Tampilkan postingan dengan label hukum kesehatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum kesehatan. Tampilkan semua postingan

hukum kesehatan






Tanggung Jawab Pidana Dokter pada 
umumnya menyangkut :
˥ Rahasia Kedokteran dan Rekam Medis Pasien (Pasal 
322 KUHP)
(1) “Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang 
wajib ia simpan sebab  jabatan atau pekerjaannya, baik 
yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan 
pidana penjara paling lama 9 tahun atau pidana denda . 
. . “,
(2) “Jika kejahatan ini  dilakukan terhadap seseorang 
tertentu, maka ini  hanya dapat dituntut atas 
pengaduan orang ini ”.
˥ Malpraktik Kriminal antara lain :
1. Kelalaian yang menyebabkan matinya orang lain (Pasal 
359 KUHP) :
“Barangsiapa sebab  kelalaiannya menyebabkan matinya 
orang lain diancam pidana penjara paling lama 5 tahun atau kurungan paling lama 1 tahun”.
2. Kelalaian yang menyebabkan luka orang lain (Pasal 360 
dan 361 KUHP) :
Pasal 360 KUHP :
(1) “Barangsiapa sebab  kelalaiannya orang lain 
mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana 
penjara paling lama 5 tahun atau kurungan paling 
lama 1 tahun”
(2) “Jika menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian 
rupa sehingga timbul penyakit atau halangan 
menjalankan pekerjaan atau jabatan atau 
pencahariannya selama waktu tertentu, diancam 
dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau 
kurungan paling lama 6 bulan atau denda . . . “.
Pasal 361 KUHP :
“Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan 
dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, 
maka pidana ditambah dengan sepertiganya, dan yang 
bersalah dapat dipecat dan hakim dapat mengumumkan 
putusannya”.
3. Pembunuhan atas permintaan korban (Pasal 344 
KUHP) :
“Barangsiapa menghilangkan nyawa orang lain atas 
permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan 
dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana 
penjara paling lama 12 tahun”.4. Melakukan abortus provocatus (Pasal 299, 347-349 
KUHP) :
Pasal 299 KUHP :
(1) “Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang 
perempuan atau menyuruhnya supaya diobati, 
dengan memberitahukan atau memicu  
harapan bahwa sebab  pengobatan itu hamilnya 
dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara 
paling lama 4 tahun atau denda . . . “
(2) Jika yang bersalah melalukan demi mencari 
keuntungan atau menjadikan sebagai pekerjaannya 
atau kebiasaan, atau jika ia seorang dokter, bidan 
atau juru obat, maka pidananya dapaat ditambah 
sepertiganya”
(3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan ini  
dalam menjalankan pencariannya, maka dapat 
dipecat dari pekerjaannya itu”.
Pasal 347 KUHP :
(1) “Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur 
atau matinya kandungan seorang perempuan tanpa 
seizin perempuan itu, diancam dengan pidana 
penjara paling lama 12 tahun”
(2) “Jika sebab  perbuatan itu menyebabkan perempuan 
ini  mati, diancam dengan pidana penjara paling 
lama15 tahun”.
Pasal 348 KUHP :
(1) “Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau matinya kandungan seorang perempuan dengan 
izin perempuan ini , diancam dengan pidana 
penjara paling lama 5 tahun 6 bulan”,
(2) “Jika sebab  perbuatan itu menyebabkan perempuan 
ini  mati, diancam dengan pidana penjara paling 
lama 7 tahun”.
Pasal 349 KUHP :
“Jika seorang dokter,bidan atau juru obat membantu 
melakukan kejahatan yang ini  dalam Pasal 346, 
347 dan 348, maka pidana dapat ditambah sepertiganya 
dan pelaku dapaat dipecat”.
5. Melakukan Kejahatan Kesusilaan (Pasal 285, 286, dan 
290 KUHP) :
Pasal 285 KUHP :
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan 
memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh 
dengannya, dipidana sebab  memperkosa dengan pidana 
penjara paling lama 12 tahun”.
Pasal 286 KUHP :
“Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan 
istrinya sedang diketahui perempuan itu dalam keadaan 
pingsan atau tidak bedaya, diancam dengan pidana 
penjara paling lama 9 tahun”.
Pasal 290 KUHP :
“Diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun, 
barangsiapa yang :◊ melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang 
diketahuinya sedang pingsan atau tidak berdaya;
◊ melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang 
diketahuinya atau patut diduga belum cukup umur 
atau belum pantas untuk dikawin;
◊ membujuk seseorang yang diketahuinya atau patut 
diduga belum cukup umur atau belum pantas 
untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan 
dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, atau 
bersetubuh dengan orang lain di luar perkawinan”. 
6. Pemalsuan Surat Keterangan (Pasal 263, 267 KUHP) :
Pasal 267 KUHP :
(1) “seorang dokter yang dengan sengaja memberi surat 
keterangan palsu tentang ada tidaknya penyakit, 
kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana 
penjar paling lama 4 tahun”,
(2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk 
memasukkan seseorang ke dalam RS Jiwa atau 
untuk menahannya disitu, diancam pidana penjara 
paling lama 8 tahun 6 bulan:,
(3) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa 
dengan sengaja memakai surat keterangan palsu 
yang seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran”.
7. Sepakat melakukan tindak pidana (Pasal 221 KUHP)
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan 
atau denda . . . :
Ke-1 : barangsiapa dengan sengaja menyembunyikanorang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut 
sebab  kejahatan atau memberi  pertolongan 
kepadanya untuk menghindari penyidikan atau 
penahanan oleh pejabat kepolisian atau kehakiman, 
atau orang yang menurut undang-undang diserahi 
wewenang untuk menjalankan jabatan kepolisian;
Ke-2 : barangsiapa yang setelah dilakukan suatu 
kejahatan dan dengan maksud untuk menutupi 
atau menghalang-halangi atau mempersulit 
penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, 
menghilangkan, menyembunyikan barang bukti 
kejahatan atau menariknya dari pemeriksaan yang 
dilakukan oleh pejabat kepolisian atau kehakiman, 
atau orang yang menurut undang-undang diserahi 
wewenang untuk menjalankan jabatan kepolisian.
8. Sengaja tidak memberi  pertolongan kepada orang 
yang dalam keadaan bahaya, padahal ia mampu 
memberi  (Pasal 304, 531 KUHP) :
Pasal 304 KUHP :
“Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau 
membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, sedang 
menurut hukum yang berlaku baginya atau sebab  
perjanjian dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau 
pemeliharaankepada orang itu, diancam dengan pidana 
penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau denda . . . “.
Pasal 531 KUHP :
“Barangsiapa yang ketika menyaksikan ada orang sedangmenghadapi bahaya maut, tidak memberi pertolongan 
yang mampu ia berikan tanpa memicu  bahaya 
bagi dirinya atau orang lain, maka jika orang yang 
perlu ditolong itu meninggal, diancam dengan pidana 
kurungan paling lama 3 bulan atau denda . . . “.
B. Tanggung Jawab Perdata Dokter
˥ Pasal 1365 KUHPdt :
“Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian 
kepada orang lain, mewajibkan orang-orang yang sebab  
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian 
ini ”.
˥ Pasal 1366 KUHPdt :
“Setiap orang bertanggungjawab bukan hanya pada kerugian 
yang dipicu  oleh perbuatannya, namun  juga untuk 
kerugian yang dipicu  oleh kelalaian atau kekuranghati￾hatiannya”.
˥ Pasal 1367 KUHPdt :
“Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang 
dipicu  sebab  perbuatan sendiri, namun  juga untuk 
kerugian yang dipicu  sebab  perbuatan orang-orang 
yang menjadi tanggungannya atau dipicu  oleh barang￾barang yang berada di bawah pengawasannya”.
˥ Pasal 1371 KUHPdt :
“pemicu  luka atau cacat suatu anggota badan dengan 
sengaja atau kurang hati-hati, memberi  hak kepada 
korban selain penggantian biaya-biaya penyembuhan, jugamenuntut penggantian kerugian yang dipicu  oleh luka 
atau cacat ini ”.
C. Tanggung Jawab Perdata Asisten Dokter
˥ Pasal 1365 KUHPdt :
“Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian 
kepada orang lain, mewajibkan orang-orang yang sebab  
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian 
ini ”.
˥ Pasal 1366 KUHPdt :
“Setiap orang bertanggungjawab bukan hanya pada kerugian 
yang dipicu  oleh perbuatannya, namun  juga untuk 
kerugian yang dipicu  oleh kelalaian atau kekuranghati￾hatiannya”.

Berbicara tentang hak dan kewajiban seseorang, tentu 
akan berkait dengan pihak lain atau orang lain. Adanya 
hak dan kewajiban pasien dalam kaitannya dengan 
profesi Kedokteran, contoh  dalam hal Transaksi Terapeutik, 
tentu saja memicu  hubungan (minimal antara dua orang) 
yaitu antara dokter dengan pasien.
namun  bagi pasien, pihak lain pun dapat pula berhubungan 
dengannya, tidak hanya dokter, namun  paramedis (perawat), 
para dokter (lebih dari satu dokter), para fisioterapeut, dan para 
petugas pelayanan kesehatan yang memberi  bantuan atau 
pertolongan di bidang Kesehatan. Bahkan tidak hanya orang 
perseorangan namun  dapat juga dari Badan Hukum, contoh  
Rumah Sakit, Maskapai Asuransi Kesehatan, dll.
Seperti diketahui bahwa setiap manusia memiliki  dua 
hak dasar, yaitu :
1. Hak Dasar Sosial, salah satunya adalah Hak atas Pemeliharaan Kesehatan (the right to health care) dan;
2. Hak Dasar Individu,salah satunya adalah Hak atas Pelayanan 
Medis (the right to medical sevice).
Kewajiban Dokter yang merupakan Hak Pasien antara lain: 
1. bahwa ia wajib merawat pasiennya dengan cara keilmuan 
yang ia miliki secara adequat, dengan penuh kesungguhan, 
hati-hati dan berusaha sebaik-baiknya dalam menjalankan 
tugasnya. 
2. bahwa dokter wajib menjalankan tugasnya sendiri (tidak 
dikerjakan oleh orang lain) sesuai dengan yang diperjanjikan. 
Kecuali apabila dalam hal pasien menyetujui perlunya ada 
orang lain yaitu seseorang yang mewakili dirinya (contoh ; 
sebab  dokter juga perlu waktu istirahat untuk memelihara 
kesehatan dirinya).
3. bahwa dokter wajib memberi informasi kepada pasiennya 
mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit/ 
penderitaan pasiennya. Kewajiban dokter ini dalam hal 
untuk perjanjian perawatan, maka akan dikaitkan dengan 
kewajiban pasien.
Kewajiban pasien yang dimaksud adalah :
1. Pasien wajib memenuhi kontra prestasi dengan cara 
melakukan pembayaran honorarium kepada dokter, kecuali 
diperjanjikan lain;
2. Pasien wajib bekerjasama secara loyal dalam hal pemeriksaan 
dan perawatan. contoh  menjawab dengan jujur pertanyaan￾pertanyaan yang diajukan oleh dokter dalam rangka 
mendiagnosa penyakitnya, sehingga dapat dengan tepat  menentukan bentuk terapi yang diperlukan.
. Hak dan Kewajiban Pasien
biasanya dapat dijelaskan tentang hak dan kewajiban 
yang dimiliki Pasien :
a. Hak-hak Pasien :
1. Hak Atas Informasi Medis dan memberi  Persetujuan; 
banyak kalangan kesehatan masih terikat dengan 
hubungan paternalistik, dimana pasien harus menerima 
apa adanya saja dari dokter tanpa dapat menanyakan 
lebih jauh tentang penyakitnya, obat-obat yang 
diterimanya, atau tindakan-tindakan medik lain yang 
harus dilaluinya. 
Padahal dalam hubungan transaksiterapeutik 
(persetujuan tindakan medis dalam bentuk terapi) antar 
dokter dengan pasien, masing-masing pihak memiliki  
hak dan kewajiban yang sama secara hukum.
Hak pasien untuk mendapatkan informasi tentang 
kesehatan dan penyakitnya, serta hak untuk memberi  
persetujuan jika ada pengobatan atau tindakan medik 
yang akan dilakukan padanya.
2. Hak Untuk Memilih Dokter dan Sarana Kesehatan 
(contoh  RS); hak ini bertimbal balik dengan kewajiban 
pasien yaitu memberi imbalan yang pantas dan dan 
kewajibannya mentaati peraturan yang dikeluarkan oleh 
Sarana Kesehatan yang dipilihnya dan melunasi biaya 
dari Sarana Kesehatan ini . 3. Hak Untuk Menolak Pengobatan dan Tindakan Medis 
Tertentu; hak ini berkaitan dengan hak seseorang untuk 
menentukan nasibnya sendiri. Dokter tidak dapat 
melakukan tindakan medik jika bertentangan dengan 
keinginan pasien atau keluarga pasien. Jika dokter 
tidak punya alternatif pengobatan lain sesuai dengan 
keyakinan dan pengalamannya, dan pasien tidak dalam 
keadaan gawat darurat maka dokter dapat memutuskan 
hubungannya dengan pasien.
4. Hak Atas Rahasia Dirinya (Rahasia Pasien); artinya, 
segala rahasia pasien yang terungkap pada saat pasien 
menjalani pengobatan menjadi kewajiban dokter untuk 
merahasiakannya dari orang lain.
5. Hak Untuk menghentikan Pengobatan/memutuskan 
Hubung- an; terkait istilah “pulang atas permintaan 
sendiri” (paps).
6. Hak Atas Opini Kedua (Second Opinion) dan Untuk 
Mengetahui Rekam Medis (Medical Record); yakni pasien 
berhak mengetahui ‘riwayat penyakitnya’.
7. Hak Untuk Menerima Ganti Rugi; jika pasien menganggap 
telah dirugikan akibat pelayanan kesehatan atau 
perawatan yang tidak memenuhi standar medis, maka 
ia berhak mengusahakan ganti rugi melalui pengadilan 
perdata. 
Gejala tuntutan ganti rugi mulai berkembang sejak 
kasus-kasus malpraktik mulai terkuak dan merebak.
8. Hak Atas Bantuan Yuridis; hak ini berlaku terhadap setiap orang yang berperkara.
b. Kewajiban Pasien :
1. Kewajiban memberi informasi yang sebenarnya 
kepada dokter berupa keterangan, penjelasan sebanyak 
mungkin tentang penyakit yang diderita, agar dokter 
dapat menentukan diagnosa penyakit pasien dengan 
tepat. Itikad baik pasien memberi  informasi yang 
sebenarnya, adalah hak dokter.
2. Kewajiban mematuhi nasihat dokter yang mengobati; 
dapat dikaitkan dengan hak dokter untuk mengakhiri 
hubungan dengan pasien jika ia menilai bahwa kerjasama 
dengan pasien untuk kesembuhan pasien tidak ada 
gunanya lagi diteruskan.
3. Kewajiban menyimpan rahasia pribadi dokter yang 
mengobatinya (yang mungkin diketahui pasien secara 
tidak sengaja , atau pun pengalaman tidak menyenangkan 
dengan dokter yang bersangkutan).
4. Kewajiban untuk memberi  imbalan yang pantas
5. Kewajiban untuk mentaati peraturan dan melunasi biaya 
RS.
