Home »
hukum kesehatan
» hukum kesehatan
hukum kesehatan
Tanggung Jawab Pidana Dokter pada
umumnya menyangkut :
˥ Rahasia Kedokteran dan Rekam Medis Pasien (Pasal
322 KUHP)
(1) “Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang
wajib ia simpan sebab jabatan atau pekerjaannya, baik
yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan
pidana penjara paling lama 9 tahun atau pidana denda .
. . “,
(2) “Jika kejahatan ini dilakukan terhadap seseorang
tertentu, maka ini hanya dapat dituntut atas
pengaduan orang ini ”.
˥ Malpraktik Kriminal antara lain :
1. Kelalaian yang menyebabkan matinya orang lain (Pasal
359 KUHP) :
“Barangsiapa sebab kelalaiannya menyebabkan matinya
orang lain diancam pidana penjara paling lama 5 tahun atau kurungan paling lama 1 tahun”.
2. Kelalaian yang menyebabkan luka orang lain (Pasal 360
dan 361 KUHP) :
Pasal 360 KUHP :
(1) “Barangsiapa sebab kelalaiannya orang lain
mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun atau kurungan paling
lama 1 tahun”
(2) “Jika menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian
rupa sehingga timbul penyakit atau halangan
menjalankan pekerjaan atau jabatan atau
pencahariannya selama waktu tertentu, diancam
dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau
kurungan paling lama 6 bulan atau denda . . . “.
Pasal 361 KUHP :
“Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan
dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian,
maka pidana ditambah dengan sepertiganya, dan yang
bersalah dapat dipecat dan hakim dapat mengumumkan
putusannya”.
3. Pembunuhan atas permintaan korban (Pasal 344
KUHP) :
“Barangsiapa menghilangkan nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan
dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana
penjara paling lama 12 tahun”.4. Melakukan abortus provocatus (Pasal 299, 347-349
KUHP) :
Pasal 299 KUHP :
(1) “Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang
perempuan atau menyuruhnya supaya diobati,
dengan memberitahukan atau memicu
harapan bahwa sebab pengobatan itu hamilnya
dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara
paling lama 4 tahun atau denda . . . “
(2) Jika yang bersalah melalukan demi mencari
keuntungan atau menjadikan sebagai pekerjaannya
atau kebiasaan, atau jika ia seorang dokter, bidan
atau juru obat, maka pidananya dapaat ditambah
sepertiganya”
(3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan ini
dalam menjalankan pencariannya, maka dapat
dipecat dari pekerjaannya itu”.
Pasal 347 KUHP :
(1) “Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur
atau matinya kandungan seorang perempuan tanpa
seizin perempuan itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama 12 tahun”
(2) “Jika sebab perbuatan itu menyebabkan perempuan
ini mati, diancam dengan pidana penjara paling
lama15 tahun”.
Pasal 348 KUHP :
(1) “Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau matinya kandungan seorang perempuan dengan
izin perempuan ini , diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun 6 bulan”,
(2) “Jika sebab perbuatan itu menyebabkan perempuan
ini mati, diancam dengan pidana penjara paling
lama 7 tahun”.
Pasal 349 KUHP :
“Jika seorang dokter,bidan atau juru obat membantu
melakukan kejahatan yang ini dalam Pasal 346,
347 dan 348, maka pidana dapat ditambah sepertiganya
dan pelaku dapaat dipecat”.
5. Melakukan Kejahatan Kesusilaan (Pasal 285, 286, dan
290 KUHP) :
Pasal 285 KUHP :
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh
dengannya, dipidana sebab memperkosa dengan pidana
penjara paling lama 12 tahun”.
Pasal 286 KUHP :
“Barangsiapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan
istrinya sedang diketahui perempuan itu dalam keadaan
pingsan atau tidak bedaya, diancam dengan pidana
penjara paling lama 9 tahun”.
Pasal 290 KUHP :
“Diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun,
barangsiapa yang :◊ melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang
diketahuinya sedang pingsan atau tidak berdaya;
◊ melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang
diketahuinya atau patut diduga belum cukup umur
atau belum pantas untuk dikawin;
◊ membujuk seseorang yang diketahuinya atau patut
diduga belum cukup umur atau belum pantas
untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, atau
bersetubuh dengan orang lain di luar perkawinan”.
6. Pemalsuan Surat Keterangan (Pasal 263, 267 KUHP) :
Pasal 267 KUHP :
(1) “seorang dokter yang dengan sengaja memberi surat
keterangan palsu tentang ada tidaknya penyakit,
kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana
penjar paling lama 4 tahun”,
(2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk
memasukkan seseorang ke dalam RS Jiwa atau
untuk menahannya disitu, diancam pidana penjara
paling lama 8 tahun 6 bulan:,
(3) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa
dengan sengaja memakai surat keterangan palsu
yang seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran”.
7. Sepakat melakukan tindak pidana (Pasal 221 KUHP)
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan
atau denda . . . :
Ke-1 : barangsiapa dengan sengaja menyembunyikanorang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut
sebab kejahatan atau memberi pertolongan
kepadanya untuk menghindari penyidikan atau
penahanan oleh pejabat kepolisian atau kehakiman,
atau orang yang menurut undang-undang diserahi
wewenang untuk menjalankan jabatan kepolisian;
Ke-2 : barangsiapa yang setelah dilakukan suatu
kejahatan dan dengan maksud untuk menutupi
atau menghalang-halangi atau mempersulit
penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan,
menghilangkan, menyembunyikan barang bukti
kejahatan atau menariknya dari pemeriksaan yang
dilakukan oleh pejabat kepolisian atau kehakiman,
atau orang yang menurut undang-undang diserahi
wewenang untuk menjalankan jabatan kepolisian.
8. Sengaja tidak memberi pertolongan kepada orang
yang dalam keadaan bahaya, padahal ia mampu
memberi (Pasal 304, 531 KUHP) :
Pasal 304 KUHP :
“Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau
membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, sedang
menurut hukum yang berlaku baginya atau sebab
perjanjian dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau
pemeliharaankepada orang itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau denda . . . “.
Pasal 531 KUHP :
“Barangsiapa yang ketika menyaksikan ada orang sedangmenghadapi bahaya maut, tidak memberi pertolongan
yang mampu ia berikan tanpa memicu bahaya
bagi dirinya atau orang lain, maka jika orang yang
perlu ditolong itu meninggal, diancam dengan pidana
kurungan paling lama 3 bulan atau denda . . . “.
B. Tanggung Jawab Perdata Dokter
˥ Pasal 1365 KUHPdt :
“Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang-orang yang sebab
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
ini ”.
˥ Pasal 1366 KUHPdt :
“Setiap orang bertanggungjawab bukan hanya pada kerugian
yang dipicu oleh perbuatannya, namun juga untuk
kerugian yang dipicu oleh kelalaian atau kekuranghatihatiannya”.
˥ Pasal 1367 KUHPdt :
“Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang
dipicu sebab perbuatan sendiri, namun juga untuk
kerugian yang dipicu sebab perbuatan orang-orang
yang menjadi tanggungannya atau dipicu oleh barangbarang yang berada di bawah pengawasannya”.
˥ Pasal 1371 KUHPdt :
“pemicu luka atau cacat suatu anggota badan dengan
sengaja atau kurang hati-hati, memberi hak kepada
korban selain penggantian biaya-biaya penyembuhan, jugamenuntut penggantian kerugian yang dipicu oleh luka
atau cacat ini ”.
C. Tanggung Jawab Perdata Asisten Dokter
˥ Pasal 1365 KUHPdt :
“Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang-orang yang sebab
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
ini ”.
˥ Pasal 1366 KUHPdt :
“Setiap orang bertanggungjawab bukan hanya pada kerugian
yang dipicu oleh perbuatannya, namun juga untuk
kerugian yang dipicu oleh kelalaian atau kekuranghatihatiannya”.
Berbicara tentang hak dan kewajiban seseorang, tentu
akan berkait dengan pihak lain atau orang lain. Adanya
hak dan kewajiban pasien dalam kaitannya dengan
profesi Kedokteran, contoh dalam hal Transaksi Terapeutik,
tentu saja memicu hubungan (minimal antara dua orang)
yaitu antara dokter dengan pasien.
namun bagi pasien, pihak lain pun dapat pula berhubungan
dengannya, tidak hanya dokter, namun paramedis (perawat),
para dokter (lebih dari satu dokter), para fisioterapeut, dan para
petugas pelayanan kesehatan yang memberi bantuan atau
pertolongan di bidang Kesehatan. Bahkan tidak hanya orang
perseorangan namun dapat juga dari Badan Hukum, contoh
Rumah Sakit, Maskapai Asuransi Kesehatan, dll.
Seperti diketahui bahwa setiap manusia memiliki dua
hak dasar, yaitu :
1. Hak Dasar Sosial, salah satunya adalah Hak atas Pemeliharaan Kesehatan (the right to health care) dan;
2. Hak Dasar Individu,salah satunya adalah Hak atas Pelayanan
Medis (the right to medical sevice).
Kewajiban Dokter yang merupakan Hak Pasien antara lain:
1. bahwa ia wajib merawat pasiennya dengan cara keilmuan
yang ia miliki secara adequat, dengan penuh kesungguhan,
hati-hati dan berusaha sebaik-baiknya dalam menjalankan
tugasnya.
2. bahwa dokter wajib menjalankan tugasnya sendiri (tidak
dikerjakan oleh orang lain) sesuai dengan yang diperjanjikan.
Kecuali apabila dalam hal pasien menyetujui perlunya ada
orang lain yaitu seseorang yang mewakili dirinya (contoh ;
sebab dokter juga perlu waktu istirahat untuk memelihara
kesehatan dirinya).
3. bahwa dokter wajib memberi informasi kepada pasiennya
mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit/
penderitaan pasiennya. Kewajiban dokter ini dalam hal
untuk perjanjian perawatan, maka akan dikaitkan dengan
kewajiban pasien.
Kewajiban pasien yang dimaksud adalah :
1. Pasien wajib memenuhi kontra prestasi dengan cara
melakukan pembayaran honorarium kepada dokter, kecuali
diperjanjikan lain;
2. Pasien wajib bekerjasama secara loyal dalam hal pemeriksaan
dan perawatan. contoh menjawab dengan jujur pertanyaanpertanyaan yang diajukan oleh dokter dalam rangka
mendiagnosa penyakitnya, sehingga dapat dengan tepat menentukan bentuk terapi yang diperlukan.
. Hak dan Kewajiban Pasien
biasanya dapat dijelaskan tentang hak dan kewajiban
yang dimiliki Pasien :
a. Hak-hak Pasien :
1. Hak Atas Informasi Medis dan memberi Persetujuan;
banyak kalangan kesehatan masih terikat dengan
hubungan paternalistik, dimana pasien harus menerima
apa adanya saja dari dokter tanpa dapat menanyakan
lebih jauh tentang penyakitnya, obat-obat yang
diterimanya, atau tindakan-tindakan medik lain yang
harus dilaluinya.
Padahal dalam hubungan transaksiterapeutik
(persetujuan tindakan medis dalam bentuk terapi) antar
dokter dengan pasien, masing-masing pihak memiliki
hak dan kewajiban yang sama secara hukum.
Hak pasien untuk mendapatkan informasi tentang
kesehatan dan penyakitnya, serta hak untuk memberi
persetujuan jika ada pengobatan atau tindakan medik
yang akan dilakukan padanya.
2. Hak Untuk Memilih Dokter dan Sarana Kesehatan
(contoh RS); hak ini bertimbal balik dengan kewajiban
pasien yaitu memberi imbalan yang pantas dan dan
kewajibannya mentaati peraturan yang dikeluarkan oleh
Sarana Kesehatan yang dipilihnya dan melunasi biaya
dari Sarana Kesehatan ini . 3. Hak Untuk Menolak Pengobatan dan Tindakan Medis
Tertentu; hak ini berkaitan dengan hak seseorang untuk
menentukan nasibnya sendiri. Dokter tidak dapat
melakukan tindakan medik jika bertentangan dengan
keinginan pasien atau keluarga pasien. Jika dokter
tidak punya alternatif pengobatan lain sesuai dengan
keyakinan dan pengalamannya, dan pasien tidak dalam
keadaan gawat darurat maka dokter dapat memutuskan
hubungannya dengan pasien.
4. Hak Atas Rahasia Dirinya (Rahasia Pasien); artinya,
segala rahasia pasien yang terungkap pada saat pasien
menjalani pengobatan menjadi kewajiban dokter untuk
merahasiakannya dari orang lain.
5. Hak Untuk menghentikan Pengobatan/memutuskan
Hubung- an; terkait istilah “pulang atas permintaan
sendiri” (paps).
6. Hak Atas Opini Kedua (Second Opinion) dan Untuk
Mengetahui Rekam Medis (Medical Record); yakni pasien
berhak mengetahui ‘riwayat penyakitnya’.
7. Hak Untuk Menerima Ganti Rugi; jika pasien menganggap
telah dirugikan akibat pelayanan kesehatan atau
perawatan yang tidak memenuhi standar medis, maka
ia berhak mengusahakan ganti rugi melalui pengadilan
perdata.
Gejala tuntutan ganti rugi mulai berkembang sejak
kasus-kasus malpraktik mulai terkuak dan merebak.
8. Hak Atas Bantuan Yuridis; hak ini berlaku terhadap setiap orang yang berperkara.
b. Kewajiban Pasien :
1. Kewajiban memberi informasi yang sebenarnya
kepada dokter berupa keterangan, penjelasan sebanyak
mungkin tentang penyakit yang diderita, agar dokter
dapat menentukan diagnosa penyakit pasien dengan
tepat. Itikad baik pasien memberi informasi yang
sebenarnya, adalah hak dokter.
2. Kewajiban mematuhi nasihat dokter yang mengobati;
dapat dikaitkan dengan hak dokter untuk mengakhiri
hubungan dengan pasien jika ia menilai bahwa kerjasama
dengan pasien untuk kesembuhan pasien tidak ada
gunanya lagi diteruskan.
3. Kewajiban menyimpan rahasia pribadi dokter yang
mengobatinya (yang mungkin diketahui pasien secara
tidak sengaja , atau pun pengalaman tidak menyenangkan
dengan dokter yang bersangkutan).
4. Kewajiban untuk memberi imbalan yang pantas
5. Kewajiban untuk mentaati peraturan dan melunasi biaya
RS.
(4 & 5 dikaitkan dengan hak memilih dokter dan Sarana
Kesehatan/ RS).
