manajemen laba 5




 pat diakui bila  ada kepastian laba ini  dapat diperoleh dan direalisasi. Selain itu, usaha  ini sebenarnya akan membuat laporan keuangan menjadi tidak mencerminkan kondisi fundamental perusahaan yang sesungguhnya. Hingga pemilik perusahaan sebagai pemakai laporan keuangan akan memperoleh informasi yang menyesatkan dan melakukan kekeliruan dalam menilai kinerja manajer perusahaan. Akibatnya, pemilik keliru dalam menentukan dan memberikan bonus untuk manajer. Manajer akan selalu menerima sejumlah bonus yang seharusnya tidak diterimanya. Hal ini mengakibatkan terjadi kekeliruan dalam mengalokasikan sumberdaya perusahaan kepada pihak yang seharusnya tidak menerimanya. Dalam jangka panjang hal ini dapat mengakibatkan perusahaan akan mengalami kesulitan keuangan sebab mengeluarkan sumberdaya diluar kewajiban sesungguhnya. 

 Selain dengan mempermainkan laba untuk mengoptimalkan bonus yang diterimanya maka manajer dapat memakai  strategi pengunduran diri untuk memaksimalkan laba sebagai usaha  untuk menaikkan bonus. Secara konseptual manajer yang mempunyai kinerja bagus akan mengikat pemilik untuk mempertahankan manajer bersangkutan sebagai pengelola perusahaannya. Semakin bagus kinerja yang dibuat manajer itu selama mengelola suatu perusahaan semakin terikat pemilik perusahaan untuk tetap mempertahankan manajer bersangkutan. Alasan inilah yang mendorong manajer untuk selalu mempunyai kinerja yang bagus dari periode ke periode berikutnya. Hal seperti ini sebenarnya tidak akan menjadi permasalahan seandainya kinerja yang dilaporkan manajer dalam laporan keuangan merupakan kinerja fundamental.  Permasalahan agensi muncul sebab  manajer bersikap oportunis untuk mengelola kinerja yang dilaporkan agar selalu kelihatan lebih bagus daripada kinerja sesungguhnya. Manajer melakukan manajemen laba agar kinerja seakan-akan selalu meningkat dari periode ke periode. Hal inilah yang membuat pemilik keliru dalam menilai kinerja manajer. Pemilik juga keliru saat  membuat keputusan apakah manajer yang mengelola perusahaannya harus diganti atau dipertahankan. Bahkan dengan dasar yang keliru pemilik terpaksa harus mempertahankan manajer itu meski manajer bersangkutan sebenarnya mau mengundurkan diri. Akibatnya, sumberdaya perusahaan dialokasikan secara tidak tepat kepada pihak yang seharusnya tidak menerimanya. Atau dengan kata lain pemilik harus memberi bonus kepada manajer yang sebenarnya tidak berhak menerima bonus itu. Situasi seperti ini dalam jangka panjang akan mengkibatkan perusahaan mengalami kesulitan keuangan yang dapat membuat perusahaan bersangkutan kolaps bahkan bangkrut.  B.2.  PELANGGARAN PERJANJIAN HUTANG Selain permasalahan agensi di atas, permasalahan agensi juga bisa terjadi antara manajer dengan kreditur yang memberikan pinjaman dana kepada perusahaan. Secara konseptual manajer akan menandatangani kontrak hutang (lending contract) pada saat menyepakati hutang piutang antara perusahaan dan kreditur. Kontrak hutang ini dilakukan untuk menjamin bahwa manajer akan selalu melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi yang mengarah pada usaha  untuk mengembalikan pinjaman yang diberikan  

tepat pada waktunya disertai dengan pembayaran sejumlah bunga pada saat-saat tertentu. Atas dasar inilah manajer hanya akan memakai  dana pinjaman itu untuk aktivitas-aktivitas produktif yang dapat memberikan hasil optimal. Manajer tidak akan memakai  dana pinjaman untuk menjalankan aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah bagi perusahaan.  Secara konseptual semakin tinggi nilai tambah yang dihasilkan manajer semakin tinggi kemampuan perusahaan untuk mengembalikan dana pinjaman dan membayar sejumlah bunga pinjaman secara periodik. Sebaliknya semakin rendah nilai tambah yang dihasilkan manajer semakin rendah pula kemampuan perusahaan untuk mengembalikan dana pinjaman dan membayar sejumlah bunga pinjaman secara periodik. Hal ini yang mendorong kreditur untuk selalu memastikan bahwa manajer telah bekerja sesusai dengan prosedur untuk meningkatkan kemampuannya mengembalikan pinjaman dan membayar bunga. Kreditur secara periodik akan memantau seluruh aktivitas manajer dengan memakai  laporan keuangan perusahaan bersangkutan. Hingga kemungkinan terjadinya berbagai halangan yang dapat menghambat kemampuan perusahaan memenuhi kewajibannya itu dapat terdeteksi sejak awal. Untuk itu manajer harus mau bertermu dengan kreditur setiap saat diperlukan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Agar manajer selalu mentaati perjanjian itu maka dalam perjanjian itu juga diatur hukuman terhadap perusahaan  bila  melanggarnya, misalnya pembatasan dividen dan tambahan hutang. Pelanggaran perjanjian hutang (debt covenant violations) membuktikan adanya manajeman laba dengan menaikkan laba dalam laporan keuangan tahunan perusahaan yang melanggar perjanjian ini . Perjanjian hutang terbukti mempunyai pengaruh terhadap pilihan akuntansi pada tahun pelaporan dan tahun terjadinya pelanggaran itu. Perusahaan yang dinyatakan melanggar perjanjian hutang secara signifikan akan menaikkan laba sehingga rasio debt-to-equity dan interest coverage, working capital, dan shareholder’s equity pada level yang ditentukan.     


 C.  MOTIVASI REGULASI Sejalan dengan perkembangan bisnis perusahaan maka hubungan bisnis yang dijalin perusahaan akan semakin meluas, termasuk dengan pemerintah. Hubungan yang terjalin antara perusahaan dengan pemerintah ini juga merupakan pemicu terjadi permasalahan agensi antara kedua belah pihak ini. Secara konseptual dalam hubungan agensi ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dan dapat diterima oleh semua pihak. Permasalahan agensi akan muncul bila  ada pihak yang tidak mau menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya. Dalam konteks hubungan agensi antara perusahaan dan pemerintah ini maka perusahaan mempunyai kewajiban untuk membayar sejumlah pajak yang ditentukan dengan memakai  laba sebagai dasar perhitungannya. Sebaliknya pemerintah mempunyai hak untuk menerima pembayaran pajak perusahaan itu. sedang  hak yang akan diterima perusahaan berupa rasa aman dan pelayanan publik dalam menjalankan usahanya sebagai bagian dari kewajiban pemerintah memberi rasa aman dan pelayanan publik bagi seluruh publik. Secara konseptual dengan memakai  laba sebagai dasar perhitungan pajak ini akan membuat semakin besar laba yang diperoleh perusahaan semakin besar pula pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah. Sebaliknya semakin kecil laba yang diperoleh perusahaan semakin kecil pula pajak yang harus dibayarkan kepada  

