Sengketa tanah terjadi karena tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting, yang dapat
membuktikan kemerdekaan dan kedaulatan pemiliknya. Tidak semua masalah harus
diselesaikan lewat persidangan atau pengadilan. Saat ini telah lahir penyelesaian sengketa
non litigasi, yaitu Alternative Dispute Resolution (selanjutnya disebut dengan ADR), salah
satunya dengan menggunakan mediasi di mana keberpihakan seorang mediator tidak terjadi
dalam persoalan mediasi. Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini
adalah;pertama, bagaimana peranan Kantor Pertanahan dalam penyelesaian tanah secara
mediasi;kedua, Bagaimana prosedur peneyelesaian sengketa pertanahan melalui jalur
mediasi di Kantor Pertanahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan sebagai
mediator pada saat mediasi yaitu memimpin diskusi, memelihara atau menjaga aturan-aturan
perundangan, mendorong para pihak untuk menyampaikan masalah dan kepentingan secara
terbuka, mendorong para pihak agar menyadari bahwa sengketa bukan pertarungan yang
harus dimenangkan tetapi diselesaikan, mendengar, mencatat dan mengajukan pertanyaan,
membantu para pihak mencapai titik temu dan Prosedur dalam penyelesaian sengketa
pertanahan melalui jalur mediasi yaitu adanya pengaduan oleh para pihak yang bersengketa
ke Kantor Pertanahan dan melewati proses menelaah, negoisasi akhir, kesepakatan Jika para
pihak mencapai kata sepakat maka dituangkan dalam perjanjian tertulis, sedangkan yang
tidak mencapai kata sepakat maka para pihak mempunyai hak untuk mengajukan
permasalahan sengketa tersebut ke pengadilan.
Tanah bagi kehidupan manusia
mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal
ini disebabkan hampir seluruh aspek
kehidupannya terutama bagi bangsa Indonesia
tidak dapat terlepas dari keberadaan tanah yang
sesungguhnya tidak hanya dapat ditinjau dari
aspek ekonomi saja, melainkan meliputi segala
kehidupan dan penghidupannya
Sebagai hak dasar, hak atas tanah sangat
berarti sebagai tanda eksistensi, kebebasan, dan
harkat diri seseorang. Di sisi lain, negara wajib
memberi jaminan kepastian hukum terhadap hak
atas tanah itu walaupun hak itu tidak bersifat
mutlak karena dibatasi oleh kepentingan orang
lain, masyarakat dan negara.
Permasalahan pertanahan merupakan isu
yang selalu muncul dan selalu aktual dari masa
ke masa, seiring dengan bertambahnya
penduduk, perkembangan pembangunan, dan
semakin meluasnya akses berbagai pihak yang
memperoleh tanah sebagi modal dasar dalam
berbagai kepentingan.
Sengketa tanah terjadi
karena tanah mempunyai kedudukan yang sangat
penting, yang dapat membuktikan kemerdekaan
dan kedaulatan pemiliknya.Tanah mempunyai
fungsi dalam rangka integritas negara dan fungsi
sebagai modal dasar dalam rangka mewujudkan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pada dasarnya pilihan penyelesaian sengketa
dapat dilakukan dengan 2 (dua) proses. Proses
penyelesaian sengketa melalui litigasi di dalam
pengadilan, kemudian berkembang proses
penyelesaian sengketa melalui kerja sama
(kooperatif) di luar pengadilan. Proses litigasi
menghasilkan kesepakatan yang bersifat
adversial yang belum mampu merangkul
kepentingan bersama, cenderung menimbulkan
masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya.
Sebaliknya, melalui proses di luar pengadilan
menghasilkan kesepakatan kesepakatan yang
bersifat “win-win solution dihindari dari
kelambatan proses penyelesaian yang
diakibatkan karena hal prosedural dan
administratif, menyelesaikan komprehensif
dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan
baik.
Tidak semua masalah harus diselesaikan
lewat persidangan atau pengadilan. Saat ini telah
lahir penyelesaian sengketa non litigasi, yaitu
Alternative Dispute Resolution (selanjutnya
disebut dengan ADR), salah satunya dengan
menggunakan mediasi di mana keberpihakan
seorang mediator tidak terjadi dalam persoalan
mediasi. Hal mana telah diatur secara implisit
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
1. Peranan Kantor Pertanahan dalam
penyelesaian tanah secara mediasi
Peraturan Kepala BPN No.3 Tahun 2011
tentang Pengelolaam Pengkajian dan
Penanganan Kasus pertanahan merumuskan
bahwa yang dimaksud dengan sengketa
pertanahan menurut pasal 1 angka 2 perka BPN
No.3 Tahun 2011 yang selanjutnya disingkat
sengketa adalah perselisihan pertanahan anatara
orang perseorangan, badan hukum, atau
lembaga yang tidak berdampak luas secara
sosio-politis, sedangkan konflik pertanahan
menurut pasal 1 angka 3 perka BPN No.3 Tahun
2011 adalah perselisihan pertanahan anatar
orang perseorangan, kelompok, golongan,
organisasi, badan hukum, atau lembaga yang
mempunyai kecenderungan atau sudah
berdampak luas secara sosio-politis. Artinya,
BPN berwenang.
Menyelesaikan perselisihan
pertanahan, baik dalam bentuk sengketa
maupun konflik pertanahan. Pengertian
sengketa tanah juga dapat dilihat dalam
peraturan Menteri Agraria/KBPN No.1 Tahun
1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa
Pertanahan.
Disimpulkan bahwa baik sengketa maupun
konflik pertanahan secara suibtansi terjadi
perbedaan atau perselisihan antara dua pihak
atau lebih terhadap sumber daya tanah.
Berdasarkan dimensi dampak, konflik memiliki
dampak yang lebih luas bila dibandingkan
dengan istilah sengketa. Konflik pertanahan
yang sudah dan sedang berlangsung dan
mungkin tetap akan berlangsung bila tidak
dicairkan jalan keluarnya yang obyektif, maka
akan selalu menjadi topik yang menarik untuk
dibahas dan diselesaikan dalam konteks
penyelengaraan ke depan.
Ada beberapa faktor
yang menyebabkan timbulnya sengketa tanah.
