waralaba 4

 
 
 
 
 
 
Pengertian Franchise berasal dari bahasa Perancis, dari kata frac yang berarti bebas 
atau francher yang artinya membebaskan, yang secara umum diartikan sebagai pemberian 
hak istimewa.
1
Dalam bahasa Inggris franchise diterjemahkan dalam pengertian privilege (hak 
istimewa/hak khusus). Di Amerika, penggunaan franchise diartikan dalam pengertian 
konsensi.
2
Dalam bukunya, Steade dan Lowry menerangkan lebih lanjut mengenai pengertian 
franchise sebagai “A franchise is a continuing business relationship that requires a person 
to operate a business according to the methods advocated by the franchising 
organization.”
3
 Pengertian ini apabila diterjemahkan dapat berarti franchise yaitu 
hubungan bisnis yang berlangsung terus menerus yang membutuhkan seseorang untuk 
mengoperasikan bisnis ini sesuai dengan cara atau metode yang dianut oleh 
organisasi franchising. 
Pada awalnya istilah franchise tidak dikenal dalam kepustakaan Hukum Indonesia, 
hal ini dapat dimaklumi karena memang lembaga franchise ini sejak 
awal tidak terdapat dalam budaya atau tradisi bisnis masyarakat Indonesia. Namun 
karena pengaruh globalisasi yang melanda di berbagai bidang, maka franchise ini 
kemudian masuk ke dalam tatanan budaya dan tatanan hukum masyarakat Indonesia. 
Istilah franchise ini selanjutnya menjadi istilah yang akrab dengan masyarakat, 
khususnya masyarakat bisnis Indonesia dan menarik perhatian banyak pihak untuk 
mendalaminya kemudian istilah franchise dicoba di Indonesia-kan dengan istilah 
‘waralaba’ yang diperkenalkan pertama kali oleh Lembaga Pendidikan dan 
Pengembangan Manajemen (LPPM) sebagai padanan istilah franchise. Waralaba berasal 
dari kata wara (lebih atau istimewa) dan laba (untung), maka waralaba berarti usaha 
yang memberikan laba lebih/istimewa. 
Secara umum waralaba dikenal dengan istilah franchise yang berarti suatu 
persetujuan atau perjanjian (kontrak) antara leveransir dan pedagang eceran atau 
pedagang besar, yang menyatakan bahwa yang ini pertama itu memberikan 
kepada yang ini terakhir itu suatu hak untuk memperdagangkan produknya, 
dengan syarat-syarat yang disetujui oleh kedua belah pihak 
 
 
Menurut chucky, istilah franchise juga mengandung makna bahwa 
“Seseorang memberikan kebebasan dari ikatan yang menghalangi kepada orang untuk 
memakai atau membuat atau menjual sesuatu”.

Juarjir Sumardi, dalam konferensi pers mengenai konsep perdagangan baru yang 
sebelumnya dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 25 Juni 1991, mengemukakan bahwa 
“Waralaba merupakan sistem pemasaran vertical franchising”
Mem-franchise-kan yaitu suatu metode perluasan pemasaran dan bisnis artinya 
bisnis yang memperluas pasar dan distribusi serta pelayanannya dengan membagi 
bersama standar pemasaran dan operasional. Pemegang franchise yang membeli suatu 
bisnis yang menarik manfaat dari kesadaran pelanggan akan nama dagang, sistem 
teruji dan pelayanan lain yang disediakan pemilik franchise.
Menurut chucky, mengemukakan bahwa “Franchise yaitu suatu 
sistem usaha yang sudah khas atau memiliki ciri mengenai bisnis di bidang perdagangan 
atau jasa berupa jenis produk dan bentuk yang diusahakan, identitas 
 