Hukum sering diartikan sebagai adil, peraturan,
perundang-undangan, dan hak. Hukum dalam arti
sebagai peraturan perundang-undangan, sebenarnya
adalah hukum obyektif. Sedangkan hukum dalam arti adil dan
hak adalah hukum subyektif. Dalam kaitannya dengan sistem
sosial, hukum obyektif memiliki fungsi sebagai berikut :
1. Menjaga keseimbangan susunan masyarakat;
2. mengukur perbuatan-perbuatan manusia dalam masyarakat,
apakah telah sesuai dengan norma-norma hukum yang telah
ditetapkan;
3. mendidik manusia akan kebenaran, perasaan, serta perbuatan
yang benar dan tidak, menurut ukuran-ukuran yang telah
ditetapkan itu.
Menurut kamus Bahasa Inggris, Collins Large Print Dictionary,
makana kata ethics adalah :
1. A code of behavior, specially a particular group, profession or individual (seperngkat aturan perilaku, khususnya bagi
sebuah kelompok, profesi atau individu tertentu).
2. The study of the moral of human conduct (studi mengenai moral
perilaku manusia).
3. In accordance with principles of professional conduct (sesuai
dengan prinsip-prinsip perilaku profesional)
Dalam tradisi ilmu filsafat, sebagian orang membedakan
antara etika dan moral, namun sebagian orang lainnya
menyamakan istilah etika dan moral.
Etika dan moral berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata
Ethos dan Mores yang berarti :
˥ Ethos (tabiat; karakter; kelakuan) : yang lazim digabung
dalam rangkaian kalimat ‘ethos of the people’ atau akhlak /
perilaku manusia.
˥ Mores (moral) : yaitu yang lazim digabung dalam rangkaian
kalimat ‘mores of a community’ atau kesopanan di dalam
suatu masyarakat.
˥ Perbedaan antara Hukum dan Etika adalah :
Hukum :
» diciptakan oleh lembaga resmi negara (legislatif)
» ketentuan untuk mematuhinya dipaksakan dari luar
diri manusia melalui pelaksana-pelaksana hukum (law
enforcement official)
» negara mencantumkan sanksi tehadap pelanggar
Etika :
» melekat pada diri/ kalbu setiap insan manusia » keharusan untuk melakukan nya timbul dari dalam
diri manusia secara pribadi
» tidak perlu disertai sanksi yang tegas sebab nilainilai moral yang masih ditaati, secara intrinsik telah
mengandung nilai-nilai tertinggi yang bersifat normatif.
Perbedaan antara Hukum dan Etika Profesi adalah :
˥ Hukum : merupakan rangkaian aturan tingkah laku yang
dibuat oleh lembaga berwenang (pemerintah bersama dengan
wakil rakyat), yang terhadap pelanggarannya ditentukan
sanksi berupa hukuman atau tindakan lainnya.
˥ Etika Profesi : merupakan nilai perilaku kalangan para
pengemban prof3esi sebagai konsensus bersama untuk
waktu tertentu dan tentang masalah tertentu.
B. Etika Profesi Kedokteran
Pada awalnya Galenus (Roma), Inhotep (Mesir) dan
Hippocrates (Yunani) merupakan para ahli bidang kedokteran
yang mempelopori terbentuknya tradisi-tradisi dalam dunia
kedokteran yang diikuti oleh para ahli bidang kedokteran dalam
forum internasional. Tradisi-tradisi dalam kedokteran ini
kemudian dijadikan sebagai suatu etika profesi kedokteran yang
memuat prinsip-prinsip beneficence, non maleficence, autonomy dan
justice. Hukum jika dikaitkan dengan Etik Profesi Kedokteran,
maka dapat dikemukakan intisari dari Sumpah Hippocrates
yang sangat terkenal, yang memuat dalil-dalil tentang Profesi
Kedokteran yang dianut di seluruh dunia. Dalil Hippocrates
memuat 3 (tiga) esensi pokok/dasar yang merupakan syarat
utama bagi mereka yang ingin menjadi dokter, yaitu : ˥ Setiap dokter harus berusaha menguasai ilmunya sebaik
mungkin, meningkatkan mutu profesinya melalui
kesediaannya untuk belajar secara terus menerus;
˥ Seorang dokter harus menjaga martabat profesinya;
˥ Seorang dokter harus menjadi seorang yang suci dan
mengabdikan diri sepenuh waktunya untuk profesinya.
Ketiga rumusan syarat ini di atas kemudian berkembang
menjadi Kode Etik Kedokteran Internasional.
Dalam praktek, pelaksanaan Etik Kedokteran seringkali
bertumpang tindih dengan Etika Umum Masyarakat, bahkan
mungkin saja analogi dengan Etika Umum Masyarakat ini .
contoh saja jika dokter atau tenaga profesi kesehatan
dihadapkan pada sebuah pilihan antara keduanya, maka Etika
Umum Masyarakatlah yang harus diutamakan. Etik Kedokteran
merupakan bagian dari Etika Umum Masyarakat, sehingga tidak
boleh saling bertentangan.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam pembahasan Etik
Kedokteran, yaitu :
1. Etik Jabatan Kedokteran (Medical Ethics); menyangkut
masalah-masalah yang berhubungan dengan sikap para
dokter terhadap rekan sejawat, para pembantunya, terhadap
masyarakat, dan pemerintah (setiap profesi memiliki etika
masing-masing).
2. Etik Asuhan Kedokteran (Ethics of the Medical Care);
merupakan etik Kedokteran dalam kehidupan sehari-hari,
menyangkut sikap dan tingkah laku seorang dokter terhadap
penderita/pasien yang menjadi tanggungjawabnya.Dalam membahas hak dan kewajiban pasien dalam
hubungannya dengan Profesi Kedokteran, tentu tidak dilepaskan
dari membahas mengenai Profesi Kedokteran itu sendiri. Profesi
Kedokteran Indonesia diikat oleh suatu kode etika yang disebut
dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).
Dalam wujud formalnya, KODEKI merupakan materi dari
SK Menteri Kesehatan RI Nomor 434/Menkes/SK/X/1983 yang
ditetapkan pada tanggal 28 Oktober 1983, yang mencerminkan
arti, isi, dan fungsi Kode Etik untuk Profesi Kedokteran. KODEKI
ini diundangkan berdasarkan Lampiran Keputusan MenKes
ini di atas.
KODEKI menurut artinya yang tertuang dalam Keputusan
Menteri Kesehatan ini di atas, sebenarnya merupakan
Kode Etik Profesi (Beroepscode) atau Medical Professional Ethics
yang berarti berlaku sebagai sebagai : pedoman perilaku bagi
pengembang pelaksana profesi Kedokteran yang di dalamnya
memuat syarat dan batasan pengertianuntuk perbuatan yang
baik atau benar.
Berdasarkan pengertian ini di atas, KODEKI terkait
erat dengan dua hal, yaitu :
1. Perilaku yang berisikan hak dan kewajiban berdasarkan
kepada perasaan moral.
2. Perilaku yang sesuai dengan standar profesi dan atau
mendukung standar profesi.
Materi KODEKI dapat dibedakan antara :
» Mukaddimah : antara lain berisi tentang hubungan
antara sang pengobat (dokter) dengan penderita (pasien) dalam bentuk transaksi terapeutik atau perjanjian untuk
menentukan dan mencari terapi yang paling tepat bagi
pasien oleh dokter.
» Batang Tubuh : berisikan ketentuan-ketentuan formal
yang mengatur hak dan kewajiban dokter secara umum,
dokter terhadap pasien, dokter terhadap teman sejawat,
dan dokter terhadap dirinya sendiri.
Sedangkan fungsi KODEKI adalah :
“Sebagai pedoman perilaku bagi para pengemban profesi
dalam kedudukannya dalam lingkup dunia kedokteran,
terhadap pemerintah, masyarakat, maupun penderita
(pasien) yang secara prinsipil analogi dengan berlakunya
atau berfungsinya etika masyarakat secara umum”.
Catatan :
KODEKI diundangkan berdasarkan Lampiran KepmenKes RI
Nomor 434/MenKe/SK/X/1983 tanggal 28 Oktober 1983.
Kesehatan merupakan anugerah yang diberikan pencipta
kepada setiap manusia untuk dijaga, sebab dengan
adanya anugerah kesehatan ini semua manusia
dapat melakukan aktifitas dengan baik dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Namun tidak semua manusia dapat
menjaga dan memelihara kesehatannya dengan baik, sehingga
adakalanya manusia mengalami sakit yang membutuhkan
perawatan medis untuk dipulihkan kesehatannya. Dalam hal
memperoleh pelayanan kesehatan dari tenaga ahli kesehatan
adakalanya hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan apa yang
diharapakan, baik itu sebab kondisi manusianya yang tidak
baik atau prosedur penangan pelayanan kesehatan yang tidak
sesuai dengan prosedur yang seharusnya. Permasalahan ini
sering menjadi permasalahan dalam ranah hukum apabila pihak
yang dirawat tidak menerima hasil dari pelayanan kesehatan
ini . Untuk itulah dibutuhkan sebuah pengaturan dalam menyelesaikan masalah pelayanan kesehatan agar mendapatkan
kepastian hukum yang jelas. Sebenarnya, dunia ilmu sudah
sejak lama merintis adanya disiplin ilmu baru yaitu “Hukum
Kedokteran”. Bahkan di beberapa negara sudah berkembang
dengan pesat, antara lain di negara Belanda, Prancis, Belgia,
Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang, namun kepesatan
perkembangannya di negara-negara dunia tidaklah sama antara
yang satu dengan yang lainnya.
Hukum Kedokteran atau Hukum Medis (Medical Law) yang
sudah dikenal di beberapa negara maju, perkembangannya sejalan
dengan perkembangan peradaban manusia. Namun, orientasi
pengembangannya tidaklah beranjak dari pangkal tolak yang
sama. Di daratan Eropa Barat, Belanda contoh sejak tahun 1928
sampai terakhir tahun 1972 dalam Undang-Undang ‘Medisch
Tuchtwet’nya, lebih berorientasi pada pengaturan tingkah laku
dan tugas dokter, yakni menjalankan profesi. Sedangkan di
Amerika Serikat, dalam ‘American Hospital Association’ pada
tahun 1972 melahirkan apa yang disebut sebagai ‘Patient Bill of
Rights’, yang isinya lebih menitikberatkan perhatian pada hal-hal
yang bersangkut paut dengan hak-hak pasien.
Kebangkitan (renaisance) ilmu Hukum Kedokteran di
dunia Internasional baru terjadi sesudah diadakannya Kongres
Sedunia Hukum Kedokteran (World Congress on Medical Law)
di Gent, Belgia Tahun 1967. Kemudian Hukum Kesehatan mulai
diperkenalkan secara luas ke seluruh dunia setelah pada Kongres
V Asosiasi Hukum Kedokteran Dunia (World Association
for Medical Law), Agustus 1979, ketika dijadikan sebagai
kegiatan baru oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) atau WHO.
Hukum Kedokteran dan Hukum Kesehatan kemudian
berkembang pesat di beberapa belahan dunia termasuk di Negeri
Belanda dan Eropa pada umumnya, serta di beberapa negaranegara maju lainnya. Berkembang pesatnya disiplin ilmu ini
memang memiliki alasan, yakni antara lain :
1. Semakin meningkatnya tuntutan di bidang pelayanan
kesehatan dan kedokteran, yang disertai perkembangan di
bidang teknik pengobatan dan diagnostik.
2. Semakin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat di
bidang pelayanan kesehatan/kedokteran.
B. Hukum Kesehatan & Hukum Kedokteran di
Indonesia
Pada awal tahun 1980, belum banyak orang yang mengenal
tentang Hukum Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Istilahnya
pun masih terasa aneh. Bidang pengetahuan yang selama ini
dikenal mengaitkan disiplin ilmu Hukum dengan disiplin ilmu
Kedokteran, hanyalah ilmu Kedokteran Kehakiman.
Pada Tahun 1981, di Indonesia timbul suatu cabang ilmu
hukum baru yang sebelumnya belum dikenal. Hal ini bermula
sejak terjadinya peristiwa “kasus Dr. Setianingrum” di Pati, Jawa
Tengah. Kasus ini memicu banyak reaksi baik dari kalangan
profesi medis maupun kalangan dunia hukum, teristimewa pula
dari kalangan masyarakat.
Sejak peristiwa ini , bertemulah antara dunia Hukum
(Themis) dengan dunia medis (Aesculapius) dalam suatu wadah baru di Indonesia, menjadi suatu cabang baru dari disiplin
ilmu hukum yakni Hukum Medis (Medical Law), kemudian
menjadi Hukum Kedokteran, dan akhirnya diperluas cakupan
pembahasannya menjadi Hukum Kesehatan (Heath Law atau
Gezondheitsrecht). Akibat kasus “Pati” inilah telah membangunkan
masyarakat dari ‘tidur lelapnya’ yang panjang untuk mengetahui
hak-hak korban di dalam dunia Kedokteran maupun dunia
Kesehatan.
Pengaruh perkembangan zaman, terjadinya globalisasi yang
melanda ke seluruh dunia termasuk ke Indonesia, bertambahnya
kecerdasan masyarakat sehingga menjadi lebih kritis, serta
perubahan sosial budaya dan pandangan hidup, cara berfikir
dan faktor-faktor lain, memberi dampak positif dalam dunia
Kesehatan masyarakat Indonesia.
Dalam pelajaran ini, konteks dampak globalisasi dibahas
terbatas hanya kepada Hukum Medis, dengan alasan bahwa
hukum yang menyangkut bidang medis baru mulai berkembang
sejak setelah terjadinya ‘Kasus Pati’ di tahun 1981.
Sebelumnya, bidang pengetahuan yang mengkaitkan disiplin
ilmu Hukum dengan ilmu Kedokteran hanyalah ilmu Kedokteran
Kehakiman (Forensic Medicine) yang telah lebih dahulu menjadi
kurikulum mata kuliah/pelajaran di beberapa fakultas antara
lain Fakultas Hukum Jurusan Pidana, Fakultas Kedokteran dan
AKABRI Jurusan Kepolisian. Hal ini menyangkut alat-alat
bukti di sidang pengadilan, terutama bukti Surat yakni Visum et
Repertum dan Keterangan Saksi/Ahli yaitu Ahli Forensik.
Hukum Kedokteran dan Hukum Kesehatan mulai
diperkenalkan di Indonesia dengan terbentuk Kelompok Studi untuk Hukum Kedokteran Universitas Indonesia pada tanggal
1 November 1982 di RSCM, oleh beberapa dokter dan Sarjana
Hukum yang mengikuti Kongres Sedunia Hukum Kedokteran di
Gent, Belgia Tahun 1982. Kelompok studi ini lalu membentuk
Perhimpunan untuk Hukum Kedokteran Indonesia (PERHUKI)
pada 7 Juli 1983.
