Home »
asuransi B
» asuransi B
asuransi B
asuransi tersebut sangat mungkin terjadi.
Keluarnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan
Agama, semakin menunjukkan bahwa kemungkinan sengketa terjadi cukup
besar. Dalam ketentuan undang-undang tersebut dikatakan bahwa apabila
terjadi sengketa bisnis antar lembaga berdasarkan syariah diselesaikan
melalui pengadilan agama atau menjadi kompetensi pengadilan Agama.
Ketentuan tersebut juga akan mencakup sengketa bisnis asuransi
berdasarkan syariah, maka menjadi kompetensi pengadilan Agama untuk
menyelesaikannya.
Permaslahannya apabila terjadi sengketa antara bisnis asuransi
berdasarkan syariah dengan bisnis asuransi konvensional, lembaga mana
yang berwenang mengadilinya.
D. Perlindungan Masyarakat Melalui Asuransi
Salah satu kewajiban Negara adalah melindungi masyarakatnya,
terutama masyarakat yang kurang mampu, baik karena keadaan ekonomi
maupun karena sudah tua, cacat fisik dan lain sebagainya, sehingga tidak
mampu berusaha.
Sebagai pengaruh dari doktrin Negara kesejahteraan, perlindungan
terhadap pihak-pihak yang tidak mampu tersebut dilakukan melalui sarana
asuransi. Negara atau perusahaan Negara membuka kegiatan untuk asuransi
yang bersifat sosial. Dengan demikian Negara dapat mengalihkan risiko dari
warga negaranya yang kurang mampu kepada entitas usaha yang dikelola
secara baik.
Asuransi bersifat sosial terus berkembang, bahkan panitiua
pembentukan peraturan asuransi di Amerika Serikat memberikan definisi
asuransi sosial sebagai berikut : “ A device for the pooling by their transfer
to an organization usually governmental, that is required by law to provide
pecuniary or service benefits to or on behalf of covered person upon the
occurance of certain predictiquated losses (alat untuk menghimpun risiko
dengan memindahkannya kepada organisasi yang biasanya organisasi
pemerintah yang diharuskan oleh undang-undang untuk memberikan
manfaat keuangan atau pelayanan kepada atau atas nama orangt-orang yang
diasuransikan itu pada waktu terjadinya kerugian-kerugian tertentu yang
telah ditetapkan sebelumnya).7
Pro kontra RBC (risk based capital) sebagai ukuran kesehatan
keuangan asuransi dan keberatan Dewan Asuransi Indonesia tentang hasil
rating asuransi oleh sebuah majalah beberapa waktu lalu menimbulkan
pertanyaan tentang kondisi industri asuransi nasional dewasa ini. Apakah
telah siap memberi perlindungan kepada masyarakat dengan dinamika
lingkungan strategisnya, baik internal maupun eksternal, ataukah justru
dalam taraf perkembangannya sekarang industri ini masih perlu
mendapatkan perlindungan?
Ada beberapa alasan untuk menyatakan bahwa bisnis asuransi ini
patut mendapat perlindungan baik karena sifat bisnis itu sendiri maupun
karena struktur dan profil industri itu di Indonesia.
1. Karena sifatnya yang spekulatif, urgensi bisnis asuransi untuk
memperoleh perlindungan hukum terletak pada kenyataan bahwa risikorisiko yang dijamin oleh asauransi dapat terjadi karena tindakan
destruktif yang disengaja dan direncanakan oleh nasabah sendiri maupun
oleh orang lain dengan berbagai motivasinya yang dikenal dengan istilah
arson. Diantaranya karena motif kriminal untuk mendapatkan santunan
asuransi.
Usaha perasuransian di Indonesia mencatat daftar paling panjang tentang
kejahatan yang bermotifkan memperoleh santunan asuransi, baik
asuransi kerugian maupun jiwa. Tentang perbuatan arson ini KUHP
mengancamnya dengan penjara lima tahun (Pasal 382)
Di tingkat internasional, perusahaan asuransi kerugian mendapatkan
25% sampai 30% dari seluruh pembayaran klaim kebakaran berasal dari
arson. Usaha untuk memerangi kejahatan asuransi di tingkat
internasional bahkan mendorong berdirinya NGO yang khusus
mencurahkan perhatian pada kegiatan pengungkapan praktek-praktek
kejahatan asuransi.
2. Bisnis asuransi sebagai sesama lembaga keuangan yang menghimpun
dana masyarakat hingga kini tidak mengenal program rekapitalisasi
seperti dinikmati perbankan ketika banyak perusahaan asuransi
mengalami rush oleh klaim penebusan polis asuransi akibat kurs dolar
AS melambung hingga kisaran Rp 15.000,00
3. Hanya 6% perusahaan asuransi kita yang bermodal diatas Rp 100 milyar,
jumlah yang kini dipersyaratkan sebagai modal setor bagi pendirian
perusahaan asurasi baru, baik asuransi kerugian maupun jiwa. 72%
perusahaan asuransi bahkan bermodal setor kurang dari Rp15 milyar.
Dengan kata lain sebagaian besar perusahaan asuransi dalam konteks
syarat baru permodalan dapat digolongkan sebagai usaha kecil dan
menengah (UKM)
Dalam hal ini peraturan-peraturan pelaksana dari Undang-Undang
No.2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransiasnn memberi petunjuk bahwa
arah pembinaan dan pengawasan kegiatan perasuransian benyak
mengandung kelonggaran yang dapat ditafsirkan sebagai perlindungan bagi
usaha perasuransian. Upaya perlindungan perasuransian ini antara lain
berkait dengan ukuran tentang kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan
reasuransi yang dalam ketentuan lama (Pasal 11 PP No.73 tahun 1992)
menetapkan batas tingkat solvabilitas adalah selisih kekayaan yang
diperkenankan dengan jumlah kewajiban dan modal disetor yang
dipersyaratkan diperhitungkan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan
tingkat solvabilitas.
Belum genap satu tahun ketentuan solvabilitas diatas dilaksanakan
sepenuhnya, peraturan batas tingkat solvabilitas diubah dengan PP No.63
tahun 1999 yang memuat ketentuan solvabilitas tidak lagi memasukkan
modal setor sebagai unsur pengurang. Faktor modal disetor dinilai bersifat
diskriminatif. Karena adanya perusahaan asing,perusahaan lokal,perusahaan
asuransi jiwa, dan perusahaan asuransi umum.
Ketentuan tentang batas tingkat solvabilitas dalam peraturan baru di
atas menggunakan pendekatan risk based capital (RBC) sebagaimana diatur
SK Menteri Keuangan No.481/KMK.017/1999 dan di laksanakan secara
bertahap hingga berlaku penuh pada tahun 2004.
