Home »
ekonomi syariah
» ekonomi syariah
ekonomi syariah
Seiring dengan meningkatnya
kesadaran atas pelayanan keuangan yang
memiliki kepatuhan syariah, khususnya
asuransi syariah maka perusahaan takaful
pertama yang dinamai Syarikat Takaful
Indonesia didirikan pada awal tahun 1994
untuk menanggapi permintaan publik atas
asuransi syariah. Inisiatif ini juga didorong
oleh berbagai pihak (ICMI, Abdi Bangsa
Foundation, Bank Muamalat Indonesia,
Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, dan beberapa
pengusaha Muslim) dan Pemerintah melalui
Kementerian Keuangan.
Pinsip-prinsip yang diterapkan pada
asuransi syariah adalah :
a. Prinsip berserah diri dan ikhtiar
b. Prinsip tolong menolong
c. Prinsip saling bertanggung jawab
d. Prinsip saling kerjasama dan bantu
membantu
e. Prinsip saling melindungi dan
berbagi kesusahan
Dalam pengelolaan dan penanggungan
risiko, asuransi syariah tidak memperbolehkan
adanya gharar (ketidakpastian atau spekulasi)
dan maisir (perjudian). Dalam investasi atau
manajemen dana tidak diperkenankan adanya
riba (bunga). Ketiga larangan ini, gharar, maisir,
dan riba adalah area yang harus dihindari
dalam praktek asuransi syari’ah, dan menjadi
pembeda utama dengan asuransi konvensional
Dalam asuransi syariah (ta’min, takaful
atau tadhamun) terdapat dua jenis akad yaitu :
1. Akad tijarah adalah semua bentuk akad
yang dilakukan untuk tujuan komersial.2. Akad tabarru’ adalah semua bentuk
akad yang dilakukan dengan tujuan
kebajikan dan tolong-menolong,
bukan semata untuk tujuan komersial.
Akad dalam asuransi dilakukan antara
peserta dengan perusahaan terdiri atas akad
tijarah dan/atau akad tabarru' di mana akad
tijarah yang dimaksud adalah mudarabah.
sedangkan akad tabarru’ adalah hibah.
Kedudukan para pihak dalam akad
tijarah dan akad tbarru’ yaitu :
1. Dalam akad tijarah (mudharabah),
perusahaan bertindak sebagai mudharib
(pengelola) dan peserta bertindak sebagai
shahibul mal (pemegang polis).
2. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta
memberi hibah yang akan
digunakan untuk menolong peserta
lain yang terkena musibah. Sedangkan
perusahaan bertindak sebagai
pengelola dana hibah.
Sistem operasional asuransi syari’ah
(takaful) adalah saling bertanggung jawab,
bantu membantu, dan saling melindungi
antara para pesertanya. Perusahaan asuransi
syari’ah diberi kepercayaan atau amanah oleh
para peserta untuk mengelolah premi,
mengembangkan dengan jalan yang halal, dan
memberi santunan kepada yang mengalami
musibah sesuai isi akta perjanjian. Keuntungan
perusahaan diperoleh dari pembagian
keuntungan dana peserta yang dikembangkan
dengan prinsip mudarabah (sistem bagi hasil).
Para peserta takaful berkedudukan sebagai
pemilik modal dan perusahaan takaful
berfungsi sebagai pemegang amanah
Kelahiran keuangan syariah ditandai
secara resmi dengan pendirian Bank Muamalat
Indonesia padatahun 1991. Pendirian bank ini
diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI), sekelompok pengusaha Muslim, dan
iPemerintah Indonesia. Bank ini mulai
beroperasi pada bulan Mei 1992 setelah
dikeluarkannya Undang-Undang Perbankan
No. 7 Tahun 1992 yang memberi izin
pengoperasian perbankan dengan prinsip
syariah. Dimulai dari permintaan publik,
keuangan syariah terus berkembang di
Indonesia setiap tahun. Perhatian Pemerintah
terhadap perkembangan keuangan syariah
mulai semakin tampak nyata dan
diterjemahkan ke dalam peluncuran sistem
perbankan ganda (dual banking system) di
Indonesia melalui Undang-Undang Perbankan
No. 10 Tahun 1998 yang merupakan
amandemen dari undang-undang yang berlaku
sebelumnya. Sejak saat itu, sektor perbankan
syariah mempercepat pertumbuhannya saat
bank umum syariah lainnya, yaitu Bank
Syariah Mandiri, didirikan oleh grup bank
BUMN Mandiri. ini kemudian diikuti oleh
pendirian beberapa Unit Usaha Syariah (UUS)
oleh bank-bank konvensional.
Dari segi tata kelola syariah, MUI
sesuai dengan mandat yang diberikan
kepadanya dan sesuai dengan Keputusan MUI
No. 754/MUI/II/1999 yang diterbitkan bulan
Februari 1999, mendirikan Dewan Syariah
Nasional (DSN) sebagai suatu badan
independen di dalam MUI. DSN-MUI diberi
tanggung jawab untuk menangani semua isu
yang terkait dengan aktivitas lembaga
keuangan syariah dan meningkatkan kesadaran
publik atas ekonomi dan keuangan. DSN-MUI
memberi kontribusi secara aktif dalam
memperluas cakupan pelayanan keuangan
syariah dengan memberi dukungan
peraturan bagi industri ini. Pada bulan April
2000, DSN-MUI mengeluarkan 12 fatwa yang
terkait dengan kontrak dan produk syariah
yang ditawarkan oleh bank-bank syariah dan
lembaga keuangan lainnya.
Seiring dengan meningkatnya
kesadaran atas pelayanan keuangan yang
memiliki kepatuhan syariah, perusahaan
takaful pertama yang dinamai Syarikat Takaful
Indonesia, didirikan pada awal tahun 1994
untuk menanggapi permintaan publik atas
asuransi syariah. Inisiatif ini juga didorong
oleh berbagai pihak (ICMI, Abdi Bangsa
Foundation, Bank Muamalat Indonesia,
Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, dan beberapa
pengusaha Muslim) dan Pemerintah melalui
Kementerian Keuangan.
Pada bulan Oktober 2001, DSN-MUI
mengeluarkan Fatwa No. 21/DSNMUI/X/2001 mengenai prinsip umum dari
takaful untuk menjawab kekhawatiran publik
mengenai kesesuaian pelayanan asuransi
dengan prinsip syariah. Fatwa ini memberi
definisi umum dari takaful, beserta penjelasan
tentang aktivitas yang terkait dengan ini .
DSN-MUI juga mengeluarkan fatwa lain yang
terkait dengan sektor takaful, termasuk fatwa
tentang Takaful Haji (No: 39/DSNMUI/X/2002), kontrak Mudarabah dan
Musyarakah dalam Takaful (No: 51/DSNMUI/III/2006), Kontrak Wakalah Bil Ujrah
dalam Takaful dan Retakaful (No: 52/DSNMUI/III/2006), Kontrak Tabarru’ (No:
53/DSN-MUI/III/2006) dan Pengembalian
Dana Tabarru’ (No: 81/DSN-MUI/III/2011).
