asuransi B

kemungkinan terjadinya sengketa bisnis antar kedua jenis 
asuransi tersebut sangat mungkin terjadi.
Keluarnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan 
Agama, semakin menunjukkan bahwa kemungkinan sengketa terjadi cukup 
besar. Dalam ketentuan undang-undang tersebut dikatakan bahwa apabila 
terjadi sengketa bisnis antar lembaga berdasarkan syariah diselesaikan 
melalui pengadilan agama atau menjadi kompetensi pengadilan Agama. 
Ketentuan tersebut juga akan mencakup sengketa bisnis asuransi 
berdasarkan syariah, maka menjadi kompetensi pengadilan Agama untuk 
menyelesaikannya.
Permaslahannya apabila terjadi sengketa antara bisnis asuransi 
berdasarkan syariah dengan bisnis asuransi konvensional, lembaga mana 
yang berwenang mengadilinya.
D. Perlindungan Masyarakat Melalui Asuransi
Salah satu kewajiban Negara adalah melindungi masyarakatnya, 
terutama masyarakat yang kurang mampu, baik karena keadaan ekonomi 
maupun karena sudah tua, cacat fisik dan lain sebagainya, sehingga tidak 
mampu berusaha.
Sebagai pengaruh dari doktrin Negara kesejahteraan, perlindungan 
terhadap pihak-pihak yang tidak mampu tersebut dilakukan melalui sarana 
asuransi. Negara atau perusahaan Negara membuka kegiatan untuk asuransi 
yang bersifat sosial. Dengan demikian Negara dapat mengalihkan risiko dari 
warga negaranya yang kurang mampu kepada entitas usaha yang dikelola 
secara baik.
Asuransi bersifat sosial terus berkembang, bahkan panitiua 
pembentukan peraturan asuransi di Amerika Serikat memberikan definisi 
asuransi sosial sebagai berikut : “ A device for the pooling by their transfer 
to an organization usually governmental, that is required by law to provide 
pecuniary or service benefits to or on behalf of covered person upon the 
occurance of certain predictiquated losses (alat untuk menghimpun risiko 
dengan memindahkannya kepada organisasi yang biasanya organisasi 
pemerintah yang diharuskan oleh undang-undang untuk memberikan 
manfaat keuangan atau pelayanan kepada atau atas nama orangt-orang yang
diasuransikan itu pada waktu terjadinya kerugian-kerugian tertentu yang 
telah ditetapkan sebelumnya).7
Pro kontra RBC (risk based capital) sebagai ukuran kesehatan 
keuangan asuransi dan keberatan Dewan Asuransi Indonesia tentang hasil 
rating asuransi oleh sebuah majalah beberapa waktu lalu menimbulkan 
pertanyaan tentang kondisi industri asuransi nasional dewasa ini. Apakah 
telah siap memberi perlindungan kepada masyarakat dengan dinamika 
lingkungan strategisnya, baik internal maupun eksternal, ataukah justru 
dalam taraf perkembangannya sekarang industri ini masih perlu 
mendapatkan perlindungan?
Ada beberapa alasan untuk menyatakan bahwa bisnis asuransi ini 
patut mendapat perlindungan baik karena sifat bisnis itu sendiri maupun 
karena struktur dan profil industri itu di Indonesia.
1. Karena sifatnya yang spekulatif, urgensi bisnis asuransi untuk 
memperoleh perlindungan hukum terletak pada kenyataan bahwa risiko￾risiko yang dijamin oleh asauransi dapat terjadi karena tindakan 
destruktif yang disengaja dan direncanakan oleh nasabah sendiri maupun 
oleh orang lain dengan berbagai motivasinya yang dikenal dengan istilah 
arson. Diantaranya karena motif kriminal untuk mendapatkan santunan 
asuransi.
Usaha perasuransian di Indonesia mencatat daftar paling panjang tentang 
kejahatan yang bermotifkan memperoleh santunan asuransi, baik
asuransi kerugian maupun jiwa. Tentang perbuatan arson ini KUHP 
mengancamnya dengan penjara lima tahun (Pasal 382)
Di tingkat internasional, perusahaan asuransi kerugian mendapatkan 
25% sampai 30% dari seluruh pembayaran klaim kebakaran berasal dari 
arson. Usaha untuk memerangi kejahatan asuransi di tingkat 
internasional bahkan mendorong berdirinya NGO yang khusus 
mencurahkan perhatian pada kegiatan pengungkapan praktek-praktek 
kejahatan asuransi.
2. Bisnis asuransi sebagai sesama lembaga keuangan yang menghimpun 
dana masyarakat hingga kini tidak mengenal program rekapitalisasi 
seperti dinikmati perbankan ketika banyak perusahaan asuransi 
mengalami rush oleh klaim penebusan polis asuransi akibat kurs dolar 
AS melambung hingga kisaran Rp 15.000,00
3. Hanya 6% perusahaan asuransi kita yang bermodal diatas Rp 100 milyar, 
jumlah yang kini dipersyaratkan sebagai modal setor bagi pendirian 
perusahaan asurasi baru, baik asuransi kerugian maupun jiwa. 72% 
perusahaan asuransi bahkan bermodal setor kurang dari Rp15 milyar. 
Dengan kata lain sebagaian besar perusahaan asuransi dalam konteks 
syarat baru permodalan dapat digolongkan sebagai usaha kecil dan 
menengah (UKM)
Dalam hal ini peraturan-peraturan pelaksana dari Undang-Undang 
No.2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransiasnn memberi petunjuk bahwa 
arah pembinaan dan pengawasan kegiatan perasuransian benyak 
mengandung kelonggaran yang dapat ditafsirkan sebagai perlindungan bagi
usaha perasuransian. Upaya perlindungan perasuransian ini antara lain 
berkait dengan ukuran tentang kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan 
reasuransi yang dalam ketentuan lama (Pasal 11 PP No.73 tahun 1992) 
menetapkan batas tingkat solvabilitas adalah selisih kekayaan yang 
diperkenankan dengan jumlah kewajiban dan modal disetor yang 
dipersyaratkan diperhitungkan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan 
tingkat solvabilitas.
Belum genap satu tahun ketentuan solvabilitas diatas dilaksanakan 
sepenuhnya, peraturan batas tingkat solvabilitas diubah dengan PP No.63 
tahun 1999 yang memuat ketentuan solvabilitas tidak lagi memasukkan 
modal setor sebagai unsur pengurang. Faktor modal disetor dinilai bersifat 
diskriminatif. Karena adanya perusahaan asing,perusahaan lokal,perusahaan 
asuransi jiwa, dan perusahaan asuransi umum.
Ketentuan tentang batas tingkat solvabilitas dalam peraturan baru di 
atas menggunakan pendekatan risk based capital (RBC) sebagaimana diatur 
SK Menteri Keuangan No.481/KMK.017/1999 dan di laksanakan secara 
bertahap hingga berlaku penuh pada tahun 2004.