pemerintah. Artinya semakin besar laba perusahaan akan membuat semakin besar kewajiban yang harus ditanggung dan diselesaikan perusahaan sebaliknya semakin kecil laba perusahaan semakin kecil pula kewajiban yang harus ditanggung dan diselesaikan perusahaan. Inilah yang menjadi awal permasalahan agensi antara perusahaan dengan pemerintah. Manajer cenderung selalu berusaha untuk meminimalisir kewajiban-kewajibannya, termasuk kewajiban untuk membayar pajak. Bagi manajer semakin kecil pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah berarti semakin kecil kewajibannya.   Oleh sebab itu manajer akan berusaha agar laba perusahaan selalu kelihatan lebih rendah daripada laba yang sesungguhnya diperoleh. usaha  ini dilakukan untuk meminimalisir pajak atau nilai pajak yang harus dibayar perusahaan. Hal ini dapat dilakukan manajer sebab  kesuperiorannya dalam menguasai informasi perusahaan dibanding dengan pemerintah. Manajer mengetahui mana informasi yang harus diungkapkan dan mana informasi yang harus disembunyikan, ditunda pengungkapannya, maupun diubah untuk mengatur laba perusahaan. Manajer menjadi mempunyai kesempatan untuk mengatur laba perusahaan sehingga pajak yang harus dibayar perusahaan dari periode ke periode dapat menjadi lebih rendah dibandingkan kewajiban pajak sesungguhnya. Setiap kesempatan akan selalu dimanfaatkan manajer untuk meminimalisir pajak, baik saat  harus membayar pajak tahunannya maupun saat  pemerintah mengganti peraturan perundang-undangan perpajakan.     Ada berbagai cara yang dapat dilakukan manajer untuk mengatur labanya untuk menurunkan nilai pajak perusahaan. Sebagai contoh perusahaan melakukan pembelian persediaan pada akhir tahun untuk menurunkan pajaknya. Dalam kondisi perekonomian normal dimana harga barang cenderung naik maka perusahaan yang memakai  asumsi aliran persediaan LIFO akan menghasilkan angka harga pokok penjualan yang tinggi. Secara konseptual semakin tinggi harga pokok penjualan akan membuat semakin rendah laba yang diperoleh perusahaan. Akibatnya, semakin rendah pajak yang harus dibayarkan perusahaan kepada pemerintah. Selain itu perusahaan dapat memanfaatkan kebijakan penentuan estimasi cadangan kerugian piutang maupun biaya amortisasi dan depresiasi aktiva. Secara konseptual semakin besar cadangan kerugian piutang berarti semakin besar pula biaya kerugian piutang yang harus ditanggung perusahaan. Besarnya biaya kerugian piutang ini akan mengakibatkan semakin kecil laba yang diperoleh perusahaan. Hal ini akan membuat pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah  

menjadi semakin kecil. Demikian juga dengan biaya amortisasi aktiva tak berwujud dan depresiasi aktiva tetap.  Dorongan lain untuk menurunkan pajak adalah dengan memanfaatkan perubahan peraturan perundang-undang perpajakan. Suatu negara jamak mengganti peraturan perundang-undangan perpajakannya pada suatu saat, sesuai dengan perkembangan dan tuntutan bisnis di negara itu. Perubahan peraturan perundang-undang ini biasanya terfokus pada aturan mengenai besar kecilnya batasan pajak yang akan dipungut oleh pemerintah. Selain itu peraturan perundang-undangan perpajakan ini biasanya tidak diperlakukan secara efektif pada tahun disahkan tetapi satu tahun setelah disahkan secara resmi. Hal ini dipakai  untuk sosialisasi peraturan perundang-undang perpajakan yang baru agar publik mempunyai kesempatan untuk mengetahui dan mengenalnya. Namun jeda waktu antara pengesahan dan pemberlakukan secara efektif ini ternyata dimanfaatkan manajer perusahaan untuk meminimalisir kewajiban pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah.  Saat ini banyak banyak studi empiris yang membuktikan bahwa perusahaan memanfaatkan perubahan peraturan perpajakan untuk meminimalkan pajak. Sebagai contoh adalah bila  perubahan peraturan pajak dipublikasikan pada September 1986 dan berlaku efektif per 1 Juli 1987 yang membuat tingkat pajak maksimum perusahaan berkurang dari 46% menjadi 34%. Penundaan laporan laba sebesar $1 dari satu periode sebelum berlakunya peraturan itu secara efektif menjadi laba periode setelah perubahan peraturan aktif dapat menghemat pajak sebesar $0,12. Penghematan pajak ini dapat juga diartikan sebagai tambahan laba sebesar 22% (0,12/(1-0,46)) yang diperoleh hanya dengan menunda pelaporan laba satu periode fiskal. 

Selain itu ada beberapa alasan lain mengapa manajer mempunyai motivasi regulasi (politik) untuk melakukan pelanggaran berbagai regulasi pemerintah. Sebagai contoh adalah perusahaan yang melakukan manajemen laba untuk melanggaran terhadap regulasi anti-trust dan anti monopoli. Secara konseptual perusahaan yang melakukan pelanggaran semacam ini akan merekayasa labanya agar kelihatan lebih rendah dibandingkan laba sesungguhnya. Perusahaan juga akan melakukan aktivitas rekayasa manajerial untuk menurunkan laba agar dapat mempengaruhi keputusan pengadilan dalam menetapkan finalti terhadap perusahaan yang mengalami damage award. Apa yang dilakukan perusahaan-perusahaan ini sebenarnya sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa manajemen laba akan dilakukan pada saat perusahaan menghadapi intertemporal choice, yaitu situasi yang memaksa perusahaan melakukan manajemen laba.   Ada alasan yang cukup mendasar mengapa perusahaan melanggar berbagai regulasi. Industri-industri tertentu di berbagai negara diatur dengan memakai  regulasi yang dikeluarkan pemerintah, misalkan perbankan dan asuransi. Industri perbankan mensyaratkan bahwa sebuah bank harus memenuhi syarat kecukupan modal agar dapat dinyatakan sebagai perusahaan yang sehat. Demikian juga dengan industri asuransi yang harus memenuhi kondisi tertentu untuk memenuhi persyaratan minimal keuangan yang sehat. Secara konseptual persyaratan semacam ini mendorong perusahaan untuk melakukan manajemen laba. Agar dapat diakui sebagai perusahaan yang sehat maka perusahaan itu akan merekayasa kinerja sesuai dengan batas minimal persyaratan dalam regulasi itu. Oleh sebab itu perusahaan akan melakukan aktivitas rekayasa manajerial ini untuk menaikkan kinerjanya bila  mempunyai kinerja dibawah yang dipersyaratkan. Tujuannya, agar terhindar dari finalti yang dikenakan untuk perusahaan-perusahaan yang dinyatakan tidak sehat atau tidak memenuhi syarat minimal sebagai perusahaan yang sehat.                 

Selain itu ada alasan lain mengapa sebuah perusahaan melakukan manajemen laba, yaitu melanggar regulasi anti-trust atau persaingan tidak sehat yang dikeluarkan pemerintah untuk menciptakan pasar yang sehat. Secara konseptual regulasi semacam ini membuat sebuah perusahaan menjadi tidak leluasa untuk mengembangkan usahanya. Ada batasan-batasan tertentu yang harus ditaati perusahaan agar perusahaan lain pun mempunyai kesempatan yang sama dengan perusahaan ini, misalkan batasan harga produk. Inilah yang membuat perusahaan yang merasa mampu menguasi pasar melakukan usaha -usaha  tertentu agar dapat mensiasati regulasi itu. Salah satu usaha  yang dapat dilakukan perusahaan itu adalah dengan mengatur informasi dalam laporan keuangannya. Informasi yang seharusnya mengungkapkan nilai fundamental perusahaan direkayasa sedemikian rupa sehingga nilai perusahaan yang diungkapkan dalam laporan keuangan itu menjadi lebih rendah dibanding nilai sesungguhnya. usaha  ini dilakukan agar perusahaan masuk dalam skala dan kategori usaha tertentu yang diijinkan untuk melakukan apa yang sebelumnya tidak boleh dilakukan jika skala dan kategorinya lain. usaha  manajemen laba ini juga dilakukan perusahaan yang melakukan monopoli untuk memberi kesan bahwa praktik monopoli itu tidak memberi keuntungan. Untuk itu perusahaan mengatur agar laba yang diinformasikan dalam laporan keuangannya menjadi kelihatan lebih kecil dibanding laba yang sesungguhnya. Selain itu aktivitas rekayasa manajerial ini dilakukan sebuah perusahaan untuk mengatur laba pada saat perusahaan dijatuhi denda oleh pemerintah sebab  ketahuan melanggar regulasi anti-trust dan persaingan tidak sehat itu. Agar denda yang harus ditanggung bisa seminimal mungkin, maka perusahaan mengatur agar nilai perusahaan dan labanya menjadi lebih kecil dibandingkan nilai perusahaan dan laba sesungguhnya. Hal ini bila  denda dihitung atas dasar nilai perusahaan atau laba yang diperoleh perusahaan pada periode dilakukannya pelanggaran regulasi itu.        



