Home »
hukum asuransi 1
» hukum asuransi 1
hukum asuransi 1
dengan lancar, baik itu usaha, perjalanan, pendidikan anak-anaknya, ataupun kesehatan.
Akan tetapi tidak semua dari apa yang direncanakan selalu menjadi kenyataan. Terkadang,
ada peristiwa-periswa yang tidak dapat dihindari oleh manusia, contohnya adalah bencana
alam. Kemungkinan menderita kerugian itulah yang disebut dengan risiko1
.
Ada beberapa cara yang dilakukan oleh manusia atas risiko yang tidak pasti tersebut.
Cara yang pertama adalah dengan cara menghindari resiko dengan mengusahakan supaya
kehilangan atau kerugian itu tidak terjadi2
. Yang kedua adalah menghadapi resiko agar risiko
yang terjadi tidak semakin besar. Dan yang ketiga adalah mengalihkan resiko kepada orang
lain, hal inilah yang disebut perjanjian pengalihan resiko atau asuransi.
Man S. Sastrawidjaja dan Endang mengatakan bahwa adanya kegunaan positif dari
asuransi membuat perlu adanya perkembangan asuransi. Sehingga asuransi yang semula
hanya asuransi yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), saat
ini sudah mengalami perkembangan, baik hal tersebut merupakan asuransi sosial ataupun
asuransi komersial3
.
Perkembangan dunia dagang yang maju dan tingkat persaingan dari Perusahaan yang
bergerak di bidang Asuransi juga turut mengubah fungsi asuransi yang semula hanya untuk
pengalihan resiko, sekarang bertambah menjadi fungsi investasi, yang mana untuk hal yang
terakhir tidak masing belum mendapat perlindungan hukum dengan baik.
Sebagai suatu perjanjian, kegiatan usaha perasuransian diataur dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang), meskipun ada beberapa asuransi yang tidak diatur di dalam KUHD, seperti
Asuransi Kendaraan Bermotor dan Asuransi Kredit. Serta Undang-Undang No. 40 Tahun
2014 sebagai aturan perundang-undangan Perasuransian yang baru.
Pembuatan buku ini dilandasi oleh masih sedikit buku tentang asuransi yang sesuai
dengan perkembangan jaman. Aturan perundang-undangan asuransi yang baru, yaitu UU no40 Tahun 2014 juga jarang dikenal, sehingga tak jarang masih banyak masyarakat yang
menyebutkan Undang-Undang asuransi yang lama sebagai dasar hukum Perasuransian,
padahal perbedaan diantara keduanya sangat jelas sekali.
Buku ini membahas mengenai perasuransian dan pengaturan, terkait dengan sejarah,
pengertian, dan tujuan, usaha dan perusahaan perasuransian, perjanjian asuransi, risiko,
evenemen, ganti kerugian, asuransi rangkap dan reasuransi, macam-macam asuransi,
sehingga diharapkan akan dapat membantu mahasiswa, para akademisi, serta praktisi untuk
memahami mengenai hukum asuransi sehingga dapat melakukan penyelesaian sengketa di
lapangan. Periode sebelum masehi, terdapat mokunitas sosial dalam bentuk tolong
menolong. Jika suatu rumah kebakaran, maka tetangga sekitar wajib membantu
membangun kembali rumah yang rusak. Apabila seseorang tidak mau membantu,
maka ia tidak akan dibantu tetangganya jika dikemudian hari ia mendapat musibah
kebakaran.
Pengangkutan dengan menggunakan kapal banyak dilakukan sehingga
asuransi terkait dengan pengangkutan lewat laut ini juga banyak terjadi, diantaranya
adanya asuransi cargo ketika banyak pedagang cina mengirim tepung dengan
menggunakan kapal yang menyusuri aliran sungai. Apabila satu kali kirim akam
mendapatkan resiko merupa satu musibah yang akibatnya terjadi kerugian yang besar
atau total loss. Asuransi kredit diilhami oleh Kode Hammurabi (2100 sebelum
masehi) di Babilonia Irak pada tahun 1750 Sebelum masehi. Pedagang akan
membayar sejumlah uang kepada pemilik modal sebelum mereka melakukan
perjalanan.Dengan konsekuensi jika barang terjadi perompakan dalam perjalanan,
maka pedagang tidak perlu mengganti kerugian kepada pemilik modal.cargo muncul
manakala di tahun 3000 sebelum masehi.
Pada zaman kebesaran Yunani di bawah kekuasaan Alexander The Great
(356-323 BC), seorang pembantunya yang bernama Antimenes mengumumkan
kepada para pemilik budah untuk mendaftarkan budak-budaknya dan membayar uang
setiap tahun kepada Antimenes. Sebagai imbalannya apabila budak tersebut melarikan
diri, maka Antimenes akan menangkapnya sedangkan apabila budak tersebut tidak
tertangkap, maka Antimenes akan membayar sejumlah uang sebagai gantinya.
Pada zaman Romawi dikenal perkumpulan yang bernama collegium cultorum
et Dianae et Antinoi dan collegium lambaesis. Pada Collegium cultorum et Dianae et
Antinoi dengan imbalan uang pangkal dan iuran bulanan dari peserta, perkumpulan
memberikan pembayaran kepada ahli waris dan biaya penguburan apabila peserta
meninggal dunia. Pada perkumpulan collegium lambaesis, dengan pembayranan uang pangkal dan iuran bulanan, perkumpulan akan memberikan manfaat berupa uang
untuk membiayai pesta perayaan kenaikan pangkat dalam dinas ketentaraan dan
pemindahan ke tempat tugas yang baru di samping pembayaran kepada ahli waris
apabila ada anggota yang meninggal dunia.
2. Abad Pertengahan
Di Inggris sekelompok orang yang mempunyai profesi sejenis membentuk
satu perkumpulan yang disebut glide. Perkumpulan ini mengurus kepentingan
anggota-anggotanya dengan janji apabila ada anggota yang kebakaran rumah, glide
akan memberikan sejumlah uang yang diambil dari dana glide yang terkumpul dari
anggota-anggota. Perjanjian ini dilakukan pada abad ke 9 dan mirip Asuransi
Kebakaran.
Bentuk perjanjian seperti ini lebih lanjut berkembang di Denmark, Jerman,
dan negara-negara Eropa lainnya sampai dengan abad ke 12. Pada abad ke 13 dan
abad ke 14 perdagangan melalui laut mulai berkembang pesat. Selain itu ada budaya
dari setiap pedagang bangsa Phoenic (di laut mediterania) dengan menggunakan 2
cara yaitu :
1. Setiap pedagang menyisihkan sebagaian dari gandum yang mereka kirim, lalu
disimpan disuatu tempat di bawah pengawasan khusus;
2. Adanya gandum cadangan, hal ini akan digunakan sebagai ganti rugi kepada
peserta yang kehilangan seluruh muatan gandumnya.
Pada masa ini akan memunculkan konsep awal asuransi dan konsep perdagangan
internasional sebagai dasar terbentuknya asuransi.
3. Sesudah Abad Pertengahan
Tahun 1347 di Genoa Italia pertama kali konsep asuransi laut (marine
insurance) dalam bentuk tertulis. Tahun 1380 di Portugal terdapat ketentuan yang
mewajibkan setiap pemilik kapal membeli asuransi. Tahun 1583 di Inggris pertama
kali lahir asuransi jiwa untuk tertanggung Williams Gybbons. Tahun 1609 di Jerman
terdapat usulan dari parlemen untuk membuat asuransi kebakaran. Tanggal 2 sampai
dengan 6 September 1666 di London dimunculkan the great fire of London ke suatu
web-site berupa www.london-fire.gov.uk Tahun 1667 di Inggris Nicholas Barbon
mendirikan perusahaan asuransi kebakaran pertama di dunia. Tahun 1694 terdapat
konsep asuransi kesehatan yang pertama kali muncul.
Asuransi Laut dan Asuransi kebakaran mengalami perkembangan yang sangat
pesat pada abad 17, diantaranya adalah Tahun 1759 di Amerika Serikat SinodePresbiterian mempopulerkan asuransi jiwa di kota Philadelphia dan kota New York.
Tahun 1850 Di Inggris Dan di Amerika Serikat ada dua perusahaan asuransi yaitu
The Railway Passengers Insurance Company dan The Franklin Health Insurance
Company of Massachusetts telah melakukan penjualan produk asuransi kecelakaan
akibat tertabrak kereta api dan kapal uap, yang mana di Inggris, asuransi laut diatur
secara khusus dalam Undang-Undang Asuransi Laut (Marine Insurance Act) yang
dibentuk pada tahun 1906. Berdasarkan asas konkordansi, Wetboek van Koophandel
Nederland diberlakukan juga di Hindia Belanda melalui Staatsblad Nomor 23 Tahun
1847, sedangkan pada waktu pembentukan Code de Commerce Perancis awal abad
19, asuransi laut dimasukkan dalam kodifikasi, sedangkan waktu pemberntukan
Wetboek van Koophandel Nederland, di samping asuransi laut juga terdapat asuransi
kebakaran, asuransi hasil panen, dan asuransi jiwa.
4. Asuransi Modern
Pada era revolusi industri, era mekanisasi pertanian dan era reformasi produk
asuransi telah bermunculan beberapa jenis asuransi antara lain : asuransi kkendaraan;
asuransi pertanian; asuransi pabrik; asuransi perjalanan; asuransi pesawat; asuransi
satelit; asuransi handphone/laptop, asuransi kesehatan, asuransi pendidikan.
Tahun 1927 di Brussel Belgia, lahir International Conference of Sickness
Insurance Funds and Mutual Benefit Societies yang disponsori oleh International
Labour Organization. Tahun 1935 di Amerika Serikat presiden Franklin D.Roosevelt
menandatangani Social Security Act. Pada tanggal 14 Agustus 1939 sebagai santunan
yang bisa diterima ahli waris.
Perkembangan usaha perasuransian, tidak hanya meliputi pada usaha
perasuransian saja, akan tetapi juga pada usaha penunjang asuransi seperti usaha
perasuransian, serta adanya perubahan fungsi asuransi menjadi fungsi investasi.
5. Asuransi di Indonesia
Sejarah mencatat bahwa perusahaan asuransi yang berdiri pertama kali
beroperasi adalah Semarang Sea yang berdiri pada tahun 1816. Perusahaanperusahaan seangkatannya adalah Java Sea, Arjoeno, Veritas dan Mercurius. Asuransi
Jiwa yang pertama kali munsul adalah Bumiputera 1912 di Magelang atas prakarsa
seorang guru yang bernama M. Ng. Dwidjosewojo sebagai perysahaan asuransi yang berbentuk badan usaha bersama. Asuransi non jiwa pertama adalah NV Indishe Lloyd
yang kemudian berganti nama menjadi Lloyd Indonesia4
.
Pada masa penjajahan jepang industri asuransi tidak berkembang. Sesudah
kemerdekaan, pemerintah melakukan nasionalisasi atas sejumlah perusahaan asuransi
termasuk NV Assurantie Maatshappij De Nederlandem dan Bloom vander EE milik
Belanda yang didirikan tahun 1845 yang diubah menjadi Umum International
Underwriters (UIU) dan perusahan asuransi Inggris yang diganti nama menjadi
Bendasraya, Pada tahun 1972 UIU dan Bendasraya digabung menjadi Asuransi Jasa
Indonesia. Untuk sektor Asuransi Jiwa, pemerintah melakukan nasionalisasi atas
perusahaan asuransi jiwa yang berdiri pada tahun 1859 dengan nama Nederlandsche
Indische Leverzekring en Lijvrente Maatschappij (NILLMIJ). Tahun 1953 berdirilah
suatu perusahaan reasuransi profesional swasta, Maskapai Reasuransi Indonesia
(Marein) yang disusul oleh pendirian PT. Reasuransi Umum Indonesia (IndoRe) yang
merupakan perusahan reasuransi milik pemerintah5
.
