asuransi 1

Fenomena Alam terjadinya Bencana Tsunami pada Sabtu malam tanggal 
22 Desember 2018 di Selat Sunda meninggalkan kepedihan yang mendalam 
bagi masyarakat setempat. Tsunami yang tanpa didahului peringatan dini 
dan tanda-tanda alam seperti gempa bumi dan surutnya air laut, membuat 
penduduk asli serta pengunjung yang sedang berlibur di pesisir pantai tidak siap 
menghadapi bencana dahsyat tersebut. Grup band “Seventeen” yang kala itu 
sedang asyik membawakan lagu kedua mereka dengan suara yang mengge￾legar telah menghipnotis seluruh penonton, sehingga tidak seorangpun 
mendengar suara gemuruh gelombang tsunami yang datang secara tiba-tiba 
dari belakang panggung dan menghempas seluruh makhluk dan benda yang 
ada. Duka yang menyayat hati sanubari dan kehilangan atau kerusakan harta 
benda, telah menimbulkan kerugian bagi korban dan atau keluarga korban.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat korban 
meninggal akibat Tsunami Selat Sunda sebanyak 437 orang, 14.059 orang 
luka-luka, 16 orang hilang, dan 33.721 mengungsi. Peristiwa ini telah melanda
lima kabupaten, yaitu: Kabupaten Pandeglang dan Serang di Provinsi Banten, 
Kabupaten Lampung Selatan, Pesawaran dan Tanggamus di Provinsi Lampung.
Nyawa dan rasa duka yang timbul dari musibah tersebut tidak dapat dinilai 
secara material, namun demikian dalam suatu peristiwa kerugian, nilai kemanu￾siaan untuk mengurangi derita keluarga korban dapat dirumuskan dalam 
santunan ataupun asuransi jiwa. Begitupun kerusakan atau kehilangan harta 
benda dapat dirumuskan dalam nilai kerugian yang dijamin oleh asuransi umum. 
Dengan adanya musibah tersebut, masyarakat menjadi semakin lebih menya￾dari risiko yang mungkin terjadi dalam hidup mereka dan dengan kecepatan 
memperoleh informasi, masyarakat menjadi semakin mudah untuk melakukan 
tindakan antisipatif dengan mengalihkan risiko kepada perusahaan asuransi.
Dalam setiap langkah kehidupan kita, kita selalu berusaha untuk dapat 
memprediksi apa yang akan terjadi kemudian. Namun seringkali kita dihadapkan 
pada suatu kondisi ketidakpastian atas kebenaran dari apa yang kita prediksikan. 
Manusia memiliki keterbatasan untuk mengetahui secara pasti apa yang akan 
terjadi 1 tahun kemudian, 1 bulan kemudian, bahkan 1 detik kemudian pun 
manusia tidak dapat memastikannya. Kepastian baru datang setelah kejadian, 
atau hanya Tuhan yang tahu sebelumnya. Manusia hanya dapat berusaha, 
berharap dan berdoa agar apa yang terjadi kemudian akan selalu baik baginya. 
Namun sayang sekali, karena tidak semua yang kita harapkan baik akan selalu 
baik sesuai dengan harapan. 
Kita hidup di dalam dunia yang penuh risiko. Risiko dapat terjadi sewaktu-waktu 
tanpa dapat diprediksi. Ada berbagai macam risiko, antara lain: risiko hilangnya 
mobil, risiko kematian, risiko sakit kritis, risiko gagal melanjutkan pendidikan, 
risiko kecelakaan akibat terjatuh dari motor, risiko kebakaran pada tempat 
usaha, risiko rumah kebanjiran, dan masih banyak macam risiko lainnya. Risiko 
pada umumnya membuat bayangan yang menakutkan, tidak mengenakkan 
dan kondisi tidak nyaman karena apabila terjadi, akan menimbulkan kerugian. 
Berbagai usaha dilakukan oleh manusia dalam rangka mengantisipasi risiko yang 
mungkin terjadi, dengan jalan menghindari risiko, mengurangi risiko, membatasi 
risiko atau mengalihkan risiko tersebut kepada pihak lain. Mekanisme mengalih￾kan risiko yang paling lazim dilakukan adalah dengan cara berasuransi. 
Pihak yang mengalihkan risiko (Tertanggung) membayar premi kepada 
perusahaan asuransi yang menerima risiko (Penanggung). Membayar premi 
merupakan kewajiban yang harus dipenuhi Tertanggung. Sebagai bukti 
pengalihan risiko dari Tertanggung kepada Penanggung, maka Penanggung 
mengeluarkan surat kontrak perjanjian yang disebut polis asuransi. Jika 
terjadi kerugian akibat risiko, maka Penanggung akan memberikan ganti rugi 
yang besarnya telah ditentukan dalam polis asuransi. Pada asuransi sosial, 
Tertanggung membayar iuran wajib dan Penanggung yang biasa disebut 
penyelenggara, memberikan santunan jika terjadi kerugian yang besarnya telah 
ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. 
Banyak yang masih beranggapan bahwa asuransi itu dapat menjamin semua 
risiko dan harus membayar ganti rugi terhadap semua penyebab terjadinya 
kerugian tersebut. Asuransi memang dapat menjamin berbagai macam risiko 
namun tidak bisa mencegah semua risiko agar tidak terjadi. Asuransi melaku￾kan proses pengelolaan risiko sehingga apabila risiko tersebut terjadi, maka 
Tertanggung tidak mengalami kerugian finansial. Kerugian yang terjadi akan 
ditanggung oleh perusahaan asuransi sesuai kesepakatan yang tertuang pada 
polis asuransi.
Sebagaimana pada umumnya, manusia mempu￾nyai naluri selalu berusaha untuk menyelamatkan 
jiwanya dari berbagai ancaman terhadap dirinya, 
termasuk ancaman kekurangan makanan/ pangan. 
Salah satu riwayat mengenai masalah ini tercantum 
pada Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 43-49 dan Kitab Injil 
Testamen Lama Genesus 41, yang meriwayatkan 
tentang seorang Raja di Negeri Mesir yang bermimpi 
melihat tujuh ekor sapi yang kurus masing-masing 
menelan seekor sapi yang gemuk. Dalam mimpinya 
yang kedua, raja tersebut melihat tujuh butir gandum 
yang berat dan berisi dimakan habis oleh tujuh butir 
gandum yang kosong. Nabi Yusuf A.S. memberikan 
saran agar pada saat panen yang melimpah terse￾but dibuat sebagian cadangan gandum untuk masa 
paceklik yang akan datang.
Selain itu, sebuah buku kuno dari India yang dinamakan Rig Veda yang 
ditulis dalam Bahasa Sansekerta menyebutkan riwayat tentang Yoga 
Kshema yang berarti pertanggungan. Riwayat tersebut adalah bukti 
bahwa manusia senantiasa memikirkan dan mempersiapkan kehidu￾pan masa depannya. 
Penelitian para ahli terhadap sejarah pertumbuhan asuransi banyak 
yang menyoroti bahwa awal terbentuknya asuransi ditandai dengan praktik 
bottomry contract. Bottomry contract adalah suatu cara pembiayaan 
perdagangan yang mempunyai sifat khusus. Riwayatnya yaitu sekitar 
tahun 2.250 sebelum masehi Bangsa Babylonia yang hidup di daerah 
Sungai Euphrat dan Tigris (sekarang wilayah Irak). Pada waktu itu, 
pedagang atau pemilik kapal dapat mengambil barang-barang dagangan 
untuk dijual ke tempat-tempat lain tanpa membayar harga barang terse￾but terlebih dahulu, namun mereka diwajibkan untuk membayarnya kelak 
dengan pembayaran bunganya dan ditambah pula dengan sejumlah uang 
sebagai imbalan atas risiko yang telah dipikul oleh pemberi barang. Akan 
tetapi, jika ternyata barang-barang tersebut dirampok dalam perjalanan, 
maka para pedagang akan dibebaskan dari kewajiban tersebut. Kontrak 
perjanjian ini mirip dengan asuransi dalam bentuknya yang masih primitif. 
TAHUN 600 SEBELUM MASEHI
India sudah mengenal praktik bottomry contract. 
TAHUN 400 SEBELUM MASEHI
Dari tulisan Plutarach dan cerita mengenai Demostinus, didapat suatu 
petunjuk bahwa Yunani pun sejak tahun 400 sebelum masehi telah 
mengenal praktik bottomry contract. 
TAHUN 215 SEBELUM MASEHI
Pada tahun 215 sebelum masehi, pemerintah Kerajaan Romawi 
diminta oleh para supplier perlengkapan dan perbekalan tentara kerajaan
untuk menerima suatu konsepsi pemberian perlindungan kepada mereka 
terhadap segala risiko kerugian yang mereka derita atas barang-barang 
mereka yang berada di kapal sebagai akibat bahaya maritim/ pelayaran, 
seperti serangan musuh dan badai. 
TAHUN 50 SEBELUM MASEHI
Cicero, pada kira-kira 50 tahun sebelum masehi memberi penjela￾san tentang praktik pemberian perlindungan atau jaminan terhadap 
keselamatan pengiriman uang atau surat-surat berharga selama dalam 
perjalanan. Sebagai imbalannya, pihak yang diberi perlindungan terse￾but memberikan semacam balas jasa berupa uang premi kepada pihak 
pemberi perlindungan. 
TAHUN 50
 Kaisar Claudius mengeluarkan suatu jaminan kepada para importir/ 
pemasok barang terhadap semua kerugian yang mereka derita sebagai 
akibat angin badai, tentunya dengan dikenakan premi. 
TAHUN 200
Para saudagar dan aktor di Italia mendirikan semacam lembaga 
asuransi yang disebut Collegia Tenuiorum dengan maksud untuk 
membantu janda dan anak-anak yatim para anggotanya. Para bekas 
budak belian yang diperbantukan kepada ketentaraan pun membentuk 
lembaga yang serupa dengan nama Collegia Nititum. Kumpulan tersebut 
dimaksudkan agar para bekas budak tersebut dapat dikuburkan secara 
layak apabila meninggal. 
TAHUN 1194-1266
Perkembangan lembaga yang mirip dengan asuransi terus tumbuh 
dan akhirnya pada masa pemerintahan Ratu Elenor di Belgia dibentuk 
undang-undang asuransi yang tercantum dalam ROLES D’OLERON.
Sejarah asuransi umum secara detail dapat dijelas￾kan melalui produk-produk asuransi umum yang 
berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat 
di dunia. 
Sejarah Asuransi 
Pengangkutan (Marine 
Cargo Insurance) 
Asuransi pengangkutan (melalui laut dan darat) 
mulai diselenggarakan di Italia pada sekitar abad 12. 
Para pedagang bangsa Italia tiba di Inggris sekitar abad 
12 dan 14 dengan membawa kebiasaan perdagangan 
mereka, termasuk asuransi pengangkutan. Para 
pedagang dan pelaut bangsa Eropa pada waktu itu 
biasa membicarakan bisnis tersebut di kedai-kedai 
kopi, di mana kopi merupakan minuman kegemaran 
baru bagi mereka. 
Salah satu kedai kopi yang ternama adalah kedai 
milik Edward Lloyd di tepi muara Sungai Thames 
yang dibukanya sekitar tahun 1680. Pemiliknya 
(Edward Lloyd) cukup cerdik, di mana untuk menarik 
pengunjungnya diciptakan pelayanan khusus dengan 
menyediakan alat-alat tulis dan membuat sebuah