Sebagai perbandingan batas tingkat solvabilitas minimum yang
berlaku di Amerika Serikat terdiri atas lima tingkat dengan masing-masing
tingkat menunjukkan tindakan yang harus diambil oleh regulator terhadap
perusahaan asuransi bersangkutan.
Tingkat pertama, RBC 200 persen atau lebih dari batas tingkat
solvabilitas minimum tidak diperlukan tindakan apa pun.
Tingkat Kedua RBC 150% sampai dengan 200% perusahaan
asuransi bersangkutan wajib menyampaikan laporan tentang
rencana-rencana korektif yang ditempuh
Tingkat ketiga, RBC 100% sampai dengan 150% perusahaan
asuransi di samping menyampaikan laporan action plan juga
dilakukan pemeriksaan khusus oleh regulator terhadap jalannya
operasi perusahaan dan rekomendasi untuk mengatasi masalah
keuangan perusahaan.
Tingkat keempat, RBC 70% sampai 100% perusahaan dalam
pengawasan regulator meskipun dalam ukuran tradisional
perusahaan masih dalam kategori solvent dan
Tingkat kelima, RBC 70% atau kurang perusahaan praktis
dinyatakan insolvent meskipun masih mempunyai nilai positif
pada modal dan cadangannya.
Dengan pendekatan RBC, kebutuhan permodalan antara satu
perusahaan dan perusahaan yang lain berbeda tergantung dari tingkat rasio
kegiatan yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam
pengelolaan kekayaan dan kewajiban yang dimiliki oleh masing-masing
perusahaan. Antara lain asset defauld, cost flow mismacth, currency
mismatch, insurance dan interest rate risk.
Bagi perusahaan yang sudah berprestasi tidak ada kewajiban untuk
menaikkan modalnya, tetapi menyesuaikan dengan RBC persyaratan
permodalan minimum hanya berlaku bagi perusahaan baru yaitu Rp 100
milyar bagi perusahaan asuransi dan Rp 200 milyar bagi reasuransi
Kelonggaran lain diberikan kepada industri asuransi ketika
departemen keuangan melonggarkan persyaratan tenaga ahli/ajun ahli
asuransi seperti yang tertuang dalam SK Menteri Keuangan No.
223/KMK.017/1993 dengan SE No. 147/MK.17/1998 tanggal 17 Februari
1998 yang memberi kemudahan syarat-syarat pemenuhan tenaga ahli setelah
dilampauinya batas waktu lima tahun untuk memenuhi ketentuan tenaga ahli
asuransi. Belum lagi bila ketentuan syarat permodalan bagi perusahaan
asuransi sebesar Rp 100 milyar ditafsirkan sebagai ketentuan diskriminatif
yang merupakan entery barrier bagi pendatang baru ketika kepada
perusahaan asuransi lama diberlakukan ketentuan solveny margin dengan
pendekatan RBC
Dengan ketentuan yang sangat longgar diatas, tampak betapa industri
asuransi telah menikmati proteksi yang demikian besar dalam sepuluh tahun
hingga 2004 sebagai konsekuensi dari ketiadaan mekanisme skema
penjaminan pemerintah yang diluar negeri berbentuk guaranty funds berasal
dari iuran seluruh perusahaan asuransi untuk membentuk perusahaan
asuransi yang mengalami insolvent
Dari uraian Bab-bab sebelumnya dijelaskan bahwa manfaat penting dari
asuransi adalah membantu masyarakat dalam rangka mengatasi segala masalah
risiko yang dihadapinya. Hal itu akan memberikan ketenangan dan kepercayaan
diri yang lebih tinggi kepada yang bersangkutan. Dilihat dari sarana pengumpulan
dana yang cukup besar, sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
masyarakat dan pembangunan. Sebagai sarana untuk mengatasi risiko-risiko yang
dihadapi dalam melaksanakan pembangunan.
Dari berbagai manfaat asuransi tersebut, masyarakat akan banyak
menggunankan asuransi dalam mengcover risiko kehidupannya melalui sarana
asuransi. Oleh karena itu banyak yang harus dilakukan oleh pihak-pihak terkait
agar masyarakat semakin menyenangi menggunakan asuransi (insurance minded),
melalui usaha pengenalan asuransi (manfaat dan keuntungan menggunakan
asuransi) dan penciptaan usaha perasuransian yang sehat.
Asuransi sebagai bagian dari perikatan, merupakan perjanjian secara sadar
antara tertanggung dengan penanggung. Asuransi yang sehat akan
menguntungkan masyarakat karena tertanggung (nasabah asuransi) akan
memperoleh perlindungan hukum, sedangkan bagi pelaku bisnis asuransi akan
menikmati hasil usahanya sesuai dengan kaidah bisnis yang diharapkan.
Dalam perkembangannya, usaha perasuransian yang sedemikian cepat
dilakukan dengan mengeluarkan berbagai ketentuan atau peraturan, baik dalam
bentuk Peraturan Presiden, Peraturan Menteri maupun peraturan lainnya.
Kecepatan gerak langkah usaha perasuransian di Indonesia lebih
didominasi oleh peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang.
Sedangkan undang-undang yang mengatur usaha perasuransian sendiri, dalam
beberapa hal ketinggalan dengan perkembangan usaha perasuransian yang sangat
cepat.
Salah satu bukti ketertinggalan ketentuan-ketentuan dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, adalah belum
diakomodasikannya usaha perasuranisian berbasis syariah. Padahal secara kasat
mata, dapat dilihat bahwa usaha perasuransian berbasis syariah sudah berkembang
cukup pesat. Ketentuan-ketentuan yang digunakan masih menggunakan berbagai
peraturan-peraturan di bawah undang-undang, seperti Peraturan Presiden,
Peraturan Menteri dan lain sebagainya.
Oleh karena itu sudah waktunya dilakukan perbaikan atau penyempurnaan
Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian agar dapat
memasukkan usaha asuransi berdasarkan syariah.
Sebagian kalangan Islam beranggapan bahwa asuransi sama dengan
menentang qodlo dan qadar atau bertentangan dengan takdir. Pada dasarnya Islam
mengakui bahwa kecelakaan, kemalangan dan kematian merupakan takdir Allah.
Hal ini tidak dapat ditolak. Hanya saja kita sebagai manusia juga diperintahkan
untuk membuat perencanaan untuk menghadapi masa depan. Allah berfirman
dalam surat Al Hasyr: 18, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman
bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah siap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuat untuk hari esok (masa depan) dan bertaqwalah kamu kepada Allah.