   



PANDANGAN DAN IMPLIKASI   

 Ada perbedaan mendasar antara praktisi dan akademisi dalam memandang dan memahami manajemen laba. Secara umum para praktisi, yaitu investor, pemerintah, asosiasi profesi, dan pelaku ekonomi lainnya, menganggap manajemen laba sebagai kecurangan manajerial. Alasannya, aktivitas rekayasa manajerial ini dilakukan untuk menyesatkan dan merugikan pihak lain yang memakai  laporan keuangan sebagai sumber informasi untuk mengetahui segala sesuatu tentang perusahaan. Apalagi secara empiris terbukti bahwa manajemen laba merupakan salah satu faktor yang menyebabkan hancurnya tatanan ekonomi, etika, dan moral suatu bangsa. Manajemen laba tidak hanya membuat perusahaan yang melakukannya mengalami kesulitan tetapi secara makro juga telah mengakibatkan kesulitan ekonomi semua pihak. Selain itu  

manajemen laba telah mengakibatkan skandal keuangan internasional yang melibatkan dan membuat banyak pihak di berbagai negara mengalami kesulitan ekonomi.    Secara teoritis aktivitas rekayasa manajerial ini mempengaruhi besar kecilnya laba yang diinformasikan perusahaan dalam laporan keuangannya. Padahal laporan keuangan merupakan sumber informasi bagi stakeholder untuk membuat keputusan ekonomi. bila  informasi mengenai perusahaan dapat dipermainkan maka keputusan ekonomi yang dibuat stakeholder pun diragukan kebenarannya. Atau dengan kata lain, ketepatan keputusan stakeholder ditentukan oleh kebenaran informasi yang diterimanya, sehingga bila  dasar yang dipakai salah maka keputusan yang dibuatnya pun menjadi ikut salah. Maka sangat tidak mengherankan jika manajemen laba disebut sebagai biang keladi hancurnya tatanan ekonomi. Alasan inilah yang membuat mengapa manajemen laba sebagai permasalahan harus diselesaikan meski bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Sementara akademisi, termasuk para peneliti, menilai manajemen laba bukan sebagai kecurangan sebab aktivitas rekayasa manajerial ini pada dasarnya merupakan dampak dari spektrum prinsip akuntansi berterima umum yang luas. Secara konseptual prinsip akuntansi memang menyediakan beragam metode dan prosedur yang bebas dipilih dan dipergunakan suatu perusahaan sesuai dengan keinginannya. Ada lebih dari satu metode dan prosedur untuk satu komponen tertentu yang bisa dipergunakan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai perusahaan. Selain itu perusahaan juga diperbolehkan untuk mengganti satu metode dan prosedur akuntansi yang selama ini telah dipergunakan dengan metode dan prosedur akuntansi yang lain. Bahkan prinsip akuntansi juga mengijinkan suatu perusahaan untuk menyajikan ulang (restatement) laporan keuangan beberapa periode lalu. Artinya, laporan keuangan yang pernah disajikan dapat ditarik kembali untuk diganti dengan laporan keuangan yang baru yang memakai  metode dan prosedur akuntansi berbeda dengan yang dipakai sebelumnya. Oleh sebab itu bisa dikatakan bahwa perbedaan pemahaman terhadap manajemen laba disebabkan perbedaan sudut pandang antara satu pihak dengan pihak yang lain. Meskipun fakta empiris menunjukkan manajemen laba telah membuat dipertanyakan dan diragukannya integritas dan kredibilitas dunia usaha dan akuntan serta kelayakan standar akuntansi. Namun demikian wacana untuk membuat standar  

akuntansi menjadi dogmatis tidak pernah populer dikalangan praktisi maupun akademisi. Kedua pihak sepakat bahwa usaha  untuk mendogmatisasi standar akuntansi bukan merupakan jalan keluar yang baik untuk nenyelesaikan masalah manajemen laba. Alasannya, standar akuntansi merupakan sebagian dari metode dan prosedur akuntansi yang tercakup dalam prinsip akuntansi berterima umum. Padahal prinsip akuntansi merupakan sekumpulan metode dan prosedur akuntansi yang dipraktikkan dalam pengelolaan perusahaan. Artinya, beragamnya metode dan prosedur akuntansi merupakan hasil dari praktik sehari-hari sejumlah perusahaan di seluruh dunia. Alasan itulah yang membuat mengapa sampai saat ini standar akuntansi tetap sekumpulan metode dan prosedur akuntansi untuk setiap komponen laporan keuangan. usaha  membuat satu metode dan prosedur untuk satu komponen tetap menjadi wacana yang hanya bisa didiskusikan. Apalagi pada dasarnya setiap perusahaan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan perusahaan lain dan setiap industri mempunyai karakteristik yang berbeda dengan industri lain. Perbedaan karakteristik inilah yang mengakibatkan setiap perusahaan atau industri terpaksa memakai  metode atau prosedur akuntansi yang berbeda dengan perusahaan atau industri lain. Sebagai contoh adalah metode dan prosedur akuntansi yang dipakai oleh industri manufaktur dengan perbankan (keuangan). Seharusnya setiap industri memakai  metode dan prosedur akuntansi sesusai dengan karakteristiknya, namun pada kenyataannnya setiap industri yang bebas memilih dan memakai  metode dan standar akuntansi industri lain.  Inilah sebabnya mengapa ada pihak yang menyebut manajemen laba sebagai fleksibilitas standar akuntansi.         A.  PANDANGAN TERHADAP MANAJEMEN LABA Ada perbedaan pandangan antara praktisi dengan akademisi terhadap manajemen laba. Secara konseptual perbedaan pandangan disebabkan perbedaan sudut pandang kedua pihak terhadap aktivitas rekayasa manajerial ini. Para praktisi menilai manajemen laba sebagai permasalahan yang harus segera diselesaikan sebab secara signifikan mempengaruhi laba perusahaan dan keputusan yang dibuat stakeholder. Apalagi jika aktivitas rekayasa manajerial ini dilakukan untuk menyesatkan dan merugikan pihak lain. Sementara para akademisi menilai manajemen laba bukan sebagai masalah yang berarti sebab aktivitas rekayasa manajerial tidak mempunyai  