Dalam perjalanan dan perkembangannya, terlihat adanya
ketimpangan bila hanya Hukum Kedokteran saja yang dikembangkan, sementara cabang lain dalm Hukum Kesehatan tidak ikut
dikembangkan, seperti Hukum Farmasi, Hukum Keperawatan,
Hukum Rumah Sakit, dll.
Pada Kongres Nasional I PERHUKI tahun 1987, atas saran
Menteri Kehakiman dan Direktorat Jenderal Kesehatan, serta
berdasarkan aspirasi sebagian besar anggota PERHUKI, maka
disepakati perubahan ruang lingkup perhimpunan ini menjadi
Perhimpunan untuk Hukum Kesehatan Indonesia dengan
singkatan yang sama yaitu PERHUKI.
Lingkup Hukum Kesehatan
Salah satu unsur terpenting dari perkembangan suatu
negara adalah index kesehatan warga negaranya yang
baik, untuk itu setiap negara harus memiliki sistem
pengaturan pelaksanaan bidang kesehatan ini agar
tujuan menyehatkan masyarakat tercapai. System pengaturan
ini dituangkan dalam bentuk peraturan perundangundangan yang nantinya dapat dijadikan sebagai pedoman
yuridis dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada warga
negara. Untuk itu pemahaman tentang hokum kesehatan
sangat penting tidak hanya bagi profesi tenaga kesehatan dan
masyarakat sebagai konsumen pelayanan kesehatan namun
juga bagi pihak akademisi dan praktisi hukum. Pemahaman
hukum kesehatan sangat penting untuk diketahui agar dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan sesuai dengan prosedur yang
telah buat oleh pihak tenaga kesehatan dan apabila terdapat
kesalahan dalam pelayanan kesehatan (malpraktek medis)
dapat diselesaikan dengan pengetahuan hukum kesehatan ini . Secara terminologis, istilah Hukum Kesehatan
sering disamakan dengan istilah Hukum Kedokteran. Hal ini
disebab kan hal-hal yang dibahas dalam mata kuliah Hukum
Kesehatan di berbagai Fakultas Hukum di Indonesia pada
umumnya hanya memfokuskan pada hal-hal yang berkaitan
langsung dengan dunia kedokteran dan lebih banyak membahas
hal-hal yang berkaitan dengan Hukum Kedokteran atau Hukum
Medis. Padahal lingkup pembahasan Hukum Kesehatan lebih
luas daripada Hukum Kedokteran.
Bidang ilmu lain yang berkaitan erat dengan Hukum
Kesehatan khususnya Hukum Kedokteran adalah Kedokteran
Kehakiman. Sering orang memcampuradukkan pengertian
antara Hukum Kedokteran dengan Kedokteran Kehakiman atau
Kedokteran Forensik. Oleh sebab itu, secara terminologis, ketiga
istilah ini dapat dibedakan sebagai berikut :
˥ Hukum Kesehatan :
» HealthLaw (OrganisasiKesehatanDunia atau WHO)
» Gesuntheits recht (Jerman)
» Gezondheids recht (Belanda)
˥ Hukum Kedokteran :
» Medical Law (Inggris, AS)
» Droit Medical (Perancis, Belgia)
˥ Kedokteran Kehakiman;Kedokteran Forensik:Forensic
Medicine
Jika dibandingkan lebih lanjut terlihat bahwa :
˥ Kedokteran Forensik (Forensic Medicine) atau Kedokteran
Kehakiman (Gerechtelijke Geneeskunde) merupakan suatu
cabang ilmu Kedokteran (termasuk disiplin medis) yang
bertujuan untuk membantu proses peradilan, sebab
adanya Visum et Repertum yang dibuat oleh dokter atau ahli
forensik, yang digunakan sebagai pengganti barang bukti
dalam proses hukum(acara pidana) di pengadilan.
˥ Hukum Kesehatan (Health Law) meliputi juga Hukum
Kedokteran (Medical Law) yang obyeknya adalah
Pemeliharaan Kesehatan (Health Care) secara luas, dan
termasuk di dalam disiplin ilmu Hukum.
˥ Hukum Kedokteran atau Hukum Medis (Medical Law) :
» merupakan suatu cabang ilmu hukum yang
menganutprinsip-prinsip hukum di samping disiplin
medis yang berfungsi untuk mengisi bidang-bidang
tertentu yang diperlukan oleh hukum medis;
» Obyeknya adalah pelayanan medis;
» Merupakan bagian dari Hukum Kesehatan yang meliputi
ketentuan-ketentuan yang berhubungan langsung
dengan pelayanan medis;
» Merupakan Hukum Kesehatan dalam arti sempit;
» Dalam arti luas, Medical Law adalah segala hal yang
dikaitkan dengan pelayanan medis, baik dari perawat,
bidan, dokter gigi, laboran, dan semua yang meliputi
ketentuan hukum di bidang medis;
» Dalam arti sempit, Medical Law adalah Artz recht yaitu
meliputi ketentuan hukum yang hanya berhubungan
dengan profesi dokter saja (tidak dengan dokter gigi, bidan, apoteker, dll).
Hukum Kesehatan tidak terdapat dalam suatu bentuk
peraturan khusus, namun tersebar pada berbagai peraturan dan
perundang-undangan. Ada yang terletak di bidang hukum pidana,
hukum perdata, dan hukum administrasi, yang penerapan,
penafsiran serta penilaian terhadap faktanya adalah di bidang
kesehatan atau pun medis.
Ruang lingkup Hukum Kesehatan meliputi antara lain :
˥ Hukum Kedokteran/Hukum Medis (Medical Law)
˥ Hukum Keperawatan (Nurse Law)
˥ Hukum Rumah Sakit (Hospital Law)
˥ Hukum Pencemaran Lingkungan (Environmental Law)
˥ Hukum Limbah ( tentang Industri; Rumah Tangga; dsb.)
˥ Hukum Polusi (Polution Law tentang Bising; Asap; Debu; Bau;
Gas yang mengandung racun; dsb)
˥ Hukum Peralatan yang menggunakan X-Ray seperti Cobalt;
Nuclear, dsb.
˥ Hukum Kesehatan dan Keselamatan Kerja
˥ Berbagai peraturan yang berkaitan langsung dengan hal-hal
yang mempengaruhi kesehatan manusia.
B. Definisi Hukum Kesehatan
Berbagai pengertian atau definisi tentang Hukum Kesehatan
dikemukakan para ahli dan sarjana hukum. Definisi ini
dikemukakan antara lain oleh :
˥ Prof. Dr. Rang :
“Hukum Kesehatan adalah seluruh aturan-aturan hukum
dan hubungan-hubungan kedudukan hukum yang
langsung berkembang dengan atau yang menentukan
situasi kesehatan di dalam mana manusia berada”.
˥ Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH. :
“Ilmu Hukum Kedokteran meliputi peraturan-peraturan dan
keputusan hukum mengenai pengelolaan praktek kedokteran”.
˥ C.S.T. Kansil, SH. :
“Hukum Kesehatan ialah rangkaian peraturan perundangundangan dalam bidang kesehatan yang mengatur
pelayanan medik dan sarana medik. Kesehatan yang
dimaksud adalah keadaan yang meliputi kesehatan
badan, rohani (mental) dan sosial, dan bukan hanay
keadaan yang bebas dari cacat, penyakit dan kelemahan”.
˥ Prof. H.J.J. Leenen :
“Hukum Kesehatan meliputi semua ketentuan hukum
yang langsung berhubungan dengan pemeliharaan
kesehatan dan penerapan dari hukum perdata, hukum
pidana, dan hukum adminstrasi dalam hubungan
ini . Dan juga pedoman internasional, hukum
kebiasaan dan yurisprudensi yang berkaitan dengan
pemeliharaan kesehatan, hukum otonom, ilmu-ilmu
dan literatur yang menjadi sumber hukum kesehatan”.
Dari definisi hukum kesehatan yang telah dijelaskan oleh
para ahli hukum maka penulis dapat mengambil kesimpulan
bahwa hukum kesehatan adalah: pengetahuan yang mengkaji
tentang bagaimana sebuah penegakan aturan hukum terhadap
akibat pelaksanaan suatu tindakan medik/kesehatan yang
dilakukan oleh pihak yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan
yang dapat dijadikan dasar bagi kepastian tindakan hukum dalam
dunia kesehatan
Berdasarkan rumusan di atas, terkandung beberapa
pengertian dalam pengertian Hukum Kesehatan, yaitu :
1. Semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
bidang pemeliharaan kesehatan (Health Care) mengandung
arti bahwa :
a. Istilah ‘ketentuan’ lebih luas artinya daripada istilah
peraturan hukum, sebab istilah ‘peraturan hukum’
umumnya tertulis.
b. Pengertian ‘ketentuan hukum’ termasuk pula ‘hukum
tidak tertulis’. contoh :
- Imunisasi
- Pemberantasan dan Tata Cara Mengatasi Penyakit
Menular.
2. Ketentuan yang tidak berhubungan dengan bidang
pemeliharaan kesehatan namun merupakan penerapan dari
bidang hukum, antara lain :
a. Hukum Perdata, contoh hubungan antara dokter dan
pasien yang merupakan
- hubungan medis
- hubungan hukum sebab adanya kontrak dengan
tujuan penyembuhan (kontrak Terapeutik), contoh
berdasarkan Pasal 1320 BW menyatakan bahwa
syarat sahnya suatu persetujuan adalah : adanya
kesepakatan antara para pihak.
b. Hukum Pidana, dalam terjadi hal-hal seperti :
- Kelalaian yang mengakibatkan matinya seseorang
(Pasal 359 KUHP)
- Kelalaian yang mengakibatkan luka berat atau cacat
(Pasal 360 KUHP)
c. Hukum Administrasi, contoh Izin Praktek yang
dikeluarkan oleh Depkes yang harus dimiliki oleh setiap
dokter praktek, Rumah Sakit, apotik, dll.
3. Pedoman Internasional, Hukum Kebiasaan, Jurisprudensi
yang berkaitan dengan Pemeliharaan Kesehatan (Health
Care).
4. Hukum Otonom, ilmu dan literatur yang menjadi sumber
hukum.
Menurut Anggaran Dasar PERHUKI, yang dimaksud dengan :
1. Hukum Kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang
berhubungan langsung dengan pemeliharaan/pelayanan
kesehatan dan penerapannya, serta hak dan kewajiban baik
dari perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai
penerima layanan kesehatan (health receivers) maupun
sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan (health providers)
dalam segala aspek organisasi, sarana, pedoman-pedoman
medik, ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum, serta
sumber-sumber hukum lainnya.
2. Hukum Kedokteran adalah bagian dari hukum kesehatan
yang menyangkut pelayanan medis.
Berdasarkan beberapa pengertian yang ada, dapat
disimpulkan bahwa Hukum Kesehatan dan Hukum Kedokteran
berbeda dengan ilmu Kedokteran Kehakiman.
Hukum Kedokteran (Law for Medicine) maupun Hukum
Kesehatan adalah pengetahuan tentang peraturan dan ketentuan
hukum yang mengatur pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Yang dibicarakan adalah : hak dan kewajiban pasien, hubungan
Rumah sakit dengan Dokter Tamu, paramedis dengan pasien,
izin tindakan medis, malpraktek, konsep bayi tabung, kontrak
terapeutik, medical negligence, dll.
Kedokteran Kehakiman (Medicne for Law) adalah pengetahuan
yang menggunakan ilmu kedokteran untuk membantu kalangan
hukum dan peradilan. Yang dibicarakan adalah tanda-tanda
kematian, kaku mayat, lebam mayat, otopsi, identifikasi,
penentuan lamanya kematian, abortus, keracunan, narkotika,
kematian tidak wajar, perkosaan, Visum et Repertum, dll.
C. Fungsi Hukum Kesehatan
Hukum memiliki fungsi penting sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai oleh hukum itu sendiri, yaitu melindungi,
menjaga ketertiban dan ketentraman masyarakat. Sejalan dengan
asas hukum, maka fungsi hukum pun ada tiga, yaitu :
1. Fungsi Manfaat;
2. Fungsi Keadilan;
3. Fungsi Kepastian hukum
Ketiga fungsi hukum ini pada prinsipnya adalah ingin
memberi ‘perlindungan’ dari aspek ‘hukumnya’ kepada setiap
orang atau pihak, dalam berbagai bidang kehidupannya. Dengan
kata lain, yang ingin diberikan adalah ‘perlindungan hukum’ jika
timbul persoalan-persoalan hukum dalam kehidupan sosial di
masyarakat.
Dalam pengertian melindungi, menjaga ketertiban dan
ketentraman itulah tersimpul fungsi hukum. Dalam fungsinya
sebagai alat ‘social engineering’ (pengontrol apakah hukum sudah
ditepati sesuai dengan tujuannya), maka hukum dalam kaitannya
dengan penyelesaian masalah-masalah di bidang kedokteran/
kesehatan, diperlukan. sebab fungsi hukum ini berlaku
biasanya maka hal ini berlaku pula dalam bidang
Hukum Kesehatan dan Hukum Kedokteran.
Di dalam dunia Pelayanan Kesehatan (Health Care), pada
dasarnya terdapat dua kelompok orang yang selalu menginginkan
‘adanya kepastian hukum’. Sebab dengan adanya kepastian
ini , maka orang-orang ini akan merasa ‘terlindungi’
secara hukum. Kedua kelompok ini ialah :
1. Kelompok Penerima Layanan Kesehatan (Health Receiver),
antara lain adalah : pasien (orang sakit) dan orang-orang
yang ingin memelihara atau meningkatkan kesehatannya.
» Kepastian Hukumnya : antara lain, adanya ijazah dan
Surat Izin Praktek Dokter.
» Perlindungan Hukumnya : adanya ketentuan hukum
(Perdata) yang memberi jaminan ganti rugi jika terjadi
hal-hal yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.
2. Kelompok Pemberi Layanan Kesehatan (Health Providers)
antara lain adalah para medical providers yaitu dokter dan
dokter gigi, serta paramedis atau tenaga kesehatan yaitu
perawat, bidan, apoteker, asisten apoteker, analis atau
laboran, ahli gizi, dan lain-lain.
Pada hakikatnya hukum menghendaki adanya penataan
hubungan antar manusia, termasuk juga hubungan
antara dokter dan pasien, sehingga kepentingan
masing-masing dapat terjamin dan tidak terjadi pelanggaran
kepentingan oleh pihak lain.
Meningkatnya peranan hukum dalam pelayanan kesehatan
antara lain juga dipicu oleh semakin meningkatnya
kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan, dimana
pelayanan kesehatan itu sebenarnya juga merupakan perbuatan
hukum yang mengakibatkan timbulnya hubungan hukum.