Dalam bahasa Arab, asuransi syari’ah
disebut at-at’min, penanggung disebut mu’amin,
sedangkan tertanggung disebut mu’aman lahu
atau musta’min. At-ta’min yaitu “menta’minkan
sesuatu, artinya adalah seseorang membayar
atau menyerahkan uang cicilan agar ia atau ahli
warisnya mendapatkan sejumlah uang
sebagaimana yang telah disepakati atau untuk
mendapatkan ganti rugi terhadap hartanya
yang hilang.
1
Dalam Kitab Undang-Undang Dagang
(KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa yang
dimaksud asuransi atau pertanggungan adalah
timbal balik, dengan mana seorang
penanggung mengikat diri kepada seorang
penanggung, dengan menerima suatu premi,
untuk memberi penggantian kepadanya,
kerena suatu kerugian, kerusakan, atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan yang
mungkin akan dideritanya, kerena suatu
peristiwa tak tertentu.
Allah SWT memerintahkan kepada
umatnya untuk mempersiapkan masa depan.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Hasyr
ayat 18 sebagai berikut :
Allah SWT memerintahkan kepada
umatnya untuk saling menolong kebijakan dan
takwa. Rasulullah SAW juga mengajarkan
kepada kita untuk selalu peduli dengan
kepentingan dan kesulitan yang dialami oleh
saudara-saudara kita. Karena Allah
mengatakan barang siapa yang memperhatikan
dan memenuhi kesulitan saudaranya, maka
Allah akan memenuhi kesulitannya dalam
kesempatan dalam bentuk yang lain. Karena
itu, dalam asuransi syari’ah, para peserta yang
satu sama lain bekerja sama dan saling
menolong melalui instrumen dana tabarru’
(dana kebajikan). Allah SWT berfirman dalam
surat Al-Maidah ayat 2 sebagai berikut :
Dengan demikian hakikat asuransi
syari’ah secara Islami adalah saling
bertanggung jawab, saling bekerja sama, atau
bantu membantu dan saling melindungi
penderitaan satu sama lain. Oleh karena itu
asuransi dibolehkan secara syariat karena,
prinsip-prinsip dasar Syari’ah mengajak kepada
setiap sesuatu berakibat keeratan jalinan
sesama manusia, dan kepada Allah SWT.
Pada hakikatnya, secara teoritis
semangat yang terkandung dalam sebuah
lembaga asuransi tidak bisa dilepaskan dari
semangat sosial dan saling tolong menolong2
.
Manusia tidak dapat meramalkan atau
melakukan prediksi mengenai sesuatu yang
akan terjadi di masa datang, bahkan di esok
haripun tidak mengetahui apa yang akan
terjadi. Resiko di masa datang dapat terjadi
terhadap kehidupan seseorang seperti
kehilangan sumber pendapatan, kecelakaan,
sakit atau kematian.
Dalam bisnis yang dihadapipun tidak
menutup kemungkinan akan terjadi resiko
seperti kebakaran, kehilangan atau kerusakan.
Setiap resiko yang akan dihadapi harus
ditanggulangi sehingga tidak menimbulkan
kerugian yang lebih besar lagi, maka
diperlukan perusahaan yang dapat
menanggung resiko tersebut yaitu perusahaan
asuransi. Usaha dan upaya menghindari
resikonya dilakukan dengan cara
melimpahkannya kepada pihak lain, maka
pilihan yang paling tepat pada institusi yang
bernama asuransi3
.
Pada dasarnya perusahaan asuransi
dalam kegiatannya, secara terbuka
mengadakan penawaran atau menawarkan
sesuatu perlindungan atau proteksi serta
harapan pada masa yang akan datang kepada
individu atau kelompok-kelompok dalam
masyarakat atau institusi-institusi lain, atau
kemungkinan menderita kerugian lebih lanjut
karena terjadinya peristiwa yang tidak tertentu
atau belum pasti. Di samping itu, perusahaan
asuransi juga memberi jaminan atas
terpenuhinya pendapatan seseorang, karena
tepat di mana yang bersangkutan bekerja tetap terjamin kelangsungan kehidupannya. Dengan
demikian, dapat dikatakan kehadiran
perusahaan asuransi dalam masyarakat itu jauh
lebih bermanfaat semua pihak dibandingkan
berbuat dengan ketidak hadirannya.
Tingkat kesadaran masyarakat
Indonesia dalam berasuransi masih tergolong
rendah jika dibandingkan dengan kesadaran
berasuransi di negara lain. Penilaian ini
terutama jika dilihat dari sudut pandang
tingkat penetrasi industri untuk pasar nasional
nasabah individual. ini menyebabkan
perkembangan industri asuransi di Indonesia,
khususnya asuransi syari’ah belum begitu
signifikan. Padahal potensi pasar industri
asuransi syariah untuk berkembang di
Indonesia sangat besar, mengingat mayoritas
penduduk Indonesia beragama Islam.
Dengan semakin berkembangnya jenis
dan ragam produk-produk asuransi serta
sosialiasasi yang dilakukan oleh perusahaanperusahaan asuransi baik konvensional
maupun syari’ah mulai menarik perhatian
masyarakat dari waktu ke waktu di mana
masyarakat mulai memahami dan
menggunakan produk-produk asuransi dalam
kesehariannya.
Perusahaan-perusahan dan produkproduk yang pertama kali dikenal masyarakat
menerapkan prinsip konvensional. Seiring
dengan perkembangan dunia syariah maka
lahirlah asuransi dengan prinsip syari’ah yang
menawarkan produk-produk dan layanan yang
sesuai dengan syari’ah. Oleh karena itu dengan
perkembangannya tersebut, masyarakat
sebagai konsumen perlu untuk dapat
memahami bagaimana gambaran mengenai
dunia asuransi baik konvensional dan syari’ah
sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan
pemilihan produk-produk dan layanan
asuransi sesuai dengan kebutuhannya.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa
auransi tidak bisa lepas dari pro kontra,
terlepas itu asuransi syari’ah maupun
konvensional. Namun masyarakat Indonesia
terutama orang awam, tidak akan paham mana
yang termasuk syari’ah mana yang terasuk
konvensional. Sebenarnya, persoalannya
bukan lagi terletak pada syari’ah atau
konvensionalnya. Namun dari segi prinsip
operasionalnya; seperti produknya, marketing
plan, strategi pemasaran, strategi
pengembangan jaringan dan poin-poin penting
lainnya yang berpihak kepada kemaslahatan
anggotanya.4 Perubahan persepsi mengenai
asuransi syari’ah sangat penting sehingga
tujuan dari tulisan ini adalah memberi
pemahaman mengenai asuransi syari’ah (ta’min,
takaful atau tadhamun) dan operasional asuransi
syari’ah tersebut di Indonesia.
II. Metode
Metode yang digunakan adalah
literature review yaitu uraian mengenai teori,
temuan dan bahan lainnya yang diperoleh dari
bahan acuan untuk dijadikan landasan kegiatan
penelitian untuk menyusun kerangka
pemikiran yang jelas dari perumusan masalah
yang ingin diteliti/diketahui.
III. Hasil dan Pembahasan
3.1.Gambaran Umum Asuransi Menurut
UU No. 40 Tahun 2014
Pada tanggal 23 September 2014, DPR
menyetujui Undang-Undang Asuransi baru.
