Home »
asuransi A
» asuransi A
asuransi A
terpisahkan dari sistem keuangan, industri asuransi telah menunjukkan
pertumbuhan dan perkembangan yang cukup berarti. Hal ini terlihat dari
cukup banyaknya pelaku-pelaku usaha yang tumbuh dan berkembang
sebagai pemain dalam industri ini. Bahkan industri asuransi dapat ikut serta
berpartisipasi memulihkan keterpurukan ekonomi dengan menunjukkan
kemampuan dalam menyelesaikan klaim-klaim skala besar seperti akibat
kerusuhan Mei 1998, tsunami, gempa Yogya, banjir di Jakarta serta
kerugian-kerugian klaim lainnya.
Namun, harus diakui bahwa disamping kontribusi positif yang telah
ditunjukkan, masih ada kekurangan dan kelemahan yang ada pada industri
asuransi di Indonesia. Salah satu kelemahan yang cukup mendasar adalah
masih sangat terbatasnya modal pada sebagian besar perusahaan asuransi.
Selain itu masih terdapat praktek-praktek usaha yang umumnya belum
dilandasi oleh pemahaman dan pengamalan kaidah-kaidah dan prinsipprinsip asuransi yang sehat, tumbuhnya risiko-risiko industrial yang belum
ditangani dengan kompetensi teknis yang memadai, masih terjadi
perselisihan akibat kualitas pelayanan pra kontrak dan pasca kontrak
khususnya pelayanan klaim, keengganan bekerja sama secara ko asuransi,
konsorsium, pool dan reasuransi dengan sesama perusahaan asuransi dan
reasuransi lokal, kekurang pedulian terhadap kebutuhan penjenuhan
kapasitas dalam negeri dan masih mengalirnya devisa keluar negeri.
Untuk itu masih diperlukan perangkat peraturan serta pengawasan
yang memadai guna mencapai industri asuransi yang kuat dan sehat.
1. Pengertian Asuransi Konvensional
Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda assurantie (asuransi),
yang dalam hukum belanda disebut dan verzekering yang artinya
pertanggungan. Dalam bahasa Inggris, asuransi disebut insurance, yang
dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa populer dan diadopsi dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan padanan kata “pertanggungan”.
Echols dan Shadilly memaknai kata insurance dengan (a) asuransi, dan (b)
jaminan. Dalam bahasa Belanda biasa disebut dengan istilah assurantie.
Banyak definisi tentang asuransi (konvensional), namun, definisi
asuransi yang baku dapat dilacak dari peraturan (perundang-undangan)
dan beberapa buku yang berkaitan dengan asuransi.
Mark R. Greene : An economic institution that reduces risk by
combining under one management and group of objects so stuated that the
aggregate accidental losses to which the group is subject become
predictable within narrow limits (Institusi ekonomi yang mengurangi
resiko dengan menggabungkan di bawah satu manajemen dan kelompok
objek dalam suatu kondisi sehingga kerugian besar yang terjadi yang
diderita oleh suatu kelompok yang tadi dapat diprediksi dalam lingkup
yang lebih kecil.)
Robert I Mehr mendefinisikan asuransi adalah, “ a device for
reducing risk by combining a sufficient number of exposure units to make
their individual lossses collectively predictable. The predictable loss in
then shared by or distributed proportionately among all units in the
combination”. (Suatu alat untuk mengurangi resiko dengan
menggabungkan sejumlah unit-unit yang beresiko agar kerugian individu
secara kolektif dapat diprediksi. Kerugian yang dapat diprediksi tersebut
kemudian dibagi dan didistribusikan secara proporsional di antara semua
unit-unit dalam gabungan tersebut.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246
dijelaskan bahwa yang dimaksud asuransi atau pertanggungan adalah
“suatu perjanjian (timbal balik), dengan mana seorang penanggung
mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu
premi, untuk memberikan penggantian kepadanya, karena suatu kerugian,
kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin
akan dideritanya, karena suatu peristiwa tak tentu (onzeker vooral).”
Berdasarkan pada definisi yang ada pada Undang-undang Nomor 2
Tahun 1992, maka pengertian Asuransi adalah:
Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima
premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena
kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita
tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau
hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
2
Obyek asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan
manusia, tanggung jawab hukum serta semua kepentingan lainnya yang
dapat hilang, rusak, rugi, dan atau berkurang nilainya.
Rumusan mengenai definisi asuransi mencakup dua segi:
a. Segi Hukum
Secara otentik pengaturan asuransi terdapat dalam pasal 246 KUHD.
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian antar seorang
penanggung yang mengikatkan diri kepada seorang tertanggung
dengan menerima premi. Untuk memberikan penggantian kepadanya
karena suatu kerugian.
b. Segi Ekonomi
Untuk memindahkan resiko dari seseorang kepada orang lain
(asuransi) maka apabila dimasa mendatang terdapat kerugian yang
diderita seseorang akibat resiko yang dihadapinya, maka kerugian
tersebut dapat dialihkan kepada orang lain.
2. Prinsip-Prinsip Pokok Asuransi
a. Prinsip utmost good faith
Penutupan asuransi dianggap sah apabila dilakukan atas dasar itikat
baik (Pasal 251 KUHD)
b. Prinsip insurable interest
Bahwa tertanggung harus mempunyai kepentingan atas harta benda
yang akan dipertanggungkannya.
c. Prinsip indenvinity
Dasar pengertian kerugian kepada tertanggung dalam hal terjadi
kerugian atas harta benda yang dipertanggungkan setinggi-tingginya
sebesar kerugian yang benar-benar dideritanya.
d. Prinsip subrogation
Bila tertanggung sudah mendapat ganti rugi dari suatu pihak atas dasar
indevinity maka tertanggung tidak berhak lagi memperoleh ganti rugi
dari pihak lain.
3. Periode Perkembangan Industri Asuransi
a. Priode Tahun 1988 - 1992
Untuk meningkatkan daya serap kapasitas nasional dengan tujuan
memperkuat industri asuransi nasional dan mengurangi devisa dari
premi reasuransi keluar negeri, Pemerintah mengeluarkan paket
deregulasi yang dikenal dengan Pakdes 1988 melalui Keputusan
Presiden Nomor 40 Tahun 1988 menggantikan Keputusan Presiden
Nomor 65 Tahun 1969 beserta aturan pelaksanaannya. Konsekuensi
dari aturan baru ini antara lain adalah otoritas regulator menjadi tidak
terlihat dalam penetapan suku premi asuransi, sehingga tarif yang
semula mendapat legitimasi Pemerintah dikembalikan kepada industri
dan mekanisme pasar.
Kebijakan pemerintah ini seharusnya membawa dampak positif
bagi pasar jika industri asuransi cukup dewasa dan mampu
memanfaatkan kesempatan tersebut dengan baik untuk membenahi
keadaan khususnya masalah persaingan harga. Dalam kenyataannya,
mekanisme pasar tetap tidak membaik dan persaingan yang tidak sehat
tetap berlanjut. Dewan Asuransi Indonesia kemudian berupaya untuk
ikut mengamankan kebijakan Pemerintah, dengan prakarsa membuat
kesepakatan bersama antar perusahaan asuransi. Kesepakatan
ditandatangani oleh seluruh perusahaan anggota, namun demi
kepentingan mikro masing-masing perusahaan, sangat sulit bagi
anggota untuk mematuhinya.
Perhatian Pemerintah dalam mengembangkan industri asuransi
dilanjutkan dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun
1992 tentang Usaha Perasuransian sebagai landasan hukum Industri
Asuransi di Indonesia.
b. Periode Undang-Undang Perasuransian 1993 - 1998 (Krisis
Ekonomi dan Huru-hara)
Persaingan yang sehat seharusnya tidak terjadi dalam layanan
primer (primary services) tetapi boleh terjadi dalam layanan sekunder
(secondary services). Layanan primer adalah harga pokok risiko atau
suku premi yang besarannya harus dihitung berdasarkan statistik,
analisis risiko dan keputusan underwriting (underwriting judgement).