Informed Consent (persetujuan atas dasar informasi)
merupakan salah satu hak pasien dan juga bentuk hubungan
yang spesial antara dokter dengan pasien. Bentuk hubungan ini
merupakan salah satu alat yang memungkinkan pasien untuk
‘menentukan nasibnya sendiri’ dalam praktik dokter.
Syarat terjadinya Informed Consent yaitu :Adanya Informasi yang adequat kepada pasien tentang
perlunya tindakan medis diberikan serta resiko-resiko yang
dapat ditimbulkannya. Berdasarkan informasi yang diberikan
oleh dokter itulah maka pasien memberi persetujuannya.
˥ Adanya Persetujuan Pasien ; untuk setiap tindakan, baik
yang bersifat diagnostik maupun terapeutik. Tindakan
yang dimaksud adalah Tindakan Medik. Menurut Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 585/Menkes/ Per/IX/1989 :
» Pasal 1 sub b dan c; “Tindakan medik adalah tindakan
yang dilakukan terhadap pasien berupa diagnostik atau
terapeutik”,
» Pasal 2 ; “Semua tindakan medik yang akan dilakukan
terhadap pasien harus mendapat persetujuan”.
Di dalam pelayanan medik, agar pemberian pertolongan
dapat berfungsi maka para pemberi pertolongan perlu memberi
informasi atau keterangan tentang keadaan dan situasi kesehatan
kepada pasien yang bersangkutan.
Hubungan antara informasi dan persetujuan dinyatakan
dalam istilah informed consent, namun menurut Leenen
bahwa informasi dan persetujuan tidak selalu hadir bersamaan.
Alasannya adalah :
1. Ada persetujuan tanpa inormasi dalam situasi pemberian
pertolongan darurat. Dalam hal ini persetujuan dianggap
ada.
2. Pada umumnya kewajiban untuk memberi informasi yang
lebih luas hanyalah demi mendapatkan persetujuan.
3. Adakalanya kewajiban dokter untuk memberi informasi lebih kecil dibandingkan kewajibannya untuk mendapatkan
persetujuan.
Menurut Appelbaum, agar dapat menjadi doktrin hukum,
maka informed consent harus memenuhi syarat :
1. Adanya kewajiban dokter untuk menjelaskan informasi
kepada pasien.
2. Adanya kewajiban dokter untuk mendapatkan izin atau
persetujuan dari pasien sebelum perawatan dilaksanakan.
Istilah Informed Consent pada umumnya dikaitkan dengan
istilah Persetujuan Tindakan Medis (PTM) jika berkaitan dengan
persetujuan atau izin yang harus didapatkan dari pasien atau
keluarga pasien oleh pihak dokter atau Rumah Sakit sebelum
melakukan operasi atau tindakan infasif lainnya yang beresiko.
Oleh sebab itu PTM jenis ini sering disebut dengan Surat izin
Operasi, Persetujuan Pasien, Surat Perjanjian, dan lain-lain
istilah. PTM sesungguhnya berangkat dari 2 (dua) hak dasar
pasien, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri (termasuk
untuk memberi persetujuan) dan hak atas informasi medis.
Informed Consent (PTM) menurut hukum, dapat dilakukan
antara lain dengan cara :
˥ menggunakan bahasa yang sempurna dan tertulis
˥ menggunakan bahasa yang sempurna dan lisan
˥ menggunakan bahasa yang tidak sempurna namun dapat
diterima oleh pihak pasien
˥ dengan bahasa isyarat yang dapat dimengerti dan diterima
oleh pihak pasien diam atau membisu namun dipahami atau diterima oleh pihak
pasien.
Oleh sebab itu, bentuk Informed Consent dikategorikan sbb :
1. Dengan pernyataan secara tegas (Expression Consent);
dilakukan baik secara lisan (oral) maupun secara tertulis
(written).
2. Dengan cara diam-diam (Implied or Tacid Consent); dianggap
telah diberikan secara tersirat, baik dalam keadaan biasa
(normal) maupun dalam keadaan gawat darurat, contoh
dengan menggulung lengan baju jika akan disuntik.
Menurut Leenen, informasi seorang dokter kepada
pasiennya dapat berupa penjelasan mengenai :
a. diagnosa (apa nama dan jenis penyakitnya)
b. Terapi dan kemungkinan alternatif terapi
c. Kemungkinan perasaan-perasaan yang akan dialami
(contoh sakit, gatal-gatal, dll)
d. Cara kerja dan pengalaman dokter yang melakukan
e. Resiko
f. Keuntungan terapi
g. Prognosa (bagaimana perjalanan akhirsuatu penyakit,
apakah baik atau buruk).
Secara umum, Informed Consent (Persetujuan Tindakan
Medis) terjadi berdasarkan hak pasien atas informasi mengenai
apa jenis penyakitnya, apa alternatif pengobatan yang akan
diterima, serta hak pasien untuk memberi persetujuan atas
apa yang akan dilakukan terhadap dirinya. Sehingga Informed Consent merupakan hak pasien untuk memberi persetujuan
setelah sebelumnya ia menerima informasi.
Contoh :
Seorang pasien dalam keadaan apenditis (usus buntu) akut.
Dokter telah menjelaskan kepada pasien tentang penyakit
ini dan tindakan-tindakan yang sebaiknya dilakukan,
kemungkinan resiko, dan harapan yang akan dihadapi dari
tindakan ini . Bila si pasien tidak bersedia dioperasi
seangkan pihak dokter dan RS menganggap harus segera
poerasi, maka dokter aatau RS tidak dapat memaksa pasien
ini . Dari keadaan seperti inilah biasanya pihak dokter
atau RS meminta persetujuan dari pihak keluarga dengan
tetap menjelaskan hal-hal yang telah dijelashan kepada pasien.
Fungsi dari adanya persetujuan dari pihak keluarga
adalah sebagai alat untuk menangkis tuduhan yang
mungkin diajukan oleh pihak pasien jika terjadi sesuatu
hal yang tidak diinginkan atau operasi dan tindakan
medis ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Kata-kata yang sering tercantum dalam PTM adalah : “tidak
akan mengadakan penuntutan kedapa dokter dan RS”
dan “segala akibat merupakan tanggung jawab keluarga”.
Berdasarkan Pasal 6 Permenkes Nomor 585/MenKes/ Per/
IX/89; bahwa ‘tindakan bedah (operasi atau tindakan invasif
lainnya), informasi harus diberikan sendiri oleh dokter yang akan
melakukan tindakan operasi ini .
Dalam hal pasien tidak mampu memberi persetujuan,
pemberian persetujuan dapat dilakukan oleh keluarga terdekat pasien. namun akan timbul masalah jika ternyata bahwa meski
pun keluarga menyetujui operasi namun pasien yang bersangkutan
tidak setuju dioperasi, atau sebaliknya.
Secara yuridis dokter sudah boleh mengoperasi dengan hanya
persetujuan pasien yang bersangkutan saja, namun dokter harus
memberi informasi tentang segala resiko dan kemungkinan
perluasan operasi, seandainya operasi ini tidak disetujui
oleh pasien atau keluarga pasien.
Ada empat alasan mengapa dokter menjadi tidak wajib
memberi informasi kepada pasien, yaitu :
1. Jika terapi memang menghendaki hal demikian (suggestve
terapeuticum)
2. Jika dapat merugikan pasien, contoh pasien dapat
mengalami shocksebab mengidap penyakit jantung
3. Jika pasien sakit jiwa, sehingga tidak dapat diajak berkomunikasi (IC diganti dengan Keputusan Pengadilan)
4. Jika pasien belum dewasa, yaitu :
a. Anak-anak (Jongereminderjarig)
b. Anak menjelang dewasa (Oudereminderjarig)
Teori-teori tentang Informed Consent :
a. Teori Manfaat Untuk Pasien
Pada hakikatnya pemberian informasi kepada pasien
harus dilakukan sedemikian rupa sehingga pasien dapat
berperan serta dalam proses pembentukan dan pengambilan
keputusan, bahkan secara aktif pasien menguasainya,
agar semaksimal mungkin dapat diperoleh manfaatnya.Terhadap teori ini timbul keraguan sebab dengan
dianutnya asas manfaat bagi pasien, berarti tertutup
kemungkinan dilakukannya eksperimen non-terapeutik.
b. Teori Manfaat Bagi Pergaulan Hidup
Teori ini menitikberatkan pada pandangan utilitis yaitu
bahwa kemanfaatan yang terbesar adalah bagi jumlah yang
terbesar. Penyelenggaraan eksperimen diperkenankan
apabila didasarkan pada pertimbangan ‘manfaatnya
lebih banyak daripada hasil buruknya (mudharatnya)’.
Pandangan para penganut teori ini terhadap pengertian
manfaat tidak dibatasi oleh pertimbangan ekonomis
belaka. Nilai estetika, kebudayaan, keagamaan,
dan psikologis harus ikut dipertimbangkan.
c. Teori Menentukan Nasib Sendiri
Setiap orang yang pada pemeriksaan medis menuntut
adanya Informed Consent berdasarkan alasan lain dari
nilai, yaitu diperolehnya persetujuan untuk mempermudah
dicapainya kepentingan umum, harus mengakui bahwa
para individu memiliki tuntutan terhadap pergaulan
hidup. Tuntutan ini sedemikian kuat sehingga disebut
sebagai hak. Adanya hak individu untuk menentukan
nasib sendiri menyebabkan Informed Consent penting
bagi semua tindakan yang dilakukan atas tubuh,
bahkan atas pelanggaran susasana kehidupan pribadi.
Dengan demikian, hak untuk menentukan nasib sendiri
memberi dasar otonom bagi syarat Informed Consent.Informed Consent dan Pasien Tidak Sadar
Telah diketahui bahwa Informed Consent sangat penting,
sebab di samping menyangkut hak-hak pasien juga terkait
kewajiban dokter yang melakukan tindakan medis dengan tujuan
untuk menyelamatkan jiwa (life saving).
Terhadap pasien tidak sadar, tentulah akan sulit untuk
memberi dan mendapatkan IC. Persetujuan Tindakan Medis
terhadap Pasien Tidak Sadar sangat tergantung pada keinginan
dokter yang bersangkutan, yaitu :
a. Dokter dapat menunggu sampai keluarga pasien datang;
b. Dokter dapat menunggu sampai pasien sadar, tanpa
membahayakan jiwa pasien;
c. Segera melakukan tindakan medis atas dasar :
1. Life Saving (penyelamatan jiwa)
2. Fiksi Hukum (pasien tidak sadar dianggap akan
menyetujui juga hal-hal yang umumnya disetujui oleh
para pasien yang berada dalam keadaan sadar dengan
kondisi sakit/penyakit yang sama (presumed consent)
3. Zaakwaarneming (perwakilan sukarela).
Persetujuan khusus tidak lagi dibutuhkan untuk suatu
tindakan operasi (bedah) yang telah mendapat persetujuan diamdiam (implied consent). contoh :
˥ Suntikan premedikasi dalam rangka pelaksanaan operasi.
˥ Pencukuran rambut pada bagian yang akan dioperasi.Terobosan Umur Dewasa
Secara Hukum Perdata, seseorang dinyatakan dewasa pada
usia 21 tahun (Pasal 330 KUHPerdata). namun dalam banyak
hal, banyak orang yang belum dewasa (dari segi usia) sudah
dianggap mampu bertindak menurut hukum dan atau tanpa
seizin orangtuanya. Hal inilah yang disebut dengan terobosan
umur dewasa dalam hukum.
˥ Perkara Perdata :
» menikah di usia 17 atau 18 tahun (Pasal 47 UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawina)
» membuat testamen di usia 18 tahun
» mengadakan kontrak kerja di usia 18 tahun (Pasal 1
Angka 26 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan)
˥ Perkara Pidana :
» melakukan tindak pidana di usia 18 tahun sehingga
ancaman pidananya sama dengan orang dewasa yang
melakukan tindak pidana yang sama (Pasal 45 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana)
» mengajukan pengaduan terhadap suatu delik aduan di
usia belum genap 18 tahun (Pasal 1 Angka 1-4 UndangUndang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak)
˥ Perkara hukum lainnya :
» berhak ikut PEMILU sebab telah berumur 17 tahun
» di usia 17 tahun sudah boleh membawa kendaraan bermotor di jalan raya/jalanan umum
» berhak memiliki SIM di usia 17 tahun.
. Hak Memilih Dokter dan Sarana Kesehatan
yang bersifat relatif atau tidak mutlak,
contoh :
˥ Pada Rumah Sakit Pemerintah, hak ini dibatasi oleh antara
lain adanya jadwal dan pembagian tugas dokter jaga sehingga
pasien harus menaati tata kerja Rumah Sakit ini
termasuk tidak dapat memilih dokter sesukanya.
˥ Pada RS Swasta, hak memilih dokter jaga lebih longgar
sehingga pasien dapat memilih dokter yang dikehendaki.
Status atau keadaan tertentu dari pasien untuk memilih
sarana kesehatan juga memiliki pengaruh, contoh :
˥ ABRI/POLRI : dapat berobat gratis hanya pada Rumah Sakit
tertentu (ABRI dapat gratis pada RS TNI dan POLRI boleh
gratis pada RS Bhayangkara)
˥ Pegawai perusahaan tertentu (contoh PERTAMINA) dapat
berobat gratis pada RS PERTAMINA
˥ Pemegang Polis Asuransi Kesehatan dapat berobat gratis ke
RS atau sarana kesehatan tertentu yang telah ditunjuk atau
ditentukan oleh perusahaan asuransi yang bersangkutan.
Jika pasien-pasien ini di atas memilih Rumah Sakit yang
lain, maka resikonya adalah harus membayar atau menggunakan
biaya sendiri (tidak gratis).
Hak Atas Rahasia Kesehatan/Kedokteran
Masalah ‘larangan membuka rahasia pasien oleh dokter
merupakan salah satu masalah klasik di bidang kedokteran,
sehingga dalam banyak naskah kedokteran/kesehatan didapati
ketentuan-ketentuan yang prinsipnya melarang dokter untuk
membuka rahasia pasiennya, yang oleh pasien telah diungkapkan
kepada dokter yang bersangkutan. Beberapa ketentuan yang
dimaksud antara lain adalah :
˥ Pasal 322 KUHP :
“Barangsiapa dengan sengaja membuka suatu rahasia
yang wajib ia simpan sebab jabatan atau pekerjaannya,
baik sekarang maupun yang dahulu, dihukum dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda . . .”.
˥ Deklarasi Jenewa (pertemuan membicarakan Hukum
Kesehatan Sedunia dan Kode Etik Kedokteran
Internasional) :
“. . . saya akan menjaga rahasia yang diberikan kepada
saya, bahkan setelah pasien meninggal dunia . . .”.