(4 & 5 dikaitkan dengan hak memilih dokter dan Sarana 
Kesehatan/ RS).





Hukum sering diartikan sebagai adil, peraturan, 
perundang-undangan, dan hak. Hukum dalam arti 
sebagai peraturan perundang-undangan, sebenarnya 
adalah hukum obyektif. Sedangkan hukum dalam arti adil dan 
hak adalah hukum subyektif. Dalam kaitannya dengan sistem 
sosial, hukum obyektif memiliki  fungsi sebagai berikut :
1. Menjaga keseimbangan susunan masyarakat;
2. mengukur perbuatan-perbuatan manusia dalam masyarakat, 
apakah telah sesuai dengan norma-norma hukum yang telah 
ditetapkan;
3. mendidik manusia akan kebenaran, perasaan, serta perbuatan 
yang benar dan tidak, menurut ukuran-ukuran yang telah 
ditetapkan itu.
Menurut kamus Bahasa Inggris, Collins Large Print Dictionary, 
makana kata ethics adalah :
1. A code of behavior, specially a particular group, profession or individual (seperngkat aturan perilaku, khususnya bagi 
sebuah kelompok, profesi atau individu tertentu).
2. The study of the moral of human conduct (studi mengenai moral 
perilaku manusia).
3. In accordance with principles of professional conduct (sesuai 
dengan prinsip-prinsip perilaku profesional)
Dalam tradisi ilmu filsafat, sebagian orang membedakan 
antara etika dan moral, namun sebagian orang lainnya 
menyamakan istilah etika dan moral. 
Etika dan moral berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata 
Ethos dan Mores yang berarti :
˥ Ethos (tabiat; karakter; kelakuan) : yang lazim digabung 
dalam rangkaian kalimat ‘ethos of the people’ atau akhlak /
perilaku manusia.
˥ Mores (moral) : yaitu yang lazim digabung dalam rangkaian 
kalimat ‘mores of a community’ atau kesopanan di dalam 
suatu masyarakat.
˥ Perbedaan antara Hukum dan Etika adalah :
Hukum :
» diciptakan oleh lembaga resmi negara (legislatif)
» ketentuan untuk mematuhinya dipaksakan dari luar 
diri manusia melalui pelaksana-pelaksana hukum (law 
enforcement official)
» negara mencantumkan sanksi tehadap pelanggar
Etika :
» melekat pada diri/ kalbu setiap insan manusia » keharusan untuk melakukan nya timbul dari dalam 
diri manusia secara pribadi
» tidak perlu disertai sanksi yang tegas sebab  nilai￾nilai moral yang masih ditaati, secara intrinsik telah 
mengandung nilai-nilai tertinggi yang bersifat normatif. 
Perbedaan antara Hukum dan Etika Profesi adalah :
˥ Hukum : merupakan rangkaian aturan tingkah laku yang 
dibuat oleh lembaga berwenang (pemerintah bersama dengan 
wakil rakyat), yang terhadap pelanggarannya ditentukan 
sanksi berupa hukuman atau tindakan lainnya.
˥ Etika Profesi : merupakan nilai perilaku kalangan para 
pengemban prof3esi sebagai konsensus bersama untuk 
waktu tertentu dan tentang masalah tertentu.
B. Etika Profesi Kedokteran
Pada awalnya Galenus (Roma), Inhotep (Mesir) dan 
Hippocrates (Yunani) merupakan para ahli bidang kedokteran 
yang mempelopori terbentuknya tradisi-tradisi dalam dunia 
kedokteran yang diikuti oleh para ahli bidang kedokteran dalam 
forum internasional. Tradisi-tradisi dalam kedokteran ini  
kemudian dijadikan sebagai suatu etika profesi kedokteran yang 
memuat prinsip-prinsip beneficence, non maleficence, autonomy dan 
justice. Hukum jika dikaitkan dengan Etik Profesi Kedokteran, 
maka dapat dikemukakan intisari dari Sumpah Hippocrates 
yang sangat terkenal, yang memuat dalil-dalil tentang Profesi 
Kedokteran yang dianut di seluruh dunia. Dalil Hippocrates 
memuat 3 (tiga) esensi pokok/dasar yang merupakan syarat 
utama bagi mereka yang ingin menjadi dokter, yaitu : ˥ Setiap dokter harus berusaha menguasai ilmunya sebaik 
mungkin, meningkatkan mutu profesinya melalui 
kesediaannya untuk belajar secara terus menerus;
˥ Seorang dokter harus menjaga martabat profesinya;
˥ Seorang dokter harus menjadi seorang yang suci dan 
mengabdikan diri sepenuh waktunya untuk profesinya.
Ketiga rumusan syarat ini  di atas kemudian berkembang 
menjadi Kode Etik Kedokteran Internasional.
Dalam praktek, pelaksanaan Etik Kedokteran seringkali 
bertumpang tindih dengan Etika Umum Masyarakat, bahkan 
mungkin saja analogi dengan Etika Umum Masyarakat ini . 
contoh  saja jika dokter atau tenaga profesi kesehatan 
dihadapkan pada sebuah pilihan antara keduanya, maka Etika 
Umum Masyarakatlah yang harus diutamakan. Etik Kedokteran 
merupakan bagian dari Etika Umum Masyarakat, sehingga tidak 
boleh saling bertentangan.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam pembahasan Etik 
Kedokteran, yaitu :
1. Etik Jabatan Kedokteran (Medical Ethics); menyangkut 
masalah-masalah yang berhubungan dengan sikap para 
dokter terhadap rekan sejawat, para pembantunya, terhadap 
masyarakat, dan pemerintah (setiap profesi memiliki etika 
masing-masing).
2. Etik Asuhan Kedokteran (Ethics of the Medical Care); 
merupakan etik Kedokteran dalam kehidupan sehari-hari, 
menyangkut sikap dan tingkah laku seorang dokter terhadap 
penderita/pasien yang menjadi tanggungjawabnya.Dalam membahas hak dan kewajiban pasien dalam 
hubungannya dengan Profesi Kedokteran, tentu tidak dilepaskan 
dari membahas mengenai Profesi Kedokteran itu sendiri. Profesi 
Kedokteran Indonesia diikat oleh suatu kode etika yang disebut 
dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). 
Dalam wujud formalnya, KODEKI merupakan materi dari 
SK Menteri Kesehatan RI Nomor 434/Menkes/SK/X/1983 yang 
ditetapkan pada tanggal 28 Oktober 1983, yang mencerminkan 
arti, isi, dan fungsi Kode Etik untuk Profesi Kedokteran. KODEKI 
ini diundangkan berdasarkan Lampiran Keputusan MenKes 
ini  di atas.
KODEKI menurut artinya yang tertuang dalam Keputusan 
Menteri Kesehatan ini  di atas, sebenarnya merupakan 
Kode Etik Profesi (Beroepscode) atau Medical Professional Ethics
yang berarti berlaku sebagai sebagai : pedoman perilaku bagi 
pengembang pelaksana profesi Kedokteran yang di dalamnya 
memuat syarat dan batasan pengertianuntuk perbuatan yang 
baik atau benar.
Berdasarkan pengertian ini  di atas, KODEKI terkait 
erat dengan dua hal, yaitu :
1. Perilaku yang berisikan hak dan kewajiban berdasarkan 
kepada perasaan moral.
2. Perilaku yang sesuai dengan standar profesi dan atau 
mendukung standar profesi.
Materi KODEKI dapat dibedakan antara :
» Mukaddimah : antara lain berisi tentang hubungan 
antara sang pengobat (dokter) dengan penderita (pasien) dalam bentuk transaksi terapeutik atau perjanjian untuk 
menentukan dan mencari terapi yang paling tepat bagi 
pasien oleh dokter.
» Batang Tubuh : berisikan ketentuan-ketentuan formal 
yang mengatur hak dan kewajiban dokter secara umum, 
dokter terhadap pasien, dokter terhadap teman sejawat, 
dan dokter terhadap dirinya sendiri.
Sedangkan fungsi KODEKI adalah :
“Sebagai pedoman perilaku bagi para pengemban profesi 
dalam kedudukannya dalam lingkup dunia kedokteran, 
terhadap pemerintah, masyarakat, maupun penderita 
(pasien) yang secara prinsipil analogi dengan berlakunya 
atau berfungsinya etika masyarakat secara umum”.
Catatan :
KODEKI diundangkan berdasarkan Lampiran KepmenKes RI 
Nomor 434/MenKe/SK/X/1983 tanggal 28 Oktober 1983.








Kesehatan merupakan anugerah yang diberikan pencipta 
kepada setiap manusia untuk dijaga, sebab  dengan 
adanya anugerah kesehatan ini  semua manusia 
dapat melakukan aktifitas dengan baik dalam memenuhi 
kebutuhan hidupnya. Namun tidak semua manusia dapat 
menjaga dan memelihara kesehatannya dengan baik, sehingga 
adakalanya manusia mengalami sakit yang membutuhkan 
perawatan medis untuk dipulihkan kesehatannya. Dalam hal 
memperoleh pelayanan kesehatan dari tenaga ahli kesehatan 
adakalanya hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan apa yang 
diharapakan, baik itu sebab  kondisi manusianya yang tidak 
baik atau prosedur penangan pelayanan kesehatan yang tidak 
sesuai dengan prosedur yang seharusnya. Permasalahan ini 
sering menjadi permasalahan dalam ranah hukum apabila pihak 
yang dirawat tidak menerima hasil dari pelayanan kesehatan 
ini . Untuk itulah dibutuhkan sebuah pengaturan dalam menyelesaikan masalah pelayanan kesehatan agar mendapatkan 
kepastian hukum yang jelas. Sebenarnya, dunia ilmu sudah 
sejak lama merintis adanya disiplin ilmu baru yaitu “Hukum 
Kedokteran”. Bahkan di beberapa negara sudah berkembang 
dengan pesat, antara lain di negara Belanda, Prancis, Belgia, 
Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang, namun kepesatan 
perkembangannya di negara-negara dunia tidaklah sama antara 
yang satu dengan yang lainnya.
Hukum Kedokteran atau Hukum Medis (Medical Law) yang 
sudah dikenal di beberapa negara maju, perkembangannya sejalan 
dengan perkembangan peradaban manusia. Namun, orientasi 
pengembangannya tidaklah beranjak dari pangkal tolak yang 
sama. Di daratan Eropa Barat, Belanda contoh  sejak tahun 1928 
sampai terakhir tahun 1972 dalam Undang-Undang ‘Medisch 
Tuchtwet’nya, lebih berorientasi pada pengaturan tingkah laku 
dan tugas dokter, yakni menjalankan profesi. Sedangkan di 
Amerika Serikat, dalam ‘American Hospital Association’ pada 
tahun 1972 melahirkan apa yang disebut sebagai ‘Patient Bill of 
Rights’, yang isinya lebih menitikberatkan perhatian pada hal-hal 
yang bersangkut paut dengan hak-hak pasien.
Kebangkitan (renaisance) ilmu Hukum Kedokteran di 
dunia Internasional baru terjadi sesudah diadakannya Kongres 
Sedunia Hukum Kedokteran (World Congress on Medical Law) 
di Gent, Belgia Tahun 1967. Kemudian Hukum Kesehatan mulai 
diperkenalkan secara luas ke seluruh dunia setelah pada Kongres 
V Asosiasi Hukum Kedokteran Dunia (World Association 
for Medical Law), Agustus 1979, ketika dijadikan sebagai 
kegiatan baru oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) atau WHO.
Hukum Kedokteran dan Hukum Kesehatan kemudian 
berkembang pesat di beberapa belahan dunia termasuk di Negeri 
Belanda dan Eropa pada umumnya, serta di beberapa negara￾negara maju lainnya. Berkembang pesatnya disiplin ilmu ini 
memang memiliki  alasan, yakni antara lain :
1. Semakin meningkatnya tuntutan di bidang pelayanan 
kesehatan dan kedokteran, yang disertai perkembangan di 
bidang teknik pengobatan dan diagnostik.
2. Semakin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat di 
bidang pelayanan kesehatan/kedokteran.
B. Hukum Kesehatan & Hukum Kedokteran di 
Indonesia
Pada awal tahun 1980, belum banyak orang yang mengenal 
tentang Hukum Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Istilahnya 
pun masih terasa aneh. Bidang pengetahuan yang selama ini 
dikenal mengaitkan disiplin ilmu Hukum dengan disiplin ilmu 
Kedokteran, hanyalah ilmu Kedokteran Kehakiman.
Pada Tahun 1981, di Indonesia timbul suatu cabang ilmu 
hukum baru yang sebelumnya belum dikenal. Hal ini bermula 
sejak terjadinya peristiwa “kasus Dr. Setianingrum” di Pati, Jawa 
Tengah. Kasus ini memicu  banyak reaksi baik dari kalangan 
profesi medis maupun kalangan dunia hukum, teristimewa pula 
dari kalangan masyarakat.
Sejak peristiwa ini , bertemulah antara dunia Hukum
(Themis) dengan dunia medis (Aesculapius) dalam suatu wadah  baru di Indonesia, menjadi suatu cabang baru dari disiplin 
ilmu hukum yakni Hukum Medis (Medical Law), kemudian 
menjadi Hukum Kedokteran, dan akhirnya diperluas cakupan 
pembahasannya menjadi Hukum Kesehatan (Heath Law atau 
Gezondheitsrecht). Akibat kasus “Pati” inilah telah membangunkan 
masyarakat dari ‘tidur lelapnya’ yang panjang untuk mengetahui 
hak-hak korban di dalam dunia Kedokteran maupun dunia 
Kesehatan.
Pengaruh perkembangan zaman, terjadinya globalisasi yang 
melanda ke seluruh dunia termasuk ke Indonesia, bertambahnya 
kecerdasan masyarakat sehingga menjadi lebih kritis, serta 
perubahan sosial budaya dan pandangan hidup, cara berfikir 
dan faktor-faktor lain, memberi dampak positif dalam dunia 
Kesehatan masyarakat Indonesia. 
Dalam pelajaran ini, konteks dampak globalisasi dibahas 
terbatas hanya kepada Hukum Medis, dengan alasan bahwa 
hukum yang menyangkut bidang medis baru mulai berkembang 
sejak setelah terjadinya ‘Kasus Pati’ di tahun 1981.
Sebelumnya, bidang pengetahuan yang mengkaitkan disiplin 
ilmu Hukum dengan ilmu Kedokteran hanyalah ilmu Kedokteran 
Kehakiman (Forensic Medicine) yang telah lebih dahulu menjadi 
kurikulum mata kuliah/pelajaran di beberapa fakultas antara 
lain Fakultas Hukum Jurusan Pidana, Fakultas Kedokteran dan 
AKABRI Jurusan Kepolisian. Hal ini  menyangkut alat-alat 
bukti di sidang pengadilan, terutama bukti Surat yakni Visum et 
Repertum dan Keterangan Saksi/Ahli yaitu Ahli Forensik.
Hukum Kedokteran dan Hukum Kesehatan mulai 
diperkenalkan di Indonesia dengan terbentuk Kelompok Studi untuk Hukum Kedokteran Universitas Indonesia pada tanggal 
1 November 1982 di RSCM, oleh beberapa dokter dan Sarjana 
Hukum yang mengikuti Kongres Sedunia Hukum Kedokteran di 
Gent, Belgia Tahun 1982. Kelompok studi ini lalu membentuk 
Perhimpunan untuk Hukum Kedokteran Indonesia (PERHUKI) 
pada 7 Juli 1983.