majalah informasi tentang kapal￾kapal yang akan berlayar dan tiba di 
London, serta berita musibah dan 
situasi di berbagai pelabuhan lainnya 
di luar negeri. Kemudian dia mener￾bitkan buletin yang diberi nama Lloyd 
News yang kemudian terakhir menjadi 
sebuah terbitan surat kabar Lloyd List 
yang diterbitkan tahun 1734 setelah ia 
meninggal. Dari sinilah muncul istilah 
“Underwriters” yaitu sekelompok orang 
yang membuat perjanjian-perjanjian 
asuransi dengan cara membubuhkan 
tanda tangannya (namanya) di bawah 
perjanjian itu sebagai tanda bahwa 
mereka bersedia menjadi Penanggung
terhadap risiko yang diperjanjikan. 
Karena jasa-jasanya, maka namanya diabadikan pada nama organisasi yang 
dibentuk oleh para asuradur, yaitu Lloyd’s Corporation dan replika bagian depan 
coffee shop nya kini terdapat dalam sebuah ruangan di Lloyd Building di Lime 
Street, London.
Sejarah Asuransi Kebakaran (Fire 
Insurance) 
Asuransi kebakaran seperti yang kita kenal sekarang baru muncul pada tahun 
1680, yaitu setelah terjadinya kebakaran besar yang melanda kota London pada 
tahun 1666 (The Great Fire of London)
Kebakaran tersebut terjadi pada tanggal 2 sampai 5 September 1666 selama 
4 hari yang mulai timbul dari Pudding Lane, sebuah perusahaan roti yang 
memenuhi kebutuhan roti istana raja. Dalam peristiwa itu 89 buah gereja dan 
13.200 rumah di sepanjang 400 jalanan musnah, sehingga 200.000 dari 500.000 
rumah penduduk kota London menjadi rata dengan tanah dan baru selesai 
dibangun kembali pada tahun 1671. 
Beberapa perusahaan asuransi kebakaran bermunculan setelah itu. Pada 
tahun 1680 berdiri perusahaan asuransi kebakaran yang pertama kali berbentuk 
perseroan, yakni The Phoenix Fire Office. Pada tahun 1714 berdiri The Union Fire 
Office dan pada tahun 1717 The Westminster Fire Office berdiri.
Pada awalnya, perusa￾haan asuransi kebakaran 
mengkhususkan diri hanya 
terhadap penutupan objek 
asuransi tertentu saja, misalnya 
The Hand in Hand yang hanya 
menutup pertanggungan atas 
bangunan-bangunan, sedang￾kan The Sun Fire Office hanya 
menutup pertanggungan atas 
barang-barang dagangan. Luas 
jaminan asuransi kebakaran 
lama kelamaan dikembang￾kan termasuk risiko karena air 
pemadam kebakaran, gempa 
bumi, gangguan usaha karena 
kebakaran, risiko kerusuhan, 
badai, huru-hara, peledakan dan 
lain-lain.
Sejarah Asuransi Kecelakaan 
Diri (Personal Accident 
Insurance)
Awal dari perkembangan asuransi kecelakaan diri adalah 
sehubungan dengan banyaknya kecelakaan yang dialami setelah 
adanya kemajuan teknik dan industri pada abad 19. Ditemukannya 
mesin-mesin yang digerakkan oleh uap kemudian gas dan 
listrik sebagai pengganti tenaga manusia atau hewan menye￾babkan seringnya terjadi kecelakaan, karena pekerja belum begitu 
mengenal risiko yang dikandung oleh alat-alat modern. 
Pengoperasian kereta api sering menyebabkan kecelakaan 
cedera badan, khususnya ketika belum ada undang-undang 
keselamatan yang mengatur hal tersebut seperti sekarang 
ini. Penemuan kendaraan bermotor yang digerakkan oleh tenaga 
mesin mengakibatkan banyaknya korban di jalan raya. Perusahaan 
asuransi yang pertama kali berdiri ialah The Railway Passengers 
Assurance Co. yang berdiri pada tahun 1848. Lama kelamaan 
jenis asuransi ini berkembang menjadi asuransi kecelakaan dan 
jaminannya tidak dibatasi pada kecelakaan kereta api saja. 
Menjelang akhir abad ke-19, telah diberikan jaminan terhadap 
penyakit tertentu dan terhadap kecelakaan yang kemudian 
dilanjutkan sampai sekarang. Pada abad ke-20 diperluas dengan 
jaminan biaya perawatan rumah sakit. Selanjutnya berkembang 
kepada asuransi kelompok, misalnya asuransi kecelakaan diri bagi 
karyawan kereta api, perusahaan-perusahaan industri, dan perda￾gangan
Sejarah Asuransi Tanggung 
Gugat (Liability Insurance) 
Perkembangan asuransi tanggung gugat berjalan berdampingan 
dengan perkembangan asuransi tanggung gugat majikan 
(Employer’s Liability). Kesadaran masyarakat tentang kemungkinan￾kemungkinan terjadinya risiko gugatan dari pihak ketiga mulai 
disadari. Sejak awalnya tahun 1875, beberapa polis dikeluarkan 
sehubungan dengan kendaraan yang ditarik kuda (asuransi 
tanggung gugat terhadap pihak ketiga). Dengan lahirnya Employer’s 
Liability Act pada tahun 1880, polis-polis asuransi tanggung gugat 
umum mulai dikeluarkan, terutama untuk pemborong bangunan. 
Selanjutnya, berkembang terhadap bisnis lainnya dan saat ini di 
Inggris asuransi tanggung gugat untuk instalasi nuklir dan tempat 
pacuan kuda merupakan asuransi yang bersifat wajib. 
Sejarah Asuransi Kebongkaran 
(Burglary Insurance) 
Menurut riwayatnya pada tahun 1897, seorang underwriter 
Lloyd menyetujui perluasan jaminan asuransi kebakaran dengan 
melekatkan sebuah endorsement yang menambah risiko pembong￾karan semata-mata karena tambahan saja. Namun kemudian jenis 
asuransi ini menjadi terkenal. 
Perusahaan asuransi yang menjadi pelopor saham usaha 
asuransi kebongkaran adalah Mercantile Accident and Guarantee 
Insurance Co. yang polis perdananya dikeluarkan pada tahun 1889.
Sejarah Asuransi Kendaraan 
Bermotor (Motor Car Insurance) 
Kendaraan yang pertama digerakkan oleh mesin tiba di London 
pada tahun 1894. Diberlakukannya Locomotive on Highways Act 
1896 memungkinkan pengangkutan dengan kendaraan bermo￾tor berkembang. Selanjutnya pada tahun 1898 Law Accident 
Insurance Society menciptakan asuransi kendaraan bermotor. 
Pada saat Perang Dunia pertama, dirasakan betapa besarnya 
kegunaan kendaraan bermotor dan karenanya kemudian mening￾kat sekali kepemilikan kendaraan bermotor. Sejalan dengan itu, 
peristiwa kecelakaan di jalan raya sangat meningkat. Akan tetapi 
anggota masyarakat yang menderita kerugian dalam kecela￾kaan kendaraan bermotor sering tidak memperoleh santunan 
yang menjadi hak mereka dari pemilik kendaraan. Berdasarkan 
hal ini diberlakukanlah asuransi tanggung gugat pihak ketiga yang 
bersifat wajib, yaitu berdasarkan Road Trafic Act 1930. Peraturan 
ini mengalami pemyempurnaan terus sampai akhirnya dikeluarkan 
Road Trafic Act 1974. 
Dalam keputusan Masyarakat Ekonomi Eropa, ditetapkan bahwa 
semua polis asuransi kendaraan bermotor yang dikeluarkan 
oleh para Penanggung dalam Masyarakat Ekonomi Eropa harus 
mencantumkan sekurang-kurangnya jaminan minimum yang 
ditetapkan dalam ketentuan hukum negara-negara Masyarakat 
Ekonomi Eropa. Dengan meningkatnya kesadaran berasuransi 
masyarakat dan menyadari besarnya risiko yang dihadapi para 
pemilik dan pengendara kendaraan, maka sekarang hampir setiap 
pemilik kendaraan bermotor menutup pertanggungan kendaraan 
bermotornya.
Sejarah Asuransi Jiwa 
Dari berbagai macam literatur tentang asuransi jiwa yang ada, 
kebanyakan menyatakan bahwa polis pertama yang pernah dikeluarkan 
adalah untuk Williams Gybbons, seorang penduduk Kota London yang 
ketakutan akan desas-desus wabah penyakit menular yang terjadi waktu 
itu di tahun 1583. Jumlah Uang Pertanggungan (JUP) yang diminta oleh 
Williams Gybbons adalah 400 Poundsterling untuk masa pertanggungan 
satu tahun, dia berani membayar premi sebesar 82 Poundsterling (8% 
dari JUP). Pihak Penanggung (asuradur), terdiri dari sekelompok pemilik 
uang yang biasa berkumpul di sebuah kedai kopi. Mereka secara propor￾sional membagi risiko atas JUP tersebut dan demikian juga penerimaan 
preminya. 
Seperti kita lihat di atas, dasar pembelian asuransi oleh Williams 
Gybbons adalah adanya desas-desus penyakit menular yang terjadi 
waktu itu. Rangkaian berita dari mulut ke mulut yang makin lama makin 
dramatis ini, mengatakan bahwa selama 70 tahun terakhir telah mewabah 
penyakit menular yang menyerang kota London dan sekitarnya sebanyak 
5 kali, dan setiap kali menyerang, minimal menelan korban sekitar 20% 
dari jumlah penduduk. 
Penduduk yang semakin panik sangat mengganggu ketenteraman 
kota dan kehidupan warga kota. Akhirnya, pada tahun 1603, pemerin￾tah kota London menerbitkan “Bills of Mortality” untuk mengurangi rasa 
panik penduduk, dan membuktikan bahwa kematian sesungguhnya yang 
terjadi tidaklah sebesar seperti yang didesas-desuskan selama ini. Dalam 
perkembangannya Bills of Mortality merupakan dasar dari Table of Mortal￾ity (tabel mortalitas) yang sekarang kita kenal di industri asuransi jiwa. 
Pada tahun 1706 di Inggris berdiri sebuah perusahaan asuransi jiwa 
yang disebut The Amicable of London. Perusahaan ini didirikan atas dasar 
gotong royong dan belum menggunakan prinsip-prinsip asuransi yang 
kita gunakan seperti sekarang ini. Polis dikeluarkan hanya untuk jangka 
waktu satu tahun dan dapat diperpanjang. Uang premi setiap tahun 
bertambah sesuai dengan kenaikan usia Tertanggung dan nilai preminya 
terlalu mahal.
Pada tahun 1762 barulah muncul perusahaan asuransi jiwa modern 
seperti sekarang, yakni The Equitable of London. Bentuk perusahaan ini 
adalah asuransi jiwa bersama dan merupakan yang pertama menggu￾nakan landasan ilmiah. Perusahaan asuransi jiwa ini juga merupakan 
yang pertama mengeluarkan polis seumur hidup dengan premi tahunan 
yang rata selama kontrak. Premi diperhitungkan berdasarkan umur 
Tertanggung dan pertanggungan. Perubahan penting dalam pertum￾buhan asuransi jiwa ini terjadi dengan lahirnya Dodson’s Principle, yang 
antara lain berbunyi: 
1. Asuransi berbentuk asuransi bersama atas jiwa dan kebertahanan 
hidup; 
2. Tidak ada pembatasan dalam keanggotaan; 
3. Para anggota berhak atas bagian dari laba atau ikut memikul 
beban kerugian secara berimbang; 
4. Premi tahunan dikenakan terhadap risiko yang berhubungan 
dengan jenis pekerjaan dan wanita di bawah usia 50 tahun; dan 
5. Tipe asuransi hendaknya mencakup asuransi dengan jangka 
waktu satu tahun, kurun waktu beberapa tahun dan seumur hidup. 
Pandangan James Dodson ini sangat mempengaruhi perkembangan 
usaha asuransi jiwa sekarang. Sekitar 100 tahun setelah lahirnya The 
Equitable of London, di Inggris telah berdiri lebih kurang 500 perusahaan 
asuransi jiwa, yang kemudian menyebar dengan pesat ke berbagai negara 
termasuk Amerika Serikat. 
Pada pertengahan abad 17 di Perancis pun terjadi perkembangan, yaitu 
mulai diterapkannya sistem anuitas yang diberi nama Tontine. Nama 
ini diambil dari nama orang yang menemukannya yaitu Lorenzo Tonti 
yang berasal dari Italia. Penyelenggaranya adalah Perancis yang sedang 
mengalami defisit anggaran negara. Pelaksanaan sistem ini mewajibkan 
setiap warga negara menyerahkan uang sebesar 300 Lire kepada negara. 
Dari dana yang terkumpul tiap tahun, bunganya dibagikan kepada orang￾orang yang masih hidup.
Sejarah Perasuransian di Indonesia 
Asuransi masuk ke Indonesia pada waktu penjajahan Belanda dan negara kita 
pada waktu itu disebut Nederland Indie. Adanya asuransi di negeri kita ini 
akibat dari berhasilnya bangsa Belanda dalam sektor perkebunan dan perda￾gangan di negeri jajahannya, sehingga untuk memenuhi kebutuhan akan 
jaminan kehilangan usahanya, adanya asuransi mutlak diperlukan. 
Diperkirakan masuknya asuransi ke Indonesia adalah sesaat setelah 
berdirinya sebuah perusahaan asuransi di Belanda yang bernama De Nederlanden 
Van 1845. Di Indonesia sendiri oleh orang Belanda didirikan sebuah perusahaan 
asuransi jiwa dengan nama Nederlandsh Indisch Leven Verzekering En Liefrente 
Maatschappij (NILLMIJ), dimana perusahaan ini terakhir diambil alih oleh 
Pemerintah Republik Indonesia dan sekarang bernama PT Asuransi Jiwasraya.
Sejalan dengan arus pergerakan kebangsaan, seperti lahirnya Budi Utomo di 
tahun 1908, lahir pula bentuk-bentuk usaha asuransi jiwa dari kalangan bumiput￾era (bangsa Indonesia), seperti: 
1. Q.L. Mij PGHB (Onderlinge Levensverzekerings Maatschappij Persatuan 
Guru Hindia Belanda), 12 Februari 1912 di Magelang. Kemudian menjadi 
O.L. Mij Boemi Poetra dan akhirnya sekarang menjadi Asuransi Jiwa 
Bersama Bumiputera (AJB) 1912. 
2. Maskapai Asuransi Indonesia (didirikan oleh Dr. Samratulangi). 
3. De “Bataviasche” O.L. Mij. 
4. De O.L. Mij “Djawa”. 
Terlihat bahwa pemikiran akan pentingnya asuransi di kalangan bangsa 
Indonesia sudah mulai berkembang. Kalau diperhatikan lebih teliti, 
hampir semuanya berbentuk perusahaan bersama (mutual) merupa￾kan suatu hal yang selaras dengan jiwa gotong royong bangsa Indonesia. 
Pada tahun 1942 -1945, perkembangan asuransi praktis terhenti karena 
sedang terjadi revolusi fisik. Setelah bangsa Indonesia merdeka, maka 
mulai tahun 1950, asuransi mulai tumbuh lagi di mana pada periode ini 
bangsa Indonesia mulai membangun perekonomian sendiri. Perusahaan￾perusahaan asuransi yang tadinya dibekukan mulai dibuka kembali, namun 
demikian adanya kebijaksanaan Pemerintah Republik Indonesia pada saat itu 
yang menguasai semua jalur perekonomian, dan masa perjuangan mengem￾balikan wilayah Irian Barat dari tangan penjajah bangsa Belanda menyebabkan 
semua perusahaan asing diambil alih oleh negara, termasuk perusahaan-peru￾sahaan asuransi.
Perusahaan-perusahaan asuransi kerugian asing yang dinasionali￾sasikan ini dijadikan Perusahaan Negara Asuransi Kerugian (PNAK) yang pada 
saat itu ada 6 PNAK, yaitu: 
1. PNAK Ika Mulya ex. O. J. W Schlenckeer. 
2. PNAK Ika Karya ex. Bloim Van Der Aa. 
3. PNAK Ika Chandra ex. DE. Nederlandan Van 1945. 
4. PNAK Ika Nusa ex NV. Assurantie Maatschappij de Nederlandshe Lloyd 
Anno 1953. 
5. PNAK Ika Bharata ex. Batabiashe Zee and Brand Ass 1843. 
6. PNAK Ika Bhakti ex. Langevelt Schoroder.
Selanjutnya keenam PNAK ini dilebur menjadi tiga perusahaan negara yaitu: 
1. PNAK Djasa Raharja, yang khusus bergerak dalam bidang sosial. 
2. PNAK Djasa Samoedera, yang khusus bergerak untuk bidang asuransi 
marine. 
3. PNAK Djasa Aneka, yang khusus dalam bidang asuransi kebakaran dan 
aneka. 
Ketiga PNAK ini kemudian dilebur menjadi satu perusahaan yang disebut 
Perusahaan Negara Asuransi Bendasraya yang bergerak dalam semua jenis 
asuransi kerugian. Pada tahun 1973 Perusahaan Negara Asuransi Bendasraya 
ini digabungkan dengan PT Umum Internasional Underwriter menjadi PT 
(Persero) Asuransi Jasa Indonesia. 
Untuk kesejahteraan rakyat, pemerintah juga mendirikan 
perusahaan-perusahaan asuransi sosial yang melaksanakan kegiatannya 
berdasarkan ketentuan perundang-undangan, seperti: 
1. Perum Jasa Rahardja (sekarang persero), yang melaksanakan 
Undang-Undang Kecelakaan penumpang dan Dana Kecelakaan Lalu 
Lintas. 
2. Perum Taspen yang menyelenggarakan Tabungan dan Asuransi untuk 
Pegawai Negeri. Perum Taspen didirikan tahun 1964 dan pada saat itu 
menjadi satu-satunya perusahaan milik negara yang mengkhususkan 
penetapan asuransi dalam valuta asing. 
3. Perum ASABRI, untuk anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. 
4. Perum ASTEK (Jamsostek), yaitu Asuransi Sosial Tenaga Kerja (ASTEK) 
yang merupakan asuransi kecelakaan tenaga kerja perusahaan swasta 
dan melaksanakan Peraturan Pemerintah tahun 1977. 
Dengan lahirnya pemerintah Orde Baru 1966 maka sektor swasta ditum￾buhkan lagi dan jalur perekonomian yang dikuasai perusahaan-perusahaan 
negara dibagi menjadi tiga golongan, yaitu Perusahaan Jawatan, Perusahaan 
Umum, dan Persero (Undang-Undang No. 9 tahun 1969). Dengan pesatnya 
pembangunan di Indonesia sejak masa Orde Baru, Industri Perasuransian pun 
berkembang dengan pesat. 
Dalam upaya menerbitkan dan meningkatkan mutu dari industri asuransi 
di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan berupa 
ketentuan dan perundangan. Ketentuan perundangan yang penting dalam 
menertibkan usaha bidang perasuransian ini adalah Surat Keputusan Menteri
Keuangan No. 214 dan 215/KMK.013/1988 yang dikenal dengan Paket 
Desember. 
Tidak lama kemudian setelah itu, lahirlah undang-undang khusus mengenai 
usaha perasuransian sebagai yang pertama kalinya sejak Republik Indonesia 
merdeka, yaitu Undang-Undang No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuran￾sian berikut dengan peraturan pemerintah, keputusan Menteri Keuangan 
dan peraturan ketua Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan 
(Bapepam-LK) yang mengatur sangat rinci mengenai langkah-langkah usaha 
perasuransian dalam dunia asuransi. Undang-Undang tersebut diperbaharui 
dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014.
Kini otoritas pengawas industri perasuransian adalah Otoritas Jasa Keuangan 
(OJK). OJK telah mengeluarkan aturan tentang penetapan tarif premi asuransi 
serta ketentuan biaya akuisisi, terhitung sejak 24 Januari 2014 yaitu Surat Edaran 
OJK Nomor SE-06/D.05/2013. 
Penetapan tarif premi asuransi ini sudah sesuai dengan Pasal 20 Peraturan 
Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasur￾ansian, dan sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 
Pasal 19, bahwa premi harus dihitung berdasarkan profil kerugian (risk and 
loss profile) selama sekurang-kurangnya lima tahun. Surat Edaran OJK Nomor 
SE-06/D.05/2013 Tanggal 31 Desember 2013 tentang Penetapan Tarif Premi 
Serta Ketentuan Biaya Akuisisi pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor 
dan Harta Benda Serta Jenis Risiko Khusus Meliputi Banjir, Gempa Bumi, Letusan 
Gunung Api, dan Tsunami Tahun 2014 sudah didasarkan pada hasil diskusi 
intensif bersama asosiasi perusahaan asuransi serta pelaku industri asuransi. 
Surat Edaran terkait penetapan tarif premi saat ini telah diperbaharui oleh OJK 
melalui Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/SEOJK.05/2017 tentang 
Penetapan Tarif Premi Atau Kontribusi Pada Lini Usaha Asuransi Harta Benda 
Dan Asuransi Kendaraan Bermotor. 
Surat edaran itu mengatur penetapan batas atas dan batas bawah tarif premi, 
kecuali untuk asuransi gempa bumi. Tarif batas atas ditetapkan dengan 
tujuan melindungi kepentingan masyarakat dari pengenaan premi yang berlebi￾han (over-pricing). Sedangkan penetapan tarif batas bawah bertujuan mencegah 
tarif premi yang tidak memadai yang dapat menyebabkan perusahaan asuransi 
tak mampu membayar kewajibannya saat terjadi klaim. 
Penyempurnaan tampaknya masih akan dilakukan terus oleh otoritas 
pemerintah terutama sehubungan dengan pembinaan perusahaan-perusahaan 
asuransi nasional dalam menghadapi era globalisasi yang akan datang.
Risiko 
Dalam kehidupan sehari-hari sering sekali kita 
mendengar istilah ‘risiko’. Risiko berbeda dengan 
kesempatan walaupun terdapat keraguan pada 
keduanya, di mana pada kesempatan terdapat 
kebaikan/ keuntungan sedangkan pada risiko tidak 
terdapat kebaikan/ keuntungan. Berbagai macam 
risiko seperti risiko kebakaran, tertabrak kendaraan 
lain di jalan, risiko terkena banjir di musim hujan, 
risiko hari tua, risiko meninggal dunia dan sebagainya. 
Semua risiko itu dapat menyebabkan terjadinya 
kerugian jika tidak diantisipasi dari awal. 
Kematian dan sakit itu pasti terjadi dan dialami oleh 
setiap manusia, tetapi mengapa bisa diasuransikan? 
Memang benar dua risiko tersebut pasti dihadapi 
oleh semua orang, namun dua hal tersebut masih 
memiliki unsur ketidakpastian yaitu kapan, di mana, 
dan bagaimana risiko tersebut akan terjadi. Hal 
inilah yang mendasari risiko ini dapat diasuransikan. 
Kita akan membahas lebih dalam masalah ini pada 
subbab Risiko-Risiko Yang Dapat Diasuransikan. 
Terdapat 3 komponen risiko (Naron, 2008), yaitu: 
1. Risiko memiliki unsur ketidakpastian; 
2. Risiko menimbulkan suatu implikasi kerugian; 
3. Risiko timbul karena adanya satu atau 
beberapa sebab.
Pengertian Risiko 
Menurut Vaughan dan Vaughan (1982) dalam bukunya “Fundamentals 
of Risk and Insurance”, berbagai buku asuransi yang dipergunakan pada 
perguruan tinggi di Amerika Serikat memiliki perbedaan dalam men￾definisikan risiko, antara lain: 
1. Kemungkinan mengalami kerugian (chance of loss). 
2. Peluang rugi (posibility of loss). 
3. Ketidakpastian (uncertainty). 
4. Penyimpangan kenyataan dari hasil yang diharapkan (the diver￾sion of actual from expected result) 
5. Peluang/ kemungkinan terjadi hasil-hasil yang berbeda dari hasil 
semula yang diharapkan (the probability of any outcome different 
from the one expected). 
Vaughan dan Vaughan (1982) sendiri mendefinisikan risiko sebagai “a 
condition in which there is possibility of adverse deviation from desired 
outcome that is expected or hoped for”, atau diterjemahkan secara bebas 
sebagai suatu keadaan yang mengandung peluang atau kemungkinan 
adanya penyimpangan dari tujuan yang direncanakan atau sasaran yang 
diharapkan, yang mengakibatkan ketidaknyamanan. 
Risiko adalah ketidakpastian adanya kerugian (uncertainty of loss). 
Dengan kata lain dalam dunia asuransi, setidaknya risiko itu harus 
mengandung unsur “ketidakpastian” dan “kerugian”. Ketidakpastian itu 
bisa dalam hal waktu, tempat dan kepada siapa peristiwa tersebut terjadi, 
sedangkan kerugian yang dimaksud adalah harus dapat dinilai dengan 
uang.
Pengertian Risiko 
Menurut Vaughan dan Vaughan (1982) dalam bukunya “Fundamentals 
of Risk and Insurance”, berbagai buku asuransi yang dipergunakan pada 
perguruan tinggi di Amerika Serikat memiliki perbedaan dalam men￾definisikan risiko, antara lain: 
1. Kemungkinan mengalami kerugian (chance of loss). 
2. Peluang rugi (posibility of loss). 
3. Ketidakpastian (uncertainty). 
4. Penyimpangan kenyataan dari hasil yang diharapkan (the diver￾sion of actual from expected result) 
5. Peluang/ kemungkinan terjadi hasil-hasil yang berbeda dari hasil 
semula yang diharapkan (the probability of any outcome different 
from the one expected). 
Vaughan dan Vaughan (1982) sendiri mendefinisikan risiko sebagai “a 
condition in which there is possibility of adverse deviation from desired 
outcome that is expected or hoped for”, atau diterjemahkan secara bebas 
sebagai suatu keadaan yang mengandung peluang atau kemungkinan 
adanya penyimpangan dari tujuan yang direncanakan atau sasaran yang 
diharapkan, yang mengakibatkan ketidaknyamanan. 
Risiko adalah ketidakpastian adanya kerugian (uncertainty of loss). 
Dengan kata lain dalam dunia asuransi, setidaknya risiko itu harus 
mengandung unsur “ketidakpastian” dan “kerugian”. Ketidakpastian itu 
bisa dalam hal waktu, tempat dan kepada siapa peristiwa tersebut terjadi, 
sedangkan kerugian yang dimaksud adalah harus dapat dinilai dengan 
uang.
antara lain jatuhnya pesawat terbang, kebakaran rumah tinggal, 
tenggelamnya kapal laut, hilangnya mobil mewah, gempa bumi 
dan tsunami, serta meninggalnya seseorang karena kecelakaan. 
Umumnya risiko yang ada pada area ini merupakan area yang 
memerlukan pengalihan risiko (asuransi). 
3. Area III, merupakan area dengan risiko yang sering terjadi namun 
memiliki nilai kerugian yang rendah. Contoh risiko ini antara lain 
kerusakan tanaman akibat hewan liar, senggolan kendaraan 
bermotor, dan pencurian makanan ringan di pasar swalayan. 
4. Area IV, merupakan area dengan risiko yang sering terjadi dan 
memiliki nilai kerugian yang besar. Contoh risiko ini antara lain 
kebakaran pada area pemukiman padat penduduk. Risiko yang 
ada pada area ini biasanya sangat membutuhkan peran asuransi 
namun merupakan risiko yang dihindari oleh perusahaan asuransi. 
Jika risiko tersebut tetap dijamin asuransi, maka premi yang 
ditawarkan sangat mahal.
The Heinrich Triangle
Heinrich Triangle merupakan hasil dari pengamatan Herbert 
William Heinrich pada beberapa ribu kecelakaan kerja seperti yang 
ditunjukkan pada Gambar 7 di bawah ini. 
Gambar 7 The Heinrich Triangle
Dari gambar 7 di atas, segitiga tersebut menunjukan bahwa 
pada lingkungan kerja, setiap potensi terjadinya satu kecelakaan 
kerja dengan cedera mayor, terdapat 29 kecelakaan kerja dengan 
cedera minor, dan 300 kecelakaan kerja tanpa cedera yang berarti 
(Naron, 2008).
Peril dan Hazard
Bahaya (peril) yaitu suatu kondisi yang dapat menimbulkan terjadinya risiko 
kerugian, contohnya percikan api dan arus pendek adalah peril bagi kebakaran 
suatu bangunan, tabrakan di jalan raya adalah peril bagi rusaknya mobil yang 
kita miliki. 
Hazard, yaitu bukanlah sesuatu yang menyebabkan terjadinya suatu risiko 
kerugian, namun hazard dapat memperbesar kemungkinan terjadinya suatu 
bahaya (peril) dan memperbesar tingkat kerugian yang dialami (Naron, 2008). 
Hazard dapat dibedakan menjadi dua (Naron, 2008): 
1. Physical Hazard, merupakan hazard yang timbul karena karakter fisik 
dari risiko tersebut, seperti konstruksi yang dimiliki suatu bangunan, 
sistem keamanan yang dimiliki toko, kabel listrik yang telah aus yang 
memperbesar terjadinya arus pendek, dan sebagainya. 
2. Moral Hazard, merupakan hazard yang timbul karena faktor manusia, 
khususnya sikap para Tertanggung pemilik asuransi, contohnya ketidak￾jujuran Tertanggung dan mengemudi dengan kecepatan tinggi. 
Menurut Vaughan dan Vaughan (1982), selain dua hazard di atas terdapat dua 
jenis hazard lainnya, yaitu: 
1. Legal Hazard, merupakan hazard yang timbul karena undang-undang 
atau peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat yang dapat menjadi 
penyebab terjadinya atau meningkatkan peluang terjadinya kerugian. 
Contoh dari legal hazard antara lain keputusan yang dibuat hakim dalam 
sidang pengadilan dan wewenang pemerintah dalam menetapkan 
peraturan tata-guna lahan yang mengharuskan mengubah lahan 
perumahan menjadi stasiun kereta atau jalan. 
2. Moral Hazard, merupakan hazard yang timbul karena sikap acuh atau 
tidak berhati-hatinya manusia sehingga menyebabkan terjadinya atau 
meningkatkan peluang terjadinya kerugian.
Klasifikasi Risiko 
Risiko Finansial dan Risiko Non 
Finansial 
Risiko finansial adalah risiko yang jika terjadi dampak kerugiannya 
dapat dinilai atau diukur dengan uang, contohnya risiko kehilangan 
kendaraan bermotor dan kebakaran rumah tinggal. 
Risiko non finansial adalah risiko yang dampak kerugiannya 
tidak dapat dinilai atau diukur secara keuangan, contohnya risiko 
kesalahan dalam memilih karir dan risiko kesalahan dalam memilih 
pasangan hidup. 
Risiko Murni dan Risiko 
Spekulatif 
Risiko murni adalah suatu risiko yang apabila terjadi akan 
menimbulkan kerugian (tidak dapat menimbulkan keuntungan), 
contohnya jika terjadi kecelakaan pada mobil akan menimbulkan 
kerugian berupa rusaknya mobil. 
Risiko spekulatif adalah suatu risiko yang apabila terjadi dapat 
menimbulkan kerugian dan dapat juga menimbulkan keuntungan, 
contohnya adalah sesorang yang memiliki investasi dalam bentuk 
emas, dapat menimbulkan kerugian jika harga emas turun atau 
dapat menimbulkan keuntungan jika harga emas naik.
Risiko Khusus dan Risiko 
Fundamental 
Risiko khusus adalah suatu risiko yang terjadi hanya bersifat 
pribadi dan dampaknya dirasakan secara lokal saja, contohnya 
adalah kebakaran pada rumah hanya dirasakan oleh orang yang 
memiliki rumah dan lingkungan di sekitar rumah yang terbakar 
tersebut. 
Sedangkan risiko fundamental adalah suatu risiko yang terjadi 
tidak hanya mengenai orang tertentu dan apabila terjadi dampak 
kerugiannya bisa sangat luas atau bersifat katastropik, contohnya 
adalah kerusuhan sosial di Jakarta tahun 1998 dan tsunami di 
Selat Sunda tahun 2018. 
Risiko Statis (Static Risk) dan 
Risiko Dinamis (Dynamic Risk) 
Risiko statis adalah segala bentuk risiko yang tidak diakibatkan 
atau dipengaruhi oleh keadaan ekonomi, seperti kemungkinan 
terhentinya proses produksi karena kelalaian operator, kemung￾kinan kehilangan harta benda karena kebakaran, dan pencurian. 
Risiko dinamis adalah segala bentuk risiko kerugian akibat 
perubahan dalam ekonomi, seperti naik turunnya nilai mata uang, 
turunnya nilai saham, dan adanya teknologi baru. Umumnya 
risiko dinamis tidak dapat diasuransikan dan risiko statis dapat 
diasuransikan.
Pengelolaan Risiko 
(Manajemen Risiko) 
Manajemen risiko adalah proses pengelolaan risiko yang 
mencakup identifikasi, evaluasi dan pengendalian risiko yang dapat 
mengancam kelangsungan usaha atau aktivitas perusahaan. 
Tujuan yang ingin dicapai melalui proses manajemen risiko pada 
suatu perusahaan antara lain mengurangi pengeluaran, mencegah 
perusahaan dari kegagalan, menaikkan keuntungan perusahaan, 
menekan biaya produksi, dan meningkatkan kepercayaan para 
shareholders perusahaan. 
Tahap-tahap yang dilalui oleh perusahaan dalam mengimple￾mentasikan manajemen risiko adalah sebagai berikut: 
1. Mengidentifikasi terlebih dahulu risiko-risiko yang dimiliki 
atau nantinya mungkin akan dialami oleh perusahaan. 
2. Menganalisis pola risiko dan mengevaluasi risiko tersebut, 
ditinjau dari severity (nilai risiko) dan frekuensinya. 
3. Tahap terakhir adalah pengendalian risiko. Tahap pengen￾dalian risiko dibedakan menjadi 2, yaitu pengendalian fisik 
(risiko dihilangkan, risiko diminimalisir) dan pengendalian 
finansial (risiko ditahan, risiko ditransfer).
Dalam menentukan metode pengendalian risiko yang tepat perlu diperhatikan 
tingkat frequency dan tingkat severity dari risiko tersebut. Berikut diagram yang 
menggambarkan pengendalian risiko berdasarkan tingkat frequency dan tingkat 
severity suatu risiko.
Teori Pengalihan Risiko 
Teori pengalihan risiko sendiri pertama kali dikemukakan oleh Mehr 
dan Cammack (1980). Di dalam buku tersebut ditulis bahwa “Risiko 
mempengaruhi asuransi, sehingga secara sederhana risiko dapat disebut 
sebagai ketidakpastian mengenai kerugian” (Mehr dan Cammack, 1980). 
Jika diteliti lebih dalam, maka dapat dilihat bahwa sebuah ketidakpastian 
tentang kerugian yang mungkin didapatkan itulah yang menyebabkan 
seseorang ingin melakukan pengalihan risiko. 
Lebih lanjut, Mehr dan Cammack (1980) mengatakan bahwa “Suatu 
pengalihan risiko (transfer of risk) disebut asuransi”. Jadi dapat kita 
simpulkan bahwa latar belakang dan tujuan dari adanya asuransi adalah 
adanya keinginan untuk melakukan pengalihan risiko. 
Pengalihan risiko adalah pemindahan kemungkinan risiko yang ada 
kepada pihak lain dengan mengeluarkan biaya tertentu. Dengan demikian 
secara tidak langsung dapat kita simpulkan bahwa sangat besar kaitan 
antara asuransi dan pengalihan risiko. Hal ini sesuai seperti yang dikata￾kan Hansell dalam bukunya “Element of Insurance” yang menyatakan 
bahwa asuransi selalu berkaitan dengan risiko (Insurance is to do with 
risk), karena dengan teori pengalihan risiko kita dapat mengetahui 
gambaran atau ramalan terhadap suatu prospek di masa yang akan 
datang (Hansell,1979). 
Risiko-Risiko yang Dapat Diasuransikan (Insurable 
Risk) 
Tidak semua risiko bisa diasuransikan, dan untuk dapat diasuransikan, 
suatu risiko harus memenuhi beberapa kriteria di bawah ini (Fitriyani, 
2013): 
1. Merupakan risiko murni, dan juga termasuk risiko khusus, contoh: 
risiko kebakaran, risiko kecelakaan diri, risiko kebanjiran, risiko 
meninggal dunia.

