Home »
asuransi 1
» asuransi 1
asuransi 1
22 Desember 2018 di Selat Sunda meninggalkan kepedihan yang mendalam
bagi masyarakat setempat. Tsunami yang tanpa didahului peringatan dini
dan tanda-tanda alam seperti gempa bumi dan surutnya air laut, membuat
penduduk asli serta pengunjung yang sedang berlibur di pesisir pantai tidak siap
menghadapi bencana dahsyat tersebut. Grup band “Seventeen” yang kala itu
sedang asyik membawakan lagu kedua mereka dengan suara yang menggelegar telah menghipnotis seluruh penonton, sehingga tidak seorangpun
mendengar suara gemuruh gelombang tsunami yang datang secara tiba-tiba
dari belakang panggung dan menghempas seluruh makhluk dan benda yang
ada. Duka yang menyayat hati sanubari dan kehilangan atau kerusakan harta
benda, telah menimbulkan kerugian bagi korban dan atau keluarga korban.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat korban
meninggal akibat Tsunami Selat Sunda sebanyak 437 orang, 14.059 orang
luka-luka, 16 orang hilang, dan 33.721 mengungsi. Peristiwa ini telah melanda
lima kabupaten, yaitu: Kabupaten Pandeglang dan Serang di Provinsi Banten,
Kabupaten Lampung Selatan, Pesawaran dan Tanggamus di Provinsi Lampung.
Nyawa dan rasa duka yang timbul dari musibah tersebut tidak dapat dinilai
secara material, namun demikian dalam suatu peristiwa kerugian, nilai kemanusiaan untuk mengurangi derita keluarga korban dapat dirumuskan dalam
santunan ataupun asuransi jiwa. Begitupun kerusakan atau kehilangan harta
benda dapat dirumuskan dalam nilai kerugian yang dijamin oleh asuransi umum.
Dengan adanya musibah tersebut, masyarakat menjadi semakin lebih menyadari risiko yang mungkin terjadi dalam hidup mereka dan dengan kecepatan
memperoleh informasi, masyarakat menjadi semakin mudah untuk melakukan
tindakan antisipatif dengan mengalihkan risiko kepada perusahaan asuransi.
Dalam setiap langkah kehidupan kita, kita selalu berusaha untuk dapat
memprediksi apa yang akan terjadi kemudian. Namun seringkali kita dihadapkan
pada suatu kondisi ketidakpastian atas kebenaran dari apa yang kita prediksikan.
Manusia memiliki keterbatasan untuk mengetahui secara pasti apa yang akan
terjadi 1 tahun kemudian, 1 bulan kemudian, bahkan 1 detik kemudian pun
manusia tidak dapat memastikannya. Kepastian baru datang setelah kejadian,
atau hanya Tuhan yang tahu sebelumnya. Manusia hanya dapat berusaha,
berharap dan berdoa agar apa yang terjadi kemudian akan selalu baik baginya.
Namun sayang sekali, karena tidak semua yang kita harapkan baik akan selalu
baik sesuai dengan harapan.
Kita hidup di dalam dunia yang penuh risiko. Risiko dapat terjadi sewaktu-waktu
tanpa dapat diprediksi. Ada berbagai macam risiko, antara lain: risiko hilangnya
mobil, risiko kematian, risiko sakit kritis, risiko gagal melanjutkan pendidikan,
risiko kecelakaan akibat terjatuh dari motor, risiko kebakaran pada tempat
usaha, risiko rumah kebanjiran, dan masih banyak macam risiko lainnya. Risiko
pada umumnya membuat bayangan yang menakutkan, tidak mengenakkan
dan kondisi tidak nyaman karena apabila terjadi, akan menimbulkan kerugian.
Berbagai usaha dilakukan oleh manusia dalam rangka mengantisipasi risiko yang
mungkin terjadi, dengan jalan menghindari risiko, mengurangi risiko, membatasi
risiko atau mengalihkan risiko tersebut kepada pihak lain. Mekanisme mengalihkan risiko yang paling lazim dilakukan adalah dengan cara berasuransi.
Pihak yang mengalihkan risiko (Tertanggung) membayar premi kepada
perusahaan asuransi yang menerima risiko (Penanggung). Membayar premi
merupakan kewajiban yang harus dipenuhi Tertanggung. Sebagai bukti
pengalihan risiko dari Tertanggung kepada Penanggung, maka Penanggung
mengeluarkan surat kontrak perjanjian yang disebut polis asuransi. Jika
terjadi kerugian akibat risiko, maka Penanggung akan memberikan ganti rugi
yang besarnya telah ditentukan dalam polis asuransi. Pada asuransi sosial,
Tertanggung membayar iuran wajib dan Penanggung yang biasa disebut
penyelenggara, memberikan santunan jika terjadi kerugian yang besarnya telah
ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.
Banyak yang masih beranggapan bahwa asuransi itu dapat menjamin semua
risiko dan harus membayar ganti rugi terhadap semua penyebab terjadinya
kerugian tersebut. Asuransi memang dapat menjamin berbagai macam risiko
namun tidak bisa mencegah semua risiko agar tidak terjadi. Asuransi melakukan proses pengelolaan risiko sehingga apabila risiko tersebut terjadi, maka
Tertanggung tidak mengalami kerugian finansial. Kerugian yang terjadi akan
ditanggung oleh perusahaan asuransi sesuai kesepakatan yang tertuang pada
polis asuransi.
Sebagaimana pada umumnya, manusia mempunyai naluri selalu berusaha untuk menyelamatkan
jiwanya dari berbagai ancaman terhadap dirinya,
termasuk ancaman kekurangan makanan/ pangan.
Salah satu riwayat mengenai masalah ini tercantum
pada Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 43-49 dan Kitab Injil
Testamen Lama Genesus 41, yang meriwayatkan
tentang seorang Raja di Negeri Mesir yang bermimpi
melihat tujuh ekor sapi yang kurus masing-masing
menelan seekor sapi yang gemuk. Dalam mimpinya
yang kedua, raja tersebut melihat tujuh butir gandum
yang berat dan berisi dimakan habis oleh tujuh butir
gandum yang kosong. Nabi Yusuf A.S. memberikan
saran agar pada saat panen yang melimpah tersebut dibuat sebagian cadangan gandum untuk masa
paceklik yang akan datang.
Selain itu, sebuah buku kuno dari India yang dinamakan Rig Veda yang
ditulis dalam Bahasa Sansekerta menyebutkan riwayat tentang Yoga
Kshema yang berarti pertanggungan. Riwayat tersebut adalah bukti
bahwa manusia senantiasa memikirkan dan mempersiapkan kehidupan masa depannya.
Penelitian para ahli terhadap sejarah pertumbuhan asuransi banyak
yang menyoroti bahwa awal terbentuknya asuransi ditandai dengan praktik
bottomry contract. Bottomry contract adalah suatu cara pembiayaan
perdagangan yang mempunyai sifat khusus. Riwayatnya yaitu sekitar
tahun 2.250 sebelum masehi Bangsa Babylonia yang hidup di daerah
Sungai Euphrat dan Tigris (sekarang wilayah Irak). Pada waktu itu,
pedagang atau pemilik kapal dapat mengambil barang-barang dagangan
untuk dijual ke tempat-tempat lain tanpa membayar harga barang tersebut terlebih dahulu, namun mereka diwajibkan untuk membayarnya kelak
dengan pembayaran bunganya dan ditambah pula dengan sejumlah uang
sebagai imbalan atas risiko yang telah dipikul oleh pemberi barang. Akan
tetapi, jika ternyata barang-barang tersebut dirampok dalam perjalanan,
maka para pedagang akan dibebaskan dari kewajiban tersebut. Kontrak
perjanjian ini mirip dengan asuransi dalam bentuknya yang masih primitif.
TAHUN 600 SEBELUM MASEHI
India sudah mengenal praktik bottomry contract.
TAHUN 400 SEBELUM MASEHI
Dari tulisan Plutarach dan cerita mengenai Demostinus, didapat suatu
petunjuk bahwa Yunani pun sejak tahun 400 sebelum masehi telah
mengenal praktik bottomry contract.
TAHUN 215 SEBELUM MASEHI
Pada tahun 215 sebelum masehi, pemerintah Kerajaan Romawi
diminta oleh para supplier perlengkapan dan perbekalan tentara kerajaan
untuk menerima suatu konsepsi pemberian perlindungan kepada mereka
terhadap segala risiko kerugian yang mereka derita atas barang-barang
mereka yang berada di kapal sebagai akibat bahaya maritim/ pelayaran,
seperti serangan musuh dan badai.
TAHUN 50 SEBELUM MASEHI
Cicero, pada kira-kira 50 tahun sebelum masehi memberi penjelasan tentang praktik pemberian perlindungan atau jaminan terhadap
keselamatan pengiriman uang atau surat-surat berharga selama dalam
perjalanan. Sebagai imbalannya, pihak yang diberi perlindungan tersebut memberikan semacam balas jasa berupa uang premi kepada pihak
pemberi perlindungan.
TAHUN 50
Kaisar Claudius mengeluarkan suatu jaminan kepada para importir/
pemasok barang terhadap semua kerugian yang mereka derita sebagai
akibat angin badai, tentunya dengan dikenakan premi.
TAHUN 200
Para saudagar dan aktor di Italia mendirikan semacam lembaga
asuransi yang disebut Collegia Tenuiorum dengan maksud untuk
membantu janda dan anak-anak yatim para anggotanya. Para bekas
budak belian yang diperbantukan kepada ketentaraan pun membentuk
lembaga yang serupa dengan nama Collegia Nititum. Kumpulan tersebut
dimaksudkan agar para bekas budak tersebut dapat dikuburkan secara
layak apabila meninggal.
TAHUN 1194-1266
Perkembangan lembaga yang mirip dengan asuransi terus tumbuh
dan akhirnya pada masa pemerintahan Ratu Elenor di Belgia dibentuk
undang-undang asuransi yang tercantum dalam ROLES D’OLERON.
Sejarah asuransi umum secara detail dapat dijelaskan melalui produk-produk asuransi umum yang
berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
di dunia.
Sejarah Asuransi
Pengangkutan (Marine
Cargo Insurance)
Asuransi pengangkutan (melalui laut dan darat)
mulai diselenggarakan di Italia pada sekitar abad 12.
Para pedagang bangsa Italia tiba di Inggris sekitar abad
12 dan 14 dengan membawa kebiasaan perdagangan
mereka, termasuk asuransi pengangkutan. Para
pedagang dan pelaut bangsa Eropa pada waktu itu
biasa membicarakan bisnis tersebut di kedai-kedai
kopi, di mana kopi merupakan minuman kegemaran
baru bagi mereka.
Salah satu kedai kopi yang ternama adalah kedai
milik Edward Lloyd di tepi muara Sungai Thames
yang dibukanya sekitar tahun 1680. Pemiliknya
(Edward Lloyd) cukup cerdik, di mana untuk menarik
pengunjungnya diciptakan pelayanan khusus dengan
menyediakan alat-alat tulis dan membuat sebuah
majalah informasi tentang kapalkapal yang akan berlayar dan tiba di
London, serta berita musibah dan
situasi di berbagai pelabuhan lainnya
di luar negeri. Kemudian dia menerbitkan buletin yang diberi nama Lloyd
News yang kemudian terakhir menjadi
sebuah terbitan surat kabar Lloyd List
yang diterbitkan tahun 1734 setelah ia
meninggal. Dari sinilah muncul istilah
“Underwriters” yaitu sekelompok orang
yang membuat perjanjian-perjanjian
asuransi dengan cara membubuhkan
tanda tangannya (namanya) di bawah
perjanjian itu sebagai tanda bahwa
mereka bersedia menjadi Penanggung
terhadap risiko yang diperjanjikan.
Karena jasa-jasanya, maka namanya diabadikan pada nama organisasi yang
dibentuk oleh para asuradur, yaitu Lloyd’s Corporation dan replika bagian depan
coffee shop nya kini terdapat dalam sebuah ruangan di Lloyd Building di Lime
Street, London.