˥ Lafal Sumpah Dokter :
“Demi Allah saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan
merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui sebab
pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai dokter”.
˥ Pasal 51 huruf c UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran :
“Dokter atau dokter gigi dalam melakukan praktik
kedokteran memiliki kewajiban merahasiakan
segala sesuatu yang diketahui tentang pasien
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia”.
Perlindungan terhadap kerahasiaan yang timbul dari
hubungan antara dokter dan pasien yang dilakukan dalam rangka
melindungi hak-hak pasien, yaitu :
˥ Hak Otonomi yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri
˥ Hak Privacy yaitu hak untuk tidak diganggu atau dicampuri
masalah pribadinya oleh orang lain.
Rahasia Kedokteran ialah :
˥ Segala sesuatu yang disampaikan oleh pasien kepada dokter,
yang dilakukan baik secara sadar maupun tidak sadar; atau
˥ Segala sesuatu yang telah diketahui oleh dokter sewaktu
mengobati dan merawat pasien (yang telah diketahui
berupa informasi; pengkuan; dokumen; hasil laboratorium;
komunikasi; hasil investigasi; hasil observasi’ hasil diagnostik
maupun terapeutik, dll).
Aspek hukum dari Hak atas Rahasia Kedokteran ada 2, yaitu :
˥ Aspek Hukum Pidana, jika memenuhi rumusan delik Pasal
322 ayat (2) KUHP yang merupakan delik aduan, maka
dokter dapat digugat.
˥ Aspek Hukum Perdata, jika memenuhi Pasal 1365
KUHPerdata yaitu melakukan wanprestasi atau perbuatan
yang bertentangan dengan hukum dan sebab memicu
kerugian, maka dokter dapat digugat.
Para dokter seringkali dihadapkan pada kondisi yang serba
salah. contoh dokter ABRI/POLRI atau dokter perusahaan, yang
diperintahkan oleh atasannya untuk memberi keterangan
atau penjelasan tentang penyakit dan riwayat penyakit para
anggota ABRI/POLRI atau para pegawai perusahaan yang
diketahui atau dimiliki oleh para dokter ini . Kondisi serba
salah ini dikaitkan dengan:
˥ Pasal 51 KUHP :
» orang yang melakukan tindak pidana sebab menjalankan
perintah jabatan (perintah atasan yang berwenang)
» orang yang melakukan tindak pidana sebab menjalankan
perintah yang disangka perintah jabatan (menyangka
perintah atasan).
˥ Presumed Consent ; contoh untuk menjadi anggota
ABRI maka segala data diri harus diketahui oleh instansi
atau atasannya, termasuk rahasia kesehatannya.
Namun ada beberapa hal yang memungkinkan dapat
dikesampingkannya hak atas Rahasia Kedokteran dari pasien
yaitu :
1. Bila ada undang-undang yang khusus mengaturnya. Contoh
: Undang-Undang tentang Penyakit Menular;
2. Bila keadaan pasien dapat membahayakan umum atau orang
lain. contoh sopir yang berpenyakit ayan atau perawat yang
berpenyakit sifilis;
3. Bila pasien telah memperoleh hak sosialnya. Contoh : pasien
telah mendapat tunjangan khusus atas penyakit yang
dideritanya, dari perusahaan;
4. Bila ada izin yang telah diberikan oleh pasien (lisan atau
tertulis);
5. Bila pasien memberi kesan ‘mengizinkan’ kepada dokter.
contoh , pasien membawa teman/pendamping ke ruang
prakterk dokter;
6. Bila diperlukan untuk kepentingan umum atau kepentingan
yang lebih tinggi. Contohnya : pengumuman keadaan
kesehatan Presiden.
Kewajiban Dokter
Pada umumnya Kewajiban Dokter dibedakan ke dalam tiga
kelompok, yaitu :
1. Kewajiban yang Berhubungan dengan Fungsi Sosial
dari pemeliharaan kesehatan (health care) yaitu kewajiban
dokter untuk memperhitungkan faktor-faktor kepentingan
masyarakat, contoh :
» berhati-hati dalam mendistribusikan persediaan obat
yang tinggal sedikit di tempat dimana ia bekerja;
» dapat memperhitungkan keadaan pasien dan daya
tampung RS yang akan ditunjuk untuk opname pasien;
» mempertimbangkan apakah akan menulis resep atau
tidak, terhadap obat yang tidak terlalu penting bagi
pasien;
» mempertimbangkan untuk menuliskan hal-hal yang
diperlukan demi penyembuhan yang sesuai dengan
kesanggupan (daya beli) pasien.
2. Kewajiban yang Berhubungan dengan Hak-Hak Pasien,
terutama beberapa hak pasien yang harus dihormati oleh seseorang dokter dalam melakukan suatu transaksi
terapeutik, yaitu :
» Hak Atas Informasi ; dokter wajib menjelaskan kepada
pasien atau keluarga pasien, diminta atau tidak, mengenai
penyakit, pengobatan atau Tindakan Medis yang akan
dilakukan, resiko dan efek samping yang mungkin
terjadi, keuntungan serta prognosa dari Tindakan Medis
yang dilakukan ini .
» Hak memberi persetujuan Tindakan Medis; dokter
wajib mendapatkan persetujuan dari pasien atau
keluarga- nya untuk pelaksanaan Tindakan Medis atau
pengobatan.
» Hak Atas Rahasia Kedokteran ; dokter wajib merahasiakan
segala hal yang disampaikan oleh pasien secara sadar
maupun tidak, dan segala yang diketahui oleh dokter
sewaktu mengobati dan merawat pasiennya.
3. Kewajiban yang Berhubungan dengan Standar Profesi
Kedokteran, yaitu dokter wajib bekerja sesuai dengan
standar profesi medis yang dipunyainya, artinya bahwa
dokter dalam memberi pelayanan kesehatan dituntut untuk
senantiasa bertindak secara teliti dan seksama.
Di dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
juga mengatur biasanya tentang kewajiban-kewajiban
dokter, sbb:
1. Kewajiban Umum (Pasal 1-9)
» Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan Sumpah Dokter.» Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya
menurut ukuran yang tertinggi.
» Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang
dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan
keuntungan pribadi.
» Tiap perbuatan atau nasihat yang mungkin melemahkan
daya tahan makhluk insani (jasmani maupun rohani)
hanya diberikan untuk kepentingan penderita.
» Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam
mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik
atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya.
» Seorang dokter hanya memberi keterangan atau
pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya.
» Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter
harus mengutamakan /mendahulukan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan
kesehatan yang menyeluruh, serta berusaha menjadi
pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenarnya.
» Setiap dokter dalam bekerjasama dengan para pejabat di
bidang kesehatan dan bidang lainnya, serta masyarakat,
harus memelihara saling penertian sebaik-baiknya.
2. Kewajiban Terhadap Penderita (Pasal 10-14)
» Setiap dokter harus senantiasa mengingat kewajibnnya
melindungi hidup makhluk insani
» Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan menggunakan
segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentigan
penderita. Jika ia tidak mampu melakukan pemeriksaan/
pengobatan, maka ia wajib merujuk kepada dokter lain
yang memiliki keahlian tentang penyakit ini .
» Setiap dokter harus memberi kesempatan kepada
penderita agar dapat berhubungan dengan keluarga
dan penasihatnya, dalam beribadah atau dalam masalah
lainnya
» Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang penyakit seorang penderita,
bahkan juga setelah penderita itu meninggal.
» Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat
sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali ia yakin
ada orang lain yang mampu dan bersedia memberi
pertolongan.
3. Kewajiban Terhadap Teman Sejawat (Pasal 15 & 16)
» Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya
sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
» Setiap dokter tidak boleh mengambil alih penderita dari
teman sejawatnya tanpa persetujuan temannya itu.
4. Kewajiban Terhadap Diri Sendiri
» Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya
dapat bekerja dengan baik.
» Setiap dokter hendaklah senantiasa mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan tetap setia kepada
cita-cita yang luhur.Hak Dokter
1. Hak untuk bekerja menurut standar profesi medis.
Jika bekerja tidak sesuai dengan standar profesi medis maka
hasilnya mungkin tidak akan sebaik hasil standar profesi
medis yang lebih tinggi. Akibatnya, dokter akan didakwa
melakuakan malpraktik. Oleh sebab itu dokter berhak
menolak untuk melakukan suatu tindakan medis tertentu
meskipun pasien mendesaknya.
2. Hak untuk menolak melakukan suatu tindakan medis yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan secara profesional.
contoh : menolak permintaan untuk melakukan aborsi
atau euthanasia dari pasiennya.
3. Hak unuk menolak suatu tindakan medis yang menurut
suar hatinya (conscience), tidak baik. Dalam hal ini dokter
dikatakan bertindak sesuai sa science et sa conscience.
contoh : seorang dokter (pria) menolak untuk memasang
alat kontrasepsi pada pasien (perempuan).
4. Hak untuk mengakhiri hubungan dengan pasien, kecuali
keadaan gawat darurat.
5. Hak atas privacy dokter, yang merupakan kewajiban paien
untuk meghormatinya.
6. Hak atas itikad baik pasien, yaitu hak dokter untuk
memperoleh informasi dan kemauan pasien menuruti saran
dokter untuk kesembuhannya.
7. Hak atas balas jasa/honorarium.
8. Hak atas pemberian penjelasan lengkap tentang penyakit yang diderita pasien.
9. Hak untuk membela diri jika pasien tidak puas terhadap hasil
kerja dokter yang bersangkutan.
10. Hak untuk memilih pasien (tidak mutlak berlaku jika
statusnya dalam ikatan dinas.
11. Hak menolak memberi keterangan tentang pasiennya di
pengadilan (menolak memberi kesaksian di pengadilan).
Catatan :
Beberapa ketentuan di dalam KUHP yang berkaitandengan
Hak Dokter, yaitu :
˥ Pasal 224 KUHP; tentang kewajiban untuk memberi
kesaksian di persidangan;
˥ Pasal 170 ayat (1) KUHAP : tentang 4 kelompok orang yang
berhak menolak memberi kesaksian yaitu : Dokter, Notaris,
Pengacara, dan Pejabat Keagamaan (Pastor).
Di beberapa negara, masalah kesejatan masih diatur sendiri
oleh masyarakatnya (self regulation). namun di banyak negara,
pemeliharaan kesehatan telah diatur oleh negara dalam bentuk
peraturan perundang-undangan, sebab pemeliharaan kesehatan
ini telah menjadi tanggung jawab negara/pemerintah.
Kepentingan hukum pihak penerima pelayanan kesehatan sama
beratnya dengan kepentingn hukum yang dibutuhkan oleh pihak
pemberi layanan kesehatan.
Hak dan kewajiban dokter dan pasien perlu pula diatur dalam
bentuk peraturan perundang-undangan dengan tujuan :
1. Melindungi kepentingan masyarakat agar mendapat pelayanan kesehatan yang berkualitas dan mengatur batas
antara hak dan kewajiban pasien secara jelas sesuai budaya
nasional.
2. memberi kepastian hukum kepada tenaga kesehatan
yang memberi pelayanan kesehatan dengan mengatur
batas kewenangan, hak, dan kewajiban mereka sesuai
perkembangan ilmu kesehatan/kedokteran.
Salah satu hak pasien yang menjadi kewajiban pihak
dokter atau rumah sakit untuk menjaga kerahasiaannya
adalah hak atas rahasia kedokteran. Rekam medis
merupakan salah satu dari rahasia kedokteran ini . Namun,
meskipun rekam medis ini berisikan rahasia kedokteran
yang menjadi hak pasien, tidaklah berarti bahwa rekam medis
ini menjadi milik pasien sendiri.
Menurut standar yang universal, rekam medis adalah milik
institusi kesehatan yang membuatnya dan disimpan oleh institusi
ini . Jika pasien maupun dokter ingin mengambil data dari
rekam medis ini , maka ada tata cara yang harus dipenuhi
lebih dahulu.
Ada bermacam-macam definisi mengenai Rekam Medis.
Intinya, Rekam Medis adalah sarana yang mengandung informasi
tentang penyakit dan pengobatan pasien yang ditujukan untuk
menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Informasi
yang dicatat di dalam Medical Record seharusnya dapat menjawab
pertanyaan mengenai : siapa yang dirawat, kapan, dimana, oleh
siapa, bagaimana pengobatannya, siapa yang memberi obat, dan
bagaimana reaksi akibat obat atu pengobatan ini .
Kegiatan memberi layanan kesehatan oleh pihak pemberi
layanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter baik yang
dilakukan secara pribadi maupun yang dilakukan di Rumah
Sakit/Puskesmas, tentu erat kaitannya dengan pemberian
layanan Rekam Medis. Pemberian layanan Rekam Medis
semakin dirasakan perlu di pusat-pusat pelayanan kesehatan.
Adanya kegiatan Rekam Medis yang baik semakin disadari dapat
menunjang kemajuan di dunia kedokteran.
Menurut Edna K. Huffman, manfaat atau kegunaan
Rekam Medis antara lain sebagai berikut :
1. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan ahli-ahli kesehatan
lainnya dalam merawat pasien;
2. Merupakan dasar perencanaan peerawatan pasien;
3. Sebagai alat bukti dari setiap masa perawatan atau berobat
jalan;
4. Sebagai dasar analisa, studi, evaluasi terhadap mutu
pelayanan yang diberikan kepada pasien;
5. Membantu melindungi kepentingan hukum dari pasien,
rumah sakit, dan dokter,
6. memberi data klinis sebagai kegunaan riset maupun
pendidikan;
7. memberi informasi kepada pihak ketiga (terutama pasien
dan atau keluarganya);
8. Sumber perencanaan medis dan non medis bagi instansi pelayanan kesehatan di masa mendatang (Gemala Hatta).
Menurut Amri Amir, untuk memudahkan mengingat
manfaat (value) yang begitu banyak dari Rekam Medis maka
ada sementara orang yang menyingkatkan manfaat rekam
medis (Medical Record Value) ini menjadi ALFRED yang
berarti : Administrative, Legal, Financial, Research, Education and
Documentary.
Manfaat ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
A : Administrative Value (Manfaat Administrasi)
Pihak administrator, tenaga medis maupun paramedis
dapat menjalankan kegiatan pelayanan dengan baik
dengan adanya pencatatan (administrasi) yang baik.
Termasuk pula jika timbul masalah menyangkut kebijakan
dan tindakan pejabat yang berwenang selama memegang
jabatan dalam upaya mencapai tujuan administrasi.