Sebagai perbandingan batas tingkat solvabilitas minimum yang 
berlaku di Amerika Serikat terdiri atas lima tingkat dengan masing-masing 
tingkat menunjukkan tindakan yang harus diambil oleh regulator terhadap 
perusahaan asuransi bersangkutan.
 Tingkat pertama, RBC 200 persen atau lebih dari batas tingkat 
solvabilitas minimum tidak diperlukan tindakan apa pun.
 Tingkat Kedua RBC 150% sampai dengan 200% perusahaan 
asuransi bersangkutan wajib menyampaikan laporan tentang 
rencana-rencana korektif yang ditempuh
 Tingkat ketiga, RBC 100% sampai dengan 150% perusahaan 
asuransi di samping menyampaikan laporan action plan juga 
dilakukan pemeriksaan khusus oleh regulator terhadap jalannya 
operasi perusahaan dan rekomendasi untuk mengatasi masalah 
keuangan perusahaan.
 Tingkat keempat, RBC 70% sampai 100% perusahaan dalam 
pengawasan regulator meskipun dalam ukuran tradisional 
perusahaan masih dalam kategori solvent dan 
 Tingkat kelima, RBC 70% atau kurang perusahaan praktis 
dinyatakan insolvent meskipun masih mempunyai nilai positif 
pada modal dan cadangannya.
Dengan pendekatan RBC, kebutuhan permodalan antara satu 
perusahaan dan perusahaan yang lain berbeda tergantung dari tingkat rasio 
kegiatan yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam 
pengelolaan kekayaan dan kewajiban yang dimiliki oleh masing-masing 
perusahaan. Antara lain asset defauld, cost flow mismacth, currency 
mismatch, insurance dan interest rate risk.
Bagi perusahaan yang sudah berprestasi tidak ada kewajiban untuk 
menaikkan modalnya, tetapi menyesuaikan dengan RBC persyaratan 
permodalan minimum hanya berlaku bagi perusahaan baru yaitu Rp 100 
milyar bagi perusahaan asuransi dan Rp 200 milyar bagi reasuransi
Kelonggaran lain diberikan kepada industri asuransi ketika 
departemen keuangan melonggarkan persyaratan tenaga ahli/ajun ahli 
asuransi seperti yang tertuang dalam SK Menteri Keuangan No.
223/KMK.017/1993 dengan SE No. 147/MK.17/1998 tanggal 17 Februari 
1998 yang memberi kemudahan syarat-syarat pemenuhan tenaga ahli setelah 
dilampauinya batas waktu lima tahun untuk memenuhi ketentuan tenaga ahli 
asuransi. Belum lagi bila ketentuan syarat permodalan bagi perusahaan 
asuransi sebesar Rp 100 milyar ditafsirkan sebagai ketentuan diskriminatif 
yang merupakan entery barrier bagi pendatang baru ketika kepada 
perusahaan asuransi lama diberlakukan ketentuan solveny margin dengan 
pendekatan RBC
Dengan ketentuan yang sangat longgar diatas, tampak betapa industri 
asuransi telah menikmati proteksi yang demikian besar dalam sepuluh tahun 
hingga 2004 sebagai konsekuensi dari ketiadaan mekanisme skema 
penjaminan pemerintah yang diluar negeri berbentuk guaranty funds berasal 
dari iuran seluruh perusahaan asuransi untuk membentuk perusahaan 
asuransi yang mengalami insolvent




Dari uraian Bab-bab sebelumnya dijelaskan bahwa manfaat penting dari 
asuransi adalah membantu masyarakat dalam rangka mengatasi segala masalah 
risiko yang dihadapinya. Hal itu akan memberikan ketenangan dan kepercayaan 
diri yang lebih tinggi kepada yang bersangkutan. Dilihat dari sarana pengumpulan 
dana yang cukup besar, sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan 
masyarakat dan pembangunan. Sebagai sarana untuk mengatasi risiko-risiko yang 
dihadapi dalam melaksanakan pembangunan.
Dari berbagai manfaat asuransi tersebut, masyarakat akan banyak 
menggunankan asuransi dalam mengcover risiko kehidupannya melalui sarana 
asuransi. Oleh karena itu banyak yang harus dilakukan oleh pihak-pihak terkait 
agar masyarakat semakin menyenangi menggunakan asuransi (insurance minded), 
melalui usaha pengenalan asuransi (manfaat dan keuntungan menggunakan 
asuransi) dan penciptaan usaha perasuransian yang sehat.
Asuransi sebagai bagian dari perikatan, merupakan perjanjian secara sadar 
antara tertanggung dengan penanggung. Asuransi yang sehat akan 
menguntungkan masyarakat karena tertanggung (nasabah asuransi) akan 
memperoleh perlindungan hukum, sedangkan bagi pelaku bisnis asuransi akan 
menikmati hasil usahanya sesuai dengan kaidah bisnis yang diharapkan.
Dalam perkembangannya, usaha perasuransian yang sedemikian cepat 
dilakukan dengan mengeluarkan berbagai ketentuan atau peraturan, baik dalam 
bentuk Peraturan Presiden, Peraturan Menteri maupun peraturan lainnya.
Kecepatan gerak langkah usaha perasuransian di Indonesia lebih 
didominasi oleh peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. 
Sedangkan undang-undang yang mengatur usaha perasuransian sendiri, dalam 
beberapa hal ketinggalan dengan perkembangan usaha perasuransian yang sangat 
cepat.
Salah satu bukti ketertinggalan ketentuan-ketentuan dalam Undang￾Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, adalah belum 
diakomodasikannya usaha perasuranisian berbasis syariah. Padahal secara kasat 
mata, dapat dilihat bahwa usaha perasuransian berbasis syariah sudah berkembang 
cukup pesat. Ketentuan-ketentuan yang digunakan masih menggunakan berbagai 
peraturan-peraturan di bawah undang-undang, seperti Peraturan Presiden, 
Peraturan Menteri dan lain sebagainya.
Oleh karena itu sudah waktunya dilakukan perbaikan atau penyempurnaan 
Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian agar dapat 
memasukkan usaha asuransi berdasarkan syariah. 
Sebagian kalangan Islam beranggapan bahwa asuransi sama dengan 
menentang qodlo dan qadar atau bertentangan dengan takdir. Pada dasarnya Islam 
mengakui bahwa kecelakaan, kemalangan dan kematian merupakan takdir Allah. 
Hal ini tidak dapat ditolak. Hanya saja kita sebagai manusia juga diperintahkan 
untuk membuat perencanaan untuk menghadapi masa depan. Allah berfirman 
dalam surat Al Hasyr: 18, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman 
bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah siap diri memperhatikan apa yang telah 
diperbuat untuk hari esok (masa depan) dan bertaqwalah kamu kepada Allah. 
