ekonomi syariah







Seiring dengan meningkatnya 
kesadaran atas pelayanan keuangan yang 
memiliki kepatuhan syariah, khususnya 
asuransi syariah maka perusahaan takaful 
pertama yang dinamai Syarikat Takaful 
Indonesia didirikan pada awal tahun 1994 
untuk menanggapi permintaan publik atas 
asuransi syariah. Inisiatif ini juga didorong 
oleh berbagai pihak (ICMI, Abdi Bangsa 
Foundation, Bank Muamalat Indonesia, 
Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, dan beberapa 
pengusaha Muslim) dan Pemerintah melalui 
Kementerian Keuangan.
Pinsip-prinsip yang diterapkan pada 
asuransi syariah adalah :
a. Prinsip berserah diri dan ikhtiar 
b. Prinsip tolong menolong
c. Prinsip saling bertanggung jawab
d. Prinsip saling kerjasama dan bantu 
membantu 
e. Prinsip saling melindungi dan 
berbagi kesusahan
Dalam pengelolaan dan penanggungan 
risiko, asuransi syariah tidak memperbolehkan 
adanya gharar (ketidakpastian atau spekulasi) 
dan maisir (perjudian). Dalam investasi atau 
manajemen dana tidak diperkenankan adanya 
riba (bunga). Ketiga larangan ini, gharar, maisir, 
dan riba adalah area yang harus dihindari 
dalam praktek asuransi syari’ah, dan menjadi 
pembeda utama dengan asuransi konvensional
Dalam asuransi syariah (ta’min, takaful
atau tadhamun) terdapat dua jenis akad yaitu :
1. Akad tijarah adalah semua bentuk akad 
yang dilakukan untuk tujuan komersial.2. Akad tabarru’ adalah semua bentuk 
akad yang dilakukan dengan tujuan 
kebajikan dan tolong-menolong, 
bukan semata untuk tujuan komersial.
Akad dalam asuransi dilakukan antara 
peserta dengan perusahaan terdiri atas akad 
tijarah dan/atau akad tabarru' di mana akad 
tijarah yang dimaksud adalah mudarabah.
sedangkan akad tabarru’ adalah hibah. 
Kedudukan para pihak dalam akad 
tijarah dan akad tbarru’ yaitu :
1. Dalam akad tijarah (mudharabah), 
perusahaan bertindak sebagai mudharib 
(pengelola) dan peserta bertindak sebagai 
shahibul mal (pemegang polis).
2. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta 
memberi  hibah yang akan 
digunakan untuk menolong peserta 
lain yang terkena musibah. Sedangkan 
perusahaan bertindak sebagai 
pengelola dana hibah.
Sistem operasional asuransi syari’ah 
(takaful) adalah saling bertanggung jawab, 
bantu membantu, dan saling melindungi 
antara para pesertanya. Perusahaan asuransi 
syari’ah diberi kepercayaan atau amanah oleh 
para peserta untuk mengelolah premi, 
mengembangkan dengan jalan yang halal, dan 
memberi  santunan kepada yang mengalami 
musibah sesuai isi akta perjanjian. Keuntungan 
perusahaan diperoleh dari pembagian 
keuntungan dana peserta yang dikembangkan 
dengan prinsip mudarabah (sistem bagi hasil). 
Para peserta takaful berkedudukan sebagai 
pemilik modal dan perusahaan takaful 
berfungsi sebagai pemegang amanah
Kelahiran keuangan syariah ditandai 
secara resmi dengan pendirian Bank Muamalat 
Indonesia padatahun 1991. Pendirian bank ini 
diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia 
(MUI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia 
(ICMI), sekelompok pengusaha Muslim, dan 
iPemerintah Indonesia. Bank ini mulai 
beroperasi pada bulan Mei 1992 setelah 
dikeluarkannya Undang-Undang Perbankan 
No. 7 Tahun 1992 yang memberi  izin 
pengoperasian perbankan dengan prinsip 
syariah. Dimulai dari permintaan publik, 
keuangan syariah terus berkembang di 
Indonesia setiap tahun. Perhatian Pemerintah 
terhadap perkembangan keuangan syariah 
mulai semakin tampak nyata dan 
diterjemahkan ke dalam peluncuran sistem 
perbankan ganda (dual banking system) di 
Indonesia melalui Undang-Undang Perbankan 
No. 10 Tahun 1998 yang merupakan 
amandemen dari undang-undang yang berlaku 
sebelumnya. Sejak saat itu, sektor perbankan 
syariah mempercepat pertumbuhannya saat 
bank umum syariah lainnya, yaitu Bank 
Syariah Mandiri, didirikan oleh grup bank 
BUMN Mandiri. ini  kemudian diikuti oleh 
pendirian beberapa Unit Usaha Syariah (UUS)
oleh bank-bank konvensional.
Dari segi tata kelola syariah, MUI 
sesuai dengan mandat yang diberikan 
kepadanya dan sesuai dengan Keputusan MUI 
No. 754/MUI/II/1999 yang diterbitkan bulan 
Februari 1999, mendirikan Dewan Syariah 
Nasional (DSN) sebagai suatu badan 
independen di dalam MUI. DSN-MUI diberi 
tanggung jawab untuk menangani semua isu 
yang terkait dengan aktivitas lembaga 
keuangan syariah dan meningkatkan kesadaran 
publik atas ekonomi dan keuangan. DSN-MUI 
memberi  kontribusi secara aktif dalam 
memperluas cakupan pelayanan keuangan 
syariah dengan memberi  dukungan 
peraturan bagi industri ini. Pada bulan April
2000, DSN-MUI mengeluarkan 12 fatwa yang 
terkait dengan kontrak dan produk syariah 
yang ditawarkan oleh bank-bank syariah dan 
lembaga keuangan lainnya.
Seiring dengan meningkatnya 
kesadaran atas pelayanan keuangan yang 
memiliki kepatuhan syariah, perusahaan 
takaful pertama yang dinamai Syarikat Takaful 
Indonesia, didirikan pada awal tahun 1994 
untuk menanggapi permintaan publik atas 
asuransi syariah. Inisiatif ini juga didorong 
oleh berbagai pihak (ICMI, Abdi Bangsa 
Foundation, Bank Muamalat Indonesia, 
Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, dan beberapa 
pengusaha Muslim) dan Pemerintah melalui 
Kementerian Keuangan.
Pada bulan Oktober 2001, DSN-MUI 
mengeluarkan Fatwa No. 21/DSN￾MUI/X/2001 mengenai prinsip umum dari 
takaful untuk menjawab kekhawatiran publik 
mengenai kesesuaian pelayanan asuransi 
dengan prinsip syariah. Fatwa ini memberi  
definisi umum dari takaful, beserta penjelasan 
tentang aktivitas yang terkait dengan ini . 
DSN-MUI juga mengeluarkan fatwa lain yang 
terkait dengan sektor takaful, termasuk fatwa 
tentang Takaful Haji (No: 39/DSN￾MUI/X/2002), kontrak Mudarabah dan 
Musyarakah dalam Takaful (No: 51/DSN￾MUI/III/2006), Kontrak Wakalah Bil Ujrah 
dalam Takaful dan Retakaful (No: 52/DSN￾MUI/III/2006), Kontrak Tabarru’ (No: 
53/DSN-MUI/III/2006) dan Pengembalian 
Dana Tabarru’ (No: 81/DSN-MUI/III/2011).