2. Akibat dari risiko tersebut harus dapat dinilai atau diukur dengan 
uang (Financial Risk), yang berarti bahwa risiko tersebut harus 
bersifat finansial bukan emosional, contoh: sering ada gurauan, 
apakah risiko putus cinta bisa diasuransikan? Jawabannya tentu 
tidak bisa, karena kerugian yang terjadi sifatnya adalah tidak dapat 
diukur dengan uang. 
3. Risiko yang bersifat sama (homogen) dan dalam jumlah besar 
(large numbers), yang bertujuan untuk dapat memprediksi 
terjadinya suatu risiko dan memperkirakan besarnya kerugian 
yang terjadi, contoh: lukisan asli Monalisa di mana lukisan tersebut 
sulit diasuransikan karena jumlahnya hanya satu sehingga tidak 
terdapat padanan untuk menilai berapa harga preminya. 
4. Risiko tersebut harus terjadi secara kebetulan dan tidak disengaja 
(furtuitous), contoh: risiko kematian akibat bunuh diri tidak akan 
bisa diasuransikan karena sifatnya disengaja. 
5. Risiko itu dapat diperkirakan dan dapat dibuktikan kejadiannya, 
contoh: risiko kehilangan kendaraan bermotor yang jika terjadi 
harus dapat dibuktikan dengan surat keterangan polisi.
Asuransi 
Pengertian Asuransi 
Asuransi (Insurance) berasal dari kata assurance yang berarti 
jaminan atau perlindungan. Asuransi secara hukum dapat 
didefinisikan sebagai suatu perikatan antara dua pihak yaitu: 
Penanggung (perusahaan asuransi) dan Tertanggung (individu atau 
badan usaha). Penanggung mengikatkan diri untuk memberikan 
ganti rugi kepada Tertanggung, bila terjadi peristiwa atau musibah 
yang dijamin dalam polis. Tertanggung membayar sejumlah uang 
kepada Penanggung yang disebut premi, sebagai imbal jasa atas 
pengalihan risiko dari Tertanggung kepada Penanggung. 
Asuransi harus memiliki beberapa unsur sebagai berikut: 
1. Pengalihan risiko dari Tertanggung kepada Penanggung, 
2. Tertanggung membayar premi, 
3. Penanggung berkewajiban membayar ganti rugi sesuai 
persyaratan dan ketentuan yang diatur polis.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata asuransi 
atau pertanggungan diartikan sebagai perjanjian antara dua pihak, 
pihak pertama berkewajiban membayar iuran dan pihak kedua 
berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pihak 
pertama apabila terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama atau 
barang miliknya, sesuai dengan perjanjian yang dibuat. Menurut UU 
No. 40 Tahun 2014 tentang perasuransian, asuransi merupakan 
perjanjian diantara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dengan 
pemegang polis, yang menjadi dasar atau acuan bagi penerimaan 
premi oleh perusahaan asuransi dengan imbalan untuk: 
1. Memberikan penggantian kepada Tertanggung atau 
pemegang polis karena kerugian yang dideritanya, 
kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan 
maupun tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang 
mungkin diderita Tertanggung/ pemegang polis karena 
terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti tersebut; atau 
2. Memberikan pembayaran dengan acuan pada mening￾galnya Tertanggung atau pembayaran yang didasarkan 
pada hidup si Tertanggung dengan manfaat yang besarnya 
telah ditetapkan dan atau didasarkan pada hasil pengelo￾laan dana. 
Secara umum pengertian asuransi adalah salah satu mekan￾isme dari bentuk pengalihan risiko dari Tertanggung kepada pihak 
Penanggung dengan membayar sejumlah premi, di mana jika 
terjadi suatu kerugian akibat dari ketidakpastian (risiko) maka pihak 
Penanggung akan memberikan ganti rugi kepada Tertanggung
Manfaat Asuransi 
Asuransi memiliki manfaat sebagai berikut: 
1. Memberikan rasa aman dan perlindungan, dengan memiliki polis 
asuransi, Tertanggung akan terhindar dari kemungkinan timbul risiko 
kerugian di kemudian hari dan menjadi tenang jiwanya karena objek 
yang diasuransikan dijamin oleh Penanggung. 
2. Pendistribusian biaya dan manfaat yang lebih adil, semakin besar 
kemungkinan terjadinya risiko kerugian timbul, semakin besar pula premi 
pertanggungannya. 
3. Memberikan kepastian, merupakan manfaat utama asuransi karena 
pada dasarnya asuransi berusaha untuk mengurangi konsekuensi 
yang tidak pasti dari suatu keadaan yang merugikan (peril), yang tidak 
dapat diperkirakan sebelumnya sehingga biaya atau akibat finansial dari 
kerugian tersebut menjadi pasti atau relatif pasti. 
4. Sarana menabung, untuk asuransi jenis tertentu, uang yang diasuran￾sikan memiliki nilai tunai yang dapat diambil, yaitu seperti pada asuransi 
whole life atau endowment. Ada pula produk asuransi yang sengaja 
digabungkan dengan investasi, yaitu unit link. 
5. Instrumen pengalihan dan penyebaran risiko, melalui asuransi kemung￾kinan timbul risiko kerugian dapat dialihkan dan disebarkan kepada 
pihak Penanggung. 
6. Membantu meningkatkan kegiatan usaha Tertanggung. Tertanggung 
dapat terus berinvestasi pada suatu bidang usaha tanpa harus khawatir 
akan terjadinya risiko yang menyebabkan usahanya terhenti. 
7. Menjadikan hidup lebih tenang, karena segala risiko yang dapat 
diasuransikan telah ada yang menanggung. 
8. Jaminan kredit, polis asuransi dapat dijadikan sebagai jaminan kredit 
(insurance server as a basis of credit) biasanya hanya untuk asuransi jiwa 
dan sangat selektif pada jenis kredit dan bank tertentu.
Prinsip-Prinsip Asuransi 
Dalam suatu pertanggungan/ asuransi terdapat prinsip yang 
mendasari suatu pertanggungan, yang bertujuan agar tidak terjadi 
penyimpangan-penyimpangan terhadap tujuan diadakannya 
asuransi. Prinsip tersebut berlaku mutlak dalam suatu perikatan 
asuransi. Terdapat perbedaan prinsip pada asuransi umum dan 
asuransi jiwa. Prinsip-prinsip asuransi tersebut dapat dilihat pada 
tabel berikut:
NO PRINSIP ASURANSI JIWA UMUM
1 Insurable Interest √ √
2 Utmost Good Faith √ √
3 Indemnity √
4 Proximate Cause √ √
5 Subrogation √
6 Contribution √