Sesunguhnya Allah Maha mengetahui apa yang engkau kerjakan”. Jelas sekali
dalam ayat ini kita diperintahkan untuk merencanakan apa yang akan kita perbuat 
untuk masa depan.
Dalam Al Qur‟an surat Yusuf :43-49, Allah menggambarkan contoh usaha 
manusia membentuk sistem proteksi menghadapi kemungkinan yang buruk di 
masa depan. Secara ringkas, ayat ini bercerita tentang pertanyaan raja Mesir 
tentang mimpinya kepada Nabi Yusuf. Dimana raja Mesir bermimpi melihat tujuh 
ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus, dan dia 
juga melihat tujuh tangkai gandum yang hijau berbuah serta tujuh tangkai yang 
merah mengering tidak berbuah.
Nabi Yusuf sebagaimana diceritakan dalam surat Yusuf, dalam hal ini 
menjawab supaya raja dan rakyatnya bertanam tujuh tahun dan dari hasilnya 
hendaklah disimpan sebagian. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun 
yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang disimpan untuk menghadapi masa 
sulit tesebut, kecuali sedikit dari apa yang disimpan. Sangat jelas dalam ayat ini 
kita dianjurkan untuk berusaha menjaga kelangsungan kehidupan dengan 
memproteksi kemungkinan terjadinya kondisi yang buruk. Dan sangat jelas ayat 
diatas menyatakan bahwa berasuransi tidak bertentangan dengan takdir, bahkan 
Allah menganjurkan adanya upaya-upaya menuju kepada perencanaan masa 
depan dengan sistem proteksi yang dikenal dalam mekanisme asuransi.
Jadi, jika sistem proteksi atau asuransi dibenarkan, pertanyaan selanjutnya 
adalah: apakah asuransi yang kita kenal sekarang (asuransi konvensional) telah 
memenuhi syarat-syarat lain dalam konsep muamalat secara Islami. Dalam 
mekanisme asuransi konvensional terutama asuransi jiwa, paling tidak ada tiga hal 
yang masih diharamkan oleh para ulama, yaitu: adanya unsur gharar (ketidak
jelasan dana), unsur maisir (judi/gambling) dan riba (bunga). Ketiga hal ini akan 
dijelaskan dalam penjelasaan rinci mengenai perbedaan antara asuransi 
konvensional dan syariah.
Asuransi jiwa syariah dan asuransi jiwa konvensional mempunyai tujuan 
sama yaitu pengelolaan atau penanggulangan risiko. Perbedaan mendasar antara 
keduanya adalah cara pengelolaannya pengelolaan risiko asuransi konvensional 
berupa transfer risiko dari para peserta kepada perusahaan asuransi (risk transfer) 
sedangkan asuransi jiwa syariah menganut azas tolong menolong dengan 
membagi risiko diantara peserta asuransi jiwa (risk sharing).
Selain perbedaan cara pengelolaan risiko, ada perbedaan cara mengelola 
unsur tabungan produk asuransi. Pengelolaan dana pada asuransi jiwa syariah 
menganut investasi syariah dan terbebas dari unsur ribawi. Secara rinci perbedaan 
antara asuransi jiwa syariah dan asuransi jiwa konvensional dapat dilihat pada 
uraian berikut :
Kontrak atau Akad
Kejelasan kontrak atau akad dalam praktik muamalah menjadi prinsip 
karena akan menentukan sah atau tidaknya secara syariah. Demikian pula dengan 
kontrak antara peserta dengan perusahaan asuransi. Asuransi konvensional 
menerapkan kontrak yang dalam syariah disebut kontrak jual beli (tabaduli).
Dalam kontrak ini harus memenuhi syarat-syarat kontrak jual-beli. 
Ketidakjelasaan persoalan besarnya premi yang harus dibayarkan karena 
bergantung terhadap usia peserta yang mana hanya Allah yang tau kapan kita 
meninggal mengakibatkan asuransi konvensional mengandung apa yang disebut 
gharar ketidakjelasaan pada kontrak sehingga mengakibatkan akad pertukaran
harta benda dalam asuransi konvensional dalam praktiknya cacat secara hukum. 
Sehingga dalam asuransi jiwa syariah kontrak yang digunakan bukan kontrak 
jual beli melainkan kontrak tolong menolong (takafuli). Jadi asuransi jiwa 
syariah menggunakan apa yang disebut sebagai kontrak tabarru yang dapat 
diartikan sebagai derma atau sumbangan. Kontrak ini adalah alternatif uang sah 
dan dibenarkan dalam melepaskan diri dari praktik yang diharamkan pada 
asuransi konvensional. Tujuan dari dana tabarru‟ ini adalah memberikan dana 
kebajikan dengan niat ikhlas untuk tujuan saling membantu satu dengan yang lain 
sesama peserta asuransi syariah apabila diantaranya ada yang terkena musibah. 
Oleh karenanya dana tabarru‟ disimpan dalam satu rekening khsusus, dimana bila 
terjadi risiko, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening dana tabarru‟ yang 
sudah diniatkan oleh semua peserta untuk kepentingan tolong menolong.
Kontrak Al-Mudharabah
Penjelasan di atas, mengenai kontrak tabarru‟ merupakan hibah yang 
dialokasikan bila terjadi musibah. Sedangkan unsur di dalam asuransi jiwa bisa 
juga berupa tabungan. Dalam asuransi jiwa syariah, tabungan atau investasi harus 
memenuhi syariah.
Dalam hal ini, pola investasi bagi hasil adalah cirinya dimana perusahaan 
asuransi hanyalah pengelola dana yang terkumpul dari para peserta. Secara teknis, 
al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak 
pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan pihak lainnya 
menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang 
dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik
modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pengelola. Seandainya 
kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka 
pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Kontrak bagi hasil disepakati didepan sehingga bila terjadi keuntungan 
maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan kontrak 
bagi hasilnya adalah 60:40, dimana peserta mendapatkan 60 persen dari 
keuntungan sedang perusahaan asuransi mendapat 40 persen dari keuntungan.
Dalam kaitannya dengan investasi, yang merupakan salah satu unsur 
dalam premi asuransi, harus memenuhi syariah Islam dimana tidak mengenal apa 
yang biasa disebut riba. Semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya 
dengan mekanisme bunga.
Dengan demikian asuransi konvensional susah untuk menghindari riba. 
Sedangkan asuransi syariah dalam berinvestasi harus menyimpan dananya ke 
berbagai investasi berdasarkan syariah Islam dengan sistem al-mudharabah.