Dalam bahasa Arab, asuransi syari’ah
disebut at-at’min, penanggung disebut mu’amin, 
sedangkan tertanggung disebut mu’aman lahu
atau musta’min. At-ta’min yaitu “menta’minkan 
sesuatu, artinya adalah seseorang membayar 
atau menyerahkan uang cicilan agar ia atau ahli 
warisnya mendapatkan sejumlah uang 
sebagaimana yang telah disepakati atau untuk 
mendapatkan ganti rugi terhadap hartanya 
yang hilang.
1
Dalam Kitab Undang-Undang Dagang 
(KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa yang 
dimaksud asuransi atau pertanggungan adalah 
timbal balik, dengan mana seorang 
penanggung mengikat diri kepada seorang 
penanggung, dengan menerima suatu premi, 
untuk memberi  penggantian kepadanya, 
kerena suatu kerugian, kerusakan, atau 
kehilangan keuntungan yang diharapkan yang 
mungkin akan dideritanya, kerena suatu 
peristiwa tak tertentu.
Allah SWT memerintahkan kepada 
umatnya untuk mempersiapkan masa depan. 
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Hasyr 
ayat 18 sebagai berikut :
Allah SWT memerintahkan kepada 
umatnya untuk saling menolong kebijakan dan 
takwa. Rasulullah SAW juga mengajarkan 
kepada kita untuk selalu peduli dengan 
kepentingan dan kesulitan yang dialami oleh 
saudara-saudara kita. Karena Allah 
mengatakan barang siapa yang memperhatikan 
dan memenuhi kesulitan saudaranya, maka 
Allah akan memenuhi kesulitannya dalam 
kesempatan dalam bentuk yang lain. Karena 
itu, dalam asuransi syari’ah, para peserta yang 
satu sama lain bekerja sama dan saling 
menolong melalui instrumen dana tabarru’ 
(dana kebajikan). Allah SWT berfirman dalam 
surat Al-Maidah ayat 2 sebagai berikut :
Dengan demikian hakikat asuransi 
syari’ah secara Islami adalah saling 
bertanggung jawab, saling bekerja sama, atau 
bantu membantu dan saling melindungi 
penderitaan satu sama lain. Oleh karena itu 
asuransi dibolehkan secara syariat karena, 
prinsip-prinsip dasar Syari’ah mengajak kepada 
setiap sesuatu berakibat keeratan jalinan 
sesama manusia, dan kepada Allah SWT.
Pada hakikatnya, secara teoritis 
semangat yang terkandung dalam sebuah 
lembaga asuransi tidak bisa dilepaskan dari 
semangat sosial dan saling tolong menolong2
Manusia tidak dapat meramalkan atau 
melakukan prediksi mengenai sesuatu yang 
akan terjadi di masa datang, bahkan di esok 
haripun tidak mengetahui apa yang akan 
terjadi. Resiko di masa datang dapat terjadi 
terhadap kehidupan seseorang seperti 
kehilangan sumber pendapatan, kecelakaan, 
sakit atau kematian. 
Dalam bisnis yang dihadapipun tidak 
menutup kemungkinan akan terjadi resiko 
seperti kebakaran, kehilangan atau kerusakan. 
Setiap resiko yang akan dihadapi harus 
ditanggulangi sehingga tidak menimbulkan 
kerugian yang lebih besar lagi, maka 
diperlukan perusahaan yang dapat 
menanggung resiko tersebut yaitu perusahaan 
asuransi. Usaha dan upaya menghindari 
resikonya dilakukan dengan cara 
melimpahkannya kepada pihak lain, maka 
pilihan yang paling tepat pada institusi yang 
bernama asuransi3
.
Pada dasarnya perusahaan asuransi 
dalam kegiatannya, secara terbuka 
mengadakan penawaran atau menawarkan 
sesuatu perlindungan atau proteksi serta 
harapan pada masa yang akan datang kepada 
individu atau kelompok-kelompok dalam 
masyarakat atau institusi-institusi lain, atau 
kemungkinan menderita kerugian lebih lanjut 
karena terjadinya peristiwa yang tidak tertentu 
atau belum pasti. Di samping itu, perusahaan 
asuransi juga memberi  jaminan atas 
terpenuhinya pendapatan seseorang, karena 
tepat di mana yang bersangkutan bekerja tetap terjamin kelangsungan kehidupannya. Dengan 
demikian, dapat dikatakan kehadiran 
perusahaan asuransi dalam masyarakat itu jauh 
lebih bermanfaat semua pihak dibandingkan 
berbuat dengan ketidak hadirannya.
Tingkat kesadaran masyarakat 
Indonesia dalam berasuransi masih tergolong 
rendah jika dibandingkan dengan kesadaran 
berasuransi di negara lain. Penilaian ini 
terutama jika dilihat dari sudut pandang 
tingkat penetrasi industri untuk pasar nasional 
nasabah individual. ini  menyebabkan 
perkembangan industri asuransi di Indonesia, 
khususnya asuransi syari’ah belum begitu 
signifikan. Padahal potensi pasar industri 
asuransi syariah untuk berkembang di 
Indonesia sangat besar, mengingat mayoritas
penduduk Indonesia beragama Islam. 
Dengan semakin berkembangnya jenis 
dan ragam produk-produk asuransi serta 
sosialiasasi yang dilakukan oleh perusahaan￾perusahaan asuransi baik konvensional 
maupun syari’ah mulai menarik perhatian 
masyarakat dari waktu ke waktu di mana 
masyarakat mulai memahami dan 
menggunakan produk-produk asuransi dalam 
kesehariannya. 
Perusahaan-perusahan dan produk￾produk yang pertama kali dikenal masyarakat 
menerapkan prinsip konvensional. Seiring 
dengan perkembangan dunia syariah maka 
lahirlah asuransi dengan prinsip syari’ah yang 
menawarkan produk-produk dan layanan yang 
sesuai dengan syari’ah. Oleh karena itu dengan 
perkembangannya tersebut, masyarakat 
sebagai konsumen perlu untuk dapat 
memahami bagaimana gambaran mengenai 
dunia asuransi baik konvensional dan syari’ah 
sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan 
pemilihan produk-produk dan layanan 
asuransi sesuai dengan kebutuhannya.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa 
auransi tidak bisa lepas dari pro kontra, 
terlepas itu asuransi syari’ah maupun 
konvensional. Namun masyarakat Indonesia 
terutama orang awam, tidak akan paham mana 
yang termasuk syari’ah mana yang terasuk 
konvensional. Sebenarnya, persoalannya 
bukan lagi terletak pada syari’ah atau 
konvensionalnya. Namun dari segi prinsip 
operasionalnya; seperti produknya, marketing 
plan, strategi pemasaran, strategi 
pengembangan jaringan dan poin-poin penting 
lainnya yang berpihak kepada kemaslahatan 
anggotanya.4 Perubahan persepsi mengenai 
asuransi syari’ah sangat penting sehingga 
tujuan dari tulisan ini adalah memberi  
pemahaman mengenai asuransi syari’ah (ta’min, 
takaful atau tadhamun) dan operasional asuransi 
syari’ah tersebut di Indonesia.
II. Metode
Metode yang digunakan adalah 
literature review yaitu uraian mengenai teori, 
temuan dan bahan lainnya yang diperoleh dari 
bahan acuan untuk dijadikan landasan kegiatan 
penelitian untuk menyusun kerangka 
pemikiran yang jelas dari perumusan masalah 
yang ingin diteliti/diketahui.
III. Hasil dan Pembahasan
3.1.Gambaran Umum Asuransi Menurut
UU No. 40 Tahun 2014
Pada tanggal 23 September 2014, DPR 
menyetujui Undang-Undang Asuransi baru. 