Dalam perjalanan dan perkembangannya, terlihat adanya 
ketimpangan bila hanya Hukum Kedokteran saja yang dikembang￾kan, sementara cabang lain dalm Hukum Kesehatan tidak ikut 
dikembangkan, seperti Hukum Farmasi, Hukum Keperawatan, 
Hukum Rumah Sakit, dll.
Pada Kongres Nasional I PERHUKI tahun 1987, atas saran 
Menteri Kehakiman dan Direktorat Jenderal Kesehatan, serta 
berdasarkan aspirasi sebagian besar anggota PERHUKI, maka 
disepakati perubahan ruang lingkup perhimpunan ini menjadi 
Perhimpunan untuk Hukum Kesehatan Indonesia dengan 
singkatan yang sama yaitu PERHUKI.









Lingkup Hukum Kesehatan
Salah satu unsur terpenting dari perkembangan suatu 
negara adalah index kesehatan warga negaranya yang 
baik, untuk itu setiap negara harus memiliki sistem 
pengaturan pelaksanaan bidang kesehatan ini  agar 
tujuan menyehatkan masyarakat tercapai. System pengaturan 
ini  dituangkan dalam bentuk peraturan perundang￾undangan yang nantinya dapat dijadikan sebagai pedoman 
yuridis dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada warga 
negara. Untuk itu pemahaman tentang hokum kesehatan 
sangat penting tidak hanya bagi profesi tenaga kesehatan dan 
masyarakat sebagai konsumen pelayanan kesehatan namun  
juga bagi pihak akademisi dan praktisi hukum. Pemahaman 
hukum kesehatan sangat penting untuk diketahui agar dalam 
pelaksanaan pelayanan kesehatan sesuai dengan prosedur yang 
telah buat oleh pihak tenaga kesehatan dan apabila terdapat 
kesalahan dalam pelayanan kesehatan (malpraktek medis)
dapat diselesaikan dengan pengetahuan hukum kesehatan ini . Secara terminologis, istilah Hukum Kesehatan 
sering disamakan dengan istilah Hukum Kedokteran. Hal ini 
disebab kan hal-hal yang dibahas dalam mata kuliah Hukum 
Kesehatan di berbagai Fakultas Hukum di Indonesia pada 
umumnya hanya memfokuskan pada hal-hal yang berkaitan 
langsung dengan dunia kedokteran dan lebih banyak membahas 
hal-hal yang berkaitan dengan Hukum Kedokteran atau Hukum 
Medis. Padahal lingkup pembahasan Hukum Kesehatan lebih 
luas daripada Hukum Kedokteran.
Bidang ilmu lain yang berkaitan erat dengan Hukum 
Kesehatan khususnya Hukum Kedokteran adalah Kedokteran 
Kehakiman. Sering orang memcampuradukkan pengertian 
antara Hukum Kedokteran dengan Kedokteran Kehakiman atau 
Kedokteran Forensik. Oleh sebab  itu, secara terminologis, ketiga 
istilah ini  dapat dibedakan sebagai berikut :
˥ Hukum Kesehatan :
» HealthLaw (OrganisasiKesehatanDunia atau WHO)
» Gesuntheits recht (Jerman)
» Gezondheids recht (Belanda)
˥ Hukum Kedokteran : 
» Medical Law (Inggris, AS)
» Droit Medical (Perancis, Belgia)
˥ Kedokteran Kehakiman;Kedokteran Forensik:Forensic 
Medicine
Jika dibandingkan lebih lanjut terlihat bahwa :
˥ Kedokteran Forensik (Forensic Medicine) atau Kedokteran 
Kehakiman (Gerechtelijke Geneeskunde) merupakan suatu 
cabang ilmu Kedokteran (termasuk disiplin medis) yang 
bertujuan untuk membantu proses peradilan, sebab  
adanya Visum et Repertum yang dibuat oleh dokter atau ahli 
forensik, yang digunakan sebagai pengganti barang bukti 
dalam proses hukum(acara pidana) di pengadilan.
˥ Hukum Kesehatan (Health Law) meliputi juga Hukum 
Kedokteran (Medical Law) yang obyeknya adalah 
Pemeliharaan Kesehatan (Health Care) secara luas, dan 
termasuk di dalam disiplin ilmu Hukum.
˥ Hukum Kedokteran atau Hukum Medis (Medical Law) :
» merupakan suatu cabang ilmu hukum yang 
menganutprinsip-prinsip hukum di samping disiplin 
medis yang berfungsi untuk mengisi bidang-bidang 
tertentu yang diperlukan oleh hukum medis;
» Obyeknya adalah pelayanan medis;
» Merupakan bagian dari Hukum Kesehatan yang meliputi 
ketentuan-ketentuan yang berhubungan langsung 
dengan pelayanan medis;
» Merupakan Hukum Kesehatan dalam arti sempit;
» Dalam arti luas, Medical Law adalah segala hal yang 
dikaitkan dengan pelayanan medis, baik dari perawat, 
bidan, dokter gigi, laboran, dan semua yang meliputi 
ketentuan hukum di bidang medis;
» Dalam arti sempit, Medical Law adalah Artz recht yaitu 
meliputi ketentuan hukum yang hanya berhubungan 
dengan profesi dokter saja (tidak dengan dokter gigi,  bidan, apoteker, dll).
Hukum Kesehatan tidak terdapat dalam suatu bentuk 
peraturan khusus, namun  tersebar pada berbagai peraturan dan 
perundang-undangan. Ada yang terletak di bidang hukum pidana, 
hukum perdata, dan hukum administrasi, yang penerapan, 
penafsiran serta penilaian terhadap faktanya adalah di bidang 
kesehatan atau pun medis.
Ruang lingkup Hukum Kesehatan meliputi antara lain :
˥ Hukum Kedokteran/Hukum Medis (Medical Law)
˥ Hukum Keperawatan (Nurse Law)
˥ Hukum Rumah Sakit (Hospital Law)
˥ Hukum Pencemaran Lingkungan (Environmental Law)
˥ Hukum Limbah ( tentang Industri; Rumah Tangga; dsb.)
˥ Hukum Polusi (Polution Law tentang Bising; Asap; Debu; Bau; 
Gas yang mengandung racun; dsb)
˥ Hukum Peralatan yang menggunakan X-Ray seperti Cobalt; 
Nuclear, dsb.
˥ Hukum Kesehatan dan Keselamatan Kerja
˥ Berbagai peraturan yang berkaitan langsung dengan hal-hal 
yang mempengaruhi kesehatan manusia.
B. Definisi Hukum Kesehatan
Berbagai pengertian atau definisi tentang Hukum Kesehatan 
dikemukakan para ahli dan sarjana hukum. Definisi ini  
dikemukakan antara lain oleh :
˥ Prof. Dr. Rang :
“Hukum Kesehatan adalah seluruh aturan-aturan hukum 
dan hubungan-hubungan kedudukan hukum yang 
langsung berkembang dengan atau yang menentukan 
situasi kesehatan di dalam mana manusia berada”.
˥ Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH. :
“Ilmu Hukum Kedokteran meliputi peraturan-peraturan dan 
keputusan hukum mengenai pengelolaan praktek kedokteran”.
˥ C.S.T. Kansil, SH. :
“Hukum Kesehatan ialah rangkaian peraturan perundang￾undangan dalam bidang kesehatan yang mengatur 
pelayanan medik dan sarana medik. Kesehatan yang 
dimaksud adalah keadaan yang meliputi kesehatan 
badan, rohani (mental) dan sosial, dan bukan hanay 
keadaan yang bebas dari cacat, penyakit dan kelemahan”.
˥ Prof. H.J.J. Leenen :
“Hukum Kesehatan meliputi semua ketentuan hukum 
yang langsung berhubungan dengan pemeliharaan 
kesehatan dan penerapan dari hukum perdata, hukum 
pidana, dan hukum adminstrasi dalam hubungan 
ini . Dan juga pedoman internasional, hukum 
kebiasaan dan yurisprudensi yang berkaitan dengan 
pemeliharaan kesehatan, hukum otonom, ilmu-ilmu 
dan literatur yang menjadi sumber hukum kesehatan”.
Dari definisi hukum kesehatan yang telah dijelaskan oleh 
para ahli hukum maka penulis dapat mengambil kesimpulan 
bahwa hukum kesehatan adalah: pengetahuan yang mengkaji 
tentang bagaimana sebuah penegakan aturan hukum terhadap 
akibat pelaksanaan suatu tindakan medik/kesehatan yang 
dilakukan oleh pihak yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan 
yang dapat dijadikan dasar bagi kepastian tindakan hukum dalam 
dunia kesehatan
Berdasarkan rumusan di atas, terkandung beberapa 
pengertian dalam pengertian Hukum Kesehatan, yaitu :
1. Semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan 
bidang pemeliharaan kesehatan (Health Care) mengandung 
arti bahwa :
a. Istilah ‘ketentuan’ lebih luas artinya daripada istilah 
peraturan hukum, sebab  istilah ‘peraturan hukum’ 
umumnya tertulis.
b. Pengertian ‘ketentuan hukum’ termasuk pula ‘hukum 
tidak tertulis’. contoh  :
- Imunisasi
- Pemberantasan dan Tata Cara Mengatasi Penyakit 
Menular.
2. Ketentuan yang tidak berhubungan dengan bidang 
pemeliharaan kesehatan namun  merupakan penerapan dari 
bidang hukum, antara lain :
a. Hukum Perdata, contoh  hubungan antara dokter dan 
pasien yang merupakan 
- hubungan medis
- hubungan hukum sebab  adanya kontrak dengan 
tujuan penyembuhan (kontrak Terapeutik), contoh  
berdasarkan Pasal 1320 BW menyatakan bahwa 
syarat sahnya suatu persetujuan adalah : adanya 
kesepakatan antara para pihak.
b. Hukum Pidana, dalam terjadi hal-hal seperti :
- Kelalaian yang mengakibatkan matinya seseorang 
(Pasal 359 KUHP)
- Kelalaian yang mengakibatkan luka berat atau cacat 
(Pasal 360 KUHP)
c. Hukum Administrasi, contoh  Izin Praktek yang 
dikeluarkan oleh Depkes yang harus dimiliki oleh setiap 
dokter praktek, Rumah Sakit, apotik, dll.
3. Pedoman Internasional, Hukum Kebiasaan, Jurisprudensi 
yang berkaitan dengan Pemeliharaan Kesehatan (Health 
Care).
4. Hukum Otonom, ilmu dan literatur yang menjadi sumber 
hukum.
Menurut Anggaran Dasar PERHUKI, yang dimaksud dengan :
1. Hukum Kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang 
berhubungan langsung dengan pemeliharaan/pelayanan 
kesehatan dan penerapannya, serta hak dan kewajiban baik 
dari perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai 
penerima layanan kesehatan (health receivers) maupun 
sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan (health providers) 
dalam segala aspek organisasi, sarana, pedoman-pedoman 
medik, ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum, serta 
sumber-sumber hukum lainnya.
2. Hukum Kedokteran adalah bagian dari hukum kesehatan 
yang menyangkut pelayanan medis.
Berdasarkan beberapa pengertian yang ada, dapat 
disimpulkan bahwa Hukum Kesehatan dan Hukum Kedokteran 
berbeda dengan ilmu Kedokteran Kehakiman.
Hukum Kedokteran (Law for Medicine) maupun Hukum 
Kesehatan adalah pengetahuan tentang peraturan dan ketentuan 
hukum yang mengatur pelayanan kesehatan kepada masyarakat. 
Yang dibicarakan adalah : hak dan kewajiban pasien, hubungan 
Rumah sakit dengan Dokter Tamu, paramedis dengan pasien, 
izin tindakan medis, malpraktek, konsep bayi tabung, kontrak 
terapeutik, medical negligence, dll.
Kedokteran Kehakiman (Medicne for Law) adalah pengetahuan 
yang menggunakan ilmu kedokteran untuk membantu kalangan 
hukum dan peradilan. Yang dibicarakan adalah tanda-tanda 
kematian, kaku mayat, lebam mayat, otopsi, identifikasi, 
penentuan lamanya kematian, abortus, keracunan, narkotika, 
kematian tidak wajar, perkosaan, Visum et Repertum, dll.
C. Fungsi Hukum Kesehatan
Hukum memiliki  fungsi penting sesuai dengan tujuan 
yang ingin dicapai oleh hukum itu sendiri, yaitu melindungi, 
menjaga ketertiban dan ketentraman masyarakat. Sejalan dengan 
asas hukum, maka fungsi hukum pun ada tiga, yaitu :
1. Fungsi Manfaat;
2. Fungsi Keadilan; 
3. Fungsi Kepastian hukum
Ketiga fungsi hukum ini pada prinsipnya adalah ingin 
memberi  ‘perlindungan’ dari aspek ‘hukumnya’ kepada setiap 
orang atau pihak, dalam berbagai bidang kehidupannya. Dengan 
kata lain, yang ingin diberikan adalah ‘perlindungan hukum’ jika 
timbul persoalan-persoalan hukum dalam kehidupan sosial di 
masyarakat.
Dalam pengertian melindungi, menjaga ketertiban dan 
ketentraman itulah tersimpul fungsi hukum. Dalam fungsinya 
sebagai alat ‘social engineering’ (pengontrol apakah hukum sudah 
ditepati sesuai dengan tujuannya), maka hukum dalam kaitannya 
dengan penyelesaian masalah-masalah di bidang kedokteran/ 
kesehatan, diperlukan. sebab  fungsi hukum ini  berlaku 
biasanya maka hal ini  berlaku pula dalam bidang 
Hukum Kesehatan dan Hukum Kedokteran.
Di dalam dunia Pelayanan Kesehatan (Health Care), pada 
dasarnya terdapat dua kelompok orang yang selalu menginginkan 
‘adanya kepastian hukum’. Sebab dengan adanya kepastian 
ini , maka orang-orang ini  akan merasa ‘terlindungi’ 
secara hukum. Kedua kelompok ini  ialah :
1. Kelompok Penerima Layanan Kesehatan (Health Receiver), 
antara lain adalah : pasien (orang sakit) dan orang-orang 
yang ingin memelihara atau meningkatkan kesehatannya.
» Kepastian Hukumnya : antara lain, adanya ijazah dan 
Surat Izin Praktek Dokter.
» Perlindungan Hukumnya : adanya ketentuan hukum 
(Perdata) yang memberi jaminan ganti rugi jika terjadi 
hal-hal yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.
2. Kelompok Pemberi Layanan Kesehatan (Health Providers) 
antara lain adalah para medical providers yaitu dokter dan 
dokter gigi, serta paramedis atau tenaga kesehatan yaitu 
perawat, bidan, apoteker, asisten apoteker, analis atau 
laboran, ahli gizi, dan lain-lain.





Pada hakikatnya hukum menghendaki adanya penataan 
hubungan antar manusia, termasuk juga hubungan 
antara dokter dan pasien, sehingga kepentingan 
masing-masing dapat terjamin dan tidak terjadi pelanggaran 
kepentingan oleh pihak lain.