Pencapaian penting adalah adanya Kongres Asuransi Nasional Seluruh
Indonesia (KANSI) pertama pada 25-30 November 1956 di Bogor yang bertujuan
untuk menyatukan pendapat dan bekerjasama memberikan sumbangan yang
bermanfaat bagi perekonomian nasional, mengatasi sisa-sisa sistem perekonomian
kolonial, realisasi konkret dari pembatalan Perjanjian Meja Bundar (KMB) dan
peningkatan kesadaran berasuransi. Kongres tersebut akhirnya mendirikan Dewan
Asuransi Indonesia (DAI) pada 1 Februari 1957.
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1963 mewajibkan semua perusahaan
asuransi dan reasuransi bergabung di bawah Gabungan Perusahaan Sejenis Asuransi
Kerugian (GPS Asuransi). Selanjutnya melalui SK Menteri Urusan Funds & Forces
Nomor 2 Tahun 1965 dibentuklah Organisasi Perusahaan Sejenis Asuransi Indonesia
(OPS Asuransi Indonesia) yang mewajibkan perusahaan asing untuk menjadi anggota
luar biasa.
Pada tahun 2002, DAI berubah menjadi Federasi Asosiasi Perasuransian
Indonesia (FAPI) yang menaungi semua asosiasi usaha perasuransian di Indonesia
menyusul pendirian Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) dan Asosiasi
Asuransi Jaminan Sosial Indonesia (AAJSI), Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia
(AASI) dan bergabungnya Asosiasi Pialang Asuransi dan Reasuransi Indonesia
(ABAI) serta Asosiasi Adjuster Asuransi Indonesia (AAAI) ke dalam FAPI. Di
samping itu, ke 6 anggota tersebut Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia
(AAMAI) dan ikatan Eksekutif Asuransi Indonesia (ISEA) diterima sebagai anggota
kehormatan. Pada Juli 2010, disebabkan adanya kendala dalam pengesahan Anggaran
Dasar FAPI, nama FAPI diganti kembali menjadi Dewan Asuransi Indonesia (DAI).
B. PENGERTIAN, TUJUAN, FUNGSI, DAN SUMBER HUKUM ASURANSI
1. Pengertian Asuransi
Asuransi (Verzekering atau Insurance) berarti pertanggungan. Prof. R.
Sukardono Guru Besar Hukum Dagang menerjemahkannya asuransi yang berasal dari
Verzekeraar dengan penanggung, yaitu pihak yang menanggung resiko. Sementara
Verzekerde diterjemahkannya dengan tertanggung, yaitu pihak yang mengalihkan resiko
atas kekayaan atau jiwanya kepada tertanggung. Sedangkan Prof Wirjono Prodjodikoro
menggunakan istilah asuransi sebagai serapan dari assurantie (Belanda), Penjamin untuk
penanggung dan terjamin untuk tertanggung6
.
Dalam suatu asuransi ada pihak yang sanggup menanggung untuk pihak lain
yang menderita kerugian akibat suatu peristiwa yang akan terjadi, sebagai timbal baliknya,
pihak tersebut wajib membayar kerugian untuk pihak yang bersedia menjamin7
. Secara
umum asuransi dapat diartikan sebagai persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang yang
masing-masing menghadapi kerugian kecil sebagai suatu yang tidak dapat diduga. Apabila
kerugian itu menimpa salah seorang dari mereka yang menjadi anggota perkumpulan itu maka
kerugian itu akan ditanggung bersama oleh mereka8
.
Abbas Salim mengartikan asuransi sebagai suatu kemauan untuk menetapkan
kerugian-kerugian kecil yang sudah pasti sebagai pengganti (substitusi) kerugian-kerugian
besar yang belum pasti. Secara sederhana, dalam asuransi, orang bersedia membayar kerugian
yang sedikit untuk masa sekarang agar bisa menghadapi kerugian-kerugian besar yang
mungkin terjadi pada waktu mendatang. Kerugian-kerugian besar yang mungkin terjadi
tersebut dipindahkan kepada perusahaan asuransi9
.
Emmy Pangaribuan S menyatakan bahwa asuransi adalah pengganti resiko
menjadi pilihan seseorang dengan alasan bahwa lebih ringan untuk mengambil resiko dari
kekurangan nilai benda-benda itu beberapa orang daripada hanya satu orang saja, dan akan
memberikan suatu kepastian mengenai kestabilan dari nilai harta bendanya itu jika ia akan
mengalihkan risiko itu pada satu perusahaan, dimana dia sendiri saja tidak mampu untuk
menanggungnya10
.
Pasal 246 KUHD menyatakan bahwa Asuransi atau pertanggungan adalah
perjanjian, dimana penanggung mengikat diri terhadap tertanggung dengan memperoleh
premi, untuk memberikan kepadanya ganti rugi karena suatu kehilangan, kerusakan, atau
tidak mendapat keuntungan yang diharapkan yang mungkin dapat diderita karean suatu
peristiwa yang tidak pasti.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 Pasal 1.1. menyatakan bahwa Asuransi adalah
perjanjian antara dua pihak yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi
dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk :
a. Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian,
kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena
terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti atau
b. Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau
pembayaran yang di dasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang
besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
Berdasarkan definisi tersebut, maka unsur-unsur asuransi atau pertanggungan sebagai
berikut :
1. Pihak-Phak
Subyek asuransi adalah pihak-pihak di dalam asuransi, yaitu :
a. Penanggung, dinyatakan di dalam Pasal 246 KUHD bahwa Penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung dengan memperoleh premi, untuk
memberikan kepadanya ganti rugi karena suatu kehilangan, kerusakan atau tidak
mendapatkan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin dapat diderita karena
suatu peristiwa tidak pasti. Sedangkan pada Undang-Undang no 40 Tahun 2014
tidak terdapat istilah ini, melainkan langsung disebutkan dengan Perusahaan
Asuransi, yang disebutkan merupakan perusahaan asuransi umum dan jiwa (Pasal
1.15 UU no 40 Tahun 2014) dan Usaha Perasuransian yang menyangkut jasa
pertanggungan atau pengelolaan risiko, pertanggungan ulang risiko, pemasaran
dan distribusi produk, asuransi atau produk asuransi syariah, konsultasi dan
keperantaraan asuransi, asuransi syariah, reasuransi, atau asuransi syariah, atau
penilaian kerugian asuransi atau asuransi syariah (Pasal 1.5 UU no 40 Tahun
2014).
b. Tertanggung dikatakan dalam Pasal 246 KUHD adalah pihak yang membayar
premi dan menerima ganti rugi karena suatu kehilangan, kerusakan atau tidak
mendapatkan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin dapat diderita karena
suatu peristiwa tidak pasti. Sedangkan dalam UU no 40 Tahun 2014 Pasal 1.23.
dinyatakan bahwa Tertanggung adalah pihak yang menghadapi risiko sebagaimana
diatur dalam perjanjian Asuransi atau Perjanjian Reasuransi.
c. Pemegang Polis hanya tercantum di dalam UU no 40 Tahun 2014 Pasal 1. 22 yaitu
Pihak yang mengikatkan diri berdasarkan perjanjian dengan Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi
Syariah untuk mendapatkan perlindungan atau pengelolaan atas risiko bagi dirinya,
tertanggung atau peserta lain.
2. Status pihak-pihak
Penanggung harus berstatus sebagai Perusahaan badan hukum dapat berbentuk
Perseroan Terbatas (PT), Perusahaan Perseroan (Persero) atau Koperasi. Tertanggung
dapat berstatus sebagai perseorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik sebagai
perusahaan atau bukan perusahaan. Tertanggung berstatus sebagai pemilik atau pihak
berkepentingan atas harta yang diasuransikan.
3. Obyek Asuransi dapat berupa benda, hak atau kepentingan yang melekat pada benda,
dan sejumlah uang yang disebut premi atau ganti kerugian. Melalui obyek asuransi
tersebut ada tujuan yang ingin dicapai oleh pihak-pihak. Penanggung bertujuan
memperoleh pembayaran sejumlah premi sebagai imbalan pengalihan risiko.
Tertanggung bertujuan bertujuan bebas dari risiko dan memperoleh penggantian jika
timbul kerugian atas harta miliknya. Sedangkan Pasal 1.25 UU no 40 Tahun 2014
adalah jiwa raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, benda dan jasa, serta
semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan/atau berkurang
nilainya
4. Peristiwa asuransi
Peristiwa asuransi adalah perbuatan hukum (legal act) berupa persetujuan atau
kesepakatan bebas antara penanggung dan tertanggung mengenai objek asuransi,
peristiwa tidak pasti (evenemen) yang mengancam benda asuransi, dan syarat-syarat
yang berlaku dalam asuransi. Persetujuan atau kesepakatan bebas tersebut dibuat
dalam bentuk tertulis yang disebut polis. Polis ini merupakan satu-satunya alat bukti
yang dipakai untuk membuktikan telah terjadi asuransi. Dimana hal tersebut diatur di
dalam Pasal 1320 BW, Pasal 1321 BW, Pasal 1338 BW.
5. Hubungan asuransi
Hubungan asuransi yang terjadi antara penanggung dan tertanggung adalah keterikatan
(legally bound) yang timbul karena persetujuan atau kesepakatan bebas. Keterikatan
tersebut berupa ketersediaan secara sukarela dari pennaggung dan tertanggung untuk
memenuhi kewajiban dan hak masing-masing terhadap satu sama lain (secara
bertimbal balik).
6. Tujuan yang ingin dicapai yang mana hal tersebut tercantum di dalam Pasal 250
KUHD dan 268 KUHD.
7. Resiko dan Premi yang terdapat dalam Pasal 246 KUHD dan Pasal 256 angka 7
KUHD.
8. Adanya Evenemen (Peristiwa Tidak Pasti) dan Ganti Kerugian (Pasal 256 angka 4
KUHD).