Undang-undang ini memberi  kepastian 
hukum dari aktivitas operasi takaful di 
Indonesia dan menetapkan peraturan untuk 
operator takaful sehubungan dengan 
kepemilikan asing dan pemisahan unit takaful
dari unit induk umum mereka.5
yaitu Undang￾Undang No. 40 Tahun 2014 tentang 
Perasuransian.
Menurut UU No. 40 tahun 2014 
tentang perasuransian, usaha perasuransian 
adalah segala usaha menyangkut jasa 
pertanggungan atau pengelolaan risiko, 
pertanggungan ulang risiko, pemasaran dan 
distribusi produk asuransi atau produk 
asuransi syari’ah, konsultasi dan keperantaraan 
asuransi, asuransi syariah, reasuransi, atau 
reasuransi syariah, atau penilaian kerugian 
asuransi atau asuransi syari’ah.
Pengertian asuransi adalah perjanjian 
antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi 
dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi 
bagi penerimaan premi oleh perusahaan 
asuransi sebagai imbalan untuk :
a. memberi  penggantian kepada 
tertanggung atau pemegang polis 
karena kerugian, kerusakan, biaya yang 
timbul, kehilangan keuntungan, atau 
tanggung jawab hukum kepada pihak 
ketiga yang mungkin diderita 
tertanggung atau pemegang polis 
karena terjadinya suatu peristiwa yang 
tidak pasti; atau
b. memberi  pembayaran yang 
didasarkan pada meninggalnya 
tertanggung atau pembayaran yang 
didasarkan pada hidupnya tertanggung 
dengan manfaat yang besarnya telah 
ditetapkan dan/atau didasarkan pada 
hasil pengelolaan dana.
Asuransi syari’ah adalah kumpulan 
perjanjian, yang terdiri atas perjanjian antara 
perusahaan asuransi syari’ah dan pemegang polis dan perjanjian di antara para pemegang
polis, dalam rangka pengelolaan kontribusi 
berdasarkan prinsip syari’ah guna saling 
menolong dan melindungi dengan cara:
a. memberi  penggantian kepada 
peserta atau pemegang polis karena 
kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, 
kehilangan keuntungan, atau tanggung 
jawab hukum kepada pihak ketiga yang 
mungkin diderita peserta atau 
pemegang polis karena terjadinya suatu 
peristiwa yang tidak pasti.
b. memberi  pembayaran yang 
didasarkan pada meninggalnya peserta 
atau pembayaran yang didasarkan pada 
hidupnya peserta dengan manfaat yang 
besarnya telah ditetapkan dan/atau 
didasarkan pada hasil pengelolaan 
dana.
Usaha Asuransi Umum adalah usaha 
jasa pertanggungan risiko yang memberi  
penggantian kepada tertanggung atau 
pemegang polis karena kerugian, kerusakan, 
biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, 
atau tanggung jawab hukum kepada pihak 
ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau 
pemegang polis karena terjadinya suatu 
peristiwa yang tidak pasti.
Usaha asuransi jiwa adalah usaha yang 
menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko 
yang memberi  pembayaran kepada 
pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain
yang berhak dalam hal tertanggung meninggal 
dunia atau tetap hidup, atau pembayaran lain 
kepada pemegang polis, tertanggung, atau 
pihak lain yang berhak pada waktu tertentu 
yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya 
telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada 
hasil pengelolaan dana.
Usaha reasuransi adalah usaha jasa 
pertanggungan ulang terhadap risiko yang 
dihadapi oleh perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan reasuransi 
lainnya. Usaha asuransi umum syari’ah adalah 
usaha pengelolaan risiko berdasarkan prinsip 
syari’ah guna saling menolong dan melindungi 
dengan memberi  penggantian kepada 
peserta atau pemegang polis karena kerugian, 
kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan 
keuntungan, atau tanggung jawab hukum 
kepada pihak ketiga yang mungkin diderita 
peserta atau pemegang polis karena terjadinya 
suatu peristiwa yang tidak pasti.
Usaha Asuransi Jiwa Syari’ah adalah 
usaha pengelolaan risiko berdasarkan prinsip 
syari’ah guna saling menolong dan melindungi 
dengan memberi  pembayaran yang 
didasarkan pada meninggal atau hidupnya 
peserta, atau pembayaran lain kepada peserta 
atau pihak lain yang berhak pada waktu 
tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang 
besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan 
pada hasil pengelolaan dana.
Usaha reasuransi syari’ah adalah usaha 
pengelolaan risiko berdasarkan prinsip syari’ah 
atas risiko yang dihadapi oleh perusahaan 
asuransi syari’ah, perusahaan penjaminan 
syari’ah, atau perusahaan reasuransi syari’ah 
lainnya. Usaha pialang asuransi adalah usaha 
jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam 
penutupan asuransi atau asuransi syari’ah serta 
penanganan penyelesaian klaimnya dengan 
bertindak untuk dan atas nama pemegang 
polis, tertanggung, atau peserta.
Usaha pialang reasuransi adalah usaha 
jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam 
penempatan reasuransi atau penempatan 
reasuransi syariah serta penanganan 
penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk 
dan atas nama perusahaan asuransi, 
perusahaan asuransi syari’ah, perusahaan 
penjaminan, perusahaan penjaminan syari’ah, 
perusahaan reasuransi, atau perusahaan 
reasuransi syari’ah yang melalukan 
penempatan reasuransi atau reasuransi 
syari’ah.
Usaha penilai kerugian asuransi adalah 
usaha jasa penilaian klaim dan/atau jasa 
konsultasi atas objek asuransi. Perusahaan 
perasuransian adalah perusahaan asuransi, 
perusahaan asuransi syari’ah, perusahaan 
reasuransi, perusahaan reasuransi syari’ah, 
perusahaan pialang asuransi, perusahaan 
pialang reasuransi, dan perusahaan penilai 
kerugian asuransi.
Perusahaan asuransi adalah perusahaan 
asuransi umum dan perusahaan asuransi jiwa.
Perusahaan asuransi syariah adalah perusahaan 
asuransi umum syariah dan perusahaan 
asuransi jiwa syariah.
3.2.Gambaran Umum Asuransi Syari’ah 
(Ta’min, Takaful atau Tadhamun)
Menurut fatwa DSN-MUI 
No. 21/DSN-UI/X/2001
Sesuai dengan hukum positif yang ada, 
prinsip syar’iah menurut Undang-Undang No. 
40 tahun 2014 adalah prinsip hukum Islam 
dalam kegiatan perasuransian berdasarkan 
fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang 
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa 
di bidang syari’ah. Di Indonesia, lembaga yang 
menetapkan fatwa sebagai landasan hukum 
mengenai asuransi syari’ah adalah Dewan 
Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia 
(DSN-MUI) dimana untuk mengatur ini  
dikeluarkanlah fatwa DSN-MUI No. 
21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman 
umum asuransi syariah untuk memenuhi 
kebutuhan dan menjawab pertanyaan 
masyarakat yang berdasarkan prinsip-prinsip 
syari’ah untuk dijadikan pedoman oleh pihak￾pihak yang memerlukannya. Bagi mayoritas 
umat Islam Indonesia, asuransi merupakan 
persoalan baru yang masih banyak 
dipertanyakan; apakah status hukum maupun cara aktivitasnya sejalan dengan prinsip-prinsip 
syari’ah.
