Home »
merger akusisi a
» merger akusisi a
merger akusisi a
yang cukup besar, namun dapat memberi banyak keuntungan
bagi perusahaan yang melakukan merger dan akuisisi dengan baik.
ada cara lain untuk mendapatkan keuntungan yang serupa walau
tanpa melakukan merger dan akuisisi, yaitu melalui contractual agreement,
strategic alliance dan joint venture. Seperti gambar dibawah ini dapat dilihat
bahwa merger dan akuisisi yaitu sebuah perjalanan yang panjang
dimana seharusnya dicapai dengan melalui tiga model kolaborasi bisnis
terlebih dahulu, yakni contractual agreement, strategic alliance dan joint
venture. Jadi ketiga kolaborasi ini seharusnya dijalani terlebih dahulu
sebelum benar-benar melakukan merger dan akuisisi. Layaknya seperti
sebuah pasangan yang terlebih dahulu untuk melakukan proses pacaran
dan tunangan sebelum menikah. Namun memang ada orang yang langsung
memilih menikah dan sukses juga akhirnya. Sama halnya juga dengan proses
merger dan akuisisi yang langusung dijalani tanpa melalui proses panjang.
Namun tentu saja dari sisi kuantitas keberhasilan akan lebih sedikit.
CONTRACTUAL AGREEMENT
Ada bentuk yang lebih sederhana dibandingkan joint venture atau strategic alliance
dimana lebih murah dan efi sien, yaitu contractual agreement. jika tujuan
yang ingin dicapai spesifi k dan dapat ditetapkan dalam kontrak, maka
contractual agreeement dapat dipakai . Hanya saja, contractual agreement
memiliki tingkat komitmen antar perusahaan yang rendah, sebab pihakpihak yang ikut serta hanya berusaha agar sesuai dengan kontrak. Jika,
ada pelanggaran maka mereka dapat saja keluar dari contractual agreement
yang ada. Bentuk dari contractual agreement yaitu MOU (Memorandum of
Understanding) dan MOA (Memorandum of Agreement). Dalam skala makro,
contoh dari contractual agreement yaitu perjanjian antara negara APEC,
MEA, dan sejenisnya.
STRATEGIC ALLIANCE
Strategic alliance yaitu beberapa persetujuan yang didesain untuk mencapai
beberapa tujuan strategis yang tidak mungkin dicapai oleh organisasi
ini sendirian. Strategic alliance secara sederhana yaitu kombinasi
antara merger dengan joint venture. Meskipun strategic alliance memberi tantangan yang signifi kan bagi manajemen, Ginter peneliti di bidang
strategic alliance menemukan beberapa keunggulan strategic alliance, yaitu
shared learning, akses pada keahlian yang saat ini tidak dimiliki organisasi
dan memperkuat posisi pasar.
Strategic alliance yaitu hal yang umum pada beberapa industri,
seperti farmasi, perusahaan penerbangan dan komputer. Perusahan
penerbangan yang melayani pasar geografi s yang berbeda seringkali
membentuk aliansi atau airline partner agreement. Dalam perjanjian ini ,
keduanya tetap perusahaan penerbangan yang berbeda, namun berbagi
rute. Bila dibandingkan dengan joint venture, strategic alliance memiliki
asosiasi yang kurang formal sebab joint venture biasanya membentuk
sebuah entitas terpisah. Strategic alliances dapat berbentuk vertical alliance
dan horizontal alliance. Vertical alliance terjadi antara pembeli dan pemasok.
sedang horizontal alliance antara perusahaan-perusahaan yang berada di
garis bisnis yang sama.Keputusan perusahaan untuk masuk dalam aliansi yaitu strategi
diversifi kasi maupun non diversifi kasi yang dihasilkan dari interaksi
kompleks antara faktor external dengan kebutuhan internal. Salah satu alasan
mengapa perusahaan melakukan strategic alliances yaitu untuk memperoleh
manfaat bersama dari sumber daya berupa pengetahuan tertentu dari salah
satu partner. Namun ada resiko tersendiri bagi perusahaan yang melakukan
aliansi dengan perusahaan lebih besar dimana perusahaan yang lebih besar
dapat mengambil keuntungan dari knowledge yang didapat namun tidak
seutuhnya membagi pengetahuan yang dimilikinya.
Tujuan membentuk aliansi yaitu resource based theory dari strategic
management. Pendekatan resource based berkaitan dengan manajemen sumber
daya perusahaan untuk meningkatkan keunggulan bersaing. Pertama,
strategic alliance membuka jalan bagi sumber daya yang langka dan saat
perusahaan kekurangan kemampuan untuk mengembangkan sumber
daya ini sendiri atau saat pengembangan kapabilitas ini
berhubungan dengan diseconomies of scale, scope dan waktu dibandingkan
dengan perusahaan yang telah memiliki sumber daya ini . Kedua,
strategic alliance dapat menyediakan mekanisme yang diperlukan untuk
memfasilitasi pertukaran sumber daya, seperti pengembangan produk yang
cepat dan kapabilitas inovasi yang fl eksibel. Strategic alliance dapat menjadi
salah satu cara mengakses critical skill atau kapabilitas dari partner aliansi.
Eisenhardt dan Schoonhoven peneliti di bidang strategic alliance
mengidentifi kasi dua faktor yang mempengaruhi pembentukan aliansi.
Pertama, perusahaan cenderung membentuk aliansi jika mereka dalam
strategic position yang kurang baik dan membutuhkan sumber daya tambahan.
Strategic position dapat diukur dengan memakai jumlah kompetitor,
tahap market development, dan strategi perusahaan. Kedua, pembentukan
aliansi cenderung terjadi saat perusahaan berada pada posisi sosial yang
kuat dengan tim manajemen yang besar, berpengalaman dan terhubung
dengan baik.
Sebuah penelitian tentang pengaruh shareholder wealth dilakukan
oleh Chan, Kensinger, Keown dan Martin terhadap 345 strategic alliance
selama periode 1983-1992. Mereka menemukan pengembalian abnormal
yang positif sebesar 0,64%. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Mc.Conell dan Nantell dalam joint venture. Mereka juga tidak menemukan bukti akan
adanya pemindahan wealth yang signifi kan antara partner aliansi.
Mini-Case: BMW Rolls-Royce GmbH (Adaptasi dari Strategi Direction,
2004)
Rolls Royce, yaitu perusahaan luar angkasa UK yang telah diuntungkan
dari Strategic Alliance selama satu dekade dengan BMW, produsen mobil
Jerman. Tujuan utama saat usaha itu dimulai pada tahun 1990 yaitu
untuk membangun BMW Rolls-Royce GmbH sebagai produsen mesin
terkemuka dalam divisi khusus dari pasar mesin. Tujuan ini telah dicapai
saat mereka mengembangkan mesin inti BR700 yang yaitu mesin
utama yang memberi fondasi bagi perkembangan mesin selanjutnya.
Sebenarnya aliansi ini yaitu aliansi yang beresiko sebab berbeda dari
kebanyakan aliansi lainnya. BMW Rolls-Royce GmbH menikmati otonomi
yang lebih besar dari perusahaan induknya, berbeda dengan apa yang
dilakukan dengan kemitraan lain. Tapi yang paling menarik dari semua
ini yaitu fakta bahwa BMW dan Rolls Royce memiliki pangsa pasar yang
bertolak belakang.
Rolls Royce melakukan Strategic Alliance dengan BMW sebab Rolls
Royce merasa perusahaannya memiliki beberapa kekurangan, diantaranya:
Rolls Royce hanya dapat bersaing di pangsa pasar tertentu. Hal ini
membuat perusahaan berada di posisi yang lemah selama periode
tertentu sebab pangsa pasar yang dapat dijangkaunya hanyalah kelas
atas.
Tidak dapat memperoleh keuntungan dengan membuat product baru
untuk kelas bawah sebab harga teknologi untuk mesin yang dipakai
mahal sehingga perusahaan tidak dapat menurunkan harga.
Memiliki daya tarik yang terbatas di mata produsen penerbangan. Hal
ini dipicu sebab biasanya perusahaan penerbangnan mencari
mesin dengan harga yang terjangkau namun dengan kualitas terbaik.BMW mau melakukan Strategic Alliance dengan Rolls Royce sebab
BMW merasa Rolls Royce memberi manfaat bagi perusahaannya,
diantaranya:
Diversifi kasi ke industry aerospace memicu perusahaan mampu
bersaing secara competitive dengan competitor utama dalam bidang
produsen mobil.