Kepentingan untuk Mengasuransikan 
(Insurable Interest) 
Insurable Interest (kepentingan untuk mengasuransikan) merupakan suatu 
prinsip yang penting dalam asuransi, dimana insurable interest memberikan hak 
untuk mengasuransikan kepada seseorang, karena adanya hubungan keuangan 
yang diakui oleh hukum antara orang tersebut dengan objek pertanggungan, di 
mana yang menjadi pokok perjanjian asuransi adalah kepentingan keuangan 
yang dimiliki seseorang Tertanggung dalam objek pertanggungan tersebut. 
Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) menyebutkan: 
Apabila seorang yang telah mengadakan suatu pertanggungan untuk 
diri sendiri atau apabila seorang yang untuknya telah diadakan suatu 
pertanggungan, pada saat diadakannya pertanggungan itu tidak mempu￾nyai kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu, maka si 
Penanggung tidaklah diwajibkan memberikan ganti-rugi.
Pasal 268 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) menyebutkan: 
Suatu pertanggungan dapat mengenai segala kepentingan yang dapat 
dinilaikan dengan uang, dapat diancam oleh suatu bahaya dan tidak 
dikecualikan oleh undang-undang.
Lionel Messi adalah pencetak gol terbanyak Barcelona sepanjang 
sejarah, dia juga pemain bola dengan gaji tertinggi saat ini. Salah satu 
hobinya adalah mengoleksi mobil mewah. Ada salah satu penggemar 
berat Messi bernama Andi yang ingin mengasuransikan salah satu 
mobil Messi. Apakah hal tersebut diperbolehkan? Jawabannya 
tentu tidak boleh karena Andi tidak mempunyai hubungan keuangan 
dengan mobil Messi, karena jika mobil Messi rusak atau hilang, Andi 
tidak akan merasakan kerugian keuangan apa pun.