Menurut Dewan Syari’ah Nasional 
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), definisi 
asuransi syari’ah adalah usaha saling 
melindungi dan tolong menolong di antara 
sejumlah orang atau pihak-pihak dalam bentuk 
asset atau tabarru’ yang memberi  pola 
pengembalian untuk menghadapi resiko 
tertentu melalui akad (perikatan) sesuai dengan 
syari’ah.6
Menurut Fatwa DSN-MUI No. 21/DSN￾MUI/X/2001 tentang pedoman umum 
asuransi syariah menyebutkan pengertian 
asuransi syariah (ta’min, takaful atau tadhamun) 
adalah usaha saling melindungi dan tolong 
menolong di antara sejumlah orang atau pihak 
melalui investasi dalam bentuk aset dan atau 
tabarru’ yang memberi  pola pengembalian 
untuk menghadapi resiko tertentu melalui 
akad atau perikatan yang sesuai dengan 
syariah. Akad yang sesuai dengan syariah yang 
dimaksud adalah yang tidak mengandung 
gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, 
zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang 
haram dan maksiat.
Dalam pengelolaan dan penanggungan 
risiko, asuransi syariah tidak memperbolehkan 
adanya gharar (ketidakpastian atau spekulasi) 
dan maisir (perjudian). Dalam investasi atau 
manajemen dana tidak diperkenankan adanya 
riba (bunga). Ketiga larangan ini, gharar, maisir, 
dan riba adalah area yang harus dihindari 
dalam praktek asuransi syariah, dan menjadi 
pembeda utama dengan asuransi konvensional
 
6
Fatmawati.2010. Pemikiran Muhammad Syakir Sula tentang Sitem 
Operasional Asuransi Syari’ah. Program S1 Jurusan Ekonomi Islam 
Fakulta Syari’ah dan Ilmu Hukum UIN Sultan Syarif Kasim Riau. H.3
Dalam asuransi syar’iah (ta’min, takaful
atau tadhamun) terdapat dua jenis akad yaitu :
1. Akad tijarah adalah semua bentuk akad 
yang dilakukan untuk tujuan komersial.
2. Akad tabarru’ adalah semua bentuk 
akad yang dilakukan dengan tujuan 
kebajikan dan tolong-menolong, 
bukan semata untuk tujuan komersial.
Akad dalam asuransi dilakukan antara 
peserta dengan perusahaan terdiri atas akad 
tijarah dan/atau akad tabarru' di mana akad 
tijarah yang dimaksud adalah mudarabah. 
sedangkan akad tabarru’ adalah hibah. Dalam 
akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan :
a. Hak dan kewajiban peserta dan 
perusahaan
b. Cara dan waktu pembayaran premi
c. Jenis akad tijarah dan/atau akad tabarru’
serta syarat-syarat yang disepakati, 
sesuai dengan jenis asuransi yang 
diakadkan.
Kedudukan para pihak dalam akad 
tijarah dan akad tabarru’ yaitu :
1. Dalam akad tijarah (mudarabah), 
perusahaan bertindak sebagai mudharib 
(pengelola) dan peserta bertindak 
sebagai shahibul mal (pemegang polis).
2. Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta 
memberi  hibah yang akan 
digunakan untuk menolong peserta 
lain yang terkena musibah. Sedangkan 
perusahaan bertindak sebagai 
pengelola dana hibah.
Ketentuan dalam akad tijarah dan akad 
tabarru’ yaitu :
1. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi 
jenis akad tabarru' bila pihak yang 
tertahan haknya, dengan rela 
melepaskan haknya sehingga 
menggugurkan kewajiban pihak yang 
belum menunaikan kewajibannya.2. Jenis akad tabarru' tidak dapat diubah 
menjadi jenis akad tijarah.
Jenis asuransi dan akadnya apabila. 
dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri 
atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa 
sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi 
tersebut adalah mudarabah dan hibah.
Premi adalah kewajiban peserta 
asuransi untuk memberi  sejumlah dana 
kepada perusahaan asuransi sesuai dengan 
kesepakatan dalam akad. Pembayaran premi 
didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad 
tabarru'. Untuk menentukan besarnya premi 
perusahaan asuransi syariah dapat 
menggunakan rujukan, misalnya tabel 
mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel 
morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan 
syarat tidak memasukkan unsur riba dalam 
penghitungannya. Premi yang berasal dari jenis 
akad mudarabah dapat diinvestasikan dan hasil 
investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta. 
Premi yang berasal dari jenis akad tabarru' 
dapat diinvestasikan.
Klaim adalah hak peserta asuransi yang 
wajib diberikan oleh perusahaan asuransi 
sesuai dengan kesepakatan dalam akad. Klaim 
dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati 
pada awal perjanjian. Klaim dapat berbeda 
dalam jumlah, sesuai dengan premi yang 
dibayarkan. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya 
merupakan hak peserta, dan merupakan 
kewajiban perusahaan untuk memenuhinya. 
Klaim atas akad tabarru', merupakan hak 
peserta dan merupakan kewajiban perusahaan, 
sebatas yang disepakati dalam akad.
Perusahaan selaku pemegang amanah 
wajib melakukan investasi dari dana yang 
terkumpul. Investasi wajib dilakukan sesuai 
dengan syariah. Asuransi syari’ah hanya dapat 
melakukan reasuransi kepada perusahaan 
reasuransi yang berlandaskan prinsip syari'ah. 
Pengelolaan asuransi syari’ah hanya boleh 
dilakukan oleh suatu lembaga yang berfungsi 
sebagai pemegang amanah. Perusahaan 
asuransi syari’ah memperoleh bagi hasil dari 
pengelolaan dana yang terkumpul atas dasar 
akad tijarah (mudarabah). Perusahaan asuransi 
syari’ah memperoleh ujrah (fee) dari 
pengelolaan dana akad tabarru’ (hibah). Jika 
salah satu pihak tidak menunaikan 
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di 
antara para pihak, maka penyelesaiannya 
dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah 
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui 
musyawarah.
3.3.Akad Tabarru’
Akad tabarru’ sesuai dengan fatwa 
DSN-MUI No.53/DSN-MUI/III/2006 
tentang akad tabarru’ pada asuransi syariah dan 
reasuransi syariah menetapkan bahwa akad 
tabarru’ merupakan akad yang harus melekat 
pada semua produk asuransi. Akad tabarru’
pada asuransi adalah semua bentuk akad yang 
dilakukan antar peserta pemegang polis 
dengan ketentuan bahwa :
1. Akad tabarru’ pada asuransi adalah akad 
yang dilakukan dalam bentuk hibah 
dengan tujuan kebajikan dan tolong￾menolong antar peserta, bukan untuk 
tujuan komersial.
2. Dalam akad tabarru’, harus disebutkan 
sekurang-kurangnya:
a. Hak dan kewajiban masing-masing 
peserta secara individu.
b. Hak dan kewajiban antara peserta 
secara individu dalam akun tabarru’ 
selaku peserta dalam arti 
badan/kelompok.
c. Cara dan waktu pembayaran premi dan 
klaim.
d. Syarat-syarat lain yang disepakati, 
sesuai dengan jenis asuransi yang 
diakadkan.
Kedudukan para pihak dalam akad 
tabarru’ adalah sebagai berikut :
1. Dalam akad tabarru’, peserta memberi  
dana hibah yang akan digunakan untuk 
menolong peserta atau peserta lain yang 
tertimpa musibah.
2. Peserta secara individu merupakan pihak 
yang berhak menerima dana tabarru’ 
(mu’amman/mutabarra’ lahu) dan secara 
kolektif selaku penanggung 
(mu’ammin/mutabarri’).
3. Perusahaan asuransi bertindak sebagai 
pengelola dana hibah, atas dasar akad 
wakalah dari para peserta selain 
pengelolaan investasi.