Tidak Ada Dana Hangus
Pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, dimana peserta tidak 
dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa 
jatuh tempo. Begitu pula dengan asuransi jiwa konvensional non-saving (tidak 
mengandung unsur tabungan) atau asuransi kerugian, jika habis masa kontrak dan 
tidak terjadi klaim, maka premi asuransi yang sudah dibayarkan hangus atau 
menjadi keuntungan perusahaan asuransi. Dalam konsep asuransi syariah, 
mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun 
karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, maka dana atau premi yang 
sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil saja
yang sudah diniatkan untuk dana tabarru‟ yang tidak dapat diambil.
Begitu pula dengan asuransi syariah umum, jika habis masa kontrak dan tidak 
terjadi klaim, maka pihak perusahaan mengembalikan sebagian dari premi 
tersebut dengan pola bagi hasil, misalkan 60:40 atau 70:30 sesuai dengan 
kesepakatan kontrak di muka. Dalam hal ini maka sangat mungkin premi yang 
dibayarkan di awal tahun dapat diambil kembali dan jumlahnya sangat bergantung 
dengan tingkat investasi pada tahun tersebut.
Manfaat Asuransi Syariah
Asuransi syariah dapat menjadi alternatif pilihan proteksi bagi pemeluk 
agama Islam yang menginginkan produk yang sesuai dengan hukum Islam. 
Produk ini juga bisa menjadi pilihan bagi pemeluk agama lain yang memandang 
konsep syariah adil bagi mereka. Syariah adalah sebuah prinsip atau sistem yang 
ber-sifat universal dimana dapat dimanfaatkan oleh siapapun juga yang berminat.
Demikianlah sekilas ulasan mengenai asuransi syariah. Semoga ulasan ini 
menambah wawasan dan pengetahuan anda.
Perbandingan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional.
1. Persamaan antara asuransi konvensional dan asuransi syari‟ah. Jika diamati 
dengan seksama, ditemukan titik-titik kesamaan antara asuransi konvensional 
dengan asuransi syariah, diantaranya sebagai berikut:
 Akad kedua asuransi ini berdasarkan keridloan dari masing- masing pihak.
 Kedua-duanya memberikan jaminan keamanan bagi para anggota
 Kedua asuransi ini memiliki akad yang bersifad mustamir (terus)
 Kedua-duanya berjalan sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak.
2. Perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syariah. Dibandingkan 
asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam 
beberapa hal.
 Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah 
merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi 
manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan 
dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu 
tidak mendapat perhatian.
 Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu 
nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami 
kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual￾beli antara nasabah dengan perusahaan).
 Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) 
diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil 
(mudharobah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana 
dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
 Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. 
Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. 
Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan 
dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan 
kebijakan pengelolaan dana tersebut.
 Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening 
tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk 
keperluan tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah.
Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil 
dari rekening milik perusahaan.
 Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana 
dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan 
dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik 
perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
Perbedaan mendasar lainnya dapat kita perhatikan dari butir konsep di 
bawah ini:
1. Aqad (perjanjian), perjanjian dalam asuransi syariah bukan perjanjian 
muawwadah, tetapi perjanjian taawun bi al syarti (tabarru‟ bi al- syarti). 
Dimana masing-masing pihak bersedia saling membantu antara satu sama lain 
dengan syarat setiap peserta hanya akan menanggung risiko sesuai dengan 
peristiwa yang terjadi ditambah dengan kos operasional dan keuntungan yang 
akan diperoleh pihak pengelola. 
2. Perlakuan akuntansi, setiap premi yang masuk bukanlah dianggap sebagai 
revenue, tetapi ia dianggap sebagai titipan kepada pihak perusahaan, dimana 
pihak perusahaan wajib mengembalikan sebagian surplus underwriting yang 
didapat, kepada para peserta asuransi dengan cara proporsional.
3. Manajemen dianggap sebagai mudharib kalau kontraknya mudharabah dan 
menjadi wakil kalau akadnya wakalah bilujrah dimana mereka akan mengelola 
dana masyarakat dalam menanggung risiko yang akan muncul.
4. Uang-uang yang dikelola tidak boleh diinvestasikan dalam hal-hal yang 
berbentuk riba
5. Pembayaran iuran taawun atau tabarru‟ bisa bertambah dan bisa berkurang 
sesuai dengan surplus underwriting yang didapati oleh perusahaan asuransi.
6. Perusahaan asuransi dalam asuransi kerugian disebut sebagai pemegang 
amanah, dimana ia diamanahi mengelola risiko dan uang premi yang 
diserahkan kepadanya. Dan peserta asuransi adalah peserta asuransi, bukan 
pembeli polis.
7. Hubungan antara pemegang amanah dan peserta asuransi adalah hubungan 
kemitraan, bukan hubungan antara pihak penanggung dan tertanggung.
8. Peristiwa walaupun sifatnya ihtimal, tetapi karena kontraknya taawun bukan 
muawwadah, maka tidak terjadi gharar. Jadi tidak ada yang diragukan lagi 
dalam kontrak dan pengurusan asuransi secara syariah, dan masyarakat 
muslim khususnya tidak lagi menjalankan suatu transaksi yang berisiko secara 
keyakinannya dan bisa menjadikan dirinya terkutuk dihadapan Allah dan 
sengsara diakhirat kelak.
Dalam konsep Islam asuransi Islami bukan semata profit oriented, tetapi ia 
mengandung nilai social oriented, jadi perpaduan antara dua kepentingan inilah 
yang dibangun oleh asuransi syariah dalam menjalankan roda bisnisnya. Karena 
perbedaan orientasi dan filosopi inilah yang menyebabkan perusahaan asuransi 
Islami perlu hati-hati dan para pemilik dan pengurusnya mesti orang-orang yang 
memahami karakteristik ini agar jangan sampai prinsip Islam tidak digadaikan 
demi kepentingan sesaat.
Dari perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi 
konvensional tidak memenuhi standar syar‟i yang bisa dijadikan objek muamalah
yang syah bagi kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpangan￾penyimpangan syariat yang ada dalam asuransi tersebut.
Oleh karena itu hendaklah kaum muslimin menjauhi dari bermuamalah 
yang menggunakan model-model asuransi yang menyimpang tersebut, serta 
menggantinya dengan asuransi yang senafas dengan prinsip-prinsip muamalah 
yang telah dijelaskan oleh syariat Islam seperti bentuk-bentuk asuransi syariah 
yang telah kami paparkan di muka.
Perbedaan asuransi syariah dan konvensional 
ASURANSI KONVENSIONAL
1. Ciri-ciri Asuransi konvensional Ada beberapa ciri yang dimiliki asuransi 
konvensional, diantaranya adalah:
 Akad asuransi konvensianal adalah akad mulzim (perjanjian yang wajib 
dilaksanakan) bagi kedua belah pihak, pihak penanggung dan pihak 
tertanggung. Kedua kewajiban ini adalah keawajiban tertanggung 
menbayar premi-premi asuransi dan kewajiban penanggung membayar 
uang asuransi jika terjadi peristiwa yang diasuransikan.