Penetapan suku premi tanpa mengindahkan kaidah-kaidah yang benar
akan menghadapkan perusahaan pada spekulasi ketidakseimbangan
volume premi dengan eksposur kerugian, ketidakstabilan hasil yang
diharapkan dan bahkan dapat berakibat pada kesulitan keuangan.
Layanan sekunder sejauh itu belum dikembangkan secara intensif
dalam konsep customer retention management, sebagai alat bersaing
dan membangun loyalitas konsumen. Kenyataan ini pula yang kurang
mendukung keberhasilan deregulasi (Pakdes 1988) dan Undangundang Nomor 2 Tahun 1992 dalam memperbaiki praktek usaha dan
persaingan. Kondisi industri asuransi yang belum membaik tersebut
kemudian harus menghadapi krisis multi dimensi dan klaim akibat
kerusuhan bulan Mei 1998.
Kerusuhan Mei 1998 telah membebankan klaim asuransi yang
harus dibayar oleh industri asuransi. Peristiwa itu juga telah membawa
dampak positif dengan meningkatnya kesadaran masyarakat urban
akan pentingnya asuransi. Sejak peristiwa tersebut, permintaan
asuransi dari segmen ritel (personal lines) khususnya asuransi
kebakaran dan kendaraan bermotor mulai meningkat secara signifikan
dan terus berkembang hingga sekarang. Permintaan yang sama juga
datang dari kalangan industri di wilayah luar untuk antisipasi
timbulnya social unrest dikalangan buruh dilingkungan usahanya.
c. Periode 1999 hingga sekarang
Konvensi internasional melalui WTO dan GAT telah mendorong
Pemerintah sebagai salah satu signatory untuk melakukan deregulasi
berbagai sektor jasa keuangan. Langkah deregulasi ini tercermin
diantaranya pada kebijakan Pemerintah yang berusaha untuk
membangun industri asuransi yang kuat dan sehat. Hal ini antara lain
dilakukan dengan upaya untuk meningkatkan modal perusahaan
asuransi dan reasuransi secara bertahap.
Bagi perusahaan-perusahaan asuransi yang sudah mendapat ijin
dan sudah beroperasi, ditetapkan aturan untuk mengukur kesehatan
keuangan atau solvency requirement berdasarkan formulasi Risk Based
Capital (RBC) yang pada akhir tahun 2004 harus sudah mencapai
120%. Selain RBC, untuk membatasi perusahaan-perusahaan asuransi
agar tidak sampai menanggung kewajiban klaim yang lebih besar dari
kemampuan keuangannya, diberlakukan ketentuan bahwa jumlah
Premi Netto setinggi-tingginya 300% dari Modal sendiri.
Pemerintah melakukan pengawasan dan pemantauan secara
seksama demi terpenuhinya ketentuan RBC atau batasan Premi Netto.
Non compliance terhadap ketentuan tersebut mengharuskan
perusahaan asuransi dan reasuransi untuk menambah modal atau
membatasi operasi atau volume bisnisnya.
4. Peraturan perundang-undangan
Adapun peraturan perundang-undangan yang terkait dengan industri
asuransi adalah:
a. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 63 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 73 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 73
Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
c. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
d. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
423/KMK.06/2003 tentang Pemeriksaan Perusahaan Peransuransian.
e. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi
dan Perusahaan Reasuransi.
f. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
135/PMK.05/2005 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
g. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
425/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha
Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi.
h. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
i. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
74/KMK.02/2006 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi
Lembaga Keuangan Non Bank.
5. Sistem dan Mekanisme Asuransi Konvensional
Beberapa hal yang pokok yang perlu menjadi perhatian dalam
pelaksanaan usaha perusahaan peransuransian adalah:
a. Permodalan
Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun
2008, modal setor minimum adalah sebagai berikut:
Untuk Perusahaan Asuransi : Rp 100 miliar
Untuk Perusahaan Reasuransi : Rp 200 miliar
Untuk Perusahaan Pialang
Asuransi dan Perusahaan
Pialang Reasuransi : Rp 1 miliar
Sedangkan modal disetor minimum bagi pendirian perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan
seluruh kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah adalah
sebagai berikut:
Untuk Perusahaan Asuransi : Rp 50 miliar
Untuk Perusahaan Reasuransi : Rp 100 miliar
b. Struktur Organisasi
Struktur organisasi perusahaan perasuransian sekurang-kurangnya
meliputi fungsi-fungsi sebagai berikut:
1) fungsi pengelolaan risiko;
2) fungsi pengelolaan keuangan;
3) fungsi pelayanan.
c. Kesehatan Keuangan
Kesehatan keuangan perusahaan asuransi kerugian, perusahaan
asuransi jiwa dan perusahaan reasuransi mencakup hal-hal sebagai
berikut:
1) Batas tingkat solvabilitas;
2) Retensi sendiri;
3) Reauransi;
4) Investasi;
5) Cadangan teknis.
6. Jenis-jenis/Produk Asuransi
Sebelum mengupas mengenai jenis-jenis/produk Asuransi
Konvensional di Indonesia, terlebih dahulu akan kita kenal mengenai
penggolongan asuransi;
a. AsuransiWajib (Asuransi Tenaga Kerja, Jasa Raharja)
b. Asuransi Sukarela
1) Asuransi jiwa (life insurance);
2) Asuransi kerugian (non life);
Asuransi pengangkutan
Asuransi kebakaran
Asuransi variasi
3) Reasuransi adalah usaha yang memberikan jasa dalam
pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh
perusahaan asuransi kerugian dan atau perusahaan asuransi jiwa;
4) Asuransi sosial adalah program asuransi sosial hanya dapat
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara.
Jenis-jenis Asuransi
1. Asuransi Umum/Kerugian
Usaha asuransi umum/kerugian memberikan jasa dalam penanggulanagn
risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
Perusahaan asuransi umum hanya dapat menyelenggarakan usaha dalam
bidang asuransi umum, termasuk reasuransi.
a. Asuransi Pengangkutan
Mengenai Asuransi Pengangkutan, dapat dirinci sebagai berikut:
Asuransi Pengangkutan Laut (Marinir Insurance)
Mengenai dasar hukum asuransi pengangkutan laut, diatur dalam
Pasal 592 KUHD yang langsung menyebutkan mengenai ketentuan
isi polis. Selanjutnya dalam Pasal 593 KUHD menyebutkan macammacam risiko yang menjadi pokok pertanggungan. Adapun cakupan
risiko yang dijamin antara lain:
1) Kebakaran dan peledakan
2) Kapal atau alat pengangkut mengalami kandas, terdampar,
tenggelam maupun terperangkap dalam karang.
3) Terbalik
4) Tabrakan kapal dengan benda-benda lain selain dengan air
5) Pembongkaran barang di pelabuhan darurat
Namun demikian, terdapat pengecualian terhadap penjaminan resiko
yang meliputi;
1) Tindakan yang melawan hukum dari setiap orang
2) Letusan gunung api
3) washing are boart
4) Memasukkan air laut ditempat penyimpanan barang.
5) TLO, setiap package
b. Asuransi Kebakaran
Risiko yang dijamin dalam asuransi kebakaran menurut
standar kebakaran Indonesia mencakup:
1) kebakaran karena api sendiri, tidak berhati-hati, kesalahan atau
kejahatan pembantu sendiri, tetangga, musuh, perampok atau
perintah yang wajib untuk menghindari menjalarnya kebakaran
itu
2) petir
3) peledakan
4) kejatuhan pesawat terbang
Mengenai hal-hal yang termasuk pengecualian dalam
penjaminan risiko asuransi kebakaran, mencakup;
1) Sesuatu cacat maupun kebusukan yang timbul dari sifat dan
macam-macam barang itu sendiri.