Undang-undang ini memberi kepastian
hukum dari aktivitas operasi takaful di
Indonesia dan menetapkan peraturan untuk
operator takaful sehubungan dengan
kepemilikan asing dan pemisahan unit takaful
dari unit induk umum mereka.5
yaitu UndangUndang No. 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
Menurut UU No. 40 tahun 2014
tentang perasuransian, usaha perasuransian
adalah segala usaha menyangkut jasa
pertanggungan atau pengelolaan risiko,
pertanggungan ulang risiko, pemasaran dan
distribusi produk asuransi atau produk
asuransi syari’ah, konsultasi dan keperantaraan
asuransi, asuransi syariah, reasuransi, atau
reasuransi syariah, atau penilaian kerugian
asuransi atau asuransi syari’ah.
Pengertian asuransi adalah perjanjian
antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi
dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi
bagi penerimaan premi oleh perusahaan
asuransi sebagai imbalan untuk :
a. memberi penggantian kepada
tertanggung atau pemegang polis
karena kerugian, kerusakan, biaya yang
timbul, kehilangan keuntungan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin diderita
tertanggung atau pemegang polis
karena terjadinya suatu peristiwa yang
tidak pasti; atau
b. memberi pembayaran yang
didasarkan pada meninggalnya
tertanggung atau pembayaran yang
didasarkan pada hidupnya tertanggung
dengan manfaat yang besarnya telah
ditetapkan dan/atau didasarkan pada
hasil pengelolaan dana.
Asuransi syari’ah adalah kumpulan
perjanjian, yang terdiri atas perjanjian antara
perusahaan asuransi syari’ah dan pemegang polis dan perjanjian di antara para pemegang
polis, dalam rangka pengelolaan kontribusi
berdasarkan prinsip syari’ah guna saling
menolong dan melindungi dengan cara:
a. memberi penggantian kepada
peserta atau pemegang polis karena
kerugian, kerusakan, biaya yang timbul,
kehilangan keuntungan, atau tanggung
jawab hukum kepada pihak ketiga yang
mungkin diderita peserta atau
pemegang polis karena terjadinya suatu
peristiwa yang tidak pasti.
b. memberi pembayaran yang
didasarkan pada meninggalnya peserta
atau pembayaran yang didasarkan pada
hidupnya peserta dengan manfaat yang
besarnya telah ditetapkan dan/atau
didasarkan pada hasil pengelolaan
dana.
Usaha Asuransi Umum adalah usaha
jasa pertanggungan risiko yang memberi
penggantian kepada tertanggung atau
pemegang polis karena kerugian, kerusakan,
biaya yang timbul, kehilangan keuntungan,
atau tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau
pemegang polis karena terjadinya suatu
peristiwa yang tidak pasti.
Usaha asuransi jiwa adalah usaha yang
menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko
yang memberi pembayaran kepada
pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain
yang berhak dalam hal tertanggung meninggal
dunia atau tetap hidup, atau pembayaran lain
kepada pemegang polis, tertanggung, atau
pihak lain yang berhak pada waktu tertentu
yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya
telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada
hasil pengelolaan dana.
Usaha reasuransi adalah usaha jasa
pertanggungan ulang terhadap risiko yang
dihadapi oleh perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan reasuransi
lainnya. Usaha asuransi umum syari’ah adalah
usaha pengelolaan risiko berdasarkan prinsip
syari’ah guna saling menolong dan melindungi
dengan memberi penggantian kepada
peserta atau pemegang polis karena kerugian,
kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan
keuntungan, atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang mungkin diderita
peserta atau pemegang polis karena terjadinya
suatu peristiwa yang tidak pasti.
Usaha Asuransi Jiwa Syari’ah adalah
usaha pengelolaan risiko berdasarkan prinsip
syari’ah guna saling menolong dan melindungi
dengan memberi pembayaran yang
didasarkan pada meninggal atau hidupnya
peserta, atau pembayaran lain kepada peserta
atau pihak lain yang berhak pada waktu
tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang
besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan
pada hasil pengelolaan dana.
Usaha reasuransi syari’ah adalah usaha
pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syari’ah
atas risiko yang dihadapi oleh perusahaan
asuransi syari’ah, perusahaan penjaminan
syari’ah, atau perusahaan reasuransi syari’ah
lainnya. Usaha pialang asuransi adalah usaha
jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam
penutupan asuransi atau asuransi syari’ah serta
penanganan penyelesaian klaimnya dengan
bertindak untuk dan atas nama pemegang
polis, tertanggung, atau peserta.
Usaha pialang reasuransi adalah usaha
jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam
penempatan reasuransi atau penempatan
reasuransi syariah serta penanganan
penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk
dan atas nama perusahaan asuransi,
perusahaan asuransi syari’ah, perusahaan
penjaminan, perusahaan penjaminan syari’ah,
perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syari’ah yang melalukan
penempatan reasuransi atau reasuransi
syari’ah.
Usaha penilai kerugian asuransi adalah
usaha jasa penilaian klaim dan/atau jasa
konsultasi atas objek asuransi. Perusahaan
perasuransian adalah perusahaan asuransi,
perusahaan asuransi syari’ah, perusahaan
reasuransi, perusahaan reasuransi syari’ah,
perusahaan pialang asuransi, perusahaan
pialang reasuransi, dan perusahaan penilai
kerugian asuransi.
Perusahaan asuransi adalah perusahaan
asuransi umum dan perusahaan asuransi jiwa.
Perusahaan asuransi syariah adalah perusahaan
asuransi umum syariah dan perusahaan
asuransi jiwa syariah.
3.2.Gambaran Umum Asuransi Syari’ah
(Ta’min, Takaful atau Tadhamun)
Menurut fatwa DSN-MUI
No. 21/DSN-UI/X/2001
Sesuai dengan hukum positif yang ada,
prinsip syar’iah menurut Undang-Undang No.
40 tahun 2014 adalah prinsip hukum Islam
dalam kegiatan perasuransian berdasarkan
fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa
di bidang syari’ah. Di Indonesia, lembaga yang
menetapkan fatwa sebagai landasan hukum
mengenai asuransi syari’ah adalah Dewan
Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) dimana untuk mengatur ini
dikeluarkanlah fatwa DSN-MUI No.
21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman
umum asuransi syariah untuk memenuhi
kebutuhan dan menjawab pertanyaan
masyarakat yang berdasarkan prinsip-prinsip
syari’ah untuk dijadikan pedoman oleh pihakpihak yang memerlukannya. Bagi mayoritas
umat Islam Indonesia, asuransi merupakan
persoalan baru yang masih banyak
dipertanyakan; apakah status hukum maupun cara aktivitasnya sejalan dengan prinsip-prinsip
syari’ah.