9. Syarat-syarat yang berlaku (Pasal 256 angka 8 KUHD)
10. Polis Asuransi (Pasal 255 KUHD)
2. Prinsip-Prinsip Asuransi
Kemudian, setidaknya ada 6 prinsip dasar tentang asuransi di dalam dunia asuransi yang
bisa menjadi catatan kita juga:
1. Insurable interest
adalah hak untuk mengadakan asuransi antara tertanggung dan yang diasuransikan yang
diakui oleh hukum. Prinsip ini sering diartikan sebagai kepentingan yang
dipertanggungkan. Kepentingan adalah hak atau kewajiban tertanggung terhadap benda
pertanggungan. Kepentingan dalam asuransi dirumuskan d alam pasal 250 KUHD dan
pasal 268 KUHD, yang mensyaratkan kepentingan harus ada 3 unsur yaitu yang dapat
dinilai dengan uang; dapat diancam oleh suatu bahaya dan tidak dikecualikan oleh
undang-undang. 2. Utmost goodfaith
adalah adanya kejujuran oleh si penanggung mengenai syarat dan kondisi asuransi dan
si tertanggung sendiri juga harus memberikan keterangan yang jelas dan jujur tentang
objek yang dipertanggungkan. Nah, prinsip ini adalah tindakan untuk mengungkapkan
semua fakta dari objek yang diasuransikan baik yang diminta ataupun tidak secara
lengkap dan akurat. Prinsip ini sering dikatakan sebagai prinsip itikad baik. Pasal 1338
(3) BW menyatakan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Prinsip ini juga berlaku dalam bidang Hukum Dagang. Pasal 281 KUHD menghendaki
adanya itikad baik, kalau prinsip ini tidak ada, maka pengembalian premi atau restorno
tidak dapat dilakukan. Prinsip ini juga berlaku pada perjanjian asuransi dan Perjanjian
Reasuransi. Baik penanggung pertama maupun penanggung ulang harus beritikad baik,
kalau tidak, maka perjanjian dapat dibatalkan. Istilah itikad baik atau goede trouw
(Belanda) atau utmost goodfaith (Inggris), adalah kemauan baik dari setiap pihak untuk
melakukan perbuatan hukum agar akibat hukum dari kehendak atau perbuatan hukum
itu dapat tercapai dengan baik. Itikad baik selalu dilindungi oleh hukum, sedangkan
tidak adanya unsur tersebut tidak dilindungi. Itikad baik dianggap ada pada tiap-tiap
pemegang kedudukan dan apabila tidak ada, harus dibuktikan (pasal 533 jo Pasal
1965 BW).
3. Indemnity
Seperti yang ditulis dalam KUHD pasal 252, 253 dan 278, pihak penangguna akan
menyediakan dana kompensasi agar si tertanggung dapat berada dalam posisi keuangan
sebelum terjadi peristiwa tertentu yang mengakibatkan kerugian tersebut. Prinsip ini
sering dikatakan sebagai prinsip ganti rugi. Isi prinsip indemnitas adalah keseimbangan,
seimbang antara jumlah ganti kerugian dengan kerugian yang benar-benar diserita oleh
tertanggung, keseimbangn antara jumlah pertanggungan dengan nilai sebenarnya benda
pertanggungan. Prinsip ini hanya berlaku bagi asuransi kerugian, tetapi tidak berlaku
bagi asuransi jumlah (jiwa), karena pada asuransi jumlah prestasi penanggung adalah
membayar sejumlah uang seperti yang telah ditetapkan pada saat perjanjian ditutup.
4. Proximate cause
Penyebab yang menimbulkan kejadian yang menimbulkan suatu akibat tanpa ada
intervensi dari sesuatu.
5. Subrogation
Setelah klaim dibayar maka ada pengalihan hak tuntut dari Tertanggung kepada
Penanggung. Prinsip ini diartikan sebagai penyerahan hak menuntut / menggugat dari
tertanggung kepada Penanggung maka ketika jumlah ganti kerugian sepenuhnya sudah
diganti oleh Penanggung. Dasar hukum prinsip ini terdapat dalam pasal 284 KUHD.
6. Contribution
Penanggung memiliki hak untuk mengajak Penanggung yang lain untuk menanggung
bersama-sama, namun kewajiban memberikan indemnity terhadap Tertanggung tidak
harus sama. Prinsip ini terjadi jika ada double insurance sebagaimana diatur dalam pasal
278 KUHD, yaitu jika dalam satu-satunya polis, ditandatangani oleh beberapa
Penanggung. Dalam hal yang demikian, maka penanggung itu bersama-sama menurut
imbangan dari jumlah-jumlah untuk Penanggung telah menandatangani polis, memikul
kewajiban sesuai harga sebenarnya dari kerugian yang diderita oleh tertanggung11
.
3. Keuntungan Pihak Asuransi
Lalu ada yang mungkin bertanya, apa keuntungan dari pihak asuransi? Para penanggung
ini telah memperkirakan risiko yang terjadi. Adapun keuntungannya ada beberapa yaitu
antara lain :
a. Ilmu yang digunakan adalah statistika dan probabilitas yakni untuk memperkirakan
klaim yang terjadi di hari mendatang. Sebagai contoh adalah asuransi kepemilikan
rumah. Nah, pihak tertanggung ingin agar jika terjadi kehilangan maka pihak asuransi
akan menanggungnya dengan cara membayar klaim dari mereka. Nah, biasanya uang
tersebut jauh lebih besar ketimbang biaya premi mereka. Namun, bagi tertanggung
yang tidak mengajukan klaim, jika dirata-ratakan total premi yang diberikan oleh
tertanggung ke pihak asuransi akan lebih besar ketimbang total klaim yang harus
dibayarkan oleh pihak asuransi.
b. Nah, dari situ pihak asuransi memiliki keuntungan dan bisa diinvestasi. Uang yang
diterima sebagai premi oleh pihak asuransi hingga mereka harus membayar klaim
disebut sebagai 'uang float'. Si penanggung atau pihak asuransi bisa mendapatkan
keuntungan dan kerugian dan suku bunga dan perubahan float.
c. Nah, begitu pun, asuransi memiliki manfaat bagi mereka yang menggunakannya.
Mungkin untuk sebuah komunitas yang bersedia membangun kembali sesuatu yang
hilang yang dialami oleh anggotanya maka asuransi tidak diperlukan karena akan ada
yang membantunya jika suatu peristiwa tidak diinginkan terjadi. Namun, masyarakat
sekarang lebih memilih untuk 'sendiri-sendiri' maka dari itu untuk memperkecil risiko
ketika peristiwa yang tidak diinginkan yang terjadi diperlukan yang namanya
asuransi.
4. Hubungan Pasal 1774 BW dan pasal 246 KUHD
Berdasarkan definisi tersebut di atas maka asuransi merupakan suatu bentuk perjanjian
dimana harus dipenuhi syarat sebagaimana dalam Pasal 1320 BW, namun dengan
karakteristik bahwa asuransi adalah persetujuan yang bersifat untung-untungan sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1774 KUH Perdata.
Menurut Pasal 1774 KUH Perdata, “Suatu persetujuan untung–untungan (kansovereenkomst) adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi
semua pihak maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum
tentu”.
Beberapa hal penting mengenai asuransi:
1. Merupakan suatu perjanjian yang harus memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata;
2. Merupakan perjanjian timbal balik antara pihak penanggung dengan pihak
tertanggung;
3. Perjanjian tersebut bersifat adhesif artinya isi perjanjian tersebut sudah ditentukan
oleh Perusahaan Asuransi (kontrak standar). Namun demikian, hal ini tidak sejalan
dengan ketentuan dalam Undang-undang No.8 tahun 1999 tertanggal 20 April 1999
tentang Perlindungan Konsumen;
4. Terdapat 2 (dua) pihak di dalamnya yaitu Penanggung dan Tertanggung, namun dapat
juga diperjanjikan bahwa Tertanggung berbeda pihak dengan yang akan menerima
tanggungan;
5. Adanya premi sebagai yang merupakan bukti bahwa Tertanggung setuju untuk
diadakan perjanjian asuransi;
6. Adanya manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan atau didasarkan pada hasil
pengelolaan dana;
7. Adanya perjanjian asuransi mengakibatkan kedua belah pihak terikat untuk
melaksanakan kewajibannya (asas pacta sun servanda).
5. Tujuan Asuransi
1. Bagi Pihak Tertanggung
a. Pengalihan risiko
Pengalihan risiko dari tetanggung kepada penanggung dengan adanya kontra
prestasi yang disebut premi. Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan
mengalihkan risiko yang mengancam harta kekayaan atau jiwanya.
b. Pembayaran Ganti Kerugian
Jika suatu ketika sungguh–sungguh terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian
(risiko berubah menjadi kerugian), maka kepada tertanggung akan dibayarkan ganti
kerugian yang besarnya seimbang dengan jumlah asuransinya. Dalam prakteknya
kerugian yang timbul itu dapat bersifat sebagian (partial loss), tidak semuanya berupa
kerugian total (total loss). Dengan demikian, tertanggung mengadakan asuransi
bertujuan untuk memperoleh pembayaran ganti kerugian yang diderita.
Dalam pembayaran ganti kerugian oleh perusahaan asuransi berlaku prinsip subrogasi
(diatur dalam pasal 1400 BW) dimana penggantian hak si berpiutang atau Tertanggung
oleh seorang pihak ketiga (penanggung / pihak asuransi) – yang membayar kepada si
berpiutang (nilai klaim asuransi) – terjadi baik karena persetujuan maupun karena
undang-undang.
c. Pembayaran Santunan
Asuransi kerugian dan asuransi jiwa yang mewajibkan tertanggung yang
membayar konstribusi tersebut adalah mereka yang terikat pada hubungan hukum
tertentu, sehingga ketika terjadi musibah kecelakaan dalam pekerjaannya, maka ahli
warisnya akan diberi santunan.
d. Kesejahteraan anggota
Hal tersebut apabila Perusahaan Asuransi merupakan suatu perkumpulan dan
anggota perkumpulan tersebut membayar sejumlah uang kepada perkumpulan dan
apabila ada peristiwa yang menyebabkan kerugian atau kematian tertanggung, maka
perkumpulan tersebut akan memberikan ganti kerugian dari uang yang dibayarkan
tersebut.
e. Mengurangi kerugian yang dialami dan menghindari kerugian yang lebih luas.
2. Pihak Perusahaan Asuransi
a. Memberikan dorongan ke arah perkembangan perekonomian yang lebih maju.
b. Menghilangkan keragu-raguan bagi usahawan dalam menjalankan usaha atau pekerjaan.
c. Menjamin penanaman modal para investor.
d. Memperoleh hasil berupa premi atas imbalan jasa yang diberikan.
6. Manfaat Asuransi
Riegel dan Miller dalam Insurance Principles and Practices, asuransi
merupakan instrumen hukum yang penting di dunia modern karena memili faedah
sebagai berikut :
1. Memberikan keamanan bagi masyarakat dan perusahaan-perusahaan. Karena barangbarang yang ada dapat tergantikan apabila mengalami kerugian yang menimpanya
atau sebuah keluarga yang terjamin secara ekonomis setelah kematian seseorang
(misalnya kepala keluarga).
2. Efesiensi perusahaan dapat dipertahankan karena dengan jalan pertanggungan risiko
dapat dikurangi.
3. Penarikan biaya akan dilakukan seadil mungkin.
4. Asuransi merupakan dasar pemberian kredit.
5. Asuransi merupakan alat penabung dan sumber pendapatan12
.
7. Berlakunya Asuransi
Hak dan kewajiban penanggung dan tertanggung timbul pada saat ditutupnya asuransi
walaupun polis belum diterbitkan. Penutupan asuransi dalam prakteknya dibuktikan dengan
disetujuinya aplikasi atau ditandatanganinya kontrak sementara (cover note) dan dibayarnya
premi. Selanjutnya sesuai ketentuan perundangan-undangan yang berlaku, penanggung atau
perusahaan asuransi wajib menerbitkan polis asuransi (Pasal 255 KUHD).
8. Fungsi Asuransi
Adapun fungsi asuransi ada 3 yaitu :
1. Fungsi utama asuransi antara lain :
a. Pemindahan resiko (risk transfer).
b. Pengumpulan dana (common pool).
c. Premi yang seimbang (equitable premium).
2. Fungsi sekunder asuransi antara lain :
a. Merangsang pertumbuhan usaha.
b. Keamanan, sehingga tertanggung bisa berkonsentrasi pada usahanya.
c. Pencegahan kerugian (loss prevention) dengan mengidentifikasi resiko potensial.
d. Manfaat sosial yaitu dengan mempercepat pemulihan perekonomian dan mencegah
kemiskinan.
e. Tabungan (investasi), misalnya untuk asuransi jiwa : ada unit link, dana pensiun,
tabungan berasuransi yang ditawarkan perbankan.