2) Kerusuhan, pemogokan, akibat perbuatan jahat, tertabrak
kendaraan, asap, gempa bumi, letusan gunung dsb.
3) Risiko nuklir dan radiasi nuklir
Bahaya-bahaya tambahan ternyata juga mendapatkan
perhatian dalam asuransi kebakaran ini, yang meliputi bahaya
kebakaran karena;
1) perluasan jalan
2) kerusuhan
3) pemogokan (request and stickes)
4) gempa bumi (bencana alam)
5) tertabrak kendaraan
6) asap
7) arus pendek
8) tanah longsor.
2. Asuransi Jiwa
Adalah usaha asuransi yang memberikan jasa dalam
penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya
seseorang yang dipertanggungkan. Perusahaan asuari jiwa hanya dapat
menyelenggarakan usaha dalam bidang asuransi jiwa, dan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan diri, dan usaha anuitas serta menjadi
pendiri dan pengurus dana pensiun sesuai dengan peraturan perundangundangan dana pensiun yang berlaku.
B. Asuransi Syariah
1. Pengertian Asuransi Syariah
Asuransi dalam bahasa Arab disebut At’ta’min yang berasal dari
kata amanah yang berarti memberikan perlindungan, ketenangan, rasa
aman serta bebas dari rasa takut. Istilah menta‟minkan sesuatu berarti
seseorang memberikan uang cicilan agar ia atau orang yang ditunjuk
menjadi ahli warisnya mendapatkan ganti rugi atas hartanya yang hilang.
Dari pengertian dasar itu tersebut, asuransi syari‟ah kemudian
didefinisikan sebagai usaha saling melindungi dan tolong menolong di
antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan
atau tabarru memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko
tertentu melalui akad yang sesuai dengan syari‟ah.
Menurut Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI) Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang
Pedoman Umum Asuransi Syariah bagian pertama menyebutkan
pengertian Asuransi Syariah (ta‟min, takaful‟ atau tadhamun) adalah
usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang
atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru yang
memberikan pola pengembalian untuk mengehadapi resiko tertentu
melalui akad atau perikatan yang sesuai dengan syariah.
Dari definisi asuransi syari‟ah di atas jelas bahwa pertama,
asuransi syari‟ah berbeda dengan asuransi konvensional. Pada asuransi
syari‟ah setiap peserta sejak awal bermaksud saling menolong dan
melindungi satu dengan yang lain dengan menyisihkan dananya sebagai
iuran kebajikan yang disebut tabarru. Jadi sistem ini tidak menggunakan
pengalihan risiko (risk tranfer) di mana tertanggung harus membayar
premi, tetapi lebih merupakan pembagian risiko (risk sharing) di mana
para peserta saling menanggung. Kedua, akad yang digunakan dalam
asuransi syari‟ah harus selaras dengan hukum Islam (syari‟ah), artinya
akad yang dilakukan harus terhindar dari riba, gharar (ketidak jelasan
dana), dan maisir (gambling), di samping itu investasi dana harus pada
obyek yang halal-thoyyibah.
2. Pertumbuhan dan Perkembangan Asuransi Syari’ah di Indonesia
Asuransi syariah di Indonesia merupakan sebuah cita-cita yang
telah dibangun sejak lama, dan telah menjadi sebuah lembaga asuransi
modern yang siap melayani umat Islam Indonesia dan bersaing dengan
lembaga asuransi konvensional. Dalam asuransi syariah terdapat dua
jenis perlindungan takaful. Pertama, takaful keluarga, yaitu bentuk
takaful yang memberikan perlindungan finansial dalam menghadapi
malapetaka kematian dan kecelakaan atas diri peserta takaful. Adapun
produk takaful keluarga meliputi; takaful berencana, takaful
pembiayaan, takaful pendidikan, takaful dana haji, takaful berjangka,
takaful kecelakaan siswa, takaful kecelakaan diri, dan takaful khairat
keluarga. Kedua, takaful umum, adalah bentuk takaful yang memberikan
perlindungan finansial dalam menghadapi bencana atau kecelakaan atas
harta benda milik peserta takaful, seperti; rumah, bangunan, dan
sebagainya. Produk takaful umum meliputi; takaful kebakaran, takaful
kendaraan bermotor, takaful pengangkutan laut, takaful rekayasa.
Adapun perkembangan asuransi syariah di Indonesia baru ada
pada paruh akhir tahun 1994. yaitu dengan berdirinya Asuransi Takaful
Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1994, dengan diresmikannya PT
Asuransi Takaful Keluarga melalui SK Menkeu No. Kep-
385/KMK.017/1994. Pendirian Asuransi Takaful Indonesia diprakarsai
oleh Tim Pembentuk Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI) yang
dipelopori oleh ICMI melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat
Indonesia, Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Pejabat dari Departemen
Keuangan, dan Pengusaha Muslim Indonesia.
Melalui berbagai seminar nasional dan setelah mengadakan studi
banding dengan Takaful Malaysia, akhirnya berdirilah PT Syarikat
Takaful Indonesia (PT STI) sebagai Holding Company pada tanggal 24
Februari 1994. Kemudian PT STI mendirikan 2 anak perusahaan, yakni
PT Asuransi Takaful Keluarga (Life Insurance) dan PT Asuransi Takaful
Umum (General Insurance). PT Asuransi Takaful Keluarga diresmikan
lebih awal pada tanggal 25 Agustus 1994 oleh Bapak Mar‟ie Muhammad
selaku Menteri Keuangan saat itu. Setelah keluarnya izin operasional
perusahaan pada tanggal 4 Agustus 1994.
Setelah itu, beberapa perusahaan asuransi syariah yang lain lahir,
seperti PT. asuransi syari‟ah “Mubarakah” (1997) dan beberapa unit
asuransi syari‟ah dari asuransi konvensional seperti MAA Assurance
(2000), Asuransi Great Eastern (2001), Asuransi Bumi Putra (2003),
Asuransi Beringin Jiwa Sejahtera (2003), Asuransi Tripakarta (2002),
Asuransi Jasindo takaful (2003), Asuransi Binagria (2003), Asuransi
Bumida (2003), Asuransi Staci Jasa Pratama (2004), Asuransi Central
Asia (2004), Asuransi Adira Syari‟ah (2004), Asuransi BNI Jiwasraya
Syari‟ah (2004), Asuransi Sinar Mas (2004), Asuransi Tokio Marine
Syari‟ah (2004), dan Reindo Divisi Syari‟ah (2004) yang hingga bulan
Agustus 2005 merupakan satu-satunya perusahaan re-asuransi yang
syari‟ah.
Kini (di tahun 2008). Jumlah lembaga asuransi syariah telah
mencapai 38 buah. Karena pertumbuhan yang cepat tersebut, maka
Indonesia menjadi negara yang paling cepat pertumbuhan asuransi
syariahnya dan paling banyak jumlah lembaganya di dunia. Hanya
Indonesia satu-satunya negara yang memiliki lembaga asuransi syariah,
sedangkan Malaysia cuma ada 4 lembaga asuransi syariah. Dan hanya
Indonesia yang memiliki 38 lembaga reasuransi syariah. Di negara
manapun biasanya hanya ada satu lembaga reasuransi syariah.