Meningkatnya peranan hukum dalam pelayanan kesehatan 
antara lain juga dipicu  oleh semakin meningkatnya 
kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan, dimana 
pelayanan kesehatan itu sebenarnya juga merupakan perbuatan 
hukum yang mengakibatkan timbulnya hubungan hukum.
Informed Consent (persetujuan atas dasar informasi) 
merupakan salah satu hak pasien dan juga bentuk hubungan 
yang spesial antara dokter dengan pasien. Bentuk hubungan ini 
merupakan salah satu alat yang memungkinkan pasien untuk 
‘menentukan nasibnya sendiri’ dalam praktik dokter.
Syarat terjadinya Informed Consent yaitu :Adanya Informasi yang adequat kepada pasien tentang 
perlunya tindakan medis diberikan serta resiko-resiko yang 
dapat ditimbulkannya. Berdasarkan informasi yang diberikan 
oleh dokter itulah maka pasien memberi  persetujuannya.
˥ Adanya Persetujuan Pasien ; untuk setiap tindakan, baik 
yang bersifat diagnostik maupun terapeutik. Tindakan 
yang dimaksud adalah Tindakan Medik. Menurut Peraturan 
Menteri Kesehatan Nomor 585/Menkes/ Per/IX/1989 :
» Pasal 1 sub b dan c; “Tindakan medik adalah tindakan 
yang dilakukan terhadap pasien berupa diagnostik atau 
terapeutik”,
» Pasal 2 ; “Semua tindakan medik yang akan dilakukan 
terhadap pasien harus mendapat persetujuan”.
Di dalam pelayanan medik, agar pemberian pertolongan 
dapat berfungsi maka para pemberi pertolongan perlu memberi 
informasi atau keterangan tentang keadaan dan situasi kesehatan 
kepada pasien yang bersangkutan.
Hubungan antara informasi dan persetujuan dinyatakan 
dalam istilah informed consent, namun  menurut Leenen
bahwa informasi dan persetujuan tidak selalu hadir bersamaan. 
Alasannya adalah :
1. Ada persetujuan tanpa inormasi dalam situasi pemberian 
pertolongan darurat. Dalam hal ini persetujuan dianggap 
ada.
2. Pada umumnya kewajiban untuk memberi  informasi yang 
lebih luas hanyalah demi mendapatkan persetujuan.
3. Adakalanya kewajiban dokter untuk memberi  informasi lebih kecil dibandingkan kewajibannya untuk mendapatkan 
persetujuan.
Menurut Appelbaum, agar dapat menjadi doktrin hukum, 
maka informed consent harus memenuhi syarat :
1. Adanya kewajiban dokter untuk menjelaskan informasi 
kepada pasien.
2. Adanya kewajiban dokter untuk mendapatkan izin atau 
persetujuan dari pasien sebelum perawatan dilaksanakan.
Istilah Informed Consent pada umumnya dikaitkan dengan 
istilah Persetujuan Tindakan Medis (PTM) jika berkaitan dengan 
persetujuan atau izin yang harus didapatkan dari pasien atau 
keluarga pasien oleh pihak dokter atau Rumah Sakit sebelum 
melakukan operasi atau tindakan infasif lainnya yang beresiko. 
Oleh sebab  itu PTM jenis ini sering disebut dengan Surat izin 
Operasi, Persetujuan Pasien, Surat Perjanjian, dan lain-lain 
istilah. PTM sesungguhnya berangkat dari 2 (dua) hak dasar 
pasien, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri (termasuk 
untuk memberi  persetujuan) dan hak atas informasi medis.
Informed Consent (PTM) menurut hukum, dapat dilakukan 
antara lain dengan cara :
˥ menggunakan bahasa yang sempurna dan tertulis
˥ menggunakan bahasa yang sempurna dan lisan
˥ menggunakan bahasa yang tidak sempurna namun  dapat 
diterima oleh pihak pasien
˥ dengan bahasa isyarat yang dapat dimengerti dan diterima 
oleh pihak pasien diam atau membisu namun  dipahami atau diterima oleh pihak 
pasien.
Oleh sebab  itu, bentuk Informed Consent dikategorikan sbb :
1. Dengan pernyataan secara tegas (Expression Consent); 
dilakukan baik secara lisan (oral) maupun secara tertulis 
(written).
2. Dengan cara diam-diam (Implied or Tacid Consent); dianggap 
telah diberikan secara tersirat, baik dalam keadaan biasa 
(normal) maupun dalam keadaan gawat darurat, contoh  
dengan menggulung lengan baju jika akan disuntik.
Menurut Leenen, informasi seorang dokter kepada 
pasiennya dapat berupa penjelasan mengenai :
a. diagnosa (apa nama dan jenis penyakitnya)
b. Terapi dan kemungkinan alternatif terapi
c. Kemungkinan perasaan-perasaan yang akan dialami 
(contoh  sakit, gatal-gatal, dll)
d. Cara kerja dan pengalaman dokter yang melakukan 
e. Resiko
f. Keuntungan terapi
g. Prognosa (bagaimana perjalanan akhirsuatu penyakit, 
apakah baik atau buruk).
Secara umum, Informed Consent (Persetujuan Tindakan 
Medis) terjadi berdasarkan hak pasien atas informasi mengenai 
apa jenis penyakitnya, apa alternatif pengobatan yang akan 
diterima, serta hak pasien untuk memberi  persetujuan atas 
apa yang akan dilakukan terhadap dirinya. Sehingga Informed  Consent merupakan hak pasien untuk memberi  persetujuan 
setelah sebelumnya ia menerima informasi.
Contoh :
Seorang pasien dalam keadaan apenditis (usus buntu) akut. 
Dokter telah menjelaskan kepada pasien tentang penyakit 
ini  dan tindakan-tindakan yang sebaiknya dilakukan, 
kemungkinan resiko, dan harapan yang akan dihadapi dari 
tindakan ini . Bila si pasien tidak bersedia dioperasi 
seangkan pihak dokter dan RS menganggap harus segera 
poerasi, maka dokter aatau RS tidak dapat memaksa pasien 
ini . Dari keadaan seperti inilah biasanya pihak dokter 
atau RS meminta persetujuan dari pihak keluarga dengan 
tetap menjelaskan hal-hal yang telah dijelashan kepada pasien.
Fungsi dari adanya persetujuan dari pihak keluarga 
adalah sebagai alat untuk menangkis tuduhan yang 
mungkin diajukan oleh pihak pasien jika terjadi sesuatu 
hal yang tidak diinginkan atau operasi dan tindakan 
medis ini  tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Kata-kata yang sering tercantum dalam PTM adalah : “tidak 
akan mengadakan penuntutan kedapa dokter dan RS” 
dan “segala akibat merupakan tanggung jawab keluarga”.
Berdasarkan Pasal 6 Permenkes Nomor 585/MenKes/ Per/
IX/89; bahwa ‘tindakan bedah (operasi atau tindakan invasif 
lainnya), informasi harus diberikan sendiri oleh dokter yang akan 
melakukan tindakan operasi ini .
Dalam hal pasien tidak mampu memberi  persetujuan, 
pemberian persetujuan dapat dilakukan oleh keluarga terdekat pasien. namun  akan timbul masalah jika ternyata bahwa meski 
pun keluarga menyetujui operasi namun  pasien yang bersangkutan 
tidak setuju dioperasi, atau sebaliknya.
Secara yuridis dokter sudah boleh mengoperasi dengan hanya 
persetujuan pasien yang bersangkutan saja, namun  dokter harus 
memberi  informasi tentang segala resiko dan kemungkinan 
perluasan operasi, seandainya operasi ini  tidak disetujui 
oleh pasien atau keluarga pasien.
Ada empat alasan mengapa dokter menjadi tidak wajib 
memberi  informasi kepada pasien, yaitu :
1. Jika terapi memang menghendaki hal demikian (suggestve 
terapeuticum)
2. Jika dapat merugikan pasien, contoh  pasien dapat 
mengalami shocksebab  mengidap penyakit jantung
3. Jika pasien sakit jiwa, sehingga tidak dapat diajak berkomu￾nikasi (IC diganti dengan Keputusan Pengadilan)
4. Jika pasien belum dewasa, yaitu :
a. Anak-anak (Jongereminderjarig)
b. Anak menjelang dewasa (Oudereminderjarig)
Teori-teori tentang Informed Consent :
a. Teori Manfaat Untuk Pasien
Pada hakikatnya pemberian informasi kepada pasien 
harus dilakukan sedemikian rupa sehingga pasien dapat 
berperan serta dalam proses pembentukan dan pengambilan 
keputusan, bahkan secara aktif pasien menguasainya, 
agar semaksimal mungkin dapat diperoleh manfaatnya.Terhadap teori ini timbul keraguan sebab  dengan 
dianutnya asas manfaat bagi pasien, berarti tertutup 
kemungkinan dilakukannya eksperimen non-terapeutik.
b. Teori Manfaat Bagi Pergaulan Hidup
Teori ini menitikberatkan pada pandangan utilitis yaitu 
bahwa kemanfaatan yang terbesar adalah bagi jumlah yang 
terbesar. Penyelenggaraan eksperimen diperkenankan 
apabila didasarkan pada pertimbangan ‘manfaatnya 
lebih banyak daripada hasil buruknya (mudharatnya)’.
Pandangan para penganut teori ini terhadap pengertian 
manfaat tidak dibatasi oleh pertimbangan ekonomis 
belaka. Nilai estetika, kebudayaan, keagamaan, 
dan psikologis harus ikut dipertimbangkan.
c. Teori Menentukan Nasib Sendiri
Setiap orang yang pada pemeriksaan medis menuntut 
adanya Informed Consent berdasarkan alasan lain dari 
nilai, yaitu diperolehnya persetujuan untuk mempermudah 
dicapainya kepentingan umum, harus mengakui bahwa 
para individu memiliki  tuntutan terhadap pergaulan 
hidup. Tuntutan ini  sedemikian kuat sehingga disebut 
sebagai hak. Adanya hak individu untuk menentukan 
nasib sendiri menyebabkan Informed Consent penting 
bagi semua tindakan yang dilakukan atas tubuh, 
bahkan atas pelanggaran susasana kehidupan pribadi. 
Dengan demikian, hak untuk menentukan nasib sendiri 
memberi  dasar otonom bagi syarat Informed Consent.Informed Consent dan Pasien Tidak Sadar
Telah diketahui bahwa Informed Consent sangat penting, 
sebab di samping menyangkut hak-hak pasien juga terkait 
kewajiban dokter yang melakukan tindakan medis dengan tujuan 
untuk menyelamatkan jiwa (life saving).
Terhadap pasien tidak sadar, tentulah akan sulit untuk 
memberi  dan mendapatkan IC. Persetujuan Tindakan Medis 
terhadap Pasien Tidak Sadar sangat tergantung pada keinginan 
dokter yang bersangkutan, yaitu :
a. Dokter dapat menunggu sampai keluarga pasien datang;
b. Dokter dapat menunggu sampai pasien sadar, tanpa 
membahayakan jiwa pasien;
c. Segera melakukan tindakan medis atas dasar :
1. Life Saving (penyelamatan jiwa)
2. Fiksi Hukum (pasien tidak sadar dianggap akan 
menyetujui juga hal-hal yang umumnya disetujui oleh 
para pasien yang berada dalam keadaan sadar dengan 
kondisi sakit/penyakit yang sama (presumed consent)
3. Zaakwaarneming (perwakilan sukarela).
Persetujuan khusus tidak lagi dibutuhkan untuk suatu 
tindakan operasi (bedah) yang telah mendapat persetujuan diam￾diam (implied consent). contoh  :
˥ Suntikan premedikasi dalam rangka pelaksanaan operasi.
˥ Pencukuran rambut pada bagian yang akan dioperasi.Terobosan Umur Dewasa
Secara Hukum Perdata, seseorang dinyatakan dewasa pada 
usia 21 tahun (Pasal 330 KUHPerdata). namun  dalam banyak 
hal, banyak orang yang belum dewasa (dari segi usia) sudah 
dianggap mampu bertindak menurut hukum dan atau tanpa 
seizin orangtuanya. Hal inilah yang disebut dengan terobosan 
umur dewasa dalam hukum.
˥ Perkara Perdata :
» menikah di usia 17 atau 18 tahun (Pasal 47 Undang￾Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawina)
» membuat testamen di usia 18 tahun
» mengadakan kontrak kerja di usia 18 tahun (Pasal 1 
Angka 26 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang 
Ketenagakerjaan)
˥ Perkara Pidana :
» melakukan tindak pidana di usia 18 tahun sehingga 
ancaman pidananya sama dengan orang dewasa yang 
melakukan tindak pidana yang sama (Pasal 45 Kitab 
Undang-Undang Hukum Pidana)
» mengajukan pengaduan terhadap suatu delik aduan di 
usia belum genap 18 tahun (Pasal 1 Angka 1-4 Undang￾Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan 
Pidana Anak)
˥ Perkara hukum lainnya :
» berhak ikut PEMILU sebab  telah berumur 17 tahun
» di usia 17 tahun sudah boleh membawa kendaraan bermotor di jalan raya/jalanan umum
» berhak memiliki SIM di usia 17 tahun.
. Hak Memilih Dokter dan Sarana Kesehatan 
yang bersifat relatif atau tidak mutlak, 
contoh  :
˥ Pada Rumah Sakit Pemerintah, hak ini dibatasi oleh antara 
lain adanya jadwal dan pembagian tugas dokter jaga sehingga 
pasien harus menaati tata kerja Rumah Sakit ini  
termasuk tidak dapat memilih dokter sesukanya.
˥ Pada RS Swasta, hak memilih dokter jaga lebih longgar 
sehingga pasien dapat memilih dokter yang dikehendaki.
Status atau keadaan tertentu dari pasien untuk memilih 
sarana kesehatan juga memiliki  pengaruh, contoh  :
˥ ABRI/POLRI : dapat berobat gratis hanya pada Rumah Sakit 
tertentu (ABRI dapat gratis pada RS TNI dan POLRI boleh 
gratis pada RS Bhayangkara)
˥ Pegawai perusahaan tertentu (contoh  PERTAMINA) dapat 
berobat gratis pada RS PERTAMINA
˥ Pemegang Polis Asuransi Kesehatan dapat berobat gratis ke 
RS atau sarana kesehatan tertentu yang telah ditunjuk atau 
ditentukan oleh perusahaan asuransi yang bersangkutan.
Jika pasien-pasien ini  di atas memilih Rumah Sakit yang 
lain, maka resikonya adalah harus membayar atau menggunakan 
biaya sendiri (tidak gratis).

Hak Atas Rahasia Kesehatan/Kedokteran
Masalah ‘larangan membuka rahasia pasien oleh dokter 
merupakan salah satu masalah klasik di bidang kedokteran, 
sehingga dalam banyak naskah kedokteran/kesehatan didapati 
ketentuan-ketentuan yang prinsipnya melarang dokter untuk 
membuka rahasia pasiennya, yang oleh pasien telah diungkapkan 
kepada dokter yang bersangkutan. Beberapa ketentuan yang 
dimaksud antara lain adalah :
˥ Pasal 322 KUHP :
“Barangsiapa dengan sengaja membuka suatu rahasia 
yang wajib ia simpan sebab  jabatan atau pekerjaannya, 
baik sekarang maupun yang dahulu, dihukum dengan 
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda . . .”.
