asuransi A

Sebagai salah satu pilar pendukung dan bagian yang tidak 
terpisahkan dari sistem keuangan, industri asuransi telah menunjukkan 
pertumbuhan dan perkembangan yang cukup berarti. Hal ini terlihat dari 
cukup banyaknya pelaku-pelaku usaha yang tumbuh dan berkembang 
sebagai pemain dalam industri ini. Bahkan industri asuransi dapat ikut serta 
berpartisipasi memulihkan keterpurukan ekonomi dengan menunjukkan 
kemampuan dalam menyelesaikan klaim-klaim skala besar seperti akibat 
kerusuhan Mei 1998, tsunami, gempa Yogya, banjir di Jakarta serta 
kerugian-kerugian klaim lainnya.
Namun, harus diakui bahwa disamping kontribusi positif yang telah 
ditunjukkan, masih ada kekurangan dan kelemahan yang ada pada industri 
asuransi di Indonesia. Salah satu kelemahan yang cukup mendasar adalah 
masih sangat terbatasnya modal pada sebagian besar perusahaan asuransi. 
Selain itu masih terdapat praktek-praktek usaha yang umumnya belum 
dilandasi oleh pemahaman dan pengamalan kaidah-kaidah dan prinsip￾prinsip asuransi yang sehat, tumbuhnya risiko-risiko industrial yang belum 
ditangani dengan kompetensi teknis yang memadai, masih terjadi 
perselisihan akibat kualitas pelayanan pra kontrak dan pasca kontrak 
khususnya pelayanan klaim, keengganan bekerja sama secara ko asuransi, 
konsorsium, pool dan reasuransi dengan sesama perusahaan asuransi dan
reasuransi lokal, kekurang pedulian terhadap kebutuhan penjenuhan 
kapasitas dalam negeri dan masih mengalirnya devisa keluar negeri.
Untuk itu masih diperlukan perangkat peraturan serta pengawasan 
yang memadai guna mencapai industri asuransi yang kuat dan sehat.
1. Pengertian Asuransi Konvensional
Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda assurantie (asuransi), 
yang dalam hukum belanda disebut dan verzekering yang artinya 
pertanggungan. Dalam bahasa Inggris, asuransi disebut insurance, yang 
dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa populer dan diadopsi dalam 
Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan padanan kata “pertanggungan”. 
Echols dan Shadilly memaknai kata insurance dengan (a) asuransi, dan (b) 
jaminan. Dalam bahasa Belanda biasa disebut dengan istilah assurantie.
Banyak definisi tentang asuransi (konvensional), namun, definisi 
asuransi yang baku dapat dilacak dari peraturan (perundang-undangan) 
dan beberapa buku yang berkaitan dengan asuransi.
Mark R. Greene : An economic institution that reduces risk by 
combining under one management and group of objects so stuated that the 
aggregate accidental losses to which the group is subject become 
predictable within narrow limits (Institusi ekonomi yang mengurangi 
resiko dengan menggabungkan di bawah satu manajemen dan kelompok 
objek dalam suatu kondisi sehingga kerugian besar yang terjadi yang 
diderita oleh suatu kelompok yang tadi dapat diprediksi dalam lingkup 
yang lebih kecil.)
Robert I Mehr mendefinisikan asuransi adalah, “ a device for 
reducing risk by combining a sufficient number of exposure units to make 
their individual lossses collectively predictable. The predictable loss in 
then shared by or distributed proportionately among all units in the 
combination”. (Suatu alat untuk mengurangi resiko dengan 
menggabungkan sejumlah unit-unit yang beresiko agar kerugian individu 
secara kolektif dapat diprediksi. Kerugian yang dapat diprediksi tersebut 
kemudian dibagi dan didistribusikan secara proporsional di antara semua 
unit-unit dalam gabungan tersebut.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246 
dijelaskan bahwa yang dimaksud asuransi atau pertanggungan adalah 
“suatu perjanjian (timbal balik), dengan mana seorang penanggung 
mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu 
premi, untuk memberikan penggantian kepadanya, karena suatu kerugian, 
kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin 
akan dideritanya, karena suatu peristiwa tak tentu (onzeker vooral).”
Berdasarkan pada definisi yang ada pada Undang-undang Nomor 2 
Tahun 1992, maka pengertian Asuransi adalah:
Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak 
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima 
premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena 
kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau 
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita 
tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau 
hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
2
Obyek asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan 
manusia, tanggung jawab hukum serta semua kepentingan lainnya yang 
dapat hilang, rusak, rugi, dan atau berkurang nilainya.
Rumusan mengenai definisi asuransi mencakup dua segi:
a. Segi Hukum
Secara otentik pengaturan asuransi terdapat dalam pasal 246 KUHD. 
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian antar seorang 
penanggung yang mengikatkan diri kepada seorang tertanggung 
dengan menerima premi. Untuk memberikan penggantian kepadanya 
karena suatu kerugian.
b. Segi Ekonomi
Untuk memindahkan resiko dari seseorang kepada orang lain 
(asuransi) maka apabila dimasa mendatang terdapat kerugian yang 
diderita seseorang akibat resiko yang dihadapinya, maka kerugian 
tersebut dapat dialihkan kepada orang lain.
2. Prinsip-Prinsip Pokok Asuransi
a. Prinsip utmost good faith
Penutupan asuransi dianggap sah apabila dilakukan atas dasar itikat 
baik (Pasal 251 KUHD)
b. Prinsip insurable interest
Bahwa tertanggung harus mempunyai kepentingan atas harta benda 
yang akan dipertanggungkannya.
c. Prinsip indenvinity
Dasar pengertian kerugian kepada tertanggung dalam hal terjadi 
kerugian atas harta benda yang dipertanggungkan setinggi-tingginya 
sebesar kerugian yang benar-benar dideritanya.
d. Prinsip subrogation
Bila tertanggung sudah mendapat ganti rugi dari suatu pihak atas dasar 
indevinity maka tertanggung tidak berhak lagi memperoleh ganti rugi 
dari pihak lain.
3. Periode Perkembangan Industri Asuransi 
a. Priode Tahun 1988 - 1992
Untuk meningkatkan daya serap kapasitas nasional dengan tujuan 
memperkuat industri asuransi nasional dan mengurangi devisa dari 
premi reasuransi keluar negeri, Pemerintah mengeluarkan paket 
deregulasi yang dikenal dengan Pakdes 1988 melalui Keputusan 
Presiden Nomor 40 Tahun 1988 menggantikan Keputusan Presiden 
Nomor 65 Tahun 1969 beserta aturan pelaksanaannya. Konsekuensi 
dari aturan baru ini antara lain adalah otoritas regulator menjadi tidak 
terlihat dalam penetapan suku premi asuransi, sehingga tarif yang 
semula mendapat legitimasi Pemerintah dikembalikan kepada industri 
dan mekanisme pasar.
Kebijakan pemerintah ini seharusnya membawa dampak positif 
bagi pasar jika industri asuransi cukup dewasa dan mampu 
memanfaatkan kesempatan tersebut dengan baik untuk membenahi 
keadaan khususnya masalah persaingan harga. Dalam kenyataannya, 
mekanisme pasar tetap tidak membaik dan persaingan yang tidak sehat 
tetap berlanjut. Dewan Asuransi Indonesia kemudian berupaya untuk 
ikut mengamankan kebijakan Pemerintah, dengan prakarsa membuat 
kesepakatan bersama antar perusahaan asuransi. Kesepakatan 
ditandatangani oleh seluruh perusahaan anggota, namun demi 
kepentingan mikro masing-masing perusahaan, sangat sulit bagi 
anggota untuk mematuhinya.
Perhatian Pemerintah dalam mengembangkan industri asuransi 
dilanjutkan dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 
1992 tentang Usaha Perasuransian sebagai landasan hukum Industri 
Asuransi di Indonesia.
b. Periode Undang-Undang Perasuransian 1993 - 1998 (Krisis 
Ekonomi dan Huru-hara)
Persaingan yang sehat seharusnya tidak terjadi dalam layanan 
primer (primary services) tetapi boleh terjadi dalam layanan sekunder 
(secondary services). Layanan primer adalah harga pokok risiko atau 
suku premi yang besarannya harus dihitung berdasarkan statistik, 
analisis risiko dan keputusan underwriting (underwriting judgement). 