Menurut Dewan Syari’ah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), definisi
asuransi syari’ah adalah usaha saling
melindungi dan tolong menolong di antara
sejumlah orang atau pihak-pihak dalam bentuk
asset atau tabarru’ yang memberi pola
pengembalian untuk menghadapi resiko
tertentu melalui akad (perikatan) sesuai dengan
syari’ah.6
Menurut Fatwa DSN-MUI No. 21/DSNMUI/X/2001 tentang pedoman umum
asuransi syariah menyebutkan pengertian
asuransi syariah (ta’min, takaful atau tadhamun)
adalah usaha saling melindungi dan tolong
menolong di antara sejumlah orang atau pihak
melalui investasi dalam bentuk aset dan atau
tabarru’ yang memberi pola pengembalian
untuk menghadapi resiko tertentu melalui
akad atau perikatan yang sesuai dengan
syariah. Akad yang sesuai dengan syariah yang
dimaksud adalah yang tidak mengandung
gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba,
zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang
haram dan maksiat.
Dalam pengelolaan dan penanggungan
risiko, asuransi syariah tidak memperbolehkan
adanya gharar (ketidakpastian atau spekulasi)
dan maisir (perjudian). Dalam investasi atau
manajemen dana tidak diperkenankan adanya
riba (bunga). Ketiga larangan ini, gharar, maisir,
dan riba adalah area yang harus dihindari
dalam praktek asuransi syariah, dan menjadi
pembeda utama dengan asuransi konvensional
6
Fatmawati.2010. Pemikiran Muhammad Syakir Sula tentang Sitem
Operasional Asuransi Syari’ah. Program S1 Jurusan Ekonomi Islam
Fakulta Syari’ah dan Ilmu Hukum UIN Sultan Syarif Kasim Riau. H.3
Dalam asuransi syar’iah (ta’min, takaful
atau tadhamun) terdapat dua jenis akad yaitu :
1. Akad tijarah adalah semua bentuk akad
yang dilakukan untuk tujuan komersial.
2. Akad tabarru’ adalah semua bentuk
akad yang dilakukan dengan tujuan
kebajikan dan tolong-menolong,
bukan semata untuk tujuan komersial.
Akad dalam asuransi dilakukan antara
peserta dengan perusahaan terdiri atas akad
tijarah dan/atau akad tabarru' di mana akad
tijarah yang dimaksud adalah mudarabah.
sedangkan akad tabarru’ adalah hibah. Dalam
akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan :
a. Hak dan kewajiban peserta dan
perusahaan
b. Cara dan waktu pembayaran premi
c. Jenis akad tijarah dan/atau akad tabarru’
serta syarat-syarat yang disepakati,
sesuai dengan jenis asuransi yang
diakadkan.
Kedudukan para pihak dalam akad
tijarah dan akad tabarru’ yaitu :
1. Dalam akad tijarah (mudarabah),
perusahaan bertindak sebagai mudharib
(pengelola) dan peserta bertindak
sebagai shahibul mal (pemegang polis).
2. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta
memberi hibah yang akan
digunakan untuk menolong peserta
lain yang terkena musibah. Sedangkan
perusahaan bertindak sebagai
pengelola dana hibah.
Ketentuan dalam akad tijarah dan akad
tabarru’ yaitu :
1. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi
jenis akad tabarru' bila pihak yang
tertahan haknya, dengan rela
melepaskan haknya sehingga
menggugurkan kewajiban pihak yang
belum menunaikan kewajibannya.2. Jenis akad tabarru' tidak dapat diubah
menjadi jenis akad tijarah.
Jenis asuransi dan akadnya apabila.
dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri
atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa
sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi
tersebut adalah mudarabah dan hibah.
Premi adalah kewajiban peserta
asuransi untuk memberi sejumlah dana
kepada perusahaan asuransi sesuai dengan
kesepakatan dalam akad. Pembayaran premi
didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad
tabarru'. Untuk menentukan besarnya premi
perusahaan asuransi syariah dapat
menggunakan rujukan, misalnya tabel
mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel
morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan
syarat tidak memasukkan unsur riba dalam
penghitungannya. Premi yang berasal dari jenis
akad mudarabah dapat diinvestasikan dan hasil
investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.
Premi yang berasal dari jenis akad tabarru'
dapat diinvestasikan.
Klaim adalah hak peserta asuransi yang
wajib diberikan oleh perusahaan asuransi
sesuai dengan kesepakatan dalam akad. Klaim
dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati
pada awal perjanjian. Klaim dapat berbeda
dalam jumlah, sesuai dengan premi yang
dibayarkan. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya
merupakan hak peserta, dan merupakan
kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.
Klaim atas akad tabarru', merupakan hak
peserta dan merupakan kewajiban perusahaan,
sebatas yang disepakati dalam akad.
Perusahaan selaku pemegang amanah
wajib melakukan investasi dari dana yang
terkumpul. Investasi wajib dilakukan sesuai
dengan syariah. Asuransi syari’ah hanya dapat
melakukan reasuransi kepada perusahaan
reasuransi yang berlandaskan prinsip syari'ah.
Pengelolaan asuransi syari’ah hanya boleh
dilakukan oleh suatu lembaga yang berfungsi
sebagai pemegang amanah. Perusahaan
asuransi syari’ah memperoleh bagi hasil dari
pengelolaan dana yang terkumpul atas dasar
akad tijarah (mudarabah). Perusahaan asuransi
syari’ah memperoleh ujrah (fee) dari
pengelolaan dana akad tabarru’ (hibah). Jika
salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara para pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
3.3.Akad Tabarru’
Akad tabarru’ sesuai dengan fatwa
DSN-MUI No.53/DSN-MUI/III/2006
tentang akad tabarru’ pada asuransi syariah dan
reasuransi syariah menetapkan bahwa akad
tabarru’ merupakan akad yang harus melekat
pada semua produk asuransi. Akad tabarru’
pada asuransi adalah semua bentuk akad yang
dilakukan antar peserta pemegang polis
dengan ketentuan bahwa :
1. Akad tabarru’ pada asuransi adalah akad
yang dilakukan dalam bentuk hibah
dengan tujuan kebajikan dan tolongmenolong antar peserta, bukan untuk
tujuan komersial.
2. Dalam akad tabarru’, harus disebutkan
sekurang-kurangnya:
a. Hak dan kewajiban masing-masing
peserta secara individu.
b. Hak dan kewajiban antara peserta
secara individu dalam akun tabarru’
selaku peserta dalam arti
badan/kelompok.
c. Cara dan waktu pembayaran premi dan
klaim.
d. Syarat-syarat lain yang disepakati,
sesuai dengan jenis asuransi yang
diakadkan.
Kedudukan para pihak dalam akad
tabarru’ adalah sebagai berikut :
1. Dalam akad tabarru’, peserta memberi
dana hibah yang akan digunakan untuk
menolong peserta atau peserta lain yang
tertimpa musibah.
2. Peserta secara individu merupakan pihak
yang berhak menerima dana tabarru’
(mu’amman/mutabarra’ lahu) dan secara
kolektif selaku penanggung
(mu’ammin/mutabarri’).
3. Perusahaan asuransi bertindak sebagai
pengelola dana hibah, atas dasar akad
wakalah dari para peserta selain
pengelolaan investasi.
Pengelolaan dana tabarru’ adalah
sebagai berikut :
1. Pembukuan dana tabarru’ harus terpisah
dari dana lainnya.
