan menang Rp 1 juta jika koin tam-
pak muka dan kalah Rp 1 juta jika koin tampak belakang—,
jika sekarang diandaikan koin yang digunakan tidak seimbang
(tidak adil) dan peluang koin tampak muka adalah p maka
• jika p = 1
2
, secara seimbang penjudi bisa kalah atau
menang dan harapan keberuntungan penjudi terhadap
waktu adalah sebuah martinggil.
• jika p < 1
2
, kemungkinan besar penjudi akan menangguk
kekalahan sehingga harapan keberuntungannya meru-
pakan supermartinggil.
• jika p > 1
2
, kemungkinan besar penjudi akan menuai ke-
menangan sehingga harapan keuntungannya merupakan
sebuah submartinggil.
3.2 Proses Markov
Proses Markov merupakan suatu proses stokastik yang menya-
takan bahwa peluang keadaan dari proses pada waktu menda-
tang tidak dipengaruhi oleh keadaan pada waktu-waktu yang
lampau, tetapi hanya kejadian yang langsung mendahuluinya
saja. Atau dengan kata lain, proses Markov merupakan proses
3.2 Proses Markov 65
dimana masa depan tidak tergantung pada sejarah masa lalu
tetapi hanya tergantung pada keadaan sekarang.
Dengan demikian, proses {Xt, t ≥ 0} merupakan suatu
proses Markov jika untuk semua n dan untuk setiap t1 < t2 <
· · · < tn < tn+1 berlaku kaitan berikut:
P (Xn+1 |Xn, Xn−1, . . . , X1 ) = P (Xn+1 |Xn ) . (3.7)
Karenanya, untuk dapat menghitung nilai peluang peristiwa
(Xn+1, tn+), harus diketahui terlebih dahulu keadaan sistem
yang sekarang yakni (Xn, tn). Dalam pengertian seperti ini,
proses Markov juga bisa dikatakan sebagai proses yang tidak
mempunyai ingatan atau rekaman (memoryless). Pada aras
ini, secara jelas proses Markov menegaskan bahwa sejarah
tidak mempunyai pengaruh terhadap kelakuan masa depan.
Pada persamaan (3.7) di atas, andaikan {Xn, n ≥ 0} mem-
punyai ruang keadaan yang berupa himpunan berhingga atau
tercacah, maka proses Markov di atas disebut sebagai rantai
Markov. Contoh sederhana untuk rantai Markov ini adalah
barisan bilangan bulat. Barisan peubah-peubah acak yang
bernilai bilangan bulat yang saling bebas dan mempunyai
distribusi peluang yang sama juga merupakan sebuah rantai
Markov. Andaikan peubah-peubah acak itu adalah Xi dengan
i ≥ 1 adalah suatu barisan peubah acak bernilai bilangan
bulat tak negatif yang saling bebas dan berdistribusi sama,
maka suatu proses stokastik {Sn =
∑n
i=1Xi} adalah juga ran-
tai Markov. Nama lain untuk proses stokastik ini adalah
jalan acak (random walk ). Untuk kasus ini dapat ditunjukkan
66 Proses Stokastik
bahwa
P (Sn+1|S1, . . . , Sn) = P
(
n+1∑
i=1
Xi
∣∣∣∣∣X1, . . . ,
n−1∑
i=1
Xi,
n∑
i=1
Xi
)
= P
(
n+1∑
i=1
Xi = Sn+1
∣∣∣∣∣
n∑
i=1
Xi = Sn
)
(3.8)
Masalah jalan acak di atas dapat diragamkan (variasi)
menjadi sebuah kasus dimana zarah dapat berjalan ke kanan
atau ke kiri dengan peluang yang sama. Andaikan waktu
antar perpindahan dan panjang langkah dari proses ini relatif
kecil. Andaikan pula X(t) menyatakan posisi zarah pada
waktu t. Jika waktu antar perpindahan dilambangkan dengan
∆t dengan panjang langkah ∆x, maka
X(t) = ∆x (X1 + · · ·+X[t/∆t]), (3.9)
dengan
Xi =
{
+1 jika zarah bergerak ke kanan pada langkah ke-i,
−1 jika zarah bergerak ke kiri pada langkah ke-i,
(3.10)
dan {Xi} saling bebas dengan
P(Xi = 1) = P(Xi = −1) = 1
2
. (3.11)
3.2 Proses Markov 67
Karena E(Xi) = 0 dan Var(Xi) = 1, maka
E (X(t)) = 0, (3.12)
Var(X(t)) = (∆x)2
[
t
∆t
]
. (3.13)
Sekarang akan diandaikan ∆x dan ∆t menuju 0. Andaikan
dipilih ∆x = ∆t dan kemudian ∆t→ 0 maka dari persamaan
di atas dapat dilihat bahwa nilai harap dan variansinya akan
menuju 0 dan sehingga X(t) akan sama dengan 0. Andaikan
∆x = c
√
∆t untuk suatu tetapan positif c maka dari persa-
maan di atas pula dapat dilihiat ketika ∆t→ 0, nilai harap
dan variansinya menjadi
E[X(t)] = 0, (3.14)
Var[X(t)]→ c2t. (3.15)
Dengan demikian didapat bahwa ∆x = c
√
∆t adalah ∆x
yang sesuai. Proses jalan acak ini juga dinamakan proses
gerak Brown (Brownian motion), sehingga sifat Markov dapat
ditemukan pula pada gerak Brown.
Asas Dualitas
Sifat Martinggil
4 — Jalan Acak
Peristiwa jalan acak (random walk) dapat dibayangkan la-
iknya orang yang sedang berjalan pada arah yang sebarang
dengan syarat panjang setiap langkah adalah sama. Orang
yang berjalan dengan cara seperti ini amat sulit untuk ditebak
ke mana arahnya, mirip dengan kekhasan orang mabuk yang
sedang berjalan. Karena itu, acapkali jalan acak juga disebut
sebagai jalannya seorang pemabuk (a drunkard’s walk) (Ste-
wart, 2001). Sebutan ini mengacu pada judul fiksi sains karya
Frederick Pohl di tahun 1960 (Wikipedia, 2005). Gambar 4.1
yang dibuat oleh George Gamow merupakan metafora dari
sebutan drunkard’s walk untuk jalan acak ini.
Menurut Baschnagel dan Paul (1999) dan Dimson dan
Mussavian (2000), konsep jalan acak diperkenalkan sebagai
sebuah ilmu oleh Karl Pearson dalam suratnya kepada Na-
70 Jalan Acak
Gambar 4.1: [Metafora]. Sebuah jalan acak (jalannya pema-
buk). Sumber gambar: http://www.sos.siena.edu
ture tahun 1905. Dalam matematika dan fisika, jalan acak
merupakan perumusan gagasan tentang langkah berturutan
dengan arah yang acak pada setiap langkahnya. Jalan acak
paling sederhana merupakan sebuah lintasan yang dibangun
dengan aturan-aturan: ada titik awal (keberangkatan), jarak
dari satu titik ke titik berikutnya adalah tetap dan setiap
arah yang terpilih merupakan arah acak.
Berdasarkan hal di atas, andaikan Xi, i ≥ 1 merupakan
saling bebas dan berdistribusi sama dengan
P(Xi = j) = aj, j = 0,±1, · · · ,
71
sehingga jika diambil
S0 = 0 dan Sn =
n∑
i=1
Xi,
maka {Sn, n ≥ 0} disebut sebuah jalan acak. Jika tempat dari
Xi adalah dalam Rm, maka {Sn, n ≥ 0} dikatakan sebagai
jalan acak dalam ruang Rm.