Penetapan suku premi tanpa mengindahkan kaidah-kaidah yang benar 
akan menghadapkan perusahaan pada spekulasi ketidakseimbangan
volume premi dengan eksposur kerugian, ketidakstabilan hasil yang 
diharapkan dan bahkan dapat berakibat pada kesulitan keuangan.
Layanan sekunder sejauh itu belum dikembangkan secara intensif 
dalam konsep customer retention management, sebagai alat bersaing 
dan membangun loyalitas konsumen. Kenyataan ini pula yang kurang 
mendukung keberhasilan deregulasi (Pakdes 1988) dan Undang￾undang Nomor 2 Tahun 1992 dalam memperbaiki praktek usaha dan 
persaingan. Kondisi industri asuransi yang belum membaik tersebut 
kemudian harus menghadapi krisis multi dimensi dan klaim akibat 
kerusuhan bulan Mei 1998.
Kerusuhan Mei 1998 telah membebankan klaim asuransi yang 
harus dibayar oleh industri asuransi. Peristiwa itu juga telah membawa 
dampak positif dengan meningkatnya kesadaran masyarakat urban 
akan pentingnya asuransi. Sejak peristiwa tersebut, permintaan 
asuransi dari segmen ritel (personal lines) khususnya asuransi 
kebakaran dan kendaraan bermotor mulai meningkat secara signifikan 
dan terus berkembang hingga sekarang. Permintaan yang sama juga 
datang dari kalangan industri di wilayah luar untuk antisipasi 
timbulnya social unrest dikalangan buruh dilingkungan usahanya.
c. Periode 1999 hingga sekarang
Konvensi internasional melalui WTO dan GAT telah mendorong
Pemerintah sebagai salah satu signatory untuk melakukan deregulasi 
berbagai sektor jasa keuangan. Langkah deregulasi ini tercermin 
diantaranya pada kebijakan Pemerintah yang berusaha untuk
membangun industri asuransi yang kuat dan sehat. Hal ini antara lain 
dilakukan dengan upaya untuk meningkatkan modal perusahaan 
asuransi dan reasuransi secara bertahap.
Bagi perusahaan-perusahaan asuransi yang sudah mendapat ijin 
dan sudah beroperasi, ditetapkan aturan untuk mengukur kesehatan 
keuangan atau solvency requirement berdasarkan formulasi Risk Based 
Capital (RBC) yang pada akhir tahun 2004 harus sudah mencapai 
120%. Selain RBC, untuk membatasi perusahaan-perusahaan asuransi 
agar tidak sampai menanggung kewajiban klaim yang lebih besar dari 
kemampuan keuangannya, diberlakukan ketentuan bahwa jumlah 
Premi Netto setinggi-tingginya 300% dari Modal sendiri.
Pemerintah melakukan pengawasan dan pemantauan secara 
seksama demi terpenuhinya ketentuan RBC atau batasan Premi Netto. 
Non compliance terhadap ketentuan tersebut mengharuskan 
perusahaan asuransi dan reasuransi untuk menambah modal atau 
membatasi operasi atau volume bisnisnya.
4. Peraturan perundang-undangan
Adapun peraturan perundang-undangan yang terkait dengan industri 
asuransi adalah:
a. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1992 tentang Usaha 
Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah 
Nomor 63 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah 
Nomor 73 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 
Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
c. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 
422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan 
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
d. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 
423/KMK.06/2003 tentang Pemeriksaan Perusahaan Peransuransian.
e. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 
424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi 
dan Perusahaan Reasuransi.
f. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 
135/PMK.05/2005 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri 
Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan 
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
g. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 
425/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha 
Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi.
h. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 
426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan 
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
i. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 
74/KMK.02/2006 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi 
Lembaga Keuangan Non Bank.
5. Sistem dan Mekanisme Asuransi Konvensional
Beberapa hal yang pokok yang perlu menjadi perhatian dalam 
pelaksanaan usaha perusahaan peransuransian adalah:
a. Permodalan
Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 
2008, modal setor minimum adalah sebagai berikut:
Untuk Perusahaan Asuransi : Rp 100 miliar
Untuk Perusahaan Reasuransi : Rp 200 miliar
Untuk Perusahaan Pialang
Asuransi dan Perusahaan
Pialang Reasuransi : Rp 1 miliar
Sedangkan modal disetor minimum bagi pendirian perusahaan 
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan 
seluruh kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah adalah 
sebagai berikut:
Untuk Perusahaan Asuransi : Rp 50 miliar
Untuk Perusahaan Reasuransi : Rp 100 miliar
b. Struktur Organisasi
Struktur organisasi perusahaan perasuransian sekurang-kurangnya 
meliputi fungsi-fungsi sebagai berikut:
1) fungsi pengelolaan risiko;
2) fungsi pengelolaan keuangan;
3) fungsi pelayanan.
c. Kesehatan Keuangan
Kesehatan keuangan perusahaan asuransi kerugian, perusahaan 
asuransi jiwa dan perusahaan reasuransi mencakup hal-hal sebagai 
berikut:
1) Batas tingkat solvabilitas;
2) Retensi sendiri;
3) Reauransi;
4) Investasi;
5) Cadangan teknis.
6. Jenis-jenis/Produk Asuransi 
Sebelum mengupas mengenai jenis-jenis/produk Asuransi 
Konvensional di Indonesia, terlebih dahulu akan kita kenal mengenai 
penggolongan asuransi;
a. AsuransiWajib (Asuransi Tenaga Kerja, Jasa Raharja)
b. Asuransi Sukarela
1) Asuransi jiwa (life insurance);
2) Asuransi kerugian (non life);
 Asuransi pengangkutan
 Asuransi kebakaran 
 Asuransi variasi
3) Reasuransi adalah usaha yang memberikan jasa dalam 
pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh 
perusahaan asuransi kerugian dan atau perusahaan asuransi jiwa;
4) Asuransi sosial adalah program asuransi sosial hanya dapat 
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara.
Jenis-jenis Asuransi
1. Asuransi Umum/Kerugian
Usaha asuransi umum/kerugian memberikan jasa dalam penanggulanagn 
risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum 
kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
Perusahaan asuransi umum hanya dapat menyelenggarakan usaha dalam 
bidang asuransi umum, termasuk reasuransi.
a. Asuransi Pengangkutan
Mengenai Asuransi Pengangkutan, dapat dirinci sebagai berikut:
Asuransi Pengangkutan Laut (Marinir Insurance)
Mengenai dasar hukum asuransi pengangkutan laut, diatur dalam 
Pasal 592 KUHD yang langsung menyebutkan mengenai ketentuan 
isi polis. Selanjutnya dalam Pasal 593 KUHD menyebutkan macam￾macam risiko yang menjadi pokok pertanggungan. Adapun cakupan 
risiko yang dijamin antara lain:
1) Kebakaran dan peledakan
2) Kapal atau alat pengangkut mengalami kandas, terdampar, 
tenggelam maupun terperangkap dalam karang.
3) Terbalik
4) Tabrakan kapal dengan benda-benda lain selain dengan air
5) Pembongkaran barang di pelabuhan darurat
Namun demikian, terdapat pengecualian terhadap penjaminan resiko 
yang meliputi;
1) Tindakan yang melawan hukum dari setiap orang
2) Letusan gunung api
3) washing are boart
4) Memasukkan air laut ditempat penyimpanan barang.
5) TLO, setiap package
b. Asuransi Kebakaran
Risiko yang dijamin dalam asuransi kebakaran menurut 
standar kebakaran Indonesia mencakup:
1) kebakaran karena api sendiri, tidak berhati-hati, kesalahan atau 
kejahatan pembantu sendiri, tetangga, musuh, perampok atau 
perintah yang wajib untuk menghindari menjalarnya kebakaran 
itu
2) petir
3) peledakan
4) kejatuhan pesawat terbang
Mengenai hal-hal yang termasuk pengecualian dalam 
penjaminan risiko asuransi kebakaran, mencakup;
1) Sesuatu cacat maupun kebusukan yang timbul dari sifat dan 
macam-macam barang itu sendiri.