Pertama, peraturan yang belum lengkap; Kedua,
ketidaksesuian peraturan;ketiga, pejabat
pertanahan yang kurang tanggap terhadap
kebutuhan dan jumlah tanah yang tersedia;
keempat, data yang kurang akurat dan kurang
lengkap;kelima, data tanah yang
keliru;keeenam, keterbatasan sumber daya
manusia yang bertugas menyelesaikan sengketa
tanah; ketujuh, transaksi tanah yang keliru; dan
kedelapan, adanya penyelesaiaan dari instansi
lain, sehingga terjadi tumpang tindih
kewenangan
Sengketa merupakan kelanjutan dari adanya
masalah. Sebuah masalah akan berubah menjadi
sengketa bila masalah tersebut tidak
dapat diselesaikan.
Mediasi merupakan cara
penyelesaian yang sangat diharapkan untuk
dapat menyelesaikan sengketa secara adil. Hal
ini disebabkan karena proses mediasi
merupakan musyawarah antar para pihak yang
bersengketa, sehingga jika mediasi
membuahkan hasil, hasilnya adalah win-win
solutions, sehingga para pihak puas dengan
hasil musyawarah
Aparatur pertanahan baik pusat maupun
didaerah dituntut secara aktif untuk
menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan
melalui mediasi sebagai prioritas utama dengan
mengedepankan netralitas Badan Pertanahan
Nasional sebagai mediator.
Sebagai instansi vertikal yang berada di
bawah naungan dan bertanggung jawab
langsung kepada menteri melalui Kepala Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional,
menggunakan bentuk penyelesaian sengketa
pertanahan dengan proses mediasi yang sudah
dilaksanakan kurang lebih 6 tahun belakangan
ini. Bahwa gelar mediasi ini dilaksanakan
berdasarkan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011
Tentang Pengelolaan Pengkajian Dan
Penanganan Kasus Pertanahan.
Penyelesaian sengketa tanah melalui jalur
mediasi di Kantor Pertanahan ini ditangani oleh
Subseksi Sengketa, Konflik dan Perkara yang
berada di pengkoordinasian Seksi Penanganan
Masalah dan Pengendalian Pertanahan.
Subseksi Penangan Sengketa, Konflik dan
Perkara Pertanahan ini mempunyai tugas yaitu
melakukan penyiapan bahan bimbingan teknis,
koordinasi, pemantauan, pelaksanaan
pencegahan, penanganan dan penyelesaian
sengketa/konflik dan perkara pertanahan, serta
analisis dan penyiapan usulan pembatalan hak
atas tanah berdasarkan putusan pengadilan atau
hasil perdamaian, serta evaluasi dan pelaporan,
sebagaimana yang telah dimaksud dalam pasal
56 (a) Peraturan Menteri Agraria Dan Tata
Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 38 tahun 2016 Tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional dan Kantor Pertanahan.
Salah satu tugas dari Subseksi Sengketa,
Konflik dan Perkara yang disebutkan
sebelumnya yaitu penanganan dan penyelesaian
sengketa/konflik dan perkara pertanahan, maka
dalam hal penyelesaian sengketa pertanahan
dilakukan oleh subseksi tersebut. Penyelesaian
sengketa ini Subseksi Sengketa, Konflik Dan
Perkara ini berperan sebagai mediator. Mediator
di Kantor Pertanahan Kota Medan adalah
pejabat struktur di Kantor Pertanahan atau
mediator yang sudah bersertifikat. Mediasi yang
dilaksanakan di Kantor Pertanahan Kota Medan
dilaksanakan oleh pejabat/pegawai yang
ditunjuk dengan surat tugas/surat perintah dari
Kepala Kantor Pertanahan.
Penanganan sengketa pertanahan melalui
jalur mediasi oleh Badan Pertanahan Nasional
didasarkan pada dua prinsip utama, yaitu :
1. Kebenaran - kebenaran formal dari fakta
- fakta yang mendasari permasalahan
yang bersangkutan.
2. Keinginan yang bebas dari pihak yang
bersengketa terhadap objek yang
disengketakan.
Sebagai mediator, seksi ini mempunyai
peran sebagai pihak ketiga yang tidak memihak
kepada para pihak yang bersengketa dan
membantu para pihak dalam memahami
pandangan masing - masing dan membantu hal -
hal yang dianggap penting bagi mereka.
Penyelesaian sengketa pertanahan ini,
Kantor Pertanahan sebagai mediator sangat
berperan mulai sebelum dilakukannya
perundingan dan pasca perundingan dengan para
pihak yang bersengketa. Peran mediator pada
saat mediasi yaitu memimpin diskusi,
memelihara atau menjaga aturan - aturan
perundangan, mendorong para pihak untuk
menyampaikan masalah dan kepentingan secara
terbuka, mendorong para pihak agar menyadari
bahwa sengketa bukan pertarungan yang harus
dimenangkan tetapi diselesaikan, mendengar,
mencatat dan mengajukan pertanyaan,
membantu para pihak mencapai titik temu.
Penyelesaiaan sengketa pertanahan ini,
Kantor pertanahan mempunyai tipe mediator
yaitu mediator authoritative. Ada beberapa
tipologi mediator yaitu:
1. Mediator Hubungan Sosial (social Network)
Mediator ini berperan dalam sebuah
sengketa atas dasar adanya hubunngan sosial
antara mediator dan para pihak yang
bersengketa, misalnya bila terjadinya
sengketa antara rekan kerja dan teman usaha.
Tipe mediator hubungan sosial ini sering ditemui
dalam masyarakat, alim ulama. Orang-orang
tersebut pada umunya memiliki wibawa atau
karisma serta disegani oleh masyarakat
setempat, semua nasehat atas perkataanya
dipercaya atau dituruti oleh masyarakat sehingga
kadangkala terselesainya konflik terlalu
dilatarbelakangi adanya rasa segan atau bahkan
rasa takut.
2. Mediator Autoriatif (Autoriatif mediators)
Mediator ini berusaha membantu pihak - pihak
yang bersengketa untuk menyelesaiakan
perbedaan - perbedaan dan memiliki posisi yang
kuat sehingga mereka memiliki potensi atau
kapasitas untuk mempengaruhi hasil akhir dari
sebuah proses mediasi. Mediator autoritatif
dalam menjalankan perannya tidak
menggunakan kewenangan atau pengaruhnya,
karena didasari pada keyakinan atau pandangan
bahwa pemecahan yang terbaik terhadap sebuah
kasus bukanlah ditentukan oleh dirinya selaku
pihak yang berpengaruh, melainkan harus
dihasilkan oleh upaya pihak - pihak yang
bersengketa.