Sejarah Asuransi Kebakaran (Fire
Insurance)
Asuransi kebakaran seperti yang kita kenal sekarang baru muncul pada tahun
1680, yaitu setelah terjadinya kebakaran besar yang melanda kota London pada
tahun 1666 (The Great Fire of London)
Kebakaran tersebut terjadi pada tanggal 2 sampai 5 September 1666 selama
4 hari yang mulai timbul dari Pudding Lane, sebuah perusahaan roti yang
memenuhi kebutuhan roti istana raja. Dalam peristiwa itu 89 buah gereja dan
13.200 rumah di sepanjang 400 jalanan musnah, sehingga 200.000 dari 500.000
rumah penduduk kota London menjadi rata dengan tanah dan baru selesai
dibangun kembali pada tahun 1671.
Beberapa perusahaan asuransi kebakaran bermunculan setelah itu. Pada
tahun 1680 berdiri perusahaan asuransi kebakaran yang pertama kali berbentuk
perseroan, yakni The Phoenix Fire Office. Pada tahun 1714 berdiri The Union Fire
Office dan pada tahun 1717 The Westminster Fire Office berdiri.
Pada awalnya, perusahaan asuransi kebakaran
mengkhususkan diri hanya
terhadap penutupan objek
asuransi tertentu saja, misalnya
The Hand in Hand yang hanya
menutup pertanggungan atas
bangunan-bangunan, sedangkan The Sun Fire Office hanya
menutup pertanggungan atas
barang-barang dagangan. Luas
jaminan asuransi kebakaran
lama kelamaan dikembangkan termasuk risiko karena air
pemadam kebakaran, gempa
bumi, gangguan usaha karena
kebakaran, risiko kerusuhan,
badai, huru-hara, peledakan dan
lain-lain.
Sejarah Asuransi Kecelakaan
Diri (Personal Accident
Insurance)
Awal dari perkembangan asuransi kecelakaan diri adalah
sehubungan dengan banyaknya kecelakaan yang dialami setelah
adanya kemajuan teknik dan industri pada abad 19. Ditemukannya
mesin-mesin yang digerakkan oleh uap kemudian gas dan
listrik sebagai pengganti tenaga manusia atau hewan menyebabkan seringnya terjadi kecelakaan, karena pekerja belum begitu
mengenal risiko yang dikandung oleh alat-alat modern.
Pengoperasian kereta api sering menyebabkan kecelakaan
cedera badan, khususnya ketika belum ada undang-undang
keselamatan yang mengatur hal tersebut seperti sekarang
ini. Penemuan kendaraan bermotor yang digerakkan oleh tenaga
mesin mengakibatkan banyaknya korban di jalan raya. Perusahaan
asuransi yang pertama kali berdiri ialah The Railway Passengers
Assurance Co. yang berdiri pada tahun 1848. Lama kelamaan
jenis asuransi ini berkembang menjadi asuransi kecelakaan dan
jaminannya tidak dibatasi pada kecelakaan kereta api saja.
Menjelang akhir abad ke-19, telah diberikan jaminan terhadap
penyakit tertentu dan terhadap kecelakaan yang kemudian
dilanjutkan sampai sekarang. Pada abad ke-20 diperluas dengan
jaminan biaya perawatan rumah sakit. Selanjutnya berkembang
kepada asuransi kelompok, misalnya asuransi kecelakaan diri bagi
karyawan kereta api, perusahaan-perusahaan industri, dan perdagangan
Sejarah Asuransi Tanggung
Gugat (Liability Insurance)
Perkembangan asuransi tanggung gugat berjalan berdampingan
dengan perkembangan asuransi tanggung gugat majikan
(Employer’s Liability). Kesadaran masyarakat tentang kemungkinankemungkinan terjadinya risiko gugatan dari pihak ketiga mulai
disadari. Sejak awalnya tahun 1875, beberapa polis dikeluarkan
sehubungan dengan kendaraan yang ditarik kuda (asuransi
tanggung gugat terhadap pihak ketiga). Dengan lahirnya Employer’s
Liability Act pada tahun 1880, polis-polis asuransi tanggung gugat
umum mulai dikeluarkan, terutama untuk pemborong bangunan.
Selanjutnya, berkembang terhadap bisnis lainnya dan saat ini di
Inggris asuransi tanggung gugat untuk instalasi nuklir dan tempat
pacuan kuda merupakan asuransi yang bersifat wajib.
Sejarah Asuransi Kebongkaran
(Burglary Insurance)
Menurut riwayatnya pada tahun 1897, seorang underwriter
Lloyd menyetujui perluasan jaminan asuransi kebakaran dengan
melekatkan sebuah endorsement yang menambah risiko pembongkaran semata-mata karena tambahan saja. Namun kemudian jenis
asuransi ini menjadi terkenal.
Perusahaan asuransi yang menjadi pelopor saham usaha
asuransi kebongkaran adalah Mercantile Accident and Guarantee
Insurance Co. yang polis perdananya dikeluarkan pada tahun 1889.
Sejarah Asuransi Kendaraan
Bermotor (Motor Car Insurance)
Kendaraan yang pertama digerakkan oleh mesin tiba di London
pada tahun 1894. Diberlakukannya Locomotive on Highways Act
1896 memungkinkan pengangkutan dengan kendaraan bermotor berkembang. Selanjutnya pada tahun 1898 Law Accident
Insurance Society menciptakan asuransi kendaraan bermotor.
Pada saat Perang Dunia pertama, dirasakan betapa besarnya
kegunaan kendaraan bermotor dan karenanya kemudian meningkat sekali kepemilikan kendaraan bermotor. Sejalan dengan itu,
peristiwa kecelakaan di jalan raya sangat meningkat. Akan tetapi
anggota masyarakat yang menderita kerugian dalam kecelakaan kendaraan bermotor sering tidak memperoleh santunan
yang menjadi hak mereka dari pemilik kendaraan. Berdasarkan
hal ini diberlakukanlah asuransi tanggung gugat pihak ketiga yang
bersifat wajib, yaitu berdasarkan Road Trafic Act 1930. Peraturan
ini mengalami pemyempurnaan terus sampai akhirnya dikeluarkan
Road Trafic Act 1974.
Dalam keputusan Masyarakat Ekonomi Eropa, ditetapkan bahwa
semua polis asuransi kendaraan bermotor yang dikeluarkan
oleh para Penanggung dalam Masyarakat Ekonomi Eropa harus
mencantumkan sekurang-kurangnya jaminan minimum yang
ditetapkan dalam ketentuan hukum negara-negara Masyarakat
Ekonomi Eropa. Dengan meningkatnya kesadaran berasuransi
masyarakat dan menyadari besarnya risiko yang dihadapi para
pemilik dan pengendara kendaraan, maka sekarang hampir setiap
pemilik kendaraan bermotor menutup pertanggungan kendaraan
bermotornya.
Sejarah Asuransi Jiwa
Dari berbagai macam literatur tentang asuransi jiwa yang ada,
kebanyakan menyatakan bahwa polis pertama yang pernah dikeluarkan
adalah untuk Williams Gybbons, seorang penduduk Kota London yang
ketakutan akan desas-desus wabah penyakit menular yang terjadi waktu
itu di tahun 1583. Jumlah Uang Pertanggungan (JUP) yang diminta oleh
Williams Gybbons adalah 400 Poundsterling untuk masa pertanggungan
satu tahun, dia berani membayar premi sebesar 82 Poundsterling (8%
dari JUP). Pihak Penanggung (asuradur), terdiri dari sekelompok pemilik
uang yang biasa berkumpul di sebuah kedai kopi. Mereka secara proporsional membagi risiko atas JUP tersebut dan demikian juga penerimaan
preminya.
Seperti kita lihat di atas, dasar pembelian asuransi oleh Williams
Gybbons adalah adanya desas-desus penyakit menular yang terjadi
waktu itu. Rangkaian berita dari mulut ke mulut yang makin lama makin
dramatis ini, mengatakan bahwa selama 70 tahun terakhir telah mewabah
penyakit menular yang menyerang kota London dan sekitarnya sebanyak
5 kali, dan setiap kali menyerang, minimal menelan korban sekitar 20%
dari jumlah penduduk.
Penduduk yang semakin panik sangat mengganggu ketenteraman
kota dan kehidupan warga kota. Akhirnya, pada tahun 1603, pemerintah kota London menerbitkan “Bills of Mortality” untuk mengurangi rasa
panik penduduk, dan membuktikan bahwa kematian sesungguhnya yang
terjadi tidaklah sebesar seperti yang didesas-desuskan selama ini. Dalam
perkembangannya Bills of Mortality merupakan dasar dari Table of Mortality (tabel mortalitas) yang sekarang kita kenal di industri asuransi jiwa.
Pada tahun 1706 di Inggris berdiri sebuah perusahaan asuransi jiwa
yang disebut The Amicable of London. Perusahaan ini didirikan atas dasar
gotong royong dan belum menggunakan prinsip-prinsip asuransi yang
kita gunakan seperti sekarang ini. Polis dikeluarkan hanya untuk jangka
waktu satu tahun dan dapat diperpanjang. Uang premi setiap tahun
bertambah sesuai dengan kenaikan usia Tertanggung dan nilai preminya
terlalu mahal.
Pada tahun 1762 barulah muncul perusahaan asuransi jiwa modern
seperti sekarang, yakni The Equitable of London. Bentuk perusahaan ini
adalah asuransi jiwa bersama dan merupakan yang pertama menggunakan landasan ilmiah. Perusahaan asuransi jiwa ini juga merupakan
yang pertama mengeluarkan polis seumur hidup dengan premi tahunan
yang rata selama kontrak. Premi diperhitungkan berdasarkan umur
Tertanggung dan pertanggungan. Perubahan penting dalam pertumbuhan asuransi jiwa ini terjadi dengan lahirnya Dodson’s Principle, yang
antara lain berbunyi:
1. Asuransi berbentuk asuransi bersama atas jiwa dan kebertahanan
hidup;
2. Tidak ada pembatasan dalam keanggotaan;
3. Para anggota berhak atas bagian dari laba atau ikut memikul
beban kerugian secara berimbang;
4. Premi tahunan dikenakan terhadap risiko yang berhubungan
dengan jenis pekerjaan dan wanita di bawah usia 50 tahun; dan
5. Tipe asuransi hendaknya mencakup asuransi dengan jangka
waktu satu tahun, kurun waktu beberapa tahun dan seumur hidup.
Pandangan James Dodson ini sangat mempengaruhi perkembangan
usaha asuransi jiwa sekarang. Sekitar 100 tahun setelah lahirnya The
Equitable of London, di Inggris telah berdiri lebih kurang 500 perusahaan
asuransi jiwa, yang kemudian menyebar dengan pesat ke berbagai negara
termasuk Amerika Serikat.
Pada pertengahan abad 17 di Perancis pun terjadi perkembangan, yaitu
mulai diterapkannya sistem anuitas yang diberi nama Tontine. Nama
ini diambil dari nama orang yang menemukannya yaitu Lorenzo Tonti
yang berasal dari Italia. Penyelenggaranya adalah Perancis yang sedang
mengalami defisit anggaran negara. Pelaksanaan sistem ini mewajibkan
setiap warga negara menyerahkan uang sebesar 300 Lire kepada negara.
Dari dana yang terkumpul tiap tahun, bunganya dibagikan kepada orangorang yang masih hidup.
Sejarah Perasuransian di Indonesia
Asuransi masuk ke Indonesia pada waktu penjajahan Belanda dan negara kita
pada waktu itu disebut Nederland Indie. Adanya asuransi di negeri kita ini
akibat dari berhasilnya bangsa Belanda dalam sektor perkebunan dan perdagangan di negeri jajahannya, sehingga untuk memenuhi kebutuhan akan
jaminan kehilangan usahanya, adanya asuransi mutlak diperlukan.