Sesunguhnya Allah Maha mengetahui apa yang engkau kerjakan”. Jelas sekali
dalam ayat ini kita diperintahkan untuk merencanakan apa yang akan kita perbuat
untuk masa depan.
Dalam Al Qur‟an surat Yusuf :43-49, Allah menggambarkan contoh usaha
manusia membentuk sistem proteksi menghadapi kemungkinan yang buruk di
masa depan. Secara ringkas, ayat ini bercerita tentang pertanyaan raja Mesir
tentang mimpinya kepada Nabi Yusuf. Dimana raja Mesir bermimpi melihat tujuh
ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus, dan dia
juga melihat tujuh tangkai gandum yang hijau berbuah serta tujuh tangkai yang
merah mengering tidak berbuah.
Nabi Yusuf sebagaimana diceritakan dalam surat Yusuf, dalam hal ini
menjawab supaya raja dan rakyatnya bertanam tujuh tahun dan dari hasilnya
hendaklah disimpan sebagian. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun
yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang disimpan untuk menghadapi masa
sulit tesebut, kecuali sedikit dari apa yang disimpan. Sangat jelas dalam ayat ini
kita dianjurkan untuk berusaha menjaga kelangsungan kehidupan dengan
memproteksi kemungkinan terjadinya kondisi yang buruk. Dan sangat jelas ayat
diatas menyatakan bahwa berasuransi tidak bertentangan dengan takdir, bahkan
Allah menganjurkan adanya upaya-upaya menuju kepada perencanaan masa
depan dengan sistem proteksi yang dikenal dalam mekanisme asuransi.
Jadi, jika sistem proteksi atau asuransi dibenarkan, pertanyaan selanjutnya
adalah: apakah asuransi yang kita kenal sekarang (asuransi konvensional) telah
memenuhi syarat-syarat lain dalam konsep muamalat secara Islami. Dalam
mekanisme asuransi konvensional terutama asuransi jiwa, paling tidak ada tiga hal
yang masih diharamkan oleh para ulama, yaitu: adanya unsur gharar (ketidak
jelasan dana), unsur maisir (judi/gambling) dan riba (bunga). Ketiga hal ini akan
dijelaskan dalam penjelasaan rinci mengenai perbedaan antara asuransi
konvensional dan syariah.
Asuransi jiwa syariah dan asuransi jiwa konvensional mempunyai tujuan
sama yaitu pengelolaan atau penanggulangan risiko. Perbedaan mendasar antara
keduanya adalah cara pengelolaannya pengelolaan risiko asuransi konvensional
berupa transfer risiko dari para peserta kepada perusahaan asuransi (risk transfer)
sedangkan asuransi jiwa syariah menganut azas tolong menolong dengan
membagi risiko diantara peserta asuransi jiwa (risk sharing).
Selain perbedaan cara pengelolaan risiko, ada perbedaan cara mengelola
unsur tabungan produk asuransi. Pengelolaan dana pada asuransi jiwa syariah
menganut investasi syariah dan terbebas dari unsur ribawi. Secara rinci perbedaan
antara asuransi jiwa syariah dan asuransi jiwa konvensional dapat dilihat pada
uraian berikut :
Kontrak atau Akad
Kejelasan kontrak atau akad dalam praktik muamalah menjadi prinsip
karena akan menentukan sah atau tidaknya secara syariah. Demikian pula dengan
kontrak antara peserta dengan perusahaan asuransi. Asuransi konvensional
menerapkan kontrak yang dalam syariah disebut kontrak jual beli (tabaduli).
Dalam kontrak ini harus memenuhi syarat-syarat kontrak jual-beli.
Ketidakjelasaan persoalan besarnya premi yang harus dibayarkan karena
bergantung terhadap usia peserta yang mana hanya Allah yang tau kapan kita
meninggal mengakibatkan asuransi konvensional mengandung apa yang disebut
gharar ketidakjelasaan pada kontrak sehingga mengakibatkan akad pertukaran
harta benda dalam asuransi konvensional dalam praktiknya cacat secara hukum.
Sehingga dalam asuransi jiwa syariah kontrak yang digunakan bukan kontrak
jual beli melainkan kontrak tolong menolong (takafuli). Jadi asuransi jiwa
syariah menggunakan apa yang disebut sebagai kontrak tabarru yang dapat
diartikan sebagai derma atau sumbangan. Kontrak ini adalah alternatif uang sah
dan dibenarkan dalam melepaskan diri dari praktik yang diharamkan pada
asuransi konvensional. Tujuan dari dana tabarru‟ ini adalah memberikan dana
kebajikan dengan niat ikhlas untuk tujuan saling membantu satu dengan yang lain
sesama peserta asuransi syariah apabila diantaranya ada yang terkena musibah.
Oleh karenanya dana tabarru‟ disimpan dalam satu rekening khsusus, dimana bila
terjadi risiko, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening dana tabarru‟ yang
sudah diniatkan oleh semua peserta untuk kepentingan tolong menolong.
Kontrak Al-Mudharabah
Penjelasan di atas, mengenai kontrak tabarru‟ merupakan hibah yang
dialokasikan bila terjadi musibah. Sedangkan unsur di dalam asuransi jiwa bisa
juga berupa tabungan. Dalam asuransi jiwa syariah, tabungan atau investasi harus
memenuhi syariah.
Dalam hal ini, pola investasi bagi hasil adalah cirinya dimana perusahaan
asuransi hanyalah pengelola dana yang terkumpul dari para peserta. Secara teknis,
al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak
pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan pihak lainnya
menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh pemilik
modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pengelola. Seandainya
kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka
pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Kontrak bagi hasil disepakati didepan sehingga bila terjadi keuntungan
maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan kontrak
bagi hasilnya adalah 60:40, dimana peserta mendapatkan 60 persen dari
keuntungan sedang perusahaan asuransi mendapat 40 persen dari keuntungan.
Dalam kaitannya dengan investasi, yang merupakan salah satu unsur
dalam premi asuransi, harus memenuhi syariah Islam dimana tidak mengenal apa
yang biasa disebut riba. Semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya
dengan mekanisme bunga.
Dengan demikian asuransi konvensional susah untuk menghindari riba.
Sedangkan asuransi syariah dalam berinvestasi harus menyimpan dananya ke
berbagai investasi berdasarkan syariah Islam dengan sistem al-mudharabah.