Sumber-sumber yang menimbulkan insurable interest adalah sebagai berikut. 
1. Kepemilikan (Ownership) atas harta benda, hak, kepentingan atau 
tanggung gugat seseorang kepada orang lain dalam hal kelalaian. Hal 
ini diatur dalam pasal 1365 dan 1366 Kitab Undang-Undang Hukum 
Perdata yang berbunyi: 
a. Pasal 1365 
Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian 
kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian 
itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut. 
b. Pasal 1366 
Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang 
disebabkan perbuatan- perbuatan, melainkan juga atas kerugian 
yang disebabkan kelalaiannya. 
2. Suatu Kontrak (Contract). Dimana salah satu pihak berada dalam 
hubungan yang diakui secara hukum dengan harta benda atau tanggung 
jawab yang menjadi pokok perjanjian tersebut. Contohnya dalam suatu 
kontrak penyewaan bangunan, dinyatakan bahwa si penyewalah yang 
bertanggung jawab atas perawatan atau perbaikannya sehingga ia 
memiliki Insurable Interest terhadap bangunan yang disewanya. Hal ini 
dapat terjadi karena kontrak penyewaan tersebut menciptakan hubungan 
yang diakui secara hukum antara si penyewa dengan bangunan yang 
disewanya. 
3. Undang-undang (Statue). Terdapat beberapa undang-undang yang 
berlaku di Inggris atau Britania Raya yang isinya memberikan insurable 
interest kepada suatu pihak tertentu sebagai berikut. 
a. Industrial Assurance and Friendly Societies Act 1948 and 
Amendment Act 1958. 
b. Repair of BeneficeBuilding Measure 1972, 
c. Marine Insurance Act 1745, 
d. Married Women’s Property Act 1882, 
e. Married Women’s Policies of Assurance (Scotland) Act 1880 (as 
amended by the Married Women’s Policies of Assurance (Amend￾ment) act 1980, 
f. Settled Land Act 1925.
Itikad yang Terbaik (Utmost Good 
Faith) 
Dalam kontrak asuransi doktrin yang berlaku berdasarkan utmost good 
faith, di mana Penanggung maupun Tertanggung mempunyai hak untuk 
mengetahui fakta-fakta penting (material facts) yang berkaitan dengan 
penutupan asuransinya, serta masing-masing berkewajiban untuk 
memberitahukan secara jelas dan detail atas segala fakta-fakta penting 
sehubungan dengan penutupan tersebut. 
Pengertian utmost good faith adalah suatu kewajiban yang positif dari 
Tertanggung yang dengan sukarela menyampaikan seluruh fakta yang sifat￾nya penting, lengkap dan akurat atas suatu risiko yang sedang diminta untuk 
diasuransikan baik diminta ataupun tidak. 
Material facts ialah fakta-fakta yang dapat mempengaruhi penilaian atau 
pertimbangan seorang Penanggung dalam memutuskan apakah ia bersedia 
menerima atau menolak pertanggungan yang diminta oleh Tertanggung, serta 
dalam hal menetapkan besarnya suku premi atas risiko tersebut.
Fakta-fakta yang wajib diungkapkan yaitu: 
1. Fakta-fakta yang menunjukkan bahwa risiko yang hendak dipertanggu￾ngkan tersebut lebih besar dari biasanya, baik karena dipengaruhi oleh 
faktor intern maupun faktor esktern dari risiko tersebut. 
2. Pengalaman-pengalaman kerugian dan klaim-klaim pada polis-polis 
lainnya. 
3. Fakta-fakta bahwa risiko yang sama pernah ditolak oleh Penanggung 
lain, atau pernah dikenakan persyaratan yang sangat ketat oleh Penang￾gung lain. 
4. Fakta-fakta lengkap yang berkenaan dengan pokok pertanggungan 
secara lengkap. 
5. Faktor-faktor yang membatasi atas hak subrogasi.
6. Adanya polis asuransi lain yang sudah dimiliki.
Selain kewajiban Tertanggung dalam mengungkapkan material facts seperti 
di atas, Penanggung pun memiliki kewajiban untuk menjelaskan kepada 
Tertanggung risiko yang dijamin dan tidak dijamin dalam polis asuransi yang 
dimiliki oleh Tertanggung tersebut.
Jika ada seseorang yang mengasuransikan dirinya pada asuransi 
tertentu dengan sebuah jaminan kesehatan, maka si Tertanggung 
harus dengan jujur menyampaikan fakta yang sebenarnya, seperti jenis 
penyakit yang dimiliki Tertanggung dan jumlah perawatan yang pernah 
dijalani.
Ganti Rugi (Indemnity) 
Indemnity adalah suatu prinsip yang mengatur mengenai pemberian ganti 
kerugian. Indemnity dapat diartikan sebagai suatu mekanisme di mana Penang￾gung memberikan ganti rugi finansial dalam suatu upaya menempatkan 
Tertanggung pada posisi keuangan yang dimiliki pada saat sesaat sebelum 
kerugian itu terjadi. 
Hal ini berarti bahwa Penanggung akan memberikan ganti-rugi sesuai 
dengan kerugian yang benar-benar diderita Tertanggung, tanpa ditambah atau 
dipengaruhi unsur-unsur mencari keuntungan. 
Nilai Kerugian =
Nilai sesaat sebelum kerugian 
 - 
Nilai sesaat setelah kerugian
Cara Pembayaran Ganti Rugi 
Penanggung berhak untuk menentukan cara pelaksanaan pembayaran 
ganti-rugi kepada Tertanggung. Beberapa cara pelaksanaan pembayaran ganti￾rugi, antara lain: 
1. Cash
Umumnya merupakan cara pembayaran yang sering digunakan, 
di mana pembayaran penggantian kerugian dibayarkan secara tunai 
sesuai dengan jumlah kerugian yang diderita oleh Tertanggung. 
2. Repair
Penggantian kerugian secara repair atau perbaikan atas kerusakan objek 
pertanggungan tersebut sepanjang kerusakan yang terjadi tersebut 
masih bisa diperbaiki dan besarnya biaya perbaikan tersebut tidak lebih 
besar dari 75% nilai sebenarnya.