2.Prosedur peneyelesaian sengketa
pertanahan melalui jalur mediasi di Kantor
Pertanahan
Pelaksanaan mediasi di Kantor
Pertanahan setiap permasalahan yang masuk
semuanya harus dengan prosedur atau proses
yang sudah ditetapkan oleh Kantor Pertanahan.
Proses tersebut diharapkan semua sengketa yang
masuk dibagian sengketa, konflik dan perkara
pertanahan dapat terselesaikan dengan baik dan
dapat memuaskan semua pihak yang
bersengketa. Kantor Pertanahan Kota Medan
menetapkan proses yang harus dilalui oleh
semua pihak yang akan menggunakan mediasi
dalam penyelesaian sengketa pertanahan.
Melalui Keputusan Kepala BPN RI
Nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis
Penangan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan
Nomor 05/JUKNIS/D.V/2007 tentang Tahapan
Mediasi jo PERMEN Nomor 11 Tahun 2016
tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan. Adapun
prosedur atau proses mediasi yang ada di Kantor
Pertanahan Kota Medan yaitu dilakukannya:
a. Pengaduan
Pengaduan yang disampaikan ke Kantor
Pertanahan Kota Medan dapat berupa pengaduan
secara tertulis, melalui loket pengaduan, kotak
surat, atau website kementrian. Pengaduan
tersebut harus dilampiri dengan fotokopi
identitas pengadu, fotokopi penerima kuasa dan
surat kuasa bila dikuasakan, serta data
pendukung atau bukti - bukti yang terkait
dengan pengaduan. Pengaduan ini paling sedikit
memuat identitas pengadu dan uraian singkat
kasus.
sesudah pengaduan diterima oleh petugas
yang bertanggung jawab dalam menangani
pengaduan, maka petugas melakukan pemeriksa
berkas pengaduan tersebut. Pengaduan yang
telah memenuhi syarat diterima langsung
melalui loket pengaduan maka kepada pihak
pengadu akan diberikan surat tanda penerimaan
pengaduan.
Pengaduan tersebut diregister dalam buku
register induk selanjutnya diserahkan kepada
Kepala Kantor Pertanahan untuk mendisposisi
kepada Kepala Subseksi Penanganan Sengketa,
Konflik dan Perkara untuk mempelajari
kelengkapan administrasi atas pengaduan yang
dimaksud.
b. Menelaah
Pengaduan yang telah diadministrasikan maka
selanjutnya ditangani oleh pejabat yang
bertanggung jawab dalam menangani sengketa,
konflik dan perkara pada Kantor Pertanahan
Kota Medan. Subseksi Penangan Sengketa,
Konflik dan Perkara selanjutnya melakukan
pengumpulan data. Adapun data yang
dikumpulkan yaitu berupa
a) Data fisik data yuridis
b) Putusan peradilan, berita acara
pemeriksaan dari Kepolisian Negara RI,
Kejaksaan RI, Komisi Pemberantas
Korupsi atau dokumen lainnya yang
dikeluarkan oleh lembaga/instansi
penegak hukum
c) Data yang dikeluarkan atau diterbitkan
oleh pejabat yang berwenang;
d) Data lainnya yang terkait dan dapat
mempengaruhi serta memperjelas duduk
persoalan sengketa dan konflik dan/atau;
e) Keterangan Saksi
sesudah pelaksanaan kegiatan
pengumpulan data tersebut dikumpulkan pejabat
yang bertanggung jawab dalam menangani
sengketa, konflik dan perkara melakukan
analisis.
Analisa ini dilakukan untuk mengetahui
pengaduan tersebut merupakan kewenangan
kementrian atau bukan kewenangan kementrian.
Sengketa atau konflik yang menjadi kewenangan
kemetrian yaitu meliputi:
1) Kesalahan prosedur dalam proses
pengukuran pemetaan dan/atau
perhitungan luas;
2) Kesalahan prosedur dalam proses
pendaftaran penegasan dan/atau
pengakuan hak atas tanah bekas milik
adat;
3) Kesalahan prosedur dalam proses
penetapan dan/atau pendaftaran hak
tanah;
4) Kesalahan prosedur dalam proses
penetapan tanah terlantar;
5) Tumpang tindih hak atau sertifikat hak
atas tanah yang salah satu alas haknya
jelas terdapat kesalahan;
6) Kesalahan prosedur dalam proses
pemeliharaan data pendaftaran tanah;
7) Kesalahan prosedur dalam proses
penerbitan sertifikat pengganti;
8) Kesalahan dalam memberikan informasi
data pertanahan;
9) Kesalahan prosedur dalam proses
pemberian izin;
10) Penyalahgunaan pemanfaatan ruang;atau
11) Kesalahan lain dalam penerapan
peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan hasil pengumpulan data dan
analisis tersebut pejabat yang bertanggung jawab
dalam mengani sengketa, konflik dan perkara
melakukan pengkajian. Pengkajian dilakukan
untuk mengetahui pokok masalah, penyebab
terjadinya, potensi dampak, alternatif
penyelesaian dan rekomendasi penyelesaian
sengketa atau konflik. Melakasanakan
pengkajian dilakukan pemeriksaan lapangan.
Pengkajian ini dilakukan terhadap kronologi
sengketa atau konflik dan data yuridis, data fisik
dan data pendukung lainnya.
sesudah menerima hasil pengumpulan
data dan hasil analisis Kepala Kantor Pertanahan
Kota Medan memerintahkan pejabat yang
bertanggungjawab dalam menangani sengketa,
konflik dan perkara untuk menindaklanjuti
proses penyelesaian
c. Pemanggilan
Selanjutnya pemanggilan para pihak
yang bersengketa untuk melakukan proses
mediasi yang akan dilaksanakan di Kantor
Pertanahan Kota Medan. Pemanggilan para
pihak dilakukan dengan mengirim undangan
kepada para pihak. Jika salah satu pihak
menolak untuk dilakukannya mediasi atau
mediasi batal karena sudah 3 (tiga) kali tidak
memenuhi undangan atau telah melampaui
waktu 30 hari, maka Kepala Kantor Pertanahan
Kota Medan membuat surat pemberitahuan
kepada pihak pengadu bahwa pengaduan atau
mediasi telah selesai disertai dengan penjelasan
d. Upaya mediasi
Apabila para pihak bersedia melalukan
mediasi maka mediasi dilaksanakan berdasarkan
prinsip musyawarah untuk mufakat bagi
kebaikan semua pihak.
e. Negoisasi Akhir
Para pihak melakukan negosiasi final
yaitu klarifikasi ketegasan mengenai opsi - opsi
yang telah disepakati bagi penyelesaian sengketa
dimaksud. Hasil dari tahap ini adalah putusan
penyelesian sengketa yang merupakan
kesepakatan para pihak yang bersengketa.