˥ Deklarasi Jenewa (pertemuan membicarakan Hukum 
Kesehatan Sedunia dan Kode Etik Kedokteran 
Internasional) :
“. . . saya akan menjaga rahasia yang diberikan kepada 
saya, bahkan setelah pasien meninggal dunia . . .”.
˥ Lafal Sumpah Dokter :
“Demi Allah saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan 
merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui sebab  
pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai dokter”.
˥ Pasal 51 huruf c UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang 
Praktik Kedokteran :
“Dokter atau dokter gigi dalam melakukan  praktik 
kedokteran memiliki  kewajiban merahasiakan 
segala sesuatu yang diketahui tentang pasien 
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia”.
Perlindungan terhadap kerahasiaan yang timbul dari 
hubungan antara dokter dan pasien yang dilakukan dalam rangka 
melindungi hak-hak pasien, yaitu :
˥ Hak Otonomi yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri
˥ Hak Privacy yaitu hak untuk tidak diganggu atau dicampuri 
masalah pribadinya oleh orang lain.
Rahasia Kedokteran ialah :
˥ Segala sesuatu yang disampaikan oleh pasien kepada dokter, 
yang dilakukan baik secara sadar maupun tidak sadar; atau
˥ Segala sesuatu yang telah diketahui oleh dokter sewaktu 
mengobati dan merawat pasien (yang telah diketahui 
berupa informasi; pengkuan; dokumen; hasil laboratorium; 
komunikasi; hasil investigasi; hasil observasi’ hasil diagnostik 
maupun terapeutik, dll).
Aspek hukum dari Hak atas Rahasia Kedokteran ada 2, yaitu :
˥ Aspek Hukum Pidana, jika memenuhi rumusan delik Pasal 
322 ayat (2) KUHP yang merupakan delik aduan, maka 
dokter dapat digugat.
˥ Aspek Hukum Perdata, jika memenuhi Pasal 1365 
KUHPerdata yaitu melakukan wanprestasi atau perbuatan 
yang bertentangan dengan hukum dan sebab  memicu  
kerugian, maka dokter dapat digugat.
Para dokter seringkali dihadapkan pada kondisi yang serba 
salah. contoh  dokter ABRI/POLRI atau dokter perusahaan, yang 
diperintahkan oleh atasannya untuk memberi  keterangan 
atau penjelasan tentang penyakit dan riwayat penyakit para 
anggota ABRI/POLRI atau para pegawai perusahaan yang 
diketahui atau dimiliki oleh para dokter ini . Kondisi serba 
salah ini  dikaitkan dengan:
˥ Pasal 51 KUHP :
» orang yang melakukan tindak pidana sebab  menjalankan 
perintah jabatan (perintah atasan yang berwenang)
» orang yang melakukan tindak pidana sebab  menjalankan 
perintah yang disangka perintah jabatan (menyangka 
perintah atasan).
˥ Presumed Consent ; contoh  untuk menjadi anggota 
ABRI maka segala data diri harus diketahui oleh instansi 
atau atasannya, termasuk rahasia kesehatannya.
Namun ada beberapa hal yang memungkinkan dapat 
dikesampingkannya hak atas Rahasia Kedokteran dari pasien 
yaitu : 
1. Bila ada undang-undang yang khusus mengaturnya. Contoh 
: Undang-Undang tentang Penyakit Menular;
2. Bila keadaan pasien dapat membahayakan umum atau orang 
lain. contoh  sopir yang berpenyakit ayan atau perawat yang 
berpenyakit sifilis;
3. Bila pasien telah memperoleh hak sosialnya. Contoh : pasien 
telah mendapat tunjangan khusus atas penyakit yang 
dideritanya, dari perusahaan;
4. Bila ada izin yang telah diberikan oleh pasien (lisan atau 
tertulis);
5. Bila pasien memberi kesan ‘mengizinkan’ kepada dokter. 
contoh , pasien membawa teman/pendamping ke ruang 
prakterk dokter;
6. Bila diperlukan untuk kepentingan umum atau kepentingan 
yang lebih tinggi. Contohnya : pengumuman keadaan 
kesehatan Presiden.

Kewajiban Dokter
Pada umumnya Kewajiban Dokter dibedakan ke dalam tiga 
kelompok, yaitu :
1. Kewajiban yang Berhubungan dengan Fungsi Sosial
dari pemeliharaan kesehatan (health care) yaitu kewajiban 
dokter untuk memperhitungkan faktor-faktor kepentingan 
masyarakat, contoh  :
» berhati-hati dalam mendistribusikan persediaan obat 
yang tinggal sedikit di tempat dimana ia bekerja;
» dapat memperhitungkan keadaan pasien dan daya 
tampung RS yang akan ditunjuk untuk opname pasien;
» mempertimbangkan apakah akan menulis resep atau 
tidak, terhadap obat yang tidak terlalu penting bagi 
pasien;
» mempertimbangkan untuk menuliskan hal-hal yang 
diperlukan demi penyembuhan yang sesuai dengan 
kesanggupan (daya beli) pasien.
2. Kewajiban yang Berhubungan dengan Hak-Hak Pasien, 
terutama beberapa hak pasien yang harus dihormati oleh  seseorang  dokter dalam melakukan  suatu transaksi 
terapeutik, yaitu :
» Hak Atas Informasi ; dokter wajib menjelaskan kepada 
pasien atau keluarga pasien, diminta atau tidak, mengenai 
penyakit, pengobatan atau Tindakan Medis yang akan 
dilakukan, resiko dan efek samping yang mungkin 
terjadi, keuntungan serta prognosa dari Tindakan Medis 
yang dilakukan ini .
» Hak memberi  persetujuan Tindakan Medis; dokter 
wajib mendapatkan persetujuan dari pasien atau 
keluarga- nya untuk pelaksanaan Tindakan Medis atau 
pengobatan.
» Hak Atas Rahasia Kedokteran ; dokter wajib merahasiakan 
segala hal yang disampaikan oleh pasien secara sadar 
maupun tidak, dan segala yang diketahui oleh dokter 
sewaktu mengobati dan merawat pasiennya.
3. Kewajiban yang Berhubungan dengan Standar Profesi 
Kedokteran, yaitu dokter wajib bekerja sesuai dengan 
standar profesi medis yang dipunyainya, artinya bahwa 
dokter dalam memberi pelayanan kesehatan dituntut untuk 
senantiasa bertindak secara teliti dan seksama.
Di dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
juga mengatur biasanya tentang kewajiban-kewajiban 
dokter, sbb:
1. Kewajiban Umum (Pasal 1-9)
» Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan 
mengamalkan Sumpah Dokter.» Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya 
menurut ukuran yang tertinggi.
» Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang 
dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan 
keuntungan pribadi.
» Tiap perbuatan atau nasihat yang mungkin melemahkan 
daya tahan makhluk insani (jasmani maupun rohani) 
hanya diberikan untuk kepentingan penderita.
» Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam 
mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik 
atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya.
» Seorang dokter hanya memberi  keterangan atau 
pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya.
» Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter 
harus mengutamakan /mendahulukan kepentingan 
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan 
kesehatan yang menyeluruh, serta berusaha menjadi 
pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenarnya.
» Setiap dokter dalam bekerjasama dengan para pejabat di 
bidang kesehatan dan bidang lainnya, serta masyarakat, 
harus memelihara saling penertian sebaik-baiknya.
2. Kewajiban Terhadap Penderita (Pasal 10-14)
» Setiap dokter harus senantiasa mengingat kewajibnnya 
melindungi hidup makhluk insani
» Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan menggunakan 
segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentigan 
penderita. Jika ia tidak mampu melakukan pemeriksaan/
pengobatan, maka ia wajib merujuk kepada dokter lain 
yang memiliki  keahlian tentang penyakit ini .
» Setiap dokter harus memberi  kesempatan kepada 
penderita agar dapat berhubungan dengan keluarga 
dan penasihatnya, dalam beribadah atau dalam masalah 
lainnya
» Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang 
diketahuinya tentang penyakit seorang penderita, 
bahkan juga setelah penderita itu meninggal.
» Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat 
sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali ia yakin 
ada orang lain yang mampu dan bersedia memberi  
pertolongan.
3. Kewajiban Terhadap Teman Sejawat (Pasal 15 & 16)
» Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya 
sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
» Setiap dokter tidak boleh mengambil alih penderita dari 
teman sejawatnya tanpa persetujuan temannya itu.
4. Kewajiban Terhadap Diri Sendiri
» Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya 
dapat bekerja dengan baik.
» Setiap dokter hendaklah senantiasa mengikuti 
perkembangan ilmu pengetahuan dan tetap setia kepada 
cita-cita yang luhur.Hak Dokter
1. Hak untuk bekerja menurut standar profesi medis.
Jika bekerja tidak sesuai dengan standar profesi medis maka 
hasilnya mungkin tidak akan sebaik hasil standar profesi 
medis yang lebih tinggi. Akibatnya, dokter akan didakwa 
melakuakan malpraktik. Oleh sebab  itu dokter berhak 
menolak untuk melakukan suatu tindakan medis tertentu 
meskipun pasien mendesaknya.
2. Hak untuk menolak melakukan suatu tindakan medis yang 
tidak dapat dipertanggungjawabkan secara profesional.
contoh  : menolak permintaan untuk melakukan aborsi 
atau euthanasia dari pasiennya.
3. Hak unuk menolak suatu tindakan medis yang menurut 
suar hatinya (conscience), tidak baik. Dalam hal ini dokter 
dikatakan bertindak sesuai sa science et sa conscience. 
contoh  : seorang dokter (pria) menolak untuk memasang 
alat kontrasepsi pada pasien (perempuan).
4. Hak untuk mengakhiri hubungan dengan pasien, kecuali 
keadaan gawat darurat.
5. Hak atas privacy dokter, yang merupakan kewajiban paien 
untuk meghormatinya.
6. Hak atas itikad baik pasien, yaitu hak dokter untuk 
memperoleh informasi dan kemauan pasien menuruti saran 
dokter untuk kesembuhannya.
7. Hak atas balas jasa/honorarium.
8. Hak atas pemberian penjelasan lengkap tentang penyakit yang diderita pasien.
9. Hak untuk membela diri jika pasien tidak puas terhadap hasil 
kerja dokter yang bersangkutan.
10. Hak untuk memilih pasien (tidak mutlak berlaku jika 
statusnya dalam ikatan dinas.
11. Hak menolak memberi  keterangan tentang pasiennya di 
pengadilan (menolak memberi kesaksian di pengadilan).
Catatan :
Beberapa ketentuan di dalam KUHP yang berkaitandengan 
Hak Dokter, yaitu :
˥ Pasal 224 KUHP; tentang kewajiban untuk memberi  
kesaksian di persidangan;
˥ Pasal 170 ayat (1) KUHAP : tentang 4 kelompok orang yang 
berhak menolak memberi kesaksian yaitu : Dokter, Notaris, 
Pengacara, dan Pejabat Keagamaan (Pastor).
Di beberapa negara, masalah kesejatan masih diatur sendiri 
oleh masyarakatnya (self regulation). namun  di banyak negara, 
pemeliharaan kesehatan telah diatur oleh negara dalam bentuk 
peraturan perundang-undangan, sebab pemeliharaan kesehatan 
ini  telah menjadi tanggung jawab negara/pemerintah. 
Kepentingan hukum pihak penerima pelayanan kesehatan sama 
beratnya dengan kepentingn hukum yang dibutuhkan oleh pihak 
pemberi layanan kesehatan.
Hak dan kewajiban dokter dan pasien perlu pula diatur dalam 
bentuk peraturan perundang-undangan dengan tujuan :
1. Melindungi kepentingan masyarakat agar mendapat pelayanan kesehatan yang berkualitas dan mengatur batas 
antara hak dan kewajiban pasien secara jelas sesuai budaya 
nasional.
2. memberi  kepastian hukum kepada tenaga kesehatan 
yang memberi pelayanan kesehatan dengan mengatur 
batas kewenangan, hak, dan kewajiban mereka sesuai 
perkembangan ilmu kesehatan/kedokteran.


Salah satu hak pasien yang menjadi kewajiban pihak 
dokter atau rumah sakit untuk menjaga kerahasiaannya 
adalah hak atas rahasia kedokteran. Rekam medis 
merupakan salah satu dari rahasia kedokteran ini . Namun, 
meskipun rekam medis ini  berisikan rahasia kedokteran 
yang menjadi hak pasien, tidaklah berarti bahwa rekam medis 
ini  menjadi milik pasien sendiri.
Menurut standar yang universal, rekam medis adalah milik 
institusi kesehatan yang membuatnya dan disimpan oleh institusi 
ini . Jika pasien maupun dokter ingin mengambil data dari 
rekam medis ini , maka ada tata cara yang harus dipenuhi 
lebih dahulu.

Ada bermacam-macam definisi mengenai Rekam Medis. 
Intinya, Rekam Medis adalah sarana yang mengandung informasi 
tentang penyakit dan pengobatan pasien yang ditujukan untuk 
menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Informasi 
yang dicatat di dalam Medical Record seharusnya dapat menjawab 
pertanyaan mengenai : siapa yang dirawat, kapan, dimana, oleh 
siapa, bagaimana pengobatannya, siapa yang memberi obat, dan 
bagaimana reaksi akibat obat atu pengobatan ini .
Kegiatan memberi layanan kesehatan oleh pihak pemberi 
layanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter baik yang 
dilakukan secara pribadi maupun yang dilakukan di Rumah 
Sakit/Puskesmas, tentu erat kaitannya dengan pemberian 
layanan Rekam Medis. Pemberian layanan Rekam Medis 
semakin dirasakan perlu di pusat-pusat pelayanan kesehatan. 
Adanya kegiatan Rekam Medis yang baik semakin disadari dapat 
menunjang kemajuan di dunia kedokteran.
Menurut Edna K. Huffman, manfaat atau kegunaan 
Rekam Medis antara lain sebagai berikut :
1. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan ahli-ahli kesehatan 
lainnya dalam merawat pasien;
2. Merupakan dasar perencanaan peerawatan pasien;
3. Sebagai alat bukti dari setiap masa perawatan atau berobat 
jalan;
4. Sebagai dasar analisa, studi, evaluasi terhadap mutu 
pelayanan yang diberikan kepada pasien;
5. Membantu melindungi kepentingan hukum dari pasien, 
rumah sakit, dan dokter,
6. memberi  data klinis sebagai kegunaan riset maupun 
pendidikan;
7. memberi  informasi kepada pihak ketiga (terutama pasien 
dan atau keluarganya);
8. Sumber perencanaan medis dan non medis bagi instansi  pelayanan kesehatan di masa mendatang (Gemala Hatta).
Menurut Amri Amir, untuk memudahkan mengingat 
manfaat (value) yang begitu banyak dari Rekam Medis maka 
ada sementara orang yang menyingkatkan manfaat rekam 
medis (Medical Record Value) ini  menjadi ALFRED yang 
berarti : Administrative, Legal, Financial, Research, Education and 
Documentary.
Manfaat ini  dapat dijelaskan sebagai berikut :
A : Administrative Value (Manfaat Administrasi)
Pihak administrator, tenaga medis maupun paramedis 
dapat menjalankan kegiatan pelayanan dengan baik 
dengan adanya pencatatan (administrasi) yang baik. 
