franchise waralaba 6



 ted circuit 

design). 

Sebagai contoh, Anda memiliki sebuah usaha kreatif pem-

buatan tahu dari susu sapi murni. Usaha Anda tergolong unik 

sebab Anda menemukan suatu metode pembuatan tahu dari 

susu sapi murni yang tentunya sangat bergizi. Anda memiliki 

nama usaha dan merek yang Anda cantumkan pada label, 

katakanlah Panir&Co.  

Untuk melindungi Panir&Co dari tindak pemalsuan, plagiar-

isme, dan peniruan lain yang tidak bertanggung jawab, Anda 

harus mendaftarkan kreasi usahan Anda itu. Dalam usaha Anda 

ada unsur-unsur sebagai berikut: (1) Nama usaha atau merek 

dagang; (2) teknik atau metode pengolahan; (3) prosedur 

standar pembuatan tahu susu yang baku; (4) keunikan tahu susu 

Anda, cara pengepakan, dan rasanya. Keempat substansi usaha 

Anda ini adalah aset kekayaan intelektual yang harus Anda 

proteksi. Karena itu, Anda setidaknya harus memiliki empat jenis 

proteksi. Pertama, untuk melindungi nama usaha dan merek 

dagang Anda, Anda harus memiliki hak merek. Dengan hak 

merek, brand, logo, slogan dan unsur-unsur merek Anda 

dilindungi oleh hukum. Jika ada pihak yang menjiplak, Anda 

bisa meminta royalti kepadanya. 

Kemudian, untuk melindungi teknik rahasia dan metode 

pengolahan tahu susu Anda, terdapat dua jenis hak, yakni hak 

paten dan hak cipta desain industri. Hak paten dipakai  untuk 

menyatakan bahwa Andalah pencipta suatu alat, perangkat, 

atau algoritma. Hak paten inilah yang membuat Edison meme-

nangkan paten atas penemuan lisrik AC/DC, sebab Nikola Tesla 

terlambat mempatenkan temuannya. Jadi, jika Anda memiliki 

ciptaan yang unik, segeralah patenkan agar tidak diambil alih 

orang lain. bila  Anda telah memiliki paten atas karya Anda, 

Anda bisa dibayar royalti milyaran rupiah tanpa harus bekerja 

jika kreasi Anda ternyata memiliki prospek luar biasa bagi 

warga . 

Sementara itu, hak cipta desain industri dipakai  untuk 

menyatakan dengan sah bahwa Anda adalah pencipta desain 

tahu susu Anda, baik dari cita rasa, bahan dan sebagainya. Anda 

juga bisa melindungi kerahasiaan resep Anda dengan perlin-

dungan rahasia dagang. 

Di sisi lain, hak cipta bisa Anda gunakan untuk membaku-

kan bentuk tertulis dari prosedur pembuatan tahu susu Anda. 

Jadi, hak cipta terkait dengan bagaimana Anda menulis resep 

itu untuk kali pertamanya. Jadi, jika ada orang yang mengutip 

resep Anda untuk buku atau jurnalnya, secara hukum Anda 

berhak memintainya royalti. 

sesudah  Anda benar-benar yakin bahwa trademark Anda 

telah dilindungi hukum, saatnya berekspansi. Anda bisa mema-

jang logo, mempromosikannya di media sosial dan memajang-

nya di berbagai media tanpa takut dijiplak. Sebuah perusahaan 

waralaba pasti memiliki hak trademark (yang biasa disingkat TM 

dengan lingkaran kecil di sudut setiap merek). Anda bisa 

melihat judul-judul film franchise Holywood yang selalu 

memiliki tanda TM di sudutnya. Ini adalah tanda bahwa mereka 

telah memiliki hak trademark sebagai syarat paling pokok 

sebuah franchise.  

Bidang usaha waralaba sebagai jenis usaha yang berkon-

tribusi dalam peningkatan kesejahteraan warga  tentunya 

mendapat  perlindungan hukum di Indonesia. Tahun 1985, 

saat belum ada pengaturan hukum mengenai waralaba, 

pemerintah berpatokan pada Yurisprudensi MA Nomor 

3051/K/Sip/1981 tentang pemberian lisensi merek. Ini adalah 

cikal bakal perlindungan hak merek di Indonesia. Sebelum 

lahirnya perlindungan hukum yang paling pertama ini, 

perjanjian waralaba di Indonesia masih bisa dikatakan belum 

kuat karena tidak ada payung hukumnya7. 

Singkat cerita, lisensi merek kemudian dikukuhkan kembali 

dalam Undang-Undang Merek Nomor 19/1992 (yang 

diperbaharui dengan Undang-Undang No. 14/1997. Ada pula 

perlindungan desain produk industri dengan dikeluarkannya 

Undang-Undang No. 5/1984 tentang perindustrian, dan 

Undang-Undang No. 6/1982 tentang hak cipta (yang kemudian 

diganti dengan Undang-Undang No. 7/1987. Barulah pada saat 

itu Indonesia memiliki payung hukum yang jelas terkait hak 

cipta dan hak kekayaan intelektual meskipun belum secanggih 

sekarang. 

Peraturan tentang waralaba kala itu hanya diatur dalam 

Peraturan Pemerintah No. 16/1997 tentang waralaba. Meskipun 

kurang rinci, peraturan ini setidaknya memberi perlindungan 

bagi usaha waralaba di Indonesia, sebab waralaba adalah 

segitiga antara perserikatan, merek dan perjanjian. Kemudian, 

peraturan mengenai waralaba kembali diperbaharui dengan 

Peraturan Pemerintah No. 42/2007 tentang waralaba. 

Karena waralaba telah memiliki landasan dan perlindungan 

hukum, baik dari sisi operasional maupun hak atas kekayaan 

intelektual, ini juga berarti bahwa waralaba harus mematuhi 

perundang-undangan yang terkait dengan hak dan kewajiban-

nya, baik secara internal maupun yang bersentuhan dengan hak 

dan kewajiban pihak lain. Terkait dengan ketenagakerjaan, pihak 

penerima waralaba harus mematuhi perundang-undangan ter-

kait ketenagakerjaan sebab pihak penerima waralaba mempe-

kerjakan tenaga kerja. Ada kewajiban kepada pekerja (upah 

minium, jaminan sosial dan kesehatan, serta tunjangan) dan 

kewajiban-kewajiban lain yang harus dipenuhi, termasuk 

kewajiban wajib lapor ketenagakerjaan. 

                                                           

Dalam bidang perpajakan, ada pajak terkait hak merek yang 

ditangung atas penyerahan hak kekayaan intelektual dari 

pemberi waralaba kepada penerima waralaba. Ada pula pajak-

pajak lain seperti pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan 

nilai, serta pajak penghasilan. 

Selain itu, pihak-pihak yang terlibat dalam usaha waralaba 

harus mendaftarkan perusahaannya ke dinas perizinan masing-

masing kabupaten/kota. Ini terkait dengan kepengurusan 

Nomor Induk Berusaha (NIB) yang kini bisa diproses daring 

lewat portal OSS online. Melalui portal ini , penerima 

waralaba akan mendapat  sertifikat NIB dan Izin Usaha (yang 

dulu dikenal dengan SIUP—Surat Izin Usaha Perdagangan). Buat 

Anda yang belum pernah mengurus NIB dan SIUP, pengalaman 

pertama bisa menjadi kenangan tak terlupakan sebab 

persyaratannya memerlukan persiapan yang lumayan panjang. 

Satu peraturan lagi yang mesti ditaati oleh pemberi 

maupun penerima waralaba adalah larangan praktik monopoli 

dan persaingan usaha yang tidak sehat sesuai dengan Undang-

Undang No. 5/1999. Ada pula peraturan yang mesti ditaati 

pelaku usaha warlaba sesuai dengan Undang-Undang No. 

20/2008 tentang UMKM, terutama pasal-pasal yang terkait 

dengan kemitraan. 

Aturan hukum juga sangat diperhatikan bagi waralaba-

waralaba di luar negeri. Nisar8, misalnya, melakukan studi kasus 

pada dua merek waralaba internasional Dunkin Brands dan 

Domino‘s Pizza. Karena hak kekayaan intelektual mereka dipakai 

di negara-negara yang berbeda dengan aturan yang berbeda, 

mereka harus memastikan bahwa sekuritas hukum terhadap hak 

kekayaan intelektual mereka tetap kuat walaupun melintasi 

batas-batas negara. Suatu waralaba harus memiliki modal untuk 

tumbuh dan menjaga hubungan antara franchisor dan franch-

                                                           

isee, sehingga pihak franchisor harus berusaha meningkatkan 

keuangan dengan cara pemanfaatan aset-aset yang tidak 

berwujud (intangible assets). Di antara semua aset ini , hak 

kekayaan intelektual adalah yang paling signifikan. Sebuah 

perusahaan waralaba bisa menarik royalti pemakaian hak 

kekayaan intelektualnya walaupun melintasi batasan negara. 

Dengan cara demikian, pemberi waralaba bisa mengembangkan 

bisnisnya secara lebih baik. 

Mempertimbangkan usaha waralaba yang semakin meng-

akar dalam warga  Indonesia milenial, Kementerian 

Perdagangan kembali menerbitkan Peraturan Menteri Perda-

gangan Nomor 71 Tahun 2019 tentang waralaba. Peraturan 

menteri ini menjadi tonggak hukum teranyar tentang waralaba 

yang merevisi empat permendag sebelumnya. Yang menarik 

dari peraturan menteri ini adalah banyaknya aksesibilitas yang 

dibuka oleh pemerintah. Sebagai contoh, di sana tidak ada 

aturan mengenai jumlah threshold atau batasan maksimum 

gerai waralaba, TKDN9 dan master franchise threshold bagi 

pemberi waralaba asing. 

Terbitnya peraturan kementerian ini membuat para pelaku 

usaha kecil menengah menjadi waswas. Tak hanya itu, peda-

gang tradisional pun bakal kena imbas. Namun pemerintah 

meyakinkan bahwa walaupun tidak ada batasan threshold dalam 

jumlah gerai, masih ada kekuatan hukum berupa peraturan 

daerah yang memberi batasan jumlah gerai sesuai dengan 

zonasi yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 

2007. 

Peraturan kementerian perdagangan ini sebenarnya mem-

buka peluang bagi penanam modal dalam negeri untuk 

mengembangkan usaha dalam bentuk waralaba. Meskipun me-

                                                          

rek usahanya adalah merek luar negeri, tetap saja yang menja-

lankan usaha waralaba adalah orang Indonesia. Ini berbeda 

dengan sistem cabang, di mana keuntungan sepenuhnya masuk 

ke headquarters. 

Kisah Go-Jek sang ‘Hantu’ Hukum 

Dari dalam negeri, ada kasus menarik terkait ranah hukum 

yang memayungi praktik bisnis waralaba. Yang masih menjadi 

topik tren adalah tentang payung hukum yang mengatur Go-

Jek. Walaupun telah beroperasi beberapa tahun dan bahkan 

membuka cabang di negara-negara tetangga, Go-Jek ternyata 

tidak punya payung hukum yang mengatur aktivitasnya10. 

Bahkan, transportasi ojek konvensional pun tidak punya 

hukum yang mengatur. Dalam Undang-Undang Nomor 22 

Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, ojek tidak 

memiliki legalitas. Sementara itu, dalam Permenhub Nomor PM 

108 Tahun 2017, ojek juga tidak memiliki tata aturan 

operasional walaupun ojek tergolong dalam jenis transportasi 

paratransit, atau angkutan orang dengan kendaraan bermotor 

tidak dalam trayek. Permenhub ini  juga tidak menye-

butkan sepeda motor sebagai angkutan orang dengan kenda-

raan bermotor umum tidak dalam trayek. Yang tergolong moda 

transpotasi jenis ini adalah ―angkutan yang dilayani dengan 

mobil penumpang umum atau mobil bus umum dalam wilayah 

perkotaan dan/atau kawasan tertentu atau dari suatu tempat ke 

tempat lain, mempunyai asal dari suatu tempat ke tempat lain, 

mempunyai asal dan tujuan tetapi tidak mempunyai lintasan 

dan waktu tetap.‖ Dengan demikian, jelas ojek (yang memakai 

sepeda motor) bukan termasuk angkutan orang dengan 

kendaraan bermotor tidak dalam trayek. Karena itu, ojek sepeda 

motor sebenarnya masih belum memiliki legalitas secara hukum 

                                                           

untuk beroperasi resmi sebagai angkutan orang, namun hanya 

kendaraan bermotor umum. 

Di sisi lain, kini ojek daring tidak hanya berfungsi mengan-

tarkan orang, namun juga barang dan makanan. Otomatis, ojek 

daring menimbulkan kasus baru lagi,—bahwa ia bukan hanya 

angkutan orang, namun juga barang. Ia melayani jasa pengan-

taran barang dan orang, namun tidak memiliki aset berupa 

sepeda motor layaknya perusahaan taksi konvensional berplat 

kuning atau perusahaan jasa kurir barang. Dengan kata lain, ia 

melayani jasa transportasi, namun tidak memiliki alat trans-

portasi. Nyatanya, ia adalah sebuah program aplikasi berbasis 

platform transportasi, yang menghubungkan calon pengguna 

jasa dan alat transportasinya. Karena itu, jadilah ojek daring 

(semacam Go-Jek dan sejenisnya) sesosok ‗hantu‘ hukum yang 

sakti, layaknya sosok yang bisa berubah-ubah wujud sehingga 

tidak ada payung hukum pasti dan tepat yang bisa mengatur 

ruang pergerakannya.  

Keberadaan ‗hantu‘ hukum yang sakti ini adalah salah satu 

efek dari digitalisasi. Tatkala suatu usaha beralih ke modus 

digital, terutama platform, Anda bisa menjadi penjual sayur 

tanpa perlu menanam sayur. Anda bisa jadi penjual barang-

barang bekas tanpa harus membuka toko. Anda menjadi 

maya,—nyatatapi seolah-olah tidak nyata. Ada namun tiada. 

Inilah permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh para 

perumus aturan hukum di era milenial ini. 

Kekosongan aturan hukum ini membuat Go-Jek bagaikan 

hantu hukum yang nyaris tidak bisa ‗dirantai‘ oleh produk 

hukum mana pun saat ini, sebab Go-Jek adalah ‗makhluk baru‘ 

berbasis platform yang lahir di ranah digital. Jadi, Go-Jek adalah 

subyek hukum (termasuk pula wajib pajak) yang hidup di 

tataran dimensi aktivitas yang lebih tinggi sehingga aturan 

hukum yang dimensinya sesuai harus dirancang untuk dapat 

mengatur ruang geraknya. 

Yang menjadi sumber kekhawatiran berbagai pihak adalah 

karena belum ada undang-undang yang spesifik mengatur 

tentang definisi, jenis usaha dan aturan operasional ojek daring, 

maka ojek daring kemungkinan besar melakukan kesewenang-

wenangan kepada pihak-pihak yang terkait dengannya. Sebagai 

contoh, Go-Jek adalah sebuah perusahaan yang menjalin kerja 

sama mitra,—yang bisa digolongkan sebagai waralaba antara 

sebuah badan usaha dengan individu sebab adanya 

pembayaran royalti dan pemakaian  hak kekayaan intelektual. 

Namun yang terjadi adalah, tatkala seseorang berminat 

menjalin kerja sama dengan menjadi driver Go-Jek, Go-Jek 

hanya memberikan pilihan setuju dan tidak setuju dalam 

pernyataan perjanjian elektronik dalam aplikasinya. Secara 

hukum, ini berpotensi memunculkan apa yang dikenal sebagai 

ketidakseimbangan perjanjian kemitraan,

Seharusnya, dalam sebuah perjanjian kemitraan, ada diskusi 

antara pemberi dan penerima waralaba, sehingga terjalin suatu 

kesepakatan kedua belah pihak. Sementara itu dalam kasus Go-

Jek, penerima waralaba seolah hanya diberikan pilihan ‗setuju‘ 

dan ‗tidak setuju‘. Dengan kata lain, Go-Jek-lah yang menen-

tukan semua kesepakatan. 

Karena tidak adanya payung hukum yang kuat untuk 

mengatur operasional Go-Jek, dan karena tidak adanya perjan-

jian yang seimbang antara kedua belah pihak, maka pihak Go-

Jek bisa saja sewenang-wenang menaik-turunkan harga, 

mengambil persentase keuntungan dan mencabut izin driving 

tanpa pemberitahuan. Ini tentu merugikan pihak penerima 

lisensi aplikasi Go-Jek. Karena itulah terjadi demo driver Go-Jek 

besar-besaran beberapa waktu silam untuk menuntut penga-

turan dari pemerintah. Kini, tarif ojek daring telah diatur oleh 

pemerintah, dan syukurlah situasi kembali kondusif. 

                                                           

Meskipun secara legalitas ojek daring belum mendapat  

payung hukum yang kuat dan tegas, secara sosial ekonomi ojek 

daring sangat membantu warga . warga  yang 

mendambakan sistem transportasi yang bisa mudah diakses, 

pengiriman barang dalam kota yang cepat dan murah, atau 

pengiriman makanan siap saji pasti memilih ojek daring.  

Masalah selanjutnya diuraikan dalam Mawanda & Muhshi 

(2019): 

 

“Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak 

Dalam Trayek adalah angkutan yang dilayanidengan mobil 

penumpang umum atau mobil bus umum dalam wilayah 

perkotaandan/atau kawasan tertentu atau dari suatu tempat 

ke tempat lain, mempunyai asal dari suatu tempat ke tempat 

lain, mempunyai asal dan tujuan tetapi tidak mempunyai 

lintasan dan waktu tetap.” Sehingga ojek dengan 

memakai  sepeda motor bukan merupakan angkutan 

orang dengan kendaraan bermotor tidak dalam trayek. Dalam 

UUNo. 22 Tahun 2009 dan Permenhub No. PM 108 Tahun 

2017 tidak menyebutkanlarangan beroperasinya ojek sepeda 

motor. bila  dilihat dari segi regulasi, ojek sepeda motor 

tidak mempunyai legalitas untuk beroperasi sebagai 

angkutan orang, tetapi hanya diakui sebagai kendaraan 

bermotor umum.12” 

 

Selain itu, Undang-Undang Ketenagakerjaan pun tidak bisa 

menjerat ojek daring karena hubungan antara driver dengan 

perusahaan ojek daring bukan sebagai pekerja (employee), 

namun mitra yang memakai  hak kekayaan intelektual 

dengan imbalan berupa royalti. Yang unik adalah, dalam 

AD/ART Go-Jek sendiri, pihaknya dengan jelas menyebutkan 

bahwa Go-Jek bukan perusahaan transportasi, namun sebuah 

perusahaan teknologi aplikasi mobile yang praktiknya adalah 

menghubungkan pihak pemilik alat transportasi dengan mereka 

yang membutuhkan jasa transportasi. Jadi, Go-Jek juga tidak 

bisa diatur oleh Undang-Undang LLAJ. Pintar, bukan? 