Kesepakatan tersebut pada pokoknya berisi opsi
yang diterima, hak dan kewajiban para pihak.
f. Kesepakatan
Setiap kegiatan mediasi dituangkan
dalam Berita Acara Mediasi. Kesepakatan para
pihak dituangkan dalam perjanjian tertulis, dan
ditandatangani oleh para pihak dan mediator.
Jika para pihak diwakili kuasa hukum harus ada
pernyataan tertulis dari para pihak yang berisi
persetujuan atas kesepakatan tersebut.
Kesepakatan perdamaian dapat dikuatkan
dengan akta perdamaian sehingga mempunyai
kekuatan hukum mengikat para pihak. Akta
perdamaian ini dibuat dihadapan notaris.
Perjanjian perdamaian didaftarkan pada
Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat
sehingga mempunyai kekuatan hukum
mengikat.93 Setiap mediasi perlu dibuat laporan
hasil mediasi yang berlangsung.Jika pada proses
mediasi yang telah dilakukan tidak mencapai
kata sepakat, maka para pihak mempunyai dan
diberikan hak untuk mengajukan permasalahan
sengketa tersebut kemuka pengadilan.
Berdasarkan uraian dan analisa yang
dilakukan maka penulis menarik kesimpulan
sebagi berikut
1. Peranan Kantor Pertanahan dalam
menyelesaikan sengketa pertanahan melalui
jalur mediasi adalah sebagai mediator.
Adapun peranan sebagai mediator pada saat
mediasi yaitu memimpin diskusi,
memelihara atau menjaga aturan-aturan
perundangan, mendorong para pihak untuk
menyampaikan masalah dan kepentingan
secara terbuka, mendorong para pihak agar
menyadari bahwa sengketa bukan
pertarungan yang harus dimenangkan tetapi
diselesaikan, mendengar, mencatat dan
mengajukan pertanyaan, membantu para
pihak mencapai titik temu. Dalam
menyelesaikan sengketa pertanahan melalui
jalur mediasi ini tipe mediatornya yaitu
mediator Authoritative. Tipe mediator
authoritative ini hanya berusaha membantu
pihak-pihak yang bersengketa untuk
menyelesaiakan perbedaan-perbedaan dan
memiliki posisi yang kuat sehingga mereka
memiliki potensi atau kapasitas untuk
mempengaruhi hasil akhir sebuah proses
mediasi
2. Prosedur dalam penyelesaian sengketa
pertanahan melalui jalur mediasi yaitu
adanya pengaduan oleh para pihak yang
bersengketa ke Kantor Pertanahan
Selanjutnya pengaduan diserahkan kepada
Kepala Kantor Pertanahan untuk
mendisposisi kepada Kepala Seksi
Penanganan Konflik Sengketa dan Perkara
untuk mempelajari kelengkapan
administrasi atas pengaduan yang dimaksud.
Selanjutnya pengaduan tersebut ditangani
oleh subseksi penangan sengketa, konflik
dan perkara dengan melakukan
pengumpulan data, analisis, dan pengkajian
pengaduan tersebut. Lalu dilakukan
pemanggilan para pihak yang bersengketa
untuk melakukan proses mediasi. Pada
tahap memulai mediasi mediator melakukan
hubungan personal antar para pihak untuk
menghambat perselisihan antar para pihak,
mencairkan suasana diantara para pihak dan
menjelaskan peran mediator.
3. Selanjutnya dilakukannya klarifikasi para
pihak. sesudah itu menyamakan pemahaman
antar para pihak yang bersengketa dan
menetapkan agenda musyawarah.
Selanjutnya dilakukan pemecahan/pemetaan
masalah antar para pihak yang bersengketa.
Negosiasi akhir untuk menentukan putusan
penyelesaian sengketa yang merupakan
kesepakatan para pihak yang bersengketa.
Kesepakatan para pihak. Jika para pihak
mencapai kata sepakat maka dituangkan
dalam perjanjian tertulis, sedangkan yang
tidak mencapai kata sepakat maka para
pihak mempunyai hak untuk menngajukan
permasalahan sengketa tersebut ke
pengadilan
Sengketa merupakan fenomena manusiawi yang hampir selalu ada
di warga . Jika terjadi sengketa, ada dua mekanisme yang dapat
digunakan untuk menyelesaikannya, yaitu melalui pengadilan (litigasi)
dan di luar pengadilan (non-litigasi). Paradigma litigasi meyakini bahwa
hukum harus ditegakkan untuk mengakhiri konflik yang terjadi. Di
samping itu, juga digunakan paradigma non-litigasi, yaitu paradigma yang
berakar pada konsensus, musyawarah atau penyelesaian damai antar para
pihak. Falsafah resolusinya bukan untuk mencari kemenangan mutlak
di satu pihak sehingga harus ada pihak lain yang kalah. Paradigma ini
lebih mendorong agar konflik dapat diakhiri dengan menjadikan semua
pihak sebagai pemenang (win-win solution). Kalaupun ada keinginan
yang tak terpenuhi, maka kedua belah pihak harus menanggung beban
kalah yang sama beratnya. Hukum Islam juga mengenal dua paradigma
penyelesaian sengketa. Hukum Islam mendukung setiap sengketa
diselesaikan secara hukum di pengadilan (al-qadha). Tidak ada yang
salah bila warga membawa persoalannya dihadapan hakim. Tetapi
hukum Islam menyerukan anjuran moral, sebaiknya para pihak berdamai
dan menyelesaikan masalahnya secara kekeluargaan (islah, tahkim).