Teknologi mesin aerospace yang canggih dapat meningkatkan brand
BMW lebih baik lagi dari sebelumnya.
memberi kesempatan bagi BMW untuk masuk dan berdiri sendiri
ke dalam industry aerospace
BMW Rolls-Royce GmbH menargetkan agar productnya dipakai
oleh penerbangan local dan segment market jets yang besar. Untuk itu, BMW
Rolls-Royce membuat BA710 yang yaitu penerus superior terbaru
dari BR700. memakai Strategic Alliance yaitu solusi terbaik bagi
kedua perusahaan ini. Hal ini dapat dilihat dari keberhasilan yang diraih
yaitu berhasil naik dan menduduki peringkat ke-50 (sebelumnya 75) sebagai
perusahaan aerospace terbesar di dunia.
JOINT VENTURE
sedang joint venture yaitu kombinasi sumber daya dari dua atau
lebih organisasi terpisah untuk menyelesaikan tugas yang sudah didesain
sebelumnya. saat proyek terlalu besar, teknologi terlalu mahal atau biaya
kegagalan terlalu tinggi untuk sebuah organisasi, joint venture seringkali
dipakai . Pembeda paling utama antara joint venture dan strategic alliance
yaitu investasi awal yang dibutuhkan saat pembentukan. Strategic alliance,
secara rata-rata lebih kecil dibandingkan investasi yang dibutuhkan saat
pembentukan joint venture. Selain itu, lebih sulit untuk mengukur kontribusi
masing-masing partner sepanjang masa strategic alliance, dan dengan
demikian lebih sulit untuk mengalokasikan benefi t yang diperoleh dari
aliansi ini . Oleh sebab itu, strategic alliance lebih tidak formal dan
lebih ambigu. Namun, strategic alliance memberi nilai lebih melalui tingkat
fl eksibilitas organisasi pada perusahaan partner dibandingkan joint venture.
Dalam joint venture, 2 atau lebih perusahaan menggabungkan asset
tertentu dan bekerja sama mencapai tujuan bisnis tertentu. Di sisi lain,
perusahaan yang terlibat dalam joint venture juga mengatur operasi bisnis mereka masing-masing dan tetap terpisah seperti sebelum melakukan
joint venture. Joint venture dapat dipakai untuk beragam tujuan bisnis.
Diharapkan dua perusahaan yang memiliki spesialisasi sumber daya
masing-masing, saat digabungkan dapat menciptakan atau memasarkan
produk tertentu. Joint venture juga terbagi menjadi dua bentuk, yaitu vertical
dan horizontal. Vertical joint venture terjadi antara pembeli dan pemasok.
sedang horizontal joint venture terjadi antara perusahaan-perusahaan
dalam garis umum bisnis yang sama. Joint venture juga dapat dipakai
sebelum akuisisi untuk mempelajari kekuatan dan kelemahan perusahaan
target. Selain itu, bila dibandingkan dengan akuisisi, joint venture lebih
murah dan lebih mudah untuk diimplementasikan. ada beberapa motif perusahaan melakukan joint venture, yaitu
meningkatkan kemampuan dalam penelitian dan pengembangan (R&D),
mendapatkan akses ke pemasok kunci, meningkatkan sistem distribusi,
dan memperoleh akses ke pasar luar negeri. Salah satu contohnya yaitu
joint venture antara Federal Express (Fedex) dengan Tianjin DatianW Group
Co. Ltd (TDW). Keduanya membentuk sebuah perusahaan pengiriman
internasional pada 1999. Salah satu tujuan dari joint venture ini bagi Fedex
yaitu sebagai jalan masuk bagi Fedex ke pasar Cina sebab Cina yaitu
salah satu negara yang bertumbuh sangat cepat di dunia. Hal ini rupanya
diikuti oleh rival Fedex lainnya, yaitu UPS dan Deutsche Post AG’s DHL
yang juga membentuk partnership dengan perusahaan pengiriman di Cina.
UPS melakukan partnership dengan Yangtze River Express Airline Co.
Ltd sedang DHL melakukan partnership dengan China National Trade
Transportation Corp.
PENELITIAN DALAM JOINT VENTURE
Mc. Conell dan Nantell melakukan sebuah penelitian terhadap 136 joint
venture melibatkan 210 perusahaan US pada periode 1972-1979. Joint venture
ini berasal dari industri yang beragam, dengan yang paling banyak
berasal dari industri pengembangan real estate (13%) dan television and
motion picture (10%). Penelitian ini menunjukan bahwa pemegang saham di
perusahaan yang mengikuti joint venture memperoleh pengembalian 0,73%
pada periode pengumuman bergabung dalam joint venture. Mc Conell dan
Nantell menemukan efek yang positif terhadap shareholder wealth, yang
didukung oleh penelitian Woolridge dan Snow.
Penelitian Woolridge and Snow yang menganalisa 767 pengumuman
keputusan investasi dari 248 perusahaan yang beroperasi dalam 102 industri.
Mereka melakukan penelitian reaksi pasar saham terhadap pengumuman
keputusan investasi ini . Secara umum, mereka menemukan respon
pasar saham yang positif.
Mc.Conell dan Nantell juga menemukan pengaruh terhadap
shareholder wealth berdasarkan tipe venture. Dalam horizontal joint venture,
tampak bahwa keuntungan joint venture, lebih dapat dirasakan secara rata
oleh semua pihak yang terlibat dalam joint venture. sedang dalam vertical
joint venture, supplier memperoleh keuntungan lebih besar, dimana pasar
tidak melihat adanya keuntungan yang sama besar bagi pembeli.
Meski joint venture memberi banyak keuntungan bagi partner yang
terlibat didalamnya, namun joint venture dapat mengalami kegagalan jika
partner tidak bekerja sama dengan baik. Venture dapat meminta partisipan
untuk berbagi properti intelektual atau pengetahuan penting lainnya, dan
partner bisa menolak untuk membagikannya. pemicu kegagalan lainnya
yaitu partner dalam joint venture juga dapat memakai informasi
ini dengan cara yang tidak dikehendaki oleh partisipan venture yang
lain.
Data berikut yaitu kinerja joint venture dari organisasi bisnis
yang diteliti oleh McKinsey di tahun 2014. Dari data yang ada menunjukkan
bahwa kurang lebih 53% organisasi bisnis yang melakukan joint-venture
menemukan bahwa kinerja yang yang didapatka sesudah joint-venture sesuai
atau bahkan lebih besar dari yang diharapkan.
Ada beberapa faktor utama yang menjadi keberhasilan joint-venture,
dimana dua faktor yang paling penting yaitu kesesuaian tujuan antara
kedua organisasi dan lalu aspek komunikasi. Secara lengkap McKinsey
report menuangkan hasil penelitian mereka atas joint-venture seperti pada
gambar
Mini-Case: PT Indofood CBP Sukses Makmur (ICBP) dan Asahi Group
Pada September 2012 PT Indofood CBP Sukses Makmur (ICBP) dan Asahi
Group melakukan perjanjian joint venture dan menghasilkan 2 perusahaan
baru yaitu PT. Asahi Indofood Beverage Makmur dan PT. Indofood Asahi
Sukses Beverage. Dua perusahaan joint venture ini sama-sama bergerak di
bidang consumer good kategori baverages (minuman). Meskipun bergerak
dibidang yang sama, kedua perusahaan ini memiliki fokus yang berbeda. PT.
Asahi Indofood Beverage Makmur berfokus pada produksi, sedang PT.
Indofood Asahi Sukses Beverage berfokus pada pemasaran dan distribusi
external. Beberapa produk hasil joint venture ini yaitu Ichi Ocha, Cafela
Latte, dan air mineral Club.
Sebagai informasi PT Indofood CBP Sukses Makmur yaitu anak
perushaaan hasil spin-off dari PT Indofood Sukses Makmur pada tahun
2010. Seperti namanya PT Indofood CBP Sukses Makmur berfokus pada
produksi dan penjualan produk-produk customer branded product (CBP).
Sebelum joint venture ICBP hanya memiliki lini produk mie, susu beserta olahannya, camilan, bubu tambahan, dan suplemen serta makanan khusus.