pengaruh yang signifikan terhadap laba yang dilaporkan dalam laporan keuangan. Alasannya, aktivitas rekayasa ini hanya merupakan dampak dari luasnya spektrum prinsip akuntansi berterima umum. Oleh sebab itu ada pandangan yang menyatakan bahwa usaha  untuk mengeliminasi manajemen laba adalah dengan melakukan koreksi terhadap standar akuntansi yang diterima dan dipakai secara umum. 1. Manajemen Laba Sebagai Kecurangan Perbedaan pandangan ini secara langsung mempengaruhi persepsi seseorang terhadap manajemen laba. Sebagian pihak mempunyai persepsi bahwa manajemen laba mencerminkan perilaku tidak etis seorang manajer untuk menipu pihak lain dengan memakai  informasi-informasi dalam laporan keuangan. Laporan  keuangan sebagai sumber informasi bagi stakeholder untuk mengetahui segala sesuatu tentang perusahaan direkayasa sedemikian rupa sehingga pihak ini keliru dalam menilai perusahaan. Padahal penilaian ini secara signifikan akan mempengaruhi keputusan-keputusan yang dibuat oleh pemakai laporan keuangan. Maka bisa dikatakan bahwa semakin besar angka dan komponen yang direkayasa berarti semakin besar pula tingkat kesalahan yang dilakukan para pemakai laporan keuangan. Atau semakin tidak berkualitas informasi dalam laporan keuangan akan membuat semakin tidak tepat dan berkualitas pula keputusan yang dibuat stakeholder. Oleh sebab itu bisa disimpulkan bahwa tingkat ketepatan dan kualitas keputusan stakeholder sangat dipengaruhi oleh validitas dan kualitas informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Untuk itu, agar dapat menjadi sumber informasi yang berkualitas, laporan keuangan harus disusun dengan memenuhi syarat kualitatif tertentu agar mampu menyajikan informasi yang validitasnya dapat dipercaya. Meski disisi lain standar akuntansi memang memberi kebebasan untuk memilih dan memakai  metode dan prosedur akuntansi sesuai dengan kebutuhannya. Secara konseptual kebebasan inilah yang menjadi salah salah satu pemicu manajemen laba, yang sampai saat ini masih diperdebatkan sebagai kecurangan atau bukan. Beberapa pihak menyatakan aktivitas rekayasa manajerial ini dianggap kecurangan bila  perusahaan melakukan perbuatan-perbuatan sebagai berikut:  

a. Mencatat penjualan sebelum dapat direalisasi Aktivitas rekayasa ini dilakukan dengan mencatat penjualan sebelum dapat direalisasi. Aktivitas semacam ini bertentangan dengan prinsip konservatisme akuntansi yang menyatakan bahwa suatu transaksi atau peristiwa dapat diakui dan dicatat sebagai pendapatan bila  perusahaan dapat memastikan bahwa pendapatan itu kemungkinan besar dapat terealisir dimasa depan. Sementara transaksi atau peristiwa yang belum dapat dipastikan apakah akan dapat terealisir dimasa depan tidak diijinkan untuk diakui dan dicatat dalam laporan keuangan yang disusunnya. b. Mencatat penjualan fiktif Aktivitas rekayasa ini dilakukan dengan mencatat penjualan fiktif. Artinya, perusahaan memalsukan transaksi penjualan yang sebenarnya belum atau tidak pernah dilakukannya. usaha  semacam ini dilakukan perusahaan dengan mengakui dan mencatat barang konsinyasi atau barang yang baru dikirim kepada pembeli sebagai barang yang telah terjual. Lebih parah lagi adalah dengan mengakui dan mencatat transaksi-transaksi yang sebenarnya tidak pernah ada atau tidak pernah dilakukan sama sekali. c. Mengundurkan tanggal bukti pembelian Aktivitas rekayasa ini dilakukan dengan mengundurkan tanggal bukti pembelian. Hal ini dilakukan untuk mengatur tingkat laba sesuai yang diinginkan manajer perusahaan. bila  pada suatu periode kinerja perusahaan lebih rendah dari kinerja yang ditargetkan maka perusahaan akan menunda pengakuan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pembelian itu. Hal ini dilakukan agar kinerja perusahaan kelihatan bagus dari periode ke periode meskipun sebenarnya dalam periode tertentu perusahaan mengeluarkan biaya cukup tinggi.  d. Mencatat persediaan fiktif Aktivitas rekayasa ini dilakukan dengan mencatat persediaan fiktif. Hal ini dilakukan agar nilai aktiva perusahaan menjadi lebih besar daripada nilai sesungguhnya. usaha  ini dilakukan agar perusahaan kelihatan mempunyai aktiva lebih besar dibandingkan aktiva yang sesungguhnya dimiliki, sehingga akan meningkatkan kinerja solvabilitas perusahaan bersangkutan.  

2. Manajemen Laba Bukan Kecurangan Sementara pihak lain mempunyai persepsi bahwa manajemen laba bukanlah kecurangan yang dilakukan manajer perusahaan. Apalagi jika aktivitas ini dilakukan manajer dalam kerangka prinsip akuntansi berterima umum. Pendapatan ini sesuai dengan kenyataan yang menunjukkan bahwa manajemen laba berada di daerah abu-abu (grey area) antara aktivitas yang diijinkan prinsip akuntansi dan kecurangan. Apalagi pada dasarnya manajemen laba sulit untuk diobservasi oleh pemakai laporan keuangan. Prinsip akuntansi yang menyatakan bahwa manajer harus mengungkapkan secara lengkap semua informasi dalam pelaporan keuangan juga tidak mampu membuat pemakai laporan keuangan mengetahui apakah perusahaan itu melakukan manajemen laba atau tidak.   Secara konseptual seharusnya perusahaan mengungkapkan laba yang sesungguhnya diperoleh dari aktivitas-aktivitasnya, namun demikian akuntansi memberi kesempatan perusahaan untuk secara konservatisme dan agresivisme dalam mengakui dan mencatat suatu transaksi atau peristiwa yang dilakukan dan dialaminya. Akuntansi memang tidak mengharuskan suatu perusahaan untuk selalu mengakui dan mencatat suatu transaksi atau peristiwa sesuai dengan kejadian yang sesungguhnya. Atau dengan kata lain, perusahaan tidak selalu harus menginformasikan laba yang sesungguhnya diperoleh selama satu periode tertentu dalam laporan keuangannya.   a.  Akuntansi konservastif Akuntansi konservatif adalah proses akuntansi untuk mengakui dan mencatat suatu transaksi atau peristiwa secara berhati-hati sehingga perusahaan tidak akan mengalami kesulitan dimasa depan. Untuk itu perusahaan akan menghemat atau membuat cadangan dengan mengakui dan mencatat suatu transaksi atau peristiwa yang terjadi saat ini untuk dipakai dimasa depan pada saat diperlukan. Sebagai contoh adalah mempercepat pengakuan provisi dan cadangan, melebih-lebihan nilai yang diperoleh dalam proses R&D dalam pendapatan penjualan, dan membesar-besarkan biaya restrukturisasi dan penghapusan aktiva.  b.  Akuntansi agresif  Sementara akuntansi agresif adalah proses akuntansi untuk mengakui dan mencatat suatu transaksi atau peristiwa secara eksploratif. Sebagai contoh adalah  

mengecilkan catatan provisi piutang tak tertagih dan menarik kebawah provisi atau cadangan. Secara konseptual kedua model akuntansi dapat membuat informasi laba dalam laporan keuangan menjadi lebih kecil atau lebih besar daripada laba sesungguhnya. Alasan inilah yang menjadi dasar dari pendapat yang menyatakan bahwa manajemen laba bukanlah tindakan rekayasa yang mengarah pada kecurangan.     