3. Fungsi tambahan asuransi antara lain :
a. Sebagai sumber dana masyarakat yaitu perusahaan asuransi menginvestasikan
premi yang terkumpul melalui instrumen keuangan.
b. Invisible earnings yaitu pendapatan bagi perusahaan asuransi dari komisi
reasuransi.
9. Pengaturan Hukum Asuransi
Kodifikasi Hukum Perdata (Code Civil) dan Hukum Dagang (Code de Commerce)
pada permulaan abad 19 semasa pemerinthaan kaisar Napoleon di Perancis. Pada waktu itu
hanya asuransi lain yang terdapat dalam Hukum Dagang, hingga diundangkannya rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Datang (Wet Boek van Koophandel Tahun 1838 yang memuat
peraturan-peraturan mengenai asuransi kebakaran, ausransi hasil bumi, dan asuransi jiwa.
Sistem inilah yang juga dianut untuk Hindia Belanda dan sekarang masih berlaku di
Indonesia13
.
Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1249/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan
Tata Cara Pelaksanaaan Usaha di Bidang Asuransi Kerugian dan KMK RI No.
1250/KMK.013/1988 Tentang Usaha Asuransi Jiwa. UU no 2 Tahun 1992 Tentang
Perasuransian yang diikuti dengan Pelaksanaan Bisnis Asuransi yaitu PP Nomor 73 Tahun
1992, yang dengan ini menghapus Keppres No. 40 Tahun 1988 Tentang Usaha di bidang
Asuransi Kerugian, yang nantinya juga akan digantikan oleh PP No. 63 Tahun 1999, yang
juga akan digantikan oleh PP No. 39 Tahun 2008. Sedangkan UU no 2 Tahun 1992
digantikan oleh UU no 40 Tahun 2014 dan diikuti dengan Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 40 Tahun 2014 di Bidang Asuransi Kerugian.
A. Syarat-syarat Sah Asuransi
Asuransi merupakan salah satu jenis perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD.
Akan tetapi, tentu saja, perjanjian asuransi tidak boleh terlepas dari syarat sahnya perjanjian
yang diatur di dalam Pasal 1320 BW. Menurut ketentuan Pasal 1320 BW, terdapat 4 syarat
sahnya Perjanjian, yaitu :
1. Kesepakatan (Consensus)
Tertanggung dan penanggung sepakat mengadakan perjanjian asuransi. Kesepakatan
tersebut pada pokonya meliputi :
a. Obyek Asuransi;
b. Pengalihan resiko dan Pembayaran Premi;
c. Evenemen dan ganti kerugian;
d. Syarat-syarat khusus asuransi.
Kesepakatan menjadi dasar berlakunya Perjanjian Asuransi. Sehingga Berlakunya Perjanjian
Asuransi bukan pada saat penandatangan polis atau pada saat penyerahan polis. Keberlakuan
Perjanjian Asuransi adalah pada saat Kesepakatan, hal ini sebagaimana tercantum di dalam
Pasal 257 KUHD, yaitu Perjanjian Pertanggungan ada seketika setelah hal itu diadakan; hak
mulai saat itu, malahan sebelum Polis ditandatangani dan kewajiban kedua belah pihak dari
penanggung dan tertanggung berjalan akan tetapi tentu saja untuk hal tersebut harus ada
pembayaran premi terlebih dahulu dari Tertanggung kepada Penanggung, sebab berdasarkan
Pasal 246 KUHD, tidak dianggap telah terjadi Perjanjian Pengalihan Resiko atau Perjanjian
Asuransi tanpa adanya pembayaran Premi. Hal tersebut pula yang membawa kewajiban bagi
tertanggung untuk segera menandatangani dan menyerahkannya kepada Tertanggung, dalam
batas wakru maksimal 24 jam, apabila tidak ditentukan dalam jangka waktu lebih panjang
oleh ketentuan undang-undang (Pasal 259 KUHD). Perkecualian tersebut adalah apabila
Perjanjian Asuransi tersebut dilakukan secara tidak langsung atau dengan melalui perantara,
maka batas waktunya adalah 8 hari setelah melakukan perjanjian (Pasal 260 KUHD). Akan
tetapi apabila terjadi permasalahan, maka untuk pembuktian telah terjadi asuransi adalah
tetapi dengan adanya pembuatan bukti tertulis (Pasal 258 KUHD), akan tetapi karena Pasal
259 KUHD hanya mencantumkan adanya bukti tertulis, sehingga apabila diperbolehkan
untuk alat bukti lainnya yang dibuat secara tertulis.
2. Kecakapan atau Kewenangan (Authority)
Kecakapan dalam perjanjian asuransi dapat dinyatakan dengan dengan kewenangan
atau wewenang dari kedua belah pihak, baik itu dari pihak Penanggung ataupun dari pihak
Tertanggung.
Kewenangan tersebut ada yang bersifat subyektif dan ada yang bersifta obyektif, tentu
saja dalam hal ini kewenangan yang bersifat subyektif adalah terkait dengan kedewasaan. Di
mana tentu saja usia dari para pihak harus cakap hukum, di mana kecakapan ini diatur di
dalam Undang-Undang no 1 tahun 1974 dan UU notaris, yaitu 18 tahun, sehat ingatan, tidak
dibawah perwalian atau pemegang kuasa yang sah. Syarat obyektif, adalah terkait dengan
kewenangan para pihak dalam mewakili suatu perusahaan (hal ini apabila Penanggung dan
Tertanggung berbentuk Perseroan Terbatas), selain itu adalah adanya hubungan kepentingan
antara Tertanggung dengan obyek asuransi, apabila Tertanggung tidak memiliki hubungan
kepentingan dengan obyek, maka penanggung tidak wajib memberikan ganti kerugian (Pasal
250 KUHD). Hal tersebut dimaksudkan untuk mencegah Tertanggung mencari keuntungan
memperkaya diri dari pemberian ganti kerugian obyek asuransi yang bukan haknya.
Pasal 264 KUHD mengatur bahwa Perjanjian Asuransi dapat pula dilakukan dengan beban
pihak ketiga, baik berdasarkan amanat umum atau khusus, maupun di luar pengetahuan yang
berkepentingan sekalipun, apabila pertanggungan tersebut diadakan tidak dinyatakan di
dalam polisnya, maka pertanggungan tersebut dianggap dilakukan untuk dirinya sendiri
(Pasal 267 KUHD). Pertanggungan untuk pihak ketiga harus dengan tegas dinyatakan di
dalam polisnya, apakah hal tersebut karena pemberian amanat atau diluar sepengetahuan
yang berkepentingan, sebab Perjanjian asuransi tanpa adanya pemberian amanat adalah batal
(Pasal 265 KUHD dan Pasal 266 KUHD).
3. Obyek Tertentu (Fixed Obyek)
Obyek asuransi dapat dikatakan sebuat harta kekayaan yang memiliki nilai ekonomi,
sehingga dapat dihargai dengan sejumlah uang. Obyek asuransi ini memiliki hak subyektif
yang tidak berwujud, hak subyektif ini disebut dengan kepentingan. Artinya kepentingan
akan selalui mengikuti dimana obyek asuransi itu berada. Pasal 268 KUHD memberikan
pengertian mengenai kepentingan, yaitu :
a. Dapat dinilai dengan uang;
b. Dapat terancam bahaya;
c. Tidak dikecualikan oleh Undang-Undang
Hal tersebut dengan maksud bahwa kepentingan tersebut memberi suatu ukuran akan adanya
ganti kerugian berupa sejumlah uang. Sedangkan Pasal 1. 25 UU no 40 tahun 2014
menyatakan bahwa obyek asuransi adalah jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab
hukum, benda dan jasa,serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan
atau berkurang nilainya.
Terkait dengan obyek asuransi tersebut terdapat satu prinsip yang dianut, yaitu adanya
sutau pemberitahuan yang jelas megenai obyek oleh Tertanggung, hal ini terkait dengan
adanya perlindungan hukum bagi Penanggung dari ketidakjujuran Tertanggung.
4. Kausal yang Halal / diperbolehkan (Legal Cause)
Kausa yang halal atau diperbolehkan maksudnya adalah isi perjanjian asuransi itu
tidak dilarang oleh Undang-Undang, tidak bertentangan dengan dengan ketertiban umum, dan
tidak bertentangan dengan kesusilaan. Dapat diartikan pula dengan obyek yang dilarang
untuk diperdagangkan, tidak adanya kepentingan, tidak adanya pembayaran premi guna
mengalihkan resiko.
Tentu saja untuk syarat sahnya perjanjian, apabila syarat pertama dan kedua yang merupakan
syarat subyektif dilanggar, maka akibat hukumnya adalah dapat dibatalkan dan apabila syarat
ketiga dan syarat keempat yang dilanggar, maka akibat hukumnya adalah batal demi
hukum14
.
B. Polis
Pasal 255 KUHD, Pertanggungan harus dilakukan secara tertulis dengan akta, yang
diberi nama Polis. Sedangkan isi Polis diatur dalam Pasal 256 KUHD, yaitu :
1. hari pengadaan pertanggungan itu;
Terkait apabila terdapat pertanggungan rangkap, maka hari yang tercantum di dalam
polis dapat menentukan Penanggung yang wajib memberikan ganti kerugian. Terkait
dengan Pasal 277 KUHD, Pasal 278 KUHD, Pasal 279 KUHD.
2. Nama tertanggung untuk diri sendiri atau pihak ketiga;
Terkait dengan ketentuan Pasal 264 KUHD, Pasal 265 KUHD, Pasal 266 KUHD dan
Pasal 267 KUHD, dimana apabila asuransi dinyatakan untuk pihak ketiga, maka harus
dinyatakan di dalam Polis, apabila tidak, maka dianggap untuk siapa polis tersebut
ditandatangani. Sedangkan apabila untuk pihak ketiga, maka harus ada pemberian
amanat dan harus dengan sepengetahuan dari pemberi amanat.
3. Uraian tentang obyek asuransi;
Terkait dengan adanya kewajiban untuk memberitahukan dengan jelas oleh
Tertanggung akan untuk memberitahukan tentang obyek serta apakah ada
kepentingan pada obyek dengan Tertanggung yang dapat dinilai dengan uang (Pasal
250 KUHD, Pasal 251 KUHD, Pasal 268 KUHD).
4. Jumlah yang diasuransikan;
Terkait dengan Pasal 273 KUHD untuk dinyatakan dalam polis atau tidak, yang mana
untuk pembuktiannya dapat dibuktikan oleh semua alat bukti, dan Pasal 274 KUHD,
dimana hakim dapat menguraikan dasar nilai, Pasal 275 KUHD akan tetapi apabila
ahli yang melakukan taksiran, maka Penanggung tidak dapat membantahnya.
Berdasarkan taksiran nilai tersebut, dapat ditentukan apakah jumlah yang diasuransi
itu:
a. di bawah nilai benda; atau
b. sama dengan nilai benda; atau
c. di atas nilai benda.
5. Bahaya (evenemen) yang ditanggung;
Pasal 247 KUHD mengatur eveneman apa saja yang dapat dipertanggungkan, akan
tetapi evenemen tersebut harus tertulis dalam polis dengan tegas, baik terkait dengan
klausula dan batas tanggung jawab penanggung.