2) Kerusuhan, pemogokan, akibat perbuatan jahat, tertabrak 
kendaraan, asap, gempa bumi, letusan gunung dsb.
3) Risiko nuklir dan radiasi nuklir
Bahaya-bahaya tambahan ternyata juga mendapatkan 
perhatian dalam asuransi kebakaran ini, yang meliputi bahaya 
kebakaran karena;
1) perluasan jalan
2) kerusuhan
3) pemogokan (request and stickes)
4) gempa bumi (bencana alam)
5) tertabrak kendaraan
6) asap
7) arus pendek
8) tanah longsor.
2. Asuransi Jiwa
Adalah usaha asuransi yang memberikan jasa dalam 
penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya 
seseorang yang dipertanggungkan. Perusahaan asuari jiwa hanya dapat 
menyelenggarakan usaha dalam bidang asuransi jiwa, dan asuransi 
kesehatan, asuransi kecelakaan diri, dan usaha anuitas serta menjadi
pendiri dan pengurus dana pensiun sesuai dengan peraturan perundang￾undangan dana pensiun yang berlaku.
B. Asuransi Syariah
1. Pengertian Asuransi Syariah
Asuransi dalam bahasa Arab disebut At’ta’min yang berasal dari 
kata amanah yang berarti memberikan perlindungan, ketenangan, rasa 
aman serta bebas dari rasa takut. Istilah menta‟minkan sesuatu berarti 
seseorang memberikan uang cicilan agar ia atau orang yang ditunjuk 
menjadi ahli warisnya mendapatkan ganti rugi atas hartanya yang hilang.
Dari pengertian dasar itu tersebut, asuransi syari‟ah kemudian 
didefinisikan sebagai usaha saling melindungi dan tolong menolong di 
antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan 
atau tabarru memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko 
tertentu melalui akad yang sesuai dengan syari‟ah.
Menurut Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama 
Indonesia (DSN-MUI) Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang 
Pedoman Umum Asuransi Syariah bagian pertama menyebutkan 
pengertian Asuransi Syariah (ta‟min, takaful‟ atau tadhamun) adalah 
usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang 
atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru yang 
memberikan pola pengembalian untuk mengehadapi resiko tertentu 
melalui akad atau perikatan yang sesuai dengan syariah.
Dari definisi asuransi syari‟ah di atas jelas bahwa pertama, 
asuransi syari‟ah berbeda dengan asuransi konvensional. Pada asuransi 
syari‟ah setiap peserta sejak awal bermaksud saling menolong dan 
melindungi satu dengan yang lain dengan menyisihkan dananya sebagai 
iuran kebajikan yang disebut tabarru. Jadi sistem ini tidak menggunakan 
pengalihan risiko (risk tranfer) di mana tertanggung harus membayar 
premi, tetapi lebih merupakan pembagian risiko (risk sharing) di mana 
para peserta saling menanggung. Kedua, akad yang digunakan dalam 
asuransi syari‟ah harus selaras dengan hukum Islam (syari‟ah), artinya 
akad yang dilakukan harus terhindar dari riba, gharar (ketidak jelasan 
dana), dan maisir (gambling), di samping itu investasi dana harus pada 
obyek yang halal-thoyyibah.
2. Pertumbuhan dan Perkembangan Asuransi Syari’ah di Indonesia
Asuransi syariah di Indonesia merupakan sebuah cita-cita yang 
telah dibangun sejak lama, dan telah menjadi sebuah lembaga asuransi 
modern yang siap melayani umat Islam Indonesia dan bersaing dengan 
lembaga asuransi konvensional. Dalam asuransi syariah terdapat dua 
jenis perlindungan takaful. Pertama, takaful keluarga, yaitu bentuk 
takaful yang memberikan perlindungan finansial dalam menghadapi 
malapetaka kematian dan kecelakaan atas diri peserta takaful. Adapun 
produk takaful keluarga meliputi; takaful berencana, takaful 
pembiayaan, takaful pendidikan, takaful dana haji, takaful berjangka, 
takaful kecelakaan siswa, takaful kecelakaan diri, dan takaful khairat 
keluarga. Kedua, takaful umum, adalah bentuk takaful yang memberikan
perlindungan finansial dalam menghadapi bencana atau kecelakaan atas 
harta benda milik peserta takaful, seperti; rumah, bangunan, dan 
sebagainya. Produk takaful umum meliputi; takaful kebakaran, takaful 
kendaraan bermotor, takaful pengangkutan laut, takaful rekayasa.
Adapun perkembangan asuransi syariah di Indonesia baru ada 
pada paruh akhir tahun 1994. yaitu dengan berdirinya Asuransi Takaful 
Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1994, dengan diresmikannya PT 
Asuransi Takaful Keluarga melalui SK Menkeu No. Kep-
385/KMK.017/1994. Pendirian Asuransi Takaful Indonesia diprakarsai 
oleh Tim Pembentuk Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI) yang 
dipelopori oleh ICMI melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat 
Indonesia, Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Pejabat dari Departemen 
Keuangan, dan Pengusaha Muslim Indonesia.
Melalui berbagai seminar nasional dan setelah mengadakan studi 
banding dengan Takaful Malaysia, akhirnya berdirilah PT Syarikat 
Takaful Indonesia (PT STI) sebagai Holding Company pada tanggal 24 
Februari 1994. Kemudian PT STI mendirikan 2 anak perusahaan, yakni 
PT Asuransi Takaful Keluarga (Life Insurance) dan PT Asuransi Takaful 
Umum (General Insurance). PT Asuransi Takaful Keluarga diresmikan 
lebih awal pada tanggal 25 Agustus 1994 oleh Bapak Mar‟ie Muhammad 
selaku Menteri Keuangan saat itu. Setelah keluarnya izin operasional 
perusahaan pada tanggal 4 Agustus 1994.
Setelah itu, beberapa perusahaan asuransi syariah yang lain lahir, 
seperti PT. asuransi syari‟ah “Mubarakah” (1997) dan beberapa unit
asuransi syari‟ah dari asuransi konvensional seperti MAA Assurance 
(2000), Asuransi Great Eastern (2001), Asuransi Bumi Putra (2003), 
Asuransi Beringin Jiwa Sejahtera (2003), Asuransi Tripakarta (2002), 
Asuransi Jasindo takaful (2003), Asuransi Binagria (2003), Asuransi 
Bumida (2003), Asuransi Staci Jasa Pratama (2004), Asuransi Central 
Asia (2004), Asuransi Adira Syari‟ah (2004), Asuransi BNI Jiwasraya 
Syari‟ah (2004), Asuransi Sinar Mas (2004), Asuransi Tokio Marine 
Syari‟ah (2004), dan Reindo Divisi Syari‟ah (2004) yang hingga bulan 
Agustus 2005 merupakan satu-satunya perusahaan re-asuransi yang 
syari‟ah.
Kini (di tahun 2008). Jumlah lembaga asuransi syariah telah 
mencapai 38 buah. Karena pertumbuhan yang cepat tersebut, maka 
Indonesia menjadi negara yang paling cepat pertumbuhan asuransi 
syariahnya dan paling banyak jumlah lembaganya di dunia. Hanya 
Indonesia satu-satunya negara yang memiliki lembaga asuransi syariah, 
sedangkan Malaysia cuma ada 4 lembaga asuransi syariah. Dan hanya 
Indonesia yang memiliki 38 lembaga reasuransi syariah. Di negara 
manapun biasanya hanya ada satu lembaga reasuransi syariah.