Disisi lain Asahi Group yaitu perusahaan jepang, yang awalnya yaitu pada
tahun 1889 yaitu perusahan manufaktur minuman berakohol. Dalam
perkembangannya Asahi Group lalu berkembang ke lini-lini bisnis
lainnya seperti minuman ringan bersoda, kopi, teh, jus buah, dan makanan
terutama makanan beku (frozen food). Baik ICBP maupun Asahi keduanya
telah melebarkan bisnis ke manca negara sebelum terjadinya joint venture.
ICBP memiliki berbagai kepemilikian signifi kan di beberapa perusahaan
luar negeri seperti di India, China, dan Thailand. sedang Asahi memiliki
kepemilikian signifi kan pada perushaaan di New Zeland, Australia, dan
Malaysia.
Jika dicermati, joint venture ICBP dan Asahi ini termasuk jenis joint
venture horisontal sekaligus vertikal. Dari sisi ICBP joint venture dapat
diartikan sebagai joint venture horisontal sebab dengan adanya dua
perusahaan hasil joint venture ini, ICBP mulai masuk ke produk bermerek
kategori minuman (beverages). Sebelum ada perjanjian ini ICBP belum
memiliki produk minuman selain minuman susu. Sehingga bersama
dengan Asahi ICBP dapat memperoleh pengetahuan atau kemampuan
memproduksi dan memproses minuman secara baik, disebab Asahi
yaitu produsen minuman yang telah ternama di Jepang.
Dari sisi Asahi, joint venture ini dapat dikategorikan dengan joint
venture vertikal. Asahi mendapatkan keuntungan dari ICBP sebab ICBP
sudah memiliki pengalaman dan nama yang besar di pasar negara kita .
Dengan demikain diharapkan mampu memahami cara dan perilaku
konsumen negara kita , sehingga mempermudah pengenalan produk dan
mengambil pangsa pasar. Salah satu alasan mengapa Asahi melakukan
joint venture bersama ICBP sebab potensi pasar minuman di negara kita
yang sangat besar. Presiden direktur Asahi Group, Naoki Izumia mengakui
pangsa pasar minuman di negara kita yang mencapai sekitar 400 milliar
yen, dan pertumbuhan pasar minuman dalam kemasan yang mencapai
dua digit, menjadi salah satu motif utama mengapa Asahi melakukan joint
venture dengan ICBP meskipun sebenarnya Asahi sudah memiliki pabrik
di Malaysia.
Dasar motif joint venture, dan penerapan keahlian masing-masing
perusahaan juga tercermin dari komposisi kepemilikian dari PT Asahi Indofood Beverage Makmur dan PT Indofood Asahai Sukses Beverage.
PT Asahi Indofood Beverage Makmur yang menangani bidang produksi
dimiliki 51% oleh Asahi Group dan 49% oleh ICBP. sedang PT Indofood
Asahi Sukses Beverage yang menangani bidang pemasaran dai distribusi
dimiliki 49% oleh Asahi Group dan 51% oleh ICBP.
Mini-Case: Sony Ericsson (Adaptasi dari Arlsan and Zhaohua, 2009)
Sony Ericsson yaitu sebuah hasil international joint venture antara
perusahaan telekomunikasi raksasa asal Swedia “Ericsson” dan produsen
elektronik terkemuka Jepang “Sony”. Sebelum melakukan joint venture,
keduanya memiliki latar belakang budaya dan melayani sektor pasar yang
benar-benar berbeda. Proses pembentukan perusahaan Joint Venture antara
Sony dan Ericsson pertama kali diprakasai oleh Ericsson. Hal ini terjadi
sebab pada saat itu ada perubahan yang cepat dalam permintaan terhadap
model yang lebih murah dan kurang canggih sehingga membuat Ericsson
tidak mampu mempertahankan persaingan dengan LTS Finlandia saingan
Nokia, yang telah menangkap pasar dengan desain murah dan userfriendly serta produksi yang efi sien. Dalam rangka untuk mengatasi situasi
ini, Ericsson memutuskan untuk menggabungkan operasi ponsel dengan
Jepang Sony Electronics, sehingga membentuk SonyEricsson pada tahun
2001 dengan masing-masing perusahaan memiliki 50% saham.
Tujuan utama dari kerjasama ini yaitu untuk membuat Sony
menyumbangkan pengetahuan dalam desain produk konsumen. Sony
Ericsson mulai beroperasi pada bulan Oktober 2001 dengan hampir 4000
karyawan dan kantor pusat berbasis di London, UK. Misi perusahaan yaitu
untuk membangun perusahaan sebagai merek global yang paling menarik
dan inovatif dalam industri mobile handset.
Salah satu kendala utama yang memicu banyaknya perusahaan
Joint Venture bangkrut yaitu perbedaan budaya dari kedua perusahaan
yang berasal dari negara yang berbeda. Dalam masalah ini Sony dan Ericsson
memiliki budaya nasional dan budaya organisasi yang berbeda pula. Budaya
nasional Ericsson dapat dibilang memiliki tingkat penyelesaian masalah yang
rendah, individualisme tinggi, dan tidak berorientasi pada jangka panjang.
Hal ini mempengaruhi Ericsson menjadi perusahaan yang memiliki struktur
organisasi yang datar dan terdesentralisasi, ukuran perusahaan kecil, kepercayaan diri kinerja individu yang tinggi (tidak ada teamwork), orientasi
tujuan jangka pendek dan memperhatikan kesetaraan antara karyawan pria
dan wanita. Budaya organisasinya tidak memungkinkan karyawan untuk
mengambil resiko, mempromosikan sikap profesional, mencegah adanya
aturan dan peraturan yang ketat serta lebih berfokus pada etika bisnis.
sedang Sony memiliki budaya nasional adanya ketidakpastian
yang tinggi, menghindari individualisme, dan berorientasi pada jangka
panjang sehingga perusahaannya memiliki struktur hirarkis dan terpusat
di organisasi, mengutamakan teknologi, mengedepankan kerjasama,
mempromosikan daya saing serta orientasinya untuk tujuan jangka panjang.
Budaya organisasi di Sony memungkinkan karyawan untuk mengambil
risiko, mendorong profesionalisme, mengharapkan semua orang untuk
taat pada peraturan yang ketat, dan berfokus pada pemenuhan kebutuhan
pelanggan.
Dari kedua budaya diatas, dapat disimpulkan bahwa kedua perusahaan
induk memiliki perbedaan budaya yang sangat signifi kan. Alasannya
yaitu Sony berawal di Jepang dan Ericsson yaitu perusahaan yang
berbasis Swedia. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam hal komunikasi dan
koordinasi. Satu-satunya kesamaan yaitu orientasi profesional terhadap
pekerjaan dan sistem terbuka yang ada dalam organisasi.
Namun Sony Ericsson lebih mengadaptasi dan mengimplementasikan
budaya yang berasal dari Ericsson. Sony Ericsson mendorong karyawan
untuk mengikuti prosedur dan menghindari mengambil risiko,
menunjukkan minat terhadap masalah pribadi karyawan, mempromosikan
sikap profesional, memungkinkan karyawan baru untuk dengan mudah
berkenalan dengan lingkungan, mencegah menerapkan aturan ketat dan
berfokus pada mengikuti aturan bisnis dan etika dalam rangka untuk
memenuhi kebutuhan pelanggan. Hal ini mungkin sebab perusahaan
memiliki basis di Eropa dan rasio karyawan Swedia yang bekerja di Sony
Ericsson cukup tinggi, sehingga memberi gagasan yang sama. Budaya
yang tergabung di Sony Ericsson sebagian didasarkan pada beberapa
kesamaan antara perusahaan induk dan sebagian dipengaruhi oleh budaya
nasional karyawan. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa dalam
menghadapi masalah perbedaan budaya International Joint Venture, ada kekuatan yang sama dari budaya kedua perusahaan induk tetapi saat
salah satu perusahaan induk lebih dominan, maka budaya nasional Joint
Venture akan mengikuti budaya nasional perusahaan induk yang lebih
dominan ini .