Diperkirakan masuknya asuransi ke Indonesia adalah sesaat setelah
berdirinya sebuah perusahaan asuransi di Belanda yang bernama De Nederlanden
Van 1845. Di Indonesia sendiri oleh orang Belanda didirikan sebuah perusahaan
asuransi jiwa dengan nama Nederlandsh Indisch Leven Verzekering En Liefrente
Maatschappij (NILLMIJ), dimana perusahaan ini terakhir diambil alih oleh
Pemerintah Republik Indonesia dan sekarang bernama PT Asuransi Jiwasraya.
Sejalan dengan arus pergerakan kebangsaan, seperti lahirnya Budi Utomo di
tahun 1908, lahir pula bentuk-bentuk usaha asuransi jiwa dari kalangan bumiputera (bangsa Indonesia), seperti:
1. Q.L. Mij PGHB (Onderlinge Levensverzekerings Maatschappij Persatuan
Guru Hindia Belanda), 12 Februari 1912 di Magelang. Kemudian menjadi
O.L. Mij Boemi Poetra dan akhirnya sekarang menjadi Asuransi Jiwa
Bersama Bumiputera (AJB) 1912.
2. Maskapai Asuransi Indonesia (didirikan oleh Dr. Samratulangi).
3. De “Bataviasche” O.L. Mij.
4. De O.L. Mij “Djawa”.
Terlihat bahwa pemikiran akan pentingnya asuransi di kalangan bangsa
Indonesia sudah mulai berkembang. Kalau diperhatikan lebih teliti,
hampir semuanya berbentuk perusahaan bersama (mutual) merupakan suatu hal yang selaras dengan jiwa gotong royong bangsa Indonesia.
Pada tahun 1942 -1945, perkembangan asuransi praktis terhenti karena
sedang terjadi revolusi fisik. Setelah bangsa Indonesia merdeka, maka
mulai tahun 1950, asuransi mulai tumbuh lagi di mana pada periode ini
bangsa Indonesia mulai membangun perekonomian sendiri. Perusahaanperusahaan asuransi yang tadinya dibekukan mulai dibuka kembali, namun
demikian adanya kebijaksanaan Pemerintah Republik Indonesia pada saat itu
yang menguasai semua jalur perekonomian, dan masa perjuangan mengembalikan wilayah Irian Barat dari tangan penjajah bangsa Belanda menyebabkan
semua perusahaan asing diambil alih oleh negara, termasuk perusahaan-perusahaan asuransi.
Perusahaan-perusahaan asuransi kerugian asing yang dinasionalisasikan ini dijadikan Perusahaan Negara Asuransi Kerugian (PNAK) yang pada
saat itu ada 6 PNAK, yaitu:
1. PNAK Ika Mulya ex. O. J. W Schlenckeer.
2. PNAK Ika Karya ex. Bloim Van Der Aa.
3. PNAK Ika Chandra ex. DE. Nederlandan Van 1945.
4. PNAK Ika Nusa ex NV. Assurantie Maatschappij de Nederlandshe Lloyd
Anno 1953.
5. PNAK Ika Bharata ex. Batabiashe Zee and Brand Ass 1843.
6. PNAK Ika Bhakti ex. Langevelt Schoroder.
Selanjutnya keenam PNAK ini dilebur menjadi tiga perusahaan negara yaitu:
1. PNAK Djasa Raharja, yang khusus bergerak dalam bidang sosial.
2. PNAK Djasa Samoedera, yang khusus bergerak untuk bidang asuransi
marine.
3. PNAK Djasa Aneka, yang khusus dalam bidang asuransi kebakaran dan
aneka.
Ketiga PNAK ini kemudian dilebur menjadi satu perusahaan yang disebut
Perusahaan Negara Asuransi Bendasraya yang bergerak dalam semua jenis
asuransi kerugian. Pada tahun 1973 Perusahaan Negara Asuransi Bendasraya
ini digabungkan dengan PT Umum Internasional Underwriter menjadi PT
(Persero) Asuransi Jasa Indonesia.
Untuk kesejahteraan rakyat, pemerintah juga mendirikan
perusahaan-perusahaan asuransi sosial yang melaksanakan kegiatannya
berdasarkan ketentuan perundang-undangan, seperti:
1. Perum Jasa Rahardja (sekarang persero), yang melaksanakan
Undang-Undang Kecelakaan penumpang dan Dana Kecelakaan Lalu
Lintas.
2. Perum Taspen yang menyelenggarakan Tabungan dan Asuransi untuk
Pegawai Negeri. Perum Taspen didirikan tahun 1964 dan pada saat itu
menjadi satu-satunya perusahaan milik negara yang mengkhususkan
penetapan asuransi dalam valuta asing.
3. Perum ASABRI, untuk anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
4. Perum ASTEK (Jamsostek), yaitu Asuransi Sosial Tenaga Kerja (ASTEK)
yang merupakan asuransi kecelakaan tenaga kerja perusahaan swasta
dan melaksanakan Peraturan Pemerintah tahun 1977.
Dengan lahirnya pemerintah Orde Baru 1966 maka sektor swasta ditumbuhkan lagi dan jalur perekonomian yang dikuasai perusahaan-perusahaan
negara dibagi menjadi tiga golongan, yaitu Perusahaan Jawatan, Perusahaan
Umum, dan Persero (Undang-Undang No. 9 tahun 1969). Dengan pesatnya
pembangunan di Indonesia sejak masa Orde Baru, Industri Perasuransian pun
berkembang dengan pesat.
Dalam upaya menerbitkan dan meningkatkan mutu dari industri asuransi
di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan berupa
ketentuan dan perundangan. Ketentuan perundangan yang penting dalam
menertibkan usaha bidang perasuransian ini adalah Surat Keputusan Menteri
Keuangan No. 214 dan 215/KMK.013/1988 yang dikenal dengan Paket
Desember.
Tidak lama kemudian setelah itu, lahirlah undang-undang khusus mengenai
usaha perasuransian sebagai yang pertama kalinya sejak Republik Indonesia
merdeka, yaitu Undang-Undang No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian berikut dengan peraturan pemerintah, keputusan Menteri Keuangan
dan peraturan ketua Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan
(Bapepam-LK) yang mengatur sangat rinci mengenai langkah-langkah usaha
perasuransian dalam dunia asuransi. Undang-Undang tersebut diperbaharui
dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014.
Kini otoritas pengawas industri perasuransian adalah Otoritas Jasa Keuangan
(OJK). OJK telah mengeluarkan aturan tentang penetapan tarif premi asuransi
serta ketentuan biaya akuisisi, terhitung sejak 24 Januari 2014 yaitu Surat Edaran
OJK Nomor SE-06/D.05/2013.
Penetapan tarif premi asuransi ini sudah sesuai dengan Pasal 20 Peraturan
Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, dan sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003
Pasal 19, bahwa premi harus dihitung berdasarkan profil kerugian (risk and
loss profile) selama sekurang-kurangnya lima tahun. Surat Edaran OJK Nomor
SE-06/D.05/2013 Tanggal 31 Desember 2013 tentang Penetapan Tarif Premi
Serta Ketentuan Biaya Akuisisi pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor
dan Harta Benda Serta Jenis Risiko Khusus Meliputi Banjir, Gempa Bumi, Letusan
Gunung Api, dan Tsunami Tahun 2014 sudah didasarkan pada hasil diskusi
intensif bersama asosiasi perusahaan asuransi serta pelaku industri asuransi.
Surat Edaran terkait penetapan tarif premi saat ini telah diperbaharui oleh OJK
melalui Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 6/SEOJK.05/2017 tentang
Penetapan Tarif Premi Atau Kontribusi Pada Lini Usaha Asuransi Harta Benda
Dan Asuransi Kendaraan Bermotor.
Surat edaran itu mengatur penetapan batas atas dan batas bawah tarif premi,
kecuali untuk asuransi gempa bumi. Tarif batas atas ditetapkan dengan
tujuan melindungi kepentingan masyarakat dari pengenaan premi yang berlebihan (over-pricing). Sedangkan penetapan tarif batas bawah bertujuan mencegah
tarif premi yang tidak memadai yang dapat menyebabkan perusahaan asuransi
tak mampu membayar kewajibannya saat terjadi klaim.
Penyempurnaan tampaknya masih akan dilakukan terus oleh otoritas
pemerintah terutama sehubungan dengan pembinaan perusahaan-perusahaan
asuransi nasional dalam menghadapi era globalisasi yang akan datang.
Risiko
Dalam kehidupan sehari-hari sering sekali kita
mendengar istilah ‘risiko’. Risiko berbeda dengan
kesempatan walaupun terdapat keraguan pada
keduanya, di mana pada kesempatan terdapat
kebaikan/ keuntungan sedangkan pada risiko tidak
terdapat kebaikan/ keuntungan. Berbagai macam
risiko seperti risiko kebakaran, tertabrak kendaraan
lain di jalan, risiko terkena banjir di musim hujan,
risiko hari tua, risiko meninggal dunia dan sebagainya.
Semua risiko itu dapat menyebabkan terjadinya
kerugian jika tidak diantisipasi dari awal.
Kematian dan sakit itu pasti terjadi dan dialami oleh
setiap manusia, tetapi mengapa bisa diasuransikan?
Memang benar dua risiko tersebut pasti dihadapi
oleh semua orang, namun dua hal tersebut masih
memiliki unsur ketidakpastian yaitu kapan, di mana,
dan bagaimana risiko tersebut akan terjadi. Hal
inilah yang mendasari risiko ini dapat diasuransikan.
Kita akan membahas lebih dalam masalah ini pada
subbab Risiko-Risiko Yang Dapat Diasuransikan.
Terdapat 3 komponen risiko (Naron, 2008), yaitu:
1. Risiko memiliki unsur ketidakpastian;
2. Risiko menimbulkan suatu implikasi kerugian;
3. Risiko timbul karena adanya satu atau
beberapa sebab.
Pengertian Risiko
Menurut Vaughan dan Vaughan (1982) dalam bukunya “Fundamentals
of Risk and Insurance”, berbagai buku asuransi yang dipergunakan pada
perguruan tinggi di Amerika Serikat memiliki perbedaan dalam mendefinisikan risiko, antara lain:
1. Kemungkinan mengalami kerugian (chance of loss).
2. Peluang rugi (posibility of loss).
3. Ketidakpastian (uncertainty).
4. Penyimpangan kenyataan dari hasil yang diharapkan (the diversion of actual from expected result)
5. Peluang/ kemungkinan terjadi hasil-hasil yang berbeda dari hasil
semula yang diharapkan (the probability of any outcome different
from the one expected).
Vaughan dan Vaughan (1982) sendiri mendefinisikan risiko sebagai “a
condition in which there is possibility of adverse deviation from desired
outcome that is expected or hoped for”, atau diterjemahkan secara bebas
sebagai suatu keadaan yang mengandung peluang atau kemungkinan
adanya penyimpangan dari tujuan yang direncanakan atau sasaran yang
diharapkan, yang mengakibatkan ketidaknyamanan.
Risiko adalah ketidakpastian adanya kerugian (uncertainty of loss).
Dengan kata lain dalam dunia asuransi, setidaknya risiko itu harus
mengandung unsur “ketidakpastian” dan “kerugian”. Ketidakpastian itu
bisa dalam hal waktu, tempat dan kepada siapa peristiwa tersebut terjadi,
sedangkan kerugian yang dimaksud adalah harus dapat dinilai dengan
uang.
Pengertian Risiko
Menurut Vaughan dan Vaughan (1982) dalam bukunya “Fundamentals
of Risk and Insurance”, berbagai buku asuransi yang dipergunakan pada
perguruan tinggi di Amerika Serikat memiliki perbedaan dalam mendefinisikan risiko, antara lain:
1. Kemungkinan mengalami kerugian (chance of loss).
2. Peluang rugi (posibility of loss).
3. Ketidakpastian (uncertainty).
4. Penyimpangan kenyataan dari hasil yang diharapkan (the diversion of actual from expected result)
5. Peluang/ kemungkinan terjadi hasil-hasil yang berbeda dari hasil
semula yang diharapkan (the probability of any outcome different
from the one expected).