                                                           

Undang-Undang Waralaba pun tidak bisa menjerat Go-Jek 

sebab Go-Jek tidak memiliki perjanjian kemitraan antara kedua 

belah pihak. Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, 

perjanjian itu hanya berupa terms and conditions yang diberi 

opsi ‗setuju‘ dan ‗tidak setuju‘. Ini yang membuat Go-Jek 

berbeda dengan waralaba pada umumnya, sehingga Undang-

Undang Waralaba tidak bisa menentukan sanksi kepada pihak-

pihak Go-Jek dan mitranya sebagai entitas waralaba. 

Satu lagi yang menjadi pekerjaan rumah bagi para ahli 

hukum di Indonesia adalah terkait dengan perjanjian kemitraan. 

Dalam hukum di Indonesia, belum ada pengertian yang tepat 

mengenai perjanjian kemitraan13, terutama yang terkait dengan 

perjanjian ‗instan‘ dengan opsi let‘s agree to disagree ala 

milenial. Selama ini, perjanjian kemitraan yang tidak diatur 

secara spesifik termasuk ke dalam perjanjian tak bernama14 atas 

landasan kebebasan berkontrak. Mengenai definisi selanjutnya, 

belum ada peraturan yang memuatnya secara spesifik dan 

komplet.  

Karena itu, untuk menjaga hubungan yang baik antara 

pihak penyedia aplikasi ojek daring dan mitra-mitranya, peme-

rintah memberlakukan peraturan preventif dan represif. Peratur-

an preventif tertuang dalam Permenhub Nomor 12/2019 

tentang keselamatan dan keamanan pengemudi dan pengusaha 

aplikasi. Di sisi lain, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 

348 Tahun 2019 menyebutkan tentang tarif jasa pemakaian  

sepeda motor berbasis aplikasi. Kedua peraturan ini untuk 

sementara dapat meredam berbagai ketimpangan yang terjadi 

terkait ojek daring. 

Secara represif (perlindungan hukum akhir sesudah  pelang-

garan atau sengketa terjadi) masih terkendala. Menurut 

peraturan yang ada, tindakan hukum terhadap pelanggaran 

                                                           

akan diproses di pengadilan negeri, namun ini terkait dengan 

domisili. bila  ini diterapkan, maka Go-Jek dan perusahaan 

ojek daring lainnya harus memiliki kantor di setiap 

kabupaten/kota agar perkara bisa diselesaikan di pengadilan 

negeri masing-masing kabupaten/kota. Sementara ini, kantor 

pusat Go-Jek berada di Jakarta Selatan. Jika perkara terjadi di 

Bali, maka pihak mitra harus pergi ke Jakarta Selatan untuk 

memproses kasusnya. Tentu ini akan sangat memberatkan. 

Demikian sekilas tentang case hukum untuk perusahaan 

ojek aplikasi di Indonesia. Kasus unik ini memberi kita gambaran 

bahwa sudah saatnya mata hukum di-upgrade sehingga mampu 

melihat dan mengatur akivitas di ranah digital. Peraturan hukum 

yang kompleks dan highly adaptive diperlukan untuk mengatur 

aktivitas digital, sebab dalam dunia digital, segala sesuatu bisa 

berubah-ubah kapan dan di mana saja. 

Waralaba dan Pasar Tradisional 

Membahas mengenai rival, sinergi dan elemen-elemen 

penting dalam waralaba di era digital, kita tidak bisa lepas dari 

pasar tradisional. Pasar tradisional bukan sebuah rival bagi 

waralaba, namun kenyataannya waralabalah yang dianggap 

menjadi rival bagi pasar-pasar tradisional15. Di Medan, contoh-

nya, keberadaan toko waralaba ritel mematikan pasar tradisi-

onal karena lokasinya yang tidak diatur oleh perda. Di beberapa 

desa pakraman di Bali, waralaba ritel dilarang mendirikan gerai 

di wilayah adat karena berpotensi mematikan pedagang di 

pasar tradisional dan para pelaku usaha kecil-menengah. 

Jika dilihat dari sisi konsumen, kehadiran waralaba ritel 

memang memudahkan akses barang kebutuhan sehari-hari. 

Lagipula, kondisi pertokoan ritel memang lebih bersih dan 

                                                           

tertata daripada pasar-pasar tradisional yang pada umumnya 

kotor, rawan pencopetan dan seringkali tidak higienis. Selain itu, 

tidak bisa dimungkiri bahwa gaya hidup berlatar esteem-

economy lagi-lagi mempengaruhi pola pikir warga  dalam 

berbelanja. Menurut perspektif esteem economy, berbelanja kini 

identik dengan barkode, QR code, kartu-kartu, dan kasir 

modern. Sementara itu, pasar tradisional tidak menyediakan 

semua itu. Secara esteem, pamornya memang kalah. Namun 

demikian, dalam sub-bab ini ada satu hal unik mengenai pasar 

tradisional yang akan mengubah paradigma berbelanja dalam 

atmosfer esteem ini. 

Ada beberapa peraturan hukum yang mengatur kebera-

daan pasar tradisional di Indonesia. Pasar tradisional adalah 

salah satu kekayaan budaya Indonesia yang mencerminkan 

adanya interaksi sosial secara langsung melalui kegiatan tawar-

menawar dan pertukaran barang dan/atau jasa. Karena itu, 

pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah menerbit-

kan Permendag Nomor 53 Tahun 2008 mengenai pedoman 

penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan 

dan toko modern. Pedoman ini dijadikan rujukan bagi peme-

rintah provinsi dan kabupaten untuk mengatur perkembangan 

pusat-pusat perbelanjaan modern, ritel waralaba dan pasar 

tradisional agar perputaran modal tetap berjalan lancar dan 

tidak ada monopoli. Selain itu, ada pula Peraturan Menteri 

Perdagangan Nomor 56/M-DAG/PER/9/2014 dan Peraturan 

Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2012 yang mengatur 

tentang pasar tradisional.  

 

Gambar 4.6 | Ada banyak jenis produk khas yang hanya bisa ditemukan di 

pasar tradisional di Bali. Ini membuat keberadaan pasar tradisional di Bali 

masih vital untuk mendukung pemenuhan kebutuhan harian warga .  

 

 

Fakta membuktikan bahwa pasar modern di Indonesia 

tumbuh sebesar lebih dari 30% per tahun sementara pasar 

tradisional menyusut 8% per tahun16. Padahal, pasar tradisional 

adalah salah satu ikon perekonomian Indonesia. Tidak hanya 

pedagang dan pembeli yang berperan dalam pasar tradisional, 

namun juga petani, pelaku usaha keuangan desa (seperti LPD,—

Lembaga Perkreditan Desa yang dikelola desa pakraman di 

Bali), buruh angkut, dan sebagainya.  

Permasalahan-permasalahan yang kerap terjadi di pasar 

tradisional ternyata pernah terjadi di Jepang tatkala toko-toko 

modern mulai masuk pada era Restorasi Meiji. Jepang kala itu 

membuka hubungan luar negeri, dan banyak jenis usaha inter-

nasional masuk ke negeri itu. Pasar tradisional berganti menjadi 

                                                           

toko-toko yang lebih modern, dan terjadi ketimpangan dalam 

perputaran modal. Ini menyebabkan para pedagang kecil mati 

kutu. Kemudian, Jepang mengandalkan kreativitas. Pasar tradisi-

onal disulap menjadi pasar yang bernuansa modern namun 

tetap mengedepankan ciri kebudayaan tradisional Jepang. Ada 

label-label harga dalam setiap kios, dan orang-orang boleh 

membayar dengan kartu kredit. Di pasar-pasar tradisional, 

pembayaran untuk semua kios dilakukan di sistem pembayaran 

satu pintu, sehingga kesan berbelanja di kios-kios pasar 

tradisional Jepang sangat berbeda dengan stereotip pasar 

tradisional pada umumnya. 

Inilah yang kemudian diadaptasi oleh pemerintah Provinsi 

Bali di tahun 2018. sesudah  kebakaran hebat yang melanda 

Pasar Badung beberapa tahun silam, pemerintah Provinsi Bali 

kembali membangun Kompleks Pasar Badung dengan nuansa 

tradisional-milenial. Kini, para pedagang di kios-kios Pasar 

Badung bisa menerima pembayaran daring dengan hanya 

memindai (men-scan) kode QR di masing-masing kios. Tak 

hanya itu, Pasar Badung dilengkapi dengan 18 titik wifi gratis, 

lahan parkir bawah tanah yang luas, pemandangan sungai yang 

sejuk, serta berbagai macam lapak panganan khas Bali maupun 

daerah-daerah lain. Kini, berkat inovasi teknologi dari pemerin-

tah dan pihak-pihak terkait, Pasar Badung menjadi destinasi 

wisata belanja favorit di kota Denpasar dan menjadi ikon pasar 

tradisional paling keren di Bali,—bahkan di Indonesia. 

Jika seandainya Pasar Badung tidak disulap menjadi pasar 

tradisional ber-wifi dan bergaya swalayan, keberadaan pasar 

tradisional di Bali masih sangat vital bagi kehidupan warga  

Bali. Dengan kata lain, pasar tradisional sebagai simpul pere-

konomian warga  Bali masih berada dalam tahap sehat dan 

masih menjadi andalan dalam perputaran modal dan peme-

nuhan kebutuhan sehari-hari warga ,

Ada beberapa kelebihan yang menyebabkan pasar tradisi-

onal di Bali masih hidup dan tetap berjaya mengarungi arus 

zaman. Kelebihan pertama, yang tidak dimiliki oleh pasar 

tradisional di daerah lain, adalah sistem pasar sebagai bagian 

integral dari sebuah desa adat. Desa adat, atau yang kini po-

puler dengan istilah desa pakraman, pada umumnya harus 

memiliki sebuah pasar tradisional yang terletak dekat dengan 

catuspata, atau perempatan utama desa. Keberadaan pasar 

tradisional dalam pakem adat Bali menjadi salah satu bagian tri 

hita karana yang menjurus pada hubungan manusia dengan 

sesamanya. Karena itu, sebuah desa adat memiliki tanggung 

jawab memelihara keberadaan pasar tradisionalnya sebagai 

simpul perekonomian warga desa. Secara religi, sebuah pasar 

tradisional pasti memiliki sebuah pura khusus bernama Pura 

Melanting, yang dikelola oleh para pedagang dan warga  

desa setempat. Jadi, secara pakem religi, sebuah desa harus 

memiliki sebuah Pura Melanting, sehingga dengan sendirinya 

sebuah desa harus memelihara pasar tradisionalnya. Inilah 

keunikan pakem adat Bali yang tidak dimiliki daerah lain. 

Kelebihan kedua datang dari jenis permintaan konsumen. 

Pasar modern dan ritel waralaba tidak bisa memenuhi kebutuh-

an warga  Bali akan bahan-bahan alami untuk upacara 

keagamaan. warga  Bali yang sebagian besar beragama 

Hindu dan memegang tradisi yang unik memerlukan banyak 

bahan-bahan alami yang hanya bisa diperoleh dari pasar 

tradisional. Menjelang hari raya, warga  Bali memerlukan 

berikat-ikat janur (yang tidak akan pernah bisa ditemukan 

                                                           

dalam list barang promo di Alfamart atau Indomaret), buah 

pala, kelapa muda, sirih, rempah-rempah, bambu gelondongan, 

hingga canang18. Beberapa swalayan modern di Denpasar telah 

mencoba menjual canang segar dan menaruhnya di dalam pen-

dingin, namun pedagang canang di tepi pasar tradisional tetap 

jadi pilihan nomor satu.  

Kehadiran Lembaga Perkreditan Desa (LPD) adalah kele-

bihan ketiga yang dimiliki pasar tradisional di Bali. Ada sinergi 

yang sangat kuat antara pasar tradisional dan LPD. Para 

pedagang bisa meminjam modal di LPD dengan bunga ringan. 

Sementara itu, LPD tetap dapat tersokong dengan adanya per-

putaran ekonomi di dalam pasar, termasuk retribusi parkir, 

kredit dan pemungutan iuran wajib. 

Kelebihan-kelebihan ini  bisa menjadi bahan kajian 

yang sangat menarik baik dalam bidang ekonomi, manajemen, 

maupun ilmu budaya dan religi. Keunikan warga  Bali 

dengan konsep keseimbangan tri hita karana adalah gabungan 

yang tak terpisahkan dari sistem religi, budaya, ekonomi, sosial, 

pertahanan dan keamanan yang berada dalam satu pakem 

tradisi yang sedemikian kompleks. Sinergi elemen-elemen 

budaya ini menyebabkan pasr tradisional Bali mampu bertahan 

di era milenial.  

Kasali19 menuliskan fenomena shifting yang terjadi dalam 

kebudayaan Bali. Ia mencontohkan pemesanan bahan-bahan 

upacara yang kini bisa dipesan secara daring. Walaupun 

demikian, tetap saja bahan-bahan upacara ini  tersedia di 

pasar-pasar tradisional. Pasar tradisional adalah muara dari 

sumber daya alam Bali yang berbasis religi dan budaya, 

sehingga keberadaannya patut dilestarikan. 

                                                           

Melalui peraturan daerah yang diperkuat oleh aturan-

aturan desa (yang disebut awig-awig), warga  Bali telah 

melaksanakan tindakan preventif maupun represif terhadap 

berkembangnya ritel modern di berbagai pelosok. Beberapa 

desa adat bahkan melarang ritel beroperasi di wilayah desa adat 

untuk mencegah matinya pasar tradisional. Beberapa desa 

memberlakukan pungutan yang tinggi untuk membantu me-

nyokong kehidupan warga desa, sementara di desa-desa lain 

ritel masih boleh didirikan dengan sistem zonasi dan kuota 

jumlah gerai. 

Penggerak mobilitas dan demografi 

Ada satu pepatah kapitalis yang berbunyi, ―Uang adalah 

energi. Untuk bergerak, Anda memerlukan energi, dan dengan 

energi itu Anda mengambil lebih banyak lagi energi.‖ Waralaba 

beroperasi dengan prinsip ini. Ia mengumpulkan energi berupa 

simpul-simpul franchisee di banyak tempat, lalu menghimpun 

energi itu dan berkembang lagi. Sebagai tangan kanan 

kapitalisme, waralaba adalah generator energi dalam bentuk 

income yang besar dan ekspansi yang juga cepat. Bagaikan 

sumber energi yang besar, waralaba berperan dalam 

menggerakkan sektor-sektor kehidupan manusia, misalnya dari 

sisi mobilitas, demografi, dan urbanisasi. 

Dari sisi kesejahteraan warga , waralaba bisa membuka 

lapangan pekerjaan yang jauh lebih luas daripada toko 

konvensioal, terutama dalam sektor ritel. Sebagai bayangan, 

bila  satu toko waralaba ritel 24 jam memiliki 3 shift setiap 

hari dengan delapan pegawai per shift, maka mereka akan 

menyerap 24 pegawai per toko. bila  ada seratus toko, maka 

ada 2.400 tenaga kerja yang bisa diserap. Menurut data WALI 

(Asosiasi Waralaba dan Lisensi Indonesia) tahun 2019, porsi 

pemasukan minimarket waralaba adalah sebesar Rp 50 triliyun 

per tahun, atau sekitar 40% dari total semua jenis waralaba di 

negeri ini. Menurut data ini , kemampuan waralaba ritel 

untuk menyerap tenaga kerja sangatlah tinggi. Jadi, dari sisi 

tenaga kerja, tentu saja waralaba amat membantu memperbaiki 

kesejahteraan warga . 

Lebih lanjut lagi, waralaba juga berperan besar dalam 

mendorong urbanisasi dan meningkatkan persentase penglaju 

per hari. Mari kita lihat contoh data di kota Denpasar. Jumlah 

penduduk migran di kota Denpasar adalah sejumlah 415.417 

jiwa20. Sebagian bekerja di sektor swasta, dan sisanya di sektor 

pariwisata dan memiliki usaha sendiri. Sektor waralaba ritel 

menjadi mata pencaharian banyak penduduk pendatang.Yang 

mengejutkan adalah, jumlah penduduk migran mencakup 60% 

dari total jumlah penduduk Kota Denpasar,—lebih banyak 

daripada penduduk asli. Tak heran jika setiap hari raya 

Galungan dan Kuningan, jalanan Denpasar jadi lenggang karena 

penduduknya sebagian pulang kampung. 

Urbanisasi yang besar ini juga berdampak pada demografi, 

ketersediaan lahan, perumahan, keamanan dan juga pelayanan 

publik. Dengan arus urbanisasi yang besar, akan terbentuk 

pusat-pusat hunian baik permanen, kontrakan maupun indekos. 

Di pusat-pusat urbanisasi seperti inilah kerap terjadi banyak 

konflik sehingga tingkat keamanan menjadi hal yang sangat 

riskan.                                                          

Keuntungan lain yang didapatkan warga  dengan 

hadirnya waralaba adalah dipermudahnya akses bahan 

kebutuhan sehari-hari bagi penduduk di daerah penggiran kota. 

Dengan sistem waralaba yang ‗sama di mana saja‘, distribusi 

barang menjadi lebih mudah. Penduduk pinggiran tidak perlu 

lagi datang ke pusat kota untuk membeli barang-barang ber-

kualitas. Semuanya telah didistribusikan oleh pemberi waralaba 

dengan sistem dan patokan harga yang nyaris tidak berbeda. 

Tak hanya itu, sistem waralaba (terutama ritel) memiliki jaringan 

distribusi yang cepat sehingga akses ke tempat-tempat yang 

jauh pun bisa dilayani dengan baik. 

Dari sisi positifnya, waralaba memiliki sisi praktikal yang 

menguntungkan. Yang buruk dari sebuah waralaba adalah 

hanya ketika ia menjadi besar sendiri dan melakukan monopoli. 

Sebuah kasus yang terjadi beberapa tahun silam di sebuah desa 

adat di Badung, Bali, menjadi contohnya. Sebuah toko ritel 

waralaba dibangun tepat di depan pasar tradisional. Penerima 

waralabanya adalah seorang penduduk desa. Beberapa bulan 

sesudah  ritel itu dibuka, pengunjungnya kian bertambah. Pem-

beli yang biasanya berbelanja ke warung-warung konvensional 

mulai berpindah ke toko ritel itu sebab harganya lebih murah 

dan cara berbelanjanya lebih mudah.  

Kemudian terjadilah protes dari pedagang yang kehilangan 

pembeli. Toko ritel itu pun ditutup atas permintaan aparat desa 

karena berpotensi menurunkan pendapatan pedagang. sesudah  

kasus itu, desa adat memberlakukan larangan bagi waralaba 

untuk membuka ritel di wilayah desa ini . Toko bekas ritel 

ini  kini menjadi toko buah konvensional. 

Kejadian ditutupnya toko ritel ini terjadi sebelum pemerin-

tah Provinsi Bali memberlakukan perda mengenai zonasi toko 

ritel. Padahal, telah ada Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 

2007 kala itu, namun tampaknya beberapa aspek dari peraturan 

itu belum benar-benar dirasakan oleh warga . Barulah 

kemudian tatkala perda diberlakukan, ada keseimbangan antara 

ruang gerak pasar tradisional dan toko-toko modern.  