Menurut Simons, sistem akuntansi manajemen didefi nisikan sebagai
seperangkat praktek manajemen yang yaitu bagian penting
dari pengambilan keputusan organisasi, dan dirancang untuk
memberi informasi kepada manajer untuk pengambilan keputusan
(Agbejule, 2011). Atau dengan bahasa lain dapat di defi nisikan sebagai suatu
sistem informasi yang memiliki karakteristik untuk membawa manfaat bagi
penggunanya yaitu pihak manajemen untuk pengambilan keputusan dan
peningkatan kinerja. Tentu saja sistem akuntansi manajemen diharapkan
dapat memberi informasi kepada manajemen dalam mengendalikan
kegiatan organisasi (Grandlund, 2003). sebab sistem akuntansi manajemen
yaitu salah satu faktor yang mempengaruhi organisasi, maka
perubahan sistem akuntansi manajemen akan memicu perubahan
signifi kan dalam organisasi ini . Maka, seharusnya semakin besar
kompleksitas organisasi, maka akan semakin tinggi perubahan pada sistem
akuntansi manajemen yang ada. Dalam kondisi perubahan lingkungan
bisnis saat ini penggunaan sistem akuntansi manajemen telah berkembang
selama bertahun-tahun dari yang awalnya berfokus pada penyediaan
kontrol formal dan sistem umpan balik mengembang menjadi sebuah
alat yang membantu organisasi dalam mengimplementasikan organisation
learning (Agbejule, 2011). Informasi akuntansi manajemen yang dihasilkan oleh sistem akuntansi
manajemen diperlukan oleh berbagai tingkat manajemen yaitu manajemen
level atas, manajemen level menengah maupun manajemen level bawah. Pada
setiap level manajemen, dibutuhkan informasi yang berbeda. Keputusan
yang dibuat oleh manajemen level bawah biasanya yaitu keputusan
yang bersifat rutin atau berulang dan ada prosedur atau metode yang
jelas untuk menanganinya. Misalnya supervisor memerlukan informasi
akuntansi manajemen untuk melaksanakan dan mengendalikan kegiatan
harian mereka. Manajemen level menengah seperti manajer fungsional
dan kepala cabang, memerlukan informasi yang dapat dipakai untuk
mengendalikan dan menilai kinerja unit operasi. sedang manajemen
level atas, seperti direktur dan para wakil direktur, memerlukan informasi
akuntansi manajemen yang dapat dipakai untuk melakukan perencanaan
stratejik contoh keputusan jenis ini yaitu keputusan melakukan merger
atau akuisisi.
Perubahan organisasi seperti aktivitas M&A akan mempengaruhi
struktur sistem akuntansi manajemen sebuah organisasi, hal ini dipicu
sebab adanya perubahan strategi manajemen, struktur, dan cara
mempertahankan keberlangsungan dalam menghadapi pesaing. Oleh sebab
itu, desain sistem akuntansi manajemen yang baik akan mempengaruhi
kesuksesan proses M&A. Di sisi lain, isu yang akan dihadapi yaitu apakah
pihak yang mengakuisisi bersedia menerima perbedaan sistem akuntansi
manajemen yang ada, dengan memilih sistem yang terbaik atau memaksakan
sistem yang dimiliki kepada perusahaan yang diakuisisi. Perusahaan yang
diakuisisi biasanya memiliki masalah yang lebih luas seperti kurangnya
dana untuk operasional usaha, penurunan kinerja keuangan hingga
kepailitan sebab hutang yang tidak dapat dilunasi. Dengan terjadinya
proses Merger dan Akuisisi, perusahaan yang lebih mendominasi yaitu
perusahaan yang lebih kuat dan biasanya yaitu perusahaan yang
mengakuisisi. Hal ini akan berdampak kepada para karyawan dan
manajer perusahaan yang diakuisisi. Banyak dari mereka yang merasa tidak
puas dengan penerapan sistem akuntansi manajemen yang baru sebab
mereka harus beradaptasi lagi dengan sistem yang baru. Jika manajer tepat
dalam memakai sistem akuntansi manajemen ini maka dapat
meningkatkan keputusan yang diambil dan lalu mencapai tujuan
organisas
Muslichah (2011) menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsi atau tugasnya yang berkaitan dengan perencanaan, pengorganisasian, pengendalian
dan pengambilan keputusan manajemen membutuhkan informasi akuntansi manajemen. Informasi ini dapat diperoleh dari suatu sistem yang
disebut sistem akuntansi manajemen (Hermawan, 2009). Contoh dari informasi akuntansi manajamen yaitu laporan penjualan per produk, laporan rugi laba per segmen, laporan biaya mutu. Selain itu, Mia dan Clarke
(1999, dalam Faisal, 2006) menyatakan bahwa penggunaan informasi sistem
akuntansi manajemen (SAM) dapat membantu manajer dan organisasi untuk mengadopsi dan mengimplementasikan rencana-rencana mereka dalam
merespon lingkungan persaingan. SAM dilihat sebagai suatu sistem yang
dapat memberi informasi benchmarking dan monitoring dari informasi
internal dan historis yang secara tradisional dihasilkan Sistem Akuntansi
Keuangan (Hermawan, 2009).
sedang Johnson dan Kaplan (1987 dalam Syam dan Maryasih, 2006)
menyatakan informasi SAM dapat memudahkan pengguna (para manajer
atau eksekutif) untuk mengontrol biaya, mengukur dan meningkatkan
produktivitas, dan dapat pula memberi dukungan terhadap proses
produksi. Hal ini akan mempengaruhi pengambilan keputusan
perusahaan yang melakukan merger dan akuisisi. Maiga (2008) berpendapat
bahwa ada 3 komponen pengendalian sistem akuntansi manajemen yaitu
quality goals, quality feedback, dan quality-related incentives yang diharapkan
dapat menciptakan kondisi untuk memotivasi pekerja untuk mencapai hasil
yang diinginkan.
PENGARUH KETIDAKPASTIAN LINGKUNGAN TERHADAP
KARAKTERISTIK SISTEM AKUNTANSI MANAJEMEN
Ketidakpastian lingkungan dapat diartikan sebagai lingkungan diluar
organisasi seperi tindakan pelanggan, supplier, pesaing, serta tingkat
kemajuan perkembangan teknologi. Chenhall dan Morris (1986) dan Fisher
(1996) menyatakan bahwa ketidakpastian lingkungan yang dihadapi seorang
manajer akan mempengaruhi karakteristik informasi yang dibutuhkannya
(Sutapa & Erviana, 2010). Dinamika lingkungan yaitu perubahan
yang terjadi terus menerus yang mempengaruhi pertimbangan dalam pengambilan keputusan manajemen. Pada lingkungan yang tidak pasti,
lebih diperlukan penggunaan sistem informasi yang dapat membantu untuk
mengatasi ketidakpastian ini. Menurut Gul dan Chia (1994), Mardiyah dan
Gudono (2001), Supardiyono (1999) menyatakan beberapa penelitian telah
dilakukan untuk mengkaji pengaruh faktor ketidakpastian lingkungan
terhadap berbagai karakteristik sistem akuntansi manajemen Hasil penelitian ini memberi penjelasan bahwa ketersediaan
informasi akuntansi manajemen yang handal akan meningkatkan kinerja
manajerial pada kondisi ketidakpastian lingkungan sehingga proses merger
dan akuisisi dapat berjalan lebih baik.
PENGARUH BUDAYA ORGANISASI TERHADAP SISTEM
AKUNTANSI MANAJEMEN DALAM MERGER DAN AKUISISI
Budaya organisasi berperan sebagai mekanisme organisasi yang
mempersatukan setiap individu dalam organisasi ke dalam struktur sosial
dan dipakai oleh pemimpin untuk mendukung perubahan strategik.
Hubungan antara budaya organisasi dan kinerja dipengaruhi oleh bagaimana
cara organisasi mencari dan memakai informasi akuntansi manajemen
dengan efektif. Deshpande dan Webster (1989) mendefi nisikan budaya
organisasi sebagai pola dari nilai bersama dan keyakinan yang membantu
individu untuk memahami fungsi organsisasi dan dengan meyediakan
mereka dengan norma-norma dan perilaku dalam organisasi. Schein (1997)
menyatakan bahwa budaya dapat didefi nisikan sebagai asumsi dasar umum
bersama tentang makna, norma, dan nilai-nilai, tercermin dalam simbol
organisasi dan ritual. Krefting and Frost (1985) berpendapat bahwa budaya
organsasi dapat menciptakan keunggulan kompeitif dengan mendefi nisikan
batas-batas organisasi dalam hal interaksi indiviu dan kemampuan untuk
memproses informasi. Penelitian terdahulu menyimpulkan bahwa budaya
yang kuat akan memberi dampak yang positif terhadap kinerja organisasi
ada empat tipe dari budaya organisasi yaitu: budaya rasional,
budaya hirarki, budaya pengembangan dan budaya kelompok. Budaya
rasional yaitu budaya yang mencerminkan orientasi untuk mencapai
suatu hasil atau tujuan ekonomi. Budaya hirarki yaitu budaya yang
mencerminkan birokrasi dan stabilitas. Budaya pengembangan yaitu budaya bergantung terhadap adaptasi dan kreativitas agar mencapai
pertumbuhan dan inovasi. sedang budaya kelompok yaitu budaya
yang mengutamakan kerja sama tim, partisipasi, dan dialog sebagai sebuah
sarana untuk pembangunan dan pencapaian efektivitas.