Nama-nama perusahaan Asuransi Syariah di Indonesia :
PT Asuransi Takaful Umum
PT Asuransi Takaful Keluarga
PT Asuransi Syariah Mubarakah
PT MAA Life Assurance
PT MAA General Assurance
PT Great Eastern Life Indonesia
PT Asuransi Tri Pakarta
PT AJB Bumiputera 1912
PT Asuransi Jiwa BRIngin Life Sejahtera
PT Asuransi BRIngin Sejahtera Artamakmur
PT Asuransi Binagriya Upakara
PT Asuransi Jasindo Takaful
PT Asuransi Central Asia
PT Asuransi Umum BumiPuteraMuda 1967
PT Asuransi Astra Buana
PT BNI Life Indonesia
PT Asuransi Adira Dinamika
PT Staco Jasapratama
PT Asuransi Sinar Mas
PT Asuransi Tokio Marine Indonesia
PT Asuransi Jiwa SinarMas
PT Tugu Pratama Indonesia
PT Asuransi AIA Indonesia
PT Asuransi Allianz Life Indonesia
PT Panin Life, Tbk
PT Asuransi Allianz Utama Indonesia
PT Asuransi Ramayana, Tbk
PT Asuransi Jiwa Mega Life
PT AJ Central Asia Raya
PT Asuransi Parolamas
PT Asuransi Umum Mega
PT Asuransi Jiwa Askrida
PT Asuransi Jiwasraya (Persero)
PT Equity Financial Solution
PT Asuransi Kredit Indonesia
PT Asuransi Bintang, Tbk
PT Asuransi Bangun Askrida
PT Prudential Life Assurance
Reasuransi Syariah
PT Reasuransi Internasional Indonesia (ReIndo)
PT Reasuransi Nasional Indonesia (Nasre)
PT Maskapai Reasuransi Indonesia (Marein)
Broker Asuransi dan Reasuransi
PT Fresnel Perdana Mandiri
PT Asiare Binajasa
PT Amanah Jamin Indonesia
PT Asrinda Re-Brokers dan AA Pialang Asuransi
PT Madani Karsa Mandiri
PT Aon Indonesia
Walapun secara kuantitas, perkembangan asuransi syari‟ah di
Indonesia relatif pesat, tetapi dalam kenyataannya asuransi syari‟ah
masih menghadapi beberapa kendala. Menurut Syakir Sula, Ketua
Asosiasi Asuransi Syari‟ah Indonesia, hal-hal yang menjadi kendala
antara lain, pertama belum adanya Undang-Undang yang khusus
melandasi keberadaan lembaga ini sebagaimana lembaga perbankan
syariah, Kedua, Keterbatasan Tenaga Ahli Asuransi Syari‟ah yang
profesional. Ketiga, Dukungan masyarakat belum optimal..
Sementara itu kinerja asuransi syariah juga menunjukan
perkembangan yang positif, baik premi (kontribusi nasabah), investasi
maupun assetnya. Untuk Asuransi Jiwa premi nasabah melonjak tajam
menjadi Rp 818 milyard (September 2008) dari 515 september 2007.
Kinerja asuransi umum syariah juga menunjukan perkembangan
yang positif, baik premi (kontribusi nasabah), investasi maupun
assetnya. Assetnya meningkat dari Rp 491 milyard pada September 2007
menjadi Rp 619 milyard pada September 2008. Premi nasabah melonjak
tajam menjadi Rp 362 294 milyard (September 2008) dari 294 pada
september 2007. Demikian pula pekembangan investasinya berkembang
secara signifikan Hal itu terlihat pada tabel di bawah ini :
Perbedaan asuransi Islam dan konvensional
1. Peraturan-Peraturan Terkini
2. Sistem Dan Mekanisme
3. Jenis-Jenis / Produk Asuransi Syariah
3. Karakteristik dan Keistimewaan Asuransi Islam
Karakter pertama, terletak pada perbedaan sistem yang paling
mendasar antara asuransi Islam dengan sistem asuransi konvensional.
Sebagaimana diketahui, asuransi konvensional hanya mengenal atau
memberlakukan klaim dari pemegang polis, misalnya kecelakaan,
kematian atau hal-hal yang tidak diinginkan dan semua itu sudah tertulis
kesepakatannya dalam akad. Konsekwensinya, jika pemegang polis tidak
tertimpa musibah, semasa akad masih berlangsung, maka pemegang
polis tidak dapat mengklaimnya. Sistem ini mengundang pemegang polis
yang nakal dengan menyiasati untuk mendapatkan klaim yang besar
dibanding dana yang telah diasuransikan. Penyiasatan ini mengiring
rekayasa tertentu, seperti upaya pembakaran bahkan membunuh meski
tidak dilakukan secara langsung oleh pemegang polis.
Praktek rekayasa tersebut merupakan tindakan kriminal yang
berarti melanggar hukum, bahkan sangat menodai harkat dan martabat
manusia. Sebab korban yang menderita, bukan hanya perusahaan
asuransi, tetapi juga anggota masyarakat yang mungkin tidak pernah
berhubungan dengan lembaga asuransi.
Sementara, jika jenis produk asuransinya tidak terkait dengan
peristiwa seperti kematian, kebakaran, kecelakaan atau musibah, maka
pemegang polis asuransi konvensional, juga tidak dapat menikmati
pengembalian dana kewajibannya selama belum melewati waktu-waktu
yang telah ditentukan. Juga, jika pemegang polis tidak dapat meneruskan
kewajibannya, maka dana yang telah disetorkan menjadi hangus.
Prinsip dasar asuransi konvensional tersebut, jelas berbeda
dengan asuransi syari‟ah. Prinsip dasar asuransi takaful syari‟ah
berangkat dari sebuah filosofi bahwa manusia berasal dari satu
keturunan, Adam dan Hawa. Dengan demikian, manusia pada
hakikatnya merupakan keluarga besar. Untuk dapat meraih kehidupan
bersama, sesama manusia harus tolong menolong (ta‟awun) dan saling
berbuat kebajikan (tabarru) dan saling menanggung (takaful). Prinsip ini
merupakan dasar pijakan bagi kegiatan manusia sebagai makhluk sosial.
Dari pijakan filosofis ini, setidaknya ada tiga prinsip dasar dalam
asuransi syari‟ah, yaitu saling bertanggung jawab, saling bekerja sama
dan saling melindungi penderitaan satu sama lain.
Dengan filosifi tersebut, asuransi Islam menggariskan
keuntungan yang sangat berbeda dengan asuransi konvensional, yaitu,
pemegang polis diposisikan sebagai penabung, maka secara hukum, dana
yang diasuransikan, sama dengan tabungannya juga. Dengan posisinya
sebagai tabungan, maka ada dua keuntungan yang dapat dipetik
langsung. Pertama, dana asuransi Islam bagi masing-masing pemegang
polis akan mendapat nilai tambahan. Nilai tambahan ini bukan bunga,
tetapi bagi hasil dari sistem mudharabah yang merupakan manfaat
finansial atas kebijakan kerjasama asuransi syari‟ah dengan bank
syari‟ah.
Dalam hal ini, pihak asuransi syari‟ah, menitipkan dana para
pemegang polis sebagai instrumen investasi yang dikelola lembaga
keuangan syari‟ah, misalnya Bank syari‟ah atau reksa dana syari‟ah.
Untuk konteks ini premi yang dimaksud adalah premi tabungan.
Sementara dalam sistem Bank Syari‟ah terdapat ketentuan bahwa
siapapun yang ikut serta dalam proyek usaha, ia akan mendapatkan bagi
hasil atas keuntungan yang diperoleh dari kerjasama itu. Karena itu para
pemegang polis, berhak menikmati bagian keuntungan yang dicapai
Bank Syari‟ah.
Jika kita telaah penambahan dana asuransi yang dinikmati para
pemegang polis, merupakan buah nyata kebijakan kemitraan atau
kerjasama antara Asuransi Syari‟ah dan Bank Syari‟ah. Hal ini
merupakan salah satu keunggulan Asuransi Syari‟ah.
Dalam hal ini kita dapat bertanya secara komparatif antara
asuransi konvensional dengan asuransi syari‟ah. Pernahkah terjadi dana
asuransi bertambah nilainya. Hanya diasuransi syari‟ah yang bakal
terjadi. Asuransi lainnya jelas tidak sama sekali.