L : Legal Value (Manfaat perlindungan hukum)
Jika timbul tuntutan dari pasien atau keluarganya
terhadap dokter/rumah sakit, maka Medical Record
merupakan bukti-bukti yang akan menjadi pegangan bagi
dokter/rumah sakit yang berisikan tentang apa, siapa,
kapan, dan bagaimana tindakan medik itu berlangsung.
Rekam Medis tidak saja memberi perlindungan kepada
kepentingan hukum dokter dan rumah sakit, namun
juga untuk kepentingan hukum pasien dan keluarganya.
F : Financial or Fiscal Value (Manfaat Anggaran)
Menginformasikan data biaya yang harus ditanggung
oleh pasien selama dalam perawatan (rentetan kegiatan pelayanan medis). Manfaatnya ke depan adalah dapat
dipakai sebagai perencanaan keuangan (anggaran) untuk
perawatan dan pemeliharaan kesehatan di masa mendatang.
R : Research Value (Manfaat Penelitian)
Dapat dikatakan bahwa semua penyakit dan perjalanannya
serta pengaruh terapi/pengobatan yang berasal dari
data rekam medis, dapat digunakan sebagai objek
penelitian untuk ilmu pengetahuan khususnya di bidang
kesehatan dan dunia kedokteran. Namun data untuk
penelitian yang dapat diambil hanyalah data yang
memang telah dipersiapkan untuk kepentingan riset ini.
E : Education Value (Manfaat Pendidikan)
Medical record yang berisi dan informasi tentang perkembangan
dan kronologis kegiatan medis yang diberikan kepada pasien
dapat digunakan sebagai bahan pendidikan dan pengajaran.
D : Documentary Value (Manfaat Pengarsipan)
Semua bahan/data hasil pengamatan (rekaman)
dikumpulkan, ditata, dan disiapkan untuk dapat langsung
dipergunakan setiap saat bila tiba-tiba diperlukan.
Bentuknya dapat tertulis, foto, hasil ECG, EEG, dan lain-lain.
Manfaat rekam medis ini di atas baru memiliki arti
ALFRED jika para pemberi layanan kesehatan mengurut dengan
baik dan benar segala rekaman kegiatan tindakan medis yang
diberikan kepada pasien.
Dasar Hukum
Perkembangan rekam medis di Indonesia dapat dihubungkan
dengan beberapa Keputusan Menteri Kesehatan RI yaitu :
1. Kepmenkes RI Nomor 031/Birhup/1972 yang menyatakan
agar semua rumah sakit diharuskan mengerjakan medical
recording dan reporting, serta hospital statistic.
2. Kepmenkes RI Nomor 034/Birhup/1972 tentang Perencanaan
dan Pemeliharaan Rumah Sakit, yang menyatakan: “guna
menunjang terselenggaranya Rencana Induk (Master Plan)
yang baik, maka setiap rumah sakit diwajibkan :
a. memiliki dan merawat statistik yang up to date,
b. membina medical record yang berdasarkan ketentuanketentuan yang telah ditetapkan.
3. Kepmenkes RI Nomor 134/Menkes/SK/IV/78 tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Umum, yang
menyatakan : “Sub bagian pencatatan medis memiliki
tugas mengatur pelaksanaan kegiatan pencatatan medis”,
4. Fatwa IDI tentang Rekam Medis (SK Nomor 315/PB/A.4/88-
8 Februari 1988) yang menekankan bahwa praktek profesi
kedokteran harus melakukan rekam medis. Fatwa IDI
juga mengemukakan beberapa masalah rekam medis yang
harus diketahui oleh tenaga kesehatan;
5. SK Menteri Kesehatan Nomor 749 a/Menkes/Per/XII/1989
tentang Rekam Medis (Medical Record). Dalam SK ini
tersurat adanya kewajiban bagi tenaga kesehatan untuk
melakukan Rekam Medis.
Selain beberapa Kepmenkes yang membahas tentang
kewajiban mengadakan atau melakukan rekam medis, ada
juga beberapa ketentuan hukum yang menjamin kerahasiaan
informasi yang terkandung dalam rekam medis, yaitu :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib
Simpan rahasia Kedokteran;
2. Pasal 322 KUHP :
3. Pasal 1365 KUHPerdata;
4. Pasal 1367 KUHPerdata.
C. Isi dan Persyaratan
Pada umumnya tempat-tempat pemberi layanan kesehatan
memiliki 2 bentuk pelayanan yaitu rawat jalan dan rawat inap.
Kedua bentuk pelayanan inilah yang melakukan pencatatan
rekam medis. Hanya saja pada rekam medis rawat inap, pada
umumnya isinya/informasinya lebih lengkap.
Isi rekam medis seharusnya memuat informasi yang
lengkap tentang :
1. Identitas dan formulir perijinan (Lembar Hak Kuasa);
2. Riwayat penyakit;
3. Laporan pemeriksaan fisik;
4. Instruksi diagnostik dan terapeutik dengan tanda tangan
pejabat kesehatan yang berwenang :
» bila dalam keadaan darurat dokter yang bertanggung
jawab untuk mencatat langsung RM dan menitipkan
pada seseorang, maka dokter ini wajib dalam 24
jam untuk memeriksa dan menandatangani catatan
dalam berkas RM yang memuat instruksi tidak langsung
ini ,
» Bila catatan ini mengandung salah pengertian,
maka dokter harus segera memuat koreksi di lembar
halaman ini ;
5. Adanya catatan observasi;
6. Laporan tindakan dan penemuan :
» termasuk dari unit penunjang kesehatan : radiologi,
laboratorium, laporan operasi, tanda tangan persetujuan
oleh apsien, tanda tangan dokter, dll,
» laporan operasi segera dibuat setelah berakhirnya operasi
dan memuat informasi lengkap mengenai penemuan,
cara operasi, benda yang dikeluarkan, serta diagnosa
pasca bedah;
7. Resume pasien (ringkasan riwayat pulang), memuat diagnosa
sementara dan diagnosa utama, sekunder, tersier dan
lainnya:
» riwayat masuk dan pulang mencerminkan evaluasi
kondisi pasien saat masuk perawatan;
» resume pasien harus dibuat oleh RS dan diteruskan ke
dokter pengirimnya (bila ada) disertai arsip yang harus
ada dalam berkas rekam medis ini ;
» diagnosa sementara harus dicatat dalam rekam medis
dalam waktu 72 jam dan bila mungkin, protokol lengkap
disiapkan dalam 3 bulan.
Beberapa persyaratan agar rekam medis yang memuat data
dan informasi ini menjadi berkualitas, yaitu data haruslah:
1. akurat, agar menggambarkan proses atau hasil akhir yang
diukur secara benar;
2. lengkap, agar mencakupi seluruh karakteristik pasien;
3. dapat dipercaya, agar dapat digunakan dalam berbagai
kepentingan;
4. valid, sah dan sesuai dengan gambaran atau proses akhir
yang diukur;
5. tepat waktu, agar dapat dilaporkan mendekati waktu
pelayanan;
6. dapat digunakan, sebab menggunakan gambaran bahasa
dan bentuk yang memungkinkan terjadinya interpretasi,
analisis dan pengambilan keputusan;
7. seragam, agar efisiensi delemen data dan penggunaannya
konsisten dengan definisi di luar organisasi;
8. dapat dibandingkan, agar dapat terevaluasi dengan
menggunakan referensi data dasar yang berkaitan dengan
sumber-sumber riset dan literatur;
9. terjamin, agar terjaga kerahasiaan informasi spesifik pasien;
10. mudah diperoleh, baik melalui komunikasi langsung dengan
tenaga kesehatan, pasien, dan sumber-sumber lain.
D. Masa Penyimpanan
Penyimpanan berkas rekam medis yang dibuat setiap
hari tanpa ada pengurangan, akan memicu masalah
penumpukan dan penimbunan. Namun pemusnahannya tidak dapat dilakukan begitu saja.
Berdasarkan PerMenKes Nomor 749 a Tahun 1989 tentang
Rekam Medis, pada Pasal 7 dijelaskan bahwa :
(1) Lama penyimpanan rekam medis sekurang-kurangnya dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung dari tanggal terakhir
pasien berobat,
(2) Lama penyimpanan rekam medis yang berkaitan dengan
hal-hal yang bersifat khusus dapat ditetapkan tersendiri.
Pasal 8 menjelaskan :
(1) Setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada Pasal
7 dilampaui, rekam medis dapat dimusnahkan,
(2) Tata cara pemusnahan sebagaimana dimaksud ayat (1)
ditetapkan oleh Dirjen.
Sarana-sarana atau tempat-tempat pelayanan kesehatan
yang ada dan tersebar di berbagai tempat merupakan
salah satu wujud dan peran serta pemerintah dan
masyarakat dalam memberi perhatian di bidang kesehatan.
Dan, salah satu bentuk sarana pelayanan kesehatan adalah
Rumah Sakit.
A. Fungsi Rumah Sakit
Rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan memiliki
banyak fungsi yang ditinjau dari beberapa aspek, yaitu :
˥ Menurut Permenkes Nomor 159 b/Menkes/Per/II/1988,
fungsi rumah sakit adalah :
1. menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan medik,
pelayanan penunjang medik, pelayanan perawatan,
pelayanan rehabilitasi, pencegahan dan peningkatan
kualitas kesehatan;
2. sebagai tempat pendidikan dan atau latihan tenaga
medik;3. sebagai tempat penelitian dan pengembangan ilmu dan
teknologi bidang kesehatan.
˥ Menurut Kepmenkes Nomor 983/Menkes/SK/XI/1992
tentang Pedoman Rumah Sakit Umum, fungsi rumah sakit
adalah :
1. menyenggarakan pelayanan medik;
2. menyelenggarakan pelayanan penunjang medik;
3. menyelenggarakan pelayanan dan asuhan keperawatan;
4. menyelenggarakan pelayanan rujukan;
5. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan;
6. menyelenggarakan penelitian dan pengembangan;
7. menyelenggarakan administrasi umum dan keuangan.
˥ Menurut Hudenberg, rumah sakit berfungsi sebagai :
1. sistem penginapan pasien;
2. sistem pengobatan;
3. sistem pemasokan;
4. sistem kerumahtanggaan;
5. sistem instalasi;
6. sistem pengusahaan.
˥ Menurut Durbin & springall, rumah sakit berfungsi sebagai :
1-6, sama dengan pendapat Hudenberg;
7. sarana pendidikan dokter.
˥ Catatan tambahan :
Rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan selain
sebagai konsentrasi berbagai tenaga ahli atau lembaga padat karya, juga sebagai lembaga padat modal, padat
teknologi, dan padat waktu. Oleh sebab itu, rumah
sakit selain sebagai tempat rawat inap bagi orang yang
mengalami gangguan kesehatan, juga banyak dimanfaatkan
untuk menangani masalah kesehatan dan juga sebagai
tempat pendidikan dan penelitian bidang kedokteran.
Rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan , menurut
jenis dan tipe (akreditasi)nya dibedakan atas :
1. Rumah Sakit Khusus, yaitu antara lain : RS Mata, RS Jiwa,
RS Jantung, RS Paru-paru, RS Kusta, dll.
2. Rumah Sakit Umum, yaitu :
a. RSU Kelas “A”, yaitu rumah sakit yang memberi
pelayanan spesialisasi dan subspesialisasi lengkap dalam
jumlah yang relatif lebih lebih banyak daripada RSU
Kelas “B”.
b. RSU Kelas “B”, yaitu rumah sakit yang memberi semua
jenis pelayanan spesialisasi lengkap dan beberapa di
antaranya juga memberi pelayanan subspesialisasi
tertentu.
c. RSU Kelas “C”, yaitu rumah sakit yang memberi
pelayanan minimal 4 jenis spesialisasi yakni bedah,
kebidanan & kandungan, anak, dan penyakit dalam.
Dilengkapi juga dengan kemampuan di bidangMedik
Penunjang, yakni spesialisasi radiologi, anestesi, dan
patologi.
d. RSU Kelas “D”, yaitu rumah sakit yang pada umumnya
pelayanan diberikan oleh dokter umum. Dokter yang
mampu memberi pelayanan spesialis jumlahnya
terbatas.
B. Tanggung jawab Rumah Sakit
Bentuk pertanggungjawaban rumah sakit sangat bergantung
pada bagaimana bentuk/wadah rumah sakit ini . Beberapa
hal umum yang menjadi tanggung jawab rumah sakit adalah :
˥ Kewajiban sekaligus tanggung jawabnya untuk menyediakan
peralatan medik yang baik,
˥ Termasuk tindakan dari para karyawan (dokter, perawat,
bidan, tenaga kesehatan dan tenaga administrasi), jika sampai
memicu kerugian bagi pihak pasien atau keluarganya.
˥ Untuk memberi perawatan yang lazim dan wajar untuk
melengkapi dirinya dengan peralatan-peralatan dan fasilitas
secara wajar dan pantas, untuk dipakai atau dipergunakan
dalam kondisi umum, dan situasi yang sama dalam wilayah
rumah sakit ini .
Di dalam penjelasan Pasal 2 Kode Etik Rumah Sakit (Kodersi),
diatur mengenai kewajiban rumah sakit untuk mengawasi dan
bertanggung jawab terhadap semua kejadian di rumah sakit.
Sedangkan Pasal 8 Kodersi mengatur mengenai tanggung jawab
rumah sakit terhadap lingkungan pada saat menjalankan fungsi
operasionalnya. Tanggung jawab yang dimaksud adalah :
a. Tanggung jawab umum merupakan kewajiban pimpinan
rumah sakit menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai
permasalahan-permasalahan, peristiwa, kejadian, dan
keadaan di rumah sakit;
b. Tanggung jawab khusus meliputi tanggung jawab hukum,
etik, dan tata tertib atau disiplin, yang muncul jika ada
anggapan bahwa rumah sakit telah melanggar kaidah-kaidah,
baik dalam bidang hukum, etik, maupun tata tertib atau
disiplin.
c. Tanggung jawab agar tidak terjadi pencemaran yang
memicu kerugian bagi masyarakat, sebab dalam
operasi analisasi rumah sakit banyak menggunakan maupun
dapat menghasilkan bahan-bahan berupa limbah yang
dapat mencemari lingkungan, memicu gangguan,
mengancam dan membahayakan kehidupan manusia.
d. Tanggung jawab agar tidak terjadi penyimpangan ataupun
penyalahgunaan teknologi kedokteran yang dapat merugikan
pasien.
Hukum menurut artinya dapat diartikan dalam tiga hal,
yaitu adil, peraturan perundang-undangan, dan hak.
Hukum dalam arti yang pertama dan ketiga biasanya
disebut sebagai hukum subjektif, sedang hukum dalam arti
yang kedua disebut sebagai hukum objektif. Hukum dalam
arti yang kedua inilah yang akan dibahas berkaitan dengan
tujuannya untuk mencapai suatu kehidupan dalam masyarakat
yang tenteram dan sejahtera.