Hubungan antara budaya organisasi dan kinerja dipengaruhi oleh cara
perusahaan mencari dan menyaring informasi dari pasar dan respon pasar
ini . Untuk mengetahui budaya suatu organisasi, dapat dilihat dari
praktik dari waktu ke waktu dan yang dapat dilihat dari hal-hal yang biasa
dilakukan. Buono dan Bowditch (1989) mengatakan bahwa peristiwa atau
aktivitas seperti merger perusahaan secara budaya dapat menjadi sangat
suatu masalah tersendiri, bahkan traumatis, terutama kepada karyawan
perusahaan yang diakuisisi. sesudah melakukan merger dan akuisisi
antar dua perusahan yang berbeda, maka dapat terjadi benturan budaya
perusahaan, hal ini dapat tercermin dalam perbedaan pendapat
internal manajemen dalam dua kelompok manajemen dan hasil laporan
keuangan kedua perusahaan. Dengan seiring berjalannya waktu, perbedaan
manajemen dan budaya akan menjadi lebih jelas dan membuat proses bisnis
menjadi lebih sulit. Perbedaan budaya ini akan sangat berkorelasi dengan
integrasi sistem akuntansi manajemen yang ada dalam kedua organisasi,
antara yang mengakuisisi dan diakuisisi.
INTEGRASI SISTEM AKUNTANSI MANAJEMEN sesudah
MERGER DAN AKUISISI PERUSAHAAN PROCO DAN UNICO
ȍMINIǧCASEȎ
Prinsip utama dari integrasi yaitu menganalisa kedua sistem yang berbeda
dan memilih karakteristik terbaik dari kedua sistem ini untuk diperiksa
lebih lanjut. Contoh perusahaan yang melakukan integrasi sistem akuntansi
manajemen sesudah merger dan akuisisi yaitu perusahaan Proco yang
mengambil-alih Unico.
Proco yaitu sebuah perusahaan manufaktur makanan yang
cukup besar di Finlandia yang melakukan pengambilalihan beberapa
perusahaan berskala besar dan kecil dalam beberapa tahun terakhir. Salah
satu take over terbesar yang dilakukannya yaitu saat mengambil-alih
Unico pada tahun 1991 yang yaitu akhir dari akuisisi horisontal yang
dilakukan Proco. Keputusannya untuk melakukan pengambilalihan Unico yaitu hal berbeda yang berbeda dibandingkan dengan pengambilalihan
yang pernah dilakukannya. Selain dalam skala ukuran yang besar, juga
terjadi perbedaan sistem akuntansi manajemen sehingga implikasinya juga
berbeda. Dalam penggabungan dua organisasi yang memiliki perbedaan
budaya dan kerangka kerja serta perbedaan rutinitas yang dilakukan yang
salah satunya yaitu sistem akuntansi manajemen memicu timbulnya
banyak masalah terutama bagi karyawan dari perusahaan yang diakuisisi.
Karyawan harus menyesuaikan diri dengan budaya dan rutinitas yang baru.
Berbagai motivasi sebuah perusahaan melakukan akuisisi yaitu
mendapat nilai tambah eksplisit sesudah pengakuisisian, memperkuat
proses produksi ataupun bidang keuangan perusahaan. Merger yang
dilakukan Proco terhadap Unico dipicu oleh kebutuhan tinggi untuk
saling tergantung satu sama lain sebab bergerak pada pasar/produk
yang sama. Sehingga Proco berharap dapat memperkuat posisinya dengan
mengakuisisi Unico. Namun, Proco tidak mempertimbangkan secara teliti
dan tidak melakukan due dilligence yang tepat dalam pengambilalihan Unico
yang akan berpengaruh pada keuangan perusahaan. Unico yaitu
pabrik baru yang besar dan seluruhnya didanai oleh hutang. Akibatnya,
Proco mendapat hutang sangat besar yang hampir membuat perusahaannya
menjadi bangkrut dalam kurun waktu 2 tahun sesudah mengakuisisi. Beban
hutang yang harus dihadapi oleh Proco yaitu masalah yang sangat
besar bagi manajemen Proco sebab memicu dana untuk operasi
manajemen tidak fl eksibel.
Sejak Proco dibangun dari beberapa perusahaan individu, budayanya
secara tradisional menjadi beranekaragam, khususnya pada perusahaan yang
tumbuh melalui take-over. Perbedaan budaya yang telah terjadi sepanjang
tahun memicu suasana di dalam kelompok organisasi sedikit terpecah/
terbagi-bagi. Hal ini membuat budaya cukup rumit dalam banyak hal, yang
berkaitan pada pengambilan keputusan. Dampak pengakuisisian Unico,
membuat para manajer sangat putus asa dan berusaha mempertahankan
posisi mereka masing-masing. Manajer Proco meyakini bahwa dengan tidak
mengakuisisi Unico, kinerja keuangan mereka akan jauh lebih baik sebab
mereka tidak perlu menanggung hutang-hutang yang sangat besar dan
mengganggu operasi manajemennya sehingga mereka harus memotong
biaya dan melakukan PHK beberapa karyawan Proco. Ada perbedaan besar dalam budaya dan fi losofi operasi dari kedua perusahaan. Konfrontasi antara
budaya Proco dan Unico sangat terlihat. Personil Unico memakai cara
mereka sendiri dalam melakukan sesuatu dan tetap bersama-sama. Di satu
sisi, mereka berbicara bahasa mereka sendiri. Prosedur operasi di Unico
jauh lebih sederhana. Hal ini berkaitan dengan sejarah Unico yang lebih
digerakan oleh pasar. Di Proco tidak ada yang pernah dipecat namun di
Unico, manajemen membuat keputusan yang cukup radikal. sedang gaya
manajemen kedua perusahaan sangat berbeda yaitu di Unico memakai
gaya manajemen dimana keputusan dari atasan akan dilakukan, terlepas
dari konsekuensinya. Budaya perusahaan sangat berbeda dimana di Unico
saat membuat keputusan salah, bisa membuat keputusan baru dan dapat
membuat keputusan terus-menerus hingga menghasilkan keputusan yang
tepat. sedang di Proco, setiap pembuatan keputusan harus dengan
melakukan pertemuan serta budaya semangat menjadi budaya Proco.
Dari sisi manajemen, Proco memiliki gaya manajemen ragu-ragu
yang tercermin dalam proses pengambilalihan yang dilakukan terhadap
Unico dimana telah diketahui bahwa saling ketergantungan antara dua
perusahaan ini kemungkinan akan membatasi potensi untuk mendapatkan
nilai dan manfaat sesudah pengakuisisian. Hal ini dilihat dari perbedaan
budaya dan gaya manajemen yang akan menimbulkan masalah yang berat.
Keragu-raguan Proco mengakuisisi Unico juga didasarkan pada integrasi
sistem akuntansi manajemen. Dengan mengakuisisi Unico, diharapkan
dapat merubah semua sistem termasuk proses integrasi sitem akuntansi
manajemen agar sama dengan Proco. Namun pada masalah pengakuisisian
Unico, hal ini malah membawa masalah serius terutama berkaitan
dengan prosedur akuntansi manajemen Proco. Selama proses integrasi
operasional pada 1991-1994, manajemen berada dalam situasi yang canggung
sebab angka-angka dari Proco dan Unico tidak dapat diandalkan dan
dihitung sesuai dengan prinsip-prinsip yang berbeda sehingga laporan. Para
akuntan berusaha membuat angka-angka ini sebanding. Dalam hal
ini, integrasi sistem akuntansi yaitu suatu proses interaktif. Prosedur
yang dimiliki Proco jauh lebih rinci dibandingkan dengan Unico. Proco juga
menerapkan prinsip akuntansi yang lebih terperinci dibandingkan dengan
Unico yang menerapkan prinsip full costing. Proses integrasi sistem akuntansi Proco dan Unico sangat rumit sebab
menggabungkan dua sistem akuntansi yang sangat berbeda dan harus
digabungkan menjadi suatu karakteristik yang sama. Perbedaan budaya
yaitu masalah yang sulit dihadapi dibandingkan dengan integrasi
sistem manajemen yang berbeda. Proco mengadopsi tradisi akuntansi yang
sangat panjang seperti pada tahun 60-an sedang Unico masih dalam
proses pembelajaran prosedur akuntansi yang lebih efi sien. Dalam masalah ini,
ada dua pandangan berbeda mengenai bagaimana praktek akuntansi
manajemen yang tepat. Kedua pandangan ini didasarkan pada latarbelakang
yang berbeda serta ide-ide yang berbeda berkaitan dengan kegunaannya.