3. Replacement
Penggantian kerugian secara penempatan kembali (replacement) atas 
kerugian atau rusaknya barang-barang yang dipertanggungkan, dengan 
barang baru yang kondisinya tidak lebih baik dari kondisi barang pada 
saat sebelum kerugian terjadi. Hal ini khusus ditujukan untuk barang￾barang yang umumnya dapat dilaksanakan dengan penempatan kembali, 
contoh: kaca, dimana apabila kerugian terjadi maka kaca-kaca tersebut 
akan diganti oleh perusahaan kaca atas nama Penanggung. 
4. Reinstatement
Penggantian kerugian secara pemulihan kembali (reinstatement) atas 
kerugian atau rusaknya barang-barang yang dipertanggungkan, dengan 
barang baru yang kondisinya tidak lebih baik dari kondisi barang pada 
saat sesaat sebelum kerugian terjadi dan harus telah diselesaikan 
dalam batas waktu tidak lebih dari 12 bulan setelah kerugian terjadi. 
Hal ini khusus ditujukan untuk barang-barang yang umumnya dapat 
dilaksanakan dengan pemulihan kembali. Metode ini sudah jarang 
digunakan oleh perusahaan asuransi. Contohnya adalah sebuah rumah 
dengan tiang penyangga terbuat dari kayu Jepara, maka apabila terjadi 
kebakaran, pihak asuransi akan membangun kembali rumah tersebut 
dengan tiang penyangga yang terbuat dari kayu Jepara juga.
Contoh Penerapan Prinsip Indemnity
• Adi mengasuransikan mobilnya sejak dibeli dalam keadaan baru. Pada 
tahun pertama dan kedua, Adi tidak melakukan klaim. Kemudian pada 
tahun ketiga, mobil tersebut hilang atau mengalami kecelakaan sehingga 
rusak total. Dalam kejadian itu, Tertanggung tidak bisa menuntut agar 
diberi ganti rugi mobil baru. Perusahaan asuransi tidak akan memenuhi 
tuntutan itu sebab mobil sudah dipakai dua tahun sehingga nilainya 
sudah berkurang akibat penyusutan. Dalam hal ini, perusahaan akan 
mengganti sesuai dengan nilai sesaat sebelum mobil itu hilang atau 
rusak total. Sebaliknya, bila pada saat rusak atau hilang, harga mobil naik, 
sehingga melebihi nilai pertanggungannya, pihak asuransi tidak lantas 
mengganti sesuai dengan harga saat itu, sebab itu akan memberikan 
keuntungan kepada Tertanggung, padahal prinsip asuransi adalah
tidak untuk mencari untung. Jadi, ganti rugi yang diberikan paling tinggi 
sebesar nilai pertanggungan yang tercantum dalam polis. 
• Cinta mengasuransikan rumahnya dari kebakaran. Untuk memperkecil 
premi atau tujuan lain, rumah yang sebenarnya bernilai Rp100.000.000,00 
dipertanggungkan dengan harga Rp70.000.000,00 atau 70% dari nilai 
riilnya. Bila suatu saat terjadi kebakaran yang menghabiskan rumah 
tersebut, maka Cinta hanya menerima ganti rugi maksimal sebesar 
Rp70.000.000,00. Sisanya sebesar Rp30.000.000,00 yang diperlukan 
untuk membangun rumah seperti sedia kala, dianggap tanggung jawab 
Cinta sendiri. Sebaliknya, bila kebakaran hanya menghabiskan separuh dari 
rumah tersebut, sehingga kerugian hanya sebesar Rp50.000.000,00 saja, 
maka asuransi akan menutup 70% dari nilai kerugian (Rp50.000.000,00), 
yakni Rp35.000.000,00, dan sisanya (Rp15.000.000,00) menjadi beban 
Tertanggung. 
Bagi pemegang polis yang belum memahami prinsip indemnitas, ganti rugi 
di atas dianggap tidak adil. Tertanggung, karena merasa telah mengasuransi￾kan rumahnya senilai Rp70.000.000,00, menuntut agar perusahaan asuransi 
memberikan ganti rugi sebesar pertanggungan. Tuntutan itu tentu saja tidak 
dapat diterima, sebab pada dasarnya Tertanggung hanya mengasuransikan 
70% saja dari kerugian yang akan dialaminya. Oleh karena itu, bila terjadi risiko, 
Tertanggung pun hanya berhak atas 70% dari tota
Pelimpahan Tanggung Jawab 
Hukum Kepada Pihak Ketiga 
(Subrogation) 
Prinsip subrogasi adalah suatu prinsip yang mengatur dalam hal 
seorang Penanggung telah menyelesaikan pembayaran ganti-rugi yang 
diderita oleh Tertanggung, maka secara otomatis hak yang dimiliki 
Tertanggung untuk menuntut pihak ketiga yang menimbulkan kerugian 
dan atau kerusakan tersebut beralih ke Penanggung. 
Misalnya Tertanggung memperoleh penggantian dari pihak ketiga 
lalu Penanggung juga memberikan ganti rugi sesuai dengan ketentuan 
yang dijamin oleh polis, ini berarti ada dua sumber ganti rugi yang dimiliki 
oleh Tertanggung, yaitu: perusahaan asuransi dan pihak ketiga yang 
menimbulkan kerugian/ kerusakan tersebut. Jika Tertanggung menerima 
penggantian dari kedua sumber itu, maka Tertanggung akan menikmati 
penggantian yang lebih besar dari kerugian yang benar-benar Tertanggung 
derita, dengan kata lain Tertanggung telah mendapatkan keuntungan dari 
adanya kerugian tersebut. Untuk mendukung kesesuaian berjalannya 
prinsip indemnitas, maka diperlukan suatu prinsip lain yang memberi 
hak untuk mengambil alih hak penggantian dari pihak ketiga yang dimiliki 
Tertanggung kepada pihak Penanggung yang telah membayar kerugian 
itu. 
CATATAN: 
Subrogasi ini berlaku apabila kontrak asuransi yang bersangkutan 
adalah kontrak indemnity. Subrogasi diberlakukan dengan maksud 
mencegah Tertanggung memperoleh penggantian lebih besar dari ganti 
rugi penuh. Jika asuransi sudah menggantikan kerugian yang diderita 
Tertanggung, maka rongsokan mobil yang rusak atau bilamana mobil 
Tertanggung yang hilang diketemukan kembali akan menjadi hak milik 
perusahaan asuransi.
PENERAPANNYA: 
Mobil X tahun 2000 dipertanggungkan Rp200.000.000,00. Harga pasar mobil 
tersebut pada saat kejadian Rp200.000.000,00. Terjadi kerugian Rp50.000.000,00 
karena ditabrak oleh pihak ketiga maka penggantian kerugian dapat terjadi 
sebagai berikut : 
1. Tertanggung akan menerima ganti rugi dari pihak Penanggung sebesar 
Rp50.000.000,00, dengan demikian pihak asuransi berhak meminta 
ganti rugi kepada pihak ketiga. 
2. Tertanggung menerima ganti rugi dari pihak ketiga senilai
Rp50.000.000,00 dan pihak asuransi tidak memberikan ganti rugi 
kembali. 
3. Tertanggung menerima ganti rugi dari pihak ketiga sebesar 
Rp20.000.000,00 maka pihak asuransi akan memberikan ganti rugi 
sisanya sebesar Rp30.000.000,00 kepada Tertanggung.



Pertanggungan Bersama-Sama 
(Contribution) 
Contribution adalah suatu prinsip yang mengatur dalam hal suatu 
objek pertanggungan, dipertanggungkan pada 2 (dua) atau lebih perusahaan 
asuransi, maka kerugian yang terjadi akan dikontribusikan pada seluruh perusa￾haan asuransi yang telah menutup pertanggungan tersebut, sebanding dengan 
tanggung jawabnya masing-masing dari perusahaan asuransi yang terlibat. 
Penerapannya dalam metode ini, kontribusi ganti-rugi masing-masing Penang￾gung/ polis dihitung menurut formula:
Nilai pertanggungan Penanggung 
yang bersangkutan
Total nilai pertanggungan seluruh 
Penanggung
× Nilai kerugian
Penanggung X Rp500.000.000,00
Penanggung Y Rp250.000.000,00
Penanggung Z Rp750.000.000,00 +
Total Rp1.500.000.000,00
Kerugian Rp600.000.000,00
Maka Kontribusi masing-masing adalah sebagai berikut:
X=
Rp500.000.000,00
× Rp600.000.000,00 = Rp200.000.000,00
Rp1.500.000.000,00
Y=
Rp250.000.000,00
× Rp600.000.000,00 = Rp100.000.000,00
Rp1.500.000.000,00
Z=
Rp750.000.000,00
× Rp600.000.000,00 = Rp300.000.000,00
Rp1.500.000.000,00

CATATAN: 
Jika dalam asuransi umum prinsip kontribusi berlaku, artinya jika ada satu 
objek yang diasuransikan ke dalam beberapa perusahaan asuransi, maka 
Tertanggung hanya akan mendapatkan ganti rugi sebesar kerugian yang dibagi 
rata dengan perusahaan asuransi yang menjaminnya. Namun dalam asuransi 
jiwa prinsip ini tidak berlaku, jadi jika ada seseorang yang memiliki polis asuransi 
jiwa lebih dari satu, maka ia akan mendapatkan ganti rugi sebanyak asuransi 
yang dimilikinya (karena jiwa seseorang tidak dapat ditentukan nilainya).
Penyebab Utama dan Efektif 
(Proximate Cause) 
Proximate Cause adalah suatu penyebab utama yang efektif menimbulkan 
suatu rantaian kejadian dan menimbulkan suatu akibat, tanpa adanya intervensi 
suatu kekuatan yang mulai dan secara aktif dari sumber yang baru serta berdiri 
sendiri (independent). 
CONTOH PENERAPANNYA: 
Andi sedang berburu di hutan Amazon, dia berburu dengan naik kuda. Saat 
memacu kudanya mengejar hewan buruan, Andi tiba-tiba terkena serangan 
jantung dan tidak kuasa lagi mengendalikan kudanya dan akhirnya dia jatuh lalu 
kepalanya mengenai batu besar, dia gegar otak lalu meninggal. Sebab utama dan 
efektif Andi meninggal adalah serangan jantung bukan karena gegar otak. Andi 
hanya memiliki asuransi kecelakaan diri yang mengecualikan serangan jantung. 
Perusahaan asuransi tidak bisa membayar klaim yang diajukan oleh ahli waris 
Andi.