Vaughan dan Vaughan (1982) sendiri mendefinisikan risiko sebagai “a
condition in which there is possibility of adverse deviation from desired
outcome that is expected or hoped for”, atau diterjemahkan secara bebas
sebagai suatu keadaan yang mengandung peluang atau kemungkinan
adanya penyimpangan dari tujuan yang direncanakan atau sasaran yang
diharapkan, yang mengakibatkan ketidaknyamanan.
Risiko adalah ketidakpastian adanya kerugian (uncertainty of loss).
Dengan kata lain dalam dunia asuransi, setidaknya risiko itu harus
mengandung unsur “ketidakpastian” dan “kerugian”. Ketidakpastian itu
bisa dalam hal waktu, tempat dan kepada siapa peristiwa tersebut terjadi,
sedangkan kerugian yang dimaksud adalah harus dapat dinilai dengan
uang.
antara lain jatuhnya pesawat terbang, kebakaran rumah tinggal,
tenggelamnya kapal laut, hilangnya mobil mewah, gempa bumi
dan tsunami, serta meninggalnya seseorang karena kecelakaan.
Umumnya risiko yang ada pada area ini merupakan area yang
memerlukan pengalihan risiko (asuransi).
3. Area III, merupakan area dengan risiko yang sering terjadi namun
memiliki nilai kerugian yang rendah. Contoh risiko ini antara lain
kerusakan tanaman akibat hewan liar, senggolan kendaraan
bermotor, dan pencurian makanan ringan di pasar swalayan.
4. Area IV, merupakan area dengan risiko yang sering terjadi dan
memiliki nilai kerugian yang besar. Contoh risiko ini antara lain
kebakaran pada area pemukiman padat penduduk. Risiko yang
ada pada area ini biasanya sangat membutuhkan peran asuransi
namun merupakan risiko yang dihindari oleh perusahaan asuransi.
Jika risiko tersebut tetap dijamin asuransi, maka premi yang
ditawarkan sangat mahal.
The Heinrich Triangle
Heinrich Triangle merupakan hasil dari pengamatan Herbert
William Heinrich pada beberapa ribu kecelakaan kerja seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 7 di bawah ini.
Gambar 7 The Heinrich Triangle
Dari gambar 7 di atas, segitiga tersebut menunjukan bahwa
pada lingkungan kerja, setiap potensi terjadinya satu kecelakaan
kerja dengan cedera mayor, terdapat 29 kecelakaan kerja dengan
cedera minor, dan 300 kecelakaan kerja tanpa cedera yang berarti
(Naron, 2008).
Peril dan Hazard
Bahaya (peril) yaitu suatu kondisi yang dapat menimbulkan terjadinya risiko
kerugian, contohnya percikan api dan arus pendek adalah peril bagi kebakaran
suatu bangunan, tabrakan di jalan raya adalah peril bagi rusaknya mobil yang
kita miliki.
Hazard, yaitu bukanlah sesuatu yang menyebabkan terjadinya suatu risiko
kerugian, namun hazard dapat memperbesar kemungkinan terjadinya suatu
bahaya (peril) dan memperbesar tingkat kerugian yang dialami (Naron, 2008).
Hazard dapat dibedakan menjadi dua (Naron, 2008):
1. Physical Hazard, merupakan hazard yang timbul karena karakter fisik
dari risiko tersebut, seperti konstruksi yang dimiliki suatu bangunan,
sistem keamanan yang dimiliki toko, kabel listrik yang telah aus yang
memperbesar terjadinya arus pendek, dan sebagainya.
2. Moral Hazard, merupakan hazard yang timbul karena faktor manusia,
khususnya sikap para Tertanggung pemilik asuransi, contohnya ketidakjujuran Tertanggung dan mengemudi dengan kecepatan tinggi.
Menurut Vaughan dan Vaughan (1982), selain dua hazard di atas terdapat dua
jenis hazard lainnya, yaitu:
1. Legal Hazard, merupakan hazard yang timbul karena undang-undang
atau peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat yang dapat menjadi
penyebab terjadinya atau meningkatkan peluang terjadinya kerugian.
Contoh dari legal hazard antara lain keputusan yang dibuat hakim dalam
sidang pengadilan dan wewenang pemerintah dalam menetapkan
peraturan tata-guna lahan yang mengharuskan mengubah lahan
perumahan menjadi stasiun kereta atau jalan.
2. Moral Hazard, merupakan hazard yang timbul karena sikap acuh atau
tidak berhati-hatinya manusia sehingga menyebabkan terjadinya atau
meningkatkan peluang terjadinya kerugian.
Klasifikasi Risiko
Risiko Finansial dan Risiko Non
Finansial
Risiko finansial adalah risiko yang jika terjadi dampak kerugiannya
dapat dinilai atau diukur dengan uang, contohnya risiko kehilangan
kendaraan bermotor dan kebakaran rumah tinggal.
Risiko non finansial adalah risiko yang dampak kerugiannya
tidak dapat dinilai atau diukur secara keuangan, contohnya risiko
kesalahan dalam memilih karir dan risiko kesalahan dalam memilih
pasangan hidup.
Risiko Murni dan Risiko
Spekulatif
Risiko murni adalah suatu risiko yang apabila terjadi akan
menimbulkan kerugian (tidak dapat menimbulkan keuntungan),
contohnya jika terjadi kecelakaan pada mobil akan menimbulkan
kerugian berupa rusaknya mobil.
Risiko spekulatif adalah suatu risiko yang apabila terjadi dapat
menimbulkan kerugian dan dapat juga menimbulkan keuntungan,
contohnya adalah sesorang yang memiliki investasi dalam bentuk
emas, dapat menimbulkan kerugian jika harga emas turun atau
dapat menimbulkan keuntungan jika harga emas naik.
Risiko Khusus dan Risiko
Fundamental
Risiko khusus adalah suatu risiko yang terjadi hanya bersifat
pribadi dan dampaknya dirasakan secara lokal saja, contohnya
adalah kebakaran pada rumah hanya dirasakan oleh orang yang
memiliki rumah dan lingkungan di sekitar rumah yang terbakar
tersebut.
Sedangkan risiko fundamental adalah suatu risiko yang terjadi
tidak hanya mengenai orang tertentu dan apabila terjadi dampak
kerugiannya bisa sangat luas atau bersifat katastropik, contohnya
adalah kerusuhan sosial di Jakarta tahun 1998 dan tsunami di
Selat Sunda tahun 2018.
Risiko Statis (Static Risk) dan
Risiko Dinamis (Dynamic Risk)
Risiko statis adalah segala bentuk risiko yang tidak diakibatkan
atau dipengaruhi oleh keadaan ekonomi, seperti kemungkinan
terhentinya proses produksi karena kelalaian operator, kemungkinan kehilangan harta benda karena kebakaran, dan pencurian.
Risiko dinamis adalah segala bentuk risiko kerugian akibat
perubahan dalam ekonomi, seperti naik turunnya nilai mata uang,
turunnya nilai saham, dan adanya teknologi baru. Umumnya
risiko dinamis tidak dapat diasuransikan dan risiko statis dapat
diasuransikan.
Pengelolaan Risiko
(Manajemen Risiko)
Manajemen risiko adalah proses pengelolaan risiko yang
mencakup identifikasi, evaluasi dan pengendalian risiko yang dapat
mengancam kelangsungan usaha atau aktivitas perusahaan.
Tujuan yang ingin dicapai melalui proses manajemen risiko pada
suatu perusahaan antara lain mengurangi pengeluaran, mencegah
perusahaan dari kegagalan, menaikkan keuntungan perusahaan,
menekan biaya produksi, dan meningkatkan kepercayaan para
shareholders perusahaan.
Tahap-tahap yang dilalui oleh perusahaan dalam mengimplementasikan manajemen risiko adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi terlebih dahulu risiko-risiko yang dimiliki
atau nantinya mungkin akan dialami oleh perusahaan.
2. Menganalisis pola risiko dan mengevaluasi risiko tersebut,
ditinjau dari severity (nilai risiko) dan frekuensinya.
3. Tahap terakhir adalah pengendalian risiko. Tahap pengendalian risiko dibedakan menjadi 2, yaitu pengendalian fisik
(risiko dihilangkan, risiko diminimalisir) dan pengendalian
finansial (risiko ditahan, risiko ditransfer).
Dalam menentukan metode pengendalian risiko yang tepat perlu diperhatikan
tingkat frequency dan tingkat severity dari risiko tersebut. Berikut diagram yang
menggambarkan pengendalian risiko berdasarkan tingkat frequency dan tingkat
severity suatu risiko.
Teori Pengalihan Risiko
Teori pengalihan risiko sendiri pertama kali dikemukakan oleh Mehr
dan Cammack (1980). Di dalam buku tersebut ditulis bahwa “Risiko
mempengaruhi asuransi, sehingga secara sederhana risiko dapat disebut
sebagai ketidakpastian mengenai kerugian” (Mehr dan Cammack, 1980).
Jika diteliti lebih dalam, maka dapat dilihat bahwa sebuah ketidakpastian
tentang kerugian yang mungkin didapatkan itulah yang menyebabkan
seseorang ingin melakukan pengalihan risiko.
Lebih lanjut, Mehr dan Cammack (1980) mengatakan bahwa “Suatu
pengalihan risiko (transfer of risk) disebut asuransi”. Jadi dapat kita
simpulkan bahwa latar belakang dan tujuan dari adanya asuransi adalah
adanya keinginan untuk melakukan pengalihan risiko.
Pengalihan risiko adalah pemindahan kemungkinan risiko yang ada
kepada pihak lain dengan mengeluarkan biaya tertentu. Dengan demikian
secara tidak langsung dapat kita simpulkan bahwa sangat besar kaitan
antara asuransi dan pengalihan risiko. Hal ini sesuai seperti yang dikatakan Hansell dalam bukunya “Element of Insurance” yang menyatakan
bahwa asuransi selalu berkaitan dengan risiko (Insurance is to do with
risk), karena dengan teori pengalihan risiko kita dapat mengetahui
gambaran atau ramalan terhadap suatu prospek di masa yang akan
datang (Hansell,1979).
Risiko-Risiko yang Dapat Diasuransikan (Insurable
Risk)
Tidak semua risiko bisa diasuransikan, dan untuk dapat diasuransikan,
suatu risiko harus memenuhi beberapa kriteria di bawah ini (Fitriyani,
2013):
1. Merupakan risiko murni, dan juga termasuk risiko khusus, contoh:
risiko kebakaran, risiko kecelakaan diri, risiko kebanjiran, risiko
meninggal dunia.
2. Akibat dari risiko tersebut harus dapat dinilai atau diukur dengan
uang (Financial Risk), yang berarti bahwa risiko tersebut harus
bersifat finansial bukan emosional, contoh: sering ada gurauan,
apakah risiko putus cinta bisa diasuransikan? Jawabannya tentu
tidak bisa, karena kerugian yang terjadi sifatnya adalah tidak dapat
diukur dengan uang.
3. Risiko yang bersifat sama (homogen) dan dalam jumlah besar
(large numbers), yang bertujuan untuk dapat memprediksi
terjadinya suatu risiko dan memperkirakan besarnya kerugian
yang terjadi, contoh: lukisan asli Monalisa di mana lukisan tersebut
sulit diasuransikan karena jumlahnya hanya satu sehingga tidak
terdapat padanan untuk menilai berapa harga preminya.
4. Risiko tersebut harus terjadi secara kebetulan dan tidak disengaja
(furtuitous), contoh: risiko kematian akibat bunuh diri tidak akan
bisa diasuransikan karena sifatnya disengaja.
5. Risiko itu dapat diperkirakan dan dapat dibuktikan kejadiannya,
contoh: risiko kehilangan kendaraan bermotor yang jika terjadi
harus dapat dibuktikan dengan surat keterangan polisi.