Pengelolaan dana tabarru’ adalah 
sebagai berikut :
1. Pembukuan dana tabarru’ harus terpisah 
dari dana lainnya.
2. Hasil investasi dari dana tabarru’ menjadi 
hak kolektif peserta dan dibukukan dalam
akun tabarru’.
3. Dari hasil investasi, perusahaan asuransi 
dapat memperoleh bagi hasil berdasarkan 
akad mudarabah atau akad mudharabah
musytarakah, atau memperoleh ujrah (fee) 
berdasarkan akad wakalah bil ujrah.
Surplus uderwriting dalam asuransi 
syariah dilaksanakan sebagai berikut :
a. Jika terdapat surplus underwriting atas 
dana tabarru’, maka boleh dilakukan 
beberapa alternatif sebagai berikut:
a. Diperlakukan seluruhnya sebagai 
dana cadangan dalam akun tabarru’ 
b. Disimpan sebagian sebagai dana 
cadangan dan dibagikan sebagian 
lainnya kepada para peserta yang 
memenuhi syarat 
aktuaria/manajemen risiko.
c. Disimpan sebagian sebagai dana 
cadangan dan dapat dibagikan 
sebagian lainnya kepada 
perusahaan asuransi dan para 
peserta sepanjang disepakati oleh 
para peserta.
b. Pilihan terhadap salah satu alternatif 
tersebut di atas harus disetujui terlebih 
dahulu oleh peserta dan dituangkan 
dalam akad.
Defisit underwriting dalam asuransi 
syariah dilaksanakan sebagai berikut :
1. Jika terjadi defisit underwriting atas dana 
tabarru’ (defisit tabarru‘), maka 
perusahaan asuransi wajib 
menanggulangi kekurangan tersebut 
dalam bentuk qardh (pinjaman).
2. Pengembalian dana qardh kepada 
perusahaan asuransi disisihkan dari 
dana tabarru’.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan 
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di 
antara para pihak, maka penyelesaiannya 
dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah 
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui 
musyawarah. 
Menurut fatwa DSN-MUI No. 
81/DSN-MUI/III/2011 tentang 
pengembalian dana tabarru’ bagi peserta 
asuransi yang berhenti sebelum masa 
perjanjian berakhir dikeluarkan fatwa untuk 
memenuhi kebutuhan dan menjawab 
pertanyaan LKS/LBS tersebut, DSN-MUI 
memandang perlu menetapkan fatwa tentang 
pengembalian kontribusi tabarru’ bagi peserta 
asuransi yang berhenti sebelum masa 
perjanjian berakhir untuk dijadikan pedoman 
oleh pihak-pihak yang memerlukannya.
Dalam fatwa ini yang dimaksud 
dengan dana tabarru' adalah iuran/hibah 
sejumlah dana kepesertaan asuransi yang 
diberikan oleh peserta asuransi syari’ah 
individu kepada peserta secara kolektif 
(kumpulan dana tabarru’/tabarru’ pooling fund) 
sesuai dengan kesepakatan; dan pengembalian 
dana tabarru’ adalah pengembalian sebagian 
dana tabarru’ kepada peserta asuransi secara 
individu karena berhenti sebelum masa 
perjanjian berakhir.
Ketentuan hukum pengembalian dana 
tabarru’ bagi peserta asuransi yang berhenti 
sebelum masa perjanjian berakhir adalah 
sebagai berikut :
1. Peserta asuransi syari’ah secara 
individu tidak boleh meminta kembali 
dana tabarru’ yang sudah dibayarkan 
kepada perusahaan asuransi sebagai 
wakil dari peserta asuransi secara 
kolektif;
2. Perusahaan asuransi syari’ah dalam 
kapasitasnya sebagai wakil peserta 
asuransi, tidak berwenang untuk 
mengembalikan dana tabarru’ 
sebagaimana dimaksud dalam butir 1;
3. Peserta asuransi syari’ah secara kolektif 
sebagai penerima dana tabarru’, 
memiliki kewenangan untuk membuat 
aturan-aturan mengenai penggunaan 
dana tabarru’, termasuk 
mengembalikan dana tabarru’ kepada 
peserta asuransi secara individu yang 
berhenti sebelum masa perjanjian 
berakhir; 
4. Dalam hal peserta asuransi syari’ah 
secara kolektif memberi  
kewenangan sebagaimana dimaksud 
dalam butir 3 kepada perusahaan 
asuransi, maka kewenangan tersebut 
harus dinyatakan secara jelas sejak 
akad dilakukan; dan
5. Dalam hal perusahaan asuransi syari’ah 
mendapatkan kewenangan 
sebagaimana dimaksud butir 4 dalam 
kapasitasnya sebagai wakil dari peserta 
asuransi secara kolektif, perusahaan 
asuransi syari’ah harus membuat 
ketentuan-ketentuan mengenai 
pengelolaan dana tabarru’, termasuk 
ketentuan mengenai pengembalian 
dana tabarru’ kepada peserta asuransi 
secara individu yang berhenti sebelum
masa perjanjian berakhir.
3.4. Sistem Operasional Asuransi 
Syariah (Ta’min, Takaful atau
Tadhamun) dalam Menghindari 
Gharar, Riba dan Maisir.
3.4.1. Akad (Perjanjian)
Akad merupakan salah satu persoalan 
pokok dalam asuransi konvensional yang 
menjadikannya diharamkan oleh para Ulama. 
Kerena dengan akad yang ada di asuransi 
konvensional, dapat berdampak pada
munculnya gharar dan maisir, oleh karena itu, 
para ulama mencari solusi bagaimana agar 
masalah gharar dan maisir ini dapat 
dihindarkan.
7
Masalah pertama adalah gharar 
‘penipuan’ yang muncul karena akad yang 
dipakai di konvensional adalah aqad tabaduli’ 
akad pertukaran’. Sesuai dengan syarat-syarat 
akad pertukaran, maka harus jelas berapa 
pembayaran premi dan beri pertanggungan 
yang akan diterima. Masalah hukum (syari’ah)
di sini muncul karena tidak bisa menentukan 
secara tepat jumlah premi yang akan 
dibayarkan, sekalipun syarat-syarat lainnya, 
penjual, pembeli, ijab kabul dan jumlah uang 
pertanggungan (barang) dapat dihitung. 
Jumlah premi yang akan dibayarkan amat 
tergantung pada takdir tahun berapa kita 
meninggal atau mungkin sampai akhir kontrak 
kita tetap hidup. Dalam konsep syari’ah 
masalah gharar dapat dieliminir karena akad 
yang dipakai bukanlah aqad tabaduli tetapi aqad 
takafuli atau tolong-menolong yang saling 
menjamin.
Masalah kedua, adalah maisir (judi) 
atau gambling. Maisir artinya adalah salah satu 
pihak yang untung namun di lain pihak justru 
mengalami kerugian. Misalnya, seorang peserta 
dengan alasan tertentu ingin membantalkan 
kontraknya sebelum, revising period, biasanya 
tahun ketiga, maka yang bersangkutan tidak 
akan menerima kembali uang yang telah
dibayarkan kecuali sebagian kecil saja.
(underwriting experience), sehingga untung dari 
rugi suatu perusahaan tergantung kepada 
nasib. ini  mengandung gharar, karena ini 
termasuk judi.
Masalah ketiga adalah riba (bunga). 