Dalam kaitannya dengan sistem sosial, hukum objektif
memiliki 3 fungsi yaitu :
1. menjaga keseimbangan susunan masyarakat;
2. mengukur perbuatan-perbuatan manusia dalam masyarakat,
apakah sesuai dengan norma-norma hukum yang telah
ditetapkan;
3. mendidik manusia akan kebenaran, perasaan serta perbuatan
yang benar dan yang tidak menurut ukuran-ukuran yangtelah ditetapkan itu.
Hukum objektif diartikan sebagai rangkaian peraturan yang
mengatur berbagai macam perbuatan, yang boleh dilakukan
dan yang dilarang, siapa yang melakukannya serta sanksi apa
yang dijatuhkan terhadap pelanggaran atas peraturan ini .
Bidang hukum yang mengatur hukum objektif ini adalah bidang
hukum pidana. Sedang bidang hukum yang mengatur perbuatan
manusia pribadi secara perseorangan termasuk dalam bidang
hukum perdata.
Keinginan untuk mengembangkan dan memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi termasuk di dunia kesehatan/
kedokteran tidaklah dapat membuat para ilmuwan dan pemberi
layanan di bidang kesehatan dan kedokteran melupakan etikaetika di bidang ini .
Jika ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan
dan kedokteran ini diterapkan dalam masyarakat, maka
akan memicu pro-kontra antara bidang kesehatan atau
kedokteran yang berpatokan pada etika-etika kesehatan
atau kedokteran ini dengan bidang hukum yang ingin
mewujudkan fungsi dan tujuannya. Sebab, baik etika maupun
hukum, bertujuan untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan
umat manusia. Adanya pro-kontra mengenai boleh tidaknya
penerapan pengembangan ilimu dan teknologi kedokteran inilah
yang memicu problema etika.
Beberapa tantangan dalam dunia kedokteran antara lain
adalah diagnosa matinya seseorang, transplantasi organ tubuh
manusia, kloning organ manusia dan janin, konsep bayi tabung, dan euthanasia.
B. Diagnosa Matinya Seseorang
Diagnosa matinya seseorang akan berdampak pada tindakan
penghentian tindakan medis atau penghentian upaya-upaya
untuk penyembuhan dan mempertahankan hidup sesorang. Hal
ini berarti pula bahwa obat-obatan dan alat-alat yang terpasang
pada tubuh pasien yang ditujukan untuk memperpanjang hidup
manusia dipandang sudah tidak ada gunanya lagi dipasang atau
dipertahankan. Padahal dalam sumpah Hippocrates yang menjadi
dasar Kode Etik Kedokteran di seluruh dunia terkandung nilainilai luhur agar Sang Penyelamat selalu berusaha menyelamatkan
hidup manusia (si Penderita), sekecil apapun harapan hidupnya
dan tidak boleh berhenti sampai si Penderita benar-benar mati.
Ada beberapa konsep tentang mati, yaitu :
1. Mati sebagai berhentinya darah mengalir. Pandangan
ini bertolak dari kriteria mati sebab berhentinya jantung
memompakan darah ke seluruh tubuh (pandangan ini telah
dipandang ketinggalan zaman).
2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh. Konsep
ini bertolak dari anggapan bahwa sekali nyawa terlepas
dari tubuh manusia, tidak mungkin lagi manusia dapat
menariknya kembali. Padahal nyawa dipandang lepas saat
darah berhenti mengalir (pandangan ini pun dianggap sudah
tidak tepat lagi).
3. Mati sebagai hilangnya kemampuan tubuh secara
permanen (Irreversible loss of ability), yaitu fungsifungsi organ tubuh yang semula bekerja secara terpadu kini berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali. Hal ini dipicu
fungsi otak sebagai pusat pengendali saraf sudah rusak,
sehingga tidak mampu lagi mengendalikan saraf organorgan tubuh. Pendapat ini didasarkan pada pengalaman
dalam teknologi transplantasi. Timbul pertanyaan : benarkah
seseorang dipandang telah mati jika organ-organ tubuhnya
yang masih berfungsi itu, tidak padu lagi bekerjanya ?
4. Mati sebagai hilangnya kemampuan manusia secara
permanen untuk kembali sadar dan melakukan
interaksi sosial. Pandangan ini merupakan pengembangan
dari konsep Irreversible loss of ability. Konsep ini tidak lagi
melihat apakah organ-organ tubuh yang lain masih berfungsi
atau tidak, namun ingin mengetahui apakah otaknya masih
mampu atau tidak menjalankan fungsi pengendalian, baik
secara jasmani maupun sosial. Kepentingan transplantasi
tidak lagi menjadi pertimbangan utama meskipun tetap tidak
dilupakan.
Kematian dipastikan telah terjadi jika dokter menemukan
otak manusia tidak berfungsi atau mati (brain death),
meskipun organ lain masih berfungsi akibat tindakan dokter.
Ada pula yang menyebut kriteria mati sebagai berikut :
» Tidak ada lagi respon (reaksi) sama sekali terhadap suatu
rangsangan yang diberikan dari luar maupun dari dalam
(unreceptive and unresponsive).
» Tidak ada lagi pernafasan dan gerak otot.
» Tidak ada lagi refleks.
» Electro EncephaloGram (EEG) mendatar.Menurut ahli forensik, dr. Mun’im Idris, bahwa :
» Tanda-tanda Mati dini :
1. Peredaran darah berhenti
2. Pernafasan berhenti
3. Refleks mata hilang
4. Muka pucat
5. Otot lemas
» Perubahan selanjutnya :
1. Suhu tubuh menurun
2. Lebam Mayat (levoris mortis), terdapat di bagianbagian terendah tubuh sebagai bercak-bercak biru
ungu. Timbul setelah 1-3 jam kematian, 7-8 jam
setelah kematian akan hilang bila ditekan.
3. Kaku Mayat (rigor mortis), timbul 2-4 jam setelah
kematian, mulai dari rahang ke bagian bawah
tubuh dan lengkap menjadi kaku setelah 12 jam
dari terjadinya kematian. Lalu setelah 24-48 jam
dari saat kematian, menghilang dengan urut-urutan
yang sama. Jika setelah 48 kematian kaku mayat
belum juga hilang, hal ini bukanlah kaku mayat
yang sebenarnya namun terjadi penegangan yang
dipicu oleh gas-gas pembusukan yang ada pada
atau di sekitar tubuh mayat.
C. Transplantasi Organ Tubuh
Pencangkokan (transplantasi) organ kini tidak lagi menjadi
hal yang luar biasa. Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan kini dapat dilakukan dengan transplantasi organ dan
atau jaringan tubuh. Kemajuan teknologi pencangkokan organ
kemudian disadari telah memicu berbagai problema etika,
contoh :
˥ hak donor hidup untuk memberi organ tubuhnya,
menyangkut persetujuan terhadap penentuan waktu
kematian, kebutuhan atas perhatian istimewa terhadap
donor, dan konsekuensi psikologi terhadap hubungan
organik yang ada antara donor dan reseptor;
˥ pencangkokan organ yang berasal dari organ binatang,
menyangkut kepercayaan agama, etika, dan hukum. contoh
menurut ajaran agama Islam, pencangkokan organ yang
berasal dari binatang apapun terlebih seperti babi (yang
haram untuk dimakan), tidak dapat diterima sebab manusia
adalah makhluk yang paling mulia sehingga sangat tidak
sesuai bila manusia disisipi tubuhnya dengan organ binatang;
Malpraktik adalah terjemahan dari kata Malpractice.
Mal berarti salah atau buruk atau jelek, sehingga
malpraktik merupakan suatu istilah yang berkonotasi
buruk, bersifat stigmatis, dan menyalahkan. Malpraktik dapat
diartikan sebagai praktik buruk dari seseorang yang memegang
suatu profesi, dalam arti umum. Dalam arti lain, malpraktik
adalah sikap tindak professional yang salah dari seseorang yang
berprofesi seperi dokter, ahli hukum, akuntan, dokter gigi,
dokter hewan, dll.
Malpraktik yang dilakukan oleh profesional di dunia
kedokteran/kesehatan sering juga dikenal dengan istilah
malpraktik medis. Malpraktik medis (medical malpractice)
memiliki beberapa pengertian sebagai berikut :
˥ Salah mengobati; tindakan salah; cara mengobati pasien yang
salah (kamus Inggris-)ndonesia);
˥ Kesalahan tindakan atau prosedur yang tidak seseuai dengan
standar yang ditetapkan dalam proses pelayanan medis;
˥ Kesalahan dalam melakukan profesi medis berdasarkan
standar profesi medis (Antonius P. S. Wibowo);
˥ Tindakan salah oleh dokter pada waktu menjalankan
praktik yang menyebabkan kerusakan atau kerugian bagi
kesehatan dan kehidupan pasien atau Menggunakan keahlian
kedokteran untuk kepentingan pribadi (Amri Amir);
˥ Kelalaian seorang dokter atau perawat untuk menerapkan
tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam
memberi pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap
seorang pasien yang lazimnya di terapkan dalam mengobati
dan merawat orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah
yang sama;
˥ Cara mengobati suatu penyakit atau luka yang salah
disebab kan sikap dan tindak yang acuh, sembarangan
atau berdasarkan motivasi kriminil (Stedman’s Medical
Dictionary);
˥ Sikap tindak yang salah (menurut hukum); pemberian
pelayanan terhadap pasien yang tidak benar oleh profesi
medis; tindakan yang illegal untuk memperoleh keuntungan
sendiri, sewaktu dalam posisi dipercaya.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa malpraktik dipandang telah terjadi jika :
1. Seorang profesional kesehatan melakukan sesuatu yang
seharusnya tidak dilakukan oleh seorang professional
kesehatan,
2. Seorang profesional melalaikan kewajiban atau tidak
melakukan apa yang seharusnya dilakukan berdasarkan
profesinya,
3. Perbuatannya melanggar ketentuan atau peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan profesinya.
B. Malpraktik dan Kaitannya dengan Pengertian
Standar Profesi Kedokteran
Tidak ditemukan pengertian yang tegas tentang istilah
Standar Profesi Kedokteran. Hanya saja ada penjelasan bahwa
Standar Profesi Kedokteran adalah bidang pekerjaan yang
memiliki ciri utama : keahlian profesi, tanggung jawab, dan
kesejawatan.
Dalam menjalankan profesi Kedokteran, ada dua hal yang
mendasari perilaku dokter, yaitu :
1. berbuat demi kebaikan pasien (doing good),
2. tidak ada niat untuk menyakiti, menciderai dan merugikan
pasien (primum non nocere).
Menurut H.J.J. Leenen bahwa : “suatu tidakan medik seorang
dokter adalah sesuai dengan standar profesi kedokteran jika
tindakan itu :
1. dilakukan secara teliti dan hati-hati,
2. sesuai dengan ukuran medik (yang telah ditentukan oleh
ilmu pengetahuan di bidang medis),
3. sesuai dengan kemampuan rata-rata yang dimiliki seorang
dokter di bidangnya,
4. dilakukan pada situasi dan kondisi yang sama,
5. memenuhi perbandingan yang wajar atau proporsional.
Pasal 50 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran, menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan :
˥ Standar Profesi adalah batasan kemampuan (knowledge,
skill, and professional attitude) minimal yang harus dikuasai
oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan
profesionalnya pada masyarakat secara mandiri, yang dibuat
oleh organisasi profesi;
˥ Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat
instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk
menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu, memberi
langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus
bersama untuk melakukan berbagai kegiatan dan fungsi
pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan berdasarkan
standar profesi.
Berdasarkan uraian tentang Standar Profesi Kedokteran,
dapat dilihat kaitannya dengan masalah malpraktik medis. Hal ini
terlihat yakni pada saat para profesional kedokteran melakukan
praktik-praktik di bidang kedokteran, namun tidak sesuai dengan
standar profesi kedokterannya, maka hal ini dapat diartikan
sebagai telah terjadi malpraktik medis.
Dapat disimpulkan bahwa Malpraktik adalah :
˥ setiap sikap tindak yang salah, kekurangan keterampilan
dalam ukuran tingkat yang tidak wajar;
˥ kegagalan untuk memberi pelayanan professional
dan melakukan pada ukuran tingkat keterampilan dan
kepandaian yang wajar, di dalam masyarakatnya, oleh teman
sejawat rata-rata dari profesi itu, sehingga mengakibatkan luka, kehilangan atau kerugian pada penerima layanan
ini yang cenderung menaruh kepercayaan terhadap
mereka.
C. Aspek Pidana dan Perdata Malpraktik Medis
Malpraktik dari aspek pidana dan perdatanya dapat dibahas
dalam tiga arti, yaitu :
a. Malpraktik dokter dalam arti sempit, yang berarti pihak
dokter bersalah sebab :
» adanya kesengajaan atau kelalaian (human error)
» proses hukumnya adalah proses perdata
» sanksi terhadap pihak dokter yang bersalah adalah ganti
rugi perdata.
b. Malpraktik dokter dalam arti luas, yang berarti pihak dokter
bersalah sebab :
» ada kesengajaan atau kelalaian (human error)
» tindakannya termasuk pelanggaran pidana, administrasi,
dan etika
» proses hukumnya adalah tuntutan pidana, gugatan
perdata dan administrasi
» sanksi berupa ganti rugi perdata, sanksi-sanksi pidana
(penjara, kurungan, denda) dan saksi disiplin organisasi
(peringatan, pencabutan izin praktek untuk sementara
atau selamanya).
c. Malpraktik dokter dalam arti sangat luas, yaitu tindakan
malpraktik dalam arti luas ditambah :» adanya human error yang tidak termasuk kelalaian
» adanya tindakan (apapun) yang menyebabkan kerugian
bagi pasien, meskipun dokter tidak dalam keadaan
bersalah
» tindakan dokter sudah tergolong ke dalam tindakan strict
liability (tanggung jawab mutlak).
Perbedaan Malpraktik dalam arti sempit, Kelalaian Medis,
dan Kecelakaan Medis :
˥ Malpraktik Medis (dalam arti sempit) yaitu setiap tindakan
medis atau pemberian layanan kesehatan yang dilakukan
dengan SENGAJA untuk melanggar peraturan perundangundangan, contoh : melakukan abortus, eutanasia,
memberi surat keterangan medis yang isinya tidak benar,
dsb.
˥ Kelalaian Medis yaitu tidak ada motif atau tujuan untuk
memicu /terjadinya akibat yang merugikanpasien.
Akibat yang timbul itu dipicu adanya kelalaian yang
sebenarnya terjadi di luar kehendaknya.