Asuransi
Pengertian Asuransi
Asuransi (Insurance) berasal dari kata assurance yang berarti
jaminan atau perlindungan. Asuransi secara hukum dapat
didefinisikan sebagai suatu perikatan antara dua pihak yaitu:
Penanggung (perusahaan asuransi) dan Tertanggung (individu atau
badan usaha). Penanggung mengikatkan diri untuk memberikan
ganti rugi kepada Tertanggung, bila terjadi peristiwa atau musibah
yang dijamin dalam polis. Tertanggung membayar sejumlah uang
kepada Penanggung yang disebut premi, sebagai imbal jasa atas
pengalihan risiko dari Tertanggung kepada Penanggung.
Asuransi harus memiliki beberapa unsur sebagai berikut:
1. Pengalihan risiko dari Tertanggung kepada Penanggung,
2. Tertanggung membayar premi,
3. Penanggung berkewajiban membayar ganti rugi sesuai
persyaratan dan ketentuan yang diatur polis.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata asuransi
atau pertanggungan diartikan sebagai perjanjian antara dua pihak,
pihak pertama berkewajiban membayar iuran dan pihak kedua
berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pihak
pertama apabila terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama atau
barang miliknya, sesuai dengan perjanjian yang dibuat. Menurut UU
No. 40 Tahun 2014 tentang perasuransian, asuransi merupakan
perjanjian diantara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dengan
pemegang polis, yang menjadi dasar atau acuan bagi penerimaan
premi oleh perusahaan asuransi dengan imbalan untuk:
1. Memberikan penggantian kepada Tertanggung atau
pemegang polis karena kerugian yang dideritanya,
kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan
maupun tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang
mungkin diderita Tertanggung/ pemegang polis karena
terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti tersebut; atau
2. Memberikan pembayaran dengan acuan pada meninggalnya Tertanggung atau pembayaran yang didasarkan
pada hidup si Tertanggung dengan manfaat yang besarnya
telah ditetapkan dan atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
Secara umum pengertian asuransi adalah salah satu mekanisme dari bentuk pengalihan risiko dari Tertanggung kepada pihak
Penanggung dengan membayar sejumlah premi, di mana jika
terjadi suatu kerugian akibat dari ketidakpastian (risiko) maka pihak
Penanggung akan memberikan ganti rugi kepada Tertanggung
Manfaat Asuransi
Asuransi memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan rasa aman dan perlindungan, dengan memiliki polis
asuransi, Tertanggung akan terhindar dari kemungkinan timbul risiko
kerugian di kemudian hari dan menjadi tenang jiwanya karena objek
yang diasuransikan dijamin oleh Penanggung.
2. Pendistribusian biaya dan manfaat yang lebih adil, semakin besar
kemungkinan terjadinya risiko kerugian timbul, semakin besar pula premi
pertanggungannya.
3. Memberikan kepastian, merupakan manfaat utama asuransi karena
pada dasarnya asuransi berusaha untuk mengurangi konsekuensi
yang tidak pasti dari suatu keadaan yang merugikan (peril), yang tidak
dapat diperkirakan sebelumnya sehingga biaya atau akibat finansial dari
kerugian tersebut menjadi pasti atau relatif pasti.
4. Sarana menabung, untuk asuransi jenis tertentu, uang yang diasuransikan memiliki nilai tunai yang dapat diambil, yaitu seperti pada asuransi
whole life atau endowment. Ada pula produk asuransi yang sengaja
digabungkan dengan investasi, yaitu unit link.
5. Instrumen pengalihan dan penyebaran risiko, melalui asuransi kemungkinan timbul risiko kerugian dapat dialihkan dan disebarkan kepada
pihak Penanggung.
6. Membantu meningkatkan kegiatan usaha Tertanggung. Tertanggung
dapat terus berinvestasi pada suatu bidang usaha tanpa harus khawatir
akan terjadinya risiko yang menyebabkan usahanya terhenti.
7. Menjadikan hidup lebih tenang, karena segala risiko yang dapat
diasuransikan telah ada yang menanggung.
8. Jaminan kredit, polis asuransi dapat dijadikan sebagai jaminan kredit
(insurance server as a basis of credit) biasanya hanya untuk asuransi jiwa
dan sangat selektif pada jenis kredit dan bank tertentu.
Prinsip-Prinsip Asuransi
Dalam suatu pertanggungan/ asuransi terdapat prinsip yang
mendasari suatu pertanggungan, yang bertujuan agar tidak terjadi
penyimpangan-penyimpangan terhadap tujuan diadakannya
asuransi. Prinsip tersebut berlaku mutlak dalam suatu perikatan
asuransi. Terdapat perbedaan prinsip pada asuransi umum dan
asuransi jiwa. Prinsip-prinsip asuransi tersebut dapat dilihat pada
tabel berikut:
NO PRINSIP ASURANSI JIWA UMUM
1 Insurable Interest √ √
2 Utmost Good Faith √ √
3 Indemnity √
4 Proximate Cause √ √
5 Subrogation √
6 Contribution √
Kepentingan untuk Mengasuransikan
(Insurable Interest)
Insurable Interest (kepentingan untuk mengasuransikan) merupakan suatu
prinsip yang penting dalam asuransi, dimana insurable interest memberikan hak
untuk mengasuransikan kepada seseorang, karena adanya hubungan keuangan
yang diakui oleh hukum antara orang tersebut dengan objek pertanggungan, di
mana yang menjadi pokok perjanjian asuransi adalah kepentingan keuangan
yang dimiliki seseorang Tertanggung dalam objek pertanggungan tersebut.
Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) menyebutkan:
Apabila seorang yang telah mengadakan suatu pertanggungan untuk
diri sendiri atau apabila seorang yang untuknya telah diadakan suatu
pertanggungan, pada saat diadakannya pertanggungan itu tidak mempunyai kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu, maka si
Penanggung tidaklah diwajibkan memberikan ganti-rugi.
Pasal 268 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) menyebutkan:
Suatu pertanggungan dapat mengenai segala kepentingan yang dapat
dinilaikan dengan uang, dapat diancam oleh suatu bahaya dan tidak
dikecualikan oleh undang-undang.
Lionel Messi adalah pencetak gol terbanyak Barcelona sepanjang
sejarah, dia juga pemain bola dengan gaji tertinggi saat ini. Salah satu
hobinya adalah mengoleksi mobil mewah. Ada salah satu penggemar
berat Messi bernama Andi yang ingin mengasuransikan salah satu
mobil Messi. Apakah hal tersebut diperbolehkan? Jawabannya
tentu tidak boleh karena Andi tidak mempunyai hubungan keuangan
dengan mobil Messi, karena jika mobil Messi rusak atau hilang, Andi
tidak akan merasakan kerugian keuangan apa pun.
Sumber-sumber yang menimbulkan insurable interest adalah sebagai berikut.
1. Kepemilikan (Ownership) atas harta benda, hak, kepentingan atau
tanggung gugat seseorang kepada orang lain dalam hal kelalaian. Hal
ini diatur dalam pasal 1365 dan 1366 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang berbunyi:
a. Pasal 1365
Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian
itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.
b. Pasal 1366
Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang
disebabkan perbuatan- perbuatan, melainkan juga atas kerugian
yang disebabkan kelalaiannya.
2. Suatu Kontrak (Contract). Dimana salah satu pihak berada dalam
hubungan yang diakui secara hukum dengan harta benda atau tanggung
jawab yang menjadi pokok perjanjian tersebut. Contohnya dalam suatu
kontrak penyewaan bangunan, dinyatakan bahwa si penyewalah yang
bertanggung jawab atas perawatan atau perbaikannya sehingga ia
memiliki Insurable Interest terhadap bangunan yang disewanya. Hal ini
dapat terjadi karena kontrak penyewaan tersebut menciptakan hubungan
yang diakui secara hukum antara si penyewa dengan bangunan yang
disewanya.
3. Undang-undang (Statue). Terdapat beberapa undang-undang yang
berlaku di Inggris atau Britania Raya yang isinya memberikan insurable
interest kepada suatu pihak tertentu sebagai berikut.
a. Industrial Assurance and Friendly Societies Act 1948 and
Amendment Act 1958.
b. Repair of BeneficeBuilding Measure 1972,
c. Marine Insurance Act 1745,
d. Married Women’s Property Act 1882,
e. Married Women’s Policies of Assurance (Scotland) Act 1880 (as
amended by the Married Women’s Policies of Assurance (Amendment) act 1980,
f. Settled Land Act 1925.
Itikad yang Terbaik (Utmost Good
Faith)
Dalam kontrak asuransi doktrin yang berlaku berdasarkan utmost good
faith, di mana Penanggung maupun Tertanggung mempunyai hak untuk
mengetahui fakta-fakta penting (material facts) yang berkaitan dengan
penutupan asuransinya, serta masing-masing berkewajiban untuk
memberitahukan secara jelas dan detail atas segala fakta-fakta penting
sehubungan dengan penutupan tersebut.
Pengertian utmost good faith adalah suatu kewajiban yang positif dari
Tertanggung yang dengan sukarela menyampaikan seluruh fakta yang sifatnya penting, lengkap dan akurat atas suatu risiko yang sedang diminta untuk
diasuransikan baik diminta ataupun tidak.
Material facts ialah fakta-fakta yang dapat mempengaruhi penilaian atau
pertimbangan seorang Penanggung dalam memutuskan apakah ia bersedia
menerima atau menolak pertanggungan yang diminta oleh Tertanggung, serta
dalam hal menetapkan besarnya suku premi atas risiko tersebut.
Fakta-fakta yang wajib diungkapkan yaitu:
1. Fakta-fakta yang menunjukkan bahwa risiko yang hendak dipertanggungkan tersebut lebih besar dari biasanya, baik karena dipengaruhi oleh
faktor intern maupun faktor esktern dari risiko tersebut.
2. Pengalaman-pengalaman kerugian dan klaim-klaim pada polis-polis
lainnya.
3. Fakta-fakta bahwa risiko yang sama pernah ditolak oleh Penanggung
lain, atau pernah dikenakan persyaratan yang sangat ketat oleh Penanggung lain.
4. Fakta-fakta lengkap yang berkenaan dengan pokok pertanggungan
secara lengkap.
5. Faktor-faktor yang membatasi atas hak subrogasi.
6. Adanya polis asuransi lain yang sudah dimiliki.
Selain kewajiban Tertanggung dalam mengungkapkan material facts seperti
di atas, Penanggung pun memiliki kewajiban untuk menjelaskan kepada
Tertanggung risiko yang dijamin dan tidak dijamin dalam polis asuransi yang
dimiliki oleh Tertanggung tersebut.
Jika ada seseorang yang mengasuransikan dirinya pada asuransi
tertentu dengan sebuah jaminan kesehatan, maka si Tertanggung
harus dengan jujur menyampaikan fakta yang sebenarnya, seperti jenis
penyakit yang dimiliki Tertanggung dan jumlah perawatan yang pernah
dijalani.
Ganti Rugi (Indemnity)
Indemnity adalah suatu prinsip yang mengatur mengenai pemberian ganti
kerugian. Indemnity dapat diartikan sebagai suatu mekanisme di mana Penanggung memberikan ganti rugi finansial dalam suatu upaya menempatkan
Tertanggung pada posisi keuangan yang dimiliki pada saat sesaat sebelum
kerugian itu terjadi.
Hal ini berarti bahwa Penanggung akan memberikan ganti-rugi sesuai
dengan kerugian yang benar-benar diderita Tertanggung, tanpa ditambah atau
dipengaruhi unsur-unsur mencari keuntungan.
Nilai Kerugian =
Nilai sesaat sebelum kerugian
-
Nilai sesaat setelah kerugian
Cara Pembayaran Ganti Rugi
Penanggung berhak untuk menentukan cara pelaksanaan pembayaran
ganti-rugi kepada Tertanggung. Beberapa cara pelaksanaan pembayaran gantirugi, antara lain:
1. Cash
Umumnya merupakan cara pembayaran yang sering digunakan,
di mana pembayaran penggantian kerugian dibayarkan secara tunai
sesuai dengan jumlah kerugian yang diderita oleh Tertanggung.