Nama-nama perusahaan Asuransi Syariah di Indonesia :
PT Asuransi Takaful Umum
PT Asuransi Takaful Keluarga
PT Asuransi Syariah Mubarakah
PT MAA Life Assurance
PT MAA General Assurance
PT Great Eastern Life Indonesia
PT Asuransi Tri Pakarta
PT AJB Bumiputera 1912
PT Asuransi Jiwa BRIngin Life Sejahtera
PT Asuransi BRIngin Sejahtera Artamakmur
PT Asuransi Binagriya Upakara
PT Asuransi Jasindo Takaful
PT Asuransi Central Asia
PT Asuransi Umum BumiPuteraMuda 1967
PT Asuransi Astra Buana
PT BNI Life Indonesia
PT Asuransi Adira Dinamika
PT Staco Jasapratama
PT Asuransi Sinar Mas
PT Asuransi Tokio Marine Indonesia
PT Asuransi Jiwa SinarMas
PT Tugu Pratama Indonesia
PT Asuransi AIA Indonesia
PT Asuransi Allianz Life Indonesia
PT Panin Life, Tbk
PT Asuransi Allianz Utama Indonesia
PT Asuransi Ramayana, Tbk
PT Asuransi Jiwa Mega Life
PT AJ Central Asia Raya
PT Asuransi Parolamas
PT Asuransi Umum Mega
PT Asuransi Jiwa Askrida
PT Asuransi Jiwasraya (Persero)
PT Equity Financial Solution
PT Asuransi Kredit Indonesia
PT Asuransi Bintang, Tbk
PT Asuransi Bangun Askrida
PT Prudential Life Assurance
Reasuransi Syariah 
PT Reasuransi Internasional Indonesia (ReIndo)
PT Reasuransi Nasional Indonesia (Nasre)
PT Maskapai Reasuransi Indonesia (Marein)
Broker Asuransi dan Reasuransi
PT Fresnel Perdana Mandiri
PT Asiare Binajasa
PT Amanah Jamin Indonesia
PT Asrinda Re-Brokers dan AA Pialang Asuransi
PT Madani Karsa Mandiri
PT Aon Indonesia

Walapun secara kuantitas, perkembangan asuransi syari‟ah di 
Indonesia relatif pesat, tetapi dalam kenyataannya asuransi syari‟ah 
masih menghadapi beberapa kendala. Menurut Syakir Sula, Ketua 
Asosiasi Asuransi Syari‟ah Indonesia, hal-hal yang menjadi kendala 
antara lain, pertama belum adanya Undang-Undang yang khusus 
melandasi keberadaan lembaga ini sebagaimana lembaga perbankan 
syariah, Kedua, Keterbatasan Tenaga Ahli Asuransi Syari‟ah yang 
profesional. Ketiga, Dukungan masyarakat belum optimal..
Sementara itu kinerja asuransi syariah juga menunjukan 
perkembangan yang positif, baik premi (kontribusi nasabah), investasi 
maupun assetnya. Untuk Asuransi Jiwa premi nasabah melonjak tajam 
menjadi Rp 818 milyard (September 2008) dari 515 september 2007.
Kinerja asuransi umum syariah juga menunjukan perkembangan 
yang positif, baik premi (kontribusi nasabah), investasi maupun 
assetnya. Assetnya meningkat dari Rp 491 milyard pada September 2007 
menjadi Rp 619 milyard pada September 2008. Premi nasabah melonjak 
tajam menjadi Rp 362 294 milyard (September 2008) dari 294 pada 
september 2007. Demikian pula pekembangan investasinya berkembang 
secara signifikan Hal itu terlihat pada tabel di bawah ini :
Perbedaan asuransi Islam dan konvensional
1. Peraturan-Peraturan Terkini
2. Sistem Dan Mekanisme
3. Jenis-Jenis / Produk Asuransi Syariah
3. Karakteristik dan Keistimewaan Asuransi Islam
Karakter pertama, terletak pada perbedaan sistem yang paling 
mendasar antara asuransi Islam dengan sistem asuransi konvensional. 
Sebagaimana diketahui, asuransi konvensional hanya mengenal atau 
memberlakukan klaim dari pemegang polis, misalnya kecelakaan, 
kematian atau hal-hal yang tidak diinginkan dan semua itu sudah tertulis 
kesepakatannya dalam akad. Konsekwensinya, jika pemegang polis tidak 
tertimpa musibah, semasa akad masih berlangsung, maka pemegang
polis tidak dapat mengklaimnya. Sistem ini mengundang pemegang polis 
yang nakal dengan menyiasati untuk mendapatkan klaim yang besar 
dibanding dana yang telah diasuransikan. Penyiasatan ini mengiring 
rekayasa tertentu, seperti upaya pembakaran bahkan membunuh meski 
tidak dilakukan secara langsung oleh pemegang polis.
Praktek rekayasa tersebut merupakan tindakan kriminal yang 
berarti melanggar hukum, bahkan sangat menodai harkat dan martabat 
manusia. Sebab korban yang menderita, bukan hanya perusahaan 
asuransi, tetapi juga anggota masyarakat yang mungkin tidak pernah 
berhubungan dengan lembaga asuransi.
Sementara, jika jenis produk asuransinya tidak terkait dengan 
peristiwa seperti kematian, kebakaran, kecelakaan atau musibah, maka 
pemegang polis asuransi konvensional, juga tidak dapat menikmati 
pengembalian dana kewajibannya selama belum melewati waktu-waktu 
yang telah ditentukan. Juga, jika pemegang polis tidak dapat meneruskan 
kewajibannya, maka dana yang telah disetorkan menjadi hangus.
Prinsip dasar asuransi konvensional tersebut, jelas berbeda 
dengan asuransi syari‟ah. Prinsip dasar asuransi takaful syari‟ah 
berangkat dari sebuah filosofi bahwa manusia berasal dari satu 
keturunan, Adam dan Hawa. Dengan demikian, manusia pada 
hakikatnya merupakan keluarga besar. Untuk dapat meraih kehidupan 
bersama, sesama manusia harus tolong menolong (ta‟awun) dan saling 
berbuat kebajikan (tabarru) dan saling menanggung (takaful). Prinsip ini 
merupakan dasar pijakan bagi kegiatan manusia sebagai makhluk sosial.
Dari pijakan filosofis ini, setidaknya ada tiga prinsip dasar dalam 
asuransi syari‟ah, yaitu saling bertanggung jawab, saling bekerja sama 
dan saling melindungi penderitaan satu sama lain.
Dengan filosifi tersebut, asuransi Islam menggariskan 
keuntungan yang sangat berbeda dengan asuransi konvensional, yaitu, 
pemegang polis diposisikan sebagai penabung, maka secara hukum, dana 
yang diasuransikan, sama dengan tabungannya juga. Dengan posisinya 
sebagai tabungan, maka ada dua keuntungan yang dapat dipetik 
langsung. Pertama, dana asuransi Islam bagi masing-masing pemegang 
polis akan mendapat nilai tambahan. Nilai tambahan ini bukan bunga, 
tetapi bagi hasil dari sistem mudharabah yang merupakan manfaat 
finansial atas kebijakan kerjasama asuransi syari‟ah dengan bank 
syari‟ah.
Dalam hal ini, pihak asuransi syari‟ah, menitipkan dana para 
pemegang polis sebagai instrumen investasi yang dikelola lembaga 
keuangan syari‟ah, misalnya Bank syari‟ah atau reksa dana syari‟ah.
Untuk konteks ini premi yang dimaksud adalah premi tabungan. 
Sementara dalam sistem Bank Syari‟ah terdapat ketentuan bahwa 
siapapun yang ikut serta dalam proyek usaha, ia akan mendapatkan bagi 
hasil atas keuntungan yang diperoleh dari kerjasama itu. Karena itu para 
pemegang polis, berhak menikmati bagian keuntungan yang dicapai 
Bank Syari‟ah.
Jika kita telaah penambahan dana asuransi yang dinikmati para 
pemegang polis, merupakan buah nyata kebijakan kemitraan atau
kerjasama antara Asuransi Syari‟ah dan Bank Syari‟ah. Hal ini 
merupakan salah satu keunggulan Asuransi Syari‟ah.
Dalam hal ini kita dapat bertanya secara komparatif antara 
asuransi konvensional dengan asuransi syari‟ah. Pernahkah terjadi dana 
asuransi bertambah nilainya. Hanya diasuransi syari‟ah yang bakal 
terjadi. Asuransi lainnya jelas tidak sama sekali.
Keunggulan kedua, bahwa pemegang polis sewaktu-waktu, 
karena alasan tertentu tak dapat melanjutkan hubungan dengan lembaga 
asuransi syari‟ah, sehingga secara sepihak ia memutuskan hubungan 
dengan pihak asuransi syari‟ah. Pemutusan hubungan ini tidak 
menyebabkan dananya hangus. Ia sebagai pemegang polis, berhak dan 
wajib hukumnya untuk mendapatkan kembali dana yang diasuransikan. 