Agen perubahan sosial budaya 

Sisi lain yang dipengaruhi oleh waralaba ada dalam ranah 

sosial dan budaya. Yang signifikan adalah pemakaian  media 

sosial dalam interaksi dan membangun hubungan dengan 

pelanggan atau penerima waralaba. Sebuah penelitian yang 

dilakukan oleh Kacker dan Perrigot21 mengungkap bahwa dari 

500 usaha waralaba di Amerika Serikat, hampir semuanya 

memakai  media sosial dalam mempromosikan waralaba 

mereka. Yang mengejutkan adalah, para konsumen dan calon 

penerima waralaba tidak tertarik dengan berapa lama suatu 

pemberi waralaba telah berdiri. Yang mereka perhatikan adalah 

kelengkapan informasi dan besarnya merek yang ditawarkan 

oleh pemberi waralaba. Ini menandakan bahwa bahkan                                                         

waralaba-waralaba yang baru berkembang pun (waralaba yang 

tidak memiliki label ‗berdiri sejak tahun sekian‘ untuk 

menunjukkan betapa tangguhnya mereka) memiliki potensi 

pasar yang bisa jauh lebih besar daripada waralaba-waralaba 

‗tua‘. Faktor-faktor penyebabnya adalah kesanggupan mereka 

menyediakan apa yang dibutuhkan oleh warga  modern 

yang telah dimasuki paham esteem economy.  

Secara sosial, waralaba berpengaruh pada pemerataan 

warga . Di tahun 90-an, masih bisa kita lihat perbedaan 

menonjol antara penduduk perdesaan dan perkotaan. Pendu-

duk kota berbelanja ke supermarket, sementara penduduk desa 

berbelanja ke toko-toko kecil, atau paling tidak ke swalayan 

kelas menengah di wilayah sub-urban yang jumlahnya tak 

seberapa. sesudah  waralaba menjamur, seolah-olah tidak ada 

lagi perbedaan antara orang desa dan kota. Semua bisa 

berbelanja di minimarket, memesan ojek daring, mengirim 

barang dengan Go-Send atau mengirim paket dengan harga 

standar lewat JNE atau JNT. Asalkan mereka punya ponsel, 

setiap orang,—entah dari desa atau kota—bisa berbelanja 

daring dan mendapat  barang dambaan mereka dengan 

mudah. Kini kita bisa melihat sebuah mobil Fortuner setengah 

milyar parkir di depan minimarket di tepi desa, atau anak-anak 

remaja desa yang mengenakan jam tangan bagus hasil 

pembelian di internet. Semua itu berkat jaringan waralaba yang 

merambah wilayah yang luas dan menghapus kesenjangan 

warga  dalam opsi konsumsi mereka. 

Yang patut pula diperhatikan dari perkembangan waralaba 

adalah dominasi budaya. Kita tentu mengingat prinsip utama 

waralaba, yakni ‗sama di mana-mana‘. Secara tidak langsung, 

sebuah jaringan waralaba juga membawa budaya yang 

perlahan-lahan masuk ke dalam lingkungan sosial-budaya 

warga  lain. McDonalds dan KFC, misalnya, dengan budaya 

drive thru dan cara makan simpel gaya Amerika, terbawa oleh 

jaringan waralabanya di seluruh dunia. Dulu, budaya menyapa 

seseorang dengan panggilan ‗kak‘ hanya dikenal di Jakarta dan 

sekitarnya. Namun sejak sektor waralaba dan gerai digital 

berkembang, kata sapaan ‗kak‘ kini menjadi lumrah buat para 

admin toko yang tidak tahu sedang chatting dengan konsumen 

dari usia berapa dan jenis kelamin yang mana. 

Di samping dominasi budaya, waralaba juga berpotensi 

mendorong heterogenitas penduduk. Ketika sebuah waralaba 

membuka jaringan dan membutuhkan tenaga kerja, maka 

tenaga kerja bisa datang dari mana saja, bahkan dari luar 

daerah. Mereka tentunya membawa serta budaya dan kebia-

saan masing-masing daerah. Heterogenitas penduduk ini 

memiliki berbagai dampak lain, seperti masalah keamanan, 

ketertiban dan juga pertukaran budaya. Para pendatang yang 

berasal dari daerah yang sama biasanya berkumpul bersama di 

suatu lokasi. Konflik bisa terjadi bila  terjadi ketersinggungan 

yang bisa melibatkan seluruh komunitas pendatang. Tatkala 

heterogenitas penduduk menjadi sedemikian tinggi, akan 

sangat sulit membedakan kebudayaan lokal dan kebudayaan 

dari luar, sehingga heterogenitas yang tidak diatur juga dapat 

menimbulkan lenyapnya suatu budaya yang tidak mampu 

bertahan. Probabilitas lain adalah adanya campuran unsur-

unsur budaya yang melahirkan jenis budaya baru, misalnya 

kewajiban anak-anak sekolah dari berbagai latar belakang untuk 

memakai pakaian adat Bali setiap Kamis. Bagi anak-anak pen-

datang dari luar Bali, perbedaan kebudayaan ini tentu menim-

bulkan rona baru dalam keseharian mereka. 

Dampak yang lumrah dari sebuah jaringan waralaba adalah 

instanisasi. Dari sisi pengusaha, waralaba memberikan keuntungan besar dalam waktu singkat. Tak hanya dari sisi pengu-

saha, keuntungan instan juga dirasakan para pekerja di sektor 

waralaba. Dengan berkembangnya sebuah jaringan waralaba, 

mereka bisa mendapat  pekerjaan yang tidak menuntut 

keahlian tinggi dan bisa cepat dipelajari. Dengan demikian, jenis 

pekerjaan di sektor waralaba sangat cocok bagi para pekerja 

paruh waktu, mereka yang memerlukan pekerjaan cepat tanpa 

melalui pelatihan yang melelahkan, serta para perantau yang 

kesulitan mendapat  pekerjaan. 


Masa depan tidak bisa dilihat, begitu kata orang tua. 

Bahkan tukang ramal pun bisa salah. Di zaman 

digital ini, hebatnya, Google Trends dan Google 

Analytics nyaris tidak pernah keliru. Keduanya 

adalah platform pengolah Big Data andalan Google dan 

dipakai  jutaan orang untuk memprediksi tren inquiry dari 

setiap individu, kelompok warga , bahkan negara-negara di 

dunia. Dengan algoritmanya, Google Trends dan Google 

Analytics bisa memprediksi dengan akurat apa kecenderungan 

inquiry pencarian di Google, dan apa mood suatu negara atau 

suatu bangsa dalam periode waktu tertentu. Dengan prediksi 

itu, Google membuat analisis kebutuhan konsumen yang akurat 

dan bisa diakses gratis oleh siapa saja. 

Dalam dunia bisnis dan ekonomi, seseorang harus pandai 

meramal dan berani tanggung risiko jika ramalannya meleset. 

Walaupun suatu prediksi tak pernah selalu tepat, minimal keru-

gian dapat diminimalisir. Anda mungkin mengenal Netflix, atau 

malah sudah berlangganan paket nontonnya. Netflix ternyata 

memakai  Google Analytics untuk menentukan acara kesu-

kaan para pelanggannya. Berdasarkan data itu, Netflix menen-

tukan topik konten selanjutnya dan berhasil meningkatkan 

followers-nya hingga dua kali lipat. 

Dalam bab ini kita akan membahas lebih banyak tentang 

salah satu dari tiga sektor utama yang menjadi primadona 

investasi di tahun 2019 versi kementerian ekonomi, yakni sektor 

e-commerce (termasuk di dalamnya startup dan segala jenis 

online shops dan pasar digital), sektor smelting atau pengolahan 

logam (terutama nikel dan tembaga), dan pariwisata. Ketiga 

sektor ini mengalami kenaikan tajam dalam investasi sehingga 

pertumbuhan ekonomi Indonesia melesat di atas 5% hingga 

pertengahan tahun 2019. 

Dari sisi e-commerce, kita akan lebih banyak membahas 

waralaba perfilman dan dunia hiburan. Di Amerika, berdasarkan 

data PAW tahun 2018 silam, waralaba perfilman dan dunia 

hiburan adalah yang paling sukses mereguk keuntungan, diikuti 

franchise makanan. Tahun 2019 ini, Amerika Serikat sedang 

dilanda demam videostreaming dan ribuan franchisee yang 

berlomba-lomba untuk melepaskan diri dari induknya dan 

berdiri sebagai perusahaan independen yang juga mampu 

menjual merek dan lisensi sendiri. Karena itu, berdasarkan 

Kacker dan Perrigot1 dalam bab sebelumnya, waralaba ‗tua‘ tak 

menjamin ketangguhannya melawan arus internet. Sebutan ‗tua‘ 

tidak lagi menunjuk pada merek waralaba yang sudah berdiri 

sejak tahun seribu delapan ratusan. Kata ‗tua‘ kiranya lebih 

gamblang disebut sebagai ‗suhu‘ oleh generasi milenial kini,—

semuda apa pun dia dari segi usia. Sebuah usaha yang ‗tua‘ kini 

dilihat dari jumlah pengikutnya, keunikan penawarannya, 

                                                           

strategi marketingnya yang sesuai dengan kebutuhan pasar, 

dan yang tidak kalah penting—kecepatannya ‗berubah wujud‘ 

sesuai kemauan konsumen. 

Menurut Asosiasi Waralaba Indonesia, kunci-kunci dasar 

dalam menjalankan bisnis waralaba di era milenial ada pada 

komunikasi yang lancar antara pemberi dan penerima waralaba, 

serta penerima waralaba dengan konsumen. Studi yang 

dilakukan oleh Griessmair et. al di Jerman membuktikan bahwa 

kebanyakan waralaba sangat mementingkan isu trust, rasa 

saling percaya antara pemberi dan penerima waralaba2. Trust ini 

dibangun dengan dukungan informasi yang cepat dan selalu 

dimutakhirkan. Bahkan, Griessmar dan kawan-kawan penelitinya 

menemukan bahwa pemerima waralaba yang memiliki tingkat 

kepercayaan yang tinggi cenderung untuk bertahan dalam 

jaringan waralaba dan bahkan membuka multi-unit franchise.  

Membangun rasa saling percaya antara franchisor dan 

franchisee membutuhkan komunikasi yang intens. Penerima 

waralaba, menurut survei Blut et.al beberapa tahun silam, 

memerlukan pembaharuan kontinyu mengenai SOP, pemeli-

haraan kualitas, pembaharuan merek dan dukungan teknis dan 

mental bila  penerima waralaba mengalami penurunan 

omset3. Selain itu, kerja sama dalam meningkatkan omset juga 

diharapkan oleh penerima waralaba, sebab bila  pemberi 

waralaba gagal dalam meningkatkan reputasi mereknya atau 

strategi marketing yang tidak mengikuti arus tren, semua 

penerima waralaba dalam jaringannya akan terkena dampaknya.  

                                                          

Kunci terakhir ada pada pemanfaatan teknologi. Yang 

diutamakan tentunya adalah teknologi digital. Seringkali pene-

rima waralaba mengharapkan agar pemberi waralaba 

memberikan sedikit kelonggaran untuk berinovasi dan berkrea-

tivitas bagi penerima waralaba, terutama dalam hal peman-

faataan teknologi. Indomaret dan Alfamart bisa jadi contoh 

yang positif dalam pemanfaatan teknologi. Berkat teknologi, 

kedua waralaba ritel itu kini juga menjual listrik, PDAM, pulsa, 

hingga paket internet rumahan. Padahal, ia adalah sebuah toko 

ritel bahan kebutuhan sehari-hari. Teknologi telah memberi-

kannya peluang untuk berkembang menjadi ritel di mana setiap 

orang bisa membeli apa saja, termasuk membeli akses jalan tol 

dan belanja daring lewat isi ulang e-money. 

Sejak perkembangannya pada masa awal, waralaba telah 

mengalami banyak evolusi. Dalam bab ini, ada sekelumit 

tentang beberapa bentuk baru waralaba yang pernah dipakai, 

sedang tren, atau malah bersiap ditinggalkan. Waralaba single-

unit yang seolah tak lekang oleh waktu adalah sistem waralaba 

paling simpel yang pernah dipraktikkan. Kini berkembang pula 

conversion franchise dan takeover. Alfamart telah mempraktik-

kan ketiga jenis franchise ini sejak beberapa tahun lalu. 

Waralaba single-unit memang masih jadi pilihan nomor satu 

karena permodalannya yang tidak terlampau besar dan sistem-

nya yang tidak begitu ribet. Meskipun grafik keuntungannya 

masih kalah dibandingkan dengan multi-unit franchise, single-

unit franchise tak kalah pamor karena simplisitasnya baik dari 

segi hirarki hegemoni maupun manajemen. 

Dalam single-unit franchise package, misalnya, Alfamart 

menawarkan kerja sama bisnis waralaba satu unit. Dalam 

waralaba jenis ini, Alfamart menawarkan pembukaan gerai baru 

dengan sistem waralaba. Belakangan, sistem ini mengalami 

hambatan karena kebijakan pemerintah daerah maupun pakem 

warga  lokal yang membatasi ruang gerak waralaba, teru-

tama ritel, agar tidak melahap arus modal dan merugikan pasar 

tradisional.  

Alfamart juga menawarkan sistem conversion franchise, di 

mana seseorang yang telah memiliki toko atau gerai ‗disulap‘ 

menjadi toko Alfamart namun masih memakai  nama toko 

yang lama. Dalam sistem ini, Alfamart mengakui barang 

dagangan milik toko lama sebagai barang stok pembukaan 

gerai Alfamart sistem conversion franchise. 

Sistem ketiga yang ditawarkan Alfamart adalah sistem 

takeover, yakni membeli waralaba yang telah beroperasi atau 

membeli satu cabang Alfamart yang telah berkembang untuk 

diwaralabakan. Harga waralaba jenis ini adalah yang paling 

tinggi, sebab jaminan kesuksesannya lebih besar. Sistem ini juga 

dinamakan sistem resale. Istilah lain untuk waralaba jenis ini 

adalah waralaba second. Berbeda dengan barang second yang 

harganya rendah, waralaba second justru memiliki harga yang 

lebih tinggi,—terutama jika waralaba second ini  telah 

terbukti menghasilkan keuntungan yang besar dengan pasar 

yang luas. 

Tirto.id baru-baru ini merilis data4 bahwa jumlah gerai 

Alfamart di Indonesia mencapai 9.302 gerai pada tahun 2013, 

sementara Indomaret 8.834 gerai. Pada tahun 2017 silam, 

jumlah itu disalip Indomaret dengan mencapai 15.335 gerai. 

Menurut riset Nielsen, pangsa pasar kedua ritel ini mencapai 

87%. Ekspansi yang masif ini adalah hasil dari waralaba. 

Sebanyak 40% gerai Indomaret sendiri adalah gerai waralaba. 

Sisanya adalah cabang-cabang yang dikelola perusahaan pusat. 

Fenomena lain yang mesti disoroti adalah kecenderungan 

penerima waralaba untuk memilih menjadi independen. 

Persaingan yang makin ketat membuat kecenderungan 

beberapa waralaba memilihberdiri sendiri dan mengadu merek 

mereka sendiri di gelombang pasar digital yang semakin ganas. 

Kecenderungan ini terjadi pada waralaba digital berbasis 

platform. Begitu mudahnya membeli lisensi dari sebuah perusa-

haan hiburan dan menghadirkan kontennya dalam platform, 

sehingga banyak perusahaan ingin mencoba mendirikan 

platform independen.  

Dengan perkembangan teknologi dan tren investasi yang 

besar dalam ranah konten digital, banyak perusahaan penerima 

waralaba akhirnya berdiri sendiri dan menciptakan branding 

mereka sendiri. Dengan media sosial dan konten marketing 

yang cetar, sebuah brand bisa melompati fase-fase inkubasi 

awal5 dan melejit menjadi brand baru dengan keunikan dan 

                                                          

fleksibilitas tinggi. Fleksibilitas tinggi berarti bahwa ada 

perkembangan dari ‗aku punya apa yang kamu mau‘ menjadi 

‗aku bisa menjadi apa saja yang kamu mau‘. Pada akhirnya, 

segala hal memang tidak kekal, namun yang bertahan adalah 

yang paling adaptif terhadap perubahan. Manusia senantiasa 

mencari akal untuk mendapat  sesuatu, dan di sanalah seni 

sebuah bisnis. 

Tahap Lanjutan Evolusi Waralaba 

Sebuah waralaba berkembang karena keinginan manusia 

yang terus bertambah untuk menguasai pasar. Sebagai tangan 

kanan kapitalisme yang telah ampuh menjadi agen ekspansi 

ekonomi, waralaba juga memiliki peran dalam imperialisme 

budaya. Namun demikian, sisi positif waralaba akan bisa 

dirasakan bila  ada aturan yang jelas yang membatasi ruang 

gerak waralaba agar tidak merusak sistem ekonomi bangsa. 

Telah kita bahas mengenai sistem waralaba dan hubung-

annya dengan pasar tradisional. Di Indonesia dan negara-

negara Asia, pasar-pasar tradisional terancam karena waralaba. 

Sementara itu, di negara yang lebih maju seperti Amerika 

Serikat, yang terancam oleh waralaba adalah ritel tradisional 

seperti mom & pop stores dan mini market yang dijalankan 

dengan usaha independen. Ritel-ritel tradisional ini berkembang 

di Amerika Serikat karena tipikal demografi dan topografi yang 

berjauhan, selain karena faktor watak warga  yang liberal 

dan cukup berbeda dengan warga  Indonesia6. 

Kehausan sistem waralaba untuk berekspansi menimbulkan 

ide pengembangan yang terus-menerus diperbaharui. Sistem 

waralaba unit tunggal (single-unit) adalah sistem yang paling 

tua dan sederhana. Seorang pemberi waralaba memberikan hak 

                                                           

kepada seorang penerima waralaba yang mendirikan usaha 

waralaba itu di suatu lokasi. bila  ia ingin berekspansi di 

tempat lain, ia akan mengundang penerima waralaba lain. 

Sistem unit tunggal ini memang sederhana, namun agak kurang 

efisien sebab masing-masing penerima waralaba harus 

diberikan bimbingan, pelatihan, atau dukungan sendiri-sendiri. 

Karena itu, waralaba unit tunggal (single-unit franchise) akhirnya 

berkembang menjadi multi-unit franchise.  

Dalam multi-unit franchise ‗waralaba unit jamak‘, satu 

pemberi waralaba memberikan lisensi kepada satu orang 

penerima waralaba. Lisensi ini  tertuang dalam dua jenis 

perjanjian, yakni franchise agreement dan development agree-

ment. Jadi, si penerima waralaba terikat perjanjian dengan 

pemberi waralaba bahwa ia akan mengembangkan sejumlah 

unit lain sesuai dengan target (biasanya 3-5 tahun). Jadi, si 

penerima waralaba juga berfungsi sebagai pewaralaba dalam 

wilayah tertentu dan diikat oleh perjanjian development itu. 

bila  si penerima waralaba gagal memenuhi kuota pengem-

bangan unit yang dijanjikan, maka pemberi warlaba tidak 

memperpanjang kontraknya. 