1. Franchise yaitu sistem pemasaran atau distribusi barang dan jasa, dimana sebuah perusahaan 
induk (franchisor) memberikan kepada individu atau perusahaan lain (franchisee) yang 
berskala kecil dan menengah hak istimewa untuk melakukan suatu sistem usaha, dengan cara, 
waktu dan suatu tempat tertentu. 
2. Franchise yaitu sebuah metode pendistribusian barang dan jasa kepada masyarakat 
konsumen, yang dijual kepada pihak lain yang berminat. Pemilik dari metode yang dijual ini 
disebut franchisor, sedangkan pembeli untuk memakai metode ini disebut franchisee. 
3. Franchising yaitu suatu hubungan berdasadkan kontrak antara franchisor dan franchisee. 
Franchisor menawarkan dan berkewajiban menyediakan perhatian terus menerus pada bisnis 
dari franchisee melalui penyediaan pengetahuan dan pelayanan. Franchisee beroperasi dengan 
memakai nama dagang, format atau prosedur yang dipunyai serta dikendalikan oleh 
franchissor. Lihat Juadir Sumardi, Aspek-aspek Hukum Franchise dan Perusahaan 
  
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, penulis menyimpulkan bahwa 
suatu sistem bisnis franchise atau waralaba melibatkan dua pihak, yakni : 
a. Pihak pertama disebut dengan franhisor atau pemberi franchise, yaitu wirausaha 
sukses pemilik produk, jasa atau sistem operasi yang khas dengan merek tertentu, 
yang biasanya telah dipatenkan. 
b. Pihak kedua disebut franchisee atau penerima franchise, yaitu perorangan dan atau 
pengusaha lain yang dipilih oleh franchisor atau yang disetujui permohonannya untuk 
menjadi franchisee oleh pihak franchisor untuk menjalankan usaha dengan 
memakai nama dagang, merek atau sistem usaha miliknya, dengan syarat imbalan 
kepada franchisor berupa uang dalam jumlah tertentu pada awal kerjasama dijalan dan 
atau pada selang waktu tertentu selama jangka waktu kerjasama (royalty). 
Jack P.Friedmann di dalam Kamus “Dictionary of Business Term”, bahwa Franchise 
mempunyai arti, yakni : 
a. Suatu izin yang diberikan oleh sebuah perusahaan (franchisor) kepada seseorang atau 
kepada suatu perusahaan (franchisee) untuk mengoperasikan suatu outlet retail, 
makanan atau supermarket dimana pihak franchisee setuju 
 
 
 
Dalam “Washington Franchise Investment Act Protection Act, Section 19.100.010 
(4)”, dinyatakan sebagai berikut : 
 
Franchise means oral or written contract or agreement either express or implied, in 
which a person grants to another person, a licence to use a trade name, service mark, 
trademark, logo type or related characteristic in which there is a community interest 
in the business of offering, selling, distributing gods or services at wholesale or retail, 
leasing or otherwise and in which the franchisee is required to pay, directly or 
indirectly, a franchise fee. 
(Franchise yaitu kontrak atau persetujuan lisan atau tulisan yang dinyatakan secara 
tegas berdasarkan mana seseorang memberikan hak kepada orang lain untuk 
memakai nama dagang, merek jasa, merek dagang, logo atau yang berhubungan 
hal ini dalam hal terdapatnya kepentingan bersama pada bisnis yang 
menawarkan, menjual, mendistribusikan barang-barang atau jasa pada pedagang besar 
atau pengecer, menyewakan barang-barang atau jasa lainnya dan berdasarkan mana 
penerima franchise harus melakukan pembayaran franchise fee langsung atau tidak 
langsung berupa franchise fee), 
10 
 
Berdasarkan Perjanjian Masyarakat Eropa yang dituangkan dalam Peraturan 
No.4087/88 tentang Perjanjian Franchise, tanggal 30 November 1988, menyebutkan 
bahwa : 
 
Franchise yaitu semua hak milik yang berhubungan dengan bidang usaha atau 
kepemilikan yang berhubungan daya pikir, seperti merek dagang, nama perusahaan, 
label perusahaan, model barang penemuan, hak cipta, know-how atau hak paten, yang 
digunakan untuk tujuan penjualan lagi dari barangbarang atau membawa jasa-jasa 
kepada konsumen. 