Memang tidak seutuhnya (100%) dana yang telah diasuransikan itu, akan 
dikembalikan. Sebab dana pemegang polis akan dikurangi dana tabarru
(dana kebijakan). Dan harus dicatat pula, bahwa pemegang polis tetap 
mendapatkan dana tambahan dari bagi hasil premi yang telah disetornya. 
Meski terjadi sedikit pengurangan, tapi, pengembalian itu jauh lebih baik 
dari sistem asuransi konvensional yang menghanguskan secara total dana 
pemegang polis. 
Selanjutnya penting dicatat, bahwa praktik asurasi Islam terbebas 
dari praktik-praktik yang diharamkan. Paling tidak ada 3 (tiga) hal yang 
diharamkan oleh pada praktek bisnis asuransi konvensional. Ketiganya 
dihilangkan dari asuransi Islam.
Pertama, unsur gharar (yaitu ketidak jelasan dan ketidak 
transparanan). Masalah yang diutamakan dalam kegiatan bisnis adalah 
akad yang digunakan. Akad tersebut harus bebas dari gharar 
(ketidakjelasan). Padahal Islam sangat menekankan kejelasan akad 
dalam praktek mu‟amalah dan menjadi prinsip utama, karena akan 
menentukan sah atau tidaknya secara Syari‟ah. Dalam praktik asuransi 
non syari‟ah, aspek gharar sangat jelas sekali, karena jika terjadi klaim, 
dana yang diterima nasabah seringkali lebih besar dari dana premi yang 
disetornya. Dalam akad di awal tidak jelas berapa premi yang harus 
disetor dan berapa dana yang harus diterima. Begitu juga kejelasan dan 
ketransparanan ke mana dana peserta diinfestasikan akan menjadi 
prinsip. Karena akan menentukan halal atau haramnya perolehan 
keuntungan investasi peserta. Sedangkan pada praktek asuransi syari‟ah 
kejelasan dan ketransparanan aqad ini menjadi hal utama.
Kedua, adanya unsur maisir (untung-untungan/ judi/ spekulasi). 
Kezaliman akan muncul misalnya; jika saat peserta tidak dapat 
melanjutkan pembayaran polisnya karena sesuatu hal. Di satu sisi tidak 
punya dana untuk melanjutkan dan di sisi lain jika mengundurkan diri 
maka dana yang terlanjur dibayar akan hangus. Pada praktek Asuransi 
Syari‟ah; hal tersebut diatas tidak dikenal. Peserta dapat menarik
dananya kapan saja peserta menghendakinya; jika memang peserta tak 
sanggup melanjutkan perjanjiannya.
Ketiga, adanya unsur riba (bunga). Praktek investasi pada 
asuransi konvensional melakukannya dengan mekanisme bunga dan
penyaluran dana investasi peserta dilakukan kemana yang diinginkan 
oleh perusahaan asuransi. Tidak melihat apakah lembaga saluran 
investasi itu boleh atau tidak dalam ajaran Islam. Sedangkan pada 
asuransi syari‟ah; investasinya harus sesuai dengan prinsip syari‟ah, jelas 
halal atau haramnya bidang usaha investasinya; dan menggunakan 
konsep mudharobah (bagi hasil) dalam pembagian keuntungan 
investasinya.
Keistimewaan khusus yang dimiliki oleh Asuransi syari‟ah 
adalah diterapkannya konsep risk Sharing, dimana setiap surplus yang 
diterima oleh perusahaan sepenuhnya milik peserta dan pada prakteknya 
surplus ini dibagi dengan perusahaan asuransi syari‟ah.
Sebagai contoh sederhana misalnya: Andaikan saja seluruh 
Gedung Universitas Indonesia ini diasuransikan dalam program asuransi 
kebakaran pada asuransi syari‟ah. Misalnya preminya mencapai Rp 
50.000.000 per tahun. Dan ternyata dalam masa perjanjian 1 (satu) 
tahun; tidak terjadi resiko apapun maka akan ada surplus yang akan 
dikembalikan kepada pihak Universitas Indonesia dengan melalui skema 
mudharabah (bagi hasil).
4. Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
Perbedaan asuransi syariah dan asuransi konvensional dapat dilihat 
pada tabel di bawah ini
5. Dasar Hukum Asuransi Syariah
Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi syariah masih 
mendasarkan legalitasnya pada Undang-undang No. 2 tahun 1992 
tentang perasuransian.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal 246, yaitu :
”Asuransi adalah suatu perjanjian dimana seseorang penanggung 
mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu 
premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, 
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin 
akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu”.
Pengertian diatas tidak dapat dijadikan landasan hukum yang 
kuat bagi Asuransi Syariah karena tidak mengatur keberadaan asuransi 
berdasarkan prinsip syariah, serta tidak mengatur teknis pelaksanaan 
kegiatan asuransi dalam kaitannya kegiatan administrasinya. Pedoman 
untuk menjalankan usaha asuransi syariah terdapat dalam Fatwa Dewan 
Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) 
No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, 
fatwa tersebut dikeluarkan kareni regulasi yang ada tidak dapat dijadikan 
pedoman untuk menjalankan kegiatan Asuransi Syariah. Tetapi fatwa 
DSN-MUI tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dalam Hukum 
Nasional karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan di 
Indonesia. Agar ketentuan Asuransi Syariah memiliki kekuatan hukum, 
maka perlu dibentuk peraturan yang termasuk peraturan perundang￾undangan yang ada di Indonesia meskipun dirasa belum memberi
kepastian hukum yang lebih kuat, peraturan tersebut yaitu Keputusan 
Menteri Keuangan RI No. 426/KMK.06/2003, Keputusan Menteri 
Keuangan RI No. 424/KMK.06/2003 dan Keputusan Direktorat Jendral 
Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000. Dan terakhir adalah Peraturan 
Pemerintah No. 39 tahun 2008. Semua keputusan tersebut menyebutkan 
mengenai aturan dan permodalan sistem asuransi berbasis Syariah.
Asuransi syariah berkembang pesat seiring pesatnya pula perkembangan 
perbankan syariah di Indonesia. Hal ini dimulai dengan berdirinya 
Asuransi Takaful Indonesia tahun 1994 yang terdiri dari takaful umum 
dan takaful Keluarga dan diikuti oleh asuransi Syariah Mubarakah tahun 
2001 sebagai pelopor asuransi syariah di Indonesia. Dan hingga kini 
setidaknya ada 35 perusahaan asuransi yang sudah pula membuka 
cabang syariah. Dengan demikian sudah ada 38 syariah yang telah 
beroperasi secara syariah. Data direktorat Asuransi Departemen 
Keuangan menunjukan bahwa bisnis asuransi syariah rata-rata tumbuh 
20% pertahun.
Hampir semua ulama Fiqh sepakat tentang keberadaan asuransi 
syariah, namun tetap ada yang berbeda pendapat. Hal ini terjadi karena 
kurangnya informasi ketika mengeluarkan fatwa tersebut. Seandainya 
mereka diberi informasi yang benar tentu hasil pendapat akan sama 
antara satu ulama dan lainnya.
Dengan berkembangnya usaha perasuransian syariah maka 
muncullah berbagai literatur dalam berbagai bahasa seperti dalam bahasa
arab, bahasa Inggeris dan bahasa Indonesia dan juga buku-buku 
terjemahan yang sudah banyak beredar di Indonesia.
Dari literatur tersebut diuraikan tentang konsep, falsafah dan 
sistem asuransi syariah dan bagaimana cara operasinya dan dengan jelas 
tidak ada satu bentuk operasinya yang bertentangan dengan prinsip￾prinsip syariah.
Dengan begitu, asuransi bukanlah satu bentuk upaya melawan takdir, 
melainkan justru sebuah perencanaan hidup yang sesuai dengan tuntunan 
Al-Qur`an. Ada pun kontrak dan operasional bisnis asuransi bisa dibuat 
sefleksibel mungkin tanpa kehilangan ruh syariahnya. Terdapat berbagai 
aqad yang dapat diaplikasikan kepada produk-produk asuransi syariah 
sebagaimana yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional 
Majelis Ulama Indonesia, seperti akad wakalah bil ujrah, mudharabah 
musytarakah, aqad tabarru‟, akad wadiah dan mungkin saja akad-akad 
lain yang sesuai dengan karakter produk.