Waralaba unit jamak ini memiliki sistem yang lebih stabil, di 

mana terjadi hegemoni ganda yang bertingkat. Pertama, 

pemberi waralaba memiliki hegemoni tertinggi. Ia menghege-

moni franchisee dengan dua jenis perjanjian. Franchisee ini 

kemudian berfungsi sebagai pemberi waralaba di tingkat kedua, 

yang memiliki hak juga untuk mencetak franchisee dalam 

jumlah tertentu. Franchisee-franchisee yang berhasil dicetaknya 

akan memiliki hegemoni terhadap konsumen. Jadi, di sini ada 

tingkatan hegemoni berjenjang majemuk. Bagi pemberi wara-

laba, ini mempermudah koordinasi sebab jumlah franchisee 

yang harus dibina tidak terlalu banyak namun ekspansinya di 

tingkat kedua bisa jauh lebih luas daripada single-unit franchise. 

Sistem waralaba yang mirip dengan multi-unit franchise ini 

disebut master franchisee. Dalam sistem ini, pemberi waralaba 

memberi hak waralaba kepada seorang penerima waralaba 

yang kemudian berfungsi sebagai pemberi waralaba khusus di 

area tertentu saja. Jadi, si penerima waralaba ini boleh menjual 

lisensi itu kembali kepada calon penerima waralaba, dengan 

catatan persentase keuntungan yang didapatkan oleh master 

franchisee harus disetorkan kepada pemberi waralaba. Sistem ini 

rumit dalam manajemen keuangannya sehingga kurang begitu 

diminati. 

Yang lebih sederhana dalam pengaturan keuangan dan 

manajemen perjanjian kemitraan adalah area representative. 

Misalnya, ritel P ingin memperluas usaha di kota Denpasar. Ia 

memilih empat agen waralaba untuk empat kecamatan di 

Denpasar, katakanlah A, B, C dan D. Keempat agen ini bertugas 

mempromosikan, mengajak dan menghubungkan calon peneri-

ma waralaba dengan pemberi waralaba. Tidak ada perjanjian 

apa pun antara area representative dan penerima waralaba,—

berbeda dengan sistem master franchisee. Sang area represent-

ative memperoleh persentase keuntungan dari berapa banyak 

penerima waralaba yang bergabung di wilayahnya. 

Jenis waralaba lain yang berekspansi bagaikan berkamo-

flase disebut conversion franchise, atau waralaba konversi. Jenis 

ini sudah dipraktikkan oleh Alfamart dan terbukti mendulang 

sukses. Sebuah toko ritel tradisional di kota Denpasar sudah 

berdiri selama dua puluh tahun. Kemudian, ada perusahaan 

waralaba ritel yang berniat mengkonversi toko ini  dengan 

branding dan SOP milik si pemberi waralaba. Kesepakatan 

dibuat, dan berubahlah toko itu menjadi waralaba. Barang-

barang yang sudah ada di toko itu biasanya disepakati sebagai 

barang dagangan bersama yang dihitung pada saat pendirian 

waralaba. Waralaba konversi terjadi biasanya karena pemilik 

toko ritel tradisional tidak mampu lagi mengelola usahanya 

sendiri. Karena itu, ia menginvestasikan modalnya agar ada 

yang meneruskan usahanya ini . Sebab lain adalah lantaran 

sebuah toko mengalami kolaps dari segi manajemen atau 

pemasaran.  

Di Bali sendiri, banyak toko yang kini dikonversi menjadi 

waralaba. Ini bisa menjadi topik riset yang sangat menarik. 

Secara kualitatif, faktor-faktor yang mempengaruhi pemilik toko 

untuk mengkonversi usahanya akan menjadi indikator yang 

sangat berharga untuk mengetahui tren kalangan pengusaha 

Bali di masa depan. Dari ranah kuantitatif, peningkatan atau 

penurunan pendapatan suatu usaha sesudah  dikonversi akan 

menentukan apakah waralaba konversi memang bisa diterapkan 

secara positif atau tidak. 

Kadangkala ketika pameran, konser atau pertandingan bola, 

kita melihat stand-stand merek terkenal berdiri di lokasi keramaian. sesudah  acara selesai, stand itu pun ikut bubar. Di Inggris, 

jenis waralaba ini disebut pop-up store franchise, atau waralaba 

lapak. Jenis waralaba ini berpindah-pindah mengikuti perge-

rakan keramaian konsumen. Biasanya, waralaba yang member-

lakukan sistem pop-up store adalah waralaba makanan dan 

minuman. Bagi warga  yang memiliki modal kecil, waralaba 

jenis ini boleh jadi menggiurkan dan mudah. Yang menjadi 

kerugiannya adalah tempat usaha yang berpindah-pindah dan 

‗bermusim‘ sehingga memerlukan tenaga dan waktu yang 

lumayan merepotkan untuk memindahkan sebuah stand dari 

waktu ke waktu.  

Langkah yang lebih straight to the target adalah dengan 

cara membeli waralaba second atau franchise resale. Sebagai-

mana yang telah dijabarkan dalam bagian sebelumnya, 

waralaba ‗bekas‘ memiliki harga yang lebih tinggi. Alfamart, 

contohnya, mematok harga hingga 600 juta rupiah untuk satu 

unit waralaba second,—hampir empat kali lipat harga franchise 

baru7. Sebuah waralaba yang telah berjalan dan berkembang 

akan memiliki reputasi yang baik, sehingga bila  dibeli, 

harganya juga melambung tinggi.  

Waralaba dalam dunia hiburan, terutama perfilman juga 

mengalami evolusi yang signifikan. Dunia perfilman di era ini 

mulai merambah pada transmedia sehingga diperlukan suatu 

sistem licensing yang lebih kompleks daripada lisensi franchise 

perfilman biasa. Karena transmedia memerlukan kreativitas dan 

perspektif yang baru dari plot utama, maka setiap lisensi 

franchise dalam media-media yang berbeda membutuhkan 

spesifikasi berbeda. Misalnya, sebuah rumah produksi merilis 

film Star Wars dengan plot utamanya. Kemudian, tatkala 

branding Star Wars menjadi terkenal, sebuah perusahaan game 

berniat membeli lisensi franchise film ini . Namun karena 

perusahaan game ini akan membuat sebuah versi Star Wars 

yang mengisahkan petualangan sebelum terjadinya plot utama 

pada versi filmnya, maka baik perusahaan game ini maupun 

pihak produser Star Wars harus memiliki perjanjian yang benar-

benar jelas mengenai sejauh mana plot dan karakter Star Wars 

akan dikembangkan dalam game ini . bila  

pengembangan plot ini tidak dijabarkan secara detail dalam 

perjanjian kerja sama franchise, maka pihak produser game 

dapat dikenai sanksi pelanggaran hak cipta dan hak merek,

                                                           

Transmedia telah secara langsung membuat sistem 

waralaba menjadi lebih kompleks dan kuat, terutama mengenai 

isu-isu konten dan originalitasnya. Ranah digital membuat 

konten begitu rentan penggandaan, sebab menyalin isi konten 

digital tidak memerlukan usaha yang besar. Karena itu, isu dan 

tren yang mencuat mengenai konten digital pada masa kini 

adalah bagaimana proses licensing terkait erat dengan proses 

monetizing. Maksudnya adalah, sebuah lisensi atau patokan 

bahwa konten itu benar diciptakan oleh seseorang ditentukan 

oleh monetisasinya di ranah digital. bila  dua orang memiliki 

konten yang sama, namun orang pertama memonetisasi 

kontennya terlebih dahulu, maka ia menjadi pemegang lisensi 

di ranah konten digital. 

Di negara-negara yang kesadaran hukumnya telah maju, 

warga  cenderung telah memiliki kesadaran bahwa konten 

original adalah hasil kreativitas yang bernilai tinggi. Karena itu, 

mereka rela membayar lebih mahal untuk sebuah konten 

original daripada konten bajakan sebagai bentuk penghargaan 

pada hak kekayaan intelektual penciptanya. Kenyataannya 

cukup berbeda di negara-negara berkembang yang kesadaran 

hukumnya belum tinggi. Di negara-negara berkembang, konten 

bajakan menjadi populer, sebab orientasi mereka masih dalam 

motif ekonomi daripada motif sekuritas dan prestise. Di Jepang, 

misalnya, orang-orang membeli konten manga digital yang asli, 

walaupun konten bajakannya bertebaran di mana-mana. Ini 

menimbulkan sakit kepala berat bagi produsen manga di 

Jepang. Situs pembajakan manga terkenal Jepang, Mangamura, 

adalah salah satu biang keladinya. Situs ini populer di luar 

Jepang, memberikan akses download gratis untuk konten 

manga. Akhirnya, berkar kebijakan pemerintah Jepang, situs ini 

ditutup pada tahun 2018 lalu,

Dengan berkembangnya teknologi dalam bidang media 

digital, keaslian suatu konten semakin sulit dibedakan. Karena 

itu, yang menentukan originalitas suatu konten adalah proses 

monetisasi. bila  suatu konten telah dimonetisasi, maka pada 

saat yang bersamaan monetisasi berarti sebuah lisensi. Jadi, 

pihak lain tidak dapat mengklaim konten yang telah dimone-

tisasi ini . Singkatnya, semakin cepat sebuah konten 

dimonetisasi, maka kemungkinan konten itu dipakai  pihak 

lain akan semakin kecil. Toh pun jika pihak lain memakai  

konten ini , hak monetisasi tetap ada pada pihak yang 

memonetisasinya. Misalnya, Anda mengunggah sebuah konten 

di YouTube dan memonetisasinya. YouTube akan menganggap 

bahwa Andalah pemegang lisensi konten ini . bila  

orang lain mengambil konten video Anda dan mengunggahnya, 

maka segala keuntungan finansial adSense yang dihasilkan dari 

viewing konten itu tetap jatuh ke tangan Anda. 

Mulai 2016, Google, Bing dan mesin pencari lainnya telah 

bekerja keras untuk mengurangi konten bajakan di hasil 

pencarian mereka. Ini menjadi satu langkah besar dalam 

penghargaan atas hak kekayaan intelektual10. Isu hak kekayaan 

intelektual dan lisensi konten digital bisa menjadi topik riset 

yang sangat menarik di tahun-tahun ke depan. Di Indonesia 

sendiri, perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual 

sudah mengalami evolusi yang signifikan. Namun demikian, 

tindakan hukum bagi para pelanggar hak kekayaan intelektual 

                                                          

belum dilakukan secara nyata dan tegas. bila  undang-

undang hak kekayaan intelektual benar-benar diterapkan di 

Indonesia, maka akan terjadi penurunan omset yang sangat 

drastis di kalangan pengusaha fotokopi dan digital printing. 

Imbasnya juga berujung pada pada kenaikan PHK dan mele-

mahnya ekonomi rakyat. Dilema ini juga layak dikaji baik dari 

perspektif hukum maupun ekonomi. 

Sektor pendukung waralaba milenial 

Berdirinya sebuah waralaba dan bagaimana ia berkembang 

tidak bisa dilepaskan dari peranan sektor-sektor lain. Mari kita 

sebut sektor-sektor ini sebagai sektor pendukung. Tanpa ada-

nya sektor pendukung, waralaba di era milenial ini nyaris tidak 

dapat berkembang. Dalam ranah licensing digital, keberadaan 

sektor-sektor pendukung, mulai dari penyedia platform, deve-

loper, programmer hingga konten kreator bagaikan sebuah 

ekosistem digital yang tidak bisa diputus. Jadi, dunia digital saat 

ini bukan hanya kumpulan data, namun juga kumpulan 

kreativitas. Semua elemen ini  telah membentuk sebuah 

ekosisitem digital yang sekompleks ekosistem dalam food chain 

di dunia nyata.  

Sektor e-commerce, misalnya, menjadi sedemikian penting 

dalam kelancaran waralaba di era digital. Investasi untuk e-

commerce di Indonesia mencapai 950 juta dolar AS di awal 

tahun 201911, menjadi yang terbesar daripada sektor-sektor 

lainnya. Besarnya investasi pada sektor e-commerce ini ber-

potensi menimbulkan e-commerce boom. Menurut Lieu, ada tiga 

komponen yang menimbulkan potensi ‗ledakan e-commerce‘ 

                                                           

mulai tahun 2019. Ketiga komponen ini  adalah personal-

isasi, keterlibatan AI/ML (Artificial Intelligence/Machine Learning) 

dan semakin canggihnya perangkat gawai.  

Semakin canggihnya fitur-fitur belanja online membuat 

setiap orang kini bisa menikmati tokonya sendiri. Para calon 

pembeli bisa mengelompokkan barang-barang yang sering 

mereka beli dalam kustomisasi toko. Dengan sistem login dan 

logout, kini siapa pun dapat menstok barang di toko online dan 

membelinya kapan saja. Personalisasi ini memudahkan setiap 

orang dalam berbelanja tanpa perlu mengingat-ingat lagi 

barang yang ingin dibelinya dan di toko mana.  

Kemudahan makin terasa dengan disematkannya fitur 

kecerdasan buatan dan robotisasi. Kecerdasan buatan, yang berupa algoritma berpikir, disematkan ke dalam web e-commerce 

untuk mengetahui impresi pelanggan terhadap barang dan jasa 

yang dipilih. Kecenderungan seseorang untuk memilih barang 

dan jasa akan direkam oleh AI, dan dipakai  untuk 

menentukan jenis barang dalam periode promo selanjutnya.  

Sektor copywriting menjadi satu lagi yang paling menen-

tukan berkembangnya sebuah franchise di era digital. Sektor ini 

sebenarnya dibagi menjadi dua, yakni copywriting dan content 

writing dengan spesifikasi berbeda. Ketika Anda membuat 

sebuah konten promosi dengan mengaitkan produk atau jasa 

dengan keadaan konsumen, maka Anda sedang melakukan 

aktivitas copywriting. Di sisi lain, saat Anda menulis topik yang 

relevan dengan sebuah produk atau web, maka Anda sedang 

melakukan content writing. Kedua jenis keterampilan ini sangat 

diperlukan dalam digital marketing. bila  Anda mengikuti 

seminar Google Gapura Digital secara teratur, Anda akan 

                                                          

disuguhi banyak materi e-commerce yang sangat bermanfaat, 

termasuk mengenai content writing dan copywriting. Sangat 

baik jika Anda meluangkan waktu Anda untuk mendaftar gratis 

di Google Gapura Digital di kota Anda dan mengikuti pelatihan 

ringkas mengenai konten digital dan digital marketing dari 

narasumber yang telah berpengalaman. 

Menurut survei Tirto.id, copywriting dan content writing 

melesat menjadi dua bidang pekerjaan yang paling menjanjikan 

di ranah digital saat ini13. Bidang pekerjaan ini  sangat 

terkait dengan sistem waktu yang fleksibel dan tidak terikat

yang menjadi dambaan hampir setiap generasi masa kini. 

Waktu kerja yang fleksibel memungkinkan kreativitas yang lebih 

baik dan pengaturan waktu dengan lebih efisien. Dengan 

pengaturan jam kerja yang fleksibel, seseorang bisa menen-

tukan saat-saat yang tepat untuk menyelesaikan pekerjaan. 

Digempurnya sistem kerja 9-5 oleh kemajuan teknologi 

membuat sistem kerja konvensional itu mulai tenggelam dalam 

berbagai kecaman, terutama terkait dengan manajemen stres 

dan kesehatan para pekerja.  

Bidang pekerjaan yang juga sangat membantu waralaba di 

era digital ini adalah application developing dan social media 

strategy, atau pengembangan aplikasi dan strategi media sosial. 

Saat ini telah banyak pakar media sosial yang bekerja mem-

bantu perusahaan untuk mendapat  rating tinggi dalam 

marketing dan promosi. Para app. developer bekerja untuk 

membangun sistem aplikasi yang mempererat kedekatan kon-

sumen dengan produsen. Perusahaan-perusahaan platform 

menghubungkan berbagai kebutuhan produsen dan kebutuhan 

                                                           

konsumen. Semua bidang itu adalah simpul-simpul penting 

dalam ekosistem digital. 

Yang juga berpotensi besar sebagai ladang perluasan wara-

laba adalah sektor transportasi dan pariwisata. Tahun 2019, 

investasinya di Indonesia saja mencapai 275,4 juta dolar AS, 

menempati posisi ketiga daftar investasi terbesar di Indonesia 

sesudah  e-commerce dan smelting logam.  

Dari Waralaba ke Independensi 

Migrasi sistem waralaba ke perusahaan independen 

sebenarnya sudah banyak terjadi sejak waralaba itu ada. Tatkala 

suatu branding mencapai tahap tertentu, maka branding 

ini  memiliki kecenderungan untuk menjadi independen 

dengan tidak lagi mengadakan perpanjangan kerja sama 

kemitraan waralaba14. Berakhirnya suatu waralaba tidak hanya 

disebabkan oleh karena hal yang negatif atau merugikan, na-

mun dalam banyak kasus,—seperti kasus Netflix dan Spotify 

yang akan kita bahas kini—menjadi entitas independen karena 

alasan keuangan dan originalitas. Bidang-bidang usaha kreatif 

dan menekankan kepada konten original seperti perusahaan 

film, musik, dan hiburan lainnya cenderung mengalami evolusi 

begitu cepat dan kini lebih memilih menjadi perusahaan 

independen yang bergantung sepenuhnya dari konten asli 

ciptaan mereka. 

Contoh menarik terjadi pada Netflix, perusahaan streaming 

acara TV, show dan film paling menonjol saat ini. Sebelum 

bertransformasi sebagai provider khusus video streaming dan TV 

di internet, Netflix adalah sebuah perusahaan rental DVD di 

tahun 1990-an akhir hingga 2000-an awal. Kemudian, medianya 

berubah menjadi streaming karena DVD mulai ditinggalkan saat 

                                                          

ponsel pintar mewabah. Kini, pelanggan Netflix mencapai 139 

juta orang di seluruh dunia kecuali Tiongkok, Korea Utara, 

Suriah, dan beberapa daerah lain. Indonesia pada awalnya 

menolak Netflix karena berpotensi meruntuhkan industri 

pertelevisian, namun kini Netflix sudah bisa Anda unduh di Play 

Store berkat izin yang diberikan pemerintah.  

Untuk menonton video-video Netflix, Anda harus mem-

bayar paket nonton per bulan yang tergolong murah meriah. 

Netflix berani keluar dari konsensus lama yang bergantung 

pada iklan daring atau promo-promo paket yang berjenjang. 

Dengan penuh percaya diri, ia memungut bayaran atas 

langganan konten-konten video streaming-nya sehingga setap 

orang yang berlangganan bisa menonton apa pun yang mereka 

sukai dan memilih tontonan yang mereka inginkan. Kebebasan 

memilih tontonan adalah kekuatan utama Netflix yang tidak 

bisa dilakukan oleh stasiun TV komersil konvensional. 

Pada awalnya, Netflix mendapat kecaman dari perusahaan 

pertelevisian karena menjadi entitas OTT (Over The Top) yang 

‗berbahaya‘ bagi kelangsungan hidup stasiun TV. Over The Top 

adalah sistem broadcasting konten video dengan cara streaming 

secara langsung kepada penonton lewat jaringan internet. 

Sistem OTT mengalahkan jaringan TV satelit biasa dan TV kabel, 

sehingga bila  media streaming OTT berkembang, industri TV 

konvensional dan TV berlangganan terancam gulung kabel. 

Namun konsumen adalah pihak terakhir yang menentukan 

bagus atau tidaknya suatu inovasi. Terbukti, streaming via 

jaringan OTT lebih diminati, terutama buat para pengguna 

internet yang kebanyakan memiliki perangkat mobile. Yang 

paling diminati oleh konsumen adalah kebebasan mereka untuk 

memilih apa yang ingin mereka tonton kapan saja. Ini adalah 

hal yang tidak bisa dilakukan dengan TV biasa.  