Keunggulan kedua, bahwa pemegang polis sewaktu-waktu,
karena alasan tertentu tak dapat melanjutkan hubungan dengan lembaga
asuransi syari‟ah, sehingga secara sepihak ia memutuskan hubungan
dengan pihak asuransi syari‟ah. Pemutusan hubungan ini tidak
menyebabkan dananya hangus. Ia sebagai pemegang polis, berhak dan
wajib hukumnya untuk mendapatkan kembali dana yang diasuransikan.
Memang tidak seutuhnya (100%) dana yang telah diasuransikan itu, akan
dikembalikan. Sebab dana pemegang polis akan dikurangi dana tabarru
(dana kebijakan). Dan harus dicatat pula, bahwa pemegang polis tetap
mendapatkan dana tambahan dari bagi hasil premi yang telah disetornya.
Meski terjadi sedikit pengurangan, tapi, pengembalian itu jauh lebih baik
dari sistem asuransi konvensional yang menghanguskan secara total dana
pemegang polis.
Selanjutnya penting dicatat, bahwa praktik asurasi Islam terbebas
dari praktik-praktik yang diharamkan. Paling tidak ada 3 (tiga) hal yang
diharamkan oleh pada praktek bisnis asuransi konvensional. Ketiganya
dihilangkan dari asuransi Islam.
Pertama, unsur gharar (yaitu ketidak jelasan dan ketidak
transparanan). Masalah yang diutamakan dalam kegiatan bisnis adalah
akad yang digunakan. Akad tersebut harus bebas dari gharar
(ketidakjelasan). Padahal Islam sangat menekankan kejelasan akad
dalam praktek mu‟amalah dan menjadi prinsip utama, karena akan
menentukan sah atau tidaknya secara Syari‟ah. Dalam praktik asuransi
non syari‟ah, aspek gharar sangat jelas sekali, karena jika terjadi klaim,
dana yang diterima nasabah seringkali lebih besar dari dana premi yang
disetornya. Dalam akad di awal tidak jelas berapa premi yang harus
disetor dan berapa dana yang harus diterima. Begitu juga kejelasan dan
ketransparanan ke mana dana peserta diinfestasikan akan menjadi
prinsip. Karena akan menentukan halal atau haramnya perolehan
keuntungan investasi peserta. Sedangkan pada praktek asuransi syari‟ah
kejelasan dan ketransparanan aqad ini menjadi hal utama.
Kedua, adanya unsur maisir (untung-untungan/ judi/ spekulasi).
Kezaliman akan muncul misalnya; jika saat peserta tidak dapat
melanjutkan pembayaran polisnya karena sesuatu hal. Di satu sisi tidak
punya dana untuk melanjutkan dan di sisi lain jika mengundurkan diri
maka dana yang terlanjur dibayar akan hangus. Pada praktek Asuransi
Syari‟ah; hal tersebut diatas tidak dikenal. Peserta dapat menarik
dananya kapan saja peserta menghendakinya; jika memang peserta tak
sanggup melanjutkan perjanjiannya.
Ketiga, adanya unsur riba (bunga). Praktek investasi pada
asuransi konvensional melakukannya dengan mekanisme bunga dan
penyaluran dana investasi peserta dilakukan kemana yang diinginkan
oleh perusahaan asuransi. Tidak melihat apakah lembaga saluran
investasi itu boleh atau tidak dalam ajaran Islam. Sedangkan pada
asuransi syari‟ah; investasinya harus sesuai dengan prinsip syari‟ah, jelas
halal atau haramnya bidang usaha investasinya; dan menggunakan
konsep mudharobah (bagi hasil) dalam pembagian keuntungan
investasinya.
Keistimewaan khusus yang dimiliki oleh Asuransi syari‟ah
adalah diterapkannya konsep risk Sharing, dimana setiap surplus yang
diterima oleh perusahaan sepenuhnya milik peserta dan pada prakteknya
surplus ini dibagi dengan perusahaan asuransi syari‟ah.
Sebagai contoh sederhana misalnya: Andaikan saja seluruh
Gedung Universitas Indonesia ini diasuransikan dalam program asuransi
kebakaran pada asuransi syari‟ah. Misalnya preminya mencapai Rp
50.000.000 per tahun. Dan ternyata dalam masa perjanjian 1 (satu)
tahun; tidak terjadi resiko apapun maka akan ada surplus yang akan
dikembalikan kepada pihak Universitas Indonesia dengan melalui skema
mudharabah (bagi hasil).
4. Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
Perbedaan asuransi syariah dan asuransi konvensional dapat dilihat
pada tabel di bawah ini
5. Dasar Hukum Asuransi Syariah
Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi syariah masih
mendasarkan legalitasnya pada Undang-undang No. 2 tahun 1992
tentang perasuransian.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal 246, yaitu :
”Asuransi adalah suatu perjanjian dimana seseorang penanggung
mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu
premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin
akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu”.
Pengertian diatas tidak dapat dijadikan landasan hukum yang
kuat bagi Asuransi Syariah karena tidak mengatur keberadaan asuransi
berdasarkan prinsip syariah, serta tidak mengatur teknis pelaksanaan
kegiatan asuransi dalam kaitannya kegiatan administrasinya. Pedoman
untuk menjalankan usaha asuransi syariah terdapat dalam Fatwa Dewan
Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah,
fatwa tersebut dikeluarkan kareni regulasi yang ada tidak dapat dijadikan
pedoman untuk menjalankan kegiatan Asuransi Syariah. Tetapi fatwa
DSN-MUI tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dalam Hukum
Nasional karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Agar ketentuan Asuransi Syariah memiliki kekuatan hukum,
maka perlu dibentuk peraturan yang termasuk peraturan perundangundangan yang ada di Indonesia meskipun dirasa belum memberi
kepastian hukum yang lebih kuat, peraturan tersebut yaitu Keputusan
Menteri Keuangan RI No. 426/KMK.06/2003, Keputusan Menteri
Keuangan RI No. 424/KMK.06/2003 dan Keputusan Direktorat Jendral
Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000. Dan terakhir adalah Peraturan
Pemerintah No. 39 tahun 2008. Semua keputusan tersebut menyebutkan
mengenai aturan dan permodalan sistem asuransi berbasis Syariah.
Asuransi syariah berkembang pesat seiring pesatnya pula perkembangan
perbankan syariah di Indonesia. Hal ini dimulai dengan berdirinya
Asuransi Takaful Indonesia tahun 1994 yang terdiri dari takaful umum
dan takaful Keluarga dan diikuti oleh asuransi Syariah Mubarakah tahun
2001 sebagai pelopor asuransi syariah di Indonesia. Dan hingga kini
setidaknya ada 35 perusahaan asuransi yang sudah pula membuka
cabang syariah. Dengan demikian sudah ada 38 syariah yang telah
beroperasi secara syariah. Data direktorat Asuransi Departemen
Keuangan menunjukan bahwa bisnis asuransi syariah rata-rata tumbuh
20% pertahun.
Hampir semua ulama Fiqh sepakat tentang keberadaan asuransi
syariah, namun tetap ada yang berbeda pendapat. Hal ini terjadi karena
kurangnya informasi ketika mengeluarkan fatwa tersebut. Seandainya
mereka diberi informasi yang benar tentu hasil pendapat akan sama
antara satu ulama dan lainnya.
Dengan berkembangnya usaha perasuransian syariah maka
muncullah berbagai literatur dalam berbagai bahasa seperti dalam bahasa
arab, bahasa Inggeris dan bahasa Indonesia dan juga buku-buku
terjemahan yang sudah banyak beredar di Indonesia.
Dari literatur tersebut diuraikan tentang konsep, falsafah dan
sistem asuransi syariah dan bagaimana cara operasinya dan dengan jelas
tidak ada satu bentuk operasinya yang bertentangan dengan prinsipprinsip syariah.