 Akad asuransi ini adalah akad mu‟awadhah, yaitu akad yang didalamnya 
kedua orang yang berakad dapat mengambil pengganti dari apa yang telah 
diberikannya dengan kata lain akad tukar menukar.
 Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua 
belah pihak penanggung dan tertanggung pada waktu melangsungkan akad 
tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil.
 Akad asuransi ini adalah akad idz‟an (penundukan) pihak yang kuat adalah 
perusahan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang 
tidak dimiliki tertanggung,
2. Asuransi dalam Sudut Pandang Hukum Islam. Mengingat masalah asuransi ini 
sudah memasyarakat di Indonesia dan diperkirakan ummat Islam banyak 
terlibat di dalamnya, maka permasalahan tersebut perlu juga ditinjau dari 
sudut pandang agama Islam.
Di kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak Islami. 
Orang yang melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang mengingkari 
rahmat Allah. Allah-lah yang menentukan segala-segalanya dan memberikan 
rezeki kepada makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:
• Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong menolong). Dimana 
nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami 
kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli(jual beli 
antara nasabah dengan perusahaan). 
• Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) 
diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil 
(mudharabah).Sedangkan pada asuransi konvensional investasi dana dilakukan 
pada sembarang sektor dengan sistem bunga. 
• Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. 
Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan 
pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan 
perusahaanlah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan 
pengelolaan dana tersebut.
• Bila ada peserta yang terkena musibah untuk pembayaran klaim nasabah dana 
diambilkan dari rekening tabarru‟(dana sosial) seluruh peserta yang sudah 
diikhlaskan untuk keperluan tolong menolong. Sedangkan dalam asuransi 
konvensional dan pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan. 
• Keuntungan investasi di bagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan 
perusahaan selaku pengelola dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam 
asuransi konvensional keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika 
tidak ada klaim nasabah tak memperoleh apa-apa. 
• Adanya Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah yang 
merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi 
manajemen produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan 
syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional maka hal itu tidak 
mendapat perhatian. 
Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi syariah masih 
mendasarkan legalitasnya pada Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang Usaha 
Perasuransian.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal 246, yaitu :”Asuransi 
adalah suatu perjanjian dimana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada 
seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan 
penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan 
keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu 
peristiwa yang tak tentu.” Pengertian ini tidak dapat dijadikan landasan hukum 
yang kuat bagi Asuransi Syariah karena tidak mengatur keberadaan asuransi 
berdasarkan prinsip syariah, serta tidak mengatur teknis pelaksanaan kegiatan
asuransi dalam kaitannya kegiatan administrasinya. Pedoman untuk menjalankan 
usaha asuransi syariah terdapat dalam Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional 
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman 
Umum Asuransi Syariah, fatwa tersebut dikeluarkan kareni regulasi yang ada 
tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan kegiatan Asuransi Syariah. 
Tetapi fatwa DSN-MUI tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dalam Hukum 
Nasional karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan di 
Indonesia. Agar ketentuan Asuransi Syariah memiliki kekuatan hukum, maka 
perlu dibentuk peraturan yang termasuk peraturan perundang-undangan yang ada 
di Indonesia meskipun dirasa belum memberi kepastian hukum yang lebih kuat, 
peraturan tersebut yaitu Keputusan Menteri Keuangan RI No.426/KMK.06/2003, 
Keputusan Menteri Keuangan RI No. 424/KMK.06/2003 dan Keputusan 
Direktorat Jendral Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000. Dan terakhir adalah 
Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 2008. Semua keputusan tersebut menyebutkan 
mengenai aturan dan permodalan sistem asuransi berbasis Syariah.
Asuransi syariah berkembang pesat seiring pesatnya pula perkembangan 
perbankan syariah di Indonesia. Hal ini dimulai dengan berdirinya Asuransi 
Takaful Indonesia tahun 1994 yang terdiri dari takaful umum dan takaful 
Keluarga dan diikuti oleh asuransi Syariah Mubarakah tahun 2001 sebagai 
pelopor asuransi syariah di Indonesia. Dan hingga kini setidaknya ada 35 
perusahaan asuransi yang sudah pula membuka cabang syariah. Dengan demikian 
sudah ada 38 syariah yang telah beroperasi secara syariah. Data direktorat 
Asuransi Departemen Keuangan menunjukan bahwa bisnis asuransi syariah rata￾rata tumbuh 20% pertahun. Hampir semua ulama Fiqh sepakat tentang keberadaan
asuransi syariah, namun tetap ada yang berbeda pendapat. Hal ini terjadi karena 
kurangnya informasi ketika mengeluarkan fatwa tersebut. Seandainya mereka 
diberi informasi yang benar tentu hasil pendapat akan sama antara satu ulama dan 
lainnya.
Dengan berkembangnya usaha perasuransian syariah maka muncullah 
berbagai literatur dalam berbagai bahasa seperti dalam bahasa arab, bahasa 
Inggeris dan bahasa Indonesia dan juga buku-buku terjemahan yang sudah banyak 
beedar di Indonesia. Dari literatur tersebut diuraikan tentang konsep, falsafah dan 
sitem asuransi syariah dan bagaimana cara operasinya dan dengan jelas tidak ada 
satu bentuk operasinya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
Dengan begitu, asuransi bukanlah satu bentuk upaya melawan takdir, 
melainkan justru sebuah perencanaan hidup yang sesuai dengan tuntunan Al￾Qur`an. Ada pun kontrak dan operasional bisnis asuransi bisa dibuat sefleksibel 
mungkin tanpa kehilangan ruh syariahnya. Terdapat berbagai aqad yang dapat 
diaplikasikan kepada produk-produk asuransi syariah sebagaimana yang telah 
difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, seperti akad 
wakalah bil ujrah, mudharabah musytarakah, aqad tabarru‟, akad wadiah dan 
mungkin saja akad-akad lain yang sesuai dengan karakter produk, seperti yang 
telah diurakan sebelumnya.
A. Usaha Perasuransian Syariah
Perkembangan masyarakat yang sedemikian cepat, menyebabakan 
perkembangan kegiatan usaha masyarakat juga berkembang. Jenis-jenis 
risiko yang dialihkan kepada asuransi juga terus berkembang. Usaha perasuransian harus terus perlu dikembangkan baik dari sisi permodalan, 
maupun sumber daya manusianya.
Di samping itu dengan perkembangan tingkat kesadaran beragama 
umat manusia juga mempengaruhi usaha perasuransian. Indonesia sebagai 
negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia mengalami pula 
perkembangan tingkat kesadaran beragama. Usaha-usaha yang bersifat 
konvensional yang pada umumnya mengandung unsure riba (ribawi) dan 
atau unsure judi (maisir) cenderung ditolak oleh sebagian umat Islam. 