Tidak Ada Dana Hangus
Pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, dimana peserta tidak
dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa
jatuh tempo. Begitu pula dengan asuransi jiwa konvensional non-saving (tidak
mengandung unsur tabungan) atau asuransi kerugian, jika habis masa kontrak dan
tidak terjadi klaim, maka premi asuransi yang sudah dibayarkan hangus atau
menjadi keuntungan perusahaan asuransi. Dalam konsep asuransi syariah,
mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun
karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, maka dana atau premi yang
sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil saja
yang sudah diniatkan untuk dana tabarru‟ yang tidak dapat diambil.
Begitu pula dengan asuransi syariah umum, jika habis masa kontrak dan tidak
terjadi klaim, maka pihak perusahaan mengembalikan sebagian dari premi
tersebut dengan pola bagi hasil, misalkan 60:40 atau 70:30 sesuai dengan
kesepakatan kontrak di muka. Dalam hal ini maka sangat mungkin premi yang
dibayarkan di awal tahun dapat diambil kembali dan jumlahnya sangat bergantung
dengan tingkat investasi pada tahun tersebut.
Manfaat Asuransi Syariah
Asuransi syariah dapat menjadi alternatif pilihan proteksi bagi pemeluk
agama Islam yang menginginkan produk yang sesuai dengan hukum Islam.
Produk ini juga bisa menjadi pilihan bagi pemeluk agama lain yang memandang
konsep syariah adil bagi mereka. Syariah adalah sebuah prinsip atau sistem yang
ber-sifat universal dimana dapat dimanfaatkan oleh siapapun juga yang berminat.
Demikianlah sekilas ulasan mengenai asuransi syariah. Semoga ulasan ini
menambah wawasan dan pengetahuan anda.
Perbandingan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional.
1. Persamaan antara asuransi konvensional dan asuransi syari‟ah. Jika diamati
dengan seksama, ditemukan titik-titik kesamaan antara asuransi konvensional
dengan asuransi syariah, diantaranya sebagai berikut:
Akad kedua asuransi ini berdasarkan keridloan dari masing- masing pihak.
Kedua-duanya memberikan jaminan keamanan bagi para anggota
Kedua asuransi ini memiliki akad yang bersifad mustamir (terus)
Kedua-duanya berjalan sesuai dengan kesepakatan masing-masing pihak.
2. Perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syariah. Dibandingkan
asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam
beberapa hal.
Keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah
merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi
manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan
dengan syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu
tidak mendapat perhatian.
Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu
nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami
kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jualbeli antara nasabah dengan perusahaan).
Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi)
diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil
(mudharobah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana
dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah.
Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya.
Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan
dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan
kebijakan pengelolaan dana tersebut.
Untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening
tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk
keperluan tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah.
Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil
dari rekening milik perusahaan.
Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana
dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan
dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik
perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
Perbedaan mendasar lainnya dapat kita perhatikan dari butir konsep di
bawah ini:
1. Aqad (perjanjian), perjanjian dalam asuransi syariah bukan perjanjian
muawwadah, tetapi perjanjian taawun bi al syarti (tabarru‟ bi al- syarti).
Dimana masing-masing pihak bersedia saling membantu antara satu sama lain
dengan syarat setiap peserta hanya akan menanggung risiko sesuai dengan
peristiwa yang terjadi ditambah dengan kos operasional dan keuntungan yang
akan diperoleh pihak pengelola.
2. Perlakuan akuntansi, setiap premi yang masuk bukanlah dianggap sebagai
revenue, tetapi ia dianggap sebagai titipan kepada pihak perusahaan, dimana
pihak perusahaan wajib mengembalikan sebagian surplus underwriting yang
didapat, kepada para peserta asuransi dengan cara proporsional.
3. Manajemen dianggap sebagai mudharib kalau kontraknya mudharabah dan
menjadi wakil kalau akadnya wakalah bilujrah dimana mereka akan mengelola
dana masyarakat dalam menanggung risiko yang akan muncul.
4. Uang-uang yang dikelola tidak boleh diinvestasikan dalam hal-hal yang
berbentuk riba
5. Pembayaran iuran taawun atau tabarru‟ bisa bertambah dan bisa berkurang
sesuai dengan surplus underwriting yang didapati oleh perusahaan asuransi.
6. Perusahaan asuransi dalam asuransi kerugian disebut sebagai pemegang
amanah, dimana ia diamanahi mengelola risiko dan uang premi yang
diserahkan kepadanya. Dan peserta asuransi adalah peserta asuransi, bukan
pembeli polis.
7. Hubungan antara pemegang amanah dan peserta asuransi adalah hubungan
kemitraan, bukan hubungan antara pihak penanggung dan tertanggung.
8. Peristiwa walaupun sifatnya ihtimal, tetapi karena kontraknya taawun bukan
muawwadah, maka tidak terjadi gharar. Jadi tidak ada yang diragukan lagi
dalam kontrak dan pengurusan asuransi secara syariah, dan masyarakat
muslim khususnya tidak lagi menjalankan suatu transaksi yang berisiko secara
keyakinannya dan bisa menjadikan dirinya terkutuk dihadapan Allah dan
sengsara diakhirat kelak.
Dalam konsep Islam asuransi Islami bukan semata profit oriented, tetapi ia
mengandung nilai social oriented, jadi perpaduan antara dua kepentingan inilah
yang dibangun oleh asuransi syariah dalam menjalankan roda bisnisnya. Karena
perbedaan orientasi dan filosopi inilah yang menyebabkan perusahaan asuransi
Islami perlu hati-hati dan para pemilik dan pengurusnya mesti orang-orang yang
memahami karakteristik ini agar jangan sampai prinsip Islam tidak digadaikan
demi kepentingan sesaat.
Dari perbandingan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi
konvensional tidak memenuhi standar syar‟i yang bisa dijadikan objek muamalah
yang syah bagi kaum muslimin. Hal itu dikarenakan banyaknya penyimpanganpenyimpangan syariat yang ada dalam asuransi tersebut.
Oleh karena itu hendaklah kaum muslimin menjauhi dari bermuamalah
yang menggunakan model-model asuransi yang menyimpang tersebut, serta
menggantinya dengan asuransi yang senafas dengan prinsip-prinsip muamalah
yang telah dijelaskan oleh syariat Islam seperti bentuk-bentuk asuransi syariah
yang telah kami paparkan di muka.
Perbedaan asuransi syariah dan konvensional
ASURANSI KONVENSIONAL
1. Ciri-ciri Asuransi konvensional Ada beberapa ciri yang dimiliki asuransi
konvensional, diantaranya adalah:
Akad asuransi konvensianal adalah akad mulzim (perjanjian yang wajib
dilaksanakan) bagi kedua belah pihak, pihak penanggung dan pihak
tertanggung. Kedua kewajiban ini adalah keawajiban tertanggung
menbayar premi-premi asuransi dan kewajiban penanggung membayar
uang asuransi jika terjadi peristiwa yang diasuransikan.