6. Saat Bahaya mulai berjalan dan berakhir;
Tercantum hari, tanggal dan waktu, tahun, dengan tegas di dalam polis.
7. Premi Asuransi
Bagian terpenting, sebab apabila tidak, maka dianggap tidak pernah ada
pertanggungan.
8. Keadaan atau syarat-syarat khusus.
Apabila dibebani Hak Tanggungan, Hipotik, Fidusia, siapa Tertanggungnya, terjadi
asuransi rangkap, insolvabilitas, serta peristwiwa-peristiwa khusus lainnya.
Untuk mengetahui perlindungan yang diberikan oleh suatu polis asuransi, perlu diperhatikan
tujuh aspek penutupannya, yaitu:
1. Bencana yang ditutup;
2. Yang ditutup;
3. Kerugian yang ditutup;
4. Orang-orang yang ditutup;
5. Lokasi-lokasi yang ditutup;
6. Jangka waktu yang ditutup;
7. Bahaya-bahaya yang dikecualikan.
Polis bisa disimpulkan sebagai berikut :
a. Perjanjian asuransi harus dilakukan dengan membuat suatu akta yang dinamakan
polis;
b. Polis bukan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya (bestaanvoorwaarde)
perjanjian asuransi;
c. Polis berfungsi sebagai alat bukti yang menerangkan telah terjadinya perjanjian
asuransi.
d. Pasal 19 ayat (1) Pearturan Pemerintah Nomor 73 tahun 1992 tentang
penyelenggaraan usaha perasuransian menyatakan bahwa : polis atau bentuk
perjanjian asuransi dengan nama apapun, berikut lampiran yang merupakan kesatuan
dengannya, tidak boleh mengandung kata atau kalimat yang dapat menimbulkan
penafsiran yang berbeda mengenai resiko yang ditutup asuransinya, kewajiban
penanggung dan kewajiban tertanggung atau mempersulit tertanggung mengurus hak
nya;
e. Pasal 8 Keputusan menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang
penyelenggaraan usaha asuransi dan perusahaan reasuransi menyatakan bahwa : polis
asuransi harus memuat sekurang-kurangnya ketentuan mengenai :
1. Saat berlakunya pertanggungan;
2. Uraian manfaat yang diperjanjikan;
3. Cara pembayaran premi;
4. Tenggang waktu (grace period) pembayaran premi;
5. Kurs yang digunakan untuk polis asuransi dengan mata uang asing apabila
pembayaran premi dan manfaat dikaitkan dengan mata uag rupiah;
6. Waktu yang diakui sebagai saat diterimanya pembayaran premi;
7. Kebijakan perusahaan yang ditetapkan apabila pembayaran premi dilakukan
melewati tenggang waktu yang disepakati;
8. Periode dimana pihak perusahaan tidak dapat meninjau ulang keabsahan
kontrak asuransi (inscontestable period);
9. Tabel nilai tunai, bagi polis asuransi jiwa yang mengandung nilai tunai;
10. Perhitungan deviden polis atau yang sejenis, bagi polis asuransi jiwa yang
menjanjikan deviden polis atau yang sejenis;
11. Penghentian pertanggungan, baik dari pihak penanggung maupun dari pihak
pemegang polis, termasuk syarat dan penyebabnya;
12. Syarat dan tatacara pengajuan klaim, termasuk bukti pendukung yang
diperlukan dalam pengajuan klaim;
13. Pemilihan tempat penyelesaian perselisihan;
14. Bahasa yang dijadikan acuan dalam hal terjadi sengketa atau beda pendapat,
untuk polis asuransi yang dicetak dalam dua bahasa atau lebih.
f. Pasal 9 Kepmen No.422/KMK.06/2003 menyatakan bahwa : polis asuransi harus
dicetak dengan jelas sehingga dapat dibaca dengan mudah dan dimengerti baik
langsung maupun tidak langsung oleh pemegang polis dan atau tertanggung.
g. Pasal 10 Kepmen No.422/KMK.06/2003 menyatakan bahwa :
(1). Setiap polis asuransi yang diterbitkan dan dipasarkan di wilayah hukum indonesia
harus dibuat dalam bahasa Indonesia.
(2). Dalam hal diperlukan, polis asuransi dapat dibuat dalam bahasa asing
berdampingan dengan bahasa Indonesia.
C. Klausula Polis
1. Klasula All Risk
Penanggung akan memikul segala risiko atas benda yang diasuransikan. Kecuali
kerugian tersebut akibat kesalahan Tertanggung sendiri atau cacat dari obyek
perjanjian tersebut (Pasal 276 KUHD dan Pasal 249 KUHD).
2. Klausula Premier Risque
Pasal 253 ayat 3 KUHD menyatakan bahwa pihak yang berjanji bebas
untuk mempersyaratkan dengan tegas, bahwa tanpa mengingat kelebihan nilai barang
yang dipertanggungkan, kerugian yang yang diderita akan diganti hingga jumlah yang
dipertanggungkan.
3. Klausula sudah diketahui (All Seen)
Klausula ini menyatakan bahwa Penanggung sudah mengetahui keadaan
obyek asuransi. Sehingga menghilangkan dugaan bahwa Tertanggung memiliki itikad
yang tidak baik. (Pasal 251 KUHD).
4. Klausula Renunsiasi (renunsiasi)
Renunsiasi artinya pelepasan hak. Hal ini berarti menghilangkan hak gugat
Penanggung berdasarkan Pasal 251 KUHD. Akan tetapi apabila Pengadilan
memutuskan Penanggung tidak akan melakukan pembayaran, maka Penanggung tetap
tidak akan melakukan pembayaran terhadap Tertanggung, meskipun telah terdapat
Klausula Renunsiasi.
5. Klausula Free From Particular Average (FPA)
Klausula untuk membebaskan Penanggung membayar ganti kerugian di laut. Jadi,
Penanggung hanya membayar ganti kerugian terhadap suatu peristiwa yang tidak
termasuk di dalam klausula Free From Particular Average (FPA) seperti yang
ditentukan pada Pasal 709 KUHD.
6. Klausula Total Loss Only (TLO)
Klausula ini menentukan bahwa penanggung hanya menanggung kerugian yang
merupakan kerugian keseluruhan/total atas benda yang diasuransikan.
7. Klausula Riot, Strike & Civil Commotion (RSCC)
Riot (kerusuhan) adalah tindakan suatu kelompok orang, minimal sebanyak 12
orang, yang dalam melaksanakan suatu tujuan bersama menimbulkan suasana
gangguan ketertiban umum dengan kegaduhan dan menggunakan kekerasan serta
pengrusakan harta benda orang lain, yang belum dianggap sebagai huru-hara.
Strike (pemogokan) adalah tindakan pengrusakan yang disengaja oleh sekelompok
pekerja, minimal 12 orang pekerja atau separuh dari jumlah pekerja (dalam hal jumlah
seluruh pekerja kurang dari 24 orang),yang menolak bekerja sebagaimana biasanya
dalam usaha untuk memaksa majikan memenuhi tuntutan dari pekerja atau dalam
melakukan protes terhadap peraturan atau persyaratan kerja yang diberlakukan oleh
majikan.
Civil Commotion (huru-hara) adalah keadaan di suatu kota dimana sejumlah besar
massa secara bersama-sama atau dalam kelompok-kelompok kecil menimbulkan
suasana gangguan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan kegaduhan dan
menggunakan kekerasan serta rentetan pengrusakan sejumlah besar harta benda,
sedemikian rupa sehingga timbul ketakutan umum, yang ditandai dengan terhentinya
lebih dari separuh kegiatan normal pusat perdagangan/pertokoan atau perkantoran
atau sekolah atau transportasi umum di kota tersebut selama minimal 24 jam secara
terus menerus yang dimulai sebelum, selama atau setelah kejadian tersebut.
8. Banker’s Clause atau Klausula Bank
adalah suatu klausula yang tercantum dalam Polis yang hanya dicantumkan atas
permintaan pihak Bank dimana dalam polis secara tegas dinyatakan bahwa Pihak Bank adalah sebagai penerima ganti rugi atas peristiwa yang terjadi atas obyek
pertanggungan sebagaimana disebutkan dalam perjanjian asuransi (polis).
Klausula ini muncul sebagai akibat adanya hubungan hutang piutang antara Debitur
dan Kreditur dimana obyek pertanggungan adalah menjadi jaminan Bank; sehingga
klausula ini bukan merupakan standard yang pada umumnya tercantum dalam Polis15
.
D. Eksonerasi Penanggung
Eksonerasi artinya pembatasan tanggung jawab dari Penanggung. Pasal 249 mengatur 3
jenis pembatasan tanggung jawab Penanggung, yaitu :
a. Cacat sendiri (selfdefect)
Kerugian timbul karena cacat sendiri (selfdefect) pada benda asuransi. Cacat
sendiri adalah cacat yang tidak dapat disangkal melekat pada benda yang
seharusnya tidak boleh ada. Jadi, berasal dari benda itu sendiri, bukan berasal dari
luar.
b. Kebusukan sendiri (selfrot)
Kerugian timbul karena kebusukan sendiri (selfrot) pada benda asuransi, jadi dari
dalam benda itu sendiri yang timbul akibat pengaruh dari luar.
c. Sifat Kodrat (natural character)
Sifat yang langsung menimbulkan kerugian yang berasal dari benda itu sendiri.
d. Kesalahan Tertanggung
Terdapat dalam Pasal 276 KUHD, dimana kesalahan tersebut akibat Tertanggung
lalai, ataupun kurang hati-hati, maka Penanggung tidak memiliki kewajiban untuk
memberikan ganti kerugian, bahkan masih tetap memegang premi.
e. Pemberatan Risiko
Hal tersebut tidak diatur di dalam KUHD, sehingga aturan yang ada hanyalah
ketika Tertanggung tidak memberitahukannya kepada Penanggung (Pasal 251
KUHD). Akan tetapi dalam Asuransi Kebakaran dan Asuransi Laut, hal tersebut
diatur:
Dalam Asuransi Kebakaran diatur di dalam Pasal 293 KUHD :
a. Perubahan tujuan penggunaan setelah asuransi berjalan;
b. Perubahan tujuan penggunaan itu mengakibatkan ancaman bahaya kebakaran
diperbesar;
c. Penanggung tidak akan mengadakan pertanggungan apabila dia mengetahui.
Sedangkan pada asuransi laut diatur pada Pasal 638 KUHD:
a. Asuransi badan kapal;
b. Asuransi biaya pengangkutan;
c. Asuransi barang muatan.
E. Ganti Kerugian
Pasal 253 ayat 1 KUHD mengatur bahwa asuransi yang melebihi nilai benda
atau kepentingan yang sesungguhnya hanya sampai pada nilai benda tersebut saja.
Sedangkan ayat 2 mengatur bahwa apabila suatu benda tidak diasuransikan dengan
nilai penuh, maka bila timbul kerugian, maka penanggung hanya diwajibkan
membayar ganti kerugian menurut perbandingan yang diasuransikan dan yang tidak
diasuransikan, meskipun hal tersebut dapat disimpangi dengan adanya klausula
Premier Risque, yaitu akan diganti sampai jumlah penuh pertanggungan.