Sistem kerja Netflix adalah membeli franchise berupa lisensi 

dari provider konten. Para provider konten ini bisa berupa 

produser film, rumah produksi atau studio, stasiun televisi, dan 

penyedia konten original lain. Netflix membeli lisensi film dan 

TV show dari waktu ke waktu sehingga tayangannya senantiasa 

terupdate, terutama menyangkut konten show. Untuk memper-

baharui konten, ia harus terus bernegosiasi dengan berbagai 

jenis jaringan hiburan dan produsen film. Bentuk kerja sama 

Netflix dengan para provider konten ini dikenal dengan nama 

licensing process, di mana Netflix bertindak sebagai penerima 

waralaba konten. 

Investopedia.com memberikan definisi sederhana untuk 

licensing. Istilah ini dipakai secara khusus dalam franchise dunia 

hiburan, terutama film dan konten audio-visual. Jadi, dalam 

ranah streaming daring, licensing berarti proses memperoleh 

izin dari pemilik TV show atau film agar konten mereka bisa 

ditayangkan lagi dalam versi streaming di jasa layanan 

streaming. Jadi, posisi Netflix adalah sebagai penerima waralaba 

dari berbagai jenis pemberi waralaba. Dalam pembahasan 

sebelumnya tentang waralaba digital, kita telah membahas 

mengenai crossmedia dan transmedia. Dalam hal ini, Netflix 

adalah penerima waralaba crossmedia berbayar.  

Jadi, ada sebuah keunikan di sini. Satu entitas penerima 

waralaba dapat menerima lisensi dari banyak pemberi waralaba, 

yang hampir mustahil dilakukan dengan cara konvensional 

dalam brick-and-stone franchise tanpa keterlibatan teknologi 

informasi. Bayangkan jika Anda mengelola sebuah minimarket 

dan di saat yang sama mengelola waralaba tukang pangkas 

rambut. Namun untuk konten digital, semua itu mungkin. 

Sebagaimana yang disurvei oleh kementerian perdagangan 

pada awal tahun 2019 lalu, sektor e-commerce, termasuk 

startup, online shops dan perdagangan digital memiliki nilai 

investasi terbesar di Indonesia. Ledakan investasi dalam sektor 

e-commerce ini akan memunculkan fenomena yang dikenal 

sebagai e-commerce boom.  

Sebagaimana waralaba memiliki pihak franchisor dan 

franchisee, dalam ranah konten digital dikenal istilah licensor 

dan licensee. Fungsi, tugas dan tanggung jawabnya sama 

dengan franchisor dan franchisee. Istilah ini lazim dipakai  

dalam franchise digital karena sistem franchise ini kebanyakan 

melibatkan pemakaian  konten dan hak kekayaan intelektual. 

Dalam kasus Netflix, bahkan ada konten eksklusif yang hanya 

bisa ditonton di Netflix saja. Maksudnya, konten-konten 

eksklusif ini dibuat oleh penyedia konten (stasiun TV atau 

rumah produksi) dan dijual kepada Netflix degan harga 

eksklusif. Untuk mendapat  lisensi konten-konten ini, Netflix 

harus merogoh saku lebih banyak.Imbasnya juga signifikan. 

Berkat konten eksklusif ini, pelanggan Netflix meningkat drastis 

hingga mencapai hampir 140 pelanggan di sleuruh dunia di 

kuartal awal 2019. Netflix memakai  prediksi rating untuk 

menentukan konten selanjutnya. Dengan mengkalibrasi impresi 

penonton dan jenis video apa yang banyak ditonton, Netflix 

bisa menentukan konten-konten pilihan selanjutnya. 

Walaupun Netflix mencuat dari penyewaan DVD 

konvensional menjadi raksasa dunia konten digital berbayar,

bukan berarti Netflix tak punya ancaman. Sebenarnya, Netflix 

tidak punya konten yang dibuat sendiri (disebut konten 

original), melainkan bergantung pada perjanjian lisensi dengan 

berbagai pihak. Karena pelanggan Netflix naik drastis, pihak 

pemberi lisensi cenderung menaikkan royalti lisensinya. Di 

tahun 2018 saja, biaya licensing yang harus dibayar oleh Netflix 

mencapai 13 milyar dolar AS, terbesar dalam sejarah waralaba 

crossmedia digital. 

Ini membuat Netflix berpikir keras. Pengeluaran sebanyak 

itu untuk membeli lisensi akan berdampak kurang sehat untuk 

keuangan perusahaan. Untuk menjaga stabilitas keuangannya, 

Netflix akhirnya menciptakan konten originalnya sendiri mulai 

tahun 2013. Film-film originalnya antara lain House of Cards,

Orange Is a New Black, dan the Crown. Ia bahkan mengangkat 

kisah dari banyak novel menjadi konten film original yang 

kemudian terus bertambah jumlahnya hingga kini.  

Netflix kini berada di ambang desruptif, meskipun ia sudah 

bertransformasi berkali-kali dalam modus waralaba konten 

digital.Yang terjadi sekarang adalah, banyak studio film telah 

membuka platform layanan konten sendiri. Baru-baru ini, Disney 

mengikuti jejak Netflix dengan membuat streaming berbayar 

Disney Plus.Tak mau ketinggalan, Fox, Warner Bros. dan banyak 

rumah produksi lainnya berbalapan meluncurkan platform 

streaming. bila  perkembangan ini terus tejadi, maka jalan 

satu-satunya bagi Netflix adalah menjadi produsen film sendiri, 

bukan lagi membeli lisensi franchise dari penyedia konten. 

Rupanya, Netflix memang serius dalam mengembangkan 

konten original. Perusahaan raksasa itu telah mengeluarkan 15,7 

milyar dolar AS untuk mengembangkan konten-konten 

originalnya dari tahun 2018.  

Dari kasus ini, dapat kita amati bahwa terdapat 

kecenderungan independensi baik dari pihak pemberi maupun 

penerima waralaba dalam ranah digital. Pemberi warlabaa tidak 

lagi memberikan lisensi produk dan jasanya karena dia dapat 

berekspansi sendiri berkat semakin luasnya jangkauan media 

digital dan platform. Menyusul Netflix, Fox mengeluarkan Hulu 

dan Hulu Plus yang menjaring enam juta pelanggan. Amazon 

mengeluarkan platform streaming bernama Amazon Prime 

Video. Apple Inc. tak mau ketinggalan. Ia mengeluarkan Apple 

TV yang siap menjadi raksasa dan menelan platform mana saja 

yang tidak berevolusi. 

 

 



franchise waralaba 5



 komendasi atas rate dan ulasan 

positif dari wisatawan, bukan dari pantauan mereka. Prinsipnya 

adalah, semakin banyak ulasan yang diberikan, maka 

keuntungan ada di pihak anggota dan juga TripAdvisor. 

TripAdvisor juga mendapat  power dari ulasan-ulasan 

wisatawan, dan karena itu disinyalir bahwa TripAdvisor juga 

berperan serta dalam menghapus komentar-komentar negatif 

yang ditujukan kepada anggotanya53. 

Di bagian awal buku ini telah dijelaskan bahwa perjanjian 

waralaba bisa terjadi antarindividu selain antarbadan usaha. 

Asalkan ada benefit yang dibagi dan ada royalti yang dibayar, 

maka waralaba terjadi. Ada satu kasus menarik terkait prinsip-

prinsip waralaba antarindividu (atau bisa juga merambah antara 

individu dengan badan). Waralaba ‗setengah matang‘ ini beraksi 

di dunia maya, yakni penjualan nama domain.  

                                                           

Domain menduduki posisi penting dalam peradaban 

digital. Sebuah domain memiliki posisi strategis yang nyaris 

setara dengan sebuah brand, sebab ia terkait dengan posisi 

sebuah perusahaan di laman pertama Google. Nama domain 

menentukan di mana posisi sebuah perusahaan di dunia 

maya,—yang dilihat dari di baris dan halaman berapa nama 

perusahaan itu muncul di laman mesin pencari Google. Sebuah 

perusahaan harus membayar Google bila ia ingin menduduki 

top position di mesin pencari. Lagi dan lagi, ada unsur waralaba 

di sini. Perusahaan itu membeli layanan sistem Google dan 

Google bakal menempatkannya di top position selama kurun 

waktu yang ditentukan. 

Karena itu, nama domain yang unik, mencerminkan 

perusahaan, mudah diingat, dan simpel adalah domain yang 

paling dicari. Melihat peluang ini, para pengguna internet yang 

dikenal sebagai para ‗pemelihara domain‘ membeli domain unik 

dari penyedia jasa domain, lalu menyimpannya. bila  suatu 

perusahaan atau individu lain menginginkan nama domain itu, 

si pemelihara domain bisa menjualnya dengan harga puluhan 

hingga ratusan juta rupiah. 

Katakanlah sebuah domain ‗pemilu2014.com‘. Di tahun 

2019, domain ini barangkali belum ada yang memakai, namun 

menjelang pemilu 2024, banyak partai politik dan tim suksesnya 

akan memburu nama domain unik ini. Jadi, mulai jauhari 

sebelumnya si ‗pemelihara domain‘ membeli domain ini dan 

menyewanya seharga Rp 150.000-an per tahun. Di tahun 2023, 

domain ini akan dipajang dan ditawar dengan harga sangat 

tinggi. Tim sukses dan partai politik akan sangat menginginkan 

domain ini karena kata kuncinya yang benar-benar menjurus. 

Karena itu, mereka mau membeli dengan harga sangat tinggi. 

Mengapa kasus ‗pemelihara domain‘ ini termasuk sebuah 

waralaba ‗setengah matang‘? Si pemelihara domain sesung-

guhnya tidak memiliki lisensi hak cipta atau hak merek atas 

domain yang mereka pelihara. Mereka hanya membeli domain 

unik dan memeliharanya. Namun tatkala pihak parpol dan tim 

sukses membeli domain itu dari si pemelihara, seolah-olah si 

pemelihara itulah yang memiliki lisensi domain, padahal tidak. 

Anda mungkin bisa mencoba membeli sebuah domain, 

katakanlah ‗officialpemilu2024.com‘ atau ‗infodenpasar.id‘, lalu 

menjualnya dengan harga tinggi tatkala orang-orang 

membutuhkan domain itu. Anda bisa mendapat  keuntungan 

besar. Namun, kemungkinan ini juga tak lepas dari risiko 

kerugian. Untuk mencegah tindakan si ‗pemelihara domain‘ ini, 

banyak perusahaan dan lembaga resmi memiliki lebih dari satu 

domain website agar tidak diambil-alih oleh pemelihara domain 

yang tidak bertanggung jawab. Sebagai contoh, media 

hindustantimes.com memiliki sampai lima domain website yang 

mengandung kata hindustan, hindutimes, dan hindunews agar 

tidak disalahgunakan pihak-pihak iseng. 

Contoh-contoh di atas hanyalah sebagian kecil dari kom-

pleksnya sistem digital yang merambah berbagai bidang. 

bila  dihadapkan pada dunia digital, Anda akan banya 

bertemu dengan X yang bukan X, atau waralaba yang bukan 

waralaba, sebab segala kemungkinan terbuka lebar di ranah 

digital. Kemungkinan-kemungkinan ini terbuka begitu lebar 

karena akses informasi dan pertukaran data yang hampir tidak 

bisa dibendung. Karena itu, waralaba di era digital adalah 

kombinasi antara teknologi, media, platform dan pengelolaan 

finansial yang efisien, ringan, mudah dan menguntungkan 

kedua belah pihak. Prinsip-prinsip waralaba pun dipakai di 

berbagai lini dengan banyak modifikasi. Jang & Park menyebut 

bahwa waralaba di era digital lebih menjurus pada win-win 

solution di antara pihak pemberi dan penerima waralaba54. 

Menurut penelitian yang dilakukan oleh The Franchise Show di 

tahun 2017, generasi milenial kini lebih memilih waralaba 

dengan mobilitas tinggi yang ‗mengejar keramaian‘ daripada 

sistem waralaba immobile yang lebih tua55.  

Kesimpulannya, sebuah brand yang kuat adalah potensi 

pasar yang besar. warga  milenial menilai suatu produk dan 

jasa dari kekuatan brand. Oleh karena itu, sebuah prusahaan 

rela menggelontorkan dana sedemikian besar untuk mem-

bangun citra brand, memberi nama yang melekat di hati, dan 

meningkatkan prestise mereknya56. Dengan demikian, tren 

waralaba di era milenial lebih menjurus pada menyewa power 

dari sebuah merek. 

Peta Jalan Riset Waralaba 

Tren waralaba yang juga sedang digandrungi namun 

memiliki risiko yang lumayan memusingkan kepala adalah 

waralaba internasional. Prinsipnya, apa pun yang dilakukan 

dengan modal besar, maka risikonya juga besar. Dalam bagian 

ini, kita mempelajari kembali sebuah review berharga yang 

dilakukan B. Elango57 hingga 2018 dengan begitu tekunnya 

melakukan studi terhadap tren waralaba lewat 570 artikel ilmiah 

selama tiga dekade. Dia menyatakan bahwa celah-celah ilmu 

                                                          

waralaba yang bisa menjadi roadmap riset berikutnya ada dalam 

ruang yang sangat luas sebab waralaba serta segala jenis 

atributnya berkembang dengan begitu cepat terutama di 

dekade terakhir abad kedua puluh. Konsentrasi topik riset 

waralaba yang potensial untuk saat ini adalah mengenai pihak-

pihak yang terlibat dalam waralaba beserta shift motivasi 

mereka dalam melakukan waralaba. Topik ini termasuk 

menemukan cara untuk mengakomodasi faktor-faktor dan 

intrik-intrik yang mendorong peningkatan hasil waralaba. 

Yang juga perlu disoroti dalam penelitian selanjutnya ada-

lah definisi dalam perspektif multidimensional. Waralaba meli-

batkan tiga dimensi atau perspektif, yakni dari perspektif 

penerima, pemberi dan sistem waralaba. Karena itu, definisi 

yang terkait dengan waralaba harus dijabarkan sesuai dengan 

perspektif yang diambil oleh peneliti. Agar penelitian tentang 

waralaba di masa depan menjadi lebih tajam, Elango mengu-

sulkan agar peneliti selanjutnya menggarisbawahi atau mene-

kankan asumsi dan perspektif secara spesifik untuk menghindari 

bias interpretasi.  

Bidang kajian selanjutnya ada pada faktor-faktor luar yang 

mempengaruhi outcome waralaba. Efektif atau tidaknya wara-

laba sangat tergantung dari lingkungan suatu negara, industri, 

dan karakteristik produk dan jasa yang diminati di suatu tempat. 

Dengan demikian, penelitian mengenai waralaba di masa depan 

juga harus mengedepankan aspek demografi dan konteks latar 

yang berbeda-beda. Sebagai contoh, Anda dapat melakukan 

penelitian waralaba dengan menjawab pertanyaan apakah 

waralaba cocok diterapkan pada restoran vegetarian di Bali? 

Apakah minat waralaba di Bali dipengaruhi oleh budaya yang 

dianut warga  Bali? Apakah karakteristik waralaba di 

Indonesia dipengaruhi oleh karakteristik warga  Indonesia 

dari segi agama dan budaya? Perlindungan hukum macam apa 

yang bisa menaungi waralaba transportasi daring dan gamers di 

Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, menurut Elango, 

akan membuka paradigma baru dalam dunia waralaba lintas 

disiplin ilmu. 

Yang sangat penting dalam kaitannya dengan riset menge-

nai waralaba adalah keterlibatan kecerdasan buatan (artificial 

intelligence) dan automatisasi pelayanan dalam waralaba. De-

ngan berkembangnya kecerdasan buatan, Elango berpendapat 

bahwa tidak menutup kemungkinan bahwa di masa depan akan 

ada perjanjian waralaba antara franchisor dan franchisee yang 

bukan manusia. Maksudnya, baik manajemen pemberi waralaba 

maupun penerima waralaba adalah sama-sama kecerdasan 

buatan. Tentunya akan ada evolusi fundamental mengenai 

definisi dasar waralaba, termasuk definisi dasar pihak-pihak dan 

sistem waralaba. Selama dua puluh hingga lima puluh tahun 

mendatang, topik kajian mengenai kecedasan buatan dalam 

kegiatan ekonomi ini akan menjadi trending topic yang menarik 

sekali. 

Peluang riset waralaba yang tak kalah menariknya juga 

berada dalam topik waralaba internasional dan domestik. 

Rosado-serrano et. al berpendapat bahwa ada dua pertanyaan 

penting mengenai waralaba domestik dan internasional, yakni 

faktor-faktor pendukung dan penentu waralaba serta mengapa 

ada kecenderungan waralaba domestik tidak berminat 

merambah ke internasional58. Mereka menyatakan bahwa 

waralaba internasional memiliki beberapa ‗tembok pembatas‘ 

yang lumayan sulit dilewati oleh waralaba domestik, yakni 

masalah hukum (legal context), risiko kekayaan intelektual yang 

                                                          

berbeda-beda di setiap negara, serta mengenai kontrol sistem. 

Kebanyakan waralaba domestik masih memakai  sistem 

kontrol, di mana pewaralaba melakukan kontrol terhadap para 

franchisee untuk menjamin keseragaman sistem, kinerja dan 

mutu. Namun, Rosado-serrano dan kawan-kawannya 

menemukan bahwa waralaba internasional lebih mementingkan 

sistem kolaborasi daripada kontrol semata. Dalam sistem 

waralaba kolaborasi, suatu perusahaan di suatu negara 

memakai  sumber daya dari negara lain yang tidak 

dimilikinya di negaranya. Misalnya, McDonalds di Amerika tidak 

memiliki bahan-bahan rempah tropis untuk sambal matah khas 

Bali, sementara itu McDonalds Bali punya. Dengan kolaborasi 

ini, sistem waralaba menjadi jauh lebih fleksibel dan memiliki 

sentuhan budaya lokal. Topik-topik penelitian dalam kancah ini 

masih berpeluang besar sebab ada banyak gap yang belum 

terisi, terutama dalam hal alasan-alasan waralaba domestik di 

Indonesia tidak memakai  sistem kolaborasi, dan sejauh 

mana kolaborasi akan berpeluang meningkatkan ekspansi 

waralaba di dalam negeri. 

Baena dan Cervino, dua akademisi Spanyol, mengungkap-

kan faktor-faktor yang mempengaruhi waralaba internasional di 

Spanyol59. Mereka merumuskan sepuluh faktor pendukung 

(atau malah penghambat) berkembangnya waralaba internasi-

onal di Spanyol. Faktor-faktor ini  adalah (1) jarak antara 

suatu negara dan negara lain yang berpotensi untuk dita-

namkan waralaba; (2) cultural distance atau kesenjangan 

budaya, (3) menghindari risiko ketidakpastian yang relatif tinggi; 

(4) sifat individualisme suatu bangsa; (5) stabilitas politik60; (6) 

                                                           

korupsi di suatu negara; (7) kekuatan hukum suatu negara61; (8) 

kecepatan negara menangani sengketa; (9) biaya pengadilan 

dan perlindungan hukum; dan (10) penolakan terhadap risiko. 