Sistem akuntansi yang lebih baik yang akan dipakai sedang sistem
akuntansi yang kurang canggih harus mengikuti.
Perkembangan dalam bidang teknologi informasi telah memberi
kemungkinan untuk mengembangkan suatu sistem akuntansi manajemen
yang fl eksibel dan terintegrasi. Penggunaan teknologi yang semakin
canggih akan memicu peningkatan kebutuhan atas informasi
akuntansi manajemen yang semakin tinggi pula. Secara umum, pembahasan
ini dimaksudkan untuk dapat memberi wawasan baru mengenai
hubungan antara sistem akuntansi manajemen dan merger akuisisi. Seperti
yang telah dibahas, penerapan sistem akuntansi manajemen yang salah
dapat berdampak pula pada kesalahan dalam pengambilan keputusan
stratejik yang pada akhirnya dapat menjadi pemicu kekalahan dalam
bersaing. Mengingat seberapa pentingnya sistem akuntansi manajemen bagi
operasional perusahaan, tentunya kedua sistem yang berbeda tidak dapat
dipakai secara bersama-sama dalam satu perusahaan, namun para manajer
dan eksekutif harus menentukan sistem mana yang akan diterapkan dan
mendominasi perusahaan.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya mengenai penggabungan
dua perusahaan yang bergerak dalam bidang manufaktur makanan telah
melakukan merger horizontal untuk tujuan strategis dan menambah nilai
eksplisit. Secara umum, masalah pengendalian manajemen pasca akuisisi
tampaknya memiliki variasi dalam konteks yang berbeda yang memiliki
konsekuensi lebih lanjut untuk pengembangan management accounting system. Proco yang yaitu perusahaan manufaktur makanan mengambilalih Unico yang bukan hanya berbeda dari segi ukuran, namun perbedaan
implikasi sistem akuntansi manajemen dan budaya mereka yang sangat
berbeda sehingga memicu adanya masalah baru sesudah akuisisi. Hal
ini tercermin dari adanya perbedaan pendapat manajemen internal
dalam 2 kelompok manajemen dan hasil keuangan yang berbeda. Tidak
semua perusahaan yang melakukan merger dan akuisisi diyakini akan
sukses dalam jangka panjang meskipun telah memiliki sistem akuntansi
manajemen yang baik serta dapat menghadapi ketidakpastian lingkungan
bisni
Restrukturisasi dapat didefi niskan sebagai proses perubahan
modifi kasi atas struktur hutang, modal termasuk operasional
organisasi yang secara signifi kan, diharapkan proses perubahan ini
nantinya akan membawa dampak siginifi kan terhadap kinerja organisasi.
Proses restrukturisasi biasanya dilakukan dengan tujuan untuk mencapai
kondisi seperti sebelum merger akuisisi terjadi. Oleh sebab itu restrukturisasi
biasanya dilakukan dengan cara menjual seluruh organisasi bisnis
(divestiture), menjual sebagian kepemilikan (equity carveouts), pemisahan
diri anak perusahaan dari induk (spin-off) atau menjadikan banyak anak
perusahaan dimana holdings company hanya berfungsi sebagai administrasi
manajemen (split-up). Hal ini yang mendasari mengapa restrukturisasi
biasanya dilakukan bagi organisasi yang merasa proses merger dan akuisisi
tidak membawa dampak seperti yang dihasilkan. Namun perlu dicatat
dengan seksama bahwa sebuah organisasi tentu saja dapat melakukan
restrukturisasi walaupun sebelumnya belum pernah melakukan merger
atau akuisisi.
Restrukturisasi juga kerap terjadi dalam perusahaan milik negara
(BUMN). Oleh sebab itu menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun
2003 tentang BUMN, restrukturisasi yaitu usaha yang dilakukan dalam
rangka penyehatan BUMN yang yaitu salah satu langkah strategis
untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan guna meningkatkan nilaiperusahaan. Program restrukturisasi bertujuan untuk memberi manfaat
berupa dividen dan pajak kepada Negara, menghasilkan produk dan
layanan dengan harga yang kompetitif kepada konsumen dan memudahkan
pelaksanaan privatisasi.
Salah satu restrukturisasi BUMN yang sudah terlaksana dan cukup
besar yaitu restrukturisasi PT. Perkebunan Nusantara. PT. Perkebunan
Nusantara (PTPN) yaitu BUMN yang bergerak di bidang agri bisnis
perkebunan. Pada pertama kali dibentuk pada tahun 1996, ada 14
PTPN, yaitu PT. Perkebunan Nusantara I, PT. Perkebunan Nusantara II, dan
seterusnya hingga PT. Perkebunan Nusantara XIV. Pada masing-masing
PTPN memiliki jenis agribisnis utama yang berbeda. Selain itu kantor pusat
masing-masing PTPN juga berbeda lokasi. Namun sejak tahun 2014 tepatnya
pada 18 Oktober, PTPN mengalami restrukturisasi. PTPN yang awalnya
terdiri dari 14 PTPN dimana masing-masing PTPN berdiri secara mandiri,
kini telah dibentuk holding grup. PTPN III ditujuk sebagai holding (induk
perusahaann) membawahi ketiga belas PTPN lainnya. Langkah ini ditempuh
guna menciptakan sinergi antar PTPN, sehingga mampu menghasilkan
efi sinsi serta profi t yang lebih baik. Sebelum terciptanya grup holding, net
profi t margin PTPN secara keseluruhan berada pada 3,4%. sedang
pada periode yang sama PT Astra Agro Lestari Tbk. mencatatkan net profi t
margin sebesar 14%. Direncanakan dengan adanya penggabungan ini maka
net profi t margin PTPN dapat mencapai sekitar 13 – 14% MENGAPA RESTRUKTURISASI
Corporate restructuring diperlukan saat perusahaan perlu untuk
meningkatkan efi siensi dan profi tabilitas. Strategi bisnis saat ini
diintegrasikan terhadap restructuring program untuk memperoleh kinerja
keuangan yang lebih baik dalam jangka pendek dan jangka panjang. Corporate
restructuring dimaksudkan sebagai reaksi terhadap krisis atau sebagai
bagian dari rencana pre-emptive perusahaan untuk dapat bertahan dalam
industri. Proses restrukturasi yaitu proses yang panjang dan memerlukan
kesabaran. Prosesnya melibatkan banyak tugas yang menantang dan
memerlukan analisa manfaat dan biaya sosial, oleh sebab itu membutuhkan
ahli manajemen perusahaanada beberapa motif dan alasan yang menjadi pertimbangan
perusahaan dalam melakukan restrukturisasi. Berikut yaitu alasan-alasan
general perusahaan melakukan restrukturisasi
Highly Leveraged Transaction
Fokus dari restrukturisasi disini adalahya efek dari peningkatan leverage
yang dilakukan suatu perusahaan. Perusahaan dapat melakukan
restrukturisasi dengan memakai pendanaan dari hutang/leveraged
recapitalization, atau membeli suatu divisi maupun keseluruhan suatu
perusahaan lain memakai LBO. Berdasarkan teori trade-off of
debt, perusahaan melakukan pendanaan dari hutang/pinjaman dengan
tujuan unutk mengurangi pajak perusahaan. Insentif manager juga akan
meningkat dengan adanya efek monitoring yang tinggi terhadap peningkata
leverage. Selain itu, perusahaan juga dapat meningkatkan keuntungan
strategis di pasar. Berhubungan dengan incentive manager yaitu saat
manger melihat adanya tanda-tanda kebangkrutan yang mungkin dialami
perusahaan, maka manager memutuskan untuk melakukan pinjaman yang
besar bagi perusahaan. Hal ini dilakukan agar dapat meningkatkan estimasi
future cash fl ow perusahaan yang poistif. Leveraged recapitalization yaitu
saat perusahaan meningkatkan pinjaman hutangnya tanpa menjaga
factor-faktor pendukung pinjaman ini , sehingga akan meningkatkan
ratio leverage. Hal ini mendorong untuk mengurangi masalah investasi
yang berlebihan dengan asumsi bahwa future cash fl ow akan lebih banyak
berisikan pemabayaran bunga pinjaman. Semakin tinggi masalah keuangan
perusahaan, maka akan semakin tinggi pula penggunaan leverage akan
membantu manahemen untuk mengatur investment policy. Sehingga,
leverage sangat dibutuhkan saat kesempatan perusahaan untuk melakukan
invesatsi sangat kecil, dan saat free cash fl ow perusahaan negative.