, dalam hal ini juga dikenal adanya pemberi dan penerima 
waralaba, di antara keduanya ada suatu perjanjian/kontrak waralaba yang wajib 
didaftarkan kepada Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Diperindag). 
Meskipun terdapat perbedaan dalam merumuskan definisi franchise (waralaba) 
sebagaimana yang diuraikan dari beberapa hal di atas, namun pada umumnya seperti 
dikemukakan oleh Jetro K.Libermann dan George J.Siedel, maka franchise memiliki 
unsur-unsur yakni : 
a. Franchise merupakan perjanjian timbal balik antara franchisor dan franchisee. 
b. Franchisee berkewajiban membayar fee kepada franchisor. 
c. Franchisee diizinkan menjual dan mendistribusikan barang atau jasa franchisor 
menurut cara yang telah ditentukan franchisor atau mengikuti metode bisnis yang 
dimiliki franchisor. 
d. Substansinya franchisee memakai merek nama perusahaan atau juga 
symbol-simbol komersial, franchisor. 
13
Kemudian PH.Collin, dalam ‘Law Dictionary’ mendefinisikan ‘Franchise’ sebagai 
‘License to trade using a brand name and paying a royalty for it’. Kemudian Gunawan 
Widjaja, memberikan arti bahwa definisi ini 
 
 
12 Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba dan Keputusan Menteri 
Perindustrian dan Perdagangan No.259/MPP/KEP/1997, pada dasamya pengertian ini memberikan artian 
yang sama, menyebutkan bahwa “Waralaba yaitu perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk 
memanfaatkan dan atau memakai hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang 
dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan dan atau penjualan barang dan atau jasa. 

Sejalan dengan hal ini, franchise atau waralaba dalam Black’s Law Dictionary 
diartikan sebagai : 
 
A special privilege granted or sold, such as to use a name or to sell products or 
service. In its simple terms, a franchise is a license from owner of trademark or trade 
name permitting another to sell a product or service under that name or mark more 
broadly stated, a franchise has evolved into an elaborate agreement under which the 
franchisee undertakes to conduct a business or sell a product or service in accordance 
with methods and procedures prescribed by the Franchisor, and the Franchisor under 
takes to assist the franchisee through advertising, promotion and other advisory 
services. 
(Rumusan ini di atas, bahwa waralaba ternyata tidak juga mengandung 
unsur-unsur sebagaimana yang diberikan pada lisensi, hanya saja dalam pengertian 
waralaba ini dalam Backs’Law Dictionary, waralaba menekankan pada 
pemberian hak untuk menjual produk berupa barang atau jasa dengan memanfaatkan 
merek dagang franchisor (pemberi waralaba) dimana pihak franchise (penerima 
waralaba) berkewajiban untuk mengikuti metode dan tatacara atau prosedur yang 
telah ditetapkan oleh pemberi waralaba. Dalam kaitannya dengan pemberian izin dan 
kewajiban pemenuhan standar dari pemberi waralaba, artinya akan memberikan 
bantuan pemasaran, promosi maupun bantuan teknis lainnya agar penerima waralaba 
dapat menjalankan usahanya dengan baik.

 
Dalam pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang penerima waralaba 
juga menjalankan usahanya sendiri tetapi dengan mempergunakan merek dagang atau 
merek jasa serta dengan memanfaatkan metode dan tata cara atau prosedur yang telah 
ditetapkan oleh pemberi waralaba. 
 