Pengajuan klaim berarti adanya tuntutan dari Tertanggung kepada penanggung
sesuai dengan perjanjian yang tertulis pada polis. Adapun langkah-langkah yang harus
dilakukan Tertanggung adalah :
1. Segera melaporkan kepada Perusahaan asuransi paling lambat 72 jam setelah
terjadinya musibah
2. Melengkapi dokumen sebagai berikut:
a. Mengisi formulir kerugian yang disediakan Perusahaan asuransi;
b. Mengambil / meminta berita acara dari kepolisian (jika diperlukan) atau instansi
terkait tentang terjadinya musibah tersebut;
c. Menyiapkan Polis asli dan kwitansi-kwitansi premi asli;
d. Mengajukan surat rincian tentang jumlah kerugian yang dituntut;
e. Menyiapkan atau melengkapi dokumen pendukung lainnya sekiranya diperlukan
untuk menguatkan tuntutan, misalnya: copy kapasitas muat barang, kwitansi-
kwitansi biaya-biaya yang telah dikeluarkan dll yang diperlukan.
Dalam hal ini Perusahaan Asuransi akan memberitahukan tentang besarnya ganti
kerugian yang akan diterima setelah Perusahaan Asuransi meninjau lokasi kejadian
untuk memperkirakan besarnya kerugian , selanjutnya pembayaran ganti kerugian
akan diberikan sesuai yang telah disepakati.
F. Premi Asuransi
Pasal 1. 29 UU no 40 Tahun 2014 menyatakan Premi adalah sejumlah uang yang
ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan reasuransi dan disetujui oleh
Pemegang Polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian Asuransi atau perjanjian
reasuransi atau sejumlah uang yang dibayarkan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mendasari program asuransi wajib untuk memperoleh
manfaat.
Pasal 246 KUHD menyatakan bahwa asuransi atau pertanggungan adalah
perjanjian, dimana penanggung mengikat diri terhadap tertanggung dengan
memperoleh premi, untuk memberikan ganti rugi karena suatu kehilangan
kerusakan, atau tidak mendapat keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan
diderita akibat suatu peristiwa tidak pasti.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa premi asuransi
merupakan syarat mutlak untuk menentukan perjanjian asuransi di laksanakan atau
tidak. Kriteria premi asuransi adalah sebagai berikut :
a. dalam bentuk sejumlah uang;
b. dibayar terlebih dahulu oleh tertanggung;
c. sebagai imbalan pengalihan risiko;
d. dihitung berdasarkan presentase terhadap nilai risiko yang dialihkan.
Dalam praktek bisanya Penanggung sudah menentukan syarat umum pembayaran
polis.
Pasal tersebut menyatakan bahwa suatu perjanjian, dapat dikatakan merupakan
perjanjian pertanggungan apabila salah satu pihak telah melakukan pembayaran
premi. Adapun tata cara penetapan Premi adalah :
Premi biasanya ditetapkan perseratus jumlah tertentu dari jumlah uang yang
dijamin, didasarkan pula statistik masa lalu oleh perusahaan Asuransi.Masing-masing
asuransi memiliki cara/tabel besaran premi yang harus dibayar yang berbeda
tergantung karakteristik/sifat perusahaan Asuransi. Pertimbangan besar kecilnya
premi berdasarkan Buku Tarip yang dibuat oleh Dewan Asuransi Indonesia, untuk
menetapkan besarannya diperlukan survey atau peninjauan lokasi. Jika dari data
statistik didapat kesimpulan bahwa pada suatu wilayah satu rumah diasuransikan
seharga Rp 1. 000.000,- jika kemudian terjadi kebakaran rumah itu habis maka pihak
asuransi harus membayar Rp.1000.000,- kepada pihak tertanggung. Jika pada wilayah
itu setiap tahunnya dari 1000 rumah ada satu rumah yang terbakar, maka premi untuk
satu tahun ditetapkan Rp 1.000.000,- dibagi 1000 rumah diwilayah itu menjadi Rp
1.000,- dan ditambah biaya-biaya administrasi antara lain biaya polis, biaya materai
dan biaya kuitansi.
Contoh menghitung besarnya premi16
:
Tuan S memiliki sebuah rumah seharga Rp 300.000.000,- diasuransikan kepada
perusahaan Asuransi PT AS sebagai berikut :
Harga Pertanggungan : Rp. 300.000.000,-
Jangka Waktu Pertanggungan : 10 Agustus 2000 – 10 Agustus 2001 (1 tahun)
Tarip Premi : 0,19% pertahun
Biaya Polis : Rp. 10.000,-
Bea Materai Polis : Rp. 6.000,-
Bea Materai kuitansi : Rp. 3.000,-
Tentukan berapa besar premi dan biaya yang harus dibayar Tuan S kepada Perusahaan
Asuransi PT AS?
Premi 0,19% x Rp. 300.000.000,- = Rp. 570.000,-
Biaya Polis = Rp. 10.000,-
Bea Materai Polis = Rp. 6.000,-
Bea Materai Kuitansi = Rp. 3.000,-
Jumlah = Rp. 589.000,-
Contoh 2 :
Tuan AD memiliki sebuah minibus Toyota seharga Rp. 150.000.000,- mengadakan
kesepakatan pertanggungan dengan Perusahaan Asuransi PT. BA dengan data sebagai
berikut :
Harga Pertanggungan = Rp. 150.000.000,-
Jangka Waktu Pertanggungan = 1 Juli 1998 – 1 Juli 1999 (1 tahun)
Tarip Premi = 0,1% pertahun
Biaya Polis = Rp. 10.000,-
Bea Materai Polis = Rp. 6.000,-
Bea Materai Kwitansi = Rp. 3.000,-
Tentukan berapa besar premi dan biaya yang harus dibayar Tuan S kepada Perusahaan
Asuransi PT AS?
Jawab :
Premi 0,1% x Rp. 150.000.000,- = Rp. 150.000,-
Biaya Polis = Rp. 10.000,-
Bea Materai Polis = Rp. 6.000,-
Bea Materai Kwitansi = Rp. 3.000,-
Jumlah = Rp. 169.000,-
Contoh :
Menghitung besarnya premi Perusahaan Asuransi Blife Education Masa pembayaran premi
tergantung usia anak saat masuk asuransi Terdapat 12 (dua belas) kategori masa pembayaran
premi yang sesuai dengan usia :
Tabel 1.1.
Usia Anak Masa Pembayaran Premi
0 s/d 1 tahun 17 tahun
diatas 1 s/d 2 tahun 16 tahun
diatas 2 s/d 3 tahun 15 tahun
diatas 3 s/d 4 tahun 14 tahun
diatas 4 s/d 5 tahun 13 tahun
diatas 5 s/d 6 tahun 12 tahun
diatas 6 s/d 7 tahun 11 tahun
diatas 7 s/d 8 tahun 10 tahun
diatas 8 s/d 9 tahun 9 tahun
diatas 9 s/d 10 tahun 8 tahun
diatas 10 s/d 11 tahun 7 tahun
diatas 11 s/d 12 tahun 6 tahun
Contoh Tabel Pertanggungan Asuransi Anak Sekolah pada Asuransi Jasindo
Risiko Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV
Meninggal Dunia Rp. 3.000.000,- Rp. 2.000.000,- Rp. 1.000.000,- Rp. 500.000,-
Cacat Tetap (max) Rp. 6.000.000,- Rp. 4.000.000,- Rp. 2.000.000,- Rp. 1.000.000,-
Perawatan
Pengobatan :
a. Premi 1 tahun
biasa
b. Premi 1 tahun /
24 jam
Rp. 4.000,-
Rp. 6.750,-
Rp. 2.500,-
Rp. 4.250,-
Rp. 1.250,-
Rp. 2.500,-
Rp. 600,-
Rp. 1.000,-
Pasal 281 KUHD menyatakan bahwa apabila Perjanjian Pertanggungan untuk
seluruhnya atau sebagian batal, asalkan telah bertindak dengan itikad baik, Penanggung harus
mengembalikan seluruhnya atau sebagian , apabila belum terjadi peristiwa tidak pasti. Hal
tersebut yang dinamakan Premi Restorno.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa perjanjian asuransi mempunyai sifat :
a. Perjanjian asuransi dilihat dari bentuknya adalah perjanjian konsensual;
b. Sifat konsensualnya terlihat dari Pasal 257 KUHD : perjanjian pertanggungan
diterbitkan seketika setelah ia ditutup, hak-hak dan kewajiban-kewajiban bertimbal
balik dari penanggung dan tertanggung mulai berlaku semenjak saat itu, bahkan
sebelum polis ditandatangani.
c. Pasal 257 KUHD tersebut merupakan penerobosan terhadap Pasal 255 KUHD yang
mensyaratkan bahwa perjanjian asuransi harus dibuat dalam suatu akta yang
dinamakan polis.
G. Batalnya Asuransi
Suatu pertanggungan atau asuransi karena pada hakekatnya adalah merupakan suatu
perjanjian maka ia dapat pula diancam dengan resiko batal atau dapat dibatalkan apabila tidak
memenuhi syarat syahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH
Perdata.
Selain itu KUHD mengatur tentang ancaman batal apabila dalam perjanjian asuransi:
1. Memuat keterangan yang keliru atau tidak benar atau bila tertanggung tidak
memberitahukan hal-hal yang diketahuinya sehingga apabila hal itu disampaikan
kepada penanggung akan berakibat tidak ditutupnya perjanjian asuransi tersebut
(Pasal 251 KUHD);
2. Memuat suatu kerugian yang sudah ada sebelum perjanjian asuransi ditandatangani
(Pasal 269 KUHD);
3. memuat ketentuan bahwa tertanggung dengan pemberitahuan melalui pengadilan
membebaskan si penanggung dari segala kewajibannya yang akan datang (Pasal 272
KUHD);
4. Terdapat suatu akalan cerdik, penipuan, atau kecurangan si tertanggung (Pasal 282
KUHD);
5. Apabila obyek pertanggungan menurut peraturan perundang-undangan tidak boleh
diperdagangkan dan atas sebuah kapal baik kapal Indonesia atau kapal asing yang
digunakan untuk mengangkut obyek pertanggungan menurut peraturan perundangundangan tidak boleh diperdagangkan (Pasal 599 KUHD).
H. Berakhirnya Asuransi
1. Jangka Waktu Berlaku sudah habis;
Asuransi biasanya ditentukan jangka waktu berlakunya.
2. Perjalanan berakhir;
Terkait apabila berupa asuransi pengangkutan atau yang terkait dengan perjalanan.
3. Terjadi Evenemen diikuti klaim;
Terjadi evenemen sebagaimana yang dicantumkan di dalam polis dan Penanggung akan
melakukan pembayaran ganti kerugian.
4. Asuransi Berhenti atau Dibatalkan;
Asuransi berhenti karena kesepakatan para pihak, atau karena terpenuhinya syarat batal
dan dibatalkan.
5. Asuransi Gugur
Biasanya dalam Asuransi Pengangkutan, sebab tidak terjadi pengangkutan.
I. SANKSI
Terhadap pelanggaran ketentuan yang dilakukan Penanggung dan Tetanggung dapat
dikenakan sanksi berupa:
1. Sanksi Administratif, (berlaku hanya untuk perusahaan perasuransian, bukan pada
tertanggung); dan
2. Sanksi Pidana.
1. Sanksi Administratif
Setiap Perusahaan Perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah No.73 tahun 1992 tertanggal 30 Oktober 1992 tentang Penyelenggaraan
Usaha Perasuransian (“PP No.73/1992”) serta peraturan pelaksanaannya yang
berkenaan dengan:
1. Perizinan usaha;
2. Kesehatan keuangan;
3. Penyelenggaraan usaha;
4. Penyampaian laporan;
5. Pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi atau tentang pemeriksaan langsung;
dikenakan sanksi peringatan, sanksi pembatasan kegiatan usaha dan sanksi pencabutan
izin usaha (Pasal 37 PP No.73/1992).