Dalam tinjauan ini, barisan Xi adalah hasil keluaran dari
percobaan yang saling bebas. Karena Xi adalah saling bebas,
peluang setiap sejumlah barisan tertentu dari hasil keluaran
dapat dihitung dengan mengalikan peluang setiap Xi. Peluang
masing-masing Xi ini diberikan oleh distribusinya.
Ada beberapa cara untuk membayangkan sebuah jalan
acak. Proses ini bisa dibayangkan melalui sebuah zarah yang
ditempatkan pada titik asal dalam Rm pada waktu n = 0.
Jumlahan Sn melambangkan posisi zarah pada akhir n detik.
Sehingga, dalam rentang waktu [n − 1, n], zarah bergerak
(atau melompat) dari posisi Sn−1 ke Sn. Vektor yang melam-
bangkan gerakan ini adalah Sn−Sn−1, yang juga sama dengan
Xn. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam sebuah jalan acak,
lompatan-lompatan adalah saling bebas dan berdistribusi sa-
ma. Jika m = 1, maka orang bisa membayangkan sebuah
zarah pada garis riil berangkat dari titik asal, dan berakhir
pada detik kapanpun, melompat satu satuan ke kanan atau
kekiri, dengan peluang yang diberikan oleh distribusi Xi. Jika
m = 2, seseorang dapat membayangkan sebuah proses yang
terjadi di kota dengan bentuk-bentuk jalan yang persegi. Sese-
orang berangkat dari suatu sudut (yakni pada perpotongan 2
jalan) dan pergi mengambil 1 arah dari 4 kemungkinan sesuai
72 Jalan Acak
Gambar 4.2: (a) Jalan acak dengan m = 1. Pada jalan acak
ini hanya ada 2 kemungkinan arah yaitu ke kanan atau ke
kiri. (b) Jalan acak dengan m = 2, dengan 4 kemungkinan
arah yaitu: ke selatan, utara, barat dan timur. (c) Jalan acak
dengan m = 3, dengn 6 kemungkinan arah yaitu: ke selatan,
utara, barat, timur, ke atas dan ke bawah
dengan distribusi Xi. Jika m = 3, seseorang bisa memba-
yangkan berada di gedung olahraga, dimana seseorang bebas
untuk bergerak dengan mengambil 1 arah dari 6 kemungkinan
arah. Sekali lagi, peluang gerakan ini diberikan oleh distribusi
dari Xi. Gagasan-gagasan ini bisa dilihat dalam gambar 4.2.
Model yang lain untuk menggambarkan jalan acak adalah
percobaan pelantunan koin seperti yang disinggung dalam
bab 2 (§2.3), dimana Xi = 1 untuk hasil keluaran ’muka’ dan
73
Xi = −1 untuk hasil keluaran ’belakang’, juga merupakan
sebuah jalan acak. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa untuk
p, 0 < p < 1,
P(Xi = 1) = p, (4.1)
P(Xi = −1) = q = 1− p (4.2)
dan
Sn =
n∑
i=1
Xi. (4.3)
Dalam jalan acak ini, proses selalu naik (berjalan ke kanan)
satu langkah (dengan peluang p) atau turun (berjalan ke kiri)
satu langkah (dengan peluang q).
Gambar 4.3: Sebuah lintasan jalan acak yang merekam perja-
lanan sampai 40 langkah dengan pelemparan koin. Jika koin
tampak ’muka’ maka naik 1 langkah dan jika koin tampak
’belakang’ maka turun 1 langkah
74 Jalan Acak
4.1 Asas Dualitas
Peubah (X1, X2, . . . , Xn)mempunyai distribusi gabungan yang
sama dengan (Xn, Xn−1, . . . , X1). Ini disebut dengan asas du-
alitas (duality principle, prinsip dualitas). Asas ini dengan
mudah terbukti karena Xi, i > 1, merupakan saling bebas dan
terdistribusi sama.
Andaikan X1, X2, . . . merupakan peubah acak yang saling
bebas dan terdistribusi/teragih sama dengan E(Xi) > 0. Jika
N = min (n : X1 + · · ·+Xn > 0) , maka
E(N) =
∞∑
n=0
P(N > n)
=
∞∑
n=0
P(X1 ≤ 0, X1 +X2 ≤ 0, . . . , X1 + · · ·+Xn ≤ 0)
=
∞∑
n=0
P(Xn ≤ 0, Xn +Xn−1 ≤ 0, . . . , Xn + · · ·+X1 ≤ 0),
dimana persamaan terakhir muncul dari dualitas. Karena itu
E(N) =
∞∑
n=0
P(Sn ≤ Sn−1, Sn ≤ Sn−2, . . . , Sn ≤ 0) (4.4)
sehingga
E(N) <∞.
Persamaan terakhir ini menandakan bahwa jika E(X) > 0
maka jalan acak akan mempunyai harapan jumlah langkah
yang berhingga.
Sekarang andaikan Rn sebagai jangkauan dari (S0, S1, . . . , Sn)
4.1 Asas Dualitas 75
dan merupakan jumlahan nilai-nilai dari (S0, S1, . . . , Sn). De-
ngan mengambil
Ik =
{
1 jika Sk 6= Sk−1, Sk 6= Sk−2, . . . , Sk 6= S0,
0 untuk Sk yang lain.
maka
Rn = 1 +
n∑
k=1
Ik,
dan sehingga
E(Rn) = 1 +
n∑
k=1
P(Ik = 1)
= 1 +
n∑
k=1
P(Sk 6= Sk−1, Sk 6= Sk−2, . . . , Sk 6= 0)
= 1 +
n∑
k=1
P(Xk 6= 0, Xk +Xk−1 6= 0, . . . ,
Xk +Xk+1 + · · ·+X1 6= 0)
= 1 +
n∑
k=1
P(X1 6= 0, X1 +X2 6= 0, . . . ,
X1 + · · ·+Xk 6= 0), (4.5)
dimana persamaan terakhir muncul dari dualitas. Oleh sebab
76 Jalan Acak
itu
E(Rn) = 1 +
n∑
k=1
P(S1 6= 0, S2 6= 0, . . . , Sk 6= 0) (4.6)
=
n∑
k=0
P(T > k), (4.7)
dimana T adalah waktu untuk kembali pertama ke 0. Seka-
rang, ketika k →∞,
P(T > k)→ P(T =∞) = P(tidak kembali ke 0),
dan sehingga dari persamaan (4.6) dapat dilihat bahwa
E(Rn)
n
→ P(tidak kembali ke 0).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
lim
n→∞
E(Rn)
n
= P(jalan acak tidak pernah kembali ke 0)
(4.8)
Dalam jalan acak dengan P(Xi = 1) = p = 1 − P(Xi =
−1), andaikan sekarang p = 1
2
—disebut juga jalan acak
setangkup (simetri)—, maka jalan acak merupakan recurrent
sehingga
P(tidak kembali ke 0) = 0 ketika p = 1
2
.
4.1 Asas Dualitas 77
Oleh karena itu,
E(
Rn
n
)→ 0 ketika p = 1
2
.
Ketika p = 1
2
, andaikan α = P(kembali ke 0|X1 = 1). Karena
P(kembali ke 0|X1 = −1) = 1 sehingga
P(kembali ke 0) = αp+ 1− p.
Dengan membuat keadaan pada X2,
α = α2p+ 1− p,
atau sama saja dengan
(α− 1)(αp− 1 + p) = 0.
Karena α < 1 dari transiensi, maka terlihat bahwa
α =
(1− p)
p
,
sehingga
E(
Rn
n
)→ 2p− 1 ketika p = 1
2
.