Jika terjadi sengketa di warga maka penyelesaiannya dapat
digolongkan menjadi dua jalur, yaitu melalui pengadilan dan di luar
pengadilan. Kedua istilah ini dipahami dan dinamai secara berbeda-beda
oleh para ahli. Sebagian ahli menggunakan istilah penyelesaian sengketa
melalui lembaga negara (state institutions) dan lembaga rakyat (folk/
traditional institutions) Vago menggunakan
istilah penyelesaian sengketa secara publik dan formal (public and formal
methods of conflict resolutions) dan penyelesaian sengketa secara non-
hukum (non-legal methods of conflicts resolutions). Kubasek dan Silverman
menggunakan istilah litigasi (litigation process) untuk penyelesaian sengketa
di pengadilan, dan extrajudicial settlement of disputes atau populer dengan
istilah alternative dispute resolution (ADR) untuk penyelesaian sengketa di
luar pengadilan,
Dalam kepustakaan Indonesia, ADR disebut pula dengan
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Secara Kooperatif (MPSSK), atau
Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS). pemakaian kata
“di luar pengadilan,“ “alternatif “ dan “kooperatif “ menunjukkan bahwa
para pihak yang bersengketa bebas memilih cara lain di luar pengadilan
(lembaga negara, penyelesaian formal dan publik, litigasi) untuk
menyelesaikan sengketa yang dihadapi. Menurut UU No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 (10)
menyebutkan: “Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak
Paradigma Hukum Islam dalam Penyelesaian Sengketa
Volume 18, number 1 (2016) 51
yakni di luar pengadilan dengan cara konsultasi, mediasi, konsiliasi atau
penilaian ahli.»
Penyelesaian sengketa non-litigasi sebenarnya dapat dilakukan
baik di dalam (inside the court) maupun di luar pengadilan (outside the
court). Dalam beberapa literatur, penyelesaian sengketa non-litigasi di
dalam pengadilan atau disebut pula dengan Court Connected ADR atau
ADR Inside the Court atau Court Dispute Resolution (CDR) dapat berupa, misalnya perdamaian di pengadilan. Dalam
sistem hukum acara di Indonesia, pranata perdamaian di pengadilan
di sebut dading. Secara formal, pedoman hakim untuk mengarahkan
penyelesaian sengketa melalui dading diatur dalam pasal 130 HIR, sedang
para pihak yang terlibat sengketa dalam membuat kesepakatan perdamaian
diatur dalam pasal 1851 KUH Perdata. Pada sisi lain, pranata penyelesaian
sengketa non-litigasi di luar pengadilan diantaranya meliputi negosiasi,
mediasi, konsiliasi dan lain-lain. Bagaimana dengan hukum Islam?
Artikel ini akan mengkaji bagaimana paradigma hukum Islam
dalam menyelesaikan sengketa. Masalah yang dikaji apakah penyelesaian
sengketa lebih condong menggunakan pranata litigasi atau non-litigasi?
Dan masalah-masalah apa saja yang dapat diselesaikan melalui dua
kecenderungan di atas?
Pembahasanb.
tentang Paradigma 1.
Ilmu pengetahuan pada dasarnya dibangun atas dasar asumsi
dan sudut pandang tertentu tentang dunia dan atau manusia. Suatu
pandangan bahwa planet-planet bumi, mars dan sebagainya dalam tata
surya ini mengelilingi matahari jelas menimbulkan konsekuensi dan
implikasi teoritis yang berbeda dalam pengembangan ilmu astronomi bila
dibandingkan dengan paradigma lama bahwa bumi adalah pusat jagad raya.
Begitu pula paradigma bahwa manusia itu adalah mesin, telah melahirkan
ilmu pengetahuan kedokteran yang memandang orang sakit sebagai mesin
rusak sehingga harus diobati atau diperbaiki secara mekanis pula
Abu Rokhmad
Demikian pula suatu paradigma bahwa sumber segala eksistensi
atau yang maujud adalah Tuhan (theocentris) jelas akan mempunyai
implikasi yang berbeda dalam pengembangan ilmu pengetahuan,
dibandingkan dengan paradigma lainnya bahwa manusia mempunyai
kedudukan sentral di jagad raya (anthropocentris). Adalah juga suatu
paradigma bila konflik tidak harus diselesaikan melalui hukum negara,
sebab warga juga memiliki cara tersendiri untuk menyelesaikan
masalahnya. Dua paradigma ini akan berimplikasi pada prosedur dan tata
cara resolusi konflik yang berbeda.
Di dunia penelitian dikenal adanya dua paradigma penelitian,
yaitu paradigma penelitian kuantitatif dan kualitatif. Secara epistemologis,
paradigma kuantitatif berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan itu
terdiri dari dua, yaitu pemikiran rasional dan data empiris. Oleh karena
itu, ukuran kebenaran terletak pada koherensi dan korespondensi (sesuai
dengan teori-teori terdahulu dan sesuai dengan kenyataan empiris).
Pengembangan ilmunya berputar dan mengikuti siklus logico-hypothetico-
verifikatif , Paradigma kuantitatif cenderung
pada pendekatan partikularistis dan berlandaskan filsafat positivisme
August Comte (1798-1857). Berbeda dengan yang di atas, penelitian
kualitatif bersifat humanistik yang menempatkan manusia sebagai subyek
utama dalam peristiwa sosial atau budaya. Jenis penelitian ini berlandaskan
pada filsafat fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1928) dan
kemudian dikembangkan oleh Max Weber (1864-1920) ke dalam kajian
sosiologi. Dari dua paradigma penelitian ini, jelas sangat berbeda dan
segera tampak dalam desain penelitiannya.
Sebagai suatu konsep, istilah paradigma (paradigm) pertama kali
diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam karyanya The Structure of Scientific
Revolution (1962).
bahwa paradigma merupakan keseluruhan susunan kepercayaan, nilai-
nilai serta teknik-teknik yang sama-sama dipakai oleh anggota komunitas
ilmuwan tertentu
Paradigma Hukum Islam dalam Penyelesaian Sengketa
Volume 18, number 1 (2016)
Secara umum, paradigma diartikan sebagai seperangkat kepercayaan
atau keyakinan dasar yang menentukan seseorang dalam bertindak sehari-
hari. Ada pula yang berpandangan bahwa paradigma merupakan suatu
citra yang fundamental dari pokok permasalahan suatu ilmu. Paradigma
menggariskan apa yang harus dipelajari, pernyataan-pernyataan yang
seharusnya dikemukakan dan kaidah-kaidah mana yang seharusnya diikuti
dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Dengan demikian, paradigma
ibarat sebuah jendela (mental window) yang digunakan seseorang untuk
mengamati dunia luar atau tempat orang menjelajah dunia dengan
wawasannya (world view)
Menurut Patton, paradigma merupakan suatu pandangan,
perspektif umum atau cara untuk memisah-misahkan dunia nyata
yang kompleks, kemudian memberikan arti dan penafsiran-penafsiran.