Termasuk pula jika timbul masalah menyangkut kebijakan 
dan tindakan pejabat yang berwenang selama memegang 
jabatan dalam upaya mencapai tujuan administrasi.
L : Legal Value (Manfaat perlindungan hukum)
Jika timbul tuntutan dari pasien atau keluarganya 
terhadap dokter/rumah sakit, maka Medical Record 
merupakan bukti-bukti yang akan menjadi pegangan bagi 
dokter/rumah sakit yang berisikan tentang apa, siapa, 
kapan, dan bagaimana tindakan medik itu berlangsung.
Rekam Medis tidak saja memberi  perlindungan kepada 
kepentingan hukum dokter dan rumah sakit, namun  
juga untuk kepentingan hukum pasien dan keluarganya.
F : Financial or Fiscal Value (Manfaat Anggaran)
Menginformasikan data biaya yang harus ditanggung 
oleh pasien selama dalam perawatan (rentetan kegiatan  pelayanan medis). Manfaatnya ke depan adalah dapat 
dipakai sebagai perencanaan keuangan (anggaran) untuk 
perawatan dan pemeliharaan kesehatan di masa mendatang.
R : Research Value (Manfaat Penelitian)
Dapat dikatakan bahwa semua penyakit dan perjalanannya 
serta pengaruh terapi/pengobatan yang berasal dari 
data rekam medis, dapat digunakan sebagai objek 
penelitian untuk ilmu pengetahuan khususnya di bidang 
kesehatan dan dunia kedokteran. Namun data untuk 
penelitian yang dapat diambil hanyalah data yang 
memang telah dipersiapkan untuk kepentingan riset ini.
E : Education Value (Manfaat Pendidikan)
Medical record yang berisi dan informasi tentang perkembangan 
dan kronologis kegiatan medis yang diberikan kepada pasien 
dapat digunakan sebagai bahan pendidikan dan pengajaran.
D : Documentary Value (Manfaat Pengarsipan)
Semua bahan/data hasil pengamatan (rekaman) 
dikumpulkan, ditata, dan disiapkan untuk dapat langsung 
dipergunakan setiap saat bila tiba-tiba diperlukan. 
Bentuknya dapat tertulis, foto, hasil ECG, EEG, dan lain-lain.
Manfaat rekam medis ini  di atas baru memiliki  arti 
ALFRED jika para pemberi layanan kesehatan mengurut dengan 
baik dan benar segala rekaman kegiatan tindakan medis yang 
diberikan kepada pasien.
Dasar Hukum
Perkembangan rekam medis di Indonesia dapat dihubungkan 
dengan beberapa Keputusan Menteri Kesehatan RI yaitu :
1. Kepmenkes RI Nomor 031/Birhup/1972 yang menyatakan 
agar semua rumah sakit diharuskan mengerjakan medical 
recording dan reporting, serta hospital statistic.
2. Kepmenkes RI Nomor 034/Birhup/1972 tentang Perencanaan 
dan Pemeliharaan Rumah Sakit, yang menyatakan: “guna 
menunjang terselenggaranya Rencana Induk (Master Plan) 
yang baik, maka setiap rumah sakit diwajibkan :
a. memiliki  dan merawat statistik yang up to date,
b. membina medical record yang berdasarkan ketentuan￾ketentuan yang telah ditetapkan.
3. Kepmenkes RI Nomor 134/Menkes/SK/IV/78 tentang 
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Umum, yang 
menyatakan : “Sub bagian pencatatan medis memiliki  
tugas mengatur pelaksanaan kegiatan pencatatan medis”,
4. Fatwa IDI tentang Rekam Medis (SK Nomor 315/PB/A.4/88-
8 Februari 1988) yang menekankan bahwa praktek profesi 
kedokteran harus melakukan  rekam medis. Fatwa IDI 
juga mengemukakan beberapa masalah rekam medis yang 
harus diketahui oleh tenaga kesehatan;
5. SK Menteri Kesehatan Nomor 749 a/Menkes/Per/XII/1989 
tentang Rekam Medis (Medical Record). Dalam SK ini 
tersurat adanya kewajiban bagi tenaga kesehatan untuk 
melakukan  Rekam Medis.
Selain beberapa Kepmenkes yang membahas tentang 
kewajiban mengadakan atau melakukan rekam medis, ada 
juga beberapa ketentuan hukum yang menjamin kerahasiaan 
informasi yang terkandung dalam rekam medis, yaitu :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib 
Simpan rahasia Kedokteran;
2. Pasal 322 KUHP :
3. Pasal 1365 KUHPerdata;
4. Pasal 1367 KUHPerdata.
C. Isi dan Persyaratan
Pada umumnya tempat-tempat pemberi layanan kesehatan 
memiliki  2 bentuk pelayanan yaitu rawat jalan dan rawat inap. 
Kedua bentuk pelayanan inilah yang melakukan pencatatan 
rekam medis. Hanya saja pada rekam medis rawat inap, pada 
umumnya isinya/informasinya lebih lengkap.
Isi rekam medis seharusnya memuat informasi yang 
lengkap tentang :
1. Identitas dan formulir perijinan (Lembar Hak Kuasa);
2. Riwayat penyakit;
3. Laporan pemeriksaan fisik;
4. Instruksi diagnostik dan terapeutik dengan tanda tangan 
pejabat kesehatan yang berwenang :
» bila dalam keadaan darurat dokter yang bertanggung 
jawab untuk mencatat langsung RM dan menitipkan 
pada seseorang, maka dokter ini  wajib dalam 24 
jam untuk memeriksa dan menandatangani catatan 
dalam berkas RM yang memuat instruksi tidak langsung 
ini ,
» Bila catatan ini  mengandung salah pengertian, 
maka dokter harus segera memuat koreksi di lembar 
halaman ini ;
5. Adanya catatan observasi;
6. Laporan tindakan dan penemuan :
» termasuk dari unit penunjang kesehatan : radiologi, 
laboratorium, laporan operasi, tanda tangan persetujuan 
oleh apsien, tanda tangan dokter, dll,
» laporan operasi segera dibuat setelah berakhirnya operasi 
dan memuat informasi lengkap mengenai penemuan, 
cara operasi, benda yang dikeluarkan, serta diagnosa 
pasca bedah; 
7. Resume pasien (ringkasan riwayat pulang), memuat diagnosa 
sementara dan diagnosa utama, sekunder, tersier dan 
lainnya:
» riwayat masuk dan pulang mencerminkan evaluasi 
kondisi pasien saat masuk perawatan;
» resume pasien harus dibuat oleh RS dan diteruskan ke 
dokter pengirimnya (bila ada) disertai arsip yang harus 
ada dalam berkas rekam medis ini ;
» diagnosa sementara harus dicatat dalam rekam medis 
dalam waktu 72 jam dan bila mungkin, protokol lengkap 
disiapkan dalam 3 bulan.
Beberapa persyaratan agar rekam medis yang memuat data 
dan informasi ini  menjadi berkualitas, yaitu data haruslah:
1. akurat, agar menggambarkan proses atau hasil akhir yang 
diukur secara benar;
2. lengkap, agar mencakupi seluruh karakteristik pasien;
3. dapat dipercaya, agar dapat digunakan dalam berbagai 
kepentingan;
4. valid, sah dan sesuai dengan gambaran atau proses akhir 
yang diukur;
5. tepat waktu, agar dapat dilaporkan mendekati waktu 
pelayanan;
6. dapat digunakan, sebab  menggunakan gambaran bahasa 
dan bentuk yang memungkinkan terjadinya interpretasi, 
analisis dan pengambilan keputusan;
7. seragam, agar efisiensi delemen data dan penggunaannya 
konsisten dengan definisi di luar organisasi;
8. dapat dibandingkan, agar dapat terevaluasi dengan 
menggunakan referensi data dasar yang berkaitan dengan 
sumber-sumber riset dan literatur;
9. terjamin, agar terjaga kerahasiaan informasi spesifik pasien;
10. mudah diperoleh, baik melalui komunikasi langsung dengan 
tenaga kesehatan, pasien, dan sumber-sumber lain.
D. Masa Penyimpanan
Penyimpanan berkas rekam medis yang dibuat setiap 
hari tanpa ada pengurangan, akan memicu  masalah 
penumpukan dan penimbunan. Namun pemusnahannya tidak dapat dilakukan begitu saja.
Berdasarkan PerMenKes Nomor 749 a Tahun 1989 tentang 
Rekam Medis, pada Pasal 7 dijelaskan bahwa :
(1) Lama penyimpanan rekam medis sekurang-kurangnya dalam 
jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung dari tanggal terakhir 
pasien berobat,
(2) Lama penyimpanan rekam medis yang berkaitan dengan 
hal-hal yang bersifat khusus dapat ditetapkan tersendiri.
Pasal 8 menjelaskan :
(1) Setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada Pasal 
7 dilampaui, rekam medis dapat dimusnahkan,
(2) Tata cara pemusnahan sebagaimana dimaksud ayat (1) 
ditetapkan oleh Dirjen.
Sarana-sarana atau tempat-tempat pelayanan kesehatan 
yang ada dan tersebar di berbagai tempat merupakan 
salah satu wujud dan peran serta pemerintah dan 
masyarakat dalam memberi  perhatian di bidang kesehatan. 
Dan, salah satu bentuk sarana pelayanan kesehatan adalah 
Rumah Sakit.
A. Fungsi Rumah Sakit
Rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan memiliki  
banyak fungsi yang ditinjau dari beberapa aspek, yaitu :
˥ Menurut Permenkes Nomor 159 b/Menkes/Per/II/1988, 
fungsi rumah sakit adalah :
1. menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan medik, 
pelayanan penunjang medik, pelayanan perawatan, 
pelayanan rehabilitasi, pencegahan dan peningkatan 
kualitas kesehatan;
2. sebagai tempat pendidikan dan atau latihan tenaga 
medik;3. sebagai tempat penelitian dan pengembangan ilmu dan 
teknologi bidang kesehatan.
˥ Menurut Kepmenkes Nomor 983/Menkes/SK/XI/1992 
tentang Pedoman Rumah Sakit Umum, fungsi rumah sakit 
adalah :
1. menyenggarakan pelayanan medik;
2. menyelenggarakan pelayanan penunjang medik;
3. menyelenggarakan pelayanan dan asuhan keperawatan;
4. menyelenggarakan pelayanan rujukan;
5. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan;
6. menyelenggarakan penelitian dan pengembangan;
7. menyelenggarakan administrasi umum dan keuangan.
˥ Menurut Hudenberg, rumah sakit berfungsi sebagai :
1. sistem penginapan pasien;
2. sistem pengobatan;
3. sistem pemasokan;
4. sistem kerumahtanggaan;
5. sistem instalasi;
6. sistem pengusahaan. 
˥ Menurut Durbin & springall, rumah sakit berfungsi sebagai :
1-6, sama dengan pendapat Hudenberg;
7. sarana pendidikan dokter.
˥ Catatan tambahan :
Rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan selain 
sebagai konsentrasi berbagai tenaga ahli atau lembaga padat karya, juga sebagai lembaga padat modal, padat 
teknologi, dan padat waktu. Oleh sebab  itu, rumah 
sakit selain sebagai tempat rawat inap bagi orang yang 
mengalami gangguan kesehatan, juga banyak dimanfaatkan 
untuk menangani masalah kesehatan dan juga sebagai 
tempat pendidikan dan penelitian bidang kedokteran.
Rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan , menurut 
jenis dan tipe (akreditasi)nya dibedakan atas :
1. Rumah Sakit Khusus, yaitu antara lain : RS Mata, RS Jiwa, 
RS Jantung, RS Paru-paru, RS Kusta, dll.
2. Rumah Sakit Umum, yaitu :
a. RSU Kelas “A”, yaitu rumah sakit yang memberi  
pelayanan spesialisasi dan subspesialisasi lengkap dalam 
jumlah yang relatif lebih lebih banyak daripada RSU 
Kelas “B”.
b. RSU Kelas “B”, yaitu rumah sakit yang memberi semua 
jenis pelayanan spesialisasi lengkap dan beberapa di 
antaranya juga memberi  pelayanan subspesialisasi 
tertentu.
c. RSU Kelas “C”, yaitu rumah sakit yang memberi  
pelayanan minimal 4 jenis spesialisasi yakni bedah, 
kebidanan & kandungan, anak, dan penyakit dalam. 
Dilengkapi juga dengan kemampuan di bidangMedik 
Penunjang, yakni spesialisasi radiologi, anestesi, dan 
patologi.
d. RSU Kelas “D”, yaitu rumah sakit yang pada umumnya 
pelayanan diberikan oleh dokter umum. Dokter yang
mampu memberi  pelayanan spesialis jumlahnya 
terbatas.
B. Tanggung jawab Rumah Sakit
Bentuk pertanggungjawaban rumah sakit sangat bergantung 
pada bagaimana bentuk/wadah rumah sakit ini . Beberapa 
hal umum yang menjadi tanggung jawab rumah sakit adalah :
˥ Kewajiban sekaligus tanggung jawabnya untuk menyediakan 
peralatan medik yang baik,
˥ Termasuk tindakan dari para karyawan (dokter, perawat, 
bidan, tenaga kesehatan dan tenaga administrasi), jika sampai 
memicu  kerugian bagi pihak pasien atau keluarganya.
˥ Untuk memberi  perawatan yang lazim dan wajar untuk 
melengkapi dirinya dengan peralatan-peralatan dan fasilitas 
secara wajar dan pantas, untuk dipakai atau dipergunakan 
dalam kondisi umum, dan situasi yang sama dalam wilayah 
rumah sakit ini .
Di dalam penjelasan Pasal 2 Kode Etik Rumah Sakit (Kodersi), 
diatur mengenai kewajiban rumah sakit untuk mengawasi dan 
bertanggung jawab terhadap semua kejadian di rumah sakit. 
Sedangkan Pasal 8 Kodersi mengatur mengenai tanggung jawab 
rumah sakit terhadap lingkungan pada saat menjalankan fungsi 
operasionalnya. Tanggung jawab yang dimaksud adalah :
a. Tanggung jawab umum merupakan kewajiban pimpinan 
rumah sakit menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai 
permasalahan-permasalahan, peristiwa, kejadian, dan 
keadaan di rumah sakit;
b. Tanggung jawab khusus meliputi tanggung jawab hukum, 
etik, dan tata tertib atau disiplin, yang muncul jika ada 
anggapan bahwa rumah sakit telah melanggar kaidah-kaidah, 
baik dalam bidang hukum, etik, maupun tata tertib atau 
disiplin.
c. Tanggung jawab agar tidak terjadi pencemaran yang 
memicu  kerugian bagi masyarakat, sebab dalam 
operasi analisasi rumah sakit banyak menggunakan maupun 
dapat menghasilkan bahan-bahan berupa limbah yang 
dapat mencemari lingkungan, memicu  gangguan, 
mengancam dan membahayakan kehidupan manusia.
d. Tanggung jawab agar tidak terjadi penyimpangan ataupun 
penyalahgunaan teknologi kedokteran yang dapat merugikan 
pasien.
Hukum menurut artinya dapat diartikan dalam tiga hal, 
yaitu adil, peraturan perundang-undangan, dan hak. 
Hukum dalam arti yang pertama dan ketiga biasanya 
disebut sebagai hukum subjektif, sedang hukum dalam arti 
yang kedua disebut sebagai hukum objektif. Hukum dalam 
arti yang kedua inilah yang akan dibahas berkaitan dengan 
tujuannya untuk mencapai suatu kehidupan dalam masyarakat 
yang tenteram dan sejahtera.