Dapat juga diubah menjadi,
E(
Rn
n
)→ 2(1− p)− 1 ketika p ≤ 1
2
. (4.9)
Sekarang akan diselidiki jumlah harapan kunjungan ke
keadaan k. Untuk k > 0 andaikan Y melambangkan jumlah
78 Jalan Acak
kunjungan ke keadaan k sebelum kembali pertama kali ke
titik asal. Dengan demikian Y dapat dinyatakan sebagai
Y =
∞∑
n=1
In,
dengan
In =
1 jika kunjungan ke keadaaan k terjadi pada waktu n
dan tidak kembali ke titik asal sebelum n
0 untuk kunjungan yang lain,
atau Ik dapat juga dinyatakan
In =
{
1 jika Sn > 0, Sn−1 > 0, . . . , S1 > 0, Sn = k
0 sebaliknya,
Sehingga,
E(Y ) =
∞∑
n=1
P(Sn > 0, Sn−1, . . . , S1 > 0, Sn = k)
=
∞∑
n=1
P(Xn + · · ·+X1 > 0, Xn−1 + · · ·+X1 > 0,
. . . , X1 > 0, Xn + · · ·+X1 = k)
4.2 Sifat Martinggil 79
karena asas dualitas maka
E(Y ) =
∞∑
n=l
P(X1 + · · ·+Xn > 0, X2 + · · ·+Xn > 0,
. . . , Xn > 0, X1 + · · ·+Xn = k),
=
∞∑
n=1
P(Sn > 0, Sn > S1, . . . , Sn > Sn−1, Sn = k)
=
∞∑
n=1
P( jalan acak simetri berada di k
untuk pertama kalinya pada saat n)
= P(pernah berada di k)
= 1 (dengan rekurensi) (4.10)
Oleh karena itu, dalam jalan acak simetri jumlah harapan
kunjungan ke keadaan k sebelum kembali ke titik asal adalah
sama dengan 1 untuk semua k 6= 0.
4.2 Sifat Martinggil
Andaikan peubah acak X1, X2, . . . merupakan peubah acak
saling bebas dengan nilai harap 0, maka peristiwa jalan acak
{Sn =
∑n
i=1Xi, n ≥ 1} merupakan sebuah martinggil. Hal
ini dapat dilihat dalam perhitungan berikut:
E(Sn+1|S1, S2, . . . , Sn) = E(Sn +Xn+1|S1, . . . , Sn)
= E(Sn|S1, . . . , Sn)
+E(Xn+1|S1, . . . , Sn)
= Sn + E(Xn+1)
= Sn (4.11)
80 Jalan Acak
Selain sifat martinggil ini, jalan acak juga memiliki sifat
Markov yang sudah dijabarkan dalam bab sebelumnya.
Model Fisika untuk Gerak Brown
Model Matematika untuk Gerak Brown
Lemma Itô
Persamaan Rambatan Panas
5 — Gerak Brown
Gerak Brown adalah gerak acak malar zarah zat padat mi-
kroskopik (dengan garis tengah kira-kira 1 mikrometer) bila
tercelup di dalam medium fluida (Isaacs, 1994, hlm. 43). Na-
ma Brown dinisbatkan kepada Robert Brown (1773-1858). Ia
menyebutkan bahwa penelitiannya tentang gerak acak ini ber-
angkat dari temuan Leuwenhoek (1632–1723) (Nelson, 2001,
hlm. 5). Pada tahun 1827 ketika sedang meneliti zarah tepung
sari, Brown menemukan gejala serupa yaitu zarah-zarah kecil
bergerak secara acak dengan cepat (rapid oscillatory motion).
Pada awalnya, Brown mengira gerak ini merupakan perwujud-
an suatu bentuk kehidupan, namun ternyata zarah-zarah tak
organik yang kecil juga menunjukkan perilaku yang serupa
(Isaacs, 1994, hlm. 43). Sumbangan Brown dalam menerang-
kan gejala rapid oscillatory motion ini adalah memberikan
82 Gerak Brown
pijakan yang kuat bahwa gerakan ini merupakan gejala yang
penting dan membuktikan bahwa gerakan ini tidak hanya
berlaku untuk zarah organik tetapi juga ditemui pada zarah
tak organik (Nelson, 2001, hlm. 8).
Sejak Brown memaklumkan hasil temuannya dalam Phi-
losophical Magazine tahun 1828, gerakan zarah secara acak
itu kemudian lebih dikenal sebagai gerak Brown (mengacu
pada namanya; Robert Brown). Banyak ilmuwan kemudian
berusaha untuk memberikan penjelasan mengenai fenomena
gerak Brown ini. Namun, Halliday dan Resnick (1992, hlm.
811) menyebutkan bahwa tidak ada keterangan kuantitatif
mengenai fenomena ini sampai dikembangkannya teori kine-
tik. Karenanya, Nelson (2001, hlm. 10–1) menyatakan bahwa
penelitian tentang gerak Brown yang patut dicatat pada ma-
sa itu adalah eksperimen Gouy. Kesimpulan dari penelitian
Gouy dituangkan dalam 7 butir utama berikut :
1. Gerakan ini sangat tidak teratur, gabungan dari transla-
si dan rotasi dan lintasannya nampak tidak mempunyai
garis singgung.
2. Dua zarah nampak bergerak secara saling bebas, bahkan
ketika mereka mendekati satu sama lain dalam jarak
yang lebih dekat dibanding diameter mereka.
3. Gerakan ini semakin cepat untuk zarah yang semakin
kecil.
4. Gerakan ini tidak dipengaruhi oleh komposisi dan ra-
patan zarah.
5. Gerakan ini semakin cepat dalam fluida yang viskositas-
nya semakin kecil.
6. Gerakan ini semakin cepat pada suhu yang semakin
tinggi.
5.1 Model Fisika untuk Gerak Brown 83
7. Gerakan ini tidak pernah berhenti.
Pada masa itu secara bersamaan terjadi perdebatan yang
sengit tentang teori atom, apakah atom sebagai kenyataan
ilmiah atau tidak. Sebagaimana tradisi dalam ilmu fisika,
hakim dari setiap perdebatan adalah eksperimen. Halliday
dan Resnick (1992, hlm. 810-11) menyatakan bahwa melalui
telaah mengenai gerak Brown secara kuantitatif, kebenaran
teori kinetik atom pada akhirnya teruji sehingga perdebatan
itu menjadi padam. Titik pancang padamnya perdebatan
ini adalah bermula dari karya Albert Einstein tentang gerak
Brown dalam Annalen der Physik tahun 1905.
5.1 Model Fisika untuk Gerak Brown
Einstein mengandaikan bahwa zarah-zarah yang tergantung
dalam suatu fluida secara bersama-sama menanggung gerak
termal dari medium dan secara rata-rata tenaga kinetik trans-
lasi dari setiap zarah adalah 3/2 kT , sesuai dengan prinsip
ekipartisi tenaga. Dalam pandangan ini, maka gerak Brown
berasal dari tumbukan molekul-molekul fluida, dan zarah-
zarah yang tergantung mendapatkan tenaga kinetik rata-rata
yang sama seperti molekul-molekul fluida ini .
Zarah-zarah yang tergantung ini adalah sangat be-
sar dibandingkan dengan molekul-molekul fluida dan semua
sisinya ditembaki secara terus-menerus oleh molekul-molekul
ini . Jika zarah-zarah cukup besar dan jumlah mole-
kul cukup banyak, maka jumlah molekul yang sama akan
menumbuk semua sisi zarah-zarah pada setiap saat. Untuk
zarah-zarah yang lebih kecil dan jumlah molekul yang lebih
sedikit maka jumlah molekul yang menumbuk berbagai sisi
84 Gerak Brown
Gambar 5.1: Zarah Brown yang tergantung dalam fluida
’menderita’ gaya sebarang K
zarah pada setiap saat semata-mata hanyalah merupakan ke-
mungkinan. Besar jumlah ini mungkin tidak sama, sehingga
akan terjadi fluktuasi. Akibatnya, setiap saat zarah menga-
lami gaya tak seimbang yang pada gilirannya menyebabkan
zarah ini bergerak dengan berbagai cara. Dengan de-
mikian zarah-zarah bertindak persis seperti molekul-molekul
yang sangat besar di dalam fluida, dan geraknya secara ku-
alitatif haruslah sama seperti gerak molekul-molekul fluida.