Pada asuransi syari’ah pada masalah riba 
dieliminir dengan konsep mudarabah (bagi 
hasil). Seluruh proses dari proses operasional 
asuransi yang di dalamnya menganut sistem 
riba, digantikannya dengan akad mudarabah 
atau akad lainnya yang benar secara syar’i. Baik 
dalam penentuan bunga teknik, investasi 
maupun penempatan dana kepihak ketiga, 
semua menggunakan instrumen akad syar’i
yang bebas dari riba.
3.4.2. Pengelolaan Dana
a. Perusahaan sebagai Pemegang 
Amanah
Sistem operasional asuransi 
syari’ah adalah saling bertanggung 
jawab, bantu membantu, dan saling 
melindungi antara para pesertanya. 
Perusahaan asuransi syari’ah diberi 
kepercayaan atau amanah oleh para 
peserta untuk mengelolah premi, 
mengembangkan dengan jalan yang 
halal, dan memberi  santunan 
kepada yang mengalami musibah 
sesuai isi akta perjanjian. Keuntungan 
perusahaan diperoleh dari pembagian 
keuntungan dana peserta yang 
dikembangkan dengan prinsip 
mudarabah (sistem bagi hasil). Para 
peserta takaful berkedudukan sebagai 
pemilik modal dan perusahaan takaful 
berfungsi sebagai pemegang amanah.
Keuntungan yang diperoleh dari 
pengembangan dana itu dibagi antara peserta 
dan perusahaan sesuai dengan keuntungan 
(nisbah) yang telah disepakati. Mekanisme 
pengelolaan dana peserta (premi) dibagi 
menjadi dua yaitu :
a. Sistem pada produk saving (tabungan)
yaitu setiap peserta membayar 
sejumlah uang (premi) secara teratur 
kepada perusahaan.
b. Sistem pada produk non saving (non 
tabungan) yaitu setiap premi yang 
dibayar oleh peserta, akan dimasukan 
dalam rekening tabarru’ perusahaan.
Pengelolaan dana sesuai dengan akad 
wakalah bil ujrah diatur dengan Fatwa DSN￾MUI No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang 
akad wakalah bil ujrah pada asuransi syari’ah 
dan reasuransi syariah di mana wakalah bil ujrah
adalah pemberian kuasa dari peserta kepada
perusahaan asuransi untuk mengelola dana 
peserta dengan imbalan pemberian ujrah (fee).
Wakalah bil ujrah dapat diterapkan pada 
produk asuransi yang mengandung unsur 
tabungan (saving) maupun unsur tabarru’ (non 
saving). Dalam akad ini, perusahaan bertindak 
sebagai wakil (yang mendapat kuasa) untuk 
mengelola dana. Peserta (pemegang polis) 
sebagai individu, dalam produk saving dan 
tabarru’, bertindak sebagai muwakkil (pemberi 
kuasa) untuk mengelola dana. Peserta sebagai 
suatu badan/kelompok, dalam akun tabarru’
bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa) 
untuk mengelola dana. Wakil tidak boleh 
mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang 
diterimanya, kecuali atas izin muwakkil 
(pemberi kuasa). 
Akad wakalah adalah bersifat amanah 
(yad amanah) dan bukan tanggungan (yad 
dhaman) sehingga wakil tidak menanggung
risiko terhadap kerugian investasi dengan 
mengurangi fee yang telah diterimanya, kecuali 
karena kecerobohan atau wanprestasi.
Perusahaan asuransi sebagai wakil tidak berhak 
memperoleh bagian dari hasil investasi, karena 
akad yang digunakan adalah akad wakalah.
Perusahaan asuransi selaku pemegang amanah 
wajib menginvestasikan dana yang terkumpul 
dan investasi wajib dilakukan sesuai dengan 
syari’ah. Dalam pengelolaan dana investasi, 
baik tabarru’ maupun tabungan (saving), dapat 
digunakan akad wakalah bil ujrah dengan 
mengikuti ketentuan seperti di atas, akad 
mudarabah dengan mengikuti ketentuan fatwa 
mudarabah.
Pengelolaan dana sesuai dengan akad 
mudarabah musytarakah diatur dengan fatwa 
DSN-MUI No. 51/DSN-MUI/III/2006 
tentang akad mudarabah musytarakah pada 
asuransi syari’ah menjelaskan bahwa akad 
mudarabah musytarakah boleh dilakukan oleh 
perusahaan asuransi, karena merupakan bagian 
dari hukum mudarabah. Mudarabah
musytarakah dapat diterapkan pada produk 
asuransi syariah yang mengandung unsur 
tabungan (saving) maupun non tabungan (non 
saving).
Ketentuan akad sesuai dengan fatwa 
ini adalah sebagai berikut :
a. Akad yang digunakan adalah akad 
mudarabah musytarakah, yaitu 
perpaduan dari akad mudarabah dan 
akad musyarakah.
b. Perusahaan asuransi sebagai mudharib
menyertakan modal atau dananya 
dalam investasi bersama dana peserta.
c. Modal atau dana perusahaan asuransi 
dan dana peserta diinvestasikan secara 
bersama-sama dalam portofolio.
d. Perusahaan asuransi sebagai mudharib
mengelola investasi dana tersebut.
e. Dalam akad, harus disebutkan 
sekurang-kurangnya:
1. Hak dan kewajiban peserta dan 
perusahaan asuransi.
2. Besaran nisbah, cara dan waktu 
pembagian hasil investasi.
3. Syarat-syarat lain yang disepakati, 
sesuai dengan produk asuransi 
yang diakadkan.
f. Hasil investasi.
Pembagian hasil investasi dapat
dilakukan dengan salah satu alternatif 
sebagai berikut:
 Alternatif I :
1. Hasil investasi dibagi antara 
perusahaan asuransi (sebagai mudharib) 
dengan peserta (sebagai shahibul mal) 
sesuai dengan nisbah yang disepakati.
2. Bagian hasil investasi sesudah 
disisihkan untuk perusahaan asuransi 
(sebagai mudharib) dibagi antara 
perusahaan asuransi (sebagai musytarik) 
dengan para peserta sesuai dengan 
porsi modal atau dana masing-masing.
 Alternatif II :
1. Hasil investasi dibagi secara 
proporsional antara perusahaan
asuransi (sebagai musytarik) dengan 
peserta berdasarkan porsi modal atau 
dana masing-masing.
2. Bagian hasil investasi sesudah 
disisihkan untuk perusahaan asuransi 
(sebagai musytarik) dibagi antara 
perusahaan asuransi sebagai mudharib
dengan peserta sesuai dengan nisbah 
yang disepakati.
3. Apabila terjadi kerugian maka 
perusahaan asuransi sebagai musytarik
menanggung kerugian sesuai dengan 
porsi modal atau dana yang disertakan.
Kedudukan para pihak dalam akad 
mudarabah musytarakah adalah sebagai 
berikut 
a. Dalam akad ini, perusahaan asuransi 
bertindak sebagai mudharib (pengelola) 
dan sebagai musytarik (investor).
b. Peserta (pemegang polis) dalam 
produk saving, bertindak sebagai 
shahibul mal (investor).
c. Para peserta (pemegang polis) secara 
kolektif dalam produk non saving, 
bertindak sebagai shahibul mal 
(investor).
Investasi dana dalam akad mudarabah
musytarakah adalah sebagai berikut :
a. Perusahaan asuransi selaku pemegang 
amanah wajib melakukan investasi dari 
dana yang terkumpul.
b. Investasi wajib dilakukan sesuai 
dengan prinsip syariah.
b. Manfaat asuransi
a. Manfaat takaful pada produk tabungan 
(saving). Manfaat takaful yang diperoleh 
peserta takaful atau ahli warisnya 
adalah sebagai berikut :
1. Jika peserta ditakdirkan meninggal 
dunia dalam masa perjanjian, maka 
ahli warisnya akan memperoleh :
a. Dana rekening tabungan yang 
telah disetor
b. Bagian keuntungan dari hasil 
investasi mudarabah dari 
rekening tabungan
c. Selisih dari manfaat takaful 
awal (rencana) dengan premi 
yang sudah dibayar.