Akad asuransi ini adalah akad mu‟awadhah, yaitu akad yang didalamnya
kedua orang yang berakad dapat mengambil pengganti dari apa yang telah
diberikannya dengan kata lain akad tukar menukar.
Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua
belah pihak penanggung dan tertanggung pada waktu melangsungkan akad
tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil.
Akad asuransi ini adalah akad idz‟an (penundukan) pihak yang kuat adalah
perusahan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang
tidak dimiliki tertanggung,
2. Asuransi dalam Sudut Pandang Hukum Islam. Mengingat masalah asuransi ini
sudah memasyarakat di Indonesia dan diperkirakan ummat Islam banyak
terlibat di dalamnya, maka permasalahan tersebut perlu juga ditinjau dari
sudut pandang agama Islam.
Di kalangan ummat Islam ada anggapan bahwa asuransi itu tidak Islami.
Orang yang melakukan asuransi sama halnya dengan orang yang mengingkari
rahmat Allah. Allah-lah yang menentukan segala-segalanya dan memberikan
rezeki kepada makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:
• Prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong menolong). Dimana
nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami
kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli(jual beli
antara nasabah dengan perusahaan).
• Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi)
diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil
(mudharabah).Sedangkan pada asuransi konvensional investasi dana dilakukan
pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
• Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah.
Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan
pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan
perusahaanlah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan
pengelolaan dana tersebut.
• Bila ada peserta yang terkena musibah untuk pembayaran klaim nasabah dana
diambilkan dari rekening tabarru‟(dana sosial) seluruh peserta yang sudah
diikhlaskan untuk keperluan tolong menolong. Sedangkan dalam asuransi
konvensional dan pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
• Keuntungan investasi di bagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan
perusahaan selaku pengelola dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam
asuransi konvensional keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika
tidak ada klaim nasabah tak memperoleh apa-apa.
• Adanya Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah yang
merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi
manajemen produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan
syariat Islam. Adapun dalam asuransi konvensional maka hal itu tidak
mendapat perhatian.
Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi syariah masih
mendasarkan legalitasnya pada Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal 246, yaitu :”Asuransi
adalah suatu perjanjian dimana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada
seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan
penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu
peristiwa yang tak tentu.” Pengertian ini tidak dapat dijadikan landasan hukum
yang kuat bagi Asuransi Syariah karena tidak mengatur keberadaan asuransi
berdasarkan prinsip syariah, serta tidak mengatur teknis pelaksanaan kegiatan
asuransi dalam kaitannya kegiatan administrasinya. Pedoman untuk menjalankan
usaha asuransi syariah terdapat dalam Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman
Umum Asuransi Syariah, fatwa tersebut dikeluarkan kareni regulasi yang ada
tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan kegiatan Asuransi Syariah.
Tetapi fatwa DSN-MUI tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dalam Hukum
Nasional karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Agar ketentuan Asuransi Syariah memiliki kekuatan hukum, maka
perlu dibentuk peraturan yang termasuk peraturan perundang-undangan yang ada
di Indonesia meskipun dirasa belum memberi kepastian hukum yang lebih kuat,
peraturan tersebut yaitu Keputusan Menteri Keuangan RI No.426/KMK.06/2003,
Keputusan Menteri Keuangan RI No. 424/KMK.06/2003 dan Keputusan
Direktorat Jendral Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000. Dan terakhir adalah
Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 2008. Semua keputusan tersebut menyebutkan
mengenai aturan dan permodalan sistem asuransi berbasis Syariah.
Asuransi syariah berkembang pesat seiring pesatnya pula perkembangan
perbankan syariah di Indonesia. Hal ini dimulai dengan berdirinya Asuransi
Takaful Indonesia tahun 1994 yang terdiri dari takaful umum dan takaful
Keluarga dan diikuti oleh asuransi Syariah Mubarakah tahun 2001 sebagai
pelopor asuransi syariah di Indonesia. Dan hingga kini setidaknya ada 35
perusahaan asuransi yang sudah pula membuka cabang syariah. Dengan demikian
sudah ada 38 syariah yang telah beroperasi secara syariah. Data direktorat
Asuransi Departemen Keuangan menunjukan bahwa bisnis asuransi syariah ratarata tumbuh 20% pertahun. Hampir semua ulama Fiqh sepakat tentang keberadaan
asuransi syariah, namun tetap ada yang berbeda pendapat. Hal ini terjadi karena
kurangnya informasi ketika mengeluarkan fatwa tersebut. Seandainya mereka
diberi informasi yang benar tentu hasil pendapat akan sama antara satu ulama dan
lainnya.
Dengan berkembangnya usaha perasuransian syariah maka muncullah
berbagai literatur dalam berbagai bahasa seperti dalam bahasa arab, bahasa
Inggeris dan bahasa Indonesia dan juga buku-buku terjemahan yang sudah banyak
beedar di Indonesia. Dari literatur tersebut diuraikan tentang konsep, falsafah dan
sitem asuransi syariah dan bagaimana cara operasinya dan dengan jelas tidak ada
satu bentuk operasinya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
Dengan begitu, asuransi bukanlah satu bentuk upaya melawan takdir,
melainkan justru sebuah perencanaan hidup yang sesuai dengan tuntunan AlQur`an. Ada pun kontrak dan operasional bisnis asuransi bisa dibuat sefleksibel
mungkin tanpa kehilangan ruh syariahnya. Terdapat berbagai aqad yang dapat
diaplikasikan kepada produk-produk asuransi syariah sebagaimana yang telah
difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, seperti akad
wakalah bil ujrah, mudharabah musytarakah, aqad tabarru‟, akad wadiah dan
mungkin saja akad-akad lain yang sesuai dengan karakter produk, seperti yang
telah diurakan sebelumnya.
A. Usaha Perasuransian Syariah
Perkembangan masyarakat yang sedemikian cepat, menyebabakan
perkembangan kegiatan usaha masyarakat juga berkembang. Jenis-jenis
risiko yang dialihkan kepada asuransi juga terus berkembang. Usaha perasuransian harus terus perlu dikembangkan baik dari sisi permodalan,
maupun sumber daya manusianya.
Di samping itu dengan perkembangan tingkat kesadaran beragama
umat manusia juga mempengaruhi usaha perasuransian. Indonesia sebagai
negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia mengalami pula
perkembangan tingkat kesadaran beragama. Usaha-usaha yang bersifat
konvensional yang pada umumnya mengandung unsure riba (ribawi) dan
atau unsure judi (maisir) cenderung ditolak oleh sebagian umat Islam.