Kaitannya dengan bilangan Avogadro, seandainya bilangan
Avogadro adalah tak berhingga maka tidak akan ada fluktua-
si sehingga tidak ada gerak Brown. Sebailknya, seandainya
bilangan Avogadro adalah sangat kecil, maka gerak Brown
akan sangat besar. Oleh karena itu, bilangan Avogadro bisa
ditentukan dengan gerak Brown ini.
Secara garis besar, argumen Einstein dalam menurunkan
5.1 Model Fisika untuk Gerak Brown 85
gerak Brown ini dapat dibagi menjadi 2 bagian. Dalam argu-
men bagian pertamanya, Einstein mengandaikan bahwa gerak
Brown yang dimulai pada saat X(0) = 0 akan mempunyai
rapat peluang pada waktu t yaitu N(0, t). Rapat peluang
sebuah zarah Brown berada pada x dan waktu t bernilai
ρ(x, t) =
1√
4 πD t
e−
x2
4D t . (5.1)
Maka, untuk menyelesaikan persamaan ini , Einstein
menurunkannya ke dalam persamaan difusi
∂ρ
∂t
= D
∂2ρ
∂x2
(5.2)
dengan D adalah tetapan positif koefisien difusi.
Argumen bagian kedua menghubungkan D dengan besar-
an fisis yang lain. Untuk itu, andaikan zarah-zarah Brown
tergantung (tercelup) dalam fluida, berada dalam pengaruh
gaya eksternal K dan dalam sistem kesetimbangan. Dalam
tinjauan ini gaya K dianggap sebagai gaya sebarang.
Dalam kesetimbangan, gaya K diimbangi oleh tekanan
osmotik,
K = kT
grad υ
υ
= kT
∇υ
υ
. (5.3)
Di sini grad merupakan singkatan dari gradien yang melam-
bangkan laju variasi terhadap koordinat dan ∇ adalah lam-
bang singkat dari grad atau disebut juga operator turunan
nabla Laplace. Lambang υ merupakan jumlah zarah per sa-
tuan volume, T adalah suhu mutlak, dan k adalah tetapan
Boltzman yang mempunyai dimensi energi per suhu sehing-
86 Gerak Brown
ga besaran kT mempunyai dimensi energi (k = 1, 381.10−23
J/K). Pengetahuan tentang k sebenarnya adalah pengetahuan
tentang bilangan Avogadro sebab k adalah perbandingan an-
tara tetapan gas universal R (= 8, 31 J/mol K) dan bilangan
Avogadro itu sendiri, dan oleh karenanya, ini akan mengarah
pada ukuran molekul. Ruas kanan persamaan (5.3) diturunk-
an dengan menganggap zarah-zarah Brown identik dengan
molekul gas dalam teori kinetik.
Zarah-zarah Brown yang bergerak dalam fluida menye-
babkan timbulnya gesekan sehingga gaya K memberi kecepat-
an pada setiap zarah sebesar
K
mβ
dengan β merupakan tetapan berdimensi frekuensi (satuan:
per waktu) dan m adalah massa zarah. Oleh karena itu,
sebanyak υK
mβ
zarah melewati satuan luas per satuan waktu
sesuai dengan aksi gaya K. Dengan kata lain, jika hanya
difusi yang bekerja saja, υ akan memenuhi persamaan difusi
sehingga jumlah zarah yang melewati satuan luas per waktu
adalah
D ∇υ.
Dengan demikian, didapatkan
υK
mβ
= D∇υ. (5.4)
Dengan memakai persamaan (5.3) dan (5.4), maka K
5.1 Model Fisika untuk Gerak Brown 87
dan υ dapat dilenyapkan dan didapat
D =
kT
mβ
. (5.5)
Kaitan di atas biasa dikenal sebagai kaitan Einstein . Kaitan
ini berlaku bahkan ketika tidak ada gaya dan ketika hanya
ada satu zarah Brown.
Andaikan kedua ruas dalam persamaan (5.3) dibagi dengan
mβ dan dengan memakai persamaan (5.4), maka akan
didapat persamaan baru
K
mβ
= D
∇υ
υ
.
Karena rapat peluang ρ hanyalah rapatan jumlah υ dibagi
dengan jumlah zarah, maka persamaan di atas dapat ditulis
ulang sebagai
K
mβ
= D
∇ρ
ρ
.
Ruas kiri persamaan di atas merupakan kecepatan yang dipe-
roleh zarah karena aksi gaya K, maka
D
∇υ
υ
(5.6)
merupakan kecepatan yang dibutuhkan oleh zarah untuk me-
lawan efek gaya K.
Jika zarah Brown adalah bola dengan jejari a, maka teori
gesekan Stokes memberikan mβ = 6πηa, dengan η adalah
koefisien viskositas fluida, sehingga dalam kejadian ini tetapan
88 Gerak Brown
difusi menjadi
D =
kT
6πηa
. (5.7)
Suhu T dan koefisien viskositas η dapat diukur dan jejari
zarah berbentuk bola dapat ditentukan, dan D dapat dica-
ri dengan pengamatan statistik gerak Brown memakai
persamaan (5.1). Dengan cara ini, tetapan Boltzman k (atau
setara dengan bilangan Avogadro) dapat dihitung. Perhi-
tungan ini dikerjakan oleh Perrin dan Chaudesaigues. Yang
lebih menakjubkan, hasil perhitungan bilangan Avogadro
yang didapat, yakni 6.1023 zarah/mol, hampir mendekati de-
ngan nilai bilangan Avogadro yang sekarang (NA = 6, 02.1023
/mol).
Perhitungan Einstein di atas hanya menentukan sifat ala-
miah gerakan dan nilai koefisien difusi yang berdasarkan pada
andaian-andaian yang disusunnya. Secara terpisah, Smolucho-
wski mendapatkan persamaan (5.5) dengan faktor 32/27 pada
ruas kanannya. Langevin memberikan penurunan yang lain
terhadap persamaan (5.5) yang kemudian menjadi pijakan
bagi karya Ornstein dan Uhlenbeck.
Karya Einstein ini sangat berpengaruh dalam fisika karena
telah membuktikan dengan cara yang mudah dan konkret
bahwa atom benar-benar ada. Namun demikian, Einstein
tidak bisa memberikan bukti bahwa gerak Brown wujud (eksis)
secara matematika (Ma, 1997, hlm. 49).
5.2 Model Matematika untuk Gerak Brown 89
5.2 Model Matematika untuk Gerak Brown
Dalam beberapa pustaka, ada aneka lambang untuk menye-
but gerak Brown. Lambang B(t) diambil dari abjad pertama
Brownian motion sekaligus untuk mengenang Robert Brown.
Lambang W (t) digunakan sebagai penghormatan terhadap
Norbert Wiener yang telah membuktikan eksistensi gerak
Brown secara matematis dalam disertasi doktornya tahun
1923, karena itu pula proses gerak Brown juga sering disebut
dengan istilah proses Wiener. Sementara beberapa pustaka
yang lain —misalnya Ross (1982)— memakai lambang
yang berbeda yakni Z(t) dan z(t). Dalam artikel ini, secara
umum notasi B(t) dipilih untuk melambangkan proses ge-
rak Brown ini, meskipun di beberapa bagian memakai
beberapa lambang yang berbeda.