   Meskipun demikian sebenarnya ada benang merah antara kedua pendapat itu, yaitu adanya kesepakatan bahwa manajemen laba merupakan usaha  manajerial untuk mempengaruhi informasi-informasi dalam laporan keuangan. usaha  ini dilakukan sesuai dengan keinginan manajer sehingga pola rekayasa itu bisa penaikkan laba,  

perataan laba, maupun penurunan laba. Hal ini dilakukan dengan memperbesar atau mengecilkan pendapatan dan biaya periode berjalan. Selain itu kedua pendapat ini sebenarnya juga sepakat bahwa ada pihak yang dirugikan akibat manajemen laba. Perbedaannya, pendapat yang satu menyatakan usaha  manajerial itu dilakukan dengan melanggar prinsip akuntansi sedang  pendapat lain menyatakan bahwa manajemen sebenarnya merupakan cermin dari fleksibilitas standar akuntansi. Oleh sebab itu ada pihak yang mengatakan bahwa usaha  untuk mengeliminasi manajemen laba merupakan usaha  untuk mengkoreksi standar akuntansi yang berlaku.       B.  PEMAHAMAN ETIS TERHADAP MANAJEMEN LABA  Ada sisi positif sejalan dengan perkembangan riset -riset  akuntansi selama beberapa dekade terakhir ini. bila  pada awalnya riset  akuntansi hanya terfokus pada angka-angka dalam laporan keuangan, pada saat ini riset  akuntansi mulai membahas pemahaman etika dan tanggung jawab sosial yang mendasari seseorang saat  mencatat transaksi dan menyusun laporan keuangan. Alasannya, ada perbedaan pemahaman etis dan tanggung jawab sosial antara satu orang dengan orang lain dalam memahami suatu peristiwa tertentu. Perbedaan ini membuat apa yang dihasilkan antara satu orang dengan orang lain berbeda meski kedua orang ini melakukan hal yang sama. Alasan inilah yang menjelaskan mengapa laporan keuangan disebut sebagai cermin perilaku etis dan tanggung jawab sosial orang yang menyusun informasi itu.  Oleh sebab itu ada pihak yang menyatakan bahwa angka-angka yang disajikan dalam laporan keuangan tidak hanya dipengaruhi oleh kinerja perusahaan namun juga dipengaruhi oleh pemahaman etis dan tanggung jawab sosial seseorang terhadap kepentingan publik. Artinya, laporan keuangan tidak lagi hanya mencerminkan kondisi dan kinerja suatu perusahaan yang sesungguhnya namun juga mencerminkan sikap etis dan tanggung jawab sosial pribadi orang yang menyusun informasi itu. Alasan ini yang mendasarinya mengapa saat ini semakin banyak riset -riset  empiris yang mencoba mengetahui dan mengurai sikap etis dan tanggung sosial sosial seseorang saat  membuat laporan keuangan. Untuk itulah selama beberapa tahun terakhir dikembangkan berbagai macam instrumen untuk mengidentifikasi pemahaman etis dan  

tanggung jawab sosial seseorang. Selain itu juga dikembangkan instrumen untuk mengidentifikasi pemahaman seseorang terhadap aktivitas manajemen laba. 

 Ada hubungan sebab akibat yang dikembangkan untuk menjelaskan mengapa pemahaman etika dan tanggung jawab sosial seseorang dapat mempengaruhi pemahaman orang itu terhadap manajemen laba. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa etika yang dipegang dan tanggung jawab sosial terhadap lingkungannya dapat mempengaruhi keputusan seseorang untuk melakukan manajemen laba. Alasannya, pemahaman seseorang terhadap etika mempengaruhi pandangannya terhadap manajemen laba. Oleh sebab itu semakin positif pemahaman etis dan tanggung jawab sosial seorang terhadap lingkungannya semakin tinggi pula pemahamannya bahwa manajemen laba merupakan aktivitas yang sebaiknya tidak dilakukan, apalagi untuk membohongi stakeholder yang membutuhkan informasi-informasi yang disajikannya. Sebaliknya semakin negatif pemahaman etis dan tanggung jawab sosial seorang terhadap lingkungan maka semakin rendah pula pemahamannya bahwa manajemen laba merupakan aktivitas yang sebaiknya tidak dilakukan.   

Secara konseptual apa yang dijelaskan di atas memang dapat diterima meski kenyataannya apa yang terjadi sangat berbeda dengan konsep itu. Seorang manajer yang melakukan manajemen laba tidak selalu disebabkan nilai-nilai etika yang dipegangnya rendah. Selain itu seorang manajer yang melakukan aktivitas rekayasa manajerial tidak selalu bisa dihubungkan dengan rendahnya tanggung jawab sosialnya. Manajemen laba bisa terjadi disebabkan adanya tekanan keuangan yang ditanggung seorang manajer meskipun manajer itu memegang teguh nilai-nilai etika dan tanggung jawab sosialnya. Bahkan sebuah hasil riset  menyatakan bahwa 95% aktivitas rekayasa ini disebabkan tekanan keuangan yang dialami seseorang. Hal ini tentu menarik dibahas mengingat tekanan finansial sebenarnya fenomena yang tidak hanya dialami seorang manajer tetapi oleh seluruh manusia di dunia ini.      Hal ini sejalan dengan perspektif manajemen laba yang tidak lagi hanya terfokus pada riset  akuntansi angka-angka yang ada dalam laporan keuangan saja (perspektif informasi), namun juga mencoba mengurai motivasi apa yang mendasari seseorang saat  menyusun laporan keuangan (perspektis oportunis). Untuk ini, riset  akuntansi tidak hanya memakai  dasar informasi dalam laporan keuangan, namun juga memakai  informasi lain dan data-data primer untuk melakukan analisis empirisnya. Hingga kesimpulan yang dihasilkannya lebih komprehensif, valid, dan robust. Oleh sebab  itu  bisa dikatakan bahwa riset  dan analisis empiris terhadap manajemen laba sebenarnya merupakan usaha  untuk mengetahui dan menganalisis berbagai motivasi mendasari dan mendorong seseorang saat  mancatat transaksi dan peristiwa bisnis, selain ingin menyediakan informasi bagi pihak lain. Untuk beberapa peneliti telah mencoba mengembangkan kuisioner sebagai alat untuk menguji manajemen laba dari sudut pandang oportunis ini. riset -riset  semacam ini tidak hanya memakai  laporan keuangan sebagai basis telaah dan analisis namun juga data empiris mengenai perilaku, motivasi, persepsi, dan pemahaman etis seseorang dalam proses membuat laporan keuangan itu. Hal ini sejalan dengan perkembangan perspektif manajemen laba yang tidak lagi hanya dalam konsteks informasi namun juga dalam perspektif perilaku oportunis. Artinya, riset -riset  itu tidak hanya terfokus pada usaha  untuk mendeteksi keberadaan dan konsekuensi manajemen laba, tetapi meluas menjadi riset  untuk mengetahui mengapa seorang manajer melakukan rekayasa itu. Bahkan pada usaha  untuk  

mengidentifikasi pandangan, pemahaman, dan motivasi apa yang mendorong seseorang untuk melakukan manajemen laba. Alasan inilah yang mendasari mengapa riset -riset  ini tidak hanya memakai  laporan keuangan perusahaan tetapi memakai  kuisioner sebagai basis pengumpulan data.  