Praktek-praktek usaha yang berusaha menghilangkan unsure ribawi dan
maisir tersebut, dalam bidang ekonomi munculnya praktek-praktek
berdasarkan syariah Islam, misalnya dalam dunia perbankan, asuransi,
saham dan lain sebagainya.
Usaha perasuransian konvensional di Indonesia mengalami hal tersebut
(ditolak oleh sebagain masyarakat Islam). Adanya kegiatan usaha asuransi
berdasarkan syariah menunjukkan bahwa ada segmen-segmen masyarakat
tertentu khususnya umat Islam yang berusha menghindarkan praktek-prajtek
bernuansa ribawi dan maisir. Pembukaan cabang-cabang perusahaan
asuransi konvensional dengan usaha asuransi syariah menunjukkan bahwa
segmen pasar dari asuransi syariah cukup menjanjikan.
Perkembangan usaha asuransi berdasarkan syariah tersebut ternyata
belum didukung dengan ketentuan yang cukup, khususnya dalam bentuk
undang-undang. Ketentuan yang mengatur usaha perasuransian (UU No. 2
tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian) hanya mengatur ketentuanketentuan bagi asuransi konvensional, sedangkan asuransi berdasarkan
syariah belum diatur sama sekali. Oleh karena itu untuk menampung dan
memberikan kepastian hukum untuk kegiatan usaha perasuransian
berdasarkan syariah perlu dilakukan revisi terhadap substansi undangundang tersebut agar dapat pula mengatur usaha perasuransian berdasarkan
syariah, karena dalam praktek sehari-hari telah banyak bermunculan usaha
asuransi berdasarkan syariah, bahkan telah ada pula beberapa usaha
perasuransian konvensional yang membuka cabangnya berdasarkan kaidah
usaha perasuransian syariah.
Hal ini penting mengingat terdapat perbedaan mendasar antara usaha
perasuransian konvensional dengan usaha perasuransian berdasarkan
syariah. Pengaturan usaha perasuransian syariah dengan peraturan
perundang-undangan setingkat menteri sudah kurang sesuai lagi mengingat
dalam beberapa hal kedudukan peraturan menteri masih dipertanyakan sebab
tidak termasuk dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan sebagaimana
di atur dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
B. Perlindungan Usaha Perasuransian Nasional
Sebagai negara besar, Indonesia perlu memiliki perusahaan asuransi
nasional yang cukup kuat, yang mampu menjadi penanggung risiko dari
kegiatan masyarakatnya. Pengembangan dan perlindungan kepada usaha
asuransi nasional mutlak dilakukan agar mereka dapat berkembang dan
menjadi kebanggaan sebagai suatu bangsa.
Sebagai bagian dari masyarakat internsional dan sebagai negara yang
telah meratifikasi ketentuan-ketentuan dalam World Trade Organization
(WTO) melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994, Indonesia wajib
memberikan kesempatan kepada perusahaan-perusahaan asing dengan
perlakuan yang sama dengan perusahaan nasional termasuk dalam bidang
usaha perasuransian. Adanya perusahaan atau modal asing telah pula diatur
dalam Undang-Undang No2 tahun 1992 tentang Usaha perasuransian (lihat
ketentuan Pasal 8 ayat 1 huruf b dan ayat (2) dan ayat (3).
Adanya perusahaan-perusahaan asing yang terjun dalam bidang
asuransi, pada satu sisi mempunyai dampak positif, misalnya sebagai sarana
pembelajaran bagi usaha perasuransian nasional baik dari sisi manajemen
maupun dari sisi peningkatan sumber daya manusia. Pengalamanpengalaman yang diperoleh dari perusahaan asuransi asing besar di berbagai
negara dapat ditiru dan kemudian dikembangkan di Indonesia oleh
perusahaan asuransi nasional.
Namun, masuknya perusahaan asuransi asing ke Indonesia membawa
pula dampak negatif. Persaingan antara perusahaan asuransi asing dengan
perusahaan asuransi dalam negeri menjadi tidak proporsional terutama
dilihat dari sisi permodalan. Perusahaan asuransi asing yang masuk ke
Indonesia adalah perusahaan asuransi besar yang bersifat Multi Corporate
national (MNC). Perusahaan tersebut mempunyai kapitalisasi modal yang
sangat besar dibandingkan dengan perusahaan asuransi nasional, sehingga
pengalihan risiko dari usaha-usaha besar cenderung dialihkan kepada usaha
asuransi asing, sedangkan usaha asuransi nasional hanya akan mendapat
bagian pengalihan resiko kegiatan usaha kecil-kecil saja.
Kenyataan tersebut menyebabkan banyak sekali devisa negara yang
lari ke luar negeri untuk pembayaran premi dari asuransi usaha-usaha besar
tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar Rp 40 Triliun setiap
tahun devisa keluar untuk kegiatan asuransi.
Perlindungan usaha asuransi nasional mutlak dilakukan agar usaha
perasuransian nasional yang memiliki permodalan kecil dan sumber daya
manusia yang terbatas jangan sampai mati atau berpindah ke tangan asing.
Dengan data tersebut menunjukkan bahwa potensi kehilangan devisa dari
tidak dilindunginya perusahaan asuransi nasional cukup besar. Untuk
mengatasi hal tersebut, perusahaan asing hendaknya bekerjasama dengan
perusahaan asuransi nasional. Dana masyarakat yang berhasil dihimpun oleh
perusahaan asuransi asing harus di investasikan di Indonesia.
C. Perjanjian Asuransi
Asuransi dapat dipandang dari berbagai sisi ilmu, baik ilmu sosial,
ekonomi maupun ilmu hukum. Dalam ilmu hukum atau asuransi secara
yuridis dapat diartikan sebuah perjanjian nominat di samping perjanjian jual
beli, sewa menyewa dan lain-lainnya sebagaimana di atur dalam hukum
perdata.
Dalam asuransi pihak yang satu yaitu penanggung, dengan
memperoleh imbalan yang disebut premi mengikat diri terhadap pihak
lainnya yaitu pengambil asuransi untuk jika terjadi suatu peristiwa tertentu
yang ketika perjanjian ditutup bagi kedua belah pihak bersifat tidak pasti
memberi kerugian atau membayar sejumlah uang tertentu kepada pihak yang
berhak.
Apabila kita melihat Undang-Undang No.2 tahun 1992 tentang usaha
Perasuransian, jelas-jelas hanya mengatur mengenai jenis-jenis usaha
perasuransian, undang-undang tersebut belum mengatur mengenai perjanjian
asuransinya. Ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian asuransi masih
diatur dengan ketentuan peninggalan kolonial Belanda yang usianya telah
lebih dari satu abad (100 tahun).