˥ Kecelakaan Medis, merupakan kebalikan dari kesalahan dan
kelalaian. Kecelakaan yang terjadi tidak mengandung unsur
yang dapat dipersalahkan, sebab tidak dapat dicegah dan
terjadinya tidak dapat diduga sebelumnya.
D. Jenis-Jenis Malpraktik
1. Malpraktik Kriminal (pidana) :
a. sebab kelalaian (culpa) menyebabkan pasien mati atau
luka (Pasal 359-361 KUHP).b. Sengaja melakukan abortus provocatus (Pasal 299, Pasal
347, Pasal 348, Pasal 349 KUHP).
c. Melakukan pelanggaran kesusilaan (Pasal 285, Pasal 286,
Pasal 290 KUHP)
d. Membuka rahasia kedokteran (Pasal 322 KUHP)
e. Melakukan pemalsuan surat keterangan (Pasal 263, Pasal
267 KUHP)
f. Bersepakat melakukan tindak pidana (Pasal 221, Pasal
304, Pasal 351 KUHP).
2. Malpraktik Sipil (perdata) :
a. Kekurangtelitian/kelalaian yang menyebabkan pihak
menderita kerugian (Pasal 1366, 1367 KUHPdt)
b. Dokter salah mendiagnosa
3. Malpraktik Etik yang mengarah pada penyalahgunaan
Pelayanan, dapat menjadi kasus hukum. Contoh :
a. Over-utilization dari peralatan canggih, sekedar untuk
dapat mengembalikan pinjaman kepada leasing company;
b. Under-treatment dari pasien-pasien yang kurang mampu
dan tidak bisa membayar, atau tidak dapat menerimanya
dengan berbagai dalih;
c. Menambah “length of stay” pada pasien kelas VIP dengan
alasan medik, agar income bertambah;
d. Melakukan ‘patient dumping’, yakni pasien yang tidak
mampu dan tidak punya asuransi secepat mungkin
disuruh pulang atau dirujuk ke RS lain, meskipun
keadaan kesehatannya belum pulih benar/belum stabil;e. Tidak menerima pasien yang dalam keadaan ‘terminal’
untuk menekan ‘mortality rate’ dan menjaga nama baik
rumah sakit;
f. Menahan-nahan pasien dan tidak merujuknya ke RS lain
meskipun peralatan yang diperlukan untuk diagnostik
dan terapi dari RS yang bersangkutan tidak ada atau
tidak memadai
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, Euthanatos. Eu
artinya baik, thanatos artinya kematian; mati. Jadi Euthanasia
berarti :
˥ kematian yang baik atau
˥ mati secara baik atau mati secara tenang atau
˥ mati yang menyenangkan.
Yang dimaksud dengan baik atau bagus ialah, bahwa proses
kematian itu dijalani dengan tanpa mengalami rasa sakit atau
penderitaan.
Bahasa kedokteran memahami euthanasia dalam arti :
˥ mati atas kehendak sendiri dengan bantuan dokter;
˥ Proses kematian euthanasia dalam hubungannya dengan
seorang pasien yang seharusnya mendapat atau sedang
dalam perawatan dokter, sebenarnya didasarkan pada ‘rasa
belas kasihan’. Itulah sebabnya ada pihak yang menyebutnya
dengan istilah ‘mercy killing’;
˥ menyudahi hidup seseorang untuk mengakhiri penderitaan sebab penyakit yang tidak dapat lagi disembuhkan, contoh
dengan cara ‘suntik mati’ atau memberi ‘resep obat maut’;
˥ Euthanasia adalah perbuatan yang dengan sengaja
memperpendek hidup ataupun dengan sengaja tidak berbuat
untuk memperpanjang hidup demi kepentingan si pasien,
oleh seorang dokter ataupun bawahan yang bertanggung
jawab padanya Commisie Gezondheidsraad (Belanda).
Beberapa hal yang disamakan maksudnya dengan pengertian
euthanasia adalah :
˥ “menghilangkan nyawa orang lain ‘sebab permintaan yang
dinyatakan dengan kesungguhan hati’ dari orang itu sendiri”
(Pasal 344 KUHP).
˥ Pembunuhan yang didasarkan pada alasan ‘sebab rasa belas
kasihan’ (mercy killing).
˥ Perbuatan yang dengan sengaja untuk ‘tidak memperpanjang
umur’ demi kepentingan pasien yang sudah tidak lagi
memiliki harapan sembuh atau hidup (euthanasia).
Unsur ‘tidak ada harapan sembuh lagi’ atau tidak ada harapan
hidup lagi’ merupakan syarat utama dilakukannya euthanasia.
Dalam pengertian ini, dokter dianggap melakukan euthanasia
aktif.
B. Jenis-Jenis Euthanasia
1. Euthanasia Aktif, adalah perbuatan yang dilakukan secara
aktif oleh dokter untuk mengakhiri hidup seseorang (pasien)
yang dilakukan secara medis. contoh : memberi obat
yang tidak sesuai peruntukannya, atau obat dosis tinggi yangbekerjanya cepat dan mematikan, atau suntik mati.
2. Euthanasia Pasif, adalah perbuatan menghentikan atau
mengakhiri atau mencabut tindakan pengobatan yang
seharusnya diperlukan seorang (pasien) untuk mempertahankan hidupnya.
3. Euthanasia Volunter, adalah penghentian tindakan
pengobatan atau mempercepat kematian pasien atas
permintaan pasien sendiri.
4. Euthanasia Involunter, adalah penghentian tindakan
pengobatan atau mempercepat kematian pasien atas
sepengetahuan keluarga pasien sebab pasien (yang dalam
keadaan tidak sadar), sudah tidak memungkinkan lagi
menyampaikan keinginannya.
Menurut K. Bertens :
a. Euthanasia Aktif, yaitu dokter dipandang terlibat secara
aktif dalam proses kematian seseorang yang menjadi
pasiennya.
b. Euthanasia Pasif, yaitu keputusan medis untuk
menghentikan upaya pengobatan kepada pasien, setelah
segala bentuk pertolongan medis.
Frans Magnis Suseno membedakan euthanasia dalam 4
pengertian, yaitu :
1. Euthanasia murni, yaitu usaha memperingan kematian
seseorang tanpa memperpendek kehidupannya.
2. Euthanasia Pasif, yaitu tidak dipergunakannya semua
kemungkinan teknik kedokteran yang sebenarnya tersedia
untuk memperpanjang kehidupan3. Euthanasia Aktif, yaitu proses kematian yang diperingan
dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan
langsung. Sering juga dikenal dengan istilah mercy killing.
4. Euthanasia Tidak Langsung, yaitu usaha memperingan
kematian dengan pemberian obat-obatan yang memiliki
efek sampingnya adalah kematian.
C. Aspek Hukum(Pidana) Euthanasia
1. Berdasarkan KUHP Indonesia
a. Pasal 344 KUHP :
“Barangsiapa menghilangkan nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan
dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun”.
Catatan :
Untuk dapat dikenakan ancaman pidana pasal ini,
permintaan untuk dibunuh harus disebutkan dengan
‘nyata dan sungguh-sungguh’ (ernstig).
b. Pasal 345 KUHP :
“Barangsiapa sengaja menghasut orang lain untuk bunuh
diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi
sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadi
bunuh diri”.
Catatan :
Orang yang bunuh diri tidak dapat dipidana namun orang
yang sengaja menghasut, menolong, dsb, orang lain
untuk bunuh diri dapat dikenakan pidana asal orang
lain ini benar-benar mati bunuh diri. Sebab jika
tidak mati meskipun ia telah (mencoba) bunuh diri, si
penghasut tidak dapat dipidana.
c. Pasal 304 KUHP :
“Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau
membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau menurut
perjanjian, dia wajib memberi kehidupan, perawatan
atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan
pidana penjara [paling lama dua tahun delapan bulan
atau denda…”.
d. Pasal 306 KUHP :
“Ayat (1) : Jika salah satu perbuatan yang ini dalam
Pasal 304 dan 305 mengakibatkan luka berat, maka yang
bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh
tahun enam bulan;
Ayat (2) : Jika mengakibatkan mati, maka yang bersalah
dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.
2. Berdasarkan Hukum Islam
Dalam Muzakarah (pengkajian) Nasional Majelis Ulama
Indonesia (MUI) di Jakarta, Juni 1997, para ahli hukum
Islam menyimpulkan bahwa euthanasia dengan alasan
apa pun, diharamkan sebab sama dengan bunuh diri.
Dalam pandangan Islam :
» Sakaratul maut (kondisi koma) dan penyakit merupakan
ujian Allah;
» Bila seseorang berada di puncak penderitaan sebab suatu
penyakit, berarti Allah sedang menguji kesabarannya;
» Bunuh diri dengan jalan apa pun termasuk euthanasia
dianggap sebagai perbuatan zalim terhadap diri sendiri,
sekaligus menentang otoritasAllah;
» Bila pasien atau keluarganya tidak sanggup menyediakan
biaya perawatan, maka ia menjadi tanggungan
masyarakat atau negara.
3. Berdasarkan Hukum Katolik :
» manusia tidak secara total berkuasa atas diri sendiri;
» Hidup manusia merupakan rahmat Allah, sehingga
manusia tidak berhak mengakhiri hidupnya sendiri.
Menurut Frans Magnis Suseno, euthanasia pasif dalam
arti menyerahkan nasib pasien kepada Tuhan setelah
dokter tidak lagi mampu menolongnya, dimaklumi. namun
Katolik menentang keras euthanasia aktif dengan alasan :
» Pertama : secara tradisional dokter adalah penyelamat
nyawa, sehingga jika ia sekarang membantu kematian
maka ia telah melanggar etika profesinya.
» Kedua : kemungkinan terjadi manipulasi, dalam arti
pasien bahwa sebenarnya pasien tidak mau mati, namun
sebab merasa diabaikan, atau tidak dikunjungi atau
menganggap telah memberatkan orang lain (keluarga),
maka pasien memilih menjalani euthanasia.
» Ketiga : ilmu kedokteran telah sedemikian maju sehingga
hampir seluruh rasa nyeri dan sakit yang ada bisa ditekan.
4. Aspek Hukum Euthanasia di Beberapa Negara :
Belanda :
Euthanasia aktif dilegalkan oleh Senat Kerajaan Belanda
melalui Undang-Undang Euthanasia pada 10 April 2001.
Pelegalan euthanasia ini didasarkan pada alasan
“habisnya harapan pasien untuk disembuhkan”. Sebagai
penguat keputusan, dikuatkan pula dengan beberapa
data :
◊ hasil survey menunjukkan 90 % responden
mendukung euthanasia,
◊ dalam beberapa tahun terakhir, minat orang Belanda
untuk ‘mati dengan bantuan dokter’ semakin
bertambah,
◊ data Tahun 1999 menunjukkan lebih dari 2.200
pasien ‘minta dipulangkan ke alam baqa’ dengan cara
suntik mati, dan dan angka tak resmi menyebutkan
5000 kematian berlangsung secara menyenangkan
tanpa rasa sakit,
◊ fakta menunjukkan lebih dari 25 tahun para dokter
yang melayani permintaan euthanasia, tidak terjerat
hukum.
◊ KUHP Belanda tetap menggolongkan euthanasia
sebagai tindakan kejahatan, meskipun banyak orang
yang dibiarkan minta mati enak.
» Eropa :
◊ tidak ada negara di Eropa yang menentang
disahkannya Undang-Undang tentang Euthanasia
yang melegalkan mati dengan bantuan dokter
ini ,
◊ sehari setelah Senat menetapkan keputusan ini ,
lebih dari 10.000 orang memenuhi lapangan di luar
Gedung Parlemen, dan menyerukan bahwa ‘apa pun
alasannya, euthanasia tetaplah suatu pembunuhan’.
» Northern Territory, Australia :
◊ Tahun 1995 mengesahkan The Right of the Terminally
Ill Bill (Undang-Undang tentang Hak Pasien
Terminal) yang mengizinkan euthanasia dan bunuh
diri dengan bantuan dokter.
◊ Tahun 1996 mengesahkan The Right of the Terminally
Ill Act (Undang-undang yang mengesahkan praktik
euthanasia sukarela dan bunuh diri yang didampingi
oleh dokter yang berkompeten) dan membolehkan
pasien yang menderita penyakit fatal meminta
pertolongan dokter untuk mengakhiri hidupnya.
Tahun 1997, undang-undang ini dicabut oleh
Senat/ Legislasi Federal Australia.
» Oregon, Amerika Serikat :
Tahun 1997 mengesahkan The Death With Dignity Act
(Undang-Undang tentang Meninggal Dunia dengan
Bermartabat) yang mengatur tentang Bunuh Diri
Berbantuan Dokter dengan menetapkan syarat yang
amat ketat, antara lain :
◊ seseorang boleh minta bantuan bunuh diri jika
sebab sakitnya, diperkirakan umurnya hanya
sampai 6 bulan, pasien harus benar-benar menderita penyakit parah
yang tak tersembuhkan dan menetapkan sendiri
dosis fatal yang akan ia gunakan.
Pada tahun 1997 itu juga Mahkamah Agung Amerika
Serikat menetapkan bahwa praktik bunuh diri yang
didampingi dokter, tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, dan hal ini didukung oleh 43
negara bagian di AS. Hanya Oregon yang melegalkan
euthanasia.
» Swiss :
Pada dasarnya euthanasia tidak diatur dalam perundangundangan Swiss, sehingga praktik euthanasia adalah
illegal. namun jika seseorang membantu orang lain untuk
bunuh diri tanpa ada motif pribadi, ia tidak akan dikenai
hukuman.
EXIT adalah sebuah lembaga pembimbing bagi orangorang sekarat yang melakukan kegiatan : men-dampingi
pasien-pasien yang ingin meninggal dunia dalam
mendapatkan ‘persetujuan hukum’. EXIT menetapkan
sendiri syarat-syarat tertentu bagi pasien yang mendapat
izin untuk menjalankan euthanasia.
Faktanya : sekitar 100 sampai 200 pasien yang tidak
tersembuhkan meninggal setiap tahunnya dengan
didampingi anggota EXIT.
» Kolumbia :
◊ Tahun 1997 Pengadilan Perundang-undangan
Kolumbia mengesahkan ulang peraturan yang sebelumnya, yang menyatakan dokter tidak akan
dikenai tanggung jawab secara pidana jika mereka
mewujudkan keinginan pasiennya yang sudah
sekarat, untuk menjalankan euthanasia,
◊ Pemerintah Kolumbia tidak membuat peraturan
untuk menegaskan atau pun menentang Keputusan
Pengadilan Perundang-undangan ini .
Penduduk Kolumbia dikenal sebagai penganut
Katolik taat.