2. Repair
Penggantian kerugian secara repair atau perbaikan atas kerusakan objek
pertanggungan tersebut sepanjang kerusakan yang terjadi tersebut
masih bisa diperbaiki dan besarnya biaya perbaikan tersebut tidak lebih
besar dari 75% nilai sebenarnya.
3. Replacement
Penggantian kerugian secara penempatan kembali (replacement) atas
kerugian atau rusaknya barang-barang yang dipertanggungkan, dengan
barang baru yang kondisinya tidak lebih baik dari kondisi barang pada
saat sebelum kerugian terjadi. Hal ini khusus ditujukan untuk barangbarang yang umumnya dapat dilaksanakan dengan penempatan kembali,
contoh: kaca, dimana apabila kerugian terjadi maka kaca-kaca tersebut
akan diganti oleh perusahaan kaca atas nama Penanggung.
4. Reinstatement
Penggantian kerugian secara pemulihan kembali (reinstatement) atas
kerugian atau rusaknya barang-barang yang dipertanggungkan, dengan
barang baru yang kondisinya tidak lebih baik dari kondisi barang pada
saat sesaat sebelum kerugian terjadi dan harus telah diselesaikan
dalam batas waktu tidak lebih dari 12 bulan setelah kerugian terjadi.
Hal ini khusus ditujukan untuk barang-barang yang umumnya dapat
dilaksanakan dengan pemulihan kembali. Metode ini sudah jarang
digunakan oleh perusahaan asuransi. Contohnya adalah sebuah rumah
dengan tiang penyangga terbuat dari kayu Jepara, maka apabila terjadi
kebakaran, pihak asuransi akan membangun kembali rumah tersebut
dengan tiang penyangga yang terbuat dari kayu Jepara juga.
Contoh Penerapan Prinsip Indemnity
• Adi mengasuransikan mobilnya sejak dibeli dalam keadaan baru. Pada
tahun pertama dan kedua, Adi tidak melakukan klaim. Kemudian pada
tahun ketiga, mobil tersebut hilang atau mengalami kecelakaan sehingga
rusak total. Dalam kejadian itu, Tertanggung tidak bisa menuntut agar
diberi ganti rugi mobil baru. Perusahaan asuransi tidak akan memenuhi
tuntutan itu sebab mobil sudah dipakai dua tahun sehingga nilainya
sudah berkurang akibat penyusutan. Dalam hal ini, perusahaan akan
mengganti sesuai dengan nilai sesaat sebelum mobil itu hilang atau
rusak total. Sebaliknya, bila pada saat rusak atau hilang, harga mobil naik,
sehingga melebihi nilai pertanggungannya, pihak asuransi tidak lantas
mengganti sesuai dengan harga saat itu, sebab itu akan memberikan
keuntungan kepada Tertanggung, padahal prinsip asuransi adalah
tidak untuk mencari untung. Jadi, ganti rugi yang diberikan paling tinggi
sebesar nilai pertanggungan yang tercantum dalam polis.
• Cinta mengasuransikan rumahnya dari kebakaran. Untuk memperkecil
premi atau tujuan lain, rumah yang sebenarnya bernilai Rp100.000.000,00
dipertanggungkan dengan harga Rp70.000.000,00 atau 70% dari nilai
riilnya. Bila suatu saat terjadi kebakaran yang menghabiskan rumah
tersebut, maka Cinta hanya menerima ganti rugi maksimal sebesar
Rp70.000.000,00. Sisanya sebesar Rp30.000.000,00 yang diperlukan
untuk membangun rumah seperti sedia kala, dianggap tanggung jawab
Cinta sendiri. Sebaliknya, bila kebakaran hanya menghabiskan separuh dari
rumah tersebut, sehingga kerugian hanya sebesar Rp50.000.000,00 saja,
maka asuransi akan menutup 70% dari nilai kerugian (Rp50.000.000,00),
yakni Rp35.000.000,00, dan sisanya (Rp15.000.000,00) menjadi beban
Tertanggung.
Bagi pemegang polis yang belum memahami prinsip indemnitas, ganti rugi
di atas dianggap tidak adil. Tertanggung, karena merasa telah mengasuransikan rumahnya senilai Rp70.000.000,00, menuntut agar perusahaan asuransi
memberikan ganti rugi sebesar pertanggungan. Tuntutan itu tentu saja tidak
dapat diterima, sebab pada dasarnya Tertanggung hanya mengasuransikan
70% saja dari kerugian yang akan dialaminya. Oleh karena itu, bila terjadi risiko,
Tertanggung pun hanya berhak atas 70% dari tota
Pelimpahan Tanggung Jawab
Hukum Kepada Pihak Ketiga
(Subrogation)
Prinsip subrogasi adalah suatu prinsip yang mengatur dalam hal
seorang Penanggung telah menyelesaikan pembayaran ganti-rugi yang
diderita oleh Tertanggung, maka secara otomatis hak yang dimiliki
Tertanggung untuk menuntut pihak ketiga yang menimbulkan kerugian
dan atau kerusakan tersebut beralih ke Penanggung.
Misalnya Tertanggung memperoleh penggantian dari pihak ketiga
lalu Penanggung juga memberikan ganti rugi sesuai dengan ketentuan
yang dijamin oleh polis, ini berarti ada dua sumber ganti rugi yang dimiliki
oleh Tertanggung, yaitu: perusahaan asuransi dan pihak ketiga yang
menimbulkan kerugian/ kerusakan tersebut. Jika Tertanggung menerima
penggantian dari kedua sumber itu, maka Tertanggung akan menikmati
penggantian yang lebih besar dari kerugian yang benar-benar Tertanggung
derita, dengan kata lain Tertanggung telah mendapatkan keuntungan dari
adanya kerugian tersebut. Untuk mendukung kesesuaian berjalannya
prinsip indemnitas, maka diperlukan suatu prinsip lain yang memberi
hak untuk mengambil alih hak penggantian dari pihak ketiga yang dimiliki
Tertanggung kepada pihak Penanggung yang telah membayar kerugian
itu.
CATATAN:
Subrogasi ini berlaku apabila kontrak asuransi yang bersangkutan
adalah kontrak indemnity. Subrogasi diberlakukan dengan maksud
mencegah Tertanggung memperoleh penggantian lebih besar dari ganti
rugi penuh. Jika asuransi sudah menggantikan kerugian yang diderita
Tertanggung, maka rongsokan mobil yang rusak atau bilamana mobil
Tertanggung yang hilang diketemukan kembali akan menjadi hak milik
perusahaan asuransi.
PENERAPANNYA:
Mobil X tahun 2000 dipertanggungkan Rp200.000.000,00. Harga pasar mobil
tersebut pada saat kejadian Rp200.000.000,00. Terjadi kerugian Rp50.000.000,00
karena ditabrak oleh pihak ketiga maka penggantian kerugian dapat terjadi
sebagai berikut :
1. Tertanggung akan menerima ganti rugi dari pihak Penanggung sebesar
Rp50.000.000,00, dengan demikian pihak asuransi berhak meminta
ganti rugi kepada pihak ketiga.
2. Tertanggung menerima ganti rugi dari pihak ketiga senilai
Rp50.000.000,00 dan pihak asuransi tidak memberikan ganti rugi
kembali.
3. Tertanggung menerima ganti rugi dari pihak ketiga sebesar
Rp20.000.000,00 maka pihak asuransi akan memberikan ganti rugi
sisanya sebesar Rp30.000.000,00 kepada Tertanggung.
Pertanggungan Bersama-Sama
(Contribution)
Contribution adalah suatu prinsip yang mengatur dalam hal suatu
objek pertanggungan, dipertanggungkan pada 2 (dua) atau lebih perusahaan
asuransi, maka kerugian yang terjadi akan dikontribusikan pada seluruh perusahaan asuransi yang telah menutup pertanggungan tersebut, sebanding dengan
tanggung jawabnya masing-masing dari perusahaan asuransi yang terlibat.
Penerapannya dalam metode ini, kontribusi ganti-rugi masing-masing Penanggung/ polis dihitung menurut formula:
Nilai pertanggungan Penanggung
yang bersangkutan
Total nilai pertanggungan seluruh
Penanggung
× Nilai kerugian
Penanggung X Rp500.000.000,00
Penanggung Y Rp250.000.000,00
Penanggung Z Rp750.000.000,00 +
Total Rp1.500.000.000,00
Kerugian Rp600.000.000,00
Maka Kontribusi masing-masing adalah sebagai berikut:
X=
Rp500.000.000,00
× Rp600.000.000,00 = Rp200.000.000,00
Rp1.500.000.000,00
Y=
Rp250.000.000,00
× Rp600.000.000,00 = Rp100.000.000,00
Rp1.500.000.000,00
Z=
Rp750.000.000,00
× Rp600.000.000,00 = Rp300.000.000,00
Rp1.500.000.000,00
CATATAN:
Jika dalam asuransi umum prinsip kontribusi berlaku, artinya jika ada satu
objek yang diasuransikan ke dalam beberapa perusahaan asuransi, maka
Tertanggung hanya akan mendapatkan ganti rugi sebesar kerugian yang dibagi
rata dengan perusahaan asuransi yang menjaminnya. Namun dalam asuransi
jiwa prinsip ini tidak berlaku, jadi jika ada seseorang yang memiliki polis asuransi
jiwa lebih dari satu, maka ia akan mendapatkan ganti rugi sebanyak asuransi
yang dimilikinya (karena jiwa seseorang tidak dapat ditentukan nilainya).
Penyebab Utama dan Efektif
(Proximate Cause)
Proximate Cause adalah suatu penyebab utama yang efektif menimbulkan
suatu rantaian kejadian dan menimbulkan suatu akibat, tanpa adanya intervensi
suatu kekuatan yang mulai dan secara aktif dari sumber yang baru serta berdiri
sendiri (independent).
CONTOH PENERAPANNYA:
Andi sedang berburu di hutan Amazon, dia berburu dengan naik kuda. Saat
memacu kudanya mengejar hewan buruan, Andi tiba-tiba terkena serangan
jantung dan tidak kuasa lagi mengendalikan kudanya dan akhirnya dia jatuh lalu
kepalanya mengenai batu besar, dia gegar otak lalu meninggal. Sebab utama dan
efektif Andi meninggal adalah serangan jantung bukan karena gegar otak. Andi
hanya memiliki asuransi kecelakaan diri yang mengecualikan serangan jantung.
Perusahaan asuransi tidak bisa membayar klaim yang diajukan oleh ahli waris
Andi.
Law of Large Number (LLN)
Matematikawan Italia Cardano (1501-1576) menyatakan bahwa akurasi
statistik empiris cenderung membaik seiring dengan semakin besarnya jumlah
percobaan yang dilakukan. Hal ini kemudian diresmikan sebagai hukum
bilangan besar.
Dalam teori probabilitas, hukum bilangan besar adalah teori yang menggambarkan hasil dari melakukan percobaan yang sama dalam jumlah yang besar.
Menurut hukum, rata-rata dari hasil yang diperoleh dari sejumlah besar percobaan harus dekat dengan nilai yang diharapkan, dan cenderung menjadi lebih
dekat seiring dengan banyaknya uji yang dilakukan. Hukum bilangan besar
penting karena “menjamin” hasil jangka panjang yang stabil untuk rata-rata dari
beberapa peristiwa acak. Menurut Chartered Insurance Institute, ketika terdapat
kondisi risiko yang sama dalam jumlah besar, cenderung semakin menggambarkan jumlah kerugian yang sebenarnya terjadi atas risiko yang sama tersebut. Sehingga dengan menerapkan prinsip LLN, perusahaan asuransi dapat
memprediksi besarnya biaya klaim atas suatu risiko dalam satu tahun dan
dapat menentukan besarnya premi yang wajar atas risiko tersebut dalam suatu
periode tertentu.