2. Bila peserta mengundurkan diri 
sebelum perjanjian berakhir, maka 
peserta akan memperoleh :
a. Dana rekening yang telah 
disetor
b. Bagian keuntungan atas hasil 
investasi mudarabah dari 
rekening tabungan.
b. Manfaat takaful pada produk tabarru’
(non saving), Manfaat takaful yang
diperoleh peserta takaful atau ahli 
warisnya adalah sebagai berikut :
1. Bila ditakdirkan meninggal dunia 
dalam masa perjanjian, maka ahli 
warisnya akan mendapatkan dana 
satunan meninggal dari 
perusahaan, sesuai dengan jumlah 
yang peserta bayarkan.
2. Bila peserta hidup, sampai 
perjanjian terakhir maka peserta 
akan mendapatkan bagian 
keuntungan atas rekening tabarru’ 
yang ditentukan oleh perusahaan 
dengan skema mudarabah.
c. Sumber biaya operasional
Dalam operasionalnya pada asuransi 
Syari’ah yang membentuk bisnis seperti
perseroan terbatas (PT), sumber biaya menjadi 
sangat menentukan dalam perkembangan dan 
kecepatan pertumbuhan industri. Sumber￾sumber biaya tersebut dapat terdiri atas :
a. Bagi hasil surplus underwriting yaitu bagi 
hasil yang diperoleh dari surplus 
underwriting yang dibagi secara 
proporsional antara peserta dan 
mengelola dengan nisbah yang 
ditetapkan sebelumnya.
b. Bagi hasil investasi adalah bagi hasil 
yang diperoleh secara proporsional
berdasarkan nisbah bagi hasil yang telah 
ditentukan, baik dari hasil investasi 
dana rekening tabungan peserta 
maupun dari dana tabarru.
c. Dana pemegang saham yaitu dana 
yang dipersiapkan oleh para pemegang 
saham sebagai modal setor bagi 
perusahaan
d. Loading (kontribusi biaya) yaitu 
kontribusi biaya yang dibebankan
kepada peserta, yang pada asuransi 
konversional biasanya diambil dari
premi tahun pertama dan kedua. 
d. Prinsip-Prinsip Asuransi Syariah 
Pinsip-prinsip yang diterapkan pada 
asuransi syariah adalah :
a. Prinsip berserah diri dan ikhtiar 
Allah adalah pemilik mutlak atau 
pemilik sebenarnya seluruh harta 
kekayaan yang ada di seluruh alam 
semesta ini, maka menjadi hak￾Nya pulalah untuk 
memberi nya kepada siapa saja 
yang dikehendaki-Nya atau 
merenggutnya dari siapa saja yang 
di kendaki-Nya. Allah lah yang 
menghendaki dan menentukan 
seseorang menjadi kaya dan Allah 
pula yang memutuskan seseorang 
menjadi miskin.
b. Prinsip tolong menolong
Prinsip yang paling utama dalam 
konsep asuransi syari’ah adalah
prinsip tolong menolong. Ini 
adalah bentu solusi bagi 
mekanisme operasional asuransi 
syari’ah. Tolong menolong
(ta’awun) adalah inti dari semua 
prinsip dalam asuransi syari’ah. 
Prinsip tersebut adalah pondasi 
dasar dalam menegakan konsep 
asuransi Syari’ah.
c. Prinsip saling bertanggung jawab
Para peserta asuransi setuju untuk 
saling bertanggung jawab antara
satu sama yang lainnya. Rasa 
tanggung jawab terhadap sesama 
muslim merupakan kewajiban
sesama insani. Rasa tanggung 
jawab itu lahir dari sifat saling 
menyayangi, mencintai, 
membantu sesama, dan merasa 
mementingkan kebersamaan
untuk kemaslahatan bersama 
dalam mewujudkan masyarakat 
yang beriman, bertakwa dan 
harmonis.
d. Prinsip saling kerjasama dan bantu 
membantu 
ini  merupakan keutamaan 
umat Islam adalah saling 
membantu, yang merupakan 
aplikasi dari ketakwaan kita 
kepada Allah SWT. Cerminan 
ketakwaan itu adalah sebagai 
berikut :
1. Mengunakan harta kepunyaan 
dengan benar, di antaranya 
untuk kebajikan sosial.
2. Menepati janji.
3. Sabar ketika mengalami 
bencana.
e. Prinsip saling melindungi dan 
berbagi kesusahan
Para peserta asuransi Islam setuju
untuk saling melindungi dari
kesusahan, bencana, dan 
sebagainya. Keselamatan dan 
keamanan adalah hak asasi untuk 
semua orang maka perlu 
dilindungi. 
e. Wakaf Manfaat Asuransi dan Manfaat 
Investasi pada Asuransi Jiwa Syariah
Dalam perkembangannya, terdapat 
pihak yang ingin mewakafkan manfaat 
asuransi dan manfaat investasinya kepada 
pihak yang membutuhkan. Melihat hal 
tersebut maka DSN-MUI menetapkan fatwa 
yang mengatur. Sesuai dengan fatwa DSN￾MUI No. l06/DSN-MUI/X/2016 tentang 
wakaf manfaat asuransi dan manfaat investasi 
pada asuransi jiwa syariah, wakaf adalah 
menahan harta yang dapat dimanfaatkan 
dan/atau diistitsmar-kan tanpa lenyap 
bendanya, dengan tidak menjual, 
menghibahkan, dan/atau mewariskannya, dan 
hasilnya disalurkan pada sesuatu yang mubah 
kepada penerima manfaat wakaf yang ada.
Manfaat asuransi adalah sejumlah dana 
yang bersumber dari dana tabarru' yang 
diserahkan kepada pihak yang mengalami 
musibah atau pihak yang ditunjuk untuk 
menerimanya. Manfaat investasi adalah 
sejumlah dana yang diserahkan kepada peserta 
program asuransi yang berasal dari kontribusi 
investasi peserta dan hasil investasinya.
Ketentuan hukum sesuai dengan fatwa 
ini pada prinsipnya manfaat asuransi 
dimaksudkan untuk melakukan mitigasi risiko 
peserta atau pihak yang ditunjuk. mewakatkan 
manfaat asuransi dan manfaat investasi pada 
asuransi jiwa syariah hukumnya boleh dengan 
mengikuti ketentuan yang terdapat dalam 
fatwa ini.
Ketentuan khusus sesuai dengan fatwa 
ini yaitu :
1. Ketentuan wakaf manfaat asuransi
a. Pihak yang ditunjuk untuk 
menerima manfaat asuransi 
menyatakan janji yang 
mengikat (wa'd mulzim) untuk 
mewakafkan manfaat asuransi.
b. Manfaat asuransi yang boleh 
diwakatkan paling banyak 45% 
dari total manfaat asuransi.
c. Semua calon penerima manfaat 
asuransi yang ditunjuk atau 
penggantinya menyatakan 
persetujuan dan 
kesepakatannya; dan
d. lkrar wakaf dilaksanakan 
setelah manfaat asuransi secara 
prinsip sudah menjadi hak 
pihak yang ditunjuk atau 
penggantinya.