Ada berbagai fakta empiris yang menunjukkan bahwa perilaku etis merupakan faktor utama yang mempengaruhi seorang manajer untuk melakukan aktivitas rekayasa manajerial ini. Demikian juga riset  yang menguji persepsi etika seseorang juga mempunyai hubungan positif dengan persepsi manajemen laba yang dipahami orang itu. Sebagai contoh adalah riset  yang menguji menguji sikap mahasiswa dan praktisi berkaitan dengan akseptabilitas etis rekayasa keuangan menyimpulkan bahwa mahasiswa dan praktisi mempunyai beberapa sensitivitas yang sama untuk praktik rekayasa manajerial ini. Sementara riset  yang lain menguji etika praktik manajemen laba para praktisi, akademisi, dan mahasiswa akuntansi. riset  ini membedakan antara etika dan tanggung jawab sosial dan filosofi moral individu terhadap praktik rekayasa manajerial ini. Hasilnya, adanya hubungan positif antara  

tanggung jawab sosial, idealisme dan persepsi etis terhadap manajemen laba dan hubungan negatif antara realitivisme dan persepsi etis terhadap aktivitas rekayasa manajerial itu.  Sebuah riset  eksperimental (experimental study) untuk menguji sikap etis mahasiswa terhadap rekayasa keuangan juga menyimpulkan sikap etis mahasiwa sangat dipengaruhi oleh pemahaman mereka tentang makna aktivitas rekayasa manajerial itu. Selain itu perbedaan pemahaman terhadap manajemen laba juga bisa dipengaruhi oleh perbedaan individual ideologi etis yang dipercaya sebagai kunci utama pembuatan keputusan etis. Sebuah riset  yang membedakan ideologi etis dalam dimensi, yaitu: relativisme dan idealisme, membuktikan adanya hubungan positif antara idealisme dan keputusan moral, sebaliknya dengan relativisme. Alasan-alasan ini yang menjelaskan mengapa pentingnya etika perlu diberikan kepada mahasiswa pada saat menemupuh studinya. Meski sampai saat ini hanya sedikit dosen yang menyisipkan etika saat  memberikan kuliah di kelas dan memberikan alasan mengapa mereka membahas masalah etika ini. Beberapa dari dosen-dosen bahkan yakin dan percaya bahwa etika sangat penting diberikan kepada mahasiswa untuk membangun sikap dan perilaku mahasiswa, sebab  secara signifikan memang ditemukan bukti adanya hubungan positif antara sikap dan perilaku mahasiswa dengan materi yang diterimanya saat  belajar di perguruan tinggi. Fenomena ini semakin menarik untuk dibahas sebab  fakta empiris juga menunjukkan ada perbedaan pemahaman etika, tanggung jawab sosial, dan manajemen laba yang disebabkan perbedaan geografis. Sebuah riset  yang memakai  responden manajer dari negara yang berbeda, yaitu Rusia dan Amerika, membuktikan adanya perbedaan persepsi etis terhadap praktik rekayasa keuangan yang dilakukan perusahaan-perusahaan di negara-negara itu. Secara konseptual perilaku etis manajer puncak atau pembuat keputusan memang dipengaruhi oleh situasi yang terjadi pada saat itu. Atau dengan kata lain manajer melakukan rekayasa keuangan sangat tergantung pada perilaku etis manajer pada saat menghadapi situasi tertentu. Inilah yang bisa menjelaskan mengapa ada perbedaan persepsi etis terhadap manajemen laba antara manajer di negara-negara yang berbeda. Setiap negara mempunyai situasi, peraturan, serta kehidupan bisnis dan politik yang berbeda. Perbedaan-perbedaan inilah yang menyebabkan adanya perbedaan persepsi etis itu. Namun perbedaan persepsi etis  

terhadap manajemen laba ini tidak dipengaruhi oleh perbedaan gender. Artinya tidak ada perbedaan persepsi etis antara pria dan wanita.  

 C.  IMPLIKASI MANAJEMEN LABA Ada yang patut dipertanyakan mengapa manajemen laba banyak dipraktikkan oleh dunia usaha di berbagai negara. Pertanyaan ini layak diajukan mengingat implikasi aktivitas rekayasa manajerial ini tidak hanya menghancurkan tatanan ekonomi namun  

juga tatanan etika dan moral. Apalagi hal ini juga telah membuat membuat publik mempertanyakan integritas para pengelola perusahaan, pemerintah, pembuat regulasi, asosiasi profesi, dan akuntan publik, dan lain-lain. Selain itu publik juga mempertanyakan kelayakan berbagai regulasi yang selama ini dipakai untuk mengatur dunia usaha, termasuk standar akuntansi. Alasannya, mengapa standar akuntansi sedemikian mudah diselewengkan untuk menyembunyikan kecurangan-kecurangan manajerial. Laporan keuangan sebuah perusahaan yang seharusnya disusun sesuai dengan standar akuntansi justru dimanipulasi dengan memanfaatkan berbagai metode dan prosedur yang tercakup dalam standar itu sendiri.  Secara konseptual memang sangat mudah untuk merekayasa informasi-informasi dalam laporan keuangan. Apalagi pada dasarnya laporan keuangan hanya merupakan pencatatan yang mudah untuk diubah, dipalsukan, disembunyikan, atau ditunda waktu pengungkapan informasi-informasinya. Hingga informasi apa yang disajikan dalam laporan keuangan sangat tergantung pada pihak-pihak tertentu. Pihak ini tidak akan mengungkapkan suatu informasi jika merasa tidak akan memperoleh manfaat apapun. Sebaliknya, pihak ini akan mengubah, memalsukan, menyembunyikan, atau menunda suatu informasi jika merasa ada manfaat yang akan diperolehnya dari usaha  ini. Oleh sebab itu bisa dikatakan bahwa kualitas laporan keuangan sangat tergantung pada motivasi dan perilaku etis pihak yang membuat informasi ini.       Meski sekedar masalah pencatatan namun informasi-informasi dalam laporan keuangan bisa mempengaruhi keputusan ekonomi yang dibuat oleh stakeholder perusahaan. Hal ini disebabkan laporan keuangan merupakan salah satu sumber informasi utama bagi stakeholder, khususnya untuk stakeholder yang tidak mempunyai sumber dan akses yang memadai untuk memperoleh informasi lain mengenai perusahaan. Inilah yang menyebabkan mengapa manajer perusahaan mudah untuk mempermainkan informasi-informasi dalam laporan keuangan. Apalagi untuk melakukan hal ini seorang manajer tidak perlu harus melanggar peraturan apapun. Standar akuntansi seolah-olah memfasilitasi aktivitas rekayasa manajerial ini. Oleh sebab itu bisa dikatakan bahwa kualitas keputusan yang dibuat stakeholder tergantung pada kualitas informasi yang diungkapkan perusahaan. Manajemen laba sebenarnya merupakan permasalahan agensi yang muncul dari penyerahan pengelolaan perusahaan. Hal ini dilakukan sejalan dengan semakin  

membesar, melebar dan meluasnya hubungan bisnis yang dijalin perusahaan. Perkembangan inilah yang membuat perlunya keterlibatan orang luar yang diberi wewenang untuk mengelola perusahaan secara penuh. Pemilik tidak lagi harus mengoperasikan perusahaan secara langsung, namun cukup menyerahkan hak dan kewenangan pengelolaan pada pihak lain yang dinilai lebih mampu. Pemilik hanya bertugas mengawasi, mengendalikan, dan meminta pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan orang itu. Inilah awal berkembangnya teori agensi dalam dunia usaha.   Secara khusus Jensen dan Meckling pada tahun 1974 berusaha mendefinisikan hubungan agensi sebagai sebuah kontrak antara seseorang atau lebih meminta orang lain untuk melakukan jasa tertentu demi kepentingannya. Untuk itu orang ini atau pemilik perusahaan akan mendelegasikan wewenang untuk mengerjakan sesuatu yang seharusnya dilakukannya kepada orang yang dipilihnya atau disebut dengan manajer. Pendelegasian wewenang ini menjadi sebuah keharusan dalam hubungan agensi agar manajer mempunyai kesempatan yang luas untuk menjalankan tugasnya, sekaligus mempertanggungjawabkan apa yang telah dikerjakannya kepada pemilik perusahaan. Secara konseptual hubungan agensi ini seharusnya dapat membuat perusahaan meningkat nilainya sebab  dikelola oleh orang yang mengetahui dan memahami bagaimana menjalankan usaha serta diawasi secara ketat oleh pemilik, namun yang terjadi justru sebaliknya. Namun permasalahan agensi akan muncul bila  salah satu pihak mempunyai keinginan untuk memaksimalkan kesejahteraanya (moral hazard), meski harus merugikan pihak lain.   Keinginan untuk memaksimalkan kesejahteraan pribadi ini sesuai dengan konsep resourceful, evaluative, maximizing model. Konsep ini menyatakan bahwa sebagai manusia pihak-pihak yang menjalin hubungan agensi tidak dapat melepaskan diri dari sifat alamiah kemanusiaannya. Manusia mempunyai kemampuan untuk menilai dan memanfaatkan apa yang ada disekitarnya untuk memaksimalkan kesejahteraannya. Manusia tidak akan melepaskan setiap kesempatan yang ada disekitarnya untuk kemakmurannya. Manusia selalu dapat memilih sesuatu yang dapat dipakai  untuk memaksimalkan kesejahterannya. Manusia selalu berusaha untuk meraih semua hal yang dapat meningkatkan kesejahterannya. Oleh sebab itu model ini memakai  empat buah postulat mengenai perilaku manusia untuk menjelaskan konsep di atas.   