Ketentuan mengenai perjanjian asuransi masih mengacu pada Wetboek
van Koophandel voor Indonesie (WvK) atau Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang, Buku I title 3 dan title 10 serta Buku 2 titel 9 dan title 10.
Ketentuan pengaturan perjanjian termasuk perjanjian asuransi tersebut jelas
telah ketinggalan jaman karena perkembangan bisnis asuransi cukup pesat,
apalagi bila dikaitkan dengan perkembangan bisnis asuransi berdasarkan
syariah yang mempunyai dasar-dasar perjanjian atau akad yang berbeda
dibandingkan dengan asuransi konvensional.
Pembuatan hukum perjanjian menjadi sangat penting karena
pembuatan perjanjian seperti kontrak-kontrak bertaraf internasional telah
banyak dilakukan oleh entitas ekonomi di Indonesia. Perjanjian yang
dilakukan termasuk pula perjanjian di bidang asuransi.
Skim asuransi bila disimak dari apa yang dirumuskan sebagai asuransi
oleh Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) adalah
suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada
seorang tertanggung, dengan menerima premi, untuk memberikan
penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu
peristiwa yang tak tertentu. Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun
1992 tentang Usaha Perasuransian merumuskan asuransi atau pertanggungan
sebagai perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi,
untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung
jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung,
yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan
suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang
yang dipertanggungkan.
Rumusan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Asuransi tersebut lebih luas
jika dibandingkan dengan rumusan Pasal 246 KUHD karena mencakup juga
asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Pihak-pihak yang menjadi subjek dalam
asuransi adalah penanggung dan tertanggung yang mengadakan perjanjian
asuransi. Penanggung dan tertanggung adalah pendukung hak dan
kewajiban. Penanggung wajib memikul risiko yang dialihkan kepadanya dan
berhak memperoleh pembayaran premi, sedangkan tertanggung wajib
membayar premi dan berhak memperoleh penggantian jika timbul kerugian
atas harta miliknya yang diasuransikan.
Dari rumusan di atas setidaknya terlihat adanya dua perbedaan
mendasar antara asuransi dan penjaminan yaitu, Pertama, subjek yang
menjadi para pihak. Dalam penjaminan ada tiga pihak yang menjadi subjek
yaitu penanggung, debitur sebagai pihak tertanggung dan bank sebagai pihak
yang menerima manfaat penanggungan. Kedua, kewajiban membayar premi
dan menerima penggantian kerugian. Dalam asuransi yang wajib membayar
premi adalah pihak yang berhak memperoleh penggantian jika timbul
kerugian atas harta miliknya yang diasuransikan. Sedangkan dalam
penjaminan, premi dibayar oleh nasabah, sedangkan yang berhak
memperoleh penggantian jika timbul kerugian adalah bank. Dalam
kaitannya dengan skim penjaminan, lembaga penjamin sebagai penanggung
harus melepaskan hak istimewanya untuk menuntut barang-barang debitur
lebih dulu disita dan dijual. Apabila hak istimewa tersebut tidak dilepaskan
maka skim penjaminan tersebut tidak akan berjalan.
Urgensi amandemen Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang
Perasurasian di Indonesia, menjadi sebuah keniscayaan yang tak terelakkan.
Banyak perkembangan baru yang terjadi selama 15 tahun terakhir yang
belum terakomodir dalam perundang-undangan di atas. Selama ini
pemerintah (dalam hal ini Departemen Keuangan) menyiasatinya dengan
mengeluarkan keputusan-keputusan Menteri Keuangan, seperti Keputusan
Menteri Keuangan RI Nomor: 426/KMK.06/2003, Keputusan Menteri
Keuangan RI Nomor: 424/KMK.06/2003 dan Keputusan Direktorat Jenderal
Lembaga Keuangan Nomor: 4499/LK/2000. Seharusnya peraturan menteri
tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang. Dengan demikian,
peraturan tentang asuransi syariah berbentuk Undang-Undang, bukan
sekedar Keputusan Menteri Keuangan, sehingga lebih memberikan
kepastian hukum yang cukup kuat. Keharusan membentuk Undang-Undang
tersendiri dalam pengaturan asuransi syariah, adalah sebuah keharusan,
mengingat dalam bidang perbankan, pemerintah sudah mengeluarkan aturan
perbankan syariah secara tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008. Demikian pula peraturan tentang Surat Berharga Negara. Pemerintah
telah mengeluarkan peraturan khusus dalam bentuk Undang-Undang
tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008. Karena itu, aturan
tentang asuransi syariah sudah sangat tidak layak hanya didasarkan pada
keputusan menteri keuangan. Pada tahun 2008, Departemen Keuangan RI
kembali mengeluarkan peraturan melalui KMK (Keputusan Menteri
Keuangan) Nomor 124 Tahun 2008 mengenai asurasi kredit dan suretyship
untuk usaha asuransi umum syariah yang dilarang melakukannya sampai
ditetapkanya aturan tersendiri. Demikian pula peraturan Menteri Keuangan
Nomor 158 Tahun 2008 tentang dana jaminan. Seharusnya hal tersebut
diatur dalam perundangan-undangan juga, bukan sekedar Paratutan Menteri
Keungan. Pada tahun 2008 juga, pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 tentang pesyaratan permodalan dan
konsep unit syariah. Semua peraturan yang dikeluakan pemerintah di atas
semestinya diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang, bukan sekedar
Keputusan Menteri.
Sejak beberapa tahun terakhir, di Indonesia mulai marak dipasarkan
produk-produk asuransi unit link. Unit link adalah produk asuransi yang
menggabungkan layanan asuransi dan investasi sekaligus. Dengan menjadi
nasabah produk unit link, seseorang bisa mendapatkan manfaat ganda yaitu
perlindungan asuransi dan melakukan investasi. Produk asuransi yang
ditawarkan bisa berbentuk asuransi kesehatan atau asuransi jiwa, tetapi
biasanya dipasarkan dalam kemasan yang lebih menarik bagi masyarakat:
misalnya dalam bentuk tabungan masa depan atau asuransi pendidikan.
Seperti halnya asuransi biasa, nasabah asuransi unit link membayar
premi setiap jangka waktu tertentu, biasanya bulanan. Perbedaannya,
nasabah unit link membayar premi dalam dua porsi: yaitu : porsi premi
perlindungan dan porsi investasi. Premi perlindungan berfungsi sama
dengan premi pada asuransi biasa. Sedangkan porsi investasi akan
disetorkan oleh perusahaan asuransi kepada manajer investasi untuk
dikelola. Pada produk-produk tertentu, jika nantinya return dari investasi
bisa menutupi biaya premi, maka nasabah memiliki pilihan untuk tidak
membayar premi.