6. Prinsip-prinsip Dasar Asuransi Syariah
Suatu asuransi diperbolehkan secara syar‟i, jika tidak 
menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan syariat Islam. Untuk 
itu dalam muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan 
sebagai berikut:
a. Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), 
tolong menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau 
keuntungan materi semata. Allah SWT berfirman,” Dan saling tolong
menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling 
tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.”
b. Asuransi syariat tidak bersifat mu‟awadhoh, tetapi tabarru‟ atau 
dalam tarnsaksi yang bersifat investasi dengan prinsip mudhorobah 
musytarakah atau wadiah.
c. Sumbangan (tabarru‟) sama dengan hibah (pemberian), oleh karena 
itu haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka 
diselesaikan menurut syariat.
d. Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah 
ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan 
prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah 
sejumlah uang guna membantu orang yang ditimpa musibah.
e. Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya 
dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena 
suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas 
kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
f. Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan 
menurut aturan syar‟i.
Asuransi syariah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Akad asuransi syari‟ah adalah bersifat tabarru‟, sumbangan yang 
diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru‟, maka 
andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika 
terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan
kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih 
maka kelebihan itu adalah keuntungan hasil mudhorobah bukan riba.
b. Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib 
dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika 
memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, 
dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat 
melalui izin yang diberikan oleh jama‟ah (seluruh peserta asuransi 
atau pengurus yang ditunjuk bersama).
c. Dalam asuransi syari‟ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena 
semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama‟ah 
seperti dalam asuransi takaful.
d. Akad asuransi syari‟ah bersih dari gharar dan riba.
e. Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.
Manfaat asuransi syariah. Berikut ini beberapa manfaat yang 
dapat dipetik dalam menggunakan asuransi syariah, yaitu:
a. Tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa sepenanggungan di antara 
anggota.
b. Implementasi dari anjuran Rasulullah SAW agar umat Islam salimg 
tolong menolong.
c. Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang dilarang syariat.
d. Secara umum dapat memberikan perlindungan-perlindungan dari 
resiko kerugian yang diderita satu pihak.
e. Juga meningkatkan efesiensi, karena tidak perlu secara khusus 
mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan 
perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu, dan biaya.
f. Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya 
yang jumlahnya tertentu, dan tidak perlu mengganti/ membayar 
sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tertentu dan tidak 
pasti.
g. Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar pada pihak asuransi 
akan dikembalikan saat terjadi peristiwa atau berhentinya akad.
h. Menutup Loss of corning power seseorang atau badan usaha pada 
saat ia tidak dapat berfungsi(bekerja).
7. Perkembangan Hukum Asuransi di Dunia
Perbedaan pendapat itu telah mewarnai pula gerakan 
pembaharuan hukum di negara-negara Islam yang telah mendorong 
beberapa usaha untuk mengubah kitab UU Hukum Dagang Utsmani 
yang diundangkan pada 1850. Kitab UU Hukum Dagang Utsmani ini 
seluruhnya berdasarkan hukum Perancis dan boleh dikatakan sama sekali 
tidak bersumber dari syariat. Hukum ini mula-mula berlaku di seluruh 
bekas imperium Utsmani, termasuk Mesir, tetapi di beberapa negara 
telah diganti dengan kitab undang-undang lebih kontemporer yang juga 
terutama diilhami dari hukum Perancis.
Dalam sejumlah segi yang amat penting, kitab UU Hukum 
Dagang Mesir, 1948 langsung bertentangan dengan interpretasi 
tradisional hukum Islam di semua mazhab yang diakui-misalnya
mengenai pinjaman atau investasi yang memikul beban bunga tetap, 
taruhan dan perjudian cagak hidup dan asuransi.
Hukum Mesir membolehkan asuransi timbal balik (mutual), 
asuransi dagang dengan persyaratan tertentu, asuransi atas bahaya yang 
menimpa badan, asuransi terhadap bahaya-bahaya pertanggungan 
perdata yang berupa harta benda. Usaha pertama yang dilakukan di Irak 
pada tahun 1933, ketika sebuah komisaris para pembuat UU lokal 
meneliti keadaan dan menyampaikan laporan. Tetapi usaha ini terbukti 
gagal, karena tentangan dari para pemimpin agama. 
Kemudian pada 1936, komisi kedua diangkat. Komisi hukum ini 
menugasi seorang ahli hukum Mesir yaitu Dokter Sanhuri Basya untuk 
menyusun undang-undang hukum tersebut. Setelah selesai dibuat satu 
jilid, untuk sementara menghentikan pekerjaannya dan baru dimulai lagi 
pada tahun 1942 sampai selesai. Rancangan undang-undang ini 
kemudian dibahas dalam sidang-sidang komisi di bawah pimpinan 
doktor itu sendiri. Selesai pembahasannya oleh komisi kemudian 
diajukan parlemen untuk memperoleh persetujuan. 
Suatu analisis mengenai Kode Irak 1951 mengungkapkan bahwa 
secara umum kode itu terdiri atas bagian-bagian yang hampir sama 
dengan pasal-pasal yang berasal dari Majalah (dan sebuah teks yang 
berjudul Murshid al-Hayran) di satu pihak dan KUH Perdata Mesir di 
pihak lain. Karena itu jelas apa yang dapat diistilahkan sebagai 
“komponen Islam”. Jauh lebih kuat dan lebih meresap dari pada dalam 
mode Mesir”. Tetapi adalah penting bahwa pada dasarnya asas-asas
perancis dari Kode Mesir mengenai masalah-masalah yang 
menjengkelkan seperti suku bunga tetap, asuransi, dan kontrak yang 
bersifat “spekulatif” telah berlaku. 
Jumlah kecil orang-orang Islam di India, Pakistan dan Sudan 
secara pribadi berpegang pada larangan tradisional terhadap suku bunga 
tetap atau perjanjian asuransi tertentu. Hanya di Arab Saudi, Yaman 
Utara dan Oman syariat masih luas berlaku dalam soal-soal seperti itu. 
Selanjutnya dua perkembangan terjadi kemudian: kontrak 
asuransi yang sebelumnya dibatasi hanya di bidang perdagangan laut 
kini tampaknya dibenarkan terhadap mobil dan harta benda lain, 
walaupun tidak terhadap asuransi jiwa dan bank telah mulai beroperasi 
atas dasar apa yang sebenarnya adalah bunga, walaupun dengan hati-hati 
dinamakan “komisi” alih-alih istilah negatif “riba”. 
Konperensi Internasional Pertama tentang Ekonomi Islam di 
Mekah pada 17 Januari 1978 dihadiri delegasi Indonesia. Salah satu 
acaranya membahas asuransi dalam rangka syariat Islam. 
Keputusan konperensi Negara-negara Islam di Kuala Lumpur mengenal 
asuransi:
a. Asuransi yang didalamnya terdapat unsur riba dan eksploitasi 
hukumnya haram. 
b. Asuransi yang bersifat koperatif hukumnya halal 
1) Asuransi yang khusus buat sesuatu usaha dapat dilakukan oleh 
sekumpulan manusia atas dasar koperatif.
2) Sedang asuransi yang tidak terbatas buat usaha dapat dilakukan 
oleh Pemerintah.
3) Konperensi menganjurkan kepada pemerintah-pemerintah Islam 
untuk mengadakan asuransi yang bersifat koperatif antara 
negara-negara Islam.
Peserta-peserta asuransi ini membayar uang iuran yang tidak boleh 
diambil kembali kecuali pada saat datang waktunya ia berhak 
menerima. 
c. Mengingat pentingnya perdagangan internasional, maka asuransi 
dalam bentuk internasional yang ada sekarang dianggap halal, 
berdasarkan hukum darurat.
Pembaharuan hukum itu telah pula melahirkan usaha mendirikan 
perusahaan asuransi yang menekankan sifat saling menanggung, 
saling menolong di antara para tertanggung yang bernilai kebajikan 
menurut ajaran Islam dengan nama asuransi Takaful. Telah berdiri 
asuransi demikian di beberapa negara, Islamic Arab Insurance C.Ltd. 