2. Ketentuan wakaf manfaat investasi
adalah sebagai berikut :
a. Manfaat investasi boleh 
diwakatkan oleh peserta 
asuransi.
b. Kadar jumlah manfaat 
investasi yang boleh 
diwakatkan paling banyak 
sepertiga (1/3) dari total 
kekayaan dan/atau tirkah, 
kecuali disepakati lain oleh 
semua ahli waris.
3. Ketentuan ujrah terkait dengan 
produk wakaf
a. Ujrah tahun pertama paling 
banyak 45% dari kontribusi 
regular.
b. Akumulasi ujrah tahun 
berikutnya paling banyak 50% 
dari kontribusi reguler.
Secara mendasar, terdapat perbedaan 
antara asuransi konvensional dengan asuransi 
syari’ah sebagai berikut8
:
1. Konsep 
Pada asuransi konvensional
merupakan perjanjian antara dua 
pihak atau lebih, dengan mana pihak 
penanggung mengikatkan diri kepada 
tertanggung, dengan menerima premi 
asuransi untuk memberi  
pergantian kepada tertanggung. 
Sedangkan pada asuransi syari’ah yaitu 
sekumpulan orang yang saling 
membantu, menjamin dan 
bekerjasama dengan cara masing￾masing mengeluarkan dana tabarru’.
2. Asal-usul 
Asal usul asuransi konvensional 
adalah dari masyarakat Babilonia 
(3000-4000 SM) yang dikenal dengan 
perjanjian Hammurabi. Asuransi 
syari’ah berasal dari aqilah yaitu 
kebiasaan suku Arab jauh sebelum 
Islam datang. Kemudian disahkan 
oleh Rasulullah SAW menjadi hukum 
Islam, bahkan telah tertuang dalam 
konstitusi pertama di dunia 
(Konstitusi Madinah) yang dibuat 
langsung oleh Rasulullah SAW. 
3. Sumber Hukum 
Asuransi konvensional bersumber dari 
pikiran manusia dan kebudayaan, 
berdasarkan hukum positif, hukum 
alam dan contoh sebelumnya. 
Sedangkan asuransi syari’ah 
bersumber dari wahyu Ilahi. Sumber 
hukum dalam syari’at Islam adalah 
Qur’an, sunnah atau kebiasaan 
Rasulullah SAW, ijma’, fatwa sahabat, 
qiyas, istihsan, ‘urf/tradisi dan mashalih 
mursalah. 
4. Dari segi maisir, gharar dan riba 
Asuransi konvensional tidak selaras 
dengan syari’at Islam karena adanya 
maisir, gharar dan riba, dimana hal 
tersebut diharamkan dalam muamalah 
Islam. Sementara asuransi syari’ah 
bersih dari adanya praktek maisir, 
gharar dan riba. 
5. Dewan Pengawas Syariah (DPS) 
Asuransi konvensional tidak 
mempunyai Dewan Pengawas Syariah 
(DPS), sehingga dalam banyak 
prakteknya bertentangan dengan 
kaidah-kaidah syara’. Sedangkan 
asuransi syari’ah mempunyai Dewan 
Pengawas Syariah (DPS) yang 
berfungsi untuk mengawasi 
pelaksanaan operasional perusahaan 
agar terbebas dari praktek-praktek 
muamalah yang bertentangan dengan 
prinsip-prinsip syari’ah. 
6. Akad 
Akad asuransi konvensional adalah 
akad jual beli sedangkan akad asuransi 
syari’ah adalah aqad tabarru’ dan aqad 
tijarah. 
7. Jaminan/Risk (Risiko) 
Jaminan asuransi konvensional adalah 
transfer of risk, di mana terjadi transfer 
risiko dari tertanggung kepada 
penanggung. Sementara jaminan pada 
asuransi syari’ah adalah sharing of risk, 
dimana terjadi proses saling 
menanggung antara satu peserta 
dengan peserta lainnya (ta’awun). 
8. Pengelolaan Dana 
Dalam asuransi konvensional tidak 
ada pemisahan dana yang berakibat 
pada terjadinya dana hangus (untuk 
produk saving life). Sedangkan asuransi 
syari’ah, pada produk saving life terjadi 
pemisahan dana, yaitu dana tabarru’
(derma) dan dana peserta, sehingga 
tidak mengenal istilah dana hangus.
Untuk term insurance (life) dan general 
insurance semuanya bersifat tabarru’. 
9. Investasi 
Asuransi konvensional bebas 
melakukan investasi dalam batas 
ketentuan perundang-undangan dan 
tidak terbatasi pada halal dan 
haramnya obyek atau sistem investasi 
yang digunakan. Sementara asuransi 
syari’ah dapat melakukan investasi 
sesuai ketentuan perundang-undangan 
sepanjang tidak bertentangan dengan 
prinsip prinsip syari’at Islam, bebas 
dari riba dan tempat-tempat investasi 
yang terlarang. 
10. Kepemilikan Dana 
Dalam asuransi konvensional, dana 
yang terkumpul dari premi peserta 
seluruhnya menjadi milik perusahan. 
Perusahaan bebas menggunakan dan 
menginvestasikan ke mana saja. 
Sedangkan asuransi syari’ah, dana 
yang terkumpul dari peserta dalam 
bentuk iuran atau kontribusi, 
merupakan milik peserta. Asuransi 
syari’ah hanya sebagai pemegangamanah dalam mengelola dana 
tersebut. 
11. Unsur Premi 
Dalam asuransi konvensional, unsur 
premi terdiri dari tabel mortalitas 
(mortality tables), bunga (interest), biaya￾biaya asuransi (cost of insurance). 
Sedangkan asuransi syari’ah, iuran 
atau kontribusi terdiri dari unsur 
tabarru’ dan tabungan (yang tidak 
mengandung unsur riba). Tabarru’ juga 
dihitung dari tabel mortalitas, tetapi 
tanpa perhitungan bunga teknik. 
12. Loading (Komisi Agen) 
Loading pada asuransi konvensional 
cukup besar terutama diperuntukkan 
untuk komisi agen, dapat menyerap 
premi tahun pertama dan kedua. 
Karena itu, nilai tunai pada tahun
pertama dan kedua biasanya belum 
ada (masih hangus). Sedangkan pada 
sebagian asuransi syari’ah, loading
(komisi agen) tidak dibebankan pada 
peserta tetapi dari dana pemegang 
saham. Namun, sebagian yang lainnya 
mengambil dari sekitar 20-30% saja 
dari premi tahun pertama. Dengan 
demikian, nilai tunai tahun pertama 
sudah terbentuk. 
13. Sumber Pembayaran Klaim 
Dalam asuransi konvensional sumber 
biaya klaim adalah dari rekening 
perusahan sebagai konsekuensi 
penanggung terhadap tertanggung. 
Murni bisnis dan tidak ada nuansa 
spiritual. Sementara asuransi syari’ah, 
sumber pembayaran klaim diperoleh 
dari rekening tabarru’, di mana peserta 
saling menanggung. Jika salah satu 
peserta dapat musibah, maka peserta 
lainnya ikut menanggung bersama 
risiko tersebut. 
14. Visi dan Misi
Secara garis besar visi dan misi utama 
dari asuransi konvensional adalah visi 
serta misi ekonomi dan sosial. 
Sedangkan visi dan misi yang diemban 
dalam asuransi syari’ah yaitu aqidah, 
ibadah (ta’awun) serta pemberdayaan 
umat (sosial). 

Related Posts:

  • ekonomi syariahSeiring dengan meningkatnya kesadaran atas pelayanan keuangan yang memiliki kepatuhan syariah, khususnya asuransi syariah maka perusaha… Read More