2. Hasil investasi dari dana tabarru’ menjadi
hak kolektif peserta dan dibukukan dalam
akun tabarru’.
3. Dari hasil investasi, perusahaan asuransi
dapat memperoleh bagi hasil berdasarkan
akad mudarabah atau akad mudharabah
musytarakah, atau memperoleh ujrah (fee)
berdasarkan akad wakalah bil ujrah.
Surplus uderwriting dalam asuransi
syariah dilaksanakan sebagai berikut :
a. Jika terdapat surplus underwriting atas
dana tabarru’, maka boleh dilakukan
beberapa alternatif sebagai berikut:
a. Diperlakukan seluruhnya sebagai
dana cadangan dalam akun tabarru’
b. Disimpan sebagian sebagai dana
cadangan dan dibagikan sebagian
lainnya kepada para peserta yang
memenuhi syarat
aktuaria/manajemen risiko.
c. Disimpan sebagian sebagai dana
cadangan dan dapat dibagikan
sebagian lainnya kepada
perusahaan asuransi dan para
peserta sepanjang disepakati oleh
para peserta.
b. Pilihan terhadap salah satu alternatif
tersebut di atas harus disetujui terlebih
dahulu oleh peserta dan dituangkan
dalam akad.
Defisit underwriting dalam asuransi
syariah dilaksanakan sebagai berikut :
1. Jika terjadi defisit underwriting atas dana
tabarru’ (defisit tabarru‘), maka
perusahaan asuransi wajib
menanggulangi kekurangan tersebut
dalam bentuk qardh (pinjaman).
2. Pengembalian dana qardh kepada
perusahaan asuransi disisihkan dari
dana tabarru’.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di
antara para pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
Menurut fatwa DSN-MUI No.
81/DSN-MUI/III/2011 tentang
pengembalian dana tabarru’ bagi peserta
asuransi yang berhenti sebelum masa
perjanjian berakhir dikeluarkan fatwa untuk
memenuhi kebutuhan dan menjawab
pertanyaan LKS/LBS tersebut, DSN-MUI
memandang perlu menetapkan fatwa tentang
pengembalian kontribusi tabarru’ bagi peserta
asuransi yang berhenti sebelum masa
perjanjian berakhir untuk dijadikan pedoman
oleh pihak-pihak yang memerlukannya.
Dalam fatwa ini yang dimaksud
dengan dana tabarru' adalah iuran/hibah
sejumlah dana kepesertaan asuransi yang
diberikan oleh peserta asuransi syari’ah
individu kepada peserta secara kolektif
(kumpulan dana tabarru’/tabarru’ pooling fund)
sesuai dengan kesepakatan; dan pengembalian
dana tabarru’ adalah pengembalian sebagian
dana tabarru’ kepada peserta asuransi secara
individu karena berhenti sebelum masa
perjanjian berakhir.
Ketentuan hukum pengembalian dana
tabarru’ bagi peserta asuransi yang berhenti
sebelum masa perjanjian berakhir adalah
sebagai berikut :
1. Peserta asuransi syari’ah secara
individu tidak boleh meminta kembali
dana tabarru’ yang sudah dibayarkan
kepada perusahaan asuransi sebagai
wakil dari peserta asuransi secara
kolektif;
2. Perusahaan asuransi syari’ah dalam
kapasitasnya sebagai wakil peserta
asuransi, tidak berwenang untuk
mengembalikan dana tabarru’
sebagaimana dimaksud dalam butir 1;
3. Peserta asuransi syari’ah secara kolektif
sebagai penerima dana tabarru’,
memiliki kewenangan untuk membuat
aturan-aturan mengenai penggunaan
dana tabarru’, termasuk
mengembalikan dana tabarru’ kepada
peserta asuransi secara individu yang
berhenti sebelum masa perjanjian
berakhir;
4. Dalam hal peserta asuransi syari’ah
secara kolektif memberi
kewenangan sebagaimana dimaksud
dalam butir 3 kepada perusahaan
asuransi, maka kewenangan tersebut
harus dinyatakan secara jelas sejak
akad dilakukan; dan
5. Dalam hal perusahaan asuransi syari’ah
mendapatkan kewenangan
sebagaimana dimaksud butir 4 dalam
kapasitasnya sebagai wakil dari peserta
asuransi secara kolektif, perusahaan
asuransi syari’ah harus membuat
ketentuan-ketentuan mengenai
pengelolaan dana tabarru’, termasuk
ketentuan mengenai pengembalian
dana tabarru’ kepada peserta asuransi
secara individu yang berhenti sebelum
masa perjanjian berakhir.
3.4. Sistem Operasional Asuransi
Syariah (Ta’min, Takaful atau
Tadhamun) dalam Menghindari
Gharar, Riba dan Maisir.
3.4.1. Akad (Perjanjian)
Akad merupakan salah satu persoalan
pokok dalam asuransi konvensional yang
menjadikannya diharamkan oleh para Ulama.
Kerena dengan akad yang ada di asuransi
konvensional, dapat berdampak pada
munculnya gharar dan maisir, oleh karena itu,
para ulama mencari solusi bagaimana agar
masalah gharar dan maisir ini dapat
dihindarkan.
7
Masalah pertama adalah gharar
‘penipuan’ yang muncul karena akad yang
dipakai di konvensional adalah aqad tabaduli’
akad pertukaran’. Sesuai dengan syarat-syarat
akad pertukaran, maka harus jelas berapa
pembayaran premi dan beri pertanggungan
yang akan diterima. Masalah hukum (syari’ah)
di sini muncul karena tidak bisa menentukan
secara tepat jumlah premi yang akan
dibayarkan, sekalipun syarat-syarat lainnya,
penjual, pembeli, ijab kabul dan jumlah uang
pertanggungan (barang) dapat dihitung.
Jumlah premi yang akan dibayarkan amat
tergantung pada takdir tahun berapa kita
meninggal atau mungkin sampai akhir kontrak
kita tetap hidup. Dalam konsep syari’ah
masalah gharar dapat dieliminir karena akad
yang dipakai bukanlah aqad tabaduli tetapi aqad
takafuli atau tolong-menolong yang saling
menjamin.
Masalah kedua, adalah maisir (judi)
atau gambling. Maisir artinya adalah salah satu
pihak yang untung namun di lain pihak justru
mengalami kerugian. Misalnya, seorang peserta
dengan alasan tertentu ingin membantalkan
kontraknya sebelum, revising period, biasanya
tahun ketiga, maka yang bersangkutan tidak
akan menerima kembali uang yang telah
dibayarkan kecuali sebagian kecil saja.
(underwriting experience), sehingga untung dari
rugi suatu perusahaan tergantung kepada
nasib. ini mengandung gharar, karena ini
termasuk judi.
Masalah ketiga adalah riba (bunga).
Pada asuransi syari’ah pada masalah riba
dieliminir dengan konsep mudarabah (bagi
hasil). Seluruh proses dari proses operasional
asuransi yang di dalamnya menganut sistem
riba, digantikannya dengan akad mudarabah
atau akad lainnya yang benar secara syar’i. Baik
dalam penentuan bunga teknik, investasi
maupun penempatan dana kepihak ketiga,
semua menggunakan instrumen akad syar’i
yang bebas dari riba.