Law of Large Number (LLN) 
Matematikawan Italia Cardano (1501-1576) menyatakan bahwa akurasi 
statistik empiris cenderung membaik seiring dengan semakin besarnya jumlah 
percobaan yang dilakukan. Hal ini kemudian diresmikan sebagai hukum 
bilangan besar. 
Dalam teori probabilitas, hukum bilangan besar adalah teori yang menggam￾barkan hasil dari melakukan percobaan yang sama dalam jumlah yang besar. 
Menurut hukum, rata-rata dari hasil yang diperoleh dari sejumlah besar perco￾baan harus dekat dengan nilai yang diharapkan, dan cenderung menjadi lebih 
dekat seiring dengan banyaknya uji yang dilakukan. Hukum bilangan besar 
penting karena “menjamin” hasil jangka panjang yang stabil untuk rata-rata dari 
beberapa peristiwa acak. Menurut Chartered Insurance Institute, ketika terdapat 
kondisi risiko yang sama dalam jumlah besar, cenderung semakin menggam￾barkan jumlah kerugian yang sebenarnya terjadi atas risiko yang sama terse￾but. Sehingga dengan menerapkan prinsip LLN, perusahaan asuransi dapat 
memprediksi besarnya biaya klaim atas suatu risiko dalam satu tahun dan 
dapat menentukan besarnya premi yang wajar atas risiko tersebut dalam suatu 
periode tertentu.
Perusahaan asuransi dalam membuat sebuah produk harus dapat 
memastikan bahwa produk tersebut akan dibeli oleh masyarakat 
banyak sehingga premi yang terkumpul cukup untuk membayar 
apabila terjadi klaim pada salah satu atau beberapa peserta.
Dari mana asuransi memiliki dana untuk membayar klaim? Perusahaan 
asuransi membayarkan klaim dari dana premi yang terkumpul dari Tertanggung 
lainnya. Jadi pada prinsipnya premi Tertanggung “yang beruntung” (tidak 
klaim) akan digunakan untuk membantu (membayar klaim) Tertanggung lain 
“yang kurang beruntung”. Jika hanya terdapat beberapa jumlah Tertanggung, 
maka mekanisme ini tidak akan berjalan dan tidak akan efisien. Oleh karena itu 
dalam asuransi dikenal dengan istilah “Hukum Bilangan Besar” yaitu semakin 
banyak orang yang ikut dalam suatu asuransi maka perusahaan asuransi dapat 
memperoleh informasi yang akan akurat sehingga dapat memprediksi kemung￾kinan kerugian yang akan terjadi.
Ko-Asuransi dan Reasuransi 
Pengertian Ko-Asuransi 
Co-insurance atau ko-asuransi adalah suatu mekanisme untuk meningkat￾kan kapasitas market dalam meng-underwrite suatu risiko, dimana partisipasi 
masing-masing perusahaan dibatasi dalam original policy. Hal ini dilakukan 
jika perusahaan asuransi tidak mempunyai gross capacity yang cukup untuk 
menerima risiko Tertanggung. Tertanggung akan mengasuransikan risiko 
tersebut ke perusahaan asuransi lainnya (lebih dari satu perusahaan asuransi). 
Dalam ko-asuransi, share dari masing-masing perusahaan asuransi dican￾tumkan dalam original policy. Administrasi serta penerbitan polis biasanya 
dilakukan oleh co-insurance leader. Berbeda dengan kontrak reasuransi, di mana 
Tertanggung tidak mempunyai hubungan kontraktual dengan reasuradur, pada 
ko-asuransi Tertanggung mempunyai hubungan kontraktual dengan semua 
Penanggung yang terlibat dalam penutupan risiko. Dalam hal terjadi klaim, 
jika ada salah satu member yang belum melakukan pembayaran klaim, maka 
Tertanggung dapat melakukan tuntutan secara langsung kepada member terse￾but (CII, 2011). 
Pengertian Reasuransi 
Reasuransi atau reinsurance adalah mekanisme pengalihan kembali risiko￾risiko oleh suatu perusahaan asuransi atau Penanggung atas sebagian atau 
seluruh risiko yang menjadi tanggungannya kepada perusahaan reasuransi 
(reinsurer) atau Penanggung lainnya. 
MANFAAT REASURANSI 
1. Meningkatkan kapasitas penerimaan risiko dari suatu perusahaan 
asuransi. 
2. Menjaga stabilitas usaha suatu perusahaan asuransi dengan cara 
mengalihkan sebagian beban klaim saat terjadi kerugian kepada 
perusahaan reasuransi. 
3. Menciptakan rasa percaya diri dalam menanggung suatu risiko karena 
beberapa ketidakpastian dapat dihilangkan dengan mekanisme 
reasurans
4. Membantu mengurangi beban keuangan suatu perusahaan asuransi 
dalam menanggung risiko catastrophic yang nilai kerugiannya sangat 
besar. 
5. Sebagai sarana untuk melakukan penyebarluasan risiko yang ditanggung 
oleh suatu perusahaan asuransi. 
Bentuk Reasuransi 
REASURANSI PROPORSIONAL 
Merupakan bentuk reasuransi dimana pembagian saham atau share premi 
dan beban klaim untuk perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi 
selalu dalam proporsi yang sama, sebagaimana telah disepakati sebelumnya 
dan dicantumkan dalam perjanjian kerja sama antar dua pihak terkait. Bentuk 
reasuransi proporsional digunakan dalam reasuransi yang menggunakan 
metode facultative, quota share, surplus dalam treaty reinsurance, dan facultative 
obligatory. 
REASURANSI NON-PROPORSIONAL
Merupakan bentuk reasuransi dimana pembagian saham atau share premi dan 
beban klaim untuk perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi tidak dalam 
proporsi yang sama. Perusahaan asuransi akan menanggung sendiri kerugian 
dari beban klaim yang menjadi tanggung jawabnya kepada Tertanggung dalam 
bentuk first loss insurance hingga batas jumlah tertentu yang telah disepakati 
sebelumnya. Perusahaan reasuransi hanya akan ikut menanggung beban klaim 
jika jumlah klaim melebihi batas yang tercantum dalam perjanjian kerjasama 
terkait. Bentuk reasuransi non-proporsional digunakan dalam reasuransi yang 
menggunakan metode excess of loss dalam treaty reinsurance.
Metode Reasuransi 
TREATY
Treaty adalah suatu perjanjian tertulis antara perusahaan asuransi dengan 
perusahaan reasuransi di mana perusahaan asuransi secara otomatis akan 
mereasuransikan atau memberikan sesi atau session kepada perusahaan 
reasuransi, yang secara otomatis akan menerima sesi tersebut selama sesi 
sesuai dengan syarat dan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian terkait. 
Treaty pada umumnya dibuat untuk suatu portfolio bisnis tertentu selama 
periode 12 bulan atau tahunan. Treaty Reasuransi dapat dibagi menjadi Treaty
Proporsional dan Treaty Non-Proporsional: 
TREATY PROPORSIONAL 
1. Quota Share, yaitu suatu reasuransi di mana pembagian saham atau 
share risiko antar perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi 
terkait ditentukan dalam suatu presentase yang tetap. 
2. Surplus Treaty, yaitu suatu reasuransi di mana perusahaan reasuransi 
akan menanggung kelebihan suatu risiko atas risiko sendiri atau own 
retension dari perusahaan asuransi terkait sesuatu dengan limit dalam 
kapasitas maksimum treaty yang telah disepakati. Kapasitas maksimum
treaty dinyatakan dalam lines, di mana setiap 1 lines merupakan retensi 
sendiri atau own retension dari perusahaan asuransi. Dalam surplus 
treaty, perusahan asuransi memiliki kebebasan untuk menentukan 
besarnya retensi sendiri atau own retension untuk setiap risiko yang 
disesikan kepada perusahaan reasuransi. 
TREATY NON-PROPORSIONAL 
1. Excess of Loss, yaitu jenis reasuransi di mana perusahaan reasuransi hanya 
akan terlibat dalam suatu kerugian jika jumlah kerugian melebihi jumlah yang 
ditahan (net retention) oleh perusahaan asuransi (ceding company). Maksimum 
tanggung jawab perusahaan reasuransi pun dibatasi sampai jumlah tertentu yang 
disebut Cover Limit, misalnya Rp300.000.000,00 excess of Rp100.000.000,00, 
berarti : 
• Ceding company underlying retention (underlying rentention perusa￾haan asuransi) = Rp100.000.000,00 
• Cover limit perusahaan reasuransi = Rp300.000.000,00

Excess of Loss dijamin dengan sistem layering, di mana premi reasuransi 
ditetapkan berdasarkan tinggi jarak antar layer. Semakin tinggi jarak antar 
layer maka semakin kecil kemungkinan klaim dan premi reasuransi yang harus 
dibayarkan. 
Berdasarkan jaminan yang diberikan, excess of loss dibagi menjadi dua jenis: 
a. Working Excess of Loss atau Risk Excess of Loss, yaitu reasuransi yang 
menjamin kerugian yang bersifat individual atas setiap risiko atau each 
and every loss, each and every risk. 
b. Catastrophe Excess of Loss atau Event Excess of Loss, yaitu reasuransi 
yang menjamin kerugian yang bersifat katastropik seperti gempa bumi, 
yang dapat melibatkan lebih dari satu risiko yang timbul dari kejadian 
yang sama atau each and every loss, or series of loss arising out one vent 
or occurrence. 
2. Stop Loss atau Excess of Loss Ratio, yaitu jenis reasuransi di mana dasar 
penetapan tanggung jawab perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi 
dinyatakan dalam bentuk persentase perbandingan antara pendapatan premi 
dengan klaim (loss ratio). Hampir sama dengan Excess of Loss, namun dengan 
perbedaan tanggung jawab perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi 
dinyatakan dalam suatu akumulasi Loss Ratio, yaitu perbandingan antara klaim 
yang terjadi dengan premi yang diterima dalam suatu jangka waktu tertentu. 
Timbulnya tanggung jawab perusahaan reasuransi dalam perjanjian ini adalah 
apabila Loss Ratio perusahaan asuransi telah melebihi loss ratio yang telah 
ditetapkan sebelumnya. 
3. Aggregate Excess of Loss, yaitu jenis reasuransi di mana hanya perusahaan 
asuransi yang menentukan besarnya jumlah seluruh kerugian (aggregate net 
retention) selama satu tahun tertentu (underwriting year) yang disebut underlying 
retention. Perusahaan reasuransi akan bertanggung jawab atas kelebihan 
kerugian atas underlying retention perusahaan asuransi terkait. Hampir sama 
dengan Stop Loss Treaty, tetapi total Underwriting Retention perusahaan 
asuransi dan tanggung jawab perusahaan reasuransi dinyatakan dalam suatu 
jumlah tertentu. Misal Aggregate Underlying Retention Rp1 miliar, Aggregate
Limit Excess of Loss Rp3 miliar. Artinya perusahaan asuransi akan membayar 
kerugian sampai dengan Rp1 miliar dan perusahaan reasuransi akan membayar 
kerugian diatas Rp1 miliar sampai dengan Rp4 miliar. Kerugian di atas Rp4 miliar 
akan kembali menjadi beban perusahaan asuransi. 
Fakultatif 
Fakultatif merupakan suatu perjanjian reasuransi antara perusahaan asuransi 
untuk bebas menentukan apakah akan mereasuransikan risiko yang ditanggung￾nya atau tidak, dan perusahaan reasuransi juga bebas menentukan apakah akan 
menerima atau menolak risiko yang direasuransikan oleh perusahaan asuransi. 
Dalam fakultatif, risiko yang akan direasuransikan ditawarkan secara individual 
(kasus per kasus) kepada perusahaan reasuransi dengan menyampaikan infor￾masi penting, antara lain seluruh fakta-fakta penting (material fact) mengenai 
risiko tersebut, syarat dan kondisi pertanggungan, jumlah retensi perusahaan 
asuransi terkait, suku premi yang berlaku, dan hal lain yang menurut perusahaan 
asuransi terkait perlu untuk disampaikan. 
Facultative Obligatory
Facultative Obligatory, yaitu perjanjian reasuransi dimana perusahaan asuransi 
bebas menentukan apakah akan mereasuransikan risiko yang ditanggungnya 
atau tidak, dan jika direasuransikan maka perusahaan reasuransi wajib menerima 
bagian risiko yang direasuransikan kepadanya selama hal tersebut memenuhi 
syarat dan ketentuan yang telah disekapati dalam perjanjian tersebut. Hal ini 
berarti, untuk setiap reasuransi risiko yang telah memenuhi syarat dan keten￾tuan perjanjian reasuransi terkait yang masih berlaku, maka secara otomatis 
perusahaan reasuransi terkait dianggap menerima risiko tersebut tanpa perlu 
dilakukan konfirmasi kasus per kasus.

Pool
Pool merupakan perjanjian reasuransi di mana beberapa perusahaan asuransi 
atau perusahaan reasuransi yang menjadi anggotanya, masing-masing memiliki 
saham atau share dengan jumlah persentase tertentu, baik terkait perhitungan 
premi yang akan diterima maupun klaim yang harus dibayarkan. Pada umumnya, 
pool dibentuk untuk menanggung risiko-risiko yang sangat berbahaya di mana 
seluruh anggota wajib mereasuransikan risiko tersebut 100% kepada pool. 
Keuntungan bisnis pool akan dibagikan kepada para anggota pool secara 
proporsional. Contoh pool untuk risiko pasar adalah konsorsium.