Praktek-praktek usaha yang berusaha menghilangkan unsure ribawi dan 
maisir tersebut, dalam bidang ekonomi munculnya praktek-praktek 
berdasarkan syariah Islam, misalnya dalam dunia perbankan, asuransi, 
saham dan lain sebagainya.
Usaha perasuransian konvensional di Indonesia mengalami hal tersebut 
(ditolak oleh sebagain masyarakat Islam). Adanya kegiatan usaha asuransi 
berdasarkan syariah menunjukkan bahwa ada segmen-segmen masyarakat 
tertentu khususnya umat Islam yang berusha menghindarkan praktek-prajtek 
bernuansa ribawi dan maisir. Pembukaan cabang-cabang perusahaan 
asuransi konvensional dengan usaha asuransi syariah menunjukkan bahwa 
segmen pasar dari asuransi syariah cukup menjanjikan.
Perkembangan usaha asuransi berdasarkan syariah tersebut ternyata 
belum didukung dengan ketentuan yang cukup, khususnya dalam bentuk 
undang-undang. Ketentuan yang mengatur usaha perasuransian (UU No. 2 
tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian) hanya mengatur ketentuan￾ketentuan bagi asuransi konvensional, sedangkan asuransi berdasarkan
syariah belum diatur sama sekali. Oleh karena itu untuk menampung dan 
memberikan kepastian hukum untuk kegiatan usaha perasuransian 
berdasarkan syariah perlu dilakukan revisi terhadap substansi undang￾undang tersebut agar dapat pula mengatur usaha perasuransian berdasarkan 
syariah, karena dalam praktek sehari-hari telah banyak bermunculan usaha 
asuransi berdasarkan syariah, bahkan telah ada pula beberapa usaha 
perasuransian konvensional yang membuka cabangnya berdasarkan kaidah 
usaha perasuransian syariah.
Hal ini penting mengingat terdapat perbedaan mendasar antara usaha 
perasuransian konvensional dengan usaha perasuransian berdasarkan 
syariah. Pengaturan usaha perasuransian syariah dengan peraturan 
perundang-undangan setingkat menteri sudah kurang sesuai lagi mengingat 
dalam beberapa hal kedudukan peraturan menteri masih dipertanyakan sebab 
tidak termasuk dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan sebagaimana 
di atur dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan 
Peraturan Perundang-undangan.
B. Perlindungan Usaha Perasuransian Nasional
Sebagai negara besar, Indonesia perlu memiliki perusahaan asuransi 
nasional yang cukup kuat, yang mampu menjadi penanggung risiko dari 
kegiatan masyarakatnya. Pengembangan dan perlindungan kepada usaha 
asuransi nasional mutlak dilakukan agar mereka dapat berkembang dan 
menjadi kebanggaan sebagai suatu bangsa.
Sebagai bagian dari masyarakat internsional dan sebagai negara yang 
telah meratifikasi ketentuan-ketentuan dalam World Trade Organization 
(WTO) melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994, Indonesia wajib 
memberikan kesempatan kepada perusahaan-perusahaan asing dengan 
perlakuan yang sama dengan perusahaan nasional termasuk dalam bidang 
usaha perasuransian. Adanya perusahaan atau modal asing telah pula diatur 
dalam Undang-Undang No2 tahun 1992 tentang Usaha perasuransian (lihat 
ketentuan Pasal 8 ayat 1 huruf b dan ayat (2) dan ayat (3).
Adanya perusahaan-perusahaan asing yang terjun dalam bidang 
asuransi, pada satu sisi mempunyai dampak positif, misalnya sebagai sarana 
pembelajaran bagi usaha perasuransian nasional baik dari sisi manajemen 
maupun dari sisi peningkatan sumber daya manusia. Pengalaman￾pengalaman yang diperoleh dari perusahaan asuransi asing besar di berbagai 
negara dapat ditiru dan kemudian dikembangkan di Indonesia oleh 
perusahaan asuransi nasional.
Namun, masuknya perusahaan asuransi asing ke Indonesia membawa 
pula dampak negatif. Persaingan antara perusahaan asuransi asing dengan 
perusahaan asuransi dalam negeri menjadi tidak proporsional terutama 
dilihat dari sisi permodalan. Perusahaan asuransi asing yang masuk ke 
Indonesia adalah perusahaan asuransi besar yang bersifat Multi Corporate 
national (MNC). Perusahaan tersebut mempunyai kapitalisasi modal yang 
sangat besar dibandingkan dengan perusahaan asuransi nasional, sehingga 
pengalihan risiko dari usaha-usaha besar cenderung dialihkan kepada usaha
asuransi asing, sedangkan usaha asuransi nasional hanya akan mendapat 
bagian pengalihan resiko kegiatan usaha kecil-kecil saja.
Kenyataan tersebut menyebabkan banyak sekali devisa negara yang 
lari ke luar negeri untuk pembayaran premi dari asuransi usaha-usaha besar 
tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar Rp 40 Triliun setiap 
tahun devisa keluar untuk kegiatan asuransi.
Perlindungan usaha asuransi nasional mutlak dilakukan agar usaha 
perasuransian nasional yang memiliki permodalan kecil dan sumber daya 
manusia yang terbatas jangan sampai mati atau berpindah ke tangan asing. 
Dengan data tersebut menunjukkan bahwa potensi kehilangan devisa dari 
tidak dilindunginya perusahaan asuransi nasional cukup besar. Untuk 
mengatasi hal tersebut, perusahaan asing hendaknya bekerjasama dengan 
perusahaan asuransi nasional. Dana masyarakat yang berhasil dihimpun oleh 
perusahaan asuransi asing harus di investasikan di Indonesia.
C. Perjanjian Asuransi
Asuransi dapat dipandang dari berbagai sisi ilmu, baik ilmu sosial, 
ekonomi maupun ilmu hukum. Dalam ilmu hukum atau asuransi secara 
yuridis dapat diartikan sebuah perjanjian nominat di samping perjanjian jual 
beli, sewa menyewa dan lain-lainnya sebagaimana di atur dalam hukum 
perdata.
Dalam asuransi pihak yang satu yaitu penanggung, dengan 
memperoleh imbalan yang disebut premi mengikat diri terhadap pihak 
lainnya yaitu pengambil asuransi untuk jika terjadi suatu peristiwa tertentu
yang ketika perjanjian ditutup bagi kedua belah pihak bersifat tidak pasti 
memberi kerugian atau membayar sejumlah uang tertentu kepada pihak yang 
berhak.
Apabila kita melihat Undang-Undang No.2 tahun 1992 tentang usaha 
Perasuransian, jelas-jelas hanya mengatur mengenai jenis-jenis usaha 
perasuransian, undang-undang tersebut belum mengatur mengenai perjanjian 
asuransinya. Ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian asuransi masih 
diatur dengan ketentuan peninggalan kolonial Belanda yang usianya telah 
lebih dari satu abad (100 tahun).