3.4.2. Pengelolaan Dana
a. Perusahaan sebagai Pemegang
Amanah
Sistem operasional asuransi
syari’ah adalah saling bertanggung
jawab, bantu membantu, dan saling
melindungi antara para pesertanya.
Perusahaan asuransi syari’ah diberi
kepercayaan atau amanah oleh para
peserta untuk mengelolah premi,
mengembangkan dengan jalan yang
halal, dan memberi santunan
kepada yang mengalami musibah
sesuai isi akta perjanjian. Keuntungan
perusahaan diperoleh dari pembagian
keuntungan dana peserta yang
dikembangkan dengan prinsip
mudarabah (sistem bagi hasil). Para
peserta takaful berkedudukan sebagai
pemilik modal dan perusahaan takaful
berfungsi sebagai pemegang amanah.
Keuntungan yang diperoleh dari
pengembangan dana itu dibagi antara peserta
dan perusahaan sesuai dengan keuntungan
(nisbah) yang telah disepakati. Mekanisme
pengelolaan dana peserta (premi) dibagi
menjadi dua yaitu :
a. Sistem pada produk saving (tabungan)
yaitu setiap peserta membayar
sejumlah uang (premi) secara teratur
kepada perusahaan.
b. Sistem pada produk non saving (non
tabungan) yaitu setiap premi yang
dibayar oleh peserta, akan dimasukan
dalam rekening tabarru’ perusahaan.
Pengelolaan dana sesuai dengan akad
wakalah bil ujrah diatur dengan Fatwa DSNMUI No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang
akad wakalah bil ujrah pada asuransi syari’ah
dan reasuransi syariah di mana wakalah bil ujrah
adalah pemberian kuasa dari peserta kepada
perusahaan asuransi untuk mengelola dana
peserta dengan imbalan pemberian ujrah (fee).
Wakalah bil ujrah dapat diterapkan pada
produk asuransi yang mengandung unsur
tabungan (saving) maupun unsur tabarru’ (non
saving). Dalam akad ini, perusahaan bertindak
sebagai wakil (yang mendapat kuasa) untuk
mengelola dana. Peserta (pemegang polis)
sebagai individu, dalam produk saving dan
tabarru’, bertindak sebagai muwakkil (pemberi
kuasa) untuk mengelola dana. Peserta sebagai
suatu badan/kelompok, dalam akun tabarru’
bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa)
untuk mengelola dana. Wakil tidak boleh
mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang
diterimanya, kecuali atas izin muwakkil
(pemberi kuasa).
Akad wakalah adalah bersifat amanah
(yad amanah) dan bukan tanggungan (yad
dhaman) sehingga wakil tidak menanggung
risiko terhadap kerugian investasi dengan
mengurangi fee yang telah diterimanya, kecuali
karena kecerobohan atau wanprestasi.
Perusahaan asuransi sebagai wakil tidak berhak
memperoleh bagian dari hasil investasi, karena
akad yang digunakan adalah akad wakalah.
Perusahaan asuransi selaku pemegang amanah
wajib menginvestasikan dana yang terkumpul
dan investasi wajib dilakukan sesuai dengan
syari’ah. Dalam pengelolaan dana investasi,
baik tabarru’ maupun tabungan (saving), dapat
digunakan akad wakalah bil ujrah dengan
mengikuti ketentuan seperti di atas, akad
mudarabah dengan mengikuti ketentuan fatwa
mudarabah.
Pengelolaan dana sesuai dengan akad
mudarabah musytarakah diatur dengan fatwa
DSN-MUI No. 51/DSN-MUI/III/2006
tentang akad mudarabah musytarakah pada
asuransi syari’ah menjelaskan bahwa akad
mudarabah musytarakah boleh dilakukan oleh
perusahaan asuransi, karena merupakan bagian
dari hukum mudarabah. Mudarabah
musytarakah dapat diterapkan pada produk
asuransi syariah yang mengandung unsur
tabungan (saving) maupun non tabungan (non
saving).
Ketentuan akad sesuai dengan fatwa
ini adalah sebagai berikut :
a. Akad yang digunakan adalah akad
mudarabah musytarakah, yaitu
perpaduan dari akad mudarabah dan
akad musyarakah.
b. Perusahaan asuransi sebagai mudharib
menyertakan modal atau dananya
dalam investasi bersama dana peserta.
c. Modal atau dana perusahaan asuransi
dan dana peserta diinvestasikan secara
bersama-sama dalam portofolio.
d. Perusahaan asuransi sebagai mudharib
mengelola investasi dana tersebut.
e. Dalam akad, harus disebutkan
sekurang-kurangnya:
1. Hak dan kewajiban peserta dan
perusahaan asuransi.
2. Besaran nisbah, cara dan waktu
pembagian hasil investasi.
3. Syarat-syarat lain yang disepakati,
sesuai dengan produk asuransi
yang diakadkan.
f. Hasil investasi.
Pembagian hasil investasi dapat
dilakukan dengan salah satu alternatif
sebagai berikut:
Alternatif I :
1. Hasil investasi dibagi antara
perusahaan asuransi (sebagai mudharib)
dengan peserta (sebagai shahibul mal)
sesuai dengan nisbah yang disepakati.
2. Bagian hasil investasi sesudah
disisihkan untuk perusahaan asuransi
(sebagai mudharib) dibagi antara
perusahaan asuransi (sebagai musytarik)
dengan para peserta sesuai dengan
porsi modal atau dana masing-masing.
Alternatif II :
1. Hasil investasi dibagi secara
proporsional antara perusahaan
asuransi (sebagai musytarik) dengan
peserta berdasarkan porsi modal atau
dana masing-masing.
2. Bagian hasil investasi sesudah
disisihkan untuk perusahaan asuransi
(sebagai musytarik) dibagi antara
perusahaan asuransi sebagai mudharib
dengan peserta sesuai dengan nisbah
yang disepakati.
3. Apabila terjadi kerugian maka
perusahaan asuransi sebagai musytarik
menanggung kerugian sesuai dengan
porsi modal atau dana yang disertakan.
Kedudukan para pihak dalam akad
mudarabah musytarakah adalah sebagai
berikut
a. Dalam akad ini, perusahaan asuransi
bertindak sebagai mudharib (pengelola)
dan sebagai musytarik (investor).
b. Peserta (pemegang polis) dalam
produk saving, bertindak sebagai
shahibul mal (investor).
c. Para peserta (pemegang polis) secara
kolektif dalam produk non saving,
bertindak sebagai shahibul mal
(investor).
Investasi dana dalam akad mudarabah
musytarakah adalah sebagai berikut :
a. Perusahaan asuransi selaku pemegang
amanah wajib melakukan investasi dari
dana yang terkumpul.
b. Investasi wajib dilakukan sesuai
dengan prinsip syariah.
b. Manfaat asuransi
a. Manfaat takaful pada produk tabungan
(saving). Manfaat takaful yang diperoleh
peserta takaful atau ahli warisnya
adalah sebagai berikut :
1. Jika peserta ditakdirkan meninggal
dunia dalam masa perjanjian, maka
ahli warisnya akan memperoleh :
a. Dana rekening tabungan yang
telah disetor
b. Bagian keuntungan dari hasil
investasi mudarabah dari
rekening tabungan
c. Selisih dari manfaat takaful
awal (rencana) dengan premi
yang sudah dibayar.