Dengan begitu, asuransi bukanlah satu bentuk upaya melawan takdir,
melainkan justru sebuah perencanaan hidup yang sesuai dengan tuntunan
Al-Qur`an. Ada pun kontrak dan operasional bisnis asuransi bisa dibuat
sefleksibel mungkin tanpa kehilangan ruh syariahnya. Terdapat berbagai
aqad yang dapat diaplikasikan kepada produk-produk asuransi syariah
sebagaimana yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia, seperti akad wakalah bil ujrah, mudharabah
musytarakah, aqad tabarru‟, akad wadiah dan mungkin saja akad-akad
lain yang sesuai dengan karakter produk.
6. Prinsip-prinsip Dasar Asuransi Syariah
Suatu asuransi diperbolehkan secara syar‟i, jika tidak
menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk
itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
a. Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ),
tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau
keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman,” Dan saling tolong
menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling
tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
b. Asuransi syariat tidak bersifat mu‟awadhoh, tetapi tabarru‟ atau
dalam tarnsaksi yang bersifat investasi dengan prinsip mudhorobah
musytarakah atau wadiah.
c. Sumbangan (tabarru‟) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena
itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka
diselesaikan menurut syariat.
d. Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah
ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan
prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah
sejumlah uang guna membantu orang yang ditimpa musibah.
e. Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya
dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena
suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas
kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
f. Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan
menurut aturan syar‟i.
Asuransi syariah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Akad asuransi syari‟ah adalah bersifat tabarru‟, sumbangan yang
diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru‟, maka
andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika
terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan
kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih
maka kelebihan itu adalah keuntungan hasil mudhorobah bukan riba.
b. Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib
dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika
memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan,
dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat
melalui izin yang diberikan oleh jama‟ah (seluruh peserta asuransi
atau pengurus yang ditunjuk bersama).
c. Dalam asuransi syari‟ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena
semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama‟ah
seperti dalam asuransi takaful.
d. Akad asuransi syari‟ah bersih dari gharar dan riba.
e. Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.
Manfaat asuransi syariah. Berikut ini beberapa manfaat yang
dapat dipetik dalam menggunakan asuransi syariah, yaitu:
a. Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara
anggota.
b. Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam salimg
tolong menolong.
c. Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.
d. Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari
resiko kerugian yang diderita satu pihak.
e. Juga meningkatkan efesiensi, karena tidak perlu secara khusus
mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan
perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu, dan biaya.
f. Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya
yang jumlahnya tertentu, dan tidak perlu mengganti/ membayar
sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tertentu dan tidak
pasti.
g. Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi
akan dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad.
h. Menutup Loss of corning power seseorang atau badan usaha pada
saat ia tidak dapat berfungsi(bekerja).
7. Perkembangan Hukum Asuransi di Dunia
Perbedaan pendapat itu telah mewarnai pula gerakan
pembaharuan hukum di negara-negara Islam yang telah mendorong
beberapa usaha untuk mengubah kitab UU Hukum Dagang Utsmani
yang diundangkan pada 1850. Kitab UU Hukum Dagang Utsmani ini
seluruhnya berdasarkan hukum Perancis dan boleh dikatakan sama sekali
tidak bersumber dari syariat. Hukum ini mula-mula berlaku di seluruh
bekas imperium Utsmani, termasuk Mesir, tetapi di beberapa negara
telah diganti dengan kitab undang-undang lebih kontemporer yang juga
terutama diilhami dari hukum Perancis.
Dalam sejumlah segi yang amat penting, kitab UU Hukum
Dagang Mesir, 1948 langsung bertentangan dengan interpretasi
tradisional hukum Islam di semua mazhab yang diakui-misalnya
mengenai pinjaman atau investasi yang memikul beban bunga tetap,
taruhan dan perjudian cagak hidup dan asuransi.
Hukum Mesir membolehkan asuransi timbal balik (mutual),
asuransi dagang dengan persyaratan tertentu, asuransi atas bahaya yang
menimpa badan, asuransi terhadap bahaya-bahaya pertanggungan
perdata yang berupa harta benda. Usaha pertama yang dilakukan di Irak
pada tahun 1933, ketika sebuah komisaris para pembuat UU lokal
meneliti keadaan dan menyampaikan laporan. Tetapi usaha ini terbukti
gagal, karena tentangan dari para pemimpin agama.
Kemudian pada 1936, komisi kedua diangkat. Komisi hukum ini
menugasi seorang ahli hukum Mesir yaitu Dokter Sanhuri Basya untuk
menyusun undang-undang hukum tersebut. Setelah selesai dibuat satu
jilid, untuk sementara menghentikan pekerjaannya dan baru dimulai lagi
pada tahun 1942 sampai selesai. Rancangan undang-undang ini
kemudian dibahas dalam sidang-sidang komisi di bawah pimpinan
doktor itu sendiri. Selesai pembahasannya oleh komisi kemudian
diajukan parlemen untuk memperoleh persetujuan.
Suatu analisis mengenai Kode Irak 1951 mengungkapkan bahwa
secara umum kode itu terdiri atas bagian-bagian yang hampir sama
dengan pasal-pasal yang berasal dari Majalah (dan sebuah teks yang
berjudul Murshid al-Hayran) di satu pihak dan KUH Perdata Mesir di
pihak lain. Karena itu jelas apa yang dapat diistilahkan sebagai
“komponen Islam”. Jauh lebih kuat dan lebih meresap dari pada dalam
mode Mesir”. Tetapi adalah penting bahwa pada dasarnya asas-asas
perancis dari Kode Mesir mengenai masalah-masalah yang
menjengkelkan seperti suku bunga tetap, asuransi, dan kontrak yang
bersifat “spekulatif” telah berlaku.
Jumlah kecil orang-orang Islam di India, Pakistan dan Sudan
secara pribadi berpegang pada larangan tradisional terhadap suku bunga
tetap atau perjanjian asuransi tertentu. Hanya di Arab Saudi, Yaman
Utara dan Oman syariat masih luas berlaku dalam soal-soal seperti itu.
Selanjutnya dua perkembangan terjadi kemudian: kontrak
asuransi yang sebelumnya dibatasi hanya di bidang perdagangan laut
kini tampaknya dibenarkan terhadap mobil dan harta benda lain,
walaupun tidak terhadap asuransi jiwa dan bank telah mulai beroperasi
atas dasar apa yang sebenarnya adalah bunga, walaupun dengan hati-hati
dinamakan “komisi” alih-alih istilah negatif “riba”.
Konperensi Internasional Pertama tentang Ekonomi Islam di
Mekah pada 17 Januari 1978 dihadiri delegasi Indonesia. Salah satu
acaranya membahas asuransi dalam rangka syariat Islam.
Keputusan konperensi Negara-negara Islam di Kuala Lumpur mengenal
asuransi:
a. Asuransi yang didalamnya terdapat unsur riba dan eksploitasi
hukumnya haram.
b. Asuransi yang bersifat koperatif hukumnya halal
1) Asuransi yang khusus buat sesuatu usaha dapat dilakukan oleh
sekumpulan manusia atas dasar koperatif.
2) Sedang asuransi yang tidak terbatas buat usaha dapat dilakukan
oleh Pemerintah.
3) Konperensi menganjurkan kepada pemerintah-pemerintah Islam
untuk mengadakan asuransi yang bersifat koperatif antara
negara-negara Islam.
Peserta-peserta asuransi ini membayar uang iuran yang tidak boleh
diambil kembali kecuali pada saat datang waktunya ia berhak
menerima.
c. Mengingat pentingnya perdagangan internasional, maka asuransi
dalam bentuk internasional yang ada sekarang dianggap halal,
berdasarkan hukum darurat.
Pembaharuan hukum itu telah pula melahirkan usaha mendirikan
perusahaan asuransi yang menekankan sifat saling menanggung,
saling menolong di antara para tertanggung yang bernilai kebajikan
menurut ajaran Islam dengan nama asuransi Takaful. Telah berdiri
asuransi demikian di beberapa negara, Islamic Arab Insurance C.Ltd.