Ketentuan mengenai perjanjian asuransi masih mengacu pada Wetboek 
van Koophandel voor Indonesie (WvK) atau Kitab Undang-Undang Hukum 
Dagang, Buku I title 3 dan title 10 serta Buku 2 titel 9 dan title 10. 
Ketentuan pengaturan perjanjian termasuk perjanjian asuransi tersebut jelas 
telah ketinggalan jaman karena perkembangan bisnis asuransi cukup pesat, 
apalagi bila dikaitkan dengan perkembangan bisnis asuransi berdasarkan 
syariah yang mempunyai dasar-dasar perjanjian atau akad yang berbeda 
dibandingkan dengan asuransi konvensional.
Pembuatan hukum perjanjian menjadi sangat penting karena 
pembuatan perjanjian seperti kontrak-kontrak bertaraf internasional telah 
banyak dilakukan oleh entitas ekonomi di Indonesia. Perjanjian yang 
dilakukan termasuk pula perjanjian di bidang asuransi.
Skim asuransi bila disimak dari apa yang dirumuskan sebagai asuransi 
oleh Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) adalah 
suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada
seorang tertanggung, dengan menerima premi, untuk memberikan 
penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan 
keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu 
peristiwa yang tak tertentu. Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 
1992 tentang Usaha Perasuransian merumuskan asuransi atau pertanggungan 
sebagai perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak 
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi,
untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, 
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung 
jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, 
yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan 
suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang 
yang dipertanggungkan.
Rumusan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Asuransi tersebut lebih luas 
jika dibandingkan dengan rumusan Pasal 246 KUHD karena mencakup juga 
asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Pihak-pihak yang menjadi subjek dalam 
asuransi adalah penanggung dan tertanggung yang mengadakan perjanjian 
asuransi. Penanggung dan tertanggung adalah pendukung hak dan 
kewajiban. Penanggung wajib memikul risiko yang dialihkan kepadanya dan 
berhak memperoleh pembayaran premi, sedangkan tertanggung wajib 
membayar premi dan berhak memperoleh penggantian jika timbul kerugian 
atas harta miliknya yang diasuransikan.
Dari rumusan di atas setidaknya terlihat adanya dua perbedaan
mendasar antara asuransi dan penjaminan yaitu, Pertama, subjek yang
menjadi para pihak. Dalam penjaminan ada tiga pihak yang menjadi subjek 
yaitu penanggung, debitur sebagai pihak tertanggung dan bank sebagai pihak 
yang menerima manfaat penanggungan. Kedua, kewajiban membayar premi 
dan menerima penggantian kerugian. Dalam asuransi yang wajib membayar 
premi adalah pihak yang berhak memperoleh penggantian jika timbul 
kerugian atas harta miliknya yang diasuransikan. Sedangkan dalam 
penjaminan, premi dibayar oleh nasabah, sedangkan yang berhak 
memperoleh penggantian jika timbul kerugian adalah bank. Dalam 
kaitannya dengan skim penjaminan, lembaga penjamin sebagai penanggung 
harus melepaskan hak istimewanya untuk menuntut barang-barang debitur 
lebih dulu disita dan dijual. Apabila hak istimewa tersebut tidak dilepaskan 
maka skim penjaminan tersebut tidak akan berjalan.
Urgensi amandemen Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang 
Perasurasian di Indonesia, menjadi sebuah keniscayaan yang tak terelakkan. 
Banyak perkembangan baru yang terjadi selama 15 tahun terakhir yang 
belum terakomodir dalam perundang-undangan di atas. Selama ini 
pemerintah (dalam hal ini Departemen Keuangan) menyiasatinya dengan 
mengeluarkan keputusan-keputusan Menteri Keuangan, seperti Keputusan 
Menteri Keuangan RI Nomor: 426/KMK.06/2003, Keputusan Menteri 
Keuangan RI Nomor: 424/KMK.06/2003 dan Keputusan Direktorat Jenderal 
Lembaga Keuangan Nomor: 4499/LK/2000. Seharusnya peraturan menteri 
tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang. Dengan demikian, 
peraturan tentang asuransi syariah berbentuk Undang-Undang, bukan 
sekedar Keputusan Menteri Keuangan, sehingga lebih memberikan
kepastian hukum yang cukup kuat. Keharusan membentuk Undang-Undang 
tersendiri dalam pengaturan asuransi syariah, adalah sebuah keharusan, 
mengingat dalam bidang perbankan, pemerintah sudah mengeluarkan aturan 
perbankan syariah secara tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 
2008. Demikian pula peraturan tentang Surat Berharga Negara. Pemerintah 
telah mengeluarkan peraturan khusus dalam bentuk Undang-Undang 
tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008. Karena itu, aturan 
tentang asuransi syariah sudah sangat tidak layak hanya didasarkan pada 
keputusan menteri keuangan. Pada tahun 2008, Departemen Keuangan RI 
kembali mengeluarkan peraturan melalui KMK (Keputusan Menteri 
Keuangan) Nomor 124 Tahun 2008 mengenai asurasi kredit dan suretyship 
untuk usaha asuransi umum syariah yang dilarang melakukannya sampai 
ditetapkanya aturan tersendiri. Demikian pula peraturan Menteri Keuangan 
Nomor 158 Tahun 2008 tentang dana jaminan. Seharusnya hal tersebut 
diatur dalam perundangan-undangan juga, bukan sekedar Paratutan Menteri 
Keungan. Pada tahun 2008 juga, pemerintah mengeluarkan Peraturan 
Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 tentang pesyaratan permodalan dan 
konsep unit syariah. Semua peraturan yang dikeluakan pemerintah di atas 
semestinya diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang, bukan sekedar 
Keputusan Menteri.
Sejak beberapa tahun terakhir, di Indonesia mulai marak dipasarkan 
produk-produk asuransi unit link. Unit link adalah produk asuransi yang 
menggabungkan layanan asuransi dan investasi sekaligus. Dengan menjadi 
nasabah produk unit link, seseorang bisa mendapatkan manfaat ganda yaitu
perlindungan asuransi dan melakukan investasi. Produk asuransi yang 
ditawarkan bisa berbentuk asuransi kesehatan atau asuransi jiwa, tetapi 
biasanya dipasarkan dalam kemasan yang lebih menarik bagi masyarakat: 
misalnya dalam bentuk tabungan masa depan atau asuransi pendidikan.
Seperti halnya asuransi biasa, nasabah asuransi unit link membayar 
premi setiap jangka waktu tertentu, biasanya bulanan. Perbedaannya, 
nasabah unit link membayar premi dalam dua porsi: yaitu : porsi premi 
perlindungan dan porsi investasi. Premi perlindungan berfungsi sama 
dengan premi pada asuransi biasa. Sedangkan porsi investasi akan 
disetorkan oleh perusahaan asuransi kepada manajer investasi untuk 
dikelola. Pada produk-produk tertentu, jika nantinya return dari investasi 
bisa menutupi biaya premi, maka nasabah memiliki pilihan untuk tidak 
membayar premi.