Menurut Hoffman et. al62, faktor yang paling menentukan 

suatu waralaba memutuskan untuk berekspansi ke kancah 

internasional atau tidak adalah favorable political governance 

‗situasi politik yang menguntungkan‘ dan country business 

climate‗ iklim bisnis negara‘. Sementara itu, Wu63 menambahkan 

bahwa faktor kunci yang berpotensi mendorong keinginan 

penerima waralaba untuk bertahan dan sehatnya kinerja 

keuangan dalam sistem waralaba adalah knowledge sharing 

(berbagi wawasan antara penerima dan pemberi waralaba), trust 

(kepercayaan antara kedua belah pihak)64, conflict management 

(manajemen konflik) dan reputasi merek. Menurut Wu, keahlian 

pemberi waralaba tidak berimbas pada keputusan penerima 

waralaba untuk mengekspansi suatu waralaba. 

Mariz-Pérez menemukan bahwa perusahaan yang berusia 

lebih tua cenderung untuk berekspansi ke luar negeri65. Ini 

disimpulkannya berdasarkan penelitiannya di Spanyol. Di Indo-

nesia sendiri, karena mata uang yang nilainya rendah, ekspansi 

ke luar negeri hanya dilakukan bila kekuatan finansial sudah 

betul-betul kokoh. 

                                                          

Di balik situasi ini, Davies dan rekan-rekannya66 dari negeri 

kangguru berpendapat bahwa dengan adanya kolaborasi 

sumber daya alam maupun manusia dari negara-negara yang 

berbeda,—yang disebutnya sebagai pasar internasional—maka 

akan terjadi evolusi dinamis suatu perusahaan. Ekspansi suatu 

perusahaan membutuhkan integrasi antara institusi lokal 

dengan faktor-faktor industri, termasuk kontribusi-kontribusi 

spesifik apa yang bisa diberikan oleh pewaralaba dan penerima 

waralaba. Kemampuan waralaba untuk mempertahankan 

kepercayaan, kerja sama dan pemberdayaan sumber daya 

adalah hal pokok yang paling menentukan keberhasilan suatu 

waralaba internasional.  

bila  Anda berminat untuk melakukan riset waralaba 

internasional. Davies et. al67 mengajukan beberapa teori kajian 

yang bisa dijadikan landasan berpikir, misalnya adalah teori 

pertukaran relasi yang bermanfaat untuk membedah bentuk 

kepercayaan seperti apa yang bisa mencakup elemen-elemen 

properti kekayaan intelektual, peredaman konflik dan penca-

paian tujuan bersama dalam sistem waralaba internasional.  

Transmedia Storytelling 

Dulu Anda membaca novel Harry Potter, dan beberapa 

tahun kemudian Anda sudah bisa melihat filmnya. Kisahnya 

sama dengan versi novelnya, meski menurut survei banyak 

pembaca kecewa karena Harry Potter versi film tidak secetar 

imajinasi mereka tatkala membaca. Diangkatnya Harry Potter 

dari serangkaian novel fantasi menjadi tujuh sekuel film 

franchise adalah contoh waralaba perfilman yang dikenal 

                                                           

sebagai cross-media franchise, atau waralaba lintas media. 

Sebagaimana yang telah dipaparkan di bab 2, sebuah rumah 

produksi film membeli hak cipta cerita novel yang sudah 

terkenal, lalu memproduksinya dalam wujud film. Si rumah 

produksi tidak boleh mengubah alur ceritanya (itu pelanggaran 

hak cipta). 

Namun dalam transmedia storytelling franchise, dimensi 

semesta sebuah cerita akan jauh berbeda. Mari kita ambil 

contoh Pokemon, sebagaimana ditulis apik oleh Bainbridge68 

dalam publikasinya. Pokemon pada awalnya berbentuk sebuah 

manga, atau komik Jepang. Kemudian, konsep ceritanya 

diadaptasi ke dalam film kartun seri. Banyak orang mulai 

menyukai tokoh Pikachu dan sang pemiliknya, sehingga mereka 

ingin merasakan juga sensasi menangkap Pokemon dan 

mengadu mereka, lalu mendapat  ranking sebagai Pokemon 

master. Menanggapi keinginan penggemar Pokemon di seluruh 

dunia, Bandai membeli merek Pokemon dan membuat sebuah 

game console yang meledak luas di pasaran era 90-an. Melalui 

game konsol Pokemon, setiap orang bisa merasakan ‗sisi lain‘ 

Pokemon di balik cerita sekuel utamanya. Para penggemar bisa 

merasakan sensasi berada di dunia Pokemon dan menjadi 

bagian di sana.  

Di era smartphone, Pokemon Go menjadi transmedia dari 

merek Pokemon berbasis augmented reality. Lewat game ini, 

orang-orang bisa menangkap monster dengan memanfaatkan 

kamera ponsel dan GPS. Sayangnya, banyak korban berjatuhan 

akibat keasyikan bermain Pokemon Go. Ada yang tertabrak, 

tercebur, hingga jatuh dari lantai yang tinggi. Game ini pun 

dikategorikan sebagai game berbahaya dan dilarang di 

                                                           

sejumlah negara karena berpotensi merusak pola belajar dan 

keamanan anak-anak. 

Pokemon dan variasi-variasi ceritanya di platform-platform 

yang berbeda adalah sebuah manifestasi dari apa yang disebut 

Banks dan Wasserman sebagai transmedia storytelling 

consumption69. Dalam sebuah cross-media storytelling, Anda 

hanya mengadaptasi satu jenis dan alur cerita ke dalam media 

yang berbeda. Namun dalam transmedia storytelling, Anda 

membuat bagian kisah-kisah berbeda di platform yang berbeda. 

Dalam Game of Thrones dan Warcraft, misalnya, Anda bisa ikut 

menjadi pasukan dalam game daringnya, bertempur melawan 

musuh layaknya si tokoh utama, lalu menang. Di bioskop, Anda 

disuguhi alur cerita utamanya. Dalam dunia augmented reality, 

Anda bisa berlatih bela diri, menunggangi naga dan sebagainya.  

Salah satu franchise film yang sukses dengan transmedia 

storytelling franchise-nya di lima tahun belakangan ini adalah 

Star Wars. Dalam sekuel utamanya yang kini mencapai sembilan 

episode, Anda akan menyimak kisah utama Star Wars dan 

peperangan antara dark force dan white force. Dalam game Star 

Wars, Anda bisa mendapat  informasi mengejutkan tentang 

tokoh-tokoh lain yang tidak ada dalam sekuel film utama. 

Dalam game Star Wars ada kisah petualangan para ksatria Jedi 

sebelum cerita sekuel film pertama. Karena itu, versi game Star 

Wars dikenal sebagai the Old Republic.  

Transmedia storytelling mengakuisisi kekuatan platform 

media sosial, gaming dan realitas virtual untuk menyebarkan 

cerita dari berbagai sudut pandang di samping alur utama. 

Dengan transmedia storytelling, penggemar cerita bisa menikmati cerita bagaikan hidup di dunia cerita itu bersama para 

tokohnya, bahkan menjadi tokoh utamanya70. 

Dalam sebuah transmedia storytelling, ada gabungan antara 

elemen narasi (cerita), dunia nyata, co-creation dan gaming. 

Keempat elemen itu adalah pilar yang paling dasar bagi sebuah 

transmedia. Sebuah cerita utama disampaikan lewat media film 

dan kemudian dibuatkan sekuelnya. Tokoh utama dalam cerita 

itu bisa saja dibuatkan sebuah film lain (yang dikenal sebagai 

versi [tanya Krishna Prasada]) yang mengisahkan tentang 

kehidupan pribadinya di luar sekuel utama. Para penggemar 

berat film itu bisa menjadi co-creators yang mmbuat versi lain 

dari cerita. Ini dikenal sebagai fan-fiction narrative. Dengan 

memanfaatkan teknologi dan media sosial, pera penggemar ini 

bisa membuat alur cerita yang samasekali baru namun 

menyewa hak franchise dari sekuel utama. Dalam kuadran 

gaming, sebuah narasi alur bisa dibuatkan sebuah permainan 

petualangan yang melibatkan media teknologi yang 

beragam,—mulai dari play station hingga virtual reality games.  

Mari kita melihat contoh transmedia storytelling yang unik 

dan membuat waralabanya mampu bertahan selama lebih dari 

setengah abad meskipun nyaris tanpa perubahan narasi. Kisah 

itu adalah Cinderella yang terkenal. Kisah ini berawal dari cerita 

rakyat Inggris tentang the litttle glass slipper ‗sepatu kaca kecil‘. 

Kemudian, Walt Disney mengadopsinya ke dalam bentuk film 

pada tahun 1950 dalam bentuk kartun animasi. Tahun itu adalah 

tahun kelahiran Cinderella di layar perak. Tahun 2015 lalu, film 

ini kembali diputar dalam versi live-action71. Selama lebih dari 

lima puluh tahun menjadi salah satu maskot Walt Disney yang 

disukai anak-anak, Cinderella telah memiliki segudang franchise 

                                                           

dan masuk dalam jajaran transmedia mulai tahun 70-an. Selain 

tiga sekuel utamanya, Cinderella telah dikemas dan di-remix ke 

dalam media-media lain seperti opera, konser lagu, enam 

atraksi theme park, drama musikal, hingga enam video game.  

 

 

Gambar 3.1 Konsep transmedia storytelling oleh Pratten (2015) yang 

melibatkan empat kuadran. Masing-masing kuadran adalah ruang waralaba 

naratif yang sangat luas dengan keuntungan sangat besar. 

 

Era milenial tampaknya tak membuat kisah Cinderella yang 

simpel namun menggugah banyak hati pudar. Walaupun 

plotnya terkesan sangat sederhana, Cinderella masih menyihir 

banyak penggemar. Memasuki era milenial, di mana gadis-gadis 

sudah sangat jarang mengepel dengan lap basah (sebab alat 

pel putar sudah ditemukan dan tidak ada dalam peradaban 

Cinderella versi aslinya), maka Cinderella pun mesti berubah. 

Maka, beberapa rumah produksi film Amerika Serikat telah 

mengembangkan franchise gadis muda yang merana ini ke 

dalam Cinderella 2.0. 

Yang menarik dari konsep Cinderella 2.0 atau Cinderella 

milenial ini adalah bagaimana kisahnya diadaptasi dan dise-

suaikan dengan realita milenial. Tatkala Cinderella mendapat  

undangan, misalnya; yang mengundang bukan lagi pangeran 

yang mengendarai kuda dan memiliki kurir surat, namun 

melalui Facebook instant messenger. Pangeran yang menyukai 

Cinderella bukan lagi pangeran yang berburu ke hutan, namun 

anak seorang bankir yang tengah hiking ke desa sambil mem-

berikan sumbangan pada warga. Kendaraannya bukan lagi 

kuda, namun mobil sport. Plot tentang bagaimana sang 

pangeran menemukan Cinderella juga berubah. Sang pangeran 

memakai  media sosial untuk menemukan si pemilik sepatu 

kaca yang ternyata dipinjam Cinderella dari sebuah salon 

terkenal di kota.  

Di Indonesia, fenomena yang berpotensi besar untuk 

dijadikan sebuah transmedia franchise adalah waralaba film 

horor. Anda mungkin tertawa membaca ini, namun Anda bisa 

lihat buktinya dengan mengklik Google Trends. Dengan hasil 

komparasi kata kunci di Google Trends saja kita dapat menge-

tahui tren narrative fiction yang terjadi di wilayah Indonesia 

selama bulan Agustus 2019. Yang mengejutkan adalah, ketika 

kata kunci ‗novel fiksi ilmiah‘ diketik, hanya 10% pembaca di 

Indonesia yang membahas tentang topik itu di dunia maya. 

Persentase 11-13% ditempati ‗cerita petualangan‘. Kemudian, 

ketika ‗cerita misteri‘ diketik, trennya melonjak menjadi 40%. 

Posisi teratas, yakni 80-90%, ditempati oleh kata kunci ‗cerita 

horor‘, ‗cerita cinta, dan ‗cerita korea‘. Ini membuktikan bahwa 

kisah-kisah berbau mistik dan horor masih mendominasi dunia 

storytelling Indonesia.  

Anda bisa buktikan kekuatan tren horor ini tatkala menyi-

mak betapa viralnya kisah KKN di desa penari. Dalam waktu 

sebulan sesudah  postingan anonim itu menyebar di Twitter, 

Facebook, grup-grup WhatsApp dan media sosial lain, toko 

buku Gramedia sudah menjual novelnya dengan judul yang 


sama persis, tanpa ilustrasi mencolok, dan dengan tulisan KKN 

merah besar di depannya. Tak cukup sampai sana. Kabarnya 

Joko Anwar telah merilis teaser filmnya yang akan mulai syuting 

pada 2020. Teaser ini sudah ramai diperbincangkan di media 

sosial. Inilah mengapa isu KKN horor di desa terpencil ini 

memiliki kecenderungan untuk jadi transmedia storytelling 

franchise khas Indonesia yang bisa dinikmati banyak orang. 

Menurut  

Fakta menyatakan bahwa debut tertinggi waralaba dengan 

keuntungan terbesar pada dekade terakhir adalah waralaba film. 

Beberapa waralaba film tidak hanya merambah sebatas 

franchise lintas ruang (media), namun juga lintas waktu. Marvel, 

contohnya, mengembangkan franchise lintas media dan lintas 

produsen. Berawal dari komik, franchise seharga 5 milyar dolar 

AS ini72 mengambil rating di dunia film animasi, lalu film sekuel. 

Waralaba lintas waktu juga menjadi tren saat ini. Film 

remake contohnya, adalah franchise yang memanfaatkan kerin-

duan warga  pada kejayaan masa lalu, kenangan tahun 90-

an yang saat ini jadi bahan perbincangan di kala santai. Kei-

nginan banyak generasi X, yang berada di masa transisi antara 

era analog dan teknologi digital, untuk mengenang kembali 

kenangan-kenangan saat mereka mengetik secara manual atau 

naik delman ke kota, membuat produsen film berkeinginan 

untuk mengembalikan sensasi itu dalam film remake.  

Drone delivery 

Negara yang pertama merestui pengiriman barang lewat 

drone adalah Eslandia, yakni di kota Reykjavik. Alasannya adalah 

karena topografi wilayahnya yang dipisahkan oleh banyak 

perairan. Perusahaan ritel AHA bekerja sama dengan peru-

                                                           

sahaan drone Flytrex membuat terobosan itu pada tahun 2017. 

Pemerintah Eslandia menanggapinya dengan positif. Brkat 

drone, biaya kirim bisa dipangkas hingga 60%. Saat itu, CEO 

AHA berkata bahwa dia sangat ingin sistem delivery via drone ini 

diikuti oleh negara-negara lain. 

Ternyata benar. Apa yang dilakukan AHA diintip oleh 

Amazon. Perusahaan raksasa itu memulai sistem pengiriman 

barang berbasis GPS dan drone dan beroperasi di California 

mulai tahun 2017. Pengiriman barang melalui drone telah 

menjadi mode delivery service karena murah dan bebas macet. 

Hanya saja, pengiriman barang dengan kurir drone terkendala 

keamanan dan privasi. Survei oleh FAA tahun 2014 mengung-

kap bahwa sebagian warga  masih meragukan kredibilitas 

drone sebagai alat transportasi barang sebab belum ada 

regulasi spesifik yang mengatur lalu lintas drone dan hal-hal 

apa saja yang tidak boleh dilakukan dengan drone. Ketakutan 

warga  kebanyakan adalah bahwa drone bisa dipakai  

sebagai alat pengintai atau alat penyadap, sehingga berpotensi 

mengganggu privasi73. Sebanyak 54% orang Amerika dewasa 

tidak setuju jika drone dibiarkan berkeliaran di perumahan, 

namun 44% menyatakan setuju jika drone bebas terbang di 

tempat umum. Ini mengisyaratkan bahwa sebagian warga 

Amerika waktu itu tidak setuju jika wilayah perumahan dijadikan 

wilayah akses bagi drone.  

Senat Amerika Serikat sendiri mengalami debat panjang 

mengenai regulasi yang mengatur drone sebagai alat 

transportasi barang. pemakaian  drone secara komersil 

dilarang pada Juni 2014 dengan terbitnya regulasi FAA yang 

menyatakan bahwa UAV (Unmanned Aerial Vehicle,—kendaraan 

terbang tak berawak) tidak diperkenankan untuk dipakai  

                                                           

sebagai alat transportasi komersil, termasuk mengantar barang 

dengan imbalan atau tujuan lain. Pada Agustus 2016, ada revisi 

peraturan FAA mengenai drone. Mereka lebih bijak, dengan 

memberikan registrasi dan izin terbang pada UAV dengan 

bobot kurang dari 25 kg dan berkecepatan maksimum 160 

km/jam di ketinggian maksimum 120 meter. Peraturan ini 

termasuk jam terbang dan pengontrolnya yang tidak boleh 

berusia kurang dari 16 tahun. 

sesudah  Amazon melakukan terobosan delivery via drone 

yang menggairahkan para usawahan itu, muncul berbagai ide 

lain untuk melakukan hal yang sama. Menyambut hal ini, 

proposal peraturan drone sebagai alat pengiriman barang 

diajukan oleh Senat Amerika Serikat pada 201774. Barulah pada 

Oktober 2017, terbuka kesempatan bagi pihak-pihak penentu 

aturan untuk mempelajari kembali potensi drone sebagai alat 

transportasi barang yang pada akhirnya menyetujui 

pemakaian  drone sebagai delivery vehicle di Amerika Serikat75. 

Langkah Amazon yang inovatif ini akhirnya berbuah manis. 

sesudah  gagal berkali-kali membujuk FAA agar memberikan izin 

pengiriman paket lewat perantara UAV sejak 2017, Amazon 

justru tidak emosional dan tidak menggelar demo di depan 

kantor pemerintah. Amazon malah melakukan cara profesional. 

Yang dilakukannya adalah membuktikan kepada FAA bahwa 

pengiriman lewat drone adalah langkah efisiensi yang mutakhir. 

Amazon membuat banyak video tentang bagaimana mereka 

melakukan uji coba pengiriman makanan di Inggris via drone 

yang hanya membutuhkan waktu 13 menit melintasi London. 

                                                           

sesudah  beberapa kali uji coba, akhirnya FAA melakukan 

penelitian lebih lanjut dan memberlakukan izin pengiriman 

barang via drone di tahun 2017. 

Langkah Amazon yang spektakuler itu diikuti oleh banyak 

perusahaan jasa pengiriman. JD.com, misalnya, perusahaan 

pengiriman paket di Tiongkok. Yang dikirim adalah barang-

barang ringan seperti gawai, makanan dan minuman. Tujuan 

JD.com memakai  jasa drone adalah agar warga  

perdesaan Tiongkok yang teralang topografi yang sulit juga 

bisa merasakan kemudahan berbelanja online.  

 

 

Gambar 3.8 | Drone Amazon sedang beraksi (sumber: theverge.com). 