Sebagaimana sudah disinggung ketika membahas proses
Markov, gerak Brown merupakan pengembangan lebih lanjut
dari jalan acak. Dari pembahasan itu dan mengingat kembali
dalil limit pusat, maka peubah acak X(t) merupakan peubah
acak normal dengan nilai harap 0 dan variansi c2t, kenaikannya
merupakan kenaikan yang saling bebas, dan ketika perubahan
nilai posisi jalan acak terhadap setiap selang waktu hanya
bergantung pada selang itu sendiri maka kenaikannya adalah
stasioner. Beberapa kesimpulan ini dapat diringkas sebagai
takrif dari gerak Brown.
Secara lebih lengkap, sebuah proses stokastik {B(t), t ≥ 0}
disebut proses gerak Brown jika memenuhi keadaan-keadaan
berikut:
1. B(0) = 0,
2. proses {B(t), t ≥ 0} mempunyai kenaikan saling bebas
90 Gerak Brown
yang stasioner, yakni untuk 0 ≤ t1 ≤ t2 ≤ . . . ≤ tn kena-
ikan dari B(tn)−B(tn−1), B(tn−1)−B(tn−2), . . . , B(t2)−
B(t1) merupakan peubah acak yang saling bebas,
3. untuk seluruh t ≥ 0 dan h > 0, kenaikan B(t+h)−B(t)
terdistribusi secara normal dengan nilai harap µ h dan
variansi σ2 h,
4. fungsi yang memetakan t 7→ B(t) merupakan fungsi
kontinu.
Untuk nilai-nilai µ = 0 dan σ = 1, proses sering disebut
sebagai gerak Brown standard (standard Brownian motion).
Pandangan bahwa gerak Brown merupakan limit jalan acak
menyajikan informasi bahwa B(t) merupakan fungsi malar
dari t namun berupa titik-titik sehingga tidak mulus dan
karenanya fungsi ini tidak dapat diturunkan dimanapun juga.
Andaian kenaikan yang saling bebas menyebabkan bahwa
perubahan posisi antara waktu s dan t+ s —yakni B(t+ s)−
B(s)— merupakan saling bebas untuk seluruh nilai dalam
proses sebelum waktu s. Karenanya, persamaan
P (B(t+ s) ≤ a | B(s) = x, B(u), 0 ≤ u < s)
= P (B(t+ s)− B(s) ≤ a− x|B(s) = x,
B(u), 0 ≤ u < s)
= P (B(t+ s)− B(s) ≤ a− x)
= P (B(t+ s) ≤ a|B(s) = x)
(5.8)
yang menyatakan bahwa peluang bersyarat untuk keadaan
mendatang B(t + s) hanya bergantung pada B(s) sebagai
keadaan sekarang. Sifat ini selaras dengan sifat proses Markov.
Gerak Brown yang dibahas di muka merupakan gerak
Brown tanpa laju pertumbuhan (drift), nilai harap sama
5.2 Model Matematika untuk Gerak Brown 91
dengan 0. Sebuah gerak Brown {X(t), t ≥ 0} merupakan
gerak Brown dengan laju pertumbuhan yang mempunyai
koefisien laju pertumbuhan senilai µ jika memenuhi syarat-
syarat:
1. X(0) = 0,
2. {X(t), t ≥ 0} mempunyai kenaikan yang saling bebas
dan stasioner,
3. X(t) terdistribusi secara normal dengan nilai harap µ t
dan variansi t.
Dengan merujuk pada syarat-syarat di atas, jika X(t) me-
rupakan gerak Brown dengan laju pertumbuhan, maka X(t)
akan memenuhi persamaan
X(t) = B(t)+µ t, B(t)merupakan gerak Brown standard.
(5.9)
Persamaan di atas menunjukkan bahwa sebuah gerak Bro-
wn dengan laju pertumbuhan merupakan sebuah proses yang
cenderung untuk berolak (drift off) pada tingkat µ. Gerak
Brown ini juga dapat didekati dengan jalan acak. Untuk
memahami ini, andaikan bahwa untuk setiap ∆t satuan wak-
tu proses bergerak ke positif atau negatif dengan panjang
langkah ∆x dengan peluang p dan 1 − p. Jika diandaikan
bahwa
Xi =
{
+1 jika pada langkah ke-i positif
−1 untuk i yang lain
92 Gerak Brown
maka X(t) yakni posisi pada waktu t adalah
X(t) = ∆x(X1 + · · ·+Xt/∆t).
Pada proses ini nilai harap dan variansinya adalah
E[X(t)] = ∆x [t/∆t] (2p− 1)
Var[X(t)] = (∆x)2[t/∆t][1− (2p− 1)2].
Andaikan kemudian diambil nilai ∆x =
√
∆y, p = 1
2
(1+µ
√
t),
dan ∆t→ 0 maka
E[X(t)]→ µt,
Var[X(t)]→ t,
sehingga nampak jelas bahwa {X(t)} merupakan gerak Brown
dengan koefisien laju pertumbuhan µ.
Berdasarkan pembahasan dalam gerak Brown standard
dan gerak Brown dengan laju pertumbuhan, jika gerak Brown
{X(t), t ≥ 0} memiliki nilai harap µ dan variansi σ2 maka
persamaan gerak Brown secara umum akan menjadi
X(t) = σB(t) + µt. (5.10)
Dalam bentuk persamaan turunan, persamaan di atas dapat
ditulis sebagai
dX(t) = σdB(t) + µdt. (5.11)
Sejauh ini, gerak Brown yang disinggung hanya merupak-
an peubah-peubah acak yang mengikuti gerak Brown ini .
5.3 Lemma Itô 93
Apabila logaritma dari suatu peubah acak mengikuti gerak
Brown, maka proses ini juga merupakan gerak Brown. An-
daikan {X(t), t ≥ 0} merupakan gerak Brown dengan laju
pertumbuhan µ dan variansi σ2, maka proses {Y (t), t ≥ 0}
yang memenuhi takrif
Y (t) = eX(t) = eσB(t)+µt (5.12)
juga merupakan gerak Brown. Nama khusus untuk gerak
Brown jenis ini adalah gerak Brown geometrik (geometric
Brownian motion) —acapkali disebut gerak Brown eksponen-
sial.
5.3 Lemma Itô
Salah satu perampatan gerak Brown yang sangat masyhur
adalah proses Itô. Jika X(t) mengikuti proses Itô, maka
dX(t) = a(X, t) dt+ b(X, t)B(t) (5.13)
dengan parameter a dan b merupakan fungsi dari nilai-nilai
peubah acuan X dan t, sedangkan dB(t) merupakan gerak
Brown. Lemma Itô menunjukkan bahwa sebuah fungsi Y dari
X dan t mengikuti proses
dY =
(
∂Y
∂X
a+
∂Y
∂t
+
1
2
∂2Y
∂X2
b2
)
dt+
∂Y
∂X
b dB(t). (5.14)
94 Gerak Brown
Oleh karena itu, Y juga mengikuti proses Itô dengan laju
pertumbuhan
∂Y
∂X
a+
∂Y
∂t
+
1
2
∂2Y
∂X2
b2 (5.15)
dan variansi(
∂Y
∂X
)2
b2. (5.16)
Bukti
Dengan deret Taylor dari ∆Y yang merupakan fungsi dari
X dan t, maka di dapat
∆Y =
∂Y
∂X
∆X +
∂Y
∂t
∆t
+
1
2
(
∂2Y
∂X2
∆X2 + 2
∂2Y
∂X∂t
∆X∆t+
∂2Y
∂t2
∆t2
)
+
1
3!