Pengertian ini menunjukkan bahwa paradigma bukan hanya sekedar
orientasi metodologis atau seperangkat aturan untuk riset (a set of rules
for research) melainkan juga membicarakan perspektif, asumsi yang
mendasari, generalisasi-generalisasi nilai-nilai, keyakinan atau disciplinary
matrix yang kompleks ,
Egon G. Guba berpendapat bahwa paradigma adalah seperangkat
keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan manusia baik
dalam tindakan sehari-hari maupun dalan penelitian ilmiah (disciplin
inquiry paradigm). Disciplin inquiry paradigm adalah suatu keyakinan
dasar yang digunakan berbagai kalangan untuk mencari kebenaran
realitas menjadi suatu ilmu atau disiplin ilmu pengetahuan tertentu ,
Dalam konteks artikel ini, paradigma tidak dalam pengertian
penelitian ilmiah, tetapi lebih sebagai cara pandang hukum Islam
dalam memilih atau menentukan mekanisme yang tepat untuk
menyelesaikan sengketa.
Hukum islam dan Penyelesaian sengketa 2.
Bila mengkaji tentang sengketa, yang akan segera terbayang
adalah bagaimana hukum ditegakkan (law enforcement). Sengketa tidak
akan menjadi masalah bila mekanisme penegakan hukumnya berjalan
sebagaimana diatur dalam suatu undang-undang. Namun, penegakan
Abu Rokhmad
hukum bukanlah kerja otomat dan logis-linier semata Faktor manusia sangat terlibat dalam usaha menegakkan
hukum. Dengan demikian, penegakan hukum bukan lagi merupakan
hasil deduksi logis, melainkan lebih merupakan hasil dari pilihan-pilihan.
Output dari penegakan hukum tidak dapat hanya didasarkan pada
ramalan logika semata, melainkan juga hal-hal yang ‘tidak menurut logika’ ,
Memang betul bahwa salah satu fungsi hukum adalah untuk
menyelesaikan konflik yang terjadi di warga , Hukum (dengan sistem
peradilan sebagai model yang paling jelas) baru beroperasi setelah terjadi
konflik, yakni bila seseorang mengaku kepentingannya telah diganggu pihak
lain. Tugas pengadilan adalah membuat keputusan yang dapat mengakhiri
konflik ,Inilah ciri eksplisit maupun implisit
yang mewarnai kebanyakan kajian tentang hukum dan warga . Ketika
hak , yang dimiliki oleh seseorang berbenturan
dengan hak orang lain, maka saat itulah terjadi konflik antar hak dari
orang-orang yang terlibat didalamnya. Dalam situasi demikian, keberadaan
hukum diperlukan kembali dalam rangka menyelesaikan konflik yang
timbul. pemakaian hukum yang demikian dikarenakan hukum memiliki
beberapa kelebihan, yaitu hukum bersifat rasional, integrative, legitimate,
dan didukung adanya mekanisme pelaksanaan dan sanksi yang jelas ,
Oleh karena tanah merupakan persoalan yang kompleks dan unik,
maka penyelesaian sengketanya—sering kali—tidak bisa hanya berdasar
logika hukum semata, tapi juga keadilan dan kemaslahatan bersama.
Meminjam bahasa hukum Rahardjo, dibutuhkan cara penyelesaian (baca:
penegakan hukum) yang progresif . Baginya,
tidak ada standar tipe penegakan hukum yang absolut. Yang ada adalah
semacam standar struktur penegakan hukum modern. Oleh karena
itu, dimungkinkan modifikasi tipe-tipe penegakan hukum menurut
karakteristik bangsa tertentu. Hemat penulis, karakteristik penyelesaian
sengketa yang progresif adalah melampaui batas prosedur hukum (tidak
anarkis dan tetap dalam batas-batas hukum), cerdas dan bermakna,
Paradigma Hukum Islam dalam Penyelesaian Sengketa
Volume 18, number 1 (2016) 55
berkeadilan sosial dan bertumpu pada warga yang otonom (Satjipto
Rahardjo, 2005).
Dari perspektif hukum Islam, ketika sengketa tanah telah terjadi
ada dua jalur penyelesaian yang dapat ditempuh, yaitu hakam (antara lain
QS, 4: 105), dan islah (antara lain QS, 4: 128). Hakam dalam bentuknya
yang paling konkret menjelma menjadi qadhi (hakim) atau peradilan
(qadha/ hukumah) yang memutus perkara secara
hukum. Sedangkan islah merupakan lembaga hukum yang mendamaikan,
baik melalui pihak ketiga ataupun tidak (al-Munawar, 2004: 60).
Berbeda dari pendapat di atas, ada pula yang menyatakan bahwa
penyelesaian sengketa pada prinsipnya dapat menempuh tiga jalur, yaitu
dengan cara damai (shulh), arbitrase (tahkim) dan terakhir melalui
proses peradilan (al-qadha’) ,Perbedaan
dua pendapat di atas terletak pada konsep hakam, tahkim dan al-qadha’.
Istilah hakam dan tahkim terkadang dipahami dalam konteks penyelesaian
sengketa secara damai dengan pihak ketiga sebagai penengah (arbitrator/
mediator). Pengertian ini mirip dengan shulhu, hanya beda pada kehadiran
pihak ketiga. Tetapi bila dilihat dari akar katanya, hakam dan tahkim juga
dapat dipahami sebagai penyelesaian sengketa menurut hukum dengan al-
qadha sebagai tempatnya. Ada pula yang berpendapat, di negara-negara
Arab (modern-pen), penyelesaian sengketa non-litigasi meliputi beberapa
cara. Selain sulh (konsiliasi) dan tahkim atau hakam (arbitrase)—
sebagaimana pada masa Nabi Muhammad SAW dan para shahabat—juga
dikenal dengan istilah al-wasathah (mediasi) (Salah al-Hejailan dan Fathi
Kemicha, 1996: 3389).