Increase in Corporate Focus
Restrukturisasi ini dapat dilakukan dengan memakai divestitures,
dimana adanya penjualan asset perusahaan kepada pihak luar dari core
business perusahaan. Hal ini berdampak pada adanya peningkatan focus
pada sisa aktvitas operasi yang tidak dijual. Menurut John & Ofek (1995) menyatakan bahwa sekitar ¾ dari segement perusahaan yang didevestasi
tidak berhubungan dengan core business perusahaan. Perusahaan akan
lebih focus pada core business-nya sesudah melakukan divestasi. Perusahaan
akan memilih untuk menjual segment-segemnt kecil atas non-core business
perusahan, lalu memakai dananya ini untuk menekuni core
business perusahaan. Hasil dari divestasi ini akan meningkat profi tablitas
perusahaan saat perusahaan hanya focus pada core-businessnya saja.
Focus perusahaan dapat dilihat hasilnya dari peningkatan sales perusahaan.
Financial Distress
Perusahaan yang sedang mengalami fi nancial distress akan melakukan
restrukturisasi dengan menjual beberapa assetnya/divestasi. Perusahaan
yang memiliki cash fl ow, cash balances, dan bond rating yang jelek yaitu
perusahaan dibatasi dengan leverage. Maka perusahaan akan lebih memilih
untuk divestasi dibandingkan melakukan spin-off yang tidak menghasilkan uang.
Kemampuan perusahaan untuk membayar dividen kepada shareholders,
sebenarnya dibatasi dengan adanaya hutang perusahan. Perusahaan akan
menghadapi masalah apakah mau membayar dividen atau membayar
bunga. Dari satu sisi, pembayaran dividen akan meningkatkan image
perusahaan. Dari sisi lain, pembayaran bunga juga akan meningkatkan
kepercayaan kreidtur terhadap perusahaan. Oleh sebab itu, keputusan
divestasi pada masa fi nanacial distress ini memiliki hubungan postif hanya
terhadap kepuasan bondholders atau kreditur lainnya, tetapi tidak untuk
shareholders.
Capital Structure Balances(Risk Minimization)
Debt dan equity yaitu dua bentuk pilihan pendanaan perusahaan. Kedua
pilihan ini memiliki cost tertentu kepada perusahaan, sehingga perusahaan
harus memilih startegi yang tepat dengan menciptkan kombinasi yang sesuai
antara keduanya. Hal ini berpengaruh terhadap keseluruhan fi nancing
cost/cost of capital. Semakin tinggi risiko keuangan perusahaan, maka
semakin tinggi pula volatilitas atau ketidakpastian eraning perusahaan
yang dipicu oleh adanya pinjaman yang berlebihan(tidak sesuai
proporsi yang tepat). Perusahaan yang tidak memiliki pinjamana(unlevered
company) tidak mengalami fl uktuasi earning yang tinggi, sedang
perusahaan dengan memakai pinjaman(levered company) mengalami fl uktuasi pendapatan tinggi. Jika perusahaan memiliki hampir sebagain
besar bentuk pendanaan dari hutang, maka semakin tinggi pula bunga yang
harus dibayar perusahaan. Hal ini dakan berdampak pada pengurangan net
income perusahaan, dimana EPS pun akan semakin kecil. Cost of capital
dari debt funding ini harus di-manage oleh perusahaan dengan baik,
sehingga perusahan memiliki portfolio yang bagus. Perusahaan melakukan
restrukturisasi perusahannya agar mencapai cost of capital yang rendah.
Hal ini akan mempengaruhi image perusahaan dan perusahaan akan dinilai
memiliki fi nancial risk yang rendah, dan berkinerja positif. Kedua hal ini
akan mendorong penurunan cost of capital dari debt. Penurunan cost of
capital ini akan meningkatkan net income perusahan, yang yaitu hasil
akhir dari Income Statement suatu perusahaan.
Globalization of Business
Pada lingkungan bisnis saat ini, perusahaan yang menolak untuk melakukan
perubahan dengan waktu dan perubahan zaman akan menghadapi risiko
produk perusahaan menjadi tidak dikenal atau tidak ada brand awareness
pada customer. Hal ini akan mendorong perusahaan untuk melakukan
ekperimen bisnis dengan menciptakan porduk baru, mengeksplorasi pasar
baru, dan mencapai target customer baru. Hal ini harus dilakukan perusahaan
secara terus menurus sebab perusahaan beraa pada lingkungan ini saat
ini, dimana semua hal selalu dinamis dan berubah-ubah. Restrukturisasi
harus dilakukan perusahaan untuk mencapai atau untuk mengikuti
perubahan natur bisnis saat ini. Perusahaan harus melakukan diversifi kasi
sehingga memiliki akses pada pasar baru dan terjadi peningkatkan sales.
Perusahaan juga dapat meningkatkan kapasitas perusahaan, dan mengurangi
atau menutup business line perusahaan yang tidak menguntungkan secara
value kepada perusahaan. Perusahaan mencari cara untuk berkonsentrasi
pada core business/core competency.
Reallocation and Downsizing
Realokasi terjadi saat perusahaan mengalami aktivtas operasi yang stagnan,
bahkan dibawah standar kinerja/dibawah kapasitas. Perusahaan melakukan
realokasi input yang berdampak pada dua efek, ayitu penurunanan utilisasi
sumber daya dan restrukturisasi capital. Penurunan utilisasi sumber daya
ini yaitu pengaturan dan pengalokasian kemabli sumber daya didalam perusahaan yang tidak memebrikan nilai tambah. Realokasi sumber daya
ini akan mengabkitbkan pada tingginya tinggi unemployement, sebab
perusahaan akan memberhentikan sebagain besar karyawan yang dianggap
tidak produktif. Perusahaan akan mencari karyawan baru yang lebih
berkompetensi dalam bidangnya yang menghasilkan cost of operations
perusahaan seminimal mungkin sehingga akan memepengaruhi output
perusahaan. Dalam hal ini, produktivitas dan profi tabilitas perusahaan akan
kembali meningkat.
Firm and Organisation Performance Enhancement
Rendahnya kinerja keuangan perusahaan dan nilai pasar saham mendorong
manager untuk melakukan restrukturisasi. Hal ini dilakukan agar perusahaan
memiliki banyak diversifi kasi asset. Perusahaan diharapkan dapat
mengelolah diversifi kasi assetnya sehingga mendatangkan pendapatan
tinggi, yang berdampak pada meningkatnya kinerja keuangan perusahaan.
Peningkatan kinerja perusahaan ini akan tercermin dapat tingginya nilai
saham perusahaan di bursa efek. Hal ini akan berdampak pada peningkatan
kepercayaan dan confi dence shareholders, dan sekaligus memaksimalkan
kekayaan para shareholders.
Dengan restrukturisasi, perusahaan memiliki kesempatan untuk
memperbaiki kinerja perusahaan yang buruk pada periode-periode tertentu.
Peningkatan kemabli kinerja operasional perusahaan dapat dicapai melalui
sinergi dengan perusahaan lain (menurunkan cost dan menaikkan revenue).
Ensure Clarity in Vision, Strategy and Structure
Restrukturisasi harus berfokus pada perombakkan atau perumusan kembali
visi perusahaan yang mulai tidak jelas arahnya, strategi-strategi apa saja
yang harus diambil perusahaan dalam menjalankan bisnis dan struktur
perusahaan untuk mendukung pencapaian tujuan perusahaan.
Palliam dan Shalhoub (2002) menemunkan bahwa corporate restructuring
dapat menjadi dorongan bagi perubahaan organisasi. Corporate restructuring
juga secara positif memiliki korelasi dengan profi tabilitas jangka panjang
perusahaan. Penurunan biaya secara signifi kan dan peningkatan market
share juga yaitu hasil yang diharapkan dari corporate restructuring. Perusahaan tentunya harus memiliki pengetahuan tentang struktur industri
yang berubah secara konstan sebelum melakukan restrukturasi. Dalam
melakukan restrukturasi, pendekatan inovatif diperlukan agar dapat
menciptakan keunggulan bersaing.