1. Setiap manusia care dan evaluator.  Manusia yang carefulness dan evaluativeness akan mempunyai kecenderungan untuk peduli dengan semua hal (thing), misalkan pengetahuan, honor, status, dan kekayaan. Selain itu setiap manusia juga mempunyai kecenderungan selalu ingin menciptakan trade-off dan subtitusi dengan mengorbankan sejumlah barang tertentu dengan nilai yang relatif rendah untuk memperoleh barang lain yang nilai lebih besar. Manusia juga mempunyai kecenderungan untuk menilai apa yang sebaiknya dilakukan dan sebaiknya tidak dilakukannya. Orang akan selalu mempunyai preferensi yang transitif. 2. Keinginan manusia tidak terbatas.  Manusia mempunyai keinginan yang tidak terbatas. Artinya, bila  barang tertentu mempunyai nilai positif maka manusia lebih menyukainya dengan jumlah yang lebih banyak. Manusia juga tidak dapat jenuh sehingga manusia selalu menginginkan lebih banyak thing, tanpa memandang apakah tangible atau intangible. Inilah yang membuat manusia selalu berusaha mencari sesuatu yang dapat memuaskan keinginannya. 3. Setiap manusia adalah pemaksimum (maximizer).  Manusia akan bertindak sedemikian rupa sehingga ia dapat menikmati nilai pada tingkat setinggi mungkin. Meskipun demikian model ini mengakui bahwa manusia selalu menghadapi kendala-kendala dalam memuaskan keinginannya. Kekayaan, waktu, dan hukum alam adalah kendala-kendala penting yang mempengaruhi kesempatan yang tersedia bagi manusia.  4. Setiap manusia adalah resourceful.  Manusia dipandang sebagai makluk yang kreatif, sehingga manusia akan mampu untuk mengkonsepsikan perubahan lingkungan, meramal konsekuensi dari perubahan itu, dan merespon kesempatan baru. Oleh sebab itu setiap manusia akan selalu memanfaatkan apapun yang dapat memberinya kepuasaan.  Empat postulat ini merupakan dasar untuk mempelajari perilaku oportunis manajer dalam teori keagenan ini. Secara konseptual manajer adalah self-interested atau maximizer. Maka sebagai pemaksimum utilitas manajer mempunyai kecenderungan untuk tidak selalu bekerja demi kepentingan pemilik perusahaan. Ada ketidakselarasan perilaku atau tujuan antara pemilik dan manajer perusahaan (disfunctional behavior)  

yang disebut dengan agency cost dalam hubungan keagenan ini. Teori agensi merupakan pengorbanaan yang timbul dari hubungan keagenan apapun, termasuk hubungan didalam kontrak kerja antara pemegang saham dan manajer perusahaan. Oleh sebab itu, dalam hubungan keagenan, setiap pihak alan menanggung biaya keagenan,  tidak hanya prinsipal tetapi juga agen.  Inilah yang membuat setiap pihak harus menanggung implikasi manajemen laba yang dilakukan manajer perusahaan. Manajer perusahaan harus menanggung implikasi manajemen laba yang berupa kemungkinan kesulitan keuangan atau kebangkrutan dimasa depan. Investor harus menanggung implikasi berupa hilangnya kesempatan memperoleh return dan kehilangan modal yang telah ditanamkannya. Pemerintah harus menanggung implikasi berupa kehilangan kesempatan untuk memperoleh pajak. Regulator harus menanggung implikasi berupa hilangnya integritas dan kredibilitas sebab  regulasinya mudah dipermainkan. Kreditur harus menanggung implikasi berupa kehilangan kesempatan memperoleh return dan dana yang dipinjamkan kepada perusahaan bersangkutan. Masyarakat harus menanggung implikasi berupa hancurnya perekonomian.      1. Implikasi terhadap perekonomian Secara konseptual sistem perekonomian suatu negara merupakan sub sistem dari sistem perekonomian internasional. sedang  sistem perekonomian nasional merupakan sebuah kumpulan dari para pelakunya, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Apa yang dilakukan dan dialami salah satu elemen secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi elemen yang lain. Maka sebagai salah satu elemen dalam sistem perekonomian apa yang dilakukan dan dialami oleh dunia usaha juga akan dirasakan dampaknya oleh pemerintah dan masyarakat, demikian pula sebaliknya. Oleh sebab itu manajemen laba yang dilakukan sebuah perusahaan tidak hanya mempengaruhi kondisi perusahaan bersangkutan, tetapi secara makro juga mempengaruhi perusahaan-perusahaan lain, stakeholder, publik, bahkan secara internasional mempengaruhi kondisi perekonomian negara-negara lain. a. Implikasi terhadap perekonomian mikro Secara mikro perusahaan yang melakukan aktivitas rekayasa manajerial ini akan mengalami kesulitan-kesulitan keuangan yang berujung pada kebangkrutan. Ada alasan logis yang dapat menjelaskan mengapa hal itu bisa terjadi. Secara  

konseptual sekali melakukan manajemen laba maka suatu perusahaan terpaksa melakukan aktivitas ini selamanya. Alasannya, untuk menyembunyikan manajemen laba maka perusahaan harus menutupinya dengan manajemen laba juga, demikian seterusnya. Sementara manajemen laba tidak mungkin dilakukan terus menerus oleh suatu perusahaan. Oleh sebab itu pada suatu saat  perusahaan akan kehilangan kemampuannya melakukan aktivitas rekayasa manajerial ini. Oleh sebab itu meski dapat disembunyikan dalam jangka pendek namun dalam jangka panjang perusahaan tidak mungkin mampu melanjutkan aktivitas rekayasanya itu.  b. Implikasi terhadap perekonomian makro Secara makro manajemen laba telah membuat dunia usaha seolah telah berubah menjadi sarang pelaku korupsi, kolusi, dan berbagai penyelewengan lain yang merugikan masyarakat. bila  informasi-informasi dalam laporan keuangan yang dipublikasikan perusahaan telah direkayasa sesuai dengan kepentingan pihak-pihak tertentu maka bisa dibayangkan keputusan seperti apa yang dihasilkannya. Padahal laporan keuangan merupakan sumber utama bagi stakeholder dalam membuat keputusan ekonomi. Dampak buruk ini tidak hanya berhenti sampai disini sebab keputusan-keputusan itu secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kehidupan masyarakat. Hingga tidak hanya stakeholder yang dirugikan tetapi juga pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan perusahaan. Alasan inilah yang mendorong publik menuntut agar dunia usaha dikelola secara lebih sehat, bersih, dan bertanggung jawab. c. Implikasi terhadap perekonomian internasional  Selain perekonomian suatu negara maka aktivitas rekayasa manajerial ini juga dapat mempengaruhi perekonomian internasional. Alasannya, globalisasi ekonomi membuat perekonomian nasional suatu negara seakan-akan telah menyatu dengan perekonomian nasional negara lain. Antara satu negara dengan negara lain seakan-akan mempunyai satu sistem perekonomian yang mengikat dan mempengaruhi satu dengan yang lain. Hingga krisis ekonomi yang melanda suatu negara secara langsung maupun tidak langsung akan dirasakan dampaknya di negara-negara lain. Selain itu semakin banyaknya perusahaan multinasional  