Perusahaan asuransi dalam membuat sebuah produk harus dapat
memastikan bahwa produk tersebut akan dibeli oleh masyarakat
banyak sehingga premi yang terkumpul cukup untuk membayar
apabila terjadi klaim pada salah satu atau beberapa peserta.
Dari mana asuransi memiliki dana untuk membayar klaim? Perusahaan
asuransi membayarkan klaim dari dana premi yang terkumpul dari Tertanggung
lainnya. Jadi pada prinsipnya premi Tertanggung “yang beruntung” (tidak
klaim) akan digunakan untuk membantu (membayar klaim) Tertanggung lain
“yang kurang beruntung”. Jika hanya terdapat beberapa jumlah Tertanggung,
maka mekanisme ini tidak akan berjalan dan tidak akan efisien. Oleh karena itu
dalam asuransi dikenal dengan istilah “Hukum Bilangan Besar” yaitu semakin
banyak orang yang ikut dalam suatu asuransi maka perusahaan asuransi dapat
memperoleh informasi yang akan akurat sehingga dapat memprediksi kemungkinan kerugian yang akan terjadi.
Ko-Asuransi dan Reasuransi
Pengertian Ko-Asuransi
Co-insurance atau ko-asuransi adalah suatu mekanisme untuk meningkatkan kapasitas market dalam meng-underwrite suatu risiko, dimana partisipasi
masing-masing perusahaan dibatasi dalam original policy. Hal ini dilakukan
jika perusahaan asuransi tidak mempunyai gross capacity yang cukup untuk
menerima risiko Tertanggung. Tertanggung akan mengasuransikan risiko
tersebut ke perusahaan asuransi lainnya (lebih dari satu perusahaan asuransi).
Dalam ko-asuransi, share dari masing-masing perusahaan asuransi dicantumkan dalam original policy. Administrasi serta penerbitan polis biasanya
dilakukan oleh co-insurance leader. Berbeda dengan kontrak reasuransi, di mana
Tertanggung tidak mempunyai hubungan kontraktual dengan reasuradur, pada
ko-asuransi Tertanggung mempunyai hubungan kontraktual dengan semua
Penanggung yang terlibat dalam penutupan risiko. Dalam hal terjadi klaim,
jika ada salah satu member yang belum melakukan pembayaran klaim, maka
Tertanggung dapat melakukan tuntutan secara langsung kepada member tersebut (CII, 2011).
Pengertian Reasuransi
Reasuransi atau reinsurance adalah mekanisme pengalihan kembali risikorisiko oleh suatu perusahaan asuransi atau Penanggung atas sebagian atau
seluruh risiko yang menjadi tanggungannya kepada perusahaan reasuransi
(reinsurer) atau Penanggung lainnya.
MANFAAT REASURANSI
1. Meningkatkan kapasitas penerimaan risiko dari suatu perusahaan
asuransi.
2. Menjaga stabilitas usaha suatu perusahaan asuransi dengan cara
mengalihkan sebagian beban klaim saat terjadi kerugian kepada
perusahaan reasuransi.
3. Menciptakan rasa percaya diri dalam menanggung suatu risiko karena
beberapa ketidakpastian dapat dihilangkan dengan mekanisme
reasurans
4. Membantu mengurangi beban keuangan suatu perusahaan asuransi
dalam menanggung risiko catastrophic yang nilai kerugiannya sangat
besar.
5. Sebagai sarana untuk melakukan penyebarluasan risiko yang ditanggung
oleh suatu perusahaan asuransi.
Bentuk Reasuransi
REASURANSI PROPORSIONAL
Merupakan bentuk reasuransi dimana pembagian saham atau share premi
dan beban klaim untuk perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi
selalu dalam proporsi yang sama, sebagaimana telah disepakati sebelumnya
dan dicantumkan dalam perjanjian kerja sama antar dua pihak terkait. Bentuk
reasuransi proporsional digunakan dalam reasuransi yang menggunakan
metode facultative, quota share, surplus dalam treaty reinsurance, dan facultative
obligatory.
REASURANSI NON-PROPORSIONAL
Merupakan bentuk reasuransi dimana pembagian saham atau share premi dan
beban klaim untuk perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi tidak dalam
proporsi yang sama. Perusahaan asuransi akan menanggung sendiri kerugian
dari beban klaim yang menjadi tanggung jawabnya kepada Tertanggung dalam
bentuk first loss insurance hingga batas jumlah tertentu yang telah disepakati
sebelumnya. Perusahaan reasuransi hanya akan ikut menanggung beban klaim
jika jumlah klaim melebihi batas yang tercantum dalam perjanjian kerjasama
terkait. Bentuk reasuransi non-proporsional digunakan dalam reasuransi yang
menggunakan metode excess of loss dalam treaty reinsurance.
Metode Reasuransi
TREATY
Treaty adalah suatu perjanjian tertulis antara perusahaan asuransi dengan
perusahaan reasuransi di mana perusahaan asuransi secara otomatis akan
mereasuransikan atau memberikan sesi atau session kepada perusahaan
reasuransi, yang secara otomatis akan menerima sesi tersebut selama sesi
sesuai dengan syarat dan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian terkait.
Treaty pada umumnya dibuat untuk suatu portfolio bisnis tertentu selama
periode 12 bulan atau tahunan. Treaty Reasuransi dapat dibagi menjadi Treaty
Proporsional dan Treaty Non-Proporsional:
TREATY PROPORSIONAL
1. Quota Share, yaitu suatu reasuransi di mana pembagian saham atau
share risiko antar perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi
terkait ditentukan dalam suatu presentase yang tetap.
2. Surplus Treaty, yaitu suatu reasuransi di mana perusahaan reasuransi
akan menanggung kelebihan suatu risiko atas risiko sendiri atau own
retension dari perusahaan asuransi terkait sesuatu dengan limit dalam
kapasitas maksimum treaty yang telah disepakati. Kapasitas maksimum
treaty dinyatakan dalam lines, di mana setiap 1 lines merupakan retensi
sendiri atau own retension dari perusahaan asuransi. Dalam surplus
treaty, perusahan asuransi memiliki kebebasan untuk menentukan
besarnya retensi sendiri atau own retension untuk setiap risiko yang
disesikan kepada perusahaan reasuransi.
TREATY NON-PROPORSIONAL
1. Excess of Loss, yaitu jenis reasuransi di mana perusahaan reasuransi hanya
akan terlibat dalam suatu kerugian jika jumlah kerugian melebihi jumlah yang
ditahan (net retention) oleh perusahaan asuransi (ceding company). Maksimum
tanggung jawab perusahaan reasuransi pun dibatasi sampai jumlah tertentu yang
disebut Cover Limit, misalnya Rp300.000.000,00 excess of Rp100.000.000,00,
berarti :
• Ceding company underlying retention (underlying rentention perusahaan asuransi) = Rp100.000.000,00
• Cover limit perusahaan reasuransi = Rp300.000.000,00
Excess of Loss dijamin dengan sistem layering, di mana premi reasuransi
ditetapkan berdasarkan tinggi jarak antar layer. Semakin tinggi jarak antar
layer maka semakin kecil kemungkinan klaim dan premi reasuransi yang harus
dibayarkan.
Berdasarkan jaminan yang diberikan, excess of loss dibagi menjadi dua jenis:
a. Working Excess of Loss atau Risk Excess of Loss, yaitu reasuransi yang
menjamin kerugian yang bersifat individual atas setiap risiko atau each
and every loss, each and every risk.
b. Catastrophe Excess of Loss atau Event Excess of Loss, yaitu reasuransi
yang menjamin kerugian yang bersifat katastropik seperti gempa bumi,
yang dapat melibatkan lebih dari satu risiko yang timbul dari kejadian
yang sama atau each and every loss, or series of loss arising out one vent
or occurrence.
2. Stop Loss atau Excess of Loss Ratio, yaitu jenis reasuransi di mana dasar
penetapan tanggung jawab perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi
dinyatakan dalam bentuk persentase perbandingan antara pendapatan premi
dengan klaim (loss ratio). Hampir sama dengan Excess of Loss, namun dengan
perbedaan tanggung jawab perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi
dinyatakan dalam suatu akumulasi Loss Ratio, yaitu perbandingan antara klaim
yang terjadi dengan premi yang diterima dalam suatu jangka waktu tertentu.
Timbulnya tanggung jawab perusahaan reasuransi dalam perjanjian ini adalah
apabila Loss Ratio perusahaan asuransi telah melebihi loss ratio yang telah
ditetapkan sebelumnya.
3. Aggregate Excess of Loss, yaitu jenis reasuransi di mana hanya perusahaan
asuransi yang menentukan besarnya jumlah seluruh kerugian (aggregate net
retention) selama satu tahun tertentu (underwriting year) yang disebut underlying
retention. Perusahaan reasuransi akan bertanggung jawab atas kelebihan
kerugian atas underlying retention perusahaan asuransi terkait. Hampir sama
dengan Stop Loss Treaty, tetapi total Underwriting Retention perusahaan
asuransi dan tanggung jawab perusahaan reasuransi dinyatakan dalam suatu
jumlah tertentu. Misal Aggregate Underlying Retention Rp1 miliar, Aggregate
Limit Excess of Loss Rp3 miliar. Artinya perusahaan asuransi akan membayar
kerugian sampai dengan Rp1 miliar dan perusahaan reasuransi akan membayar
kerugian diatas Rp1 miliar sampai dengan Rp4 miliar. Kerugian di atas Rp4 miliar
akan kembali menjadi beban perusahaan asuransi.
Fakultatif
Fakultatif merupakan suatu perjanjian reasuransi antara perusahaan asuransi
untuk bebas menentukan apakah akan mereasuransikan risiko yang ditanggungnya atau tidak, dan perusahaan reasuransi juga bebas menentukan apakah akan
menerima atau menolak risiko yang direasuransikan oleh perusahaan asuransi.
Dalam fakultatif, risiko yang akan direasuransikan ditawarkan secara individual
(kasus per kasus) kepada perusahaan reasuransi dengan menyampaikan informasi penting, antara lain seluruh fakta-fakta penting (material fact) mengenai
risiko tersebut, syarat dan kondisi pertanggungan, jumlah retensi perusahaan
asuransi terkait, suku premi yang berlaku, dan hal lain yang menurut perusahaan
asuransi terkait perlu untuk disampaikan.
Facultative Obligatory
Facultative Obligatory, yaitu perjanjian reasuransi dimana perusahaan asuransi
bebas menentukan apakah akan mereasuransikan risiko yang ditanggungnya
atau tidak, dan jika direasuransikan maka perusahaan reasuransi wajib menerima
bagian risiko yang direasuransikan kepadanya selama hal tersebut memenuhi
syarat dan ketentuan yang telah disekapati dalam perjanjian tersebut. Hal ini
berarti, untuk setiap reasuransi risiko yang telah memenuhi syarat dan ketentuan perjanjian reasuransi terkait yang masih berlaku, maka secara otomatis
perusahaan reasuransi terkait dianggap menerima risiko tersebut tanpa perlu
dilakukan konfirmasi kasus per kasus.
Pool
Pool merupakan perjanjian reasuransi di mana beberapa perusahaan asuransi
atau perusahaan reasuransi yang menjadi anggotanya, masing-masing memiliki
saham atau share dengan jumlah persentase tertentu, baik terkait perhitungan
premi yang akan diterima maupun klaim yang harus dibayarkan. Pada umumnya,
pool dibentuk untuk menanggung risiko-risiko yang sangat berbahaya di mana
seluruh anggota wajib mereasuransikan risiko tersebut 100% kepada pool.
Keuntungan bisnis pool akan dibagikan kepada para anggota pool secara
proporsional. Contoh pool untuk risiko pasar adalah konsorsium.
Asymmetric
Information
Asymmetric information adalah situasi yang muncul di saat satu
pihak tidak mempunyai pengetahuan tentang pihak lain yang terlibat
dalam transaksi sehingga tidak mungkin untuk membuat keputusan yang tepat. Pihak yang biasanya mendapatkan keuntungan
adalah yang memiliki informasi yang lebih banyak dan pihak yang
dirugikan umumnya yang memiliki lebih sedikit informasi tentang
hal tersebut (Mishkin, 2008). Penjual memiliki informasi yang lebih
banyak tentang produk dibandingkan pembeli, dan sebaliknya.