Kewajiban untuk mempergunakan metode dan tata cara atau prosedur yang telah 
ditetapkan oleh pemberi waralaba oleh penerima waralaba membawa akibat lebih lanjut 
bahwa suatu usaha waralaba yaitu usaha yang mandiri, yang tidak digabungkan dengan 
kegiatan usaha lainnya (milik penerima waralaba). Ini berarti pemberian waralaba 
menuntut eksklusivitas

 dan bahkan dalam banyak hal mewajibkan terjadinya 
non-competition cause bagi penerima waralaba, bahkan setelah perjanjian pemberian 
waralabanya berakhir. 
Jadi dalam hal ini, jelas bahwa waralaba melibatkan suatu kewajiban untuk 
memakai suatu sistem dan metode yang ditetapkan oleh pemberi waralaba termasuk 
di dalamnya hak untuk mempergunakan merek dagang. 
Pengertian waralaba (secara umum) ini dibedakan dari waralaba nama dagang yang 
memang mengkhususkan diri pada perizinan penggunaan nama dagang dalam rangka 
pemberian izin untuk melakukan penjualan produk pemberi waralaba dalam suatu batas 
wilayah tertentu, dalam suatu pasar yang bersifat non kompetitif 
 
16 Black’s Law Dictionary, menyatakan bahwa pengertian eksklusivitas memberikan pengertian sama 
dengan franchise dealer, yakni menunjukkan bahwa eksklusivitas yang diberikan oleh penerima waralaba 
ternyata (adakalanya) diimbangi oleh pemberian eksklusivitas oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba 
atas suatu wilayah kegiatan tertentu. Sedangkan makna eksklusivitas dalam Black’s Law Dictionary 
memberikan arti bagi franchise (hak kelola), sebagai suatu hak khusus yang diberikan kepada franchise dealer 
oleh suatu usaha manufaktur atau organisasi jasa waralaba, untuk menjual produk atau jasa pemilik waralaba di 
suatu wilayah tertentu, dengan atau tanpa eksklusivitas. Sedangkan dalam kamus istilah keuangan dan investasi 
karya John Downes dan Jordan Elliot Goodman, mengatakan bahwa “Pengaturan seperti ini kadangkala 
diresmikan dalam suatu franchise agreement (perjanjian hak kelola), yang merupakan kontrak antara pemilik 
hak kelola dan pemegang hak kelola ini lebih menekankan pada pemberian konsultasi, bantuan 
promosional pembiayaan dan manfaat lain yang diberikan oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba 
dengan pertukaran dalam suatu persentase dari penjualan atau laba (royalty) dari penerima waralaba kepada 
pemegang waralaba. 
Dari pengertian, definisi maupun rumusan yang telah diberikan di atas, maka pada 
dasarnya waralaba merupakan salah satu bentuk pemberian lisensi, hanya saja agak berbeda 
dengan pengertian lisensi pada umumnya, waralaba menekankan pada kewajiban untuk 
mempergunakan sistem, metode, tata cara, prosedur, metode pemasaran dan penjualan 
maupun hal-hal lain yang telah ditentukan oleh pemberi waralaba secara eksklusif, serta tidak 
boleh dilanggar maupun diabaikan oleh penerima lisensi. 
Hal ini mengakibatkan bahwa waralaba cenderung bersifat eksklusif artinya seorang atau 
suatu pihak yang menerima waralaba tidaklah dimungkinkan untuk melakukan kegiatan lain 
yang sejenis atau yang berbeda dalam suatu lingkungan yang mungkin menimbulkan 
persaingan dengan kegiatan usaha waralaba yang diperolehnya dari pemberi waralaba. Non 
competitive merupakan suatu issue yang sangat penting dalam waralaba. 
 
2. Waralaba Sebagai Bisnis 
Dalam bentuknya sebagai bisnis, waralaba memiliki 2 (dua) jenis kegiatan, yakni : 
a. Waralaba produk dan merek dagang  
b. Waralaba format bisnis 
 