Secara bahasa, al-qadha (peradilan) dapat diartikan sebagai
memutuskan, menyelesaikan, menetapkan dan lain-lain ( Jakarta: Depag,
1994: 1-3). Secara istilah, menurut Salam Madkur, lembaga pengadilan
adalah (tempat-pen) memutuskan sengketa antara manusia berdasarkan
(ketentuan) yang telah diturunkan Allah (Madkur: 20). Menurut Sayyid
Sabiq, pengadilan adalah lembaga menyelesaikan persengketaan (al-
khusumat) yang terjadi antara sesama manusia sesuai dengan aturan hukum
yang telah disyariatkan oleh Allah SWT , Dua
pandangan di atas menjadikan pengadilan sebagai rujukan penyelesaian
bila terjadi sengketa, apapun jenis sengketanya (perdata atau pidana).
Abu Rokhmad
Sepanjang sejarah hukum Islam, dijumpai tiga model kekuasaan
penegak hukum (lembaga penegak hukum), yaitu kekuasaan al-
qadha (wilayat al-qadha), kekuasaan al-hisbah (wilayat al-hisbah) dan
kekuasaan al-madzalim (wilayah al-madhalim), yang masing-masing
memiliki kewenangan berbeda ,Al-Qadha berwenang
menyelesaikan masalah-masalah tertentu, mencakup perkara-perkara
madaniyyat, perdata (al-ahwal al-syakhsiyyah), pidana (jinayat) dan tugas
tambahan lain. Al-Hisbah merupakan lembaga resmi negara yang diberi
kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah ringan yang menurut
sifatnya tidak memerlukan proses peradilan. Sedangkan al-madzalim
merupakan badan pemerintah yang dibentuk khusus untuk membela
orang-orang yang teraniaya akibat sikap semena-mena penguasa negara
(yang lazim sulit diselesaikan oleh al-qadha atau al-hisbah). Lembaga ini
juga berwenang menyelesaikan persoalan suap atau korupsi.
Dalam konteks Indonesia modern, wilayat al-hisbah dan wilayat
al-madzalim—barangkali—dapat disejajarkan dengan state auxiliaries
institution, yaitu lembaga negara yang bersifat mandiri dan semi kekuasaan
yudikatif. Dalam bentuknya yang konkret, lembaga tersebut didepan
namanya diawali “komisi“ seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) atau Komisi Pemberantasan Komisi (KPK) untuk al-Hisbah dan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk al-Madzalim.
Tentu saja pensejajaran ini perlu kajian lebih lanjut.
Keberadan lembaga peradilan merupakan kewajiban kolektif
(fardhu kifayah) untuk mencegah terjadinya kezaliman dan menyelesaikan
persengketaan serta wajib bagi seorang hakim untuk menegakkan keadilan
bagi umat manusia ,Salah satu fungsi peradilan, menurut
TM. Hasbi Ash-Shiddieqy adalah menampakkan hukum agama, bukan
menetapkan suatu hukum karena hukum telah ada dalam hal yang dihadapi
oleh hakim. Hakim hanya menerapkan ke dalam alam kenyataan, bukan
menetapkan sesuatu yang belum ada . Namun
demikian, hakim tidak dapat menolak penyelesaian suatu perkara dengan
alasan tidak ada ketentuan hukumnya. Oleh karena itulah, ijtihad hakim
dibolehkan dan agama menjamin keabsahannya,
Secara bahasa, ishah adalah memutuskan persengketaan (qath’u
al-niza’, qath’u al-munaza’ah, qath’u al-khusumah). Menurut istilah, ishlah
Paradigma Hukum Islam dalam Penyelesaian Sengketa
Volume 18, number 1 (2016) 57
adalah akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan
antara dua orang atau lebih yang saling bersengketa (Sayyid Sabiq). Ishlah
merupakan pintu masuk untuk mencegah suatu perselisihan, memutuskan
suatu pertentangan dan pertikaian. Pertentangan itu apabila dibiarkan
terjadi berkepanjangan akan mendatangkan kehancuran, untuk itu
maka ishlah mencegah hal-hal yang akan menyebabkan kehancuran dan
menghilangkan hal-hal yang membangkitkan fitnah dan pertentangan , Ishlah dapat dilakukan atas prakarsa pribadi
pihak-pihak yang sedang bersengketa, bisa pula diusulkan oleh pihak
lain atau melibatkan pihak ketiga (hakam). Hakam ini berfungsi sebagai
penengah (pendamai) dari dua atau lebih pihak yang sedang bersengketa.
Dalam istilah teknis penyelesaian sengketa non-litigasi, hakam sejajar
dengan mediator atau arbitator.
Cara penyelesaian sengketa dengan baik-baik itu (amicable
settlement) merupakan tradisi yang telah lama berakar pada warga
Arab bahkan sebelum agama Islam lahir di sana. Ketika risalah Islam hadir,
tradisi itu diperkuat lagi dengan doktrin-doktrin Islam yang mengajarkan
agar umat Islam menciptakan perdamaian dan harmoni dalam warga .
Hampir semua komunitas hukum memiliki tradisi-tradisi tersendiri dalam
menyelesaikan sengketa (local wisdom), tidak hanya komunitas yang
masih setia dengan tradisi primitifnya, bahkan juga komunitas yang sudah
modern sekalipun.
Dalam prakteknya, hukum Islam tidak hanya menganjurkan
berdamai untuk kasus-kasus perdata saja, bahkan damai dimungkinkan
untuk masalah pidana. Rasulullah bersabda: ’’Barangsiapa dengan sengaja
membunuh, maka si pembunuh diserahkan kepada wali korbannya. Jika
wali ingin melakukan pembalasan yang setimpal (qishash), mereka dapat
membunuhnya. Jika mereka tidak ingin membunuhnya, mereka dapat
mengambil diyat (denda)........Dan bila mereka berdamai, itu terserah kepada
wali mereka.’’ (Ash-Shiddieqy, 2001: 166) Batas-batas berdamai menurut
Islam adalah perdamaian yang tidak menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal,
Dengan demikian, Islam mengenal dua paradigma dalam
penyelesaian sengketa yaitu paradigma litigasi dan non-litigasi. Paradigma
litigasi adalah suatu pandangan dan keyakinan mendasar bahwa satu-
Abu Rokhmad
58
satunya institusi yang tepat untuk menyelesaikan sengketa adalah lewat
pengadilan. Sebaliknya, paradigma non-litigasi berangkat dari asumsi
dasar bahwa penyelesaian sengketa tidak harus melalui hukum dan
pengadilan. Cara-cara di luar pengadilan jauh lebih efektif menyelesaikan
sengketa tanpa meninggalkan luka di hati lawan. Spirit Islam menunjukkan
bahwa hendaknya penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara-cara
di luar pengadilan, seperti implisit dijelaskan oleh Umar bin Khattab;
“radd al-qadha’ baina dzawi al-arham hatta yashthalihu fa inna fashla al-
qadha’ yuritsu al-dhagain” (kembalikanlah penyelesaian perkara kepada
sanak keluarga sehingga mereka dapat mengadakan perdamaian karenan
sesungguhnya penyelesaian pengadilan itu dapat menimbulkan rasa tidak
enak) (Madkur: 68).