(
∆X
∂
∂X
+∆t
∂
∂t
)3
Y + · · · . (5.17)
Bentuk tercacah dari proses Itô (persamaan (5.13)) adalah
∆X = a(X, t)∆t+ b(X, t)
√
∆t. (5.18)
Dengan limit ∆t→ 0, maka ∆X2 ≈ b2(X, t)√∆t. Penyisipan
5.4 Persamaan Rambatan Panas 95
persamaan ini ke dalam persamaan (5.17) akan menghasilkan
dY =
∂Y
∂X
dX +
∂Y
∂t
dt+
1
2
∂2Y
∂x2
b2(X, t)dt
=
(
∂Y
∂X
a+
∂Y
∂t
+
1
2
∂2Y
∂X2
b2
)
dt+
∂Y
∂X
b dB(t).
(5.19)
Penerapan untuk gerak Brown geometrik
Jika diandaikan bahwa S = eZ dengan Z merupakan gerak
Brown menurut persamaan
dZ = µdt+ σdB (5.20)
maka dengan memakai lemma Itô dan
∂S
∂Z
= eZ = S,
∂S
∂t
= 0,
∂2S
∂Z2
= eZ = S
akan didapat persamaan
dS = S
(
µ+
σ2
2
)
dt+ SσdB
dS
S
=
(
µ+
σ2
2
)
dt+ σdB (5.21)
5.4 Persamaan Rambatan Panas
Persamaan rambatan panas (heat equation) mempunyai kaitan
yang erat dengan gerak Brown. Dengan mengetahui bahwa
B(t) mempunyai N(0, t) untuk agihan t > 0 jika B(t) adalah
96 Gerak Brown
gerak Brown, maka rapat peluang ρ(x, t) dapat ditulis
ρ(x, t) =
1√
2 π t
e−
x2
2t
Dengan menghitung turunan sebagian dari ρ(x, t) yakni
∂ρ
∂t
(x, t) =
1
2
(
x2
t2
− 1
t
)
ρ(x, t),
∂ρ
∂x
(x, t) = −x
t
ρ(x, t),
∂2ρ
∂x2
(x, t) =
(
x2
t2
− 1
t
)
ρ(x, t),
maka dapat ditunjukkan bahwa ρ(x, t) memenuhi persamaan
turunan sebagian yang disebut juga persamaan rambatan
panas berikut
∂ρ
∂t
(x, t) =
1
2
∂2ρ
∂x2
(x, t). (5.22)
Sifat ini dapat dilacak dengan mengandaikan bahwa f men-
cukupi syarat-syarat sebagai sebuah fungsi. Jika u(x, t) =
E[f(B(t) + x)], maka dapat dilihat pada saat t = 0 fung-
si u(x, 0) akan bernilai u(x, 0) = f(x). Untuk t > 0, akan
didapat persamaan
u(x, t) =
∫ +∞
−∞
f(z)ρ(x− z, t)dz. (5.23)
5.4 Persamaan Rambatan Panas 97
Penurunan kedua ruas persamaan di atas terhadap t dan x
secara serentak akan menghasilkan
∂u
∂t
(x, t) =
∫ +∞
−∞
f(z)
∂ρ
∂t
(x− z, t)dz (5.24)
dan
∂2u
∂x2
(x, t) =
∫ +∞
−∞
f(z)
∂2ρ
∂x2
(x− z, t)dz. (5.25)
Dari persamaan di atas terlihat bahwa u juga memenuhi
persamaan rambatan panas.
ρ(x, t) =
1√
2 π t
e−
x2
2t . (5.26)
Saham
Obligasi
Derivatif
6 — Pasar Saham
Pasar merupakan tempat dimana penjual dan pembeli da-
pat bertemu untuk saling bertukar produk masing-masing
atau melakukan transaksi. Sebuah pasar tidak selalu harus
mempunyai tempat dalam arti fisik, misalnya pasar keuangan
(financial market). Menurut takrif Brigham dan Houston
(2001), pasar keuangan adalah tempat terjadinya penawaran
dan permintaan dana serta investasi melalui transaksi bisnis
secara langsung.
Ada dua macam pasar keuangan yang utama, yaitu pasar
uang dan pasar modal. Pasar uang terbentuk karena adanya
penawaran dan permintaan dana jangka pendek (jangka wak-
tu kurang dari 1 tahun) dalam bentuk sekuritas (security)
atau surat berharga1, warkat komersial (commercial paper),
1Istilah-istilah sekuritas, surat berharga atau instrumen keuangan
100 Pasar Saham
dan sertifikat deposito. Sedangkan pasar modal terbentuk
karena adanya penawaran dan permintaan dana jangka pan-
jang (jangka waktu lebih dari 1 tahun), baik dalam bentuk
modal sendiri (stock) maupun hutang (bond), baik yang di-
terbitkan oleh pemerintah (public authorities) maupun oleh
perusahaan swasta (privat sectors). Surat berharga utama
yang diperdagangkan adalah saham (stock, share), obligasi
(bond) dan derivatif (derivative).
Dalam perdagangan surat berharga, dikenal ada 2 jenis
pasar surat berharga, yaitu pasar perdana (primary market)
dan pasar sekunder (secondary market). Seluruh surat berhar-
ga, baik di pasar uang maupun di pasar modal, diterbitkan
pertama kali di pasar perdana. Dalam pasar ini penerbit (per-
usahaan yang go public, disebut juga emiten) langsung terlibat
dalam transaksi dan bermaksud untuk mencari modal baru.
Perdagangan surat berharga pertama kali terjadi di sini sebe-
lum dicatatkan di bursa efek. Pada pasar perdana ini surat
berharga untuk pertama kalinya ditawarkan kepada pemodal
oleh pihak Penjamin Emisi (Underwriter) melalui Perantara
Pedagang Efek (Broker-Dealer) yang bertindak sebagai Agen
Penjual surat berharga. Proses ini biasa disebut dengan Pe-
nawaran Umum Perdana (Initial Public Offering/IPO). Jadi
pasar perdana adalah tempat penjualan surat-surat berharga
yang baru.
Selanjutnya perdagangan surat berharga yang telah di-
catatkan di bursa efek akan berlangsung di pasar sekunder.
Pasar sekunder memberi kesempatan kepada para pemodal
untuk membeli atau menjual surat berharga yang tercatat di
mempunyai makna yang hampir sama. Selanjutnya dalam artikel ini
dipilih istilah surat berharga.
101
bursa setelah terlaksananya penawaran perdana. Di pasar se-
kunder ini, surat berharga diperdagangkan dari satu pemodal
kepada pemodal lainnya. Dengan kata lain, pasar sekunder
merupakan tempat perdagangan surat berharga yang telah
beredar.
Organisasi yang menyediakan tempat dimana pasar sekun-
der dapat berlangsung disebut dengan bursa efek. Menurut
UU No 8 tahun 1995, bursa efek (stock exchange) merupakan
pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan
atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli
efek kepada pihak-pihak lain dengan tujuan memperdagangk-
an efek. Sementara itu, efek merupakan surat berharga yang
berupa pengakuan hutang, surat berharga komersial, saham,
obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak kolektif,
kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek.
Bursa efek terdiri dari bursa yang terorganisir (organized
securities exchange) dan bursa tidak terorganisir atau bur-
sa tidak resmi (over the counter exchange, disingkat OTC).
Bursa terorganisir merupakan organisasi nyata yang bertin-
dak seperti pasar sekunder dimana surat-surat berharga yang
beredar dijual kembali. Yang termasuk dalam contoh bur-
sa terorganisir adalah Jakarta Stock Exchange (JSX), New
York Stock Exchange (NYSE) dan America Stock Exchange
(AMEX). Sedangkan OTC merupakan pasar tidak berwujud
yang membeli dan menjual surat berharga yang tidak terdaf-
tar di bursa yang terorganisir, sehingga di sini berkumpul
para broker dan dealer dalam jumlah besar, yang dihubungkan
dengan komputer dan telepon. NASDAQ di Amerika (Natio-
nal Association of Securities Dealers Automated Quotation
System) dapat dikelompokkan dalam kategori ini.