2. Bila peserta mengundurkan diri
sebelum perjanjian berakhir, maka
peserta akan memperoleh :
a. Dana rekening yang telah
disetor
b. Bagian keuntungan atas hasil
investasi mudarabah dari
rekening tabungan.
b. Manfaat takaful pada produk tabarru’
(non saving), Manfaat takaful yang
diperoleh peserta takaful atau ahli
warisnya adalah sebagai berikut :
1. Bila ditakdirkan meninggal dunia
dalam masa perjanjian, maka ahli
warisnya akan mendapatkan dana
satunan meninggal dari
perusahaan, sesuai dengan jumlah
yang peserta bayarkan.
2. Bila peserta hidup, sampai
perjanjian terakhir maka peserta
akan mendapatkan bagian
keuntungan atas rekening tabarru’
yang ditentukan oleh perusahaan
dengan skema mudarabah.
c. Sumber biaya operasional
Dalam operasionalnya pada asuransi
Syari’ah yang membentuk bisnis seperti
perseroan terbatas (PT), sumber biaya menjadi
sangat menentukan dalam perkembangan dan
kecepatan pertumbuhan industri. Sumbersumber biaya tersebut dapat terdiri atas :
a. Bagi hasil surplus underwriting yaitu bagi
hasil yang diperoleh dari surplus
underwriting yang dibagi secara
proporsional antara peserta dan
mengelola dengan nisbah yang
ditetapkan sebelumnya.
b. Bagi hasil investasi adalah bagi hasil
yang diperoleh secara proporsional
berdasarkan nisbah bagi hasil yang telah
ditentukan, baik dari hasil investasi
dana rekening tabungan peserta
maupun dari dana tabarru.
c. Dana pemegang saham yaitu dana
yang dipersiapkan oleh para pemegang
saham sebagai modal setor bagi
perusahaan
d. Loading (kontribusi biaya) yaitu
kontribusi biaya yang dibebankan
kepada peserta, yang pada asuransi
konversional biasanya diambil dari
premi tahun pertama dan kedua.
d. Prinsip-Prinsip Asuransi Syariah
Pinsip-prinsip yang diterapkan pada
asuransi syariah adalah :
a. Prinsip berserah diri dan ikhtiar
Allah adalah pemilik mutlak atau
pemilik sebenarnya seluruh harta
kekayaan yang ada di seluruh alam
semesta ini, maka menjadi hakNya pulalah untuk
memberi nya kepada siapa saja
yang dikehendaki-Nya atau
merenggutnya dari siapa saja yang
di kendaki-Nya. Allah lah yang
menghendaki dan menentukan
seseorang menjadi kaya dan Allah
pula yang memutuskan seseorang
menjadi miskin.
b. Prinsip tolong menolong
Prinsip yang paling utama dalam
konsep asuransi syari’ah adalah
prinsip tolong menolong. Ini
adalah bentu solusi bagi
mekanisme operasional asuransi
syari’ah. Tolong menolong
(ta’awun) adalah inti dari semua
prinsip dalam asuransi syari’ah.
Prinsip tersebut adalah pondasi
dasar dalam menegakan konsep
asuransi Syari’ah.
c. Prinsip saling bertanggung jawab
Para peserta asuransi setuju untuk
saling bertanggung jawab antara
satu sama yang lainnya. Rasa
tanggung jawab terhadap sesama
muslim merupakan kewajiban
sesama insani. Rasa tanggung
jawab itu lahir dari sifat saling
menyayangi, mencintai,
membantu sesama, dan merasa
mementingkan kebersamaan
untuk kemaslahatan bersama
dalam mewujudkan masyarakat
yang beriman, bertakwa dan
harmonis.
d. Prinsip saling kerjasama dan bantu
membantu
ini merupakan keutamaan
umat Islam adalah saling
membantu, yang merupakan
aplikasi dari ketakwaan kita
kepada Allah SWT. Cerminan
ketakwaan itu adalah sebagai
berikut :
1. Mengunakan harta kepunyaan
dengan benar, di antaranya
untuk kebajikan sosial.
2. Menepati janji.
3. Sabar ketika mengalami
bencana.
e. Prinsip saling melindungi dan
berbagi kesusahan
Para peserta asuransi Islam setuju
untuk saling melindungi dari
kesusahan, bencana, dan
sebagainya. Keselamatan dan
keamanan adalah hak asasi untuk
semua orang maka perlu
dilindungi.
e. Wakaf Manfaat Asuransi dan Manfaat
Investasi pada Asuransi Jiwa Syariah
Dalam perkembangannya, terdapat
pihak yang ingin mewakafkan manfaat
asuransi dan manfaat investasinya kepada
pihak yang membutuhkan. Melihat hal
tersebut maka DSN-MUI menetapkan fatwa
yang mengatur. Sesuai dengan fatwa DSNMUI No. l06/DSN-MUI/X/2016 tentang
wakaf manfaat asuransi dan manfaat investasi
pada asuransi jiwa syariah, wakaf adalah
menahan harta yang dapat dimanfaatkan
dan/atau diistitsmar-kan tanpa lenyap
bendanya, dengan tidak menjual,
menghibahkan, dan/atau mewariskannya, dan
hasilnya disalurkan pada sesuatu yang mubah
kepada penerima manfaat wakaf yang ada.
Manfaat asuransi adalah sejumlah dana
yang bersumber dari dana tabarru' yang
diserahkan kepada pihak yang mengalami
musibah atau pihak yang ditunjuk untuk
menerimanya. Manfaat investasi adalah
sejumlah dana yang diserahkan kepada peserta
program asuransi yang berasal dari kontribusi
investasi peserta dan hasil investasinya.
Ketentuan hukum sesuai dengan fatwa
ini pada prinsipnya manfaat asuransi
dimaksudkan untuk melakukan mitigasi risiko
peserta atau pihak yang ditunjuk. mewakatkan
manfaat asuransi dan manfaat investasi pada
asuransi jiwa syariah hukumnya boleh dengan
mengikuti ketentuan yang terdapat dalam
fatwa ini.
Ketentuan khusus sesuai dengan fatwa
ini yaitu :
1. Ketentuan wakaf manfaat asuransi
a. Pihak yang ditunjuk untuk
menerima manfaat asuransi
menyatakan janji yang
mengikat (wa'd mulzim) untuk
mewakafkan manfaat asuransi.
b. Manfaat asuransi yang boleh
diwakatkan paling banyak 45%
dari total manfaat asuransi.
c. Semua calon penerima manfaat
asuransi yang ditunjuk atau
penggantinya menyatakan
persetujuan dan
kesepakatannya; dan
d. lkrar wakaf dilaksanakan
setelah manfaat asuransi secara
prinsip sudah menjadi hak
pihak yang ditunjuk atau
penggantinya.