Ad.a. Waralaba Produk dan Merek Dagang 
Hal ini merupakan bentuk waralaba yang paling sederhana, pemberi waralaba 
memberikan hak kepada penerima waralaba untuk menjual produk yang dikembangkan 
oleh pemberi waralaba yang disertai dengan pemberian izin untuk memakai merek 
dagang milik pemberi waralaba. Pemberian izin penggunaan merek dagang ini 
diberikan dalam rangka penjualan produk yang diwaralabakan. 
Atas pemberian waralaba izin penggunaan merek dagang ini biasanya pemberi 
waralaba memperoleh suatu bentuk pembayaran rotalti dimuka, dan selanjutnya pemberi 
waralaba memperoleh keuntungan atau disebut ‘royalti berjalan’ melalui penjualan produk 
yang diwaralabakan kepada penerima waralaba. Dalam bentuknya yang sangat sederhana 
ini, waralaba produk dan merek dagang seringkali mengambil bentuk keagenan, distributor 
atau lisensi penjualan. 
 
Ad.b. Waralaba Format Bisnis 
Martin Mandelson dalam ‘franchising’ sebagai petunjuk praktis bagi franchisor dan 
franchisee, mengemukakan bahwa : 
 
Waralaba format bisnis yaitu pemberian sebuah lisensi oleh seseorang (pemberi 
waralaba) kepada pihak lain (penerima waralaba), lisensi ini memberi hak kepada 
penerima waralaba untuk berusaha dengan memakai merek dagang/nama dagang 
pemberi waralaba, dan untuk memakai keseluruhan paket yang terdiri dari seluruh 
elemen yang diperlukan untuk membuat seorang yang sebelumnya belum terlatih dalam 
 
bisnis dan untuk menjalankannya dengan bantuan yang terus menerus atas dasar-dasar 
yang telah ditentukan. 
Kemudian Martin Mandelson, menyimpulkan bahwa waralaba format bisnis terdiri dari 
a. Konsep bisnis yang menyeluruh dari pemberi waralaba 
b. Adanya proses permulaan dan pelatihan atas seluruh aspek pengelolaan bisnis, sesuai 
dengan konsep pemberi waralaba 
c. Proses bantuan dan bimbingan yang terus menerus dari pihak pemberi waralaba. 
Ad.a. Konsep bisnis yang menyeluruh 
Konsep ini berhubungan dengan pengembangan cara untuk menjalankan bisnis 
secara sukses yang seluruh aspeknya berasal dari pemberi waralaba. Pemberi waralaba 
akan mengembangkan suatu ‘cetak biru’,
 sebagai dasar pengelolaan waralaba format 
bisnis ini. 
  yang baik hendaknya dapat : 
a. Melenyapkan sejauh mungkin, resiko yang biasanya melekat pada bisnis yang baru dibuka 
b. Memungkinkan seseorang yang belum pernah memiliki pengalaman atau mengelola bisnis secara 
langsung, mampu untuk membuka bisnis dengan usahanya sendiri, tidak hanya dengan format 
yang telah ada sebelumnya tetapi juga dengan dukungan sebuah organisasi dan jaringan milik 
pemberi waralaba. 
c. Menunjukkan dengan jelas dan rinci bagaimana bisnis yang diwaralabakan ini harus 
dijalankan. 
Ad.b. Adanya proses permulaan dan pelatihan atas seluruh aspek pengelolaan bisnis, 
sesuai dengan konsep pemberi waralaba 
Penerima waralaba akan diberikan pelatihan mengenai metode bisnis yang diperlukan 
untuk mengelola bisnis sesuai dengan cetak biru yang telah dibuat oleh pemberi waralaba. 
Pelatihan ini biasanya menyangkut pelatihan penggunaan peralatan khusus, metode 
pemasaran, penyiapan produk dan penerapan proses. Dalam pelatihan ini diharapkan 
penerima franchisee relatif ahli pada seluruh bidang yang diperlukan untuk menjalankan 
bisnis yang khusus ini. 
 
Ad.c. Proses bantuan dan bimbingan yang terus menerus dari pihak pemberi waralaba 
 Pemberi waralaba akan secara terus menerus memberikan berbagai jenis pelayanan, 
tergantung pada tipe format bisnis yang diwaralabakan. Secara umum