yang beroperasi di berbagai negara juga merupakan faktor mengapa kecurangan keuangan ini tidak hanya mempengaruhi perekonomian suatu negara. Sebagai perusahaan multinasional maka apa yang dilakukan dilakukan cabangnya di suatu negara tertentu juga merupakan tanggung jawab afiliasinya di negara-negara lain.  Oleh sebab itu tidak aneh bila  kasus creative accounting di Inggris tidak hanya menyebabkan good corporate governance menjadi perhatian publik setempat tetapi juga menjadi perhatian dunia. Contoh lain adalah kasus konspirasi KAP Arthur Anderson & Co. dengan kliennya ternyata tidak hanya merontokkan KAP Arthur Anderson & Co. di Amerika Serikat, namun juga merontokkan afiliasi-afiliasinya di seluruh dunia. Hingga peristiwa ini tidak hanya menjadi wacana yang menarik untuk dibahas di Amerika, tetapi juga menjadi wacana internasional. Tidak hanya para praktisi yang secara langsung merasakan dampak dari peristiwa itu, tetapi juga para akademi dan peneliti yang selanjutnya berusaha mengurai kasus-kasus manajemen laba itu. Aktivitas rekayasa manajerial menjadi topik di berbagai kesempatan.                2. Implikasi terhadap etika dan moral  Sementara dari sudut pandang etika dan moral, manajemen laba telah membuat publik mempertanyakan integritas dan kredibilitas para pelaku ekonomi maupun regulator, yaitu pengelola perusahaan, pemerintah, pembuat regulasi, asosiasi profesi, dan akuntan publik, termasuk berbagai keputusan, kebijakan, dan regulasi yang dihasilkannya. Apa yang dilakukan publik ini sebenarnya berakar pada dampak negatif dari aktivitas manajemen laba selama beberapa tahun terakhir. Publik melihat bahwa tidak hanya perusahaan yang merasakan dampak negatif dari manajemen laba, namun juga stakeholder maupun pihak lain yang tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan perusahaan bersangkutan. Bahkan tidak hanya perekonomian nasional yang berantakan akibat aktivitas rekayasa itu namun juga perekonomian nasional. a. Manajer Perusahaan  Seorang manajer seharusnya mengelola perusahaannya secara bertanggung jawab agar perusahaan itu dapat menghasilkan return yang layak bagi pemilik. Selain itu seorang manajer juga harus mempunyai tanggung jawab moral  

terhadap stakeholder maupun publik yang ada disekitar perusahaannya. Bahkan seorang manajer dengan pemilik atau stakeholder tertentu dilarang untuk menjalin kerja sama yang dapat merugikan stakeholder lainnya. Untuk itulah mengapa seorang manajer harus menghindari perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan stakeholder apalagi jika perbuatan itu dilakukan untuk mengoptimalkan kepentingan pribadi Oleh sebab itu apapun yang dilakukan manajer dalam mengelola perusahaan harus dalam rangka untuk menciptakan bisnis yang sehat dan bersih. usaha  manajer untuk mencari keuntungan pribadi dengan memanfaatkan ketidaktahuan stakeholder, seperti halnya manajemen laba, hanya membuat publik kehilangan kepercayaan terhadap perusahaannya. Akibatnya publik akan mempertanyakan etika dan moral seorang manajer sebagai pengelola perusahaan. Inilah yang membuat publik malas dan menghindari untuk menjalin hubungan bisnis dengan perusahaan bersangkutan. Alasannya, bila  etika dan moral para pengelolanya tidak bisa dipercaya bagaimana perusahaan dapat menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan pihak lain. Ada kecurigaan bahwa manajer perusahaan hanya akan mencari keuntungan pribadi meskipun harus merugikan kepentingan pihak lain. Inilah yang menyebabkan mengapa perusahaan yang dikelola secara sehat, bersih, dan bertanggung jawab lebih dipercaya.    

 

    b. Pemerintah, Regulator, Asosiasi Profesi Secara konseptual pemerintah, regulator, asosiasi profesi merupakan pihak yang mengawasi dan mengendalikan jalannya bisnis di suatu negara. Untuk itulah pihak-pihak ini mengeluarkan berbagai regulasi agar dunia usaha dikelola secara profesional sehingga kehidupan bisnis yang sehat, bersih dan bertanggung jawab dapat diwujudkan di negara itu. Selain itu pemerintah, regulator, asosiasi profesi seharusnya selalu mengingatkan, menegur, dan menghukum pengelola perusahaan maupun perusahaan yang diketahui telah melanggar regulasi tertentu. Apalagi pelanggaran-pelanggaran itu merugikan kepentingan stakeholder dan publik secara umum. Pemerintah, regulator, asosiasi profesi tidak boleh ragu-ragu atau segan untuk menegur dan menghukum siapapun yang melakukan kesalahan. Ketidaktegasan pemerintah dan pembuat regulasi dalam menerapkan peraturan perundang-undangan secara konsisten dapat menyebabkan publik kehilangan kepercayaan terhadap ketiga pihak ini. Ketidakpercayaan publik ini merupakan cermin dari keragu-raguan publik terhadap integritas dan kredibilitas pemerintah, regulator, asosiasi profesi. Publik mempertanyakan komitmen etis dan moral kedua pihak-pihak dalam membangun kehidupan bisnis yang sehat, bersih, dan bertanggung jawab. Oleh sebab itu bila  pemerintah, regulator, asosiasi profesi menjalin konspirasi dengan dunia usaha sehingga merestui apapun yang dilakukan dunia usaha maka publik akan semakin mencurigai komitmen etika dan moral pihak-pihak ini. Publik akan semakin kesulitan mencari perlindungan bila  dirugikan dunia usaha. Meski dalam jangka pendek hal ini menguntungkan dunia usaha namun konspirasi semacam ini justru akan membuat dunia usaha semakin terpuruk.     c. Akuntan Publik Akuntan publik merupakan salah satu garda terdepan dalam membangun kehidupan bisnis yang sehat, bersih, dan bertanggung jawab di suatu negara. Alasannya, akuntan publik merupakan pihak yang mempunyai kemampuan, keahlian, dan kesempatan untuk mendeteksi berbagai aktivitas curang yang dilakukan dunia usaha. Kemampuan dan keahlian ini memang dibangun oleh akuntan publik mulai pada saat belajar di perguruan tinggi dan sebagai  

komitmennya saat  memilih profesi ini. sedang  kesempatan itu diperoleh akuntan publik pada saat melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan suatu perusahaan. Akuntan publik bagaimanapun akan mampu mendeteksi aktivitas-aktivitas kecurangan itu bila  mau memakai  kemampuan dan keahliannya secara profesional dan mempunyai komitmen untuk berperan aktif dalam membangun kehidupan bisnis yang 

Related Posts:

  • manajemen laba 5 pat diakui bila  ada kepastian laba ini  dapat diperoleh dan direalisasi. Selain itu, usaha  ini sebenarnya akan membuat laporan … Read More