Sudan (1979), Islamic Arab Insurance Co. ltd. Saudi Arabia (1979), 
Dar Al Maal Al Islami, Geneva (1983) Takaful Islam Luxemburg 
(1983), Takaful Islam Bahamas (1983), SyarikatTakaful Malaysia 
SDN, Berhad (1984 )
Ada beberapa konferensi umat Islam sedunia yang telah menyepakati 
tentang halalnya operasi asuransi syariah diantaranya ialah: The 
Islamic Fiqh Week yang dilaksanakan di Damaskus dari 1-6 April 
1961; Seminar di Morocco tanggal 6 Mei 1972, The second
Conference on Muslim Scholars di Kairo 1965; th symposium on 
Islamic Jurisprudence di Lybia tanggal 6-11 Mei 1972; the first 
International Conference on Islamic Economics di Mekah tanggal 
21-26 February 19976; the Islamic Conference di Mekah Oktober 
1976; the first International Summit on Islamic Insurance di Dubai 
11 November 1996 dan The Labuan International Summit on 
Takaful Malaysia 19-20 Juni 1997.
8. Peraturan/Regulasi Tentang Asuransi Syariah
 Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008:
 Persyaratan permodalan
 Konsep unit syariah
 Peraturan Menteri Keuangan No. 124 Tahun 2008:
 Asuransi Kredit dan Suretyship untuk usaha asuransi umum 
syariah dilarang sampai ditetapkannya aturan tersendiri;
 Peraturan Menteri Keuangan No. 158 Tahun 2008:
 Dana jaminan
9. Sistem Pengelolaan Dana Asuransi Syariah
Di dalam sistem operasional asuransi syariah, yang sebenarnya 
terjadi adalah saling bertanggung jawab, bantu-membantu dan 
melindungi di antara para peserta sendiri. Perusahaan asuransi diberi 
kepercayaan (amanah) oleh para peserta untuk mengelola premi, 
mengembangkan dengan jalan yang halal, memberikan santunan kepada 
yang mengalami musibah sesuai isi akta perjanjian tersebut.
Keuntungan perusahaan asuransi syariah diperoleh dari bagian 
keuntungan dana dari para peserta, yang dikembangkan dengan prinsip 
mudharabah musytarakah dan wakalah bil ujrah dalam akad 
mudharabah, para peserta asuransi syariah berkedudukan sebagai 
pemilik modal dan perusahaan asuransi syariah berfungsi sebagai yang 
menjalankan modal (mudharib) . Keuntungan yang diperoleh dari 
pengembangan dana itu dibagi antara para peserta dan perusahaan sesuai 
ketentuan yang telah disepakati.
Mekanisme pengelolaan dana peserta (premi) terbagi menjadi dua sistem 
yaitu:
a. Sistem yang mengandung unsur tabungan
Setiap peserta wajib membayar sejumlah uang (premi) secara 
teratur kepada perusahaan. Besar premi yang akan dibayarkan 
tergantung kepada kemampuan peserta. Akan tetapi perusahaan 
menetapkan jumlah minimum premi yang dapat dibayarkan. Setiap 
peserta dapat membayar premi tersebut, melalui rekening koran, giro 
atau membayar langsung. Peserta dapat memilih cara pembayaran, 
baik tiap bulan, kuartal, semester maupun tahunan.
Setiap premi yang dibayar oleh peserta akan dipisah oleh 
perusahaan asuransi dalam dua rekening yang berbeda, yaitu:
1) Rekening Tabungan, yaitu kumpulan dana yang merupakan milik 
peserta, yang dibayarkan bila:
 Perjanjian berakhir 
 Peserta mengundurkan diri
 Peserta meninggal dunia
2) Rekening Tabarru‟, yaitu kumpulan dana yang diniatkan oleh 
peserta sebagai iuran kebajikan untuk tujuan saling tolong￾menolong dan saling membantu, yang dibayarkan bila:
 Peserta meninggal dunia 
 Perjanjian telah berakhir (jika ada surplus dana)
Kumpulan dana peserta ini akan diinvestasikan sesuai dengan syariah 
Islam. Tiap keuntungan dari hasil investasi, setelah dikurangi dengan 
beban asuransi (klaim dan premi re-asuransi), akan dibagi menurut 
prinsip mudharabah. Prosentase pembagian mudharabah (bagi hasil) 
dibuat dalam suatu perbandingan tetap berdasarkan perjanjian 
kerjasama antara perusahaan dengan peserta.
b. Sistem yang tidak mengandung unsur tabungan
Setiap premi yang dibayar oleh peserta, akan dimasukkan 
dalam Rekening Tabarru‟, yaitu kumpulan dana yang diniatkan oleh 
peserta sebagai iuran kebajikan untuk tujuan saling tolong-menolong 
dan saling membantu, dan dibayarkan bila:
 Peserta meninggal dunia 
 Perjanjian telah berakhir (jika ada surplus dana)
Kumpulan dana peserta ini akan diinvestasikan sesuai dengan 
syariah Islam. Keuntungan dari hasil investasi setelah dikurangi 
dengan beban asuransi (klaim dan premi re-asuransi), akan dibagi 
antara peserta dan perusahaan menurut prinsip Al-Mudharabah 
dalam suatu perbandingan tetap berdasarkan perjanjian kerjasama 
antara perusahaan dengan peserta
10. Produk-Produk Asuransi Syariah
Asuransi Jiwa mempunyai produk antara lain :
a. Asuransi berjangka
b. Asuransi kecelakaan diri
c. Asuransi kesehatan
d. Unit link
Asuransi Takaful Umum menawarkan produk-produk antara lain:
a. Takaful (Asuransi ) Kendaraan Bermotor
b. Takaful (Asuransi) Kebakaran
c. Takaful Resiko Pembangunan
d. Takaful Mesin
e. Takaful Peralatan Elektronik
f. Takaful Pengangkutan Barang
g. Takaful Rangka Kapal
h. Takaful Pengangkutan Uang
i. Takaful Resiko Gabungan
j. Takaful Kecelakaan Diri
k. Takaful Penyimpanan Uang
l. Takaful Tanggung Gugat
m. Asuransi Tanggung Jawab kepada pihak ketiga
n. Asuransi rekayasa (engineering all risks)


A. Usaha Perasuransian di Indonesia
Dalam masyarakat modern, asuransi memegang peranan penting, 
dalam rangka mengalihkan risiko, baik risiko bisnis, maupun risiko non￾bisnis. Perjalanan kehidupan yang pasang surut menghendaki adanya sarana 
pengaman bagi para pelakunya, agar kerugian yang diderita karena risiko 
(kerugian, kehilangan asset, kecelakaan dan lain-lain) dapat dialihkan 
kepada pihak ketiga sebagai penanggung.
Adapun yang dimaksud dengan risiko apa yang disebutkan oleh
Vaughan dan Elliot, yaitu:
3
1. chance of loss
2. the possibility of loss
3. uncertainty
4. the disperision of actual from expected result
5. the probability of any out come different from the one expected.
Dari uraian tersebut risiko kerugian dapat diartikan sebagai 
kemungkinan menderita kerugian, sehingga di dalamnya terkandung 
pengertian (loss) dan unsure ketidakpastian (uncertainty).4 Risiko-risiko 
tersebut dalam masyarakat modern berusaha dialihkan pada pihak ketiga 
yaitu asuransi.
Asuransi, dalam masyarakat modern semakin disadari manfaatnya, 
karena kerugian yang besar, baik karena kesalahan kalkulasi maupun faktor 
lainnya, misalnya bencana alam.
Adapun beberapa manfaat penting dari asuransi, antara lain:5
1. Membantu masyarakat dalam rangka mengatasi segala masalah risiko 
yang dihadapinya. Hal itu akan memberikan ketenangan dan 
kepercayaan diri yang lebih tinggi kepada yang bersangkutan
2. Merupakan sarana pengumpulan dana yang cukup besar, sehingga dapat 
dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat dan pembangunan
3. Sebagai sarana untuk mengatasi risiko-risiko yang dihadapi dalam 
melaksanakan pembangunan.