102 Pasar Saham
Dari uraian di atas terlihat bahwa pasar modal hanyalah
merupakan tempat bertemunya permintaan dan penawaran
surat berharga jangka panjang. Untuk menentukan sebera-
pa baik kualitas pasar modal, Reilly (Yuliati et al., 1996)
menyarankan untuk meninjaunya melalui empat penunjuk,
yaitu ketersediaan informasi, likuiditas (liquidity), efisiensi
internal (internal efficiency) dan efisiensi eksternal (external
efficiency).
Ketersediaan informasi berkaitan erat dengan informa-
si di pasar modal itu sendiri, misalnya informasi mengenai
fluktuasi harga surat berharga di masa lalu atau fluktuasi
volume perdagangannya. Dalam hal ini, informasi dimengerti
sebagai serangkaian pesan yang mungkin dapat digunakan
oleh penerimanya untuk melakukan suatu tindakan yang bisa
mengubah kesejahteraannya, meningkatkan kemampuan pe-
nerimanya untuk melakukan tindakan yang bersifat kritis dan
memperoleh nilai tertentu dari perubahan pesan-pesannya.
Informasi yang ada akan mempengaruhi proses terbentuknya
harga jual dan beli suatu surat berharga. Semakin lengkap
dan mudah akses terhadap informasinya, maka pasar modal
akan semakin baik.
Likuiditas menunjukkan kemampuan untuk membeli atau
menjual surat berharga tertentu secara cepat dan pada harga
yang tidak terlalu berbeda dengan harga sebelumnya, dengan
andaian tidak ada tambahan informasi baru sehingga likuidi-
tas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi
kewajiban keuangan berjangka pendek. Sementara efisiensi
internal suatu pasar modal bergantung pada tinggi rendah
biaya transaksi, biaya pajak dan biaya yang berkaitan dengan
financial distress di pasar modal ini . Semakin rendah
6.1 Saham 103
biaya transaksi maka semakin tinggi efisiensi internalnya. De-
ngan demikian efisiensi internal juga dapat disebut efisiensi
operasional.
Faktor penunjuk terakhir, efisiensi eksternal, menjelaskan
penyesuaian harga surat berharga terhadap informasi baru.
Karena efisiensi eksternal berkaitan dengan pasokan informasi,
maka efisiensi eksternal dikenal sebagai efisiensi informasi
(informational efficiency). Pendapat-pendapat yang berusaha
menjelaskan tentang hubungan pasokan informasi dan tingkat
efisiensi pasar dikenal sebagai hipotesis pasar efisien dan akan
diberikan penjelasan secara khusus pada bagian lain dalam
bab ini.
6.1 Saham
Saham adalah sertifikat yang menunjukkan bukti kepemilikan
suatu perusahaan, dan pemegang saham memiliki hak kla-
im atas penghasilan dan aktiva perusahaan. Wujud saham
adalah selembar kertas yang menerangkan bahwa pemiliknya
adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan kertas ini .
Bila seorang pemodal membeli saham, maka ia akan meneri-
ma kertas yang menjelaskan bahwa ia memiliki perusahaan
penerbit saham ini .
Ada dua keuntungan bagi pemodal yang memiliki saham,
yakni dividen dan laba modal (capital gain). Dividen merupak-
an keuntungan emiten yang dibagikan kepada para pemegang
saham. Dividen diberikan setelah mendapatkan persetuju-
an dari para pemegang saham dalam RUPS (Rapat Umum
Pemegang Saham). Jika seorang pemodal ingin mendapatk-
an dividen, maka pemodal ini harus memegang saham
104 Pasar Saham
ini dalam kurun waktu yang relatif lama yaitu hingga
kepemilikan saham ini berada dalam periode dimana
diakui sebagai pemegang saham yang berhak mendapatkan
dividen.
Umumnya dividen merupakan salah satu daya tarik bagi
pemegang saham yang berorientasi jangka panjang, misalnya
pemodal kelembagaan. Dividen yang dibagikan emiten dapat
berupa uang tunai dalam jumlah rupiah tertentu untuk setiap
saham atau dapat pula berupa sejumlah saham sehingga
jumlah saham yang dimiliki seorang pemodal akan bertambah
dengan adanya pembagian dividen saham ini .
Laba modal atau capital gain merupakan selisih harga beli
dan harga jual saham. Laba modal terbentuk dengan adanya
kegiatan perdagangan saham di pasar sekunder. Umumnya
pemodal dengan orientasi jangka pendek mengejar keuntungan
melalui laba modal ini. Misalnya seorang pemodal yang
membeli saham pada pagi hari dan kemudian menjualnya di
sore hari ketika harga saham mengalami kenaikan.
Saham dikenal dengan karakteristik high risk-high return.
Artinya, saham merupakan surat berharga yang memberikan
peluang keuntungan tinggi namun juga memiliki risiko tinggi.
Saham memungkinkan pemodal untuk mendapatkan hasil pe-
ngembalian (return), dalam hal ini laba modal, dalam jumlah
besar dalam waktu yang singkat. Namun, fluktuasi harga
saham juga dapat membuat pemodal mengalami kerugian
besar dalam waktu singkat.
Risiko tinggi karena berinvestasi dalam bentuk saham
diantaranya adalah tidak adanya pembagian dividen, rugi
modal (capital loss), risiko likuidasi, dan risiko penghapusan
(delisting) dari bursa.
6.2 Obligasi 105
Risiko tidak adanya pembagian dividen dapat terjadi jika
emiten tidak dapat memartikel kan laba pada tahun berjalan.
Bisa juga disebabkan RUPS memutuskan untuk tidak mem-
bagikan dividen kepada pemegang saham karena laba yang
diperoleh akan digunakan untuk perluasan usaha. Rugi modal
dapat terjadi apabila harga beli saham lebih tinggi dari har-
ga jualnya. Sedangkan jika emiten bangkrut atau dilikuidasi,
para pemegang saham memiliki hak klaim terakhir terhadap
aktiva perusahaan setelah seluruh kewajiban emiten dibayar.
Yang terburuk adalah jika tak ada lagi aktiva yang tersisa,
maka para pemegang saham tidak memperoleh apa-apa. Un-
tuk risiko penghapusan dari bursa hanya akan terjadi karena
beberapa alasan seperti dalam jangka waktu tertentu kinerja
emiten dinilai buruk oleh pasar sehingga volume perdagangan
saham cenderung menurun terus dalam waktu lama.
6.2 Obligasi
Obligasi adalah sertifikat yang berisi kontrak antara pemodal
dan perusahaan yang menyatakan bahwa pemodal ini
telah meminjamkan sejumlah uang kepada perusahaan. Maka,
obligasi bisa pula disebut surat pengakuan hutang. Perusaha-
an yang menerbitkan obligasi mempunyai kewajiban untuk
membayar bunga secara berkala sesuai dengan jangka waktu
yang telah ditetapkan dan pada saat jatuh tempo perusahaan
harus membayar pokok pinjamannya.
Nilai suatu obligasi bergerak berlawanan arah dengan
perubahan suku bunga secara umum. Jika suku bunga secara
umum cenderung turun, maka nilai atau harga obligasi akan
meningkat, karena para pemodal cenderung untuk berinvestasi
106 Pasar Saham
pada obligasi. Sebaliknya, jika suku bunga secara umum
cenderung meningkat, maka nilai atau harga obligasi akan
turun, karena para pemodal cenderung untuk menanamkan
uangnya di bank.