Sudan (1979), Islamic Arab Insurance Co. ltd. Saudi Arabia (1979),
Dar Al Maal Al Islami, Geneva (1983) Takaful Islam Luxemburg
(1983), Takaful Islam Bahamas (1983), SyarikatTakaful Malaysia
SDN, Berhad (1984 )
Ada beberapa konferensi umat Islam sedunia yang telah menyepakati
tentang halalnya operasi asuransi syariah diantaranya ialah: The
Islamic Fiqh Week yang dilaksanakan di Damaskus dari 1-6 April
1961; Seminar di Morocco tanggal 6 Mei 1972, The second
Conference on Muslim Scholars di Kairo 1965; th symposium on
Islamic Jurisprudence di Lybia tanggal 6-11 Mei 1972; the first
International Conference on Islamic Economics di Mekah tanggal
21-26 February 19976; the Islamic Conference di Mekah Oktober
1976; the first International Summit on Islamic Insurance di Dubai
11 November 1996 dan The Labuan International Summit on
Takaful Malaysia 19-20 Juni 1997.
8. Peraturan/Regulasi Tentang Asuransi Syariah
Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008:
Persyaratan permodalan
Konsep unit syariah
Peraturan Menteri Keuangan No. 124 Tahun 2008:
Asuransi Kredit dan Suretyship untuk usaha asuransi umum
syariah dilarang sampai ditetapkannya aturan tersendiri;
Peraturan Menteri Keuangan No. 158 Tahun 2008:
Dana jaminan
9. Sistem Pengelolaan Dana Asuransi Syariah
Di dalam sistem operasional asuransi syariah, yang sebenarnya
terjadi adalah saling bertanggung jawab, bantu-membantu dan
melindungi di antara para peserta sendiri. Perusahaan asuransi diberi
kepercayaan (amanah) oleh para peserta untuk mengelola premi,
mengembangkan dengan jalan yang halal, memberikan santunan kepada
yang mengalami musibah sesuai isi akta perjanjian tersebut.
Keuntungan perusahaan asuransi syariah diperoleh dari bagian
keuntungan dana dari para peserta, yang dikembangkan dengan prinsip
mudharabah musytarakah dan wakalah bil ujrah dalam akad
mudharabah, para peserta asuransi syariah berkedudukan sebagai
pemilik modal dan perusahaan asuransi syariah berfungsi sebagai yang
menjalankan modal (mudharib) . Keuntungan yang diperoleh dari
pengembangan dana itu dibagi antara para peserta dan perusahaan sesuai
ketentuan yang telah disepakati.
Mekanisme pengelolaan dana peserta (premi) terbagi menjadi dua sistem
yaitu:
a. Sistem yang mengandung unsur tabungan
Setiap peserta wajib membayar sejumlah uang (premi) secara
teratur kepada perusahaan. Besar premi yang akan dibayarkan
tergantung kepada kemampuan peserta. Akan tetapi perusahaan
menetapkan jumlah minimum premi yang dapat dibayarkan. Setiap
peserta dapat membayar premi tersebut, melalui rekening koran, giro
atau membayar langsung. Peserta dapat memilih cara pembayaran,
baik tiap bulan, kuartal, semester maupun tahunan.
Setiap premi yang dibayar oleh peserta akan dipisah oleh
perusahaan asuransi dalam dua rekening yang berbeda, yaitu:
1) Rekening Tabungan, yaitu kumpulan dana yang merupakan milik
peserta, yang dibayarkan bila:
Perjanjian berakhir
Peserta mengundurkan diri
Peserta meninggal dunia
2) Rekening Tabarru‟, yaitu kumpulan dana yang diniatkan oleh
peserta sebagai iuran kebajikan untuk tujuan saling tolongmenolong dan saling membantu, yang dibayarkan bila:
Peserta meninggal dunia
Perjanjian telah berakhir (jika ada surplus dana)
Kumpulan dana peserta ini akan diinvestasikan sesuai dengan syariah
Islam. Tiap keuntungan dari hasil investasi, setelah dikurangi dengan
beban asuransi (klaim dan premi re-asuransi), akan dibagi menurut
prinsip mudharabah. Prosentase pembagian mudharabah (bagi hasil)
dibuat dalam suatu perbandingan tetap berdasarkan perjanjian
kerjasama antara perusahaan dengan peserta.
b. Sistem yang tidak mengandung unsur tabungan
Setiap premi yang dibayar oleh peserta, akan dimasukkan
dalam Rekening Tabarru‟, yaitu kumpulan dana yang diniatkan oleh
peserta sebagai iuran kebajikan untuk tujuan saling tolong-menolong
dan saling membantu, dan dibayarkan bila:
Peserta meninggal dunia
Perjanjian telah berakhir (jika ada surplus dana)
Kumpulan dana peserta ini akan diinvestasikan sesuai dengan
syariah Islam. Keuntungan dari hasil investasi setelah dikurangi
dengan beban asuransi (klaim dan premi re-asuransi), akan dibagi
antara peserta dan perusahaan menurut prinsip Al-Mudharabah
dalam suatu perbandingan tetap berdasarkan perjanjian kerjasama
antara perusahaan dengan peserta
10. Produk-Produk Asuransi Syariah
Asuransi Jiwa mempunyai produk antara lain :
a. Asuransi berjangka
b. Asuransi kecelakaan diri
c. Asuransi kesehatan
d. Unit link
Asuransi Takaful Umum menawarkan produk-produk antara lain:
a. Takaful (Asuransi ) Kendaraan Bermotor
b. Takaful (Asuransi) Kebakaran
c. Takaful Resiko Pembangunan
d. Takaful Mesin
e. Takaful Peralatan Elektronik
f. Takaful Pengangkutan Barang
g. Takaful Rangka Kapal
h. Takaful Pengangkutan Uang
i. Takaful Resiko Gabungan
j. Takaful Kecelakaan Diri
k. Takaful Penyimpanan Uang
l. Takaful Tanggung Gugat
m. Asuransi Tanggung Jawab kepada pihak ketiga
n. Asuransi rekayasa (engineering all risks)
A. Usaha Perasuransian di Indonesia
Dalam masyarakat modern, asuransi memegang peranan penting,
dalam rangka mengalihkan risiko, baik risiko bisnis, maupun risiko nonbisnis. Perjalanan kehidupan yang pasang surut menghendaki adanya sarana
pengaman bagi para pelakunya, agar kerugian yang diderita karena risiko
(kerugian, kehilangan asset, kecelakaan dan lain-lain) dapat dialihkan
kepada pihak ketiga sebagai penanggung.
Adapun yang dimaksud dengan risiko apa yang disebutkan oleh
Vaughan dan Elliot, yaitu:
3
1. chance of loss
2. the possibility of loss
3. uncertainty
4. the disperision of actual from expected result
5. the probability of any out come different from the one expected.
Dari uraian tersebut risiko kerugian dapat diartikan sebagai
kemungkinan menderita kerugian, sehingga di dalamnya terkandung
pengertian (loss) dan unsure ketidakpastian (uncertainty).4 Risiko-risiko
tersebut dalam masyarakat modern berusaha dialihkan pada pihak ketiga
yaitu asuransi.
Asuransi, dalam masyarakat modern semakin disadari manfaatnya,
karena kerugian yang besar, baik karena kesalahan kalkulasi maupun faktor
lainnya, misalnya bencana alam.
Adapun beberapa manfaat penting dari asuransi, antara lain:5
1. Membantu masyarakat dalam rangka mengatasi segala masalah risiko
yang dihadapinya. Hal itu akan memberikan ketenangan dan
kepercayaan diri yang lebih tinggi kepada yang bersangkutan
2. Merupakan sarana pengumpulan dana yang cukup besar, sehingga dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat dan pembangunan
3. Sebagai sarana untuk mengatasi risiko-risiko yang dihadapi dalam
melaksanakan pembangunan.