BENTUK RESTRUKTURISASI
Seperti yang sudah dibahas diatas, ada beberapa bentuk dari restrukturasi,
yaitu divestitures, equity carveout, spinoff, splitup, dan exchange offer. Divestiture
yaitu restrukturasi dengan cara menjual bagian dari perusahaan ke pihak
luar. Selama tahun 1980 hingga 1990an, banyak perusahaan melakukan
divestiture. Selama tahun 1980an, divestiture dilakukan secara dominan
berbentuk voluntary divestiture. Bowman dan Singh mengindikasikan bahwa
satu dari tiga perusahaan Fortune 1000 terlibat dalam voluntary restructuring
pada tahun 1980an. Beberapa ahli berspekulasi bahwa pajak yaitu faktor pemicu maraknya voluntary restructuring pada awal
1980an. Ahli lainnya berspekulasi mengenai perubahan yang signifi kan
dalam kepemilikan dalam perusahaan dan tata kelola pada tahun 1980an
serta junk bond fi nancing dan strategi untuk mengakhiri takeover yaitu faktor
pemicu transisi perusahaan. Downscoping terus berlanjut, meskipun mulai
berkurang, pada akhir 1980an dan awal 1990an, periode dimana perubahan
besar pada antitrust policy, inovasi keuangan dan environmental shock lainnya
tidak terjadi.
DIVESTITURE ȍSELLǧOFFȎ
ada dua pemicu divestiture atau perusahaan yang melakukan
restrukturasi melalui penjualan kepemilikan. Pertama yaitu manajer
perusahaan sebelumnya melakukan overdiversifi ed sebab sistem tata kelola
tidak sanggup untuk menahan terjadinya diversifi kasi. Overdiversifi cation
didefi nisikan sebagai diversifi kasi produk melebihi tingkat optimal dari
shareholder. Diversifi kasi ini dapat memberi keuntungan bagi manajer,
seperti peningkatan keamanan kerja atau kompensasi yang lebih besar,
tapi tidak optimal bagi shareholder. Tata kelola yang tidak memadai dapat
berkaitan dengan difusi pembagian saham antara outside owner, karakteristik
manajer dan board member, dan ketidakpedulian board. saat pembagian saham tersebar dengan tidak optimal, pemegang saham tidak memiliki
insentif yang cukup untuk memonitor strategi perusahaan.
Pemikiran lainnya yaitu manajer perusahaan merancang strategi
yang buruk, dengan hasil product diversifi cation yang relatif terlalu tinggi. Top
executive dapat membuat kesalahan strategis yang signifi kan dengan mengejar
unrelated diversifi cation atau dengan mengejar terlalu banyak kesempatan dari
related diversifi cation secara terus menerus. Product diversifi cation yang terlalu
tinggi dapat berdampak pada pembentukan strategi yang buruk di area
lainnya. Misalnya, strategi teknologi yang buruk, dimana pengeluaran R&D
kecil bila dibandingkan dengan kompetitor, atau strategi keuangan yang
buruk, dengan hutang yang lebih tinggi dibandingkan dengan kompetitor.
Perencanaan strategi yang buruk yaitu hasil dari kurangnya pengendalian
strategis saat mengembangkan diversifi kasi. Kurangnya pengendalian dan
strategi yang buruk dapat membawa pada kinerja yang buruk, sehingga
restructuring dan aktivitas divestiture terjadi untuk mengkoreksi masalah
kinerja ini
Equity carve-out yaitu variasi dari divestiture yang melibatkan penjualan
kepemilikan saham pada anak perusahaan ke pihak luar. Pada spin-off,
meskipun pemegang saham yaitu sama, perusahaan spin-off memiliki
manajemennya sendiri dan menjalankan perusahaan yang terpisah. Spinoff perusahaan dilakukan dengan cara mendistribusikan saham baru milik
anak perusahaan kepada pemegang saham perusahaan induk. Contoh yang
terjadi dapat dilihat pada masalah Citilink yang memisahkan diri (spin-off) dari
Garuda pada tahun 2012. Citilink sampai sekarang tentu saja masih menjadi
milik Garuda, namun memiliki manajemen yang berbeda.
tampilan salah satu berita mengenai spin-off citilink
Spin off dan Equity carve-out (ECO) yaitu cara yang populer bagi
perusahaan untuk mempertajam fokus mereka pada bisnis utama. Mengapa
perusahaan memilih melakukan spin-off atau ECO? Salah satu alasannya
yaitu sebab kombinasi bisnis yang dinilai undervalue oleh pasar. Persepsi
ini dapat terjadi sebab kurangnya sinergi antara perusahaan induk dengan subsidiary, atau antara business unit, kurangnya pemahaman pasar mengenai
entitas yang bergabung atau ketidakstabilan operasi salah satu entitas yang
melebihi batas toleransi. Spin-off atau ECO dapat mengeliminasi cross-subsidies
yang tidak efi sien dan menciptakan organisasi yang lebih fokus dimana
kinerja operasi dan kompensasi lebih berimbang. Alasan lainnya yaitu
jika perusahaan mau melakukan de-conglomerate atau jika perusahaan
induk dengan desakan investor ingin melepasan non-core business.
Jadi, perusahaan induk melepaskan divisi atau anak perusahaan ke
pemegang saham dengan cara mendistribusikan common stock melalui
dividend biasanya distribusi bebas pajak pada perusahaan induk dan
investor. Contohnya yaitu AT&T yang mengumumkan pada 1995
bahwa operasinya akan dibagi menjadi tiga perusahaan: AT&T, Lucent
Technologies dan NCR – sebuah keputusan yang membuat AT&T dapat
lebih fokus pada jasa komunikasi utamanya. Pada ECO, perusahaan
induk menjual kepemilikan perusahaan anak melalui Initial Public Offering
(IPO). Seringkali, perusahaan induk menyimpan mayoritas saham, namun
memberi otonomi pengambilan keputusan substansial pada board anak
perusahaan baru. Keuntungan yang dapat diperoleh termasuk “pure play”
investment opportunity, management score card dan reward, dan akses pasar
modal.
Salah satu contohnya yaitu carve-out Du Pont atas Photomasks.
Manajemen Du Pont yakin bahwa dua perusahaan ini membutuhkan
strategi pemasaran yang berbeda. Mereka juga melihat perbedaan budaya,
dan berpikir bahwa Photomasks akan memiliki market value lebih besar
sesudah carveout. Hasilnya, manajemen Photomasks melihat perbedaan
substansial dalam operasional. sesudah carveout, tidak lagi perlu meminta
persetujuan dalam organisasi yang lebih besar, proses pengambilan
keputusan lebih cepat dan praktis. Kelebihan lainnya yaitu peningkatan
kinerja dan penjualan. Dengan demikian, divestiture turut meningkatkan
kinerja operasi, mempertajam fokus organisasi, dan menyediakan proses
pengambilan keputusan yang lebih independen. Dalam bagian dibawah
ini yaitu perbedaan antara carve-out dengan spin-off. Terlihat bahwa
carve-out menghasilkan aliran kas positif bagi perusahaan yang berasal dari
pemegang saham baru.
EXCHANGE OFFER
sedang pada exchange offer, perusahaan menerbitkan saham baru di anak
perusahaan dan pemegang saham di perusahaan induk diberikan pilihan
untuk tetap memegang sahamnya saat ini atau menukar dengan saham baru
di anak perusahaan. Dalam restrukturasi berupa splitup, seluruh perusahaan
terpecah menjadi beberapa spinoff. Hasil akhir dari proses ini yaitu
perusahaan induk tidak lagi berdiri, dan hanya menyisakan perusahaanperusahaan yang baru terbentuk. Pada prakteknya, terkadang perusahaan
memakai lebih dari satu metode pemisahan.
DAMPAK RESTRUKRISASI PADA PERUSAHAAN
Pada 1981, Oppenheimer and Company mengadakan sebuah studi terhadap
19 masalah spinoff besar pada tahun 1970. Dilaporkan bahwa dari mayoritas
masalah yang terjadi ditemukan nilai dari gabungan antara
Related Posts:
merger akusisi a Sebagaimana kita tahu, merger dan akuisisi dapat menghabiskan biaya yang cukup besar, namun dapat memberi&nbs… Read More