Dari berbagai manfaat asuransi tersebut, masyarakat akan banyak 
menggunankan asuransi dalam mengcaver risiko kehidupannya melalui 
sarana asuransi. Oleh karena itu banyak yang harus dilakukan oleh pihak￾pihak terkait agar masyarakat semakin menyenangi menggunakan asuransi 
(insurance minded), melalui usaha pengenalan asuransi (manfaat dan 
keuntungan menggunakan asuransi) dan penciptaan usaha perasuransian 
yang sehat.
Asuransi sebagai bagian dari perikatan, merupakan perjanjian secara 
sadar antara tertanggung dengan penanggung. Asuransi yang sehat akan 
menguntungkan masyarakat karena tertanggung (nasabah asuransi) akan 
memperoleh perlindungan hukum, sedangkan bagi pelaku bisnis asuransi
akan menikmati hasil usahanya sesuai dengan kaidah bisnis yang 
diharapkan.
Secara hukum positif yang berlaku peraturan perundang-undangan 
yang mengatur bisnis asuransi dapat dikelompokan dalam dua (2) kelompok, 
yaitu :
Pertama, hukum private asuransi, yang dalam bahasa Inggris disebut 
Insurance Act adalah hukum privat yang mengatur mengenai asuransi itu 
sendiri, seperti obyek asuransi, kepentingan dalam asuransi, orang yang 
diperbolehkan menutup asuransi, kontrak asuransi dan lain-lain
Kedua, Hukum Publik Asuransi adalah hukum yang mengatur badan 
usaha yang menyelenggarakan usaha asuransi, hal-hal yang di atur antara 
lain: jenis asuransi, bidang usaha, kepemilikan dan lain sebagainya.
6
Di Indonesia, pengaturan mengenai asuransi, yang diatur dalam 
Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian adalah 
hanya mengatur mengenai hal ikhwal usaha perasuransian dan belum 
mengatur mengenai substansi dari perjanjian asuransinya. Oleh karena itu 
dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Nasional mengenai perasuransian, 
dalam perjanjian asuransinya masih menggunakan Buku I title 9 dan title 10, 
serta Buku II title 9 dan Titel 10 Wet Boek van Koophandel (WvK), atau 
sering disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Dalam perkembangannya, usaha perasuransian yang sedemikian 
cepat dilakukan dengan mengeluarkan berbagai ketentuan atau peraturan,
baik dalam bentuk Peraturan Presiden, Peraturan Menteri maupun peraturan 
lainnya.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa kecepatan gerak langkah 
usaha perasuransian di Indonesia lebih didominasi oleh peraturan 
perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Sedangkan undang-undang 
yang mengatur usaha perasuransian sendiri, dalam beberapa hal ketinggalan 
dengan perkembangan usaha perasuransian yang sangat cepat.
Salah satu bukti ketertinggalan ketentuan-ketentuan dalam Undang￾Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, adalah belum 
diakomodasikannya usaha perasuranisian berbasis syariah. Padahal secara 
kasat mata, dapat dilihat bahwa usaha perasuransian berbasis syariah sudah 
berkembang cukup pesat. Ketentuan-ketentuan yang digunakan masih 
menggunakan berbagai peraturan-peraturan di bawah undang-undang, 
seperti Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan lain sebagainya.
Oleh karena itu sudah waktunya dilakukan perbaikan atau 
penyempurnaan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha 
Perasuransian agar dapat memasukkan usaha asuransi berdasarkan syariah. 
Di samping itu perlunya dilanjutkan juga pembentukan Undang￾Undang mengenai substansi perjanjian asuransi, karena pengaturan 
perjanjian asuransi yang ada masih menggunakan ketentuan-ketentuan 
dalam KUHD yang sudah berusia lebih dari satu abad dan peninggalan masa 
Kolonial Belanda. Perkembangan asuransi yang sedemikian cepat 
menghendaki adanya bentuk-bentuk perjanjian yang bersifat lebih modern. 
Dengan pembuatan pengaturan perjanjian asuransi dalam bentuk undang-
undang, diharapkan akan semakin menghidupkan usaha perasuransian di 
Indonesia.
Ada dua kemungkinan untuk memasukkan perjanjian asuransi dalam 
suatu ketentuan, pertama, apakah ia akan disatukan dengan usaha 
perasuransian dengan sekaligus memasukkan ketentuan substantive dari 
usaha perasuransian, kedua, apakah dipisah, sehingga ada satu ketentuan 
yang mengatur mengenai usaha perasuransian dan ada ketentuan lain yang 
mengatur mengenai perjanjian asuransinya.
B. Perlindungan Usaha Perasuransian Nasional
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa globalisasi ekonomi telah 
merambah seluruh bisnis atau usaha di Indonesia termasuk usaha atau bisnis 
perasuransian. Pihak asing melihat peluang bisnis asuransi yang cukup besar 
di Indonesia, karena jumlah penduduk yang besar dengan tingkat pendapatan 
yang terus meningkat, sementara peserta asuransi masih sedikit jumlahnya. 
Usaha perasuransian asing yang melihat peluang bisnis tersebut berusaha 
mendirikan atau membangun dan memperluas usahanya di Indonesia.
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional, tidak bisa 
lepas dari pengaruh globalisasi tersebut khususnya di bidang ekonomi. 
Apalagi setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional tentang 
World Trade Organization (WTO) melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 
1984, Indonesia wajib membuka pasarnya bagi entitas bisnis internasional 
termasuk usaha perasuransian, untuk beroperasi di Indonesia. Adanya Usaha
Asuransi Allianz dari Jerman, AIG dari Amerika Serikat menunjukkan hal 
tersebut.
Dalam prinsip-prinsip WTO yang harus ditaati oleh Negara-negara 
anggotanya (yang sudah meratifikasinya) adalah prinsip non-discrimination. 
Dalam prinsip tersebut setiap Negara anggota tidak boleh memberikan 
perlakuan (treatment) yang berbeda antara perusahaan dengan modal asing 
dengan perusahaan modal dalam negeri. Perlakuan yang diberikan harus 
sama, tidak boleh ada perbedaan perlakuan dengan alasan perlindungan 
perusahaan dalam negeri, apabila dilakukan dapat dikenakan sanksi melalui 
mekanisme yang terdapat dalam organisasi perdagangan internasional 
tersebut.
Permasalahannya, adalah apakah manfaat yang akan diperoleh 
Indonesia apabila membuka kesempatan secara lebar-lebar usaha 
perasuransian asing untuk membuka usahanya di Indonesia. Secara fisik 
(keuangan/modal, pengalaman, teknologi dan pengetahuan). Pelaku bisnis 
asuransi asing terutama yang bersifat Multi National Corporation (MNC), 
jauh memiliki sumber daya yang lebih besar dibandingkan dengan sumber 
daya perusahaan asuransi nasional.
Dilihat dari sisi modal, usaha perasuransian nasional jelas kalah jauh, 
demikian pula apabila dilihat dari sisi sumber daya lainnya. Akan tetapi 
dengan telah dibukanya usaha perasuransian asing di Indonesia, mau tidak 
mau persaingan harus terjadi. Ketentuan hukum atau peraturan perundang￾undanganlah yang diharapkan mampu memberi perlindungan terhadap usaha 
perasuransian nasional.
Ketentuan perasuransian harus mampu menjadikan adanya 
persaingan tersebut sebagai sarana bagi memajukan usaha perasuransian 
nasional. Ketentuan-ketentuan yang mendorong adanya alih pengetahuan 
dan teknologi di bidang perasuransian, seperti computer net working yang 
kuat dan baik di bidang perasuransian dan lain sebagainya, yang diharapkan 
akan mampu mengembangkan sumber daya usaha perasuransian nasional 
semakin berkembang baik dari sisi permodalan maupun sumber daya 
manusianya.
C. Sengketa Perasuransian
Di Indonesia bisnis asuransi berkembang sangat cepat, baik 
perusahaan asuransi konvensional maupun asuransi berdasarkan syariah. 
Perkembangan tersebut semakin menarik karena dengan prinsip-prinsip 
yang berbeda, k

Related Posts:

  • asuransi A Sebagai salah satu pilar pendukung dan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem keuangan, industri asuransi telah menunj… Read More