Dalam kaitannya dengan sistem sosial, hukum objektif 
memiliki  3 fungsi yaitu :
1. menjaga keseimbangan susunan masyarakat;
2. mengukur perbuatan-perbuatan manusia dalam masyarakat, 
apakah sesuai dengan norma-norma hukum yang telah 
ditetapkan;
3. mendidik manusia akan kebenaran, perasaan serta perbuatan 
yang benar dan yang tidak menurut ukuran-ukuran yangtelah ditetapkan itu.
Hukum objektif diartikan sebagai rangkaian peraturan yang 
mengatur berbagai macam perbuatan, yang boleh dilakukan 
dan yang dilarang, siapa yang melakukannya serta sanksi apa 
yang dijatuhkan terhadap pelanggaran atas peraturan ini . 
Bidang hukum yang mengatur hukum objektif ini adalah bidang 
hukum pidana. Sedang bidang hukum yang mengatur perbuatan 
manusia pribadi secara perseorangan termasuk dalam bidang 
hukum perdata.
Keinginan untuk mengembangkan dan memajukan ilmu 
pengetahuan dan teknologi termasuk di dunia kesehatan/
kedokteran tidaklah dapat membuat para ilmuwan dan pemberi 
layanan di bidang kesehatan dan kedokteran melupakan etika￾etika di bidang ini .
Jika ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan 
dan kedokteran ini diterapkan dalam masyarakat, maka 
akan memicu  pro-kontra antara bidang kesehatan atau 
kedokteran yang berpatokan pada etika-etika kesehatan 
atau kedokteran ini  dengan bidang hukum yang ingin 
mewujudkan fungsi dan tujuannya. Sebab, baik etika maupun 
hukum, bertujuan untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan 
umat manusia. Adanya pro-kontra mengenai boleh tidaknya 
penerapan pengembangan ilimu dan teknologi kedokteran inilah 
yang memicu  problema etika.
Beberapa tantangan dalam dunia kedokteran antara lain 
adalah diagnosa matinya seseorang, transplantasi organ tubuh 
manusia, kloning organ manusia dan janin, konsep bayi tabung, dan euthanasia.
B. Diagnosa Matinya Seseorang
Diagnosa matinya seseorang akan berdampak pada tindakan 
penghentian tindakan medis atau penghentian upaya-upaya 
untuk penyembuhan dan mempertahankan hidup sesorang. Hal 
ini berarti pula bahwa obat-obatan dan alat-alat yang terpasang 
pada tubuh pasien yang ditujukan untuk memperpanjang hidup 
manusia dipandang sudah tidak ada gunanya lagi dipasang atau 
dipertahankan. Padahal dalam sumpah Hippocrates yang menjadi 
dasar Kode Etik Kedokteran di seluruh dunia terkandung nilai￾nilai luhur agar Sang Penyelamat selalu berusaha menyelamatkan 
hidup manusia (si Penderita), sekecil apapun harapan hidupnya 
dan tidak boleh berhenti sampai si Penderita benar-benar mati.
Ada beberapa konsep tentang mati, yaitu :
1. Mati sebagai berhentinya darah mengalir. Pandangan 
ini bertolak dari kriteria mati sebab  berhentinya jantung 
memompakan darah ke seluruh tubuh (pandangan ini telah 
dipandang ketinggalan zaman).
2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh. Konsep 
ini bertolak dari anggapan bahwa sekali nyawa terlepas 
dari tubuh manusia, tidak mungkin lagi manusia dapat 
menariknya kembali. Padahal nyawa dipandang lepas saat 
darah berhenti mengalir (pandangan ini pun dianggap sudah 
tidak tepat lagi).
3. Mati sebagai hilangnya kemampuan tubuh secara 
permanen (Irreversible loss of ability), yaitu fungsi￾fungsi organ tubuh yang semula bekerja secara terpadu kini berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali. Hal ini dipicu  
fungsi otak sebagai pusat pengendali saraf sudah rusak, 
sehingga tidak mampu lagi mengendalikan saraf organ￾organ tubuh. Pendapat ini didasarkan pada pengalaman 
dalam teknologi transplantasi. Timbul pertanyaan : benarkah 
seseorang dipandang telah mati jika organ-organ tubuhnya 
yang masih berfungsi itu, tidak padu lagi bekerjanya ?
4. Mati sebagai hilangnya kemampuan manusia secara 
permanen untuk kembali sadar dan melakukan 
interaksi sosial. Pandangan ini merupakan pengembangan 
dari konsep Irreversible loss of ability. Konsep ini tidak lagi 
melihat apakah organ-organ tubuh yang lain masih berfungsi 
atau tidak, namun  ingin mengetahui apakah otaknya masih 
mampu atau tidak menjalankan fungsi pengendalian, baik 
secara jasmani maupun sosial. Kepentingan transplantasi 
tidak lagi menjadi pertimbangan utama meskipun tetap tidak 
dilupakan.
Kematian dipastikan telah terjadi jika dokter menemukan 
otak manusia tidak berfungsi atau mati (brain death), 
meskipun organ lain masih berfungsi akibat tindakan dokter.
Ada pula yang menyebut kriteria mati sebagai berikut :
» Tidak ada lagi respon (reaksi) sama sekali terhadap suatu 
rangsangan yang diberikan dari luar maupun dari dalam 
(unreceptive and unresponsive).
» Tidak ada lagi pernafasan dan gerak otot.
» Tidak ada lagi refleks.
» Electro EncephaloGram (EEG) mendatar.Menurut ahli forensik, dr. Mun’im Idris, bahwa :
» Tanda-tanda Mati dini :
1. Peredaran darah berhenti
2. Pernafasan berhenti
3. Refleks mata hilang
4. Muka pucat
5. Otot lemas
» Perubahan selanjutnya :
1. Suhu tubuh menurun
2. Lebam Mayat (levoris mortis), terdapat di bagian￾bagian terendah tubuh sebagai bercak-bercak biru 
ungu. Timbul setelah 1-3 jam kematian, 7-8 jam 
setelah kematian akan hilang bila ditekan.
3. Kaku Mayat (rigor mortis), timbul 2-4 jam setelah 
kematian, mulai dari rahang ke bagian bawah 
tubuh dan lengkap menjadi kaku setelah 12 jam 
dari terjadinya kematian. Lalu setelah 24-48 jam 
dari saat kematian, menghilang dengan urut-urutan 
yang sama. Jika setelah 48 kematian kaku mayat 
belum juga hilang, hal ini bukanlah kaku mayat 
yang sebenarnya namun  terjadi penegangan yang 
dipicu  oleh gas-gas pembusukan yang ada pada 
atau di sekitar tubuh mayat.
C. Transplantasi Organ Tubuh
Pencangkokan (transplantasi) organ kini tidak lagi menjadi 
hal yang luar biasa. Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan kini dapat dilakukan dengan transplantasi organ dan 
atau jaringan tubuh. Kemajuan teknologi pencangkokan organ 
kemudian disadari telah memicu  berbagai problema etika, 
contoh  :
˥ hak donor hidup untuk memberi  organ tubuhnya, 
menyangkut persetujuan terhadap penentuan waktu 
kematian, kebutuhan atas perhatian istimewa terhadap 
donor, dan konsekuensi psikologi terhadap hubungan 
organik yang ada antara donor dan reseptor;
˥ pencangkokan organ yang berasal dari organ binatang, 
menyangkut kepercayaan agama, etika, dan hukum. contoh  
menurut ajaran agama Islam, pencangkokan organ yang 
berasal dari binatang apapun terlebih seperti babi (yang 
haram untuk dimakan), tidak dapat diterima sebab manusia 
adalah makhluk yang paling mulia sehingga sangat tidak 
sesuai bila manusia disisipi tubuhnya dengan organ binatang;
Malpraktik adalah terjemahan dari kata Malpractice. 
Mal berarti salah atau buruk atau jelek, sehingga 
malpraktik merupakan suatu istilah yang berkonotasi 
buruk, bersifat stigmatis, dan menyalahkan. Malpraktik dapat 
diartikan sebagai praktik buruk dari seseorang yang memegang 
suatu profesi, dalam arti umum. Dalam arti lain, malpraktik 
adalah sikap tindak professional yang salah dari seseorang yang 
berprofesi seperi dokter, ahli hukum, akuntan, dokter gigi, 
dokter hewan, dll.
Malpraktik yang dilakukan oleh profesional di dunia 
kedokteran/kesehatan sering juga dikenal dengan istilah 
malpraktik medis. Malpraktik medis (medical malpractice) 
memiliki  beberapa pengertian sebagai berikut :
˥ Salah mengobati; tindakan salah; cara mengobati pasien yang 
salah (kamus Inggris-)ndonesia);
˥ Kesalahan tindakan atau prosedur yang tidak seseuai dengan 
standar yang ditetapkan dalam proses pelayanan medis;
˥ Kesalahan dalam melakukan  profesi medis berdasarkan 
standar profesi medis (Antonius P. S. Wibowo);
˥ Tindakan salah oleh dokter pada waktu menjalankan 
praktik yang menyebabkan kerusakan atau kerugian bagi 
kesehatan dan kehidupan pasien atau Menggunakan keahlian 
kedokteran untuk kepentingan pribadi (Amri Amir);
˥ Kelalaian seorang dokter atau perawat untuk menerapkan 
tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam 
memberi  pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap 
seorang pasien yang lazimnya di terapkan dalam mengobati 
dan merawat orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah 
yang sama;
˥ Cara mengobati suatu penyakit atau luka yang salah 
disebab kan sikap dan tindak yang acuh, sembarangan 
atau berdasarkan motivasi kriminil (Stedman’s Medical 
Dictionary);
˥ Sikap tindak yang salah (menurut hukum); pemberian 
pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi 
medis; tindakan yang illegal untuk memperoleh keuntungan 
sendiri, sewaktu dalam posisi dipercaya.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan 
bahwa malpraktik dipandang telah terjadi jika :
1. Seorang profesional kesehatan melakukan sesuatu yang 
seharusnya tidak dilakukan oleh seorang professional 
kesehatan,
2. Seorang profesional melalaikan kewajiban atau tidak 
melakukan apa yang seharusnya dilakukan berdasarkan 
profesinya, 
3. Perbuatannya melanggar ketentuan atau peraturan 
perundang-undangan yang berkaitan dengan profesinya.
B. Malpraktik dan Kaitannya dengan Pengertian 
Standar Profesi Kedokteran
Tidak ditemukan pengertian yang tegas tentang istilah 
Standar Profesi Kedokteran. Hanya saja ada penjelasan bahwa 
Standar Profesi Kedokteran adalah bidang pekerjaan yang 
memiliki  ciri utama : keahlian profesi, tanggung jawab, dan 
kesejawatan.
Dalam menjalankan profesi Kedokteran, ada dua hal yang 
mendasari perilaku dokter, yaitu :
1. berbuat demi kebaikan pasien (doing good),
2. tidak ada niat untuk menyakiti, menciderai dan merugikan 
pasien (primum non nocere).
Menurut H.J.J. Leenen bahwa : “suatu tidakan medik seorang 
dokter adalah sesuai dengan standar profesi kedokteran jika 
tindakan itu :
1. dilakukan secara teliti dan hati-hati,
2. sesuai dengan ukuran medik (yang telah ditentukan oleh 
ilmu pengetahuan di bidang medis),
3. sesuai dengan kemampuan rata-rata yang dimiliki seorang 
dokter di bidangnya,
4. dilakukan pada situasi dan kondisi yang sama,
5. memenuhi perbandingan yang wajar atau proporsional.
Pasal 50 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran, menjelaskan bahwa yang 
dimaksud dengan :
˥ Standar Profesi adalah batasan kemampuan (knowledge, 
skill, and professional attitude) minimal yang harus dikuasai 
oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan 
profesionalnya pada masyarakat secara mandiri, yang dibuat 
oleh organisasi profesi;
˥ Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat 
instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk 
menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu, memberi  
langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus 
bersama untuk melakukan  berbagai kegiatan dan fungsi 
pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan berdasarkan 
standar profesi.
Berdasarkan uraian tentang Standar Profesi Kedokteran, 
dapat dilihat kaitannya dengan masalah malpraktik medis. Hal ini 
terlihat yakni pada saat para profesional kedokteran melakukan 
praktik-praktik di bidang kedokteran, namun  tidak sesuai dengan 
standar profesi kedokterannya, maka hal ini  dapat diartikan 
sebagai telah terjadi malpraktik medis.
Dapat disimpulkan bahwa Malpraktik adalah :
˥ setiap sikap tindak yang salah, kekurangan keterampilan 
dalam ukuran tingkat yang tidak wajar;
˥ kegagalan untuk memberi  pelayanan professional 
dan melakukan pada ukuran tingkat keterampilan dan 
kepandaian yang wajar, di dalam masyarakatnya, oleh teman 
sejawat rata-rata dari profesi itu, sehingga mengakibatkan  luka, kehilangan atau kerugian pada penerima layanan 
ini  yang cenderung menaruh kepercayaan terhadap 
mereka.
C. Aspek Pidana dan Perdata Malpraktik Medis
Malpraktik dari aspek pidana dan perdatanya dapat dibahas 
dalam tiga arti, yaitu :
a. Malpraktik dokter dalam arti sempit, yang berarti pihak 
dokter bersalah sebab  :
» adanya kesengajaan atau kelalaian (human error)
» proses hukumnya adalah proses perdata
» sanksi terhadap pihak dokter yang bersalah adalah ganti 
rugi perdata.
b. Malpraktik dokter dalam arti luas, yang berarti pihak dokter 
bersalah sebab  :
» ada kesengajaan atau kelalaian (human error)
» tindakannya termasuk pelanggaran pidana, administrasi, 
dan etika
» proses hukumnya adalah tuntutan pidana, gugatan 
perdata dan administrasi
» sanksi berupa ganti rugi perdata, sanksi-sanksi pidana 
(penjara, kurungan, denda) dan saksi disiplin organisasi 
(peringatan, pencabutan izin praktek untuk sementara 
atau selamanya).
c. Malpraktik dokter dalam arti sangat luas, yaitu tindakan 
malpraktik dalam arti luas ditambah :» adanya human error yang tidak termasuk kelalaian
» adanya tindakan (apapun) yang menyebabkan kerugian 
bagi pasien, meskipun dokter tidak dalam keadaan 
bersalah
» tindakan dokter sudah tergolong ke dalam tindakan strict 
liability (tanggung jawab mutlak).
Perbedaan Malpraktik dalam arti sempit, Kelalaian Medis, 
dan Kecelakaan Medis :
˥ Malpraktik Medis (dalam arti sempit) yaitu setiap tindakan 
medis atau pemberian layanan kesehatan yang dilakukan 
dengan SENGAJA untuk melanggar peraturan perundang￾undangan, contoh  : melakukan abortus, eutanasia, 
memberi surat keterangan medis yang isinya tidak benar, 
dsb.
˥ Kelalaian Medis yaitu tidak ada motif atau tujuan untuk 
memicu /terjadinya akibat yang merugikanpasien. 
Akibat yang timbul itu dipicu  adanya kelalaian yang 
sebenarnya terjadi di luar kehendaknya.