Unit Link mempunyai perbedaan juga dengan misalnya pada asuransi
dwiguna. Pada asuransi dwiguna, kegiatan investasi yang dilakukan oleh
nasabahnya dikelola oleh perusahaan asuransi yang bersangkutan dan
dananya bercampur dengan dana klaim untuk nasabah. Hal ini menyebabkan
perusahaan asuransi cenderung lebih konservatif dalam berinvestasi. Dan
biasanya juga kurang transparan kepada nasabahnya mengenai hasil
investasi yang diberikan. Sedangkan pada unit link, dana investasinya
dipisahkan dengan dana pertanggungan untuk klaim nasabah. Dana klaim
nasabah dikelola oleh perusahaan asuransi, sedangkan dana investasinya
dikelola oleh manajer investasi yang terpisah.
Mekanisme investasinya sendiri dilakukan secara lebih transparan
karena dana investasi tersebut dikelola secara terpisah sehingga bisa
dipertanggungjawabkan kepada nasabahnya. Unit link memang lebih save
dibandingkan dengan investasi bersifat riil lainnya karena ada pengawasan
yang cukup ketat dari lembaga pengawas keuangan.
Dalam kaitan pengawas lembaga keuangan untuk produk asuransi unit
link juga telah dikeluarkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan dengan Tahun 2006 Peraturan Usaha Perasuransian Nomor 2
sebagai Lampiran Keputusan Ketua No. Kep-104/BL/2006 tanggal 31
Oktober 2006. Penerbitan ketentuan tersebut untuk meningkatkan
transparansi kepada para pemegang polis asuransi unit link, dan upaya
harmonisasi antara produk unit link dengan ketentuan pasar modal, karena
investasi unit link dapat melaui sarana pasar modal.
Akan tetapi, pada produk unit link ada lebih banyak variabel yang
berperan. Hal ini menjadikan ilustrasi yang diberikan oleh penyedia layanan
asuransi menjadi sangat rumit, terutama bagi calon nasabah yang belum
mengenal asuransi dengan baik atau pemula. Jika calon nasabah tidak cukup
teliti atau jeli dalam menganalisis ilustrasi yang diberikan oleh penyedia
layanan asuransi, bukan tidak mungkin akan terdapat biaya-biaya lain yang
tidak disadari oleh calon nasabah. Tidak jarang, biaya-biaya ini baru
diketahui nasabah pertama kali dari polis yang didapatkan, atau bahkan
ketika biaya tersebut dibebankan kepada nasabah.
Pada unit link, akan menjadi sangat sulit bagi calon nasabah untuk
membandingkan satu layanan asuransi unit link dengan layanan unit link
lainnya, karena sistem yang digunakan bisa jadi jauh berbeda satu dengan
yang lain. Membandingkan dua atau lebih layanan asuransi biasa saja, sudah
cukup rumit apalagi harus membandingkan dengan berbagai macam urusan
investasi, seperti unit link yang nyata-nyatanya tidak benar-benar terpisah
dengan asuransi yang bersangkutan.
Namun, dengan perkembangan tersebut menunjukkan bahwa produkproduk usaha .perasuransian terus berkembang, yang belum diakomodasikan
dalam ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No.2 Tahun 1992
tentang Usaha Perasuransian.
Berdasarkan latar belakang masalah, pembahasan serta analisis,
dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tidak mampu mengakomodir
perkembangan perasuransian pada umumnya, hanya mengatur masalah
yang bersifat umum yaitu masalah tata cara pendirian asuransi umum
yang kurang menyentuh asuransi syariah, dengan alasan sebagai berikut:
a. Dari Segi Filosofis keberadaan Asuransi Konvensional dengan
Asuransi Syariah, mempunyai latar belakang yang sangat berbeda.
Asuransi Konvensional mendasarkan murni pada prisip ekonomi
yaitu adanya Keuntungan, sedangkan Asuransi Syariah mendasarkan
pada pola hidup kebersamaan, saling tolong menolong.
b. Asuransi Konvensional berdasarkan landasan KUHD, yang
bersumber dari Hukum Barat, sedangkan Asuransi syariah lebih
berlandaskan pada ajaran Islam, yaitu Al Qur‟an dan Hadits.
c. Asuransi Konvensional bermotif saling mencari keuntungan, terdapat
unsur gamblingnya, bersifat untung-untungan, sedangkan Asuransi
Syariah bermotif saling membagi keuntungan atau bagi hasil dan
berbagi risiko.
d. Penyelesaian sengketa Asuransi Konvensional diselesaikan melalui
Pengadilan Negeri/Arbitrase sedangkan Asuransi Syariah
diselesaikan melalui Basyarnas atau Pengadilan Agama.
2. Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 sangat banyak mengandung
kelemahan-kelemahan dan sudah tidak relevan lagi sehingga perlu
disesuaikan dengan perkembangan dunia bisnis.
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas Tim merekomendasikan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Materi Hukum
a. Perlu mengkaji kembali Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang
Usaha Perasuransian, karena sudah tidak sesuai dengan
perkembangan jaman, khususnya yang berkaitan dengan Bisnis
Perasuransian.
b. Perlu segera dibentuk Undang-undang yang baru, yang mengatur
secara khusus mengenai Asuransi Syariah, yang tentunya harus
mengacu pada hukum Islam.
2. Aparatur Hukum
a. Perlunya dukungan aparatur pelaksana yang cukup dilapangan dari
sisi kuantitatif maupun kualitatif, dalam hal penyelesaian sengketa
asuransi
b. Perlunya kejelasan hak dan tanggungjawab bagi petugas pelaksana
baik pada tataran kebijakan maupun pelaksana.
c. Perlunya peningkatan koordinasi yang menyangkut kebijakan,
operasional, struktur maupun fungsional.
3. Sarana dan Prasarana
a. Perlunya dukungan politis dari pemerintah, dalam pembentukan
Undang-undang Asuransi Syariah.
b. Perlunya dukungan pembiayaan dalam pembuatan Undang-undang
dimaksud
c. Perlunya komitmen dengan melibatkan seluruh komponen bangsa
termasuk masyarakat dalam hal potensi sarana untuk mendukung
pelaksanaan produk Undang-Undang
Related Posts:
asuransi B kemungkinan terjadinya sengketa bisnis antar kedua jenis asuransi tersebut sangat mungkin terjadi.Keluarnya Undang-Undang… Read More