Tanpa mengurangi ketentuan Pasal 37, maka terhadap:
1. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak menyampaikan laporan
keuangan tahunan dan laporan operasional tahunan dan atau tidak mengumumkan
neraca dan perhitungan laba rugi, sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan,
dikenakan denda administratif Rp. 1.000.000.00 (satu juta Rupiah) untuk setiap hari
keterlambatan;
2. Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi yang tidak
menyampaikan laporan operasional tahunan sesuai dengan jangka waktu yang
ditetapkan dikenakan denda administratif Rp. 500.000 (lima ratus ribu Rupiah) untuk
setiap hari keterlambatan (Pasal 38 PP No.73/1992).
2. Sanksi Pidana
Sanksi pidana dikenakan pada kejahatan perasuransian yang diatur dalam Pasal 21 UU
Asuransi, berikut ini:
a. Terhadap pelaku utama
Orang yang menjalankan atu menyuruh menjalankan usaha perasuransian tanpa izin
usaha, menggelapkan premi asuransi, menggelapkan dengan cara mengalihkan,
menjaminkan, dan atau mengagunkan tanpa hak kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian
atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.500.000.000
(dua milyar lima ratus juta Rupiah).
b. Terhadap pelaku pembantu
Orang yang menerima, menadah, membeli, atau mengagunkan atau menjal kembali
kekayaan perusahaan hasil penggelapan dengan cara tersebut yang diketahuinya atau
patut diketahuinya bahwa barang–barang tersebut adalah kekayaan Perusahaan Asuransi
Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi, dianjam dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000
(lima ratus juta Rupiah).
c. Terhadap pemalsu dokumen
Orang yang secara sendiri–sendiri atau bersama–sama melakukan pemalsuan atas
dokumen Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan
Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak
Rp. 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta Rupiah).
A. Pengertian Resiko
Resiko diartikan sebagai berikut 17
:
a. ketidakpastian suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian ekonomis atau keadaan
yang memburuk,
b. ketidakpastian suatu peristiwa dalam waktu tertentu mengakibatkan kegagalan dalam
mencapai target yang sudah direncanakan,
c. jika resiko menimpa aset maka nilai ekonomis aset tersebut akan berkurang bahkan
hilang/lenyap.
Karakteristik resiko
Karakteristik resiko terdapat beberapa macam antara lain :
1. pure risk (resiko murni), yaitu akibat suatu peristiwa hanya sekali yaitu kerugian
finansial,
2. speculative risk (resiko spekulatif), yaitu akibat suatu peristiwaterdapat dua hal
kerugian dan keuntungan.
Tidak semua resiko dapat diasuransikan, hanya resiko murni yang bisa diasuransikan.
Resiko spekulatif tidak dapat diasuransikan.
3. dinamis risk (resiko dinamis) merupakan resiko yang terdapat dalam bisnis yaitu
antara lain ulah manusia (keamanan, kesehatan, lingkungan kerja), ulah tehnologi
(gagal membuat produk), ulah manajerial (perubahan selera konsumen), ulah ekonomi
(inflasi), ulah politik (terorisme).
4. Staties risk (resiko statis) merupakan juga resiko yang terdapat dalam bidang bisnis
yaitu terdapat beberapa sebab : manusia (sakit, cedera, perampokan), tehnis (alat
rusak), hukum (tanggung jawab produk) dan lingkungan (gempa bumi, banjir, gunung
meletus, sunami, air laut pasang).
Resiko dapat diasuransikan apabila :
1. Kapan terjadinya tidak dapat dipastikan sebelumnya,
2. Jika terjadi, pasti menimbulkan kerugian yang bisa dinilai dengan uang (Pasal 268
KUHD),
3. Terjadinya tiba-tiba,
4. Tanpa direncanakan,
5. Terdapat upaya untuk mengindari/melakukan pencegahan,
6. Dapat dilihat secara fisik,
7. Bisa juga tidak terlihat yaitu hilangnya keuntungan yang diharapkan sebagai dampak
dari terjadinya kejadian.
8. Memenuhi hukum bilangan besar.
B. Evenemen
Evenemen berasal dari kata Belanda, yaitu evenement, yang berarti peristiwa tidak pasti,
sedangkan bahasa inggrisnya adalah fortuitous event. Evenemen tidak dapat dipastikan dan
diharapkan terjadinya. Pasal 251 KUHD menyatakan bahwa evenemen adalah peristiwa yang
menurut pengalaman manusia normal tidak dapat dipastikan terjadi, atau walaupun sudah
pasti terjadi, saat seandainya itu tidak dapat ditentukan dan juga tidak diharapkan akan
terjadi, jika terjadi akan mengakibatkan kerugian. Dalam hal ini unsur-unsur evenemen
adalah :
a. Peristiwa yang terjadi itu menimbulkan kerugian;
b. Terjadinya itu tidak diketahui, tidak dapat diprediksi terlebih dahulu;
c. Berasal dari faktor ekonomi, alam dan manusia;
d. Kerugian terhadap diri, kekayaan, dan tanggung jawab seseorang.
Jenis evenemen ditentukan oleh Penanggung dan Tertanggung di dalam Polis dan harus ada
hubungan antara evenemen dan kerugian yang dialami oleh Tertanggung (Teori Kausalitas)
serta adanya keseimbangan antara ganti kerugian dengan pembayaran premi.
C. Asas Subrogasi
Pasal 284 KUHD menyatakan bahwa Penanggung yang telah membayar ganti rugi atas benda
yang diasuransikan menggantikan Tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap
pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian tersebut, dan Tertanggung bertanggung jawab
untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak Penanggung terhadap pihak ketiga itu.
Penggantian tersebut harus memenuhi 2 syarat :
a. Tertanggung mempunyai hak terhadap Penanggung dan terhadap Pihak ketiga;
b. Adanya hak tersebut karena timbul kerugian akibat perbuatan pihak ketiga.
Sehingga apabila Tertanggung telah mendapatkan penggantian dari pihak ketiga, maka
Tertanggung tidak diperbolehkan mendapatkan penggantian dari Penanggung dan sebaliknya.
Asas ini dirumuskan di dalam Polis. Adapun tujuan asas ini adalah :
a. Mencegah tertanggung memperoleh ganti kerugian melebih hak sesungguhnya;
b. Mencegah pihak ketiga membebaskan diri dari kewajiban untuk membayar ganti kerugian.
A. Asuransi Rangkap
Pasal 252 KUHD menyatakan bahwa kecuali dalam hal yang diuraikan oleh ketentuan
undang-undang, tidak boleh diadakan pertanggungan untuk waktu yang sama dan untuk
bahaya yang sama atas barang-barang yang telah dipertanggungkan untuk nilainya secara
penuh, dengan ancaman kebatalan terhadap pertanggungan kedua.
Pasal tersebut menyatakan bahwa untuk pertanggungan yang nilainya
dipertanggungkan secara penuh tidak boleh diadakan pertanggungan yang kedua kali, sebab
apabila hal itu terjadi, maka pertanggungan yang kedua batal. Sebab pertanggungan yang
kedua inilah yang disebut dengan “double insurance”. Hal tersebut dikarenakan mencegah
Tertanggung untuk mendapatkan ganti kerugian melebihi nilai benda sesungguhnya karena
melanggar asas idemnitas.
Apabila terdapat dua pertanggungan untuk obyek asuransi yang sama, maka berlaku
Pasal 277 KUHD, yaitu pertanggungan yang kedua akan batal, kecuali apabila pada
pertanggungan pertama tidak ditanggung secara penuh, maka pertanggungan kedua hanya
akan menanggung selebihnya saja. Sedangkan untuk pembuktiannya dilakukan oleh
Tertanggung dapat hal kedua Penanggung tidak mengakui siapa Penanggung kedua.
Sedangkan Tertanggung tidak akan mendapatkan pengembalian premi, dikarenakan bahwa
perjanjian rangkap telah dilarang oleh Pasal 252 KUHD, sehingga ada indikasi bahwa
Tertanggung tidak beritikad baik, sehingga tidak sesuai dengan Pasal 281 KUHD, dan
Penanggung kedua tidak perlu mengembalikan premi.
Pasal 278 KUHD mengatur mengenai dalam satu pertanggungan dengan obyek yang
sama, maka akan ada lebih dari Penanggung, hal tersebut dinyatakan di dalam satu Polis.
Para Penanggung tersebut bekerja secara tanggung renteng dengan perimbangan yang juga
telah ditentukan di dalam Polis.
Pasal 279 KUHD melarang Tertanggung membebaskan Penanggung pada asuransi
yang terjadi terlebih dahulu, kemudian membebankan kewajiban kepada Penanggung
berikutnya. Jika Tertanggung melakukan hal yang berikutnya, maka dia dianggap
menggantikan kedudukan Penanggung dan jika terdapat Penanggung baru, maka Penanggung
baru tersebut menggantika Penanggung yang sebelumnya. Pasal 280 KUHD merupakan pertanggungan rangkap yang tidak dilarang oleh aturan
perundang-undangan. Hal tersebut dikarenakan asuransi ini tidak termasuk sebagai asuransi
rangkap, itu dikarenakan di dalam polis, telah diperjanjikan secara tegas, Penanggung kedua
hanya akan melakukan pembayaran hanya apabila Penanggung terdahulu tidak dapat
melaksanakan pembayaran ganti kerugian. Asuransi yang demikian disebut dengan Asuransi
Solvabilitas. Pada asuransi solvabilitas, kepentingannya adalah kemampuan membayar
Penanggung terdahulu, sedangkan pada Penanggung terdahulu kepentingannya adalah hak
milik jangan sampai lenyap atau berkurang. Tujuannya adalah untuk menjaga kemungkinan
Penanggung tidak dapat melakukan pembayaran ganti kerugian apabila terjadi evenemen.
B. Reasuransi (Asuransi Ulang)
Jasa Pertanggungan Ulang diatur dalam UU no 40 Tahun 2014, yaitu:
1. Usaha Reasuransi adalah usaha jasa pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi
oleh perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan reasuransi lainnya
(Pasal 1.7 UU no 40 Tahun 2014).
2. Usaha Reasuransi Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan Prinsip Syariah
atas risiko yang dihadapi oleh perusahan asuransi syariah, perusahan penjaminan
syariah, atau perusahaan reasuransi syariah lainnya (Pasal 1.10. UU no. 40 Tahun
2014).
Sedangkan di dalam KUHD, Reasuransi diatur di dalam Pasal 271 KUHD, yaitu Penanggung
selalu dapat mempertanggungkan lagi segala hal yang telah dipertanggungkan olehnya. Hal
tersebut memiliki arti bahwa Perusahaan Reasuransi adalah Penanggung dari Perusahaan
Asuransi, sedangkan obyek pertanggungannya adalah kepentingan Perusahaan Asuransi
dalam melakukan Perjanjian Pertanggungan dengan Tertanggung, sehingga tidak termasuk
dalam Asuransi Rangkap.
Meskipun demikian Reasuransi tidak sama dengan Asuransi Solvabilitas, yaitu :
a. Asuransi Solvabilitas yang mengasuransikan adalah Tertanggung, sedangkan dalam
Reasuransi adalah Penanggung;
b. Dalam Asuransi Solvabilitas kepentingan adalah ketidakmampuan Penanggung terdahulu,
sedangkan dalam Reasuransi adalah tanggungjawab Penanggung.