Dari berbagai manfaat asuransi tersebut, masyarakat akan banyak
menggunankan asuransi dalam mengcaver risiko kehidupannya melalui
sarana asuransi. Oleh karena itu banyak yang harus dilakukan oleh pihakpihak terkait agar masyarakat semakin menyenangi menggunakan asuransi
(insurance minded), melalui usaha pengenalan asuransi (manfaat dan
keuntungan menggunakan asuransi) dan penciptaan usaha perasuransian
yang sehat.
Asuransi sebagai bagian dari perikatan, merupakan perjanjian secara
sadar antara tertanggung dengan penanggung. Asuransi yang sehat akan
menguntungkan masyarakat karena tertanggung (nasabah asuransi) akan
memperoleh perlindungan hukum, sedangkan bagi pelaku bisnis asuransi
akan menikmati hasil usahanya sesuai dengan kaidah bisnis yang
diharapkan.
Secara hukum positif yang berlaku peraturan perundang-undangan
yang mengatur bisnis asuransi dapat dikelompokan dalam dua (2) kelompok,
yaitu :
Pertama, hukum private asuransi, yang dalam bahasa Inggris disebut
Insurance Act adalah hukum privat yang mengatur mengenai asuransi itu
sendiri, seperti obyek asuransi, kepentingan dalam asuransi, orang yang
diperbolehkan menutup asuransi, kontrak asuransi dan lain-lain
Kedua, Hukum Publik Asuransi adalah hukum yang mengatur badan
usaha yang menyelenggarakan usaha asuransi, hal-hal yang di atur antara
lain: jenis asuransi, bidang usaha, kepemilikan dan lain sebagainya.
6
Di Indonesia, pengaturan mengenai asuransi, yang diatur dalam
Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian adalah
hanya mengatur mengenai hal ikhwal usaha perasuransian dan belum
mengatur mengenai substansi dari perjanjian asuransinya. Oleh karena itu
dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Nasional mengenai perasuransian,
dalam perjanjian asuransinya masih menggunakan Buku I title 9 dan title 10,
serta Buku II title 9 dan Titel 10 Wet Boek van Koophandel (WvK), atau
sering disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Dalam perkembangannya, usaha perasuransian yang sedemikian
cepat dilakukan dengan mengeluarkan berbagai ketentuan atau peraturan,
baik dalam bentuk Peraturan Presiden, Peraturan Menteri maupun peraturan
lainnya.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa kecepatan gerak langkah
usaha perasuransian di Indonesia lebih didominasi oleh peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Sedangkan undang-undang
yang mengatur usaha perasuransian sendiri, dalam beberapa hal ketinggalan
dengan perkembangan usaha perasuransian yang sangat cepat.
Salah satu bukti ketertinggalan ketentuan-ketentuan dalam UndangUndang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, adalah belum
diakomodasikannya usaha perasuranisian berbasis syariah. Padahal secara
kasat mata, dapat dilihat bahwa usaha perasuransian berbasis syariah sudah
berkembang cukup pesat. Ketentuan-ketentuan yang digunakan masih
menggunakan berbagai peraturan-peraturan di bawah undang-undang,
seperti Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan lain sebagainya.
Oleh karena itu sudah waktunya dilakukan perbaikan atau
penyempurnaan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian agar dapat memasukkan usaha asuransi berdasarkan syariah.
Di samping itu perlunya dilanjutkan juga pembentukan UndangUndang mengenai substansi perjanjian asuransi, karena pengaturan
perjanjian asuransi yang ada masih menggunakan ketentuan-ketentuan
dalam KUHD yang sudah berusia lebih dari satu abad dan peninggalan masa
Kolonial Belanda. Perkembangan asuransi yang sedemikian cepat
menghendaki adanya bentuk-bentuk perjanjian yang bersifat lebih modern.
Dengan pembuatan pengaturan perjanjian asuransi dalam bentuk undang-
undang, diharapkan akan semakin menghidupkan usaha perasuransian di
Indonesia.
Ada dua kemungkinan untuk memasukkan perjanjian asuransi dalam
suatu ketentuan, pertama, apakah ia akan disatukan dengan usaha
perasuransian dengan sekaligus memasukkan ketentuan substantive dari
usaha perasuransian, kedua, apakah dipisah, sehingga ada satu ketentuan
yang mengatur mengenai usaha perasuransian dan ada ketentuan lain yang
mengatur mengenai perjanjian asuransinya.
B. Perlindungan Usaha Perasuransian Nasional
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa globalisasi ekonomi telah
merambah seluruh bisnis atau usaha di Indonesia termasuk usaha atau bisnis
perasuransian. Pihak asing melihat peluang bisnis asuransi yang cukup besar
di Indonesia, karena jumlah penduduk yang besar dengan tingkat pendapatan
yang terus meningkat, sementara peserta asuransi masih sedikit jumlahnya.
Usaha perasuransian asing yang melihat peluang bisnis tersebut berusaha
mendirikan atau membangun dan memperluas usahanya di Indonesia.
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional, tidak bisa
lepas dari pengaruh globalisasi tersebut khususnya di bidang ekonomi.
Apalagi setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional tentang
World Trade Organization (WTO) melalui Undang-Undang No. 7 Tahun
1984, Indonesia wajib membuka pasarnya bagi entitas bisnis internasional
termasuk usaha perasuransian, untuk beroperasi di Indonesia. Adanya Usaha
Asuransi Allianz dari Jerman, AIG dari Amerika Serikat menunjukkan hal
tersebut.
Dalam prinsip-prinsip WTO yang harus ditaati oleh Negara-negara
anggotanya (yang sudah meratifikasinya) adalah prinsip non-discrimination.
Dalam prinsip tersebut setiap Negara anggota tidak boleh memberikan
perlakuan (treatment) yang berbeda antara perusahaan dengan modal asing
dengan perusahaan modal dalam negeri. Perlakuan yang diberikan harus
sama, tidak boleh ada perbedaan perlakuan dengan alasan perlindungan
perusahaan dalam negeri, apabila dilakukan dapat dikenakan sanksi melalui
mekanisme yang terdapat dalam organisasi perdagangan internasional
tersebut.
Permasalahannya, adalah apakah manfaat yang akan diperoleh
Indonesia apabila membuka kesempatan secara lebar-lebar usaha
perasuransian asing untuk membuka usahanya di Indonesia. Secara fisik
(keuangan/modal, pengalaman, teknologi dan pengetahuan). Pelaku bisnis
asuransi asing terutama yang bersifat Multi National Corporation (MNC),
jauh memiliki sumber daya yang lebih besar dibandingkan dengan sumber
daya perusahaan asuransi nasional.
Dilihat dari sisi modal, usaha perasuransian nasional jelas kalah jauh,
demikian pula apabila dilihat dari sisi sumber daya lainnya. Akan tetapi
dengan telah dibukanya usaha perasuransian asing di Indonesia, mau tidak
mau persaingan harus terjadi. Ketentuan hukum atau peraturan perundangundanganlah yang diharapkan mampu memberi perlindungan terhadap usaha
perasuransian nasional.
Ketentuan perasuransian harus mampu menjadikan adanya
persaingan tersebut sebagai sarana bagi memajukan usaha perasuransian
nasional. Ketentuan-ketentuan yang mendorong adanya alih pengetahuan
dan teknologi di bidang perasuransian, seperti computer net working yang
kuat dan baik di bidang perasuransian dan lain sebagainya, yang diharapkan
akan mampu mengembangkan sumber daya usaha perasuransian nasional
semakin berkembang baik dari sisi permodalan maupun sumber daya
manusianya.
C. Sengketa Perasuransian
Di Indonesia bisnis asuransi berkembang sangat cepat, baik
perusahaan asuransi konvensional maupun asuransi berdasarkan syariah.
Perkembangan tersebut semakin menarik karena dengan prinsip-prinsip
yang berbeda, k
Related Posts:
asuransi A Sebagai salah satu pilar pendukung dan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem keuangan, industri asuransi telah menunj… Read More