Contoh di mana penjual memiliki informasi lebih banyak, antara
lain: penjual mobil bekas, agen real estate, dan agen asuransi jiwa.
Kondisi asymmetric information pertama kali dijelaskan oleh
Kenneth (1963) dalam satu artikel yang terkenal di bidang
penanganan kesehatan yang berjudul “Uncertainty and the
Welfare Economics of Medical Care”. Akerlof (1970) kemudian
menggunakan istilah asymmetric information dalam karyanya, The
Market for Lemons (Pasar Barang “Kacangan”), yang menyatakan
bahwa dalam pasar seperti itu, nilai rata-rata dari komoditi
cenderung untuk turun, bahkan untuk barang yang tergolong
berkualitas bagus.
Penjual merugikan pembeli dengan cara memberi kesan seolah
olah barang yang dijualnya bagus, sehingga banyak pembeli yang
menghindari hal tersebut dengan menolak untuk melakukan
transaksi dalam pasar seperti ini atau menolak mengeluarkan
uang besar dalam transaksi tersebut. Sebagai akibatnya, penjual
yang benar-benar menjual barang bagus menjadi tidak laku karena
hanya dinilai murah oleh pembeli, dan akhirnya pasar akan dipenuhi
oleh barang berkualitas buruk (Wikipedia, 2015).
Asymmetric information menciptakan ketidakseimbangan
kekuatan dalam bertransaksi, yang dapat menyebabkan terjadinya
transaksi bermasalah bahkan menimbulkan kegagalan pasar dalam kasus terburuk. Contoh dari masalah tersebut antara lain adverse selection, moral hazard.
Asymmetric information terdapat dalam asuransi dimana Penanggung
tidak mengetahui jenis dan seberapa besar risiko yang akan diterima dari
Tertanggung pada awal penutupan asuransi. Hal yang sama juga dialami dari
sisi Tertanggung dimana Tertanggung tidak mengetahui secara pasti risiko
yang dijamin dan risiko yang tidak dijamin dalam polis asuransi yang dimilikinya.
Ketidakseimbangan informasi ini dapat menimbulkan masalah nantinya
jika tidak terselesaikan dengan baik pada awal penutupan polis. Salah satu
masalah yang timbul antara lain ketika terjadi peristiwa kerugian (ketika klaim
terjadi) dimana bisa saja Tertanggung merasa polis yang dimilikinya menjamin
seluruh risiko padahal klaim disebabkan oleh risiko yang tidak dijamin. Misalnya
risiko cacat semula pada asuransi kendaraan bermotor (cacat yang sudah ada
sebelum penutupan polis asuransi berlangsung dan tidak dapat dijamin oleh
asuransi)
Adverse Selection dan Moral Hazard
Adverse selection dapat diartikan kurangnya informasi yang dimiliki suatu
pihak ketika bernegosiasi untuk menyepakati suatu kontrak. Masalah adverse
selection terjadi ketika agen mempunyai informasi pribadi yang relevan sebelum
kontrak disetujui. Dalam kasus ini, seseorang/ satu pihak (principal) dapat
mengamati tingkah laku orang/ pihak lain (agen) tetapi keputusan optimal dari
keputusan tersebut tergantung dari tipe agen, yaitu karakteristik tertentu dari
proses produksi yang hanya dimiliki agen, kemudian principal mengetahui bahwa
agen dapat menjadi salah satu dari beberapa tipe yang tidak dapat dibedakan
(Anindita, 2015).
Masalah moral hazard terjadi ketika terdapat asymmetric information pada
saat kontrak sudah disetujui. Dalam moral hazard, partisipan mempunyai
informasi yang sama ketika kontrak dilakukan dan asymmetric information
muncul setelah kontrak disetujui tetapi principal tidak dapat mengamati atau
memeriksa tindakan atau usaha dari agen, atau paling tidak principal tidak dapat
mengontrol tindakan agen. Umumnya moral hazard terjadi apabila satu pihak
yang tindakan-tindakannya tidak diamati memengaruhi probabilitas terjadinya
kerugian atau besarnya pembayaran nilai ganti rugi.
Contoh adverse selection dalam perasuransian adalah keadaan ketika calon
Tertanggung yang berisiko tinggi dapat diterima oleh Penanggung (perusahaan
asuransi) untuk membeli asuransi karena perusahaan asuransi tidak dapat
secara efektif melakukan diskriminasi terhadap mereka, biasanya karena
kurangnya informasi tentang risiko individu tertentu, kekuatan hukum, ketentuan undang-undang atau kendala lainnya. Contoh moral hazard adalah keadaan
ketika orang lebih cenderung berperilaku sengaja melakukan kesalahan setelah
memiliki asuransi, baik karena perusahaan asuransi tidak dapat mengamati
perilaku ini atau tidak dapat secara efektif membuktikan hal tersebut.
Hubungan Teori Asymmetric
Information dengan Asuransi
Asymmetric information pada jasa asuransi adalah keadaan dimana banyak
dari masyarakat menyembunyikan informasi yang seharusnya diketahui oleh
pihak penyedia jasa asuransi. Hal ini dapat menimbulkan adanya adverse
selection, yakni individu yang berisiko rendah dapat dikenakan biaya yang tinggi
karena diperlakukan sebagai individu yang berisiko tinggi dan sebaiknya individu
yang berisiko tinggi bisa diperlakukan sebagai individu yang berisiko rendah.
Adverse selection pada perusahaan asuransi terjadi ketika mereka yang
memiliki kemungkinan besar melakukan klaim asuransi membeli asuransi,
sementara mereka memiliki kemungkinan klaim kecil tidak membeli asuransi.
Adverse selection menyebabkan perusahaan asuransi tidak dapat membedakan
antara individu berisiko tinggi dan individu berisiko rendah berdasarkan informasi
yang tersedia serta berakhir dengan memberikan pilihan yang buruk terhadap
calon Tertanggung. Jika perusahaan asuransi dapat memperoleh informasi
yang tepat terkait Tertanggung di awal penutupan asuransi, maka perusahaan
asuransi dapat mengenakan tarif yang sesuai karakteristik risiko Tertanggung
untuk mengimbangi adverse selection.
Asymmetric information juga bisa menyebabkan perubahan perilaku setelah
suatu kontrak asuransi ditandatangani (moral hazard). Sebelum kontrak
ditandatangani, kedua belah pihak saling mengetahui tentang karakter dari
Tertanggungnya. Tetapi setelah penandatanganan kontrak, pengawasan
kurang sempurna sehingga tidak semua perilaku Tertanggung dapat diamati
oleh Penanggung. Perilaku yang dulunya baik dapat berubah (dengan sengaja)
menjadi “ceroboh” demi mendapatkan keuntungan. Perubahan perilaku (dengan
sengaja menjadi ceroboh) setelah kontrak tersebut dikenal sebagai moral hazard.
Moral hazard merupakan tindakan yang diambil secara sengaja, misalnya
mengemudikan kendaraan dengan kecepatan tinggi setelah memiliki asuransi
kendaraan bermotor.
Signaling dan Screening
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Akerlof pada tahun 1970,
pada pasar penjualan mobil “The Market for Lemons” diperoleh solusi untuk
mengurangi masalah adverse selection antara lain dengan metode signaling dan
screening.
Signaling
Michael Spence mengusulkan gagasan signaling, yaitu bahwa dalam situasi
asymmetric information, terdapat kemungkinan bagi setiap orang untuk
memberikan signal yang menunjukan tipe mereka, sehingga dipercaya dapat
memberikan informasi kepada pihak lain dan menyelesaikan asimetri yang ada.
Signaling terjadi ketika salah satu pihak memberitahu tentang informasi
pribadi melalui tingkah laku pihak tersebut sebelum persetujuan diresmikan.
Setelah satu orang/ pihak (principal) mempelajari tipe orang/ pihak lain (agen)
sebelum kontrak ditandatangani, agen mengirim sinyal/ tanda yang diamati oleh
principal. Dengan kata lain, agen mengirim beberapa macam informasi yang
mempengaruhi kepercayaan principal tentang identitas agen. Ide signaling pada
awalnya dipelajari dalam konteks mencari pekerjaan. Seorang atasan tertarik
dalam mempekerjakan karyawan baru yang “terampil dalam belajar”. Tentu saja
semua calon karyawan akan mengaku “terampil belajar”, tetapi hanya mereka
sendiri yang tahu jika mereka benar-benar terampil atau tidak. Ini adalah contoh
asymmetric information.
Sebagai contoh, Spence mengusulkan bahwa kuliah dapat berfungsi sebagai
sinyal yang terpercaya dalam menunjukan kemampuan untuk belajar. Dengan
asumsi bahwa orang-orang yang terampil dalam pembelajaran dapat menyelesaikan kuliah lebih mudah daripada orang yang tidak terampil, maka dengan
menyelesaikan perguruan tinggi orang-orang memberikan sinyal keahlian
mereka dalam belajar kepada calon atasan, tidak peduli seberapa banyak atau
sedikit mereka mungkin telah belajar di perguruan tinggi atau apa yang mereka
pelajari dalam menyelesaikan perkuliahan mereka.
Contoh signaling dalam perasuransian adalah informasi yang terdapat pada
Surat Permintaan Penutupan Asuransi (SPPA), antara lain: letak objek
pertanggungan, penggunaan objek pertanggungan/ lokasi (okupasi), dan tipe
konstruksi bangunan (construction class) yang berfungsi sebagai sinyal terpercaya dalam menunjukan tingkatan risiko kebakaran pada suatu properti. Signal
ini dapat memberikan gambaran kepada Penanggung (perusahaan asuransi)
atas risiko yang dimiliki oleh Tertanggung pada properti yang akan diasuransikan.
Screening
Stiglitz (1976) merintis teori screening, di mana dengan cara ini pihak yang
kekurangan informasi dapat mempengaruhi pihak lain untuk mengungkapkan
informasi mereka. Pihak yang kekurangan informasi dapat menyediakan menu
pilihan sedemikian rupa, di mana pilihan yang disediakan tergantung pada
informasi pribadi yang dimiliki oleh pihak lainnya.
Contoh situasi di mana penjual biasanya memiliki informasi yang lebih baik
daripada pembeli antara lain tenaga penjualan mobil bekas, pialang hipotek,
pialang saham dan agen real estate. Contoh situasi di mana pembeli biasanya
memiliki informasi yang lebih baik daripada penjual meliputi penjual asuransi
jiwa atau penjual karya seni lama tanpa adanya penilaian dari profesional
sebelumnya. Situasi ini pertama kali dijelaskan oleh Kenneth (1963).
Akerlof (1970) menjelaskan bahwa dalam pasar seperti itu, nilai rata-rata
dari komoditas cenderung turun, bahkan bagi mereka yang berkualitas sangat
baik. Karena asymmetric information, penjual yang tidak bermoral dapat
menipu pembeli. Akibatnya, banyak orang tidak bersedia mengambil risiko dan
menghindari jenis pembelian tertentu, atau tidak akan menghabiskan banyak
untuk item tertentu. Hal ini dapat membuat pasar yang ada menjadi punah.
Screening pada perusahaan asuransi diterapkan antara lain:
1. Proses pengisian Surat Permohonan Penutupan Asuransi (SPPA) oleh
calon Tertanggung;
2. Proses survei dalam penutupan asuransi;
3. Penerapan prinsip Utmost Good Faith yang mengharuskan Tertanggung
untuk mengungkapkan fakta-fakta “material fact” untuk menjadi dasar
perusahaan asuransi melakukan penilaian
Related Posts:
asuransi 1 Fenomena Alam terjadinya Bencana Tsunami pada Sabtu malam tanggal 22 Desember 2018 di Selat Sunda meninggalka… Read More