Pemodal yang berinvestasi dalam bentuk obligasi akan
memperoleh beberapa keuntungan, yaitu mendapatkan bunga,
laba modal dan hak klaim pertama jika emiten bangkrut atau
dilikuidasi. Bunga obligasi ditetapkan dalam persentase dari
nilai nominal obligasi dan akan dibayarkan secara berkala
sampai jatuh tempo. Sebagai contoh, untuk obligasi dengan
kupon 10%, pemodal akan menerima Rp 10 setiap Rp 100
dari nilai nominal setiap tahun. Biasanya pembayaran bunga
dilakukan setiap 3 atau 6 bulan sekali.
Selain itu, sebelum jatuh tempo biasanya obligasi dipe-
rdagangkan di pasar sekunder, sehingga pemodal mempunyai
kesempatan untuk memperoleh laba modal. Laba modal juga
dapat diperoleh jika pemodal membeli obligasi dengan diskon
sehingga harga belinya lebih rendah dari nilai nominalnya,
sedangkan pada saat jatuh tempo perusahaan akan membayar
sesuai dengan nilai nominal obligasi.
Sebagaimana sifat investasi yang tidak hanya menjanjikan
hasil pengembalian tetapi juga menyimpan risiko, berinves-
tasi dalam bentuk obligasi juga mengandung sifat demikian.
Risiko-risiko itu antara lain, rugi modal, default atau gagal
bayar (kegagalan emiten untuk memenuhi ketentuan yang
ditetapkan dalam kontrak obligasi), dan callability. Risiko
yang disebutkan terakhir hanya akan terjadi pada obligasi
yang memang mencantumkannya sebagai salah satu kesepa-
katan dalam kontrak. Kesepakatan itu menjamin emiten
untuk mempunyai hak membeli kembali obligasi sebelum ja-
6.3 Derivatif 107
tuh tempo. Biasanya ini dilakukan pada saat suku bunga
secara umum menunjukkan kecenderungan menurun. Sebagai
gantinya, emiten akan memberikan premi kepada pemegang
obligasi.
6.3 Derivatif
Derivatif merupakan surat berharga yang nilainya bergantung
pada surat berharga yang mendasari atau surat berharga
acuan (underlying assets). Ada beberapa macam surat ber-
harga derivatif, seperti bukti right, waran (warrant), kontrak
berjangka (future), dan opsi (option).
Derivatif merupakan surat berharga yang sangat berisiko
jika tidak digunakan secara hati-hati (Bapepam, 2003, hlm.17).
Meskipun demikian derivatif juga dapat digunakan untuk me-
ngurangi risiko atau sebagai investasi spekulatif (Brigham
dan Houston, 2001). Contoh penggunaan derivatif untuk me-
ngurangi risiko dapat dilihat dari peristiwa berikut. Ketika
rupiah melemah terhadap dolar, laba bersih seorang importir
cenderung menurun. Importir ini dapat mengurangi risiko
dengan membeli derivatif yang meningkatkan nilai labanya
ketika nilai rupiah menurun. Tindakan importir seperti ini
disebut operasi hedging (lindung nilai, pemagaran), tujuannya
adalah untuk mengurangi risiko. Di sisi lain, spekulasi dengan
harapan memperoleh hasil pengembalian yang tinggi dapat
dilakukan dengan derivatif, namun risiko yang dihadapi juga
tinggi. Brigham dan Houston (2001) menyebutkan bahwa per-
usahaan Procter and Gamble di Amerika pernah mengalami
kerugian sebesar $150 juta karena investasi derivatif, bahk-
an perusahaan Orange Country di California jatuh bangkrut
108 Pasar Saham
karena spekulasi derivatif.
Dari beberapa macam derivatif di atas, bentuk derivatif
yang tergolong baru di negara kita adalah surat berharga opsi
yang baru diperkenalkan di bursa efek Jakarta pada paro ke-
dua 2003 (Sinar Harapan, 2004). Dengan memakai opsi,
seorang pemodal dapat meminimumkan batas kerugian dan
memaksimumkan laba yang akan diperolehnya. Sehingga jika
digunakan dengan cemat, opsi akan sangat berguna bagi peru-
sahaan atau individu untuk mengurangi risiko keuangan yang
membayangi. Karakteristik opsi yang bisa membatasi kerugi-
an yang akan diperoleh pemodal dan membuat keuntungan
yang tak terbatas nilainya ini sangat menarik untuk dikaji.
Apalagi, sejumlah besar kontrak sesuai dengan gambaran opsi
(Weston dan Copeland, 1995, hlm. 514). Misalnya, dalam per-
usahaan yang menerbitkan hutang, seorang pemegang saham
mempunyai hak (bukan kewajiban) untuk melunasi hutang
ini dan berhak memiliki sisa nilai perusahaan pada saat
hutang jatuh tempo. Dan tentu saja pemegang saham itu
juga dapat menerima kebangkrutannya.
Jenis Opsi
Sifat Opsi Beli
Sifat Opsi Jual
Pentingnya Perdagangan Opsi
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga
Opsi
7 — Opsi Saham
Opsi adalah suatu hak yang dimiliki oleh pemegangnya, buk-
an kewajiban yang harus dilaksanakan pada waktu kontrak
ini jatuh tempo. Secara lebih lengkap, opsi merupakan
kontrak dengan penulis opsi (option writer) yang menjamin
pembeli opsi (option holder) suatu hak untuk membeli atau
menjual suatu surat berharga acuan (underlying asset) ke-
pada penulis opsi pada harga tertentu dalam periode waktu
tertentu. Penulis1 opsi memberikan hak ini sebagai ganti dari
pembayaran sejumlah uang yang diterimanya. Pembayaran
ini disebut dengan premi opsi. Harga surat berharga acuan
1Istilah penulis opsi mempunyai arti yang sama dengan penjual atau
penerbit opsi. Dalam artikel ini, ketiga sebutan tadi kadang digunakan
secara bergantian semata-mata demi menyesuaikan dengan suasana kali-
mat yang menyertainya. Demikian pula istilah pembeli atau pemegang
opsi.
110 Opsi Saham
untuk dibeli atau dijual pada waktu yang akan datang disebut
dengan harga laksana (exercise price/strike price).2 Tanggal
yang setelahnya opsi dinyatakan tidak berlaku lagi disebut
tanggal jatuh tempo atau tanggal kadaluarsa (exercise date).
Diawal telah disinggung bahwa opsi merupakan suatu
hak, sehingga pemegang opsi dapat mengggunakannya atau
mengabaikannya. Pada saat jatuh tempo, jika pemegang opsi
tidak memakai haknya, maka hak ini akan hilang
dengan sendirinya. Dengan demikian, opsi menjadi tidak
bernilai lagi.
Sebagai salah satu surat berharga derivatif, opsi bergan-
tung pada surat berharga acuan. Saat pertama kali opsi
diperdagangkan, yakni mulai 26 April 1973 (Sartono, 1996,
hlm. 438) di The Chicago Board Option Exchange (CBOE),
surat berharga acuan untuk perdagangan opsi masih terbatas
pada saham, sehingga disebut opsi atas saham. Perkembang-
an perdagangan opsi mengalami peningkatan yang cukup
pesat. Pada bulan Nopember 1982 di Montreal Exchange, un-
tuk pertama kalinya opsi untuk valuta asing diperdagangkan
(Berlianta, 2005, hlm. 189). Sekarang, surat berharga acuan
yang mendasari opsi tidak lagi terbatas pada saham maupun
valuta asing, tetapi juga indeks saham, suku bunga dan future
treasury bond (Keown et al., 2000, hlm. 821-823). Sehingga,
2Alih bahasa yang lebih dekat mungkin adalah harga eksekusi atau
pelaksanaan. Namun, dalam beberapa situasi, penulis merasa istilah
’harga pelaksanaan’ acapkali menimbulkan
Related Posts:
fisika pasar modal 1 Sejarah mencatat babak baru. Tahun 1997, ranah keilmuanmanusia telah bertambah dengan terbitnya istilah ’econophys… Read More