Unit Link mempunyai perbedaan juga dengan misalnya pada asuransi 
dwiguna. Pada asuransi dwiguna, kegiatan investasi yang dilakukan oleh 
nasabahnya dikelola oleh perusahaan asuransi yang bersangkutan dan 
dananya bercampur dengan dana klaim untuk nasabah. Hal ini menyebabkan 
perusahaan asuransi cenderung lebih konservatif dalam berinvestasi. Dan 
biasanya juga kurang transparan kepada nasabahnya mengenai hasil 
investasi yang diberikan. Sedangkan pada unit link, dana investasinya 
dipisahkan dengan dana pertanggungan untuk klaim nasabah. Dana klaim 
nasabah dikelola oleh perusahaan asuransi, sedangkan dana investasinya 
dikelola oleh manajer investasi yang terpisah.
Mekanisme investasinya sendiri dilakukan secara lebih transparan 
karena dana investasi tersebut dikelola secara terpisah sehingga bisa 
dipertanggungjawabkan kepada nasabahnya. Unit link memang lebih save 
dibandingkan dengan investasi bersifat riil lainnya karena ada pengawasan 
yang cukup ketat dari lembaga pengawas keuangan.
Dalam kaitan pengawas lembaga keuangan untuk produk asuransi unit 
link juga telah dikeluarkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga 
Keuangan dengan Tahun 2006 Peraturan Usaha Perasuransian Nomor 2 
sebagai Lampiran Keputusan Ketua No. Kep-104/BL/2006 tanggal 31 
Oktober 2006. Penerbitan ketentuan tersebut untuk meningkatkan 
transparansi kepada para pemegang polis asuransi unit link, dan upaya 
harmonisasi antara produk unit link dengan ketentuan pasar modal, karena 
investasi unit link dapat melaui sarana pasar modal. 
Akan tetapi, pada produk unit link ada lebih banyak variabel yang 
berperan. Hal ini menjadikan ilustrasi yang diberikan oleh penyedia layanan 
asuransi menjadi sangat rumit, terutama bagi calon nasabah yang belum 
mengenal asuransi dengan baik atau pemula. Jika calon nasabah tidak cukup 
teliti atau jeli dalam menganalisis ilustrasi yang diberikan oleh penyedia 
layanan asuransi, bukan tidak mungkin akan terdapat biaya-biaya lain yang 
tidak disadari oleh calon nasabah. Tidak jarang, biaya-biaya ini baru 
diketahui nasabah pertama kali dari polis yang didapatkan, atau bahkan 
ketika biaya tersebut dibebankan kepada nasabah.
Pada unit link, akan menjadi sangat sulit bagi calon nasabah untuk 
membandingkan satu layanan asuransi unit link dengan layanan unit link
lainnya, karena sistem yang digunakan bisa jadi jauh berbeda satu dengan 
yang lain. Membandingkan dua atau lebih layanan asuransi biasa saja, sudah 
cukup rumit apalagi harus membandingkan dengan berbagai macam urusan 
investasi, seperti unit link yang nyata-nyatanya tidak benar-benar terpisah 
dengan asuransi yang bersangkutan.
Namun, dengan perkembangan tersebut menunjukkan bahwa produk￾produk usaha .perasuransian terus berkembang, yang belum diakomodasikan 
dalam ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No.2 Tahun 1992 
tentang Usaha Perasuransian.

Berdasarkan latar belakang masalah, pembahasan serta analisis, 
dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tidak mampu mengakomodir 
perkembangan perasuransian pada umumnya, hanya mengatur masalah 
yang bersifat umum yaitu masalah tata cara pendirian asuransi umum 
yang kurang menyentuh asuransi syariah, dengan alasan sebagai berikut: 
a. Dari Segi Filosofis keberadaan Asuransi Konvensional dengan 
Asuransi Syariah, mempunyai latar belakang yang sangat berbeda. 
Asuransi Konvensional mendasarkan murni pada prisip ekonomi 
yaitu adanya Keuntungan, sedangkan Asuransi Syariah mendasarkan 
pada pola hidup kebersamaan, saling tolong menolong.
b. Asuransi Konvensional berdasarkan landasan KUHD, yang 
bersumber dari Hukum Barat, sedangkan Asuransi syariah lebih 
berlandaskan pada ajaran Islam, yaitu Al Qur‟an dan Hadits.
c. Asuransi Konvensional bermotif saling mencari keuntungan, terdapat 
unsur gamblingnya, bersifat untung-untungan, sedangkan Asuransi 
Syariah bermotif saling membagi keuntungan atau bagi hasil dan 
berbagi risiko.
d. Penyelesaian sengketa Asuransi Konvensional diselesaikan melalui 
Pengadilan Negeri/Arbitrase sedangkan Asuransi Syariah 
diselesaikan melalui Basyarnas atau Pengadilan Agama.
2. Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 sangat banyak mengandung 
kelemahan-kelemahan dan sudah tidak relevan lagi sehingga perlu 
disesuaikan dengan perkembangan dunia bisnis.
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas Tim merekomendasikan 
beberapa hal sebagai berikut:
1. Materi Hukum
a. Perlu mengkaji kembali Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang 
Usaha Perasuransian, karena sudah tidak sesuai dengan 
perkembangan jaman, khususnya yang berkaitan dengan Bisnis 
Perasuransian.
b. Perlu segera dibentuk Undang-undang yang baru, yang mengatur 
secara khusus mengenai Asuransi Syariah, yang tentunya harus 
mengacu pada hukum Islam.
2. Aparatur Hukum
a. Perlunya dukungan aparatur pelaksana yang cukup dilapangan dari 
sisi kuantitatif maupun kualitatif, dalam hal penyelesaian sengketa 
asuransi
b. Perlunya kejelasan hak dan tanggungjawab bagi petugas pelaksana 
baik pada tataran kebijakan maupun pelaksana.
c. Perlunya peningkatan koordinasi yang menyangkut kebijakan, 
operasional, struktur maupun fungsional.
3. Sarana dan Prasarana
a. Perlunya dukungan politis dari pemerintah, dalam pembentukan 
Undang-undang Asuransi Syariah.
b. Perlunya dukungan pembiayaan dalam pembuatan Undang-undang 
dimaksud
c. Perlunya komitmen dengan melibatkan seluruh komponen bangsa 
termasuk masyarakat dalam hal potensi sarana untuk mendukung 
pelaksanaan produk Undang-Undang

Related Posts:

  • asuransi B kemungkinan terjadinya sengketa bisnis antar kedua jenis asuransi tersebut sangat mungkin terjadi.Keluarnya Undang-Undang… Read More