 

Jika Amazon sukses dengan jasa pengiriman nirawak Prime 

Air-nya, maka Google pun sukses dengan Wing. Alphabet Inc., 

salah satu anak perusahaan Google memberdayakan drone 

mulai tahun 2018 silam di Australia. sesudah  melalui uji coba 

selama 18 bulan, Wing akhirnya mendapat izin resmi dari badan 

pengawas penerbangan Australia. Selama ini, barang-barang 

yang dikirim Wing hanyalah makanan, mulai dari pop corn 

hingga cokelat batangan. Efisiensi drone sangat terasa di kota-

kota yang lalu lintasnya padat atau daerah desa yang jauh. 

Meskipun Wing dapat beroperasi di Australia, tetap saja 

pesawat kurir nirawak ini dilarang beroperasi pada malam hari. 

Pada awalnya, Wing mendapat sejumlah protes karena 

suara bisingnya bisa didengar sampai ruangan dan mobil yang 

tertutup rapat. Karena itu, Wing dilarang terbang di sepanjang 

jalanan utama. Kini, Wing bahkan dapat mengantar pesanan 

kopi panas yang bisa tiba di tangan pelanggannya sebelum jadi 

dingin. 

pemakaian  drone memang mengundang banyak kontro-

versi. Sebelum drone dikomersilkan, alat ini hanya dipakai 

kalangan pemerintah dan militer demi tujuan spionase, anti-

terorisme, penanganan radiasi nuklir dan penjinakan bom. 

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perhubungan me-

nerbitkan Peraturan Menteri Nomor 90 Tahun 2015 tentang 

regulasi umum pemakaian  pesawat udara tanpa awak. Salah 

satu aturan itu adalah larangan terbang di atas ketinggian 150 

meter dan sejumlah wilayah udara yang dilarang. Namun 

demikian, peraturan ini belum lengkap karena belum 

membahas detail mengenai lisensi dan sanksi atas pelanggaran 

yang dilakukan. 

Peraturan Menteri itu kemudian disusul empat peraturan 

menteri lainnya, yakni Nomor 163 Tahun 2015, Nomor 180 

Tahun 2015, Nomor 47 Tahun 2016 dan Nomor 78 Tahun 2017. 

Sama seperti regulasi untuk transportasi umum online, 

pemakaian  drone secara komersil maupun individu adalah 

suatu bentuk evolusi teknologi yang tidak bisa dielakkan lagi. 

Mau tidak mau, ranah hukum mesti turut berevolusi untuk 

mengakomodasi berbagai kepentingan agar tidak saling berbenturan. Mulai 2016, Kemenhub mengizinkan drone terbang 

melebihi ketinggian 150 meter dengan lisensi dari unit navigasi 

penerbangan. Sanksi pelanggaran pemakaian  drone juga 

diatur mulai tahun 2017. 

Indonesia memang masih tertinggal dengan negara-negara 

di mana drone pertama lahir. Anda bisa memperkirakan sejauh 

mana kita tertinggal dalam hal drone dari Amerika Serika, 

misalnya. Amerika Serikat telah memakai  drone untuk 

tujuan militer pada tahun 1980-an semasa Perang Dingin. 

Banyak drone kala itu dianggap sebagai pesawat luar angkasa 

alien sehingga banyak sekali hoaks UFO yang beredar di 

Amerika Serikat (bahkan hingga kini). Tak sampai sana, di tahun 

70-an, Amerika Serikat telah menggelontorkan dana untuk 

proyek pembuatan pesawat yang bisa diam di udara. Di ranah 

sipil, Amerika Serikat sudah memakai  satelit untuk 

memantau lahan pertanian dari tahun 1980. Petani-petani 

dengan lahan luas di Midwest, Kansas atau Tennesse biasa 

memakai  pesawat pribadi untuk menyiram lahan, 

menyemprotkan pestisida atau memberi pupuk. Negeri Paman 

Sam itu telah memiliki regulasi pesawat pribadi dengan mesin 

baling-baling yang biasa Anda tonton di film-film Holywood. 

Jadi, petani-petani Amerika juga adalah pilot pesawat pribadi 

pada waktu-waktu tertentu. Keren. 

Evolusi Transmedia Hindu Times 

Evolusi signifikan ke ranah digital juga terjadi di Bali. 

Walaupun tidak menjurus pada waralaba, tren yang terjadi di 

Bali ini bukan tidak mungkin suatu hari merambah sektor 

waralaba. Yang bisa kita jadikan sorotan bersama adalah 

bagaimana evolusi menuju transmedia ternyata sudah mulai 

terjadi di Bali. 

Satu contoh menarik bisa kita lihat pada Hindu Times saat 

mengalami masa transisi menuju ranah digital transmedia. Sejak 

2014, Hindu Times berdiri sebagai bisnis pioneering media cetak 

yang menyediakan informasi tentang Hindu berbasis kajian dan 

riset. Produknya adalah majalah cetak yang terbit setiap tiga 

bulan sekali. Dalam waktu setahun, Hindu Times berhasil 

menggusur nama-mana media incumbent seperti Media Hindu 

dan Raditya berkat konten-konten artikelnya yang menjawab 

berbagai pertanyaan religius dan budaya dengan cara ilmiah. 

Pada tahun 2015, omset penjualan majalahnya naik drastis, 

menyaingi oplah Media Hindu dan Raditya. 

Di tahun itu juga, Hindu Times merilis YouTube Channel 

yang bisa dikatakan asal-asalan, sebab dari segi konten dan 

subscriber, jumlahnya sangat sedikit. Di akhir tahun 2016 terjadi 

kenaikan pajak kertas yang membuat redaksi Hindu Times 

berpikir dua kali untuk mencetak majalah dalam jumlah besar 

dan memasarkannya. Di sisi lain, jumlah pelanggan tidak 

bertambah,—justru berkurang di beberapa tempat lantaran 

agen yang malas melakukan distribusi karena persenan 

keuntungan yang tidak seberapa. Tahun itu, Hindu Times masih 

memberlakukan free delivery ke seluruh Bali. Biaya kirim hanya 

berlaku bagi pelanggan-pelanggan di luar Bali. 

Berkurangnya agen dan pelanggan membuat manajemen 

berpikir keras. Di tahun 2017, majalah itu dua kali terlambat 

terbit karena menunggu pemasukan dari penjualan majalah. 

Harga cetak di tahun itu sudah naik 10% dari tahun 2014. 

Akibatnya, di tahun 2017 dan 2018, Hindu Times hanya mener-

bitkan majalah dua kali setahun. Nasib majalah itu tersengal di 

era desruptif. 

Barulah pada tahun 2019, seluruh manajemen perusahaan 

itu dirombak total. Keputusan bulat diambil. Hindu Times harus 

bertransformasi ke ranah digital. Di pertengahan 2019, tepat di 

hari ulang tahunnya yang kelima, Hindu Times meluncurkan 

kanal YouTube, Facebook Page dan akun Instagram resminya. 

Mulai saat itu, manajemen mengumumkan bahwa majalah versi 

cetak akan dihentikan dan akan dimigrasi total dalam wujud 

digital di website dan kanal YouTube. 

Terjadilah demikian. Konten-konten majalahnya ditransfor-

masi dan didigitalisasi lewat konten video-video menarik, live 

report yang mengesankan, saluran podcast dari narasumber 

terpercaya yang menjawab berbagai pertanyaan netizen. Dalam 

waktu empat bulan, jumlah subscriber-nya melonjak dari tujuh 

ratus orang menjadi 45.000-an orang di bulan September 2019, 

dan terus mengalami peningkatan sejumlah 3-5% setiap 

minggu. Jumlah ini belasan kali lipat oplah majalah versi 

cetaknya di tahun 2015.

Yang dilakukan Hindu Times tidak hanya mengubah wujud 

konten artikel majalahnya begitu dalam format digital, namun 

juga mengembangkan story web. Sebuah artikel di majalah versi 

cetak dibahas dari sudut pandang kekinian di kanal YouTube,—

seperti pembahasan tentang hantu dan makhluk halus yang 

dikaitkan dengan KKN di Desa Penari. Tak hanya itu, Hindu 

Times juga melakukan investigasi dan kunjungan langsung ke 

tempat-tempat menarik yang sempat dimuatnya dulu dalam 

versi cetak. Dalam konten YouTube-nya, Hindu Times mena-

yangkan proses perjalanan di balik riset yang dilakukannya. 

Konten paling unik yang membedakan Hindu Times de-

ngan kanal-kanal YouTube sejenis adalah riset dan kajian 

pustakanya yang mendalam dan dapat dijadikan referensi. 

Meski pada tahap awal terjadi beberapa kesalahan pada video, 

apresiasi dari berbagai kalangan mulai dituainya. Kekuatan 

utama Hindu Times ada pada kemampuannya untuk mengulas 

konten religi dan budaya sesuai dengan khazanah kehidupan 

nyata dengan membaurkannya lewat media sosial, bahasan 

budaya, video reportase ke pura-pura kuno, dan podcast gratis 

yang menambah wawasan. 

Teknik transmedia ini sukses mendulang AdSense. Berkat 

evolusi 2.0 yang dialaminya itu, Hindu Times baru saja masuk di 

jajaran startup media rintisan budaya dan religi terdepan di Bali. 

Jika Anda ingin melihat bukti nyata tentang betapa signi-

fikannya arti sebuah merek, mari kita kembali ke tahun 

1916 dan melihat Goldwyn Pictures. Di tahun seuzur itu, 

apa yang Anda bisa bayangkan tentang Indonesia? Saat itu Bali 

baru satu dekade dikuasai Belanda, dan orang-orang Indonesia 

pada masa itu bahkan belum mengenal mesin, apalagi kamera. 

Namun Metro-Goldwyn-Mayer telah berdiri di Amerika Serikat 

sebagai perusahaan film. Dari sana saja Anda bisa melihat 

jurang perbedaan kemajuan industri perfilman dalam negeri 

dan Holywood. 

Yang kita akan bahas bukanlah mengenai dunia perfilman, 

melainkan tentang logo MGM. Howard Dietz, sang eksekutif, 

ingin sebuah logo singa yang bisa mengaum untuk mengenang 

tim atletik Universitas Columbia tempatnya dulu kuliah. Tahun 

1924, Goldwyn Pictures bergabung dengan Metro Pictures dan 

Louis B. Mayer Pictures membentuk MGM—Metro-Goldwyn-

Meyer Pictures. Untuk mendesain logonya, para produser di 

MGM merekam singa hidup yang bernama Slats. Waktu itu, 

karena industri film hanya bisa memproduksi film bisu, maka 

sang singa tidak mengaum. Kemudian, pada 31 Juli 1928, Slats 

memperdengarkan raungan perdananya di hadapan ribuan 

penonton melalui sebuah rekaman gramofon. Mulai saat itulah 

MGM dikenal dengan raungan singanya. Anda yang hobi 

menonton kartun Tom and Jerry pasti selalu melihat logo singa 

ini mengaum di bagian awal film. 

Singa ketiga yang dipakai oleh MGM adalah seekor singa 

sirkus bernama Jackie. Demi sebuah logo legendaris yang 

‗hidup‘ dan ‗mengaum‘, kru MGM rela menunggui si singa 

selama berjam-jam agar raungan dan gayanya pas dengan 

frame yang sudah dibuat. Akhirnya sesudah  merekam selama 

berjam-jam, kru akhirnya mendapat  raungan yang pas untuk 

dipasang sebagai logo hidupnya. Singa terkahir yang menjadi 

maskot MGM bernama Leo, yang raungannya bisa Anda tonton 

hingga kini. 

Sebuah branding mencerminkan kekuatan inti sebuah 

perusahaan. Melalui branding, orang mengenal segala reputasi 

perusahaan itu. Branding tidak hanya mencakup logo, namun 

juga musik, maskot, jargon, slogan, jenis huruf, warna khas, 

ukuran, desain dan bahkan jingle. Setiap perusahaan media 

memiliki font dan warna tersendiri sehingga tanpa membaca 

pun orang sudah bisa mengenali media-media tertentu. Logo 

Kompas, misalnya, punya warna biru khas dengan font dan 

kode berbeda dengan biru pada umumnya. Kode ini menjadi 

ciri khas Kompas. Hal yang sama juga dilakukan Bali Post dan 

semua media lainnya. 

Setiap kali Anda melihat warna merah khas dari ACK, yang 

langsung terbayang dalam benak Anda pasti ayam goreng. 

Setiap kali melihat logo Indomaret dan Alfamart, Anda pasti 

membayangkan minimarket di mana Anda bisa membeli segala 

jenis biskuit dan minuman ringan kesayangan Anda. Ketika 

Anda kelaparan di jalan dan memerlukan sepotong roti, yang 

Ada di benak Anda pasti logo Alfamart atau Indomaret. Inilah 

keajaiban branding. 

Dalam bab ini, kita akan mengulas branding sebagai keku-

atan utama waralaba. Dalam bahasa sederhana, waralaba berarti 

jualan merek, atau penyewaan merek. Oleh karena itu, merek 

adalah komponen utama waralaba dan sekaligus menjadi ele-

men utama dalam sistem waralaba. Beberapa riset tentang 

psikologi merek juga mengungkap banyak hal menarik tentang 

bagaimana merek bisa dengan mudahnya menyihir daya beli 

warga .  

Di bagian selanjutnya, pembahasan akan berlanjut kepada 

elemen kedua yang menjadi sinergi waralaba, yakni kekuatan 

hukum. Sejauh mana hukum di Indonesia telah mengatur garis-

garis besar usaha waralaba, termasuk bidang usaha digital serta 

bagaimana perbandingannya dengan hukum di luar negeri akan 

dapat Anda temukan di bab ini.  

Yang tak kalah pentingnya adalah isu-isu terkait waralaba 

yang semakin menjamur di Indonesia. Tentang bagaimana 

waralaha bersinergi dengan demografi atau malah menjadi rival 

bagi industri kecil dan industri kreatif akan menjadi subtopik 

menarik dalam bab ini. Beberapa tren isu belakangan ini 

menggandeng permasalahan sekaratnya pasar-pasar tradisional 

dan usaha kerakyatan akibat menjamurnya ritel waralaba. 

Beberapa studi kasus juga patut kita cermati,—semisal tentang 

mengapa beberapa daerah di Bali sukses ‗mengusir‘ waralaba 

ritel dan apa motif yang mendasarinya. 

Sebagai sebuah sistem buatan manusia, waralaba pasti 

memiliki kekurangan. Elemen drawback ini juga penting kita 

bahas bersama, terutama terkait dampak waralaba bagi sektor 

usaha di sekitarnya, atau malah dampak negatifnya terhadap 

perubahan perilaku konsumsi warga . Ada pula dampak 

waralaba dari ranah sosial dan budaya yang barangkali dapat 

menjawab pertanyaan mengapa toko-toko ritel waralaba sangat 

tidak disukai di beberapa daerah. 

The Power of Branding 

Pernahkah Anda bertanya mengapa Anda lebih memilih 

produk ponsel tertentu daripada produk lainnya? Padahal 

ponsel yang ditawarkan memiliki kualitas dan fitur yang sama. 

Mengapa Anda lebih memilih Apple daripada Android? 

Mengapa Anda lebih percaya diri ketika memakai  Adidas 

daripada merek lain? Mengapa jas Zara yang Anda pakai mem-

buat Anda seolah lebih tampan atau cantik padahal jas serupa 

bisa Anda beli di toko lain yang harganya jauh lebih murah? 

Semua yang Anda alami adalah salah satu gejala yang disebut 

sebagai psychology of brand. Dengan kata lain, Anda sedang 

dikelabui oleh sebuah merek. 

Ini adalah kenyataan yang tidak bisa ditolak. Subawa (2016) 

menemukan bahwa konsumen yang mengkonsumsi merk 

parfum internasional di Kota Denpasar adalah mereka yang 

status sosialnya cukup tinggi, dengan penghasilan rata-rata lima 

belas juta per bulan1. Dia menyimpulkan bahwa konsumen 

parfum branded di Kota Denpasar memilih parfum impor karena 

ingin menciptakan kesan eksklusif pada diri mereka dalam 

hubungannya dengan hirarki sosial di mana mereka berada. 

Jadi, muncullah istilah brand fanatics2 yang mengagung-

agungkan merek impor (walaupun berganti-ganti). Lagi dan 

lagi, pola konsumsi seperti ini didorong oleh prestise dan gaya 

hidup esteem. 

Merek pada kenyataannya memiliki nilai jual lebih tinggi 

daripada produknya sendiri. Tatkala kapitalisme global mem-

permainkan level kebutuhan manusia dan membuat self-esteem 

menjadi begitu penting, maka sasaran selanjutnya adalah harga 

diri. Merek-merek terkenal menawarkan penjualan esteem de-

ngan harga mahal. Anda rela membeli sepatu seharga dua juta 

rupiah karena mereknya Nike atau Adidas padahal pembuatnya 

adalah perusahaan sepatu lokal di Cibaduyut. Itulah the power 

of branding sebagai tangan kanan esteem economy. 

Bernd Schmitt, seorang ahli psikologi konsumen dari Ame-

rika Serikat merumuskan sebuah teori yang disebutnya sebagai 

consumer psychology of brands. Menurut Schmitt, ada tiga 

jenjang keterlibatan konsumen dalam kedekatannya terhadap 

suatu merek. Jenjan pertama disebut dengan object-centered. 

Konsumen memilih suatu merek karena merek ini  memiliki 

nilai bagi konsumen. Anda tidak akan melihat merek bila  

membeli sakelar lampu, bukan? Ketika Anda membeli buku tulis 

untuk anak Anda, sangat jarang Anda melihat merek buku tulis 

itu. Karena itu, dalam tahap object-centered, ketekatan dan 

                                                           

ikatan Anda pada suatu merek belum begitu lekat karena Anda 

tidak memiliki afeksi khusus pada merek itu. 

 

 

Gambar 4.2 | Billabong dengan kekuatan brand-nya mampu sejajar dengan 

merek-merek fashion casual dunia (sumber: justgola.com). 

 

Ketika suatu hari printer Anda rusak dan tidak bisa diper-

baiki, Anda harus membeli printer baru. Anda membeli printer 

merek N yang ternyata lebih awet tiga tahun daripada merek 

sebelumnya. Menurut hemat Anda, printer merek ini  

sangat bagus dan menghemat biaya penyusutan peralatan 

kantor perusahaan Anda. Karena itu, Anda selalu membeli prin-

ter N untuk kantor Anda. Dalam tahap ini, Anda berada dalam 

keterlibatan psikologis yang disebut dengan self-centered.  

Lama-kelamaan, Anda tahu bahwa kawan Anda juga 

memakai printer dengan merek yang sama. Tatkala Anda 

mengobrol, kawan-kawan Anda mentestimoni bahwa merek N 

sangat kuat, tidak cepat rusak, dan hasil cetakannya bagus. Di 

iklan-iklan Anda juga melihat hal yang sama. Lagipula, penga-

laman Anda bertahun-tahun memakai printer itu membuat 

Anda percaya pada mereknya. Dalam tahapan ini, merek itu 

telah menjadi bagian dari realita sosial Anda, sehingga merek 

itu berada dalam tahap social-centered bagi Anda. Dengan kata 

lain, merek itu telah menjadi bagian dari realitas sosial Anda. 