˥ Kecelakaan Medis, merupakan kebalikan dari kesalahan dan 
kelalaian. Kecelakaan yang terjadi tidak mengandung unsur 
yang dapat dipersalahkan, sebab  tidak dapat dicegah dan 
terjadinya tidak dapat diduga sebelumnya.
D. Jenis-Jenis Malpraktik
1. Malpraktik Kriminal (pidana) :
a. sebab  kelalaian (culpa) menyebabkan pasien mati atau 
luka (Pasal 359-361 KUHP).b. Sengaja melakukan abortus provocatus (Pasal 299, Pasal 
347, Pasal 348, Pasal 349 KUHP).
c. Melakukan pelanggaran kesusilaan (Pasal 285, Pasal 286, 
Pasal 290 KUHP)
d. Membuka rahasia kedokteran (Pasal 322 KUHP)
e. Melakukan pemalsuan surat keterangan (Pasal 263, Pasal 
267 KUHP)
f. Bersepakat melakukan tindak pidana (Pasal 221, Pasal 
304, Pasal 351 KUHP).
2. Malpraktik Sipil (perdata) :
a. Kekurangtelitian/kelalaian yang menyebabkan pihak 
menderita kerugian (Pasal 1366, 1367 KUHPdt)
b. Dokter salah mendiagnosa
3. Malpraktik Etik yang mengarah pada penyalahgunaan 
Pelayanan, dapat menjadi kasus hukum. Contoh :
a. Over-utilization dari peralatan canggih, sekedar untuk 
dapat mengembalikan pinjaman kepada leasing company;
b. Under-treatment dari pasien-pasien yang kurang mampu 
dan tidak bisa membayar, atau tidak dapat menerimanya 
dengan berbagai dalih;
c. Menambah “length of stay” pada pasien kelas VIP dengan 
alasan medik, agar income bertambah;
d. Melakukan ‘patient dumping’, yakni pasien yang tidak 
mampu dan tidak punya asuransi secepat mungkin 
disuruh pulang atau dirujuk ke RS lain, meskipun 
keadaan kesehatannya belum pulih benar/belum stabil;e. Tidak menerima pasien yang dalam keadaan ‘terminal’ 
untuk menekan ‘mortality rate’ dan menjaga nama baik 
rumah sakit;
f. Menahan-nahan pasien dan tidak merujuknya ke RS lain 
meskipun peralatan yang diperlukan untuk diagnostik 
dan terapi dari RS yang bersangkutan tidak ada atau 
tidak memadai





Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, Euthanatos. Eu 
artinya baik, thanatos artinya kematian; mati. Jadi Euthanasia 
berarti :
˥ kematian yang baik atau
˥ mati secara baik atau mati secara tenang atau
˥ mati yang menyenangkan.
Yang dimaksud dengan baik atau bagus ialah, bahwa proses 
kematian itu dijalani dengan tanpa mengalami rasa sakit atau 
penderitaan.
Bahasa kedokteran memahami euthanasia dalam arti :
˥ mati atas kehendak sendiri dengan bantuan dokter;
˥ Proses kematian euthanasia dalam hubungannya dengan 
seorang pasien yang seharusnya mendapat atau sedang 
dalam perawatan dokter, sebenarnya didasarkan pada ‘rasa 
belas kasihan’. Itulah sebabnya ada pihak yang menyebutnya 
dengan istilah ‘mercy killing’;
˥ menyudahi hidup seseorang untuk mengakhiri penderitaan sebab  penyakit yang tidak dapat lagi disembuhkan, contoh  
dengan cara ‘suntik mati’ atau memberi  ‘resep obat maut’;
˥ Euthanasia adalah perbuatan yang dengan sengaja 
memperpendek hidup ataupun dengan sengaja tidak berbuat 
untuk memperpanjang hidup demi kepentingan si pasien, 
oleh seorang dokter ataupun bawahan yang bertanggung 
jawab padanya Commisie Gezondheidsraad (Belanda).
Beberapa hal yang disamakan maksudnya dengan pengertian 
euthanasia adalah :
˥ “menghilangkan nyawa orang lain ‘sebab  permintaan yang 
dinyatakan dengan kesungguhan hati’ dari orang itu sendiri” 
(Pasal 344 KUHP).
˥ Pembunuhan yang didasarkan pada alasan ‘sebab  rasa belas 
kasihan’ (mercy killing).
˥ Perbuatan yang dengan sengaja untuk ‘tidak memperpanjang 
umur’ demi kepentingan pasien yang sudah tidak lagi 
memiliki  harapan sembuh atau hidup (euthanasia).
Unsur ‘tidak ada harapan sembuh lagi’ atau tidak ada harapan 
hidup lagi’ merupakan syarat utama dilakukannya euthanasia. 
Dalam pengertian ini, dokter dianggap melakukan euthanasia 
aktif.
B. Jenis-Jenis Euthanasia
1. Euthanasia Aktif, adalah perbuatan yang dilakukan secara 
aktif oleh dokter untuk mengakhiri hidup seseorang (pasien) 
yang dilakukan secara medis. contoh  : memberi  obat 
yang tidak sesuai peruntukannya, atau obat dosis tinggi yangbekerjanya cepat dan mematikan, atau suntik mati.
2. Euthanasia Pasif, adalah perbuatan menghentikan atau 
mengakhiri atau mencabut tindakan pengobatan yang 
seharusnya diperlukan seorang (pasien) untuk mem￾pertahankan hidupnya.
3. Euthanasia Volunter, adalah penghentian tindakan 
pengobatan atau mempercepat kematian pasien atas 
permintaan pasien sendiri.
4. Euthanasia Involunter, adalah penghentian tindakan 
pengobatan atau mempercepat kematian pasien atas 
sepengetahuan keluarga pasien sebab  pasien (yang dalam 
keadaan tidak sadar), sudah tidak memungkinkan lagi 
menyampaikan keinginannya.
Menurut K. Bertens :
a. Euthanasia Aktif, yaitu dokter dipandang terlibat secara 
aktif dalam proses kematian seseorang yang menjadi 
pasiennya.
b. Euthanasia Pasif, yaitu keputusan medis untuk 
menghentikan upaya pengobatan kepada pasien, setelah 
segala bentuk pertolongan medis.
Frans Magnis Suseno membedakan euthanasia dalam 4 
pengertian, yaitu :
1. Euthanasia murni, yaitu usaha memperingan kematian 
seseorang tanpa memperpendek kehidupannya.
2. Euthanasia Pasif, yaitu tidak dipergunakannya semua 
kemungkinan teknik kedokteran yang sebenarnya tersedia 
untuk memperpanjang kehidupan3. Euthanasia Aktif, yaitu proses kematian yang diperingan 
dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan 
langsung. Sering juga dikenal dengan istilah mercy killing.
4. Euthanasia Tidak Langsung, yaitu usaha memperingan 
kematian dengan pemberian obat-obatan yang memiliki  
efek sampingnya adalah kematian.
C. Aspek Hukum(Pidana) Euthanasia
1. Berdasarkan KUHP Indonesia
a. Pasal 344 KUHP :
“Barangsiapa menghilangkan nyawa orang lain atas 
permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan 
dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana 
penjara paling lama dua belas tahun”.
Catatan :
Untuk dapat dikenakan ancaman pidana pasal ini, 
permintaan untuk dibunuh harus disebutkan dengan 
‘nyata dan sungguh-sungguh’ (ernstig).
b. Pasal 345 KUHP :
“Barangsiapa sengaja menghasut orang lain untuk bunuh 
diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi 
sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana 
penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadi 
bunuh diri”.
Catatan :
Orang yang bunuh diri tidak dapat dipidana namun  orang 
yang sengaja menghasut, menolong, dsb, orang lain 
untuk bunuh diri dapat dikenakan pidana asal orang 
lain ini  benar-benar mati bunuh diri. Sebab jika 
tidak mati meskipun ia telah (mencoba) bunuh diri, si 
penghasut tidak dapat dipidana.
c. Pasal 304 KUHP :
“Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau 
membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal 
menurut hukum yang berlaku baginya atau menurut 
perjanjian, dia wajib memberi kehidupan, perawatan 
atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan 
pidana penjara [paling lama dua tahun delapan bulan 
atau denda…”.
d. Pasal 306 KUHP :
“Ayat (1) : Jika salah satu perbuatan yang ini  dalam 
Pasal 304 dan 305 mengakibatkan luka berat, maka yang 
bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh 
tahun enam bulan;
Ayat (2) : Jika mengakibatkan mati, maka yang bersalah 
dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.
2. Berdasarkan Hukum Islam
Dalam Muzakarah (pengkajian) Nasional Majelis Ulama 
Indonesia (MUI) di Jakarta, Juni 1997, para ahli hukum 
Islam menyimpulkan bahwa euthanasia dengan alasan 
apa pun, diharamkan sebab  sama dengan bunuh diri.
Dalam pandangan Islam :
» Sakaratul maut (kondisi koma) dan penyakit merupakan 
ujian Allah;
» Bila seseorang berada di puncak penderitaan sebab  suatu 
penyakit, berarti Allah sedang menguji kesabarannya;
» Bunuh diri dengan jalan apa pun termasuk euthanasia 
dianggap sebagai perbuatan zalim terhadap diri sendiri, 
sekaligus menentang otoritasAllah;
» Bila pasien atau keluarganya tidak sanggup menyediakan 
biaya perawatan, maka ia menjadi tanggungan 
masyarakat atau negara. 
3. Berdasarkan Hukum Katolik :
» manusia tidak secara total berkuasa atas diri sendiri;
» Hidup manusia merupakan rahmat Allah, sehingga 
manusia tidak berhak mengakhiri hidupnya sendiri.
Menurut Frans Magnis Suseno, euthanasia pasif dalam 
arti menyerahkan nasib pasien kepada Tuhan setelah 
dokter tidak lagi mampu menolongnya, dimaklumi. namun  
Katolik menentang keras euthanasia aktif dengan alasan :
» Pertama : secara tradisional dokter adalah penyelamat 
nyawa, sehingga jika ia sekarang membantu kematian 
maka ia telah melanggar etika profesinya.
» Kedua : kemungkinan terjadi manipulasi, dalam arti 
pasien bahwa sebenarnya pasien tidak mau mati, namun  
sebab  merasa diabaikan, atau tidak dikunjungi atau 
menganggap telah memberatkan orang lain (keluarga), 
maka pasien memilih menjalani euthanasia.
» Ketiga : ilmu kedokteran telah sedemikian maju sehingga 
hampir seluruh rasa nyeri dan sakit yang ada bisa ditekan.
4. Aspek Hukum Euthanasia di Beberapa Negara :
Belanda :
Euthanasia aktif dilegalkan oleh Senat Kerajaan Belanda 
melalui Undang-Undang Euthanasia pada 10 April 2001. 
Pelegalan euthanasia ini  didasarkan pada alasan 
“habisnya harapan pasien untuk disembuhkan”. Sebagai 
penguat keputusan, dikuatkan pula dengan beberapa 
data :
◊ hasil survey menunjukkan 90 % responden 
mendukung euthanasia,
◊ dalam beberapa tahun terakhir, minat orang Belanda 
untuk ‘mati dengan bantuan dokter’ semakin 
bertambah,
◊ data Tahun 1999 menunjukkan lebih dari 2.200 
pasien ‘minta dipulangkan ke alam baqa’ dengan cara 
suntik mati, dan dan angka tak resmi menyebutkan 
5000 kematian berlangsung secara menyenangkan 
tanpa rasa sakit,
◊ fakta menunjukkan lebih dari 25 tahun para dokter 
yang melayani permintaan euthanasia, tidak terjerat 
hukum.
◊ KUHP Belanda tetap menggolongkan euthanasia 
sebagai tindakan kejahatan, meskipun banyak orang 
yang dibiarkan minta mati enak.
» Eropa :
◊ tidak ada negara di Eropa yang menentang 
disahkannya Undang-Undang tentang Euthanasia 
yang melegalkan mati dengan bantuan dokter 
ini ,
◊ sehari setelah Senat menetapkan keputusan ini , 
lebih dari 10.000 orang memenuhi lapangan di luar 
Gedung Parlemen, dan menyerukan bahwa ‘apa pun 
alasannya, euthanasia tetaplah suatu pembunuhan’.
» Northern Territory, Australia :
◊ Tahun 1995 mengesahkan The Right of the Terminally 
Ill Bill (Undang-Undang tentang Hak Pasien 
Terminal) yang mengizinkan euthanasia dan bunuh 
diri dengan bantuan dokter.
◊ Tahun 1996 mengesahkan The Right of the Terminally 
Ill Act (Undang-undang yang mengesahkan praktik 
euthanasia sukarela dan bunuh diri yang didampingi 
oleh dokter yang berkompeten) dan membolehkan 
pasien yang menderita penyakit fatal meminta 
pertolongan dokter untuk mengakhiri hidupnya.
Tahun 1997, undang-undang ini  dicabut oleh 
Senat/ Legislasi Federal Australia.
» Oregon, Amerika Serikat :
Tahun 1997 mengesahkan The Death With Dignity Act 
(Undang-Undang tentang Meninggal Dunia dengan 
Bermartabat) yang mengatur tentang Bunuh Diri 
Berbantuan Dokter dengan menetapkan syarat yang 
amat ketat, antara lain :
◊ seseorang boleh minta bantuan bunuh diri jika 
sebab  sakitnya, diperkirakan umurnya hanya 
sampai 6 bulan, pasien harus benar-benar menderita penyakit parah 
yang tak tersembuhkan dan menetapkan sendiri 
dosis fatal yang akan ia gunakan.
Pada tahun 1997 itu juga Mahkamah Agung Amerika 
Serikat menetapkan bahwa praktik bunuh diri yang 
didampingi dokter, tidak sesuai dengan peraturan 
perundang-undangan, dan hal ini didukung oleh 43 
negara bagian di AS. Hanya Oregon yang melegalkan 
euthanasia.
» Swiss :
Pada dasarnya euthanasia tidak diatur dalam perundang￾undangan Swiss, sehingga praktik euthanasia adalah 
illegal. namun  jika seseorang membantu orang lain untuk 
bunuh diri tanpa ada motif pribadi, ia tidak akan dikenai 
hukuman.
EXIT adalah sebuah lembaga pembimbing bagi orang￾orang sekarat yang melakukan kegiatan : men-dampingi 
pasien-pasien yang ingin meninggal dunia dalam 
mendapatkan ‘persetujuan hukum’. EXIT menetapkan 
sendiri syarat-syarat tertentu bagi pasien yang mendapat 
izin untuk menjalankan euthanasia.
Faktanya : sekitar 100 sampai 200 pasien yang tidak 
tersembuhkan meninggal setiap tahunnya dengan 
didampingi anggota EXIT.
» Kolumbia :
◊ Tahun 1997 Pengadilan Perundang-undangan 
Kolumbia mengesahkan ulang peraturan yang sebelumnya, yang menyatakan dokter tidak akan 
dikenai tanggung jawab secara pidana jika mereka 
mewujudkan keinginan pasiennya yang sudah 
sekarat, untuk menjalankan euthanasia,
◊ Pemerintah Kolumbia tidak membuat peraturan 
untuk menegaskan atau pun menentang Keputusan 
Pengadilan Perundang-undangan ini .
Penduduk Kolumbia dikenal sebagai penganut 
Katolik taat.