C. Manfaat Perjanjian Reasuransi :
a. Reasuransi meringankan Beban Penanggung
Reasuransi memungkinkan Penanggung membayar klaim kepada tertanggung dalam hal
terjadi evenemen yang menimbulkan kerugian sedangkan Penanggung khawatir tidak
mampu melakukan pembayaran ganti kerugian.
b. Reasuransi Penyalur dan Penyebar Resiko
Penanggung dapat melakukan perjanjian Reasuransi hanya untuk jumlah sebagian kepada
para Penanggung Ulang (Reasuransi), sehingga Penanggung melakukan penyebaran resiko.
D. Polis Reasuransi
Polisnya diatur dalam Pasal yang sama dengan polis asuransi, hanya saja ada beberapa
perbedaan, yaitu pada pembukaan polis, terdapat klausula pembukaan:
Being reinsurance subject to the same clauses and conditions as the original policy and to
pay as may be paid thereon
Klausula tersebut menunjukkan bahwa kedua polis tersebut bersambung, baik persyaratan
ataupun dalam penggantian kerugian, dalam artian kewajiban Penanggung adalah kewajiban
Penanggung Ulang, demikian pula dengan jumlah pembayaran ganti kerugian.
Pasal 247 KUHD menyebutkan beberapa jenis asuransi, yaitu :
1. Asuransi terhadap bahaya kebakaran, diatur dalam pasal 287 sampai dengan 298
KUHD;
2. Asuransi terhadap bahaya yang mengancam hasil panenan yang belum dipanen diatur
dalam pasal 299 sampai dengan pasal 301 KUHD;
3. Asuransi terhadap segala bahaya laut diatur dalam pasal 592 sampai dengan 685
KUHD;
4. Asuransi terhadap bahaya dalam pengangkutan di darat dan perairan darat diatur
dalam pasal 686 sampai dengan 695 KUHD.
Pasal 247 KUHD tersebut tidak membatasi tumbuhnya macam asuransi-asuransi yang baru,
karena pada pasal tersebut tercantum kata “antara lain”18. Adapun asuransi yang tidak diatur
di dalam KUHD adalah :
1. Asuransi Kendaraan Bermotor;
2. Asuransi Kredit;
3. Asuransi Tanggung Jawab;
4. Asuransi Kecelakaan.
Adapun pengaturan tentang asuransi-asuransi yang tidak diatur itu maka pengaturannya
berdasarkan asuransi umum dan Pasal 1338 BW, yaitu atas dasar kesepakatan dan perjanjian.
A. Pembagian Asuransi
1. Asuransi pada umumnya dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu :
a. Asuransi Kerugian yang terdiri dari :
- Asuransi Kebakaran;
- Asuransi Kendaraan Bermotor;
- Asuransi laut;
- Asuransi Pengangkutan;
- Asuransi Kredit.
b. Asuransi Jiwa yang terdiri dari :
- Asuransi Kecelakaan;
- Asuransi Kesehatan;
- Asuransi Jiwa Kredit.
2. Jenis Asuransi berdasarkan berlakunya :
a. Asuransi yang penutupannya bersifat sukarela, misalnya kebakaran, kecelakaan,
kendaraan bermotor, pengangkutan laut, asuransi jiwa.
b. Asuransi yang penutupannya bersifat wajib, misalnya pertanggungan wajib
kecelakaan lalu lintas, jaminan sosial.
3. Empat bagian pembagian Asuransi :
1. Asuransi jiwa (life insurance), kemampuan untuk mendapat penghasilan setelah
mengalami musibah atau memasuki masa pernsiun. Unsurnya adalah proteksi dan
investasi. Pengelolaan oleh swasta maupun pemerintah. Masa berlakunya kontrak
asuransi ini antara lain :
a. Akta kontrak 0 - 1 tahun untuk asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan;
b. Akta kontrak > 1 tahun untuk asuransi pendidikan, bahkan sampai usia nasabah
mencapai 90 tahun.
Jenis resiko yang ditanggung antara lain : meninggal dunia, sakit, cacat dan
pendapatan tetap setelah pensiun.
2. Asuransi umum (general insurance), kemampuan untuk mendapatkan ganti kerugian
atau penghasilan setelah mendapatkan musibah. Unsurnya hanya proteksi kepentingan
Pengelolaan oleh swasta maupun pemerintah. Masa berlakunya kontrak antara lain,
beberapa jam untuk asuransi uang, beberapa hari/minggu untuk asuransi perjalanan
dan asuransi kargo, sampai 12 bulan atau lebih untuk asuransi kebakaran dan asuransi
kendaraan. Resiko yang ditanggung antara lain : kerugian finansial, akibat sakit,
akibat meninggal.
3. Asuransi Sosial (social insurance) ialah kemampuan untuk mendapatkan penghasilan
setelah mengalami musibah. Unsurnya hanya proteksi kepentingan yang dikelola oleh
pemerintah. Masa berlaku mulai beberapa menit, sampai puluhan tahun. Resiko yang
ditanggung antara lain : meninggal dunia, sakit, cacat, pendapatan tetap setelah
pensiun. Misalnya : asuransi kesehatan, jasa raharja dan BPJS,
4. Asuransi Kesejahteraan Sosial (social security insurance) pengaturan dalam undang-
undang no.11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial. Asuransi ini diperuntukkan
khusus masyarakat tidak mampu.
Perbedaan Asuransi Kerugian dan Asuransi Jiwa
Asuransi Jiwa Asuransi Kerugian
Adanya unsur tabungan dari premi yang
dibayarkan, jika sampai waktu pertanggungan
selesai tidak jadi musibah, maka perusahaan
asuransi tetap membayarkan sejumlah uang
seperti yang tertera dalam perjanjian awal.
Tidak ada unsur tabungan dari premi yang
dibayarkan , jika sampai waktu pertanggungan
selesai tidak jadi musibah, maka Perusahaan
Asuransi tidak memberikan pembayaran
sejumlah uang kepada tertanggung.
Jumlah uang santunan dari perusahaan
Asuransi telah ditetapkan pada awal perjanjian
Jumlah uang santunan dari perusahaan
Asuransi akan ditentukan oleh nilai kerugian
yang diderita setelah musibah terjadi.
Contoh :
a. Asuransi Hari Tua
b. Asuransi Pendidikan
c. Asuransi Kesehatan
Contoh :
a. Asuransi Kebakaran
b. Asuransi pengangkutan
c. Asuransi Kendaraan bermotor
d. Asuransi Kapal
e. Asuransi Aneka
B. Asuransi Kebakaran
Polis asuransi kebakaran harus dibuat dalam polis yang khusus, yang harus memenuhi syaratsyarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 256 dan pasal 287, yaitu syarat yang terkait
dengan obyek. Diantara syarat yang ditentukan dalam pasal 287 adalah sebagai berikut :
1. Letak dan barang tetap yang dipertanggungkan;
Setiap benda harus jelas terletak di mana dan berbatasan dengan apa.
2. Penggunaannya;
Harus jelas dipakai untuk apa, syarat pemakaian dan penggunaanya ini berhubungan
dengan syarat perubahan resiko yang berhubungan dengan Pasal 293 KUHD.
Akibatnya jika terjadi kebakaran yang menimbulkan kerugian, Penanggung tidak
berkewajiban membayar ganti kerugian.
3. Sifat dan penggunaan bangunan-bangunan yang berbatasan, selama hal itu dapat
mempunyai pengaruh terhadap pertanggungannya;
4. Nilai barang yang dipertanggungkan;
Tidak semua barang dapat diketahui harganya, terutama terkait dengan benda yang
memiliki perubahan harga, oleh karena itulah hal tersebut dapat dicantumkan atau
tidak (tidak ada kewajiban)
5. Letak dan batas bangunan dan tempat, dimana barang bergerak yang
dipertanggungkan berada, disimpan atau ditumpuk.
Keterangan yang jelas mengenai benda obyek asuransi kebakaran ada hubungannya dengan
riko terkait dengan jumlah premi yang akan dibayar oleh Tertanggung.
Janji pembangunan kembali atau perbaikan gedung itu maksimum sebesar jumlah asuransi
(Pasal 288 ayat 1 KUHD), Dalam hal penggantian kerugian, harus dihitung perbedaan nilai
gedung sebelum terjadi evenemen dengan nilai gedung sesudah evenemen. Ganti kerugian
tersebut harus dibayar tunai (Pasal 288 ayat 2 KUHD).
Pasal 288 ayat 3 mengatur “dalam hal ada perjanjian pembangunan kembali” penanggung
wajib membangun kembali atau mengawasinya, maka Penanggung memiliki hak untuk
mengawasi pembangunan tersebut kalau perlu ditentukan oleh hakim. Atas permintaan
Penanggung hakim dapat membebani Tertanggung untuk memberi jaminan secukupnya
bilamana ada alasan untuk itu.
Pasal 289 KUHD, asuransi kebakaran dapat diadakan dengan jumlah penuh atas benda yang
diasuransikan. Dalam hal diadakan janji untuk membangun kembali jika terjadi kebakaran,
tertanggung dapat memperjanjikan bahwa biaya-biaya yang diperlukan untuk pembangunan
kembali itu akan diganti oleh Penanggung. Akan tetapi, biaya pembangunan kembali itu tidak
boleh melebihi ¾ (tiga perempat) dari jumlah asuransi.
Terkait dengan evenemen, kerugian dan kerusakan yang menimpa barang yang
dipertanggungkan karena :
a. cuaca yang sangat buruk atau peristiwa lain;
b. apinya sendiri;
c. kelalaian;
d. kesalahan atau kejahatan pelayan, tetangga, musuh, perampok, dan lain-lainnya dengan
nama apapun terjadi kebakaran itu, direncanakan atau tidak direncanakan, biasa atau tidak
biasa, tanpa ada yang dikecualikan (Pasal 290 KUHD);
Selain itu, kerugian yang diakibatkan oleh akibat kebakaran, seperti misalnya barang-barang
yang dipertanggungkan berkurang atau membusuk, karena air atau alat lain yang digunakan
untuk menahan atau memadamkan kebakaran itu, atau hilangnya sesuatu dari barang itu
karena pencurian, atau sebab lain, selama pemadaman kebakaran atau penyelamatannya; juga
kerusakan yang disebabkan oleh penghancuran seluruhnya atau sebagian barang yang
dipertanggungkan, yang terjadi atas perintah pihak atasan untuk menahan menjalarnya
kebakaran yang terjadi (Pasal 291 KUHD).
Demikian pula kerugian yang disebabkan oleh ledakan mesiu, ketel uap, sambaran petir, atau
sebuah lainnya, meskipun meledaknya, pecahnya atau sambaran itu tidak mengakibatkan
kebakaran, disamakan dengan kerugian yang disebabkan oleh kebakaran (Pasal 292 KUHD).
Apabila terdapat perubahan peruntukkan dan menyebabkan perubahan resiko yang
menyebabkan kemungkinan kebakaran lebih besar dan apabila telah ada sebelum
dipertanggungkan sama sekali atau tidak atas dasar syarat yang sama maka berhentilah
kewajibannya (Pasal 293 KUHD).
Penanggung tidak perlu membayar ganti kerugian apabila ia membuktikan bahwa kebakaran
itu disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan
Related Posts:
hukum asuransi 1 Manusia di dalam hidupnya selalu menginginkan semua yang dilakukannya berjalan dengan lancar, baik itu usaha,… Read More