2. Ketentuan wakaf manfaat investasi
adalah sebagai berikut :
a. Manfaat investasi boleh
diwakatkan oleh peserta
asuransi.
b. Kadar jumlah manfaat
investasi yang boleh
diwakatkan paling banyak
sepertiga (1/3) dari total
kekayaan dan/atau tirkah,
kecuali disepakati lain oleh
semua ahli waris.
3. Ketentuan ujrah terkait dengan
produk wakaf
a. Ujrah tahun pertama paling
banyak 45% dari kontribusi
regular.
b. Akumulasi ujrah tahun
berikutnya paling banyak 50%
dari kontribusi reguler.
Secara mendasar, terdapat perbedaan
antara asuransi konvensional dengan asuransi
syari’ah sebagai berikut8
:
1. Konsep
Pada asuransi konvensional
merupakan perjanjian antara dua
pihak atau lebih, dengan mana pihak
penanggung mengikatkan diri kepada
tertanggung, dengan menerima premi
asuransi untuk memberi
pergantian kepada tertanggung.
Sedangkan pada asuransi syari’ah yaitu
sekumpulan orang yang saling
membantu, menjamin dan
bekerjasama dengan cara masingmasing mengeluarkan dana tabarru’.
2. Asal-usul
Asal usul asuransi konvensional
adalah dari masyarakat Babilonia
(3000-4000 SM) yang dikenal dengan
perjanjian Hammurabi. Asuransi
syari’ah berasal dari aqilah yaitu
kebiasaan suku Arab jauh sebelum
Islam datang. Kemudian disahkan
oleh Rasulullah SAW menjadi hukum
Islam, bahkan telah tertuang dalam
konstitusi pertama di dunia
(Konstitusi Madinah) yang dibuat
langsung oleh Rasulullah SAW.
3. Sumber Hukum
Asuransi konvensional bersumber dari
pikiran manusia dan kebudayaan,
berdasarkan hukum positif, hukum
alam dan contoh sebelumnya.
Sedangkan asuransi syari’ah
bersumber dari wahyu Ilahi. Sumber
hukum dalam syari’at Islam adalah
Qur’an, sunnah atau kebiasaan
Rasulullah SAW, ijma’, fatwa sahabat,
qiyas, istihsan, ‘urf/tradisi dan mashalih
mursalah.
4. Dari segi maisir, gharar dan riba
Asuransi konvensional tidak selaras
dengan syari’at Islam karena adanya
maisir, gharar dan riba, dimana hal
tersebut diharamkan dalam muamalah
Islam. Sementara asuransi syari’ah
bersih dari adanya praktek maisir,
gharar dan riba.
5. Dewan Pengawas Syariah (DPS)
Asuransi konvensional tidak
mempunyai Dewan Pengawas Syariah
(DPS), sehingga dalam banyak
prakteknya bertentangan dengan
kaidah-kaidah syara’. Sedangkan
asuransi syari’ah mempunyai Dewan
Pengawas Syariah (DPS) yang
berfungsi untuk mengawasi
pelaksanaan operasional perusahaan
agar terbebas dari praktek-praktek
muamalah yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip syari’ah.
6. Akad
Akad asuransi konvensional adalah
akad jual beli sedangkan akad asuransi
syari’ah adalah aqad tabarru’ dan aqad
tijarah.
7. Jaminan/Risk (Risiko)
Jaminan asuransi konvensional adalah
transfer of risk, di mana terjadi transfer
risiko dari tertanggung kepada
penanggung. Sementara jaminan pada
asuransi syari’ah adalah sharing of risk,
dimana terjadi proses saling
menanggung antara satu peserta
dengan peserta lainnya (ta’awun).
8. Pengelolaan Dana
Dalam asuransi konvensional tidak
ada pemisahan dana yang berakibat
pada terjadinya dana hangus (untuk
produk saving life). Sedangkan asuransi
syari’ah, pada produk saving life terjadi
pemisahan dana, yaitu dana tabarru’
(derma) dan dana peserta, sehingga
tidak mengenal istilah dana hangus.
Untuk term insurance (life) dan general
insurance semuanya bersifat tabarru’.
9. Investasi
Asuransi konvensional bebas
melakukan investasi dalam batas
ketentuan perundang-undangan dan
tidak terbatasi pada halal dan
haramnya obyek atau sistem investasi
yang digunakan. Sementara asuransi
syari’ah dapat melakukan investasi
sesuai ketentuan perundang-undangan
sepanjang tidak bertentangan dengan
prinsip prinsip syari’at Islam, bebas
dari riba dan tempat-tempat investasi
yang terlarang.
10. Kepemilikan Dana
Dalam asuransi konvensional, dana
yang terkumpul dari premi peserta
seluruhnya menjadi milik perusahan.
Perusahaan bebas menggunakan dan
menginvestasikan ke mana saja.
Sedangkan asuransi syari’ah, dana
yang terkumpul dari peserta dalam
bentuk iuran atau kontribusi,
merupakan milik peserta. Asuransi
syari’ah hanya sebagai pemegangamanah dalam mengelola dana
tersebut.
11. Unsur Premi
Dalam asuransi konvensional, unsur
premi terdiri dari tabel mortalitas
(mortality tables), bunga (interest), biayabiaya asuransi (cost of insurance).
Sedangkan asuransi syari’ah, iuran
atau kontribusi terdiri dari unsur
tabarru’ dan tabungan (yang tidak
mengandung unsur riba). Tabarru’ juga
dihitung dari tabel mortalitas, tetapi
tanpa perhitungan bunga teknik.
12. Loading (Komisi Agen)
Loading pada asuransi konvensional
cukup besar terutama diperuntukkan
untuk komisi agen, dapat menyerap
premi tahun pertama dan kedua.
Karena itu, nilai tunai pada tahun
pertama dan kedua biasanya belum
ada (masih hangus). Sedangkan pada
sebagian asuransi syari’ah, loading
(komisi agen) tidak dibebankan pada
peserta tetapi dari dana pemegang
saham. Namun, sebagian yang lainnya
mengambil dari sekitar 20-30% saja
dari premi tahun pertama. Dengan
demikian, nilai tunai tahun pertama
sudah terbentuk.
13. Sumber Pembayaran Klaim
Dalam asuransi konvensional sumber
biaya klaim adalah dari rekening
perusahan sebagai konsekuensi
penanggung terhadap tertanggung.
Murni bisnis dan tidak ada nuansa
spiritual. Sementara asuransi syari’ah,
sumber pembayaran klaim diperoleh
dari rekening tabarru’, di mana peserta
saling menanggung. Jika salah satu
peserta dapat musibah, maka peserta
lainnya ikut menanggung bersama
risiko tersebut.
14. Visi dan Misi
Secara garis besar visi dan misi utama
dari asuransi konvensional adalah visi
serta misi ekonomi dan sosial.
Sedangkan visi dan misi yang diemban
dalam asuransi syari’ah yaitu aqidah,
ibadah (ta’awun) serta pemberdayaan
umat (sosial).
Related Posts:
ekonomi syariahSeiring dengan meningkatnya kesadaran atas pelayanan keuangan yang memiliki kepatuhan syariah, khususnya asuransi syariah maka perusaha… Read More