Pepsodent, salah satu sub-merek Unilever, ingin mencapai 

tahap merek yang social-centered bagi konsumennya. Lewat 

iklan-iklannya, Pepsodent selalu menggaungkan ‗sikat gigi pakai 

Pepsodent‘. Biasanya, orang-orang masih berkata ‗sikat gigi 

pakai odol‘, padahal, Odol adalah nama sebuah merek pasta 

gigi di zaman kolonial. Sedemikian melekatnya nama Odol bagi 

warga  Indonesia waktu itu, bahkan hingga kini nama 

ini  terasosiasi otomatis dengan pasta gigi. 

Tiga lapisan pada skema di atas merepresentasikan tiga 

tahap keterlibatan psikologis seseorang terhadap suatu merek. 

Lapisan paling dalam menggambarkan object-centered, di mana 

seseorang belum memiliki ikatan terhadap suatu merek. Lapisan 

tengah adalah self-centered, tahap di mana seseorang mulai  

merasakan ikatan pada suatu merek karena keistimewaannya 

dibandingkan dengan merek lain. Lapisan terluar adalah social-

centered, saat di mana merek menjadi begitu penting dan Anda 

terikat kepada merek itu karena ia mencerminkan pilihan 

warga .  

Tiga tahapan psikologis ini  tidak hanya dilihat dari sisi 

konsumen, namun juga produsen. Pemilihan merek yang tepat 

menentukan ada di posisi mana merek itu dalam ranah 

psikologi konsumen. Posisi merek dalam ranah psikologi 

konsumen itu membuat suatu merek terkenal sebagai ‗bere-

putasi‘ atau ‗biasa-biasa saja‘ atau malah ‗pemain baru yang 

cetar membahana‘.  

Psikologi merek ini pun dipelajari dalam ilmu komunikasi 

dan menjadi senjata yang sangat ampuh dalam kemajuan suatu 

usaha. Karena itu, Anda tidak perlu heran lagi bahwa Bank 

Mandiri menggelontorkan dua milyar rupiah hanya untuk 

membuat sebuah logo, dan Apple menguras jutaan dolar untuk 

revisi logonya dari waktu ke waktu. Jika Anda adalah seorang 

desainer grafis, Anda boleh bangga karena desainer grafis 

seharusnya dibayar jauh lebih tinggi daripada pekerja lain! 

Branding, menurut banyak ahli psikologi marketing dan 

ilmu komunikasi, tidak hanya mencakup sebuah logo. Logo 

hanyalah salah satu elemen visual dari sebuah branding. Sebuah 

branding adalah pengalaman panca indera bagi seorang 

konsumen. Jika Anda pernah memperhatikan iklan Sprite, Anda 

hampir selalu disuguhi segala hal berbau gelembung, air, es, 

lemon, udara yang dingin, suara kelenting es balok dengan 

gelas, serta suara buih soda yang meluap-luap ketika dituang. 

Semua itu memberikan efek sensory engagement—keterlibatan 

panca indera tatkala Anda menonton iklannya. Semua elemen 

itu adalah branding. Jadi, sebuah brand melibatkan jingle 

(seperti iklan tepung beras Rose Brand atau Maspion), alat 

musik khas, jargon, slogan, dan suara-suara khas. 

 

Proses pengenalan brand 

Lebih jauh lagi, Schmitt menjabarkan bagaimana seseorang 

pada mulanya mengenal suatu merek, dan akhirnya menjadikan 

merek itu sebagai bagian dari hidupnya. Proses jatuh cinta pada 

merek ini diuraikannya secara lebih rinci dalam teori pengenalan 

merek. Dinyatakannya bahwa ada lima tahap pengenalan brand 

yang melibatkan intensitas psikologi yang berbeda-beda, yang 

dipacu oleh motivasi internal maupun eksternal. Kelima proses 

ini  adalah (1)identifying the brand; (2)experiencing the 

brand; (3) integrating; (4) signifying; dan (5) connecting. 

Identifying the brand. Pertama-tama, tatkala Anda baru 

mengenal sebuah merek, yang Anda lakukan adalah mencari 

informasi tentang merek itu, melakukan eksplorasi, mem-

banding-bandingkannya dengan merek yang sudah ada. 

Misalnya, Anda ingin membeli yogurt. Ternyata, ada merek 

yogurt baru di minimarket. Anda membandingkan harga, 

bentuk kemasan, warna dan komposisinya. Ini disebut tahap 

brand categorization. Tatkala Anda menemukan sesuatu yang 

baru atau unik pada brand ini , maka Anda memutuskan 

untuk membeli produknya. Anda memutuskan untuk membeli-

nya karena brand ini  menurut Anda punya ‗sesuatu‘ yang 

baru dan unik. Ini disebut tahap association. Kemudian, sesudah  

beberapa kali mencoba yogurt itu, Anda merasakan manfaat 

yang baik buat kesehatan Anda. Maka, timbullah kesadaran 

yang tumbuh dari dalam diri Anda bahwa ‗next time saya mau 

beli yogut itu lagi‘. Jika sudah dalam tahap ini, maka Anda 

sedang memiliki sebuah brand awareness.  

Seringkali satu produsen membandingkan produknya dengan 

produsen lain, baik dari segi komposisi, cara pembuatan, atau 

kualitas lainnya. Schmitt menyebut ini sebagai interbrand 

relation. Salah satu kasus paling fenomenal mengenai 

interbrand relation adalah kasus pertarungan sengit Pepsi dan 

Coca Cola di ranah advertisi, atau perhelatan McDonalds 

dengan KFC. Anda mungkin pernah melihat iklan badut 

McDonalds  yang membeli ayam goreng di KFC, atau iklan yang 

menampilkan seorang anak kecil yang menumpuk dua kaleng 

Coca Cola untuk mengambil sekaleng Pepsi Blue yang ada di 

puncak tumpukan minuman ringan. Semua itu adalah usaha-

usaha kreatif (dan berani) agar konsumen memiliki interbrand 

relation,—yang pada dasarnya akan menguntungkan pihak 

pengiklan. 

Experiencing the brand. Ada saat di mana konsumen sampai 

pada tahap ‗cicip-cicip‘ atau ‗coba-coba‘. Untuk menggiring 

konsumen dalam tahap ini, sebuah brand harus memiliki unsur-

unsur yang merangsang panca indera. Untuk mengalami secara 

langsung suatu merek, maka harus ada multisensory perception 

pada sebuah merek. Multisensory perception adalah rangsangan 

khas  yang menggerakkan  panca indera  konsumen. Hal ini bisa  

Gambar 4.4 | Pertarungan merek juga terjadi antara McDonalds dengan Burger King. 

Dalam iklan ini tampak maskot McDonalds sedang membeli sepaket Burger King 


 

dilakukan dengan memberi warna khas, rasa yang unik, musik 

pengiring, jingle, bahkan dialek dan kekhasan fonetik. Zampini 

dan Spence (2004)4 menyatakan bahwa bunyi yang khas sangat 

berpengaruh pada kedekatan konsumen dalam ‗mengalami 

sensasi‘ suatu merek. 

Itulah sebabnya mengapa warna biru dan jenis font pada 

harian Kompas tidak pernah berubah. Algom & Cain (1991)5 

menyatakan bahwa otak manusia sangatlah mudah melupakan 

kesan-kesan panca indera, berupa intensitas cahaya atau 

gradasi warna, kecuali jika kesan-kesan itu diasosiasikan dengan 

sesuatu. Karena itulah ketika Anda melihat kata KOMPAS 

dengan warna biru khas, maka pikiran Anda langsung 

mengingat surat kabar, bau kertas koran, dan berita-berita 

berbobot. 

Dari teori ini, lahirlah apa yang disebut sebagai ‗merah 

Cola‘, ‗biru Pepsi‘, kuning McDonalds‘, ‗renyah Mr. Potato‘ dan 

sebagainya. Di mana pun Anda melihat Coca Cola, warna 

merahnya selalu sama. Ini menimbulkan kesan indera yang kuat. 

Tatkala Anda menonton iklan terbaru es krim Magnum, cobalah 

mendengar naratornya dengan lebih seksama. Anda akan 

mendengar efek suara seolah-olah narator itu sedang 

mempromosikan Magnum dengan mulut penuh dengan sisa 

lumeran es krim. Tak hanya itu, efek suara yang dipakai dalam 

iklan itu sangat khas,—persis suara ketika Anda menggigit 

lapisan cokelat Magnum yang tebal.  

Ketika Anda memiliki ikatan emosi tehadap suatu merek, 

maka Anda sudah mencapai tahap brand affect. Entah mengapa, 

setiap Anda mendengar lagu jingle Oreo, Anda merasa sangat 

bersemangat. Kapan pun jingle Spons Bob diputar, Anda pasti 

                                                           

tertawa sendri. Ketika Anda melihat lumeran keju mozarela 

dalam iklan Pizza Hut, Anda langsung lapar. Tatkala Anda 

mendengar jargon ‗a long, long time ago in a galaxy fa, far 

away‘ maka seketika itu pula Anda terbayang Star Wars. Anda 

pun barangkali kadang tak menyangka bahwa setiap Anda 

melihat warna biru gelap pada sebuah brand, kesan yang 

muncul adalah akademik. Monster Energymembuat logonya 

sedemikian rupa sehingga siapa pun yang melihatnya akan 

berpikir bahwa ia bisa menjadi sekuat monster jika meminum 

cairan soda di dalamnya. Semua ini adalah brand affect. 

Tahap selanjutnya sesudah  brand affect disebut sebagai 

brand participation menurut Schmitt. sesudah  Anda mengalami 

bersama suatu merek, berbagi afeksi dan perasaan, maka Anda 

hidup bersama merek itu. Setidaknya Anda pasti pernah 

berkata, ―Malas baca buku. Di-google saja.‖ Menurut Schmitt, ini 

adalah tahap di mana Anda berpartisipasi dalam interaksi 

dengan suatu brand. Dalam bahasa yang lebih singkat, Anda 

berada dalam tahap di mana Anda mulai berpikir bahwa suatu 

brand adalah makhluk hidup. Schmitt berargumen bahwa kapan 

pun suatu brand bertransformasi dari sebuah noun ‗kata benda‘ 

menjadi verb ‗kata kerja‘, maka itu merupakan salah satu ciri 

bahwa suatu brand memasuki subtahap consumer participation, 

untuk selanjutnya melangkah ke dalam tahap integrasi. 

Intergrating the brand. Sebuah brand memiliki semesta 

yang ditangkap oleh panca indera konsumen. Dari fragmen-

fragmen brand yang ditangkap oleh indera-indera konsumen, 

terciptalah sebuah overall concept. Produsen biasanya akan 

terus mengulang-ulang jargon, animasi, nama atau jingle 

sebuah brand agar psikologi konsumen terhipnotis oleh 

stimulus yang berulang-ulang ini . Dengan demikian, akan 

terbentuk sebuah hubungan Antara konsumen dengan brand. 

Go-Jek melakukan hal yang sama dengan membuat iklan 

mengharukan tentang bagaimana Go-Jek mempertemukan 

konsumen dengan konsumen lain. Tokopedia membuat iklan 

tentang betapa berharganya sebuah harapan. Belum lagi jika 

Anda menonton iklan-iklan asuransi Thailand yang super 

mengharukan. Tujuan iklan ini  hanya satu: membangun 

integritas dengan konsumen. 

Dalam subtahapan brand concept, konsumen mengkon-

struksi informasi menyeluruh dengan suatu brand. sesudah  

sekian lama Anda berlangganan harian X, Anda tahu kelemahan 

dan kekurangan harian itu. Anda tahu betul rubrik kesayangan 

Anda, dan Anda bahkan tahu ciri khas agen yang mengantarkan 

koran itu kepada Anda. Memasuki subtahapan brand person-

ality, Anda merasakan bahwa harian X memiliki kepribadian. 

Anda tahu perbedaan harian X dengan harian lain, mulai dari 

mood tulisannya, kesan yang ditampilkan, serta atribut 

psikologis lainnya. Singkatnya, Anda merasa seolah-olah suatu 

brand memiliki aribut layaknya manusia. Misalnya, Anda tahu 

betul bahwa saluran TV yang Anda tonton adalah GTV padahal 

tidak ada logo yang tampil di kanan atas. Pikiran Anda secara 

otomatis bisa membedakan mana tayangan GTV, RCTI, ANTV 

atau saluran lain dari atribut-atribut brand yang khas itu—mirip 

seperti sedekat Anda membedakan aroma pakaian anak Anda 

dengan anak orang lain. 

Kemudian, ada subtahapan yang dikenal dengan brand 

relationship. Dalam subtahapan ini, Anda mulai berpikir bahwa 

suatu brandseharusnya bertindak (atau melakukan sesuatu) 

sesuai dengan norma yang telah terpatri pada dirinya secara 

sosial. Contohnya seperti ini: Anda tahu bahwa Sunlight adalah 

merek cairan pencuci piring. Jadi, Anda berpikir bahwa ‗Sunlight 

memang seharusnya jadi merek cairan pencuci piring, bukan 

sabun‘. Oleh karena itu, Anda mungkin akan kaget bahwa 

Sunlight pernah meluncurkan produk sabun mandi yang 

kemudian berhenti diproduksi di tahun 2006 silam. Jadi, Anda 

memiliki judgment terhadap suatu brand: ―Pertamina itu penjual 

bensin, bukan tukang tambal ban nitrogen!‖ atau ―Saya tidak 

setuju jika Batman masuk Marvel. Karakter mereka berbeda 

jauh.‖ 

Signifying. Suatu brand ada dalam tahap ini tatkala ia 

menjadi simbol personal, simbol budaya, identitas negara asal, 

atau menjadi isyarat informasi. Anda tentu tahu bahwa setiap 

kali iklan KFC muncul di TV, ada Kolonel Sanders di sana,—yang 

adalah orang Amerika. Dulu, setiap kali mendengar jingle 

Doraemon, Anda selalu ingat Jepang. 

Dalam tahap ini, Anda menaruh kepercayaan pada suatu 

brand karena brand ini  menawarkan kredibilitas yang 

sudah Anda alami sendiri atau dialami oleh banyak orang. Bear 

Brand, contohnya, mendapat  reputasinya sebagai produsen 

susu sapi murni. Orang akan percaya pada brand itu karena 

berbagai macam testimoni yang menyatakan bahwa Bear Brand 

sangat bagus untuk menyembuhkan tifus.  

Ada subtahapan identity signal, yakni tatkala seseorang 

tersugesti pada suatu brand. Anda tentunya pernah mendengar 

jargon Biskuat ―sekuat macan‖ atau ―orang pintar minum Tolak 

Angin‖. Nah, jargon-jargon seperti ini disebut identity signal,—

yang memberikan sugesti bahwa ketika orang memakai produk 

itu, maka dia menjadi kuat atau ‗dia termasuk dalam kerumunan 

orang pintar‘. 

Connecting. Tahap terakhir pengenalan sebuah brand ada-

lah tahap di mana brand itu benar-benar terkoneksi dan 

menyatu dengan kehidupan warga . Dengan kata lain, 

tahap connecting adalah tahap ‗odolisasi‘ sebuah brand,—saat 

di mana nama brand menjadi istilah umum seolah-olah ia 

adalah kata kamus yang umum. Gejala ini sudah ada pada 

brandGo-Jek. Walaupun seseorang memesan ojek online merek 

lain, orang sering berkata ―naik Go-Jek‖. Go-Jek seolah-olah 

sudah menjadi kata umum untuk ‗transportasi dan paket 

pengantaran barang daring di Indonesia‘.  

Tahap inilah yang menjadi tujuan akhir setiap produsen. 

Dalam tahapan ini, suatu brand memiliki attitude, attachment 

dan community. Attitude berarti bahwa suatu brand  memiliki 

tempat di hati warga  sebagai sebuah brand dengan 

spesifikasi yang khas. Ted-ed, misalnya, menjadi media edukasi 

terpercaya di YouTube karena warga  tahu bahwa konten-

konten Ted-ed sangat edukatif dan inspiratif. Got Talent, Idol 

dan Voice menjadi brand karier bakat dan musik bergengsi 

karena karakteristiknya yang khas.  

Suatu brand memiliki kekuatan attachment ketika sese-

orang terikat untuk membeli produk-produk dari brand 

ini . Prenagen, contohnya, mengeluarkan produk susu dari 

prakehamilan hingga pascamelahirkan, sehingga ibu-ibu akan 

terus berlangganan Prenagen bahkan sampai anaknya mengin-

jak usia balita. Ini adalah contoh strategi brand attachment yang 

amat sukses.  

Di saat Anda tergila-gila pada suatu merek sampai-sampai 

Anda membuat sebuah fans club, Anda mencapai tahap brand 

community. Ada komunitas ibu-ibu Prenagen di dunia maya, 

komuntas pecinta Google, komunitas Monster Energy, dan 

sebagainya. Anda yang menyukai film-film, komik dan kartun 

Jepang dikenal sebagai para wibu, dan orang-orang yang 

tergila-gila pada franchise The Lord of the Rings dikenal sebagai 

para LOTR Fans. Semakin luas komunitas brand, maka semakin 

besar peluang suatu brand menjadi ‗jiwa‘ dari suatu warga . 

Inilah tujuan akhir dari terciptanya sebuah brand. 

Waralaba dan ranah hukum 

Sebuah waralaba berkembang karena kekuatan brand yang 

besar, dan dalam bagian sebelumnya telah Anda baca 

perjalanan sebuah brand hingga menjadi sebuah brand 

community yang melekat betul di hati orang. Tidak semua brand 

sukses bertransformasi melalui kelima fase itu, namun 

setidaknya rata-rata brand pada masa kini berada dalam fase 

kedua atau ketiga. Jika brand ciptaan Anda bisa setidaknya 

berada dalam fase kedua, usaha Anda sudah bisa lepas dari 

inkubator dan berkembang tanpa asupan ‗selang inkubasi‘ 

bisnis lagi6. 

sesudah  brand tercipta, maka langkah selanjutnya adalah 

memastikan brand itu hanya Anda yang punya. Ini adalah 

sebuah langkah serius, sebab Anda tidak akan pernah bisa 

mewaralabakan perusahaan sekaligus branding Anda jika Anda 

tidak bisa membuktikan bahwa brand itu adalah milik Anda. 

Dalam hal ini, Anda perlu kekuatan hukum.  

Sebuah brand, katakanlah brand produksi susu kedelai ber-

protein nabati tinggi hasil kreasi Anda, setidaknya harus 

memiliki empat kekuatan hukum. Mengerikan? Tidak sama-

sekali. Justru dengan perlindungan hukum ini, usaha Anda akan 

kebal dari berbagai ancaman para plagiat. Anda tidak perlu lagi 

pusing seperti Tuan Crab yang selalu khawatir resep rahasia 

Craby Patty-nya dicuri oleh si Plankton bermata satu. 

Kekuatan hukum pertama yang harus Anda miliki adalah 

hak merek. Jadi begini. Apa pun kreasi Anda, baik produk, ide, 

seni, maupun jasa unik, tergolong dalam kekayaan intelektual. 

Kekayaan intelektual ini dibagi-bagi lagi menjadi hak cipta 

                                                           

(copyright), hak merek (trademark), hak cipta desain industri 

(industrial design right), hak paten (patent), indikasi geografis 

(geographical indication), rahasia dagang (trade confidentials), 

dan desain tata letak sirkuit terpadu (electronic integra