Dukungan dari teks al-Qur’an maupun al-Hadits untuk
menyelesaikan sengketa secara damai cukup banyak. Anjuran berdamai itu
antara lain disebutkan dalam QS, 4: 128, 35, 129, 2: 182, 224, 228, 731:
9, 10. Bahkan dalam konteks sengketa atau konflik yang telah mengeras
menjadi perang terbuka pun, ajaran Islam tetap mensuport untuk
dilakukan perdamaian. Seperti dijelaskan dalam surat al-Anfal (8) ayat
61, ‘’dan apabila musuhmu condong pada perdamaian, engkau juga harus
condong pada perdamaian…» (wa in janahu li al-salmi fa ajnah laha…).
Jadi, perdamaian merupakan prinsip dasar dalam kehidupan (umat) Islam.
Prinsip ini merupakan suatu jalan hidup yang memungkinkan seseorang
atau warga memecahkan dan mengatasi berbagai persoalan (termasuk
persoalan di bidang tanah) dengan cara yang mudah, lancar, seimbang dan
adil ,Bahkan kata Islam sendiri—sebagai
suatu nomenklatur agama—berarti agama yang damai.
Dari ayat-ayat al-Qur’an di atas memang tidak secara spesifik
menjelaskan tentang penyelesaian damai sengketa tanah, namun nilai-
nilai yang diajarkannya dapat diimplementasikan dalam penyelesaian
semua kasus, termasuk sengketa tanah. Spirit damai juga dijelaskan dalam
hadits-hadits nabi, antara lain; ’Perdamaian antara orang-orang muslim
itu dibolehkan, kecuali perjanjian (damai) untuk mengharamkan yang
halal dan menghalalkan yang haram
Perdamaian dalam bentuk shulh untuk mengakhiri suatu
persengketaan terbagi dalam tiga bentuk ,
pertama, perdamaian dalam suatu kasus yang sudah ada pengakuan pihak
tergugat, yaitu seorang yang menggugat pihak lain tentang sesuatu obyek
gugatan dan pihak tergugat membenarkan isi tuntutan tergugat. Perdamaian
demikian, menurut jumhur ulama dibolehkan. Kedua, perdamaian tentang
sesuatu yang diingkari oleh pihak tergugat, seperti penggugat mempunyai
hak atas sesuatu yang dikuasai oleh tergugat tetapi pihak tergugat
menyangkal tuduhan tersebut. Menurut mazhab Malikiyyah, Hanafiah
dan Hanabilah, perdamaian seperti demikian diperbolehkan. Alasannya
karena keumuman ayat al-shulh khair dan hadits Nabi Muhammad SAW
yang menganjurkan berdamai asal tidak menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal; ketiga, perdamaian dalam kasus diamnya pihak
tergugat, yakni adanya suatu perkara gugatan di mana pihak tergugat
tidak memberikan jawaban atas gugatan yang dituduhkan kepadanya.
Menurut Ibn Abi Laila, perdamaian dalam bentuk ini diperbolehkan.
Namun mazhab Syafi’iyyah berpendapat bahwa perdamaian dalam bentuk
ini tidak diperbolehkan karena sikap diam pihak tergugat adalah bentuk
pengingkarannya.
simpulan.
Dari kajian di atas dapat disimpulkan bahwa sengketa merupakan
fenomena manusiawi yang hampir selalu ada di warga . Langkah yang
terbaik bila terjadi sengketa adalah diselesaikan dan bukan didiamkan
saja. Jika terjadi sengketa, ada dua mekanisme yang dapat digunakan
untuk menyelesaikannya, yaitu melalui pengadilan (litigasi) dan di luar
pengadilan (non-litigasi). Paradigma litigasi meyakini bahwa hukum harus
ditegakkan untuk mengakhiri konflik yang terjadi. Prosedur dan tata cara
mengajukan perkara, hukum dan aturan-aturannya sudah jelas sehingga
kebenaran, siapa kalah dan menang segera dapat terlihat. Keadilan akan
terwujud bila bukti-bukti formal yang diajukan memenuhi standar norma-
norma hukum yang berlaku.
Di samping itu, di warga juga menggunakan paradigma non-
litigasi, yaitu paradigma yang berakar pada konsensus, musyawarah atau
penyelesaian damai antar para pihak. Falsafah resolusinya bukan untuk
Abu Rokhmad
mencari kemenangan mutlak di satu pihak sehingga harus ada pihak lain
yang kalah. Paradigma ini lebih mendorong agar konflik dapat diakhiri
dengan menjadikan semua pihak sebagai pemenang (win-win solution).
Kalaupun ada keinginan yang tak terpenuhi, maka kedua belah pihak harus
menanggung beban kalah yang sama beratnya.
Hukum Islam juga mengenal dua paradigma penyelesaian sengketa.
Hukum Islam mendukung setiap sengketa diselesaikan secara hukum di
pengadilan (al-qadha). Tidak ada yang salah bila warga membawa
persoalannya dihadapan hakim. Tetapi hukum Islam menyerukan anjuran
moral, sebaiknya para pihak berdamai dan menyelesaikan masalahnya
secara kekeluargaan (islah, tahkim). Dengan demikian, persaudaraan
(silaturrahmi) tetap terjaga dan perasaan tidak enak dapat dihindari.
Menurut hukum Islam, semua sengketa dapat diselesaikan secara damai di
luar pengadilan, termasuk perkara pidana.