Asymmetric 
Information
Asymmetric information adalah situasi yang muncul di saat satu 
pihak tidak mempunyai pengetahuan tentang pihak lain yang terlibat 
dalam transaksi sehingga tidak mungkin untuk membuat keputu￾san yang tepat. Pihak yang biasanya mendapatkan keuntungan 
adalah yang memiliki informasi yang lebih banyak dan pihak yang 
dirugikan umumnya yang memiliki lebih sedikit informasi tentang 
hal tersebut (Mishkin, 2008). Penjual memiliki informasi yang lebih 
banyak tentang produk dibandingkan pembeli, dan sebaliknya. 
Contoh di mana penjual memiliki informasi lebih banyak, antara 
lain: penjual mobil bekas, agen real estate, dan agen asuransi jiwa. 
Kondisi asymmetric information pertama kali dijelaskan oleh 
Kenneth (1963) dalam satu artikel yang terkenal di bidang 
penanganan kesehatan yang berjudul “Uncertainty and the 
Welfare Economics of Medical Care”. Akerlof (1970) kemudian 
menggunakan istilah asymmetric information dalam karyanya, The 
Market for Lemons (Pasar Barang “Kacangan”), yang menyatakan 
bahwa dalam pasar seperti itu, nilai rata-rata dari komoditi 
cenderung untuk turun, bahkan untuk barang yang tergolong 
berkualitas bagus. 
Penjual merugikan pembeli dengan cara memberi kesan seolah 
olah barang yang dijualnya bagus, sehingga banyak pembeli yang 
menghindari hal tersebut dengan menolak untuk melakukan 
transaksi dalam pasar seperti ini atau menolak mengeluarkan 
uang besar dalam transaksi tersebut. Sebagai akibatnya, penjual 
yang benar-benar menjual barang bagus menjadi tidak laku karena 
hanya dinilai murah oleh pembeli, dan akhirnya pasar akan dipenuhi 
oleh barang berkualitas buruk (Wikipedia, 2015). 
Asymmetric information menciptakan ketidakseimbangan 
kekuatan dalam bertransaksi, yang dapat menyebabkan terjadinya

transaksi bermasalah bahkan menimbulkan kegagalan pasar dalam kasus terbu￾ruk. Contoh dari masalah tersebut antara lain adverse selection, moral hazard. 
Asymmetric information terdapat dalam asuransi dimana Penanggung 
tidak mengetahui jenis dan seberapa besar risiko yang akan diterima dari 
Tertanggung pada awal penutupan asuransi. Hal yang sama juga dialami dari 
sisi Tertanggung dimana Tertanggung tidak mengetahui secara pasti risiko 
yang dijamin dan risiko yang tidak dijamin dalam polis asuransi yang dimilikinya. 
Ketidakseimbangan informasi ini dapat menimbulkan masalah nantinya 
jika tidak terselesaikan dengan baik pada awal penutupan polis. Salah satu 
masalah yang timbul antara lain ketika terjadi peristiwa kerugian (ketika klaim 
terjadi) dimana bisa saja Tertanggung merasa polis yang dimilikinya menjamin 
seluruh risiko padahal klaim disebabkan oleh risiko yang tidak dijamin. Misalnya 
risiko cacat semula pada asuransi kendaraan bermotor (cacat yang sudah ada 
sebelum penutupan polis asuransi berlangsung dan tidak dapat dijamin oleh 
asuransi)
Adverse Selection dan Moral Hazard
Adverse selection dapat diartikan kurangnya informasi yang dimiliki suatu 
pihak ketika bernegosiasi untuk menyepakati suatu kontrak. Masalah adverse 
selection terjadi ketika agen mempunyai informasi pribadi yang relevan sebelum 
kontrak disetujui. Dalam kasus ini, seseorang/ satu pihak (principal) dapat 
mengamati tingkah laku orang/ pihak lain (agen) tetapi keputusan optimal dari 
keputusan tersebut tergantung dari tipe agen, yaitu karakteristik tertentu dari 
proses produksi yang hanya dimiliki agen, kemudian principal mengetahui bahwa 
agen dapat menjadi salah satu dari beberapa tipe yang tidak dapat dibedakan 
(Anindita, 2015). 
Masalah moral hazard terjadi ketika terdapat asymmetric information pada 
saat kontrak sudah disetujui. Dalam moral hazard, partisipan mempunyai 
informasi yang sama ketika kontrak dilakukan dan asymmetric information 
muncul setelah kontrak disetujui tetapi principal tidak dapat mengamati atau 
memeriksa tindakan atau usaha dari agen, atau paling tidak principal tidak dapat 
mengontrol tindakan agen. Umumnya moral hazard terjadi apabila satu pihak 
yang tindakan-tindakannya tidak diamati memengaruhi probabilitas terjadinya 
kerugian atau besarnya pembayaran nilai ganti rugi. 
Contoh adverse selection dalam perasuransian adalah keadaan ketika calon 
Tertanggung yang berisiko tinggi dapat diterima oleh Penanggung (perusahaan 
asuransi) untuk membeli asuransi karena perusahaan asuransi tidak dapat 
secara efektif melakukan diskriminasi terhadap mereka, biasanya karena 
kurangnya informasi tentang risiko individu tertentu, kekuatan hukum, keten￾tuan undang-undang atau kendala lainnya. Contoh moral hazard adalah keadaan 
ketika orang lebih cenderung berperilaku sengaja melakukan kesalahan setelah 
memiliki asuransi, baik karena perusahaan asuransi tidak dapat mengamati 
perilaku ini atau tidak dapat secara efektif membuktikan hal tersebut.
Hubungan Teori Asymmetric 
Information dengan Asuransi 
Asymmetric information pada jasa asuransi adalah keadaan dimana banyak 
dari masyarakat menyembunyikan informasi yang seharusnya diketahui oleh 
pihak penyedia jasa asuransi. Hal ini dapat menimbulkan adanya adverse 
selection, yakni individu yang berisiko rendah dapat dikenakan biaya yang tinggi 
karena diperlakukan sebagai individu yang berisiko tinggi dan sebaiknya individu 
yang berisiko tinggi bisa diperlakukan sebagai individu yang berisiko rendah. 
Adverse selection pada perusahaan asuransi terjadi ketika mereka yang 
memiliki kemungkinan besar melakukan klaim asuransi membeli asuransi, 
sementara mereka memiliki kemungkinan klaim kecil tidak membeli asuransi. 
Adverse selection menyebabkan perusahaan asuransi tidak dapat membedakan 
antara individu berisiko tinggi dan individu berisiko rendah berdasarkan informasi 
yang tersedia serta berakhir dengan memberikan pilihan yang buruk terhadap 
calon Tertanggung. Jika perusahaan asuransi dapat memperoleh informasi 
yang tepat terkait Tertanggung di awal penutupan asuransi, maka perusahaan 
asuransi dapat mengenakan tarif yang sesuai karakteristik risiko Tertanggung 
untuk mengimbangi adverse selection. 
Asymmetric information juga bisa menyebabkan perubahan perilaku setelah 
suatu kontrak asuransi ditandatangani (moral hazard). Sebelum kontrak 
ditandatangani, kedua belah pihak saling mengetahui tentang karakter dari 
Tertanggungnya. Tetapi setelah penandatanganan kontrak, pengawasan 
kurang sempurna sehingga tidak semua perilaku Tertanggung dapat diamati 
oleh Penanggung. Perilaku yang dulunya baik dapat berubah (dengan sengaja) 
menjadi “ceroboh” demi mendapatkan keuntungan. Perubahan perilaku (dengan 
sengaja menjadi ceroboh) setelah kontrak tersebut dikenal sebagai moral hazard. 
Moral hazard merupakan tindakan yang diambil secara sengaja, misalnya 
mengemudikan kendaraan dengan kecepatan tinggi setelah memiliki asuransi 
kendaraan bermotor.
Signaling dan Screening
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Akerlof pada tahun 1970, 
pada pasar penjualan mobil “The Market for Lemons” diperoleh solusi untuk 
mengurangi masalah adverse selection antara lain dengan metode signaling dan 
screening. 
Signaling 
Michael Spence mengusulkan gagasan signaling, yaitu bahwa dalam situasi 
asymmetric information, terdapat kemungkinan bagi setiap orang untuk 
memberikan signal yang menunjukan tipe mereka, sehingga dipercaya dapat 
memberikan informasi kepada pihak lain dan menyelesaikan asimetri yang ada. 
Signaling terjadi ketika salah satu pihak memberitahu tentang informasi 
pribadi melalui tingkah laku pihak tersebut sebelum persetujuan diresmikan. 
Setelah satu orang/ pihak (principal) mempelajari tipe orang/ pihak lain (agen) 
sebelum kontrak ditandatangani, agen mengirim sinyal/ tanda yang diamati oleh 
principal. Dengan kata lain, agen mengirim beberapa macam informasi yang 
mempengaruhi kepercayaan principal tentang identitas agen. Ide signaling pada 
awalnya dipelajari dalam konteks mencari pekerjaan. Seorang atasan tertarik 
dalam mempekerjakan karyawan baru yang “terampil dalam belajar”. Tentu saja 
semua calon karyawan akan mengaku “terampil belajar”, tetapi hanya mereka 
sendiri yang tahu jika mereka benar-benar terampil atau tidak. Ini adalah contoh 
asymmetric information. 
Sebagai contoh, Spence mengusulkan bahwa kuliah dapat berfungsi sebagai 
sinyal yang terpercaya dalam menunjukan kemampuan untuk belajar. Dengan 
asumsi bahwa orang-orang yang terampil dalam pembelajaran dapat menye￾lesaikan kuliah lebih mudah daripada orang yang tidak terampil, maka dengan 
menyelesaikan perguruan tinggi orang-orang memberikan sinyal keahlian 
mereka dalam belajar kepada calon atasan, tidak peduli seberapa banyak atau 
sedikit mereka mungkin telah belajar di perguruan tinggi atau apa yang mereka 
pelajari dalam menyelesaikan perkuliahan mereka. 
Contoh signaling dalam perasuransian adalah informasi yang terdapat pada 
Surat Permintaan Penutupan Asuransi (SPPA), antara lain: letak objek 
pertanggungan, penggunaan objek pertanggungan/ lokasi (okupasi), dan tipe
konstruksi bangunan (construction class) yang berfungsi sebagai sinyal terper￾caya dalam menunjukan tingkatan risiko kebakaran pada suatu properti. Signal 
ini dapat memberikan gambaran kepada Penanggung (perusahaan asuransi) 
atas risiko yang dimiliki oleh Tertanggung pada properti yang akan diasuransi￾kan. 
Screening
Stiglitz (1976) merintis teori screening, di mana dengan cara ini pihak yang 
kekurangan informasi dapat mempengaruhi pihak lain untuk mengungkapkan 
informasi mereka. Pihak yang kekurangan informasi dapat menyediakan menu 
pilihan sedemikian rupa, di mana pilihan yang disediakan tergantung pada 
informasi pribadi yang dimiliki oleh pihak lainnya. 
Contoh situasi di mana penjual biasanya memiliki informasi yang lebih baik 
daripada pembeli antara lain tenaga penjualan mobil bekas, pialang hipotek, 
pialang saham dan agen real estate. Contoh situasi di mana pembeli biasanya 
memiliki informasi yang lebih baik daripada penjual meliputi penjual asuransi 
jiwa atau penjual karya seni lama tanpa adanya penilaian dari profesional 
sebelumnya. Situasi ini pertama kali dijelaskan oleh Kenneth (1963). 
Akerlof (1970) menjelaskan bahwa dalam pasar seperti itu, nilai rata-rata 
dari komoditas cenderung turun, bahkan bagi mereka yang berkualitas sangat 
baik. Karena asymmetric information, penjual yang tidak bermoral dapat 
menipu pembeli. Akibatnya, banyak orang tidak bersedia mengambil risiko dan 
menghindari jenis pembelian tertentu, atau tidak akan menghabiskan banyak 
untuk item tertentu. Hal ini dapat membuat pasar yang ada menjadi punah.
Screening pada perusahaan asuransi diterapkan antara lain: 
1. Proses pengisian Surat Permohonan Penutupan Asuransi (SPPA) oleh 
calon Tertanggung; 
2. Proses survei dalam penutupan asuransi; 
3. Penerapan prinsip Utmost Good Faith yang mengharuskan Tertanggung 
untuk mengungkapkan fakta-fakta “material fact” untuk menjadi dasar 
perusahaan asuransi melakukan penilaian

Related Posts:

  • asuransi 1 Fenomena Alam terjadinya Bencana Tsunami pada Sabtu malam tanggal 22 Desember 2018 di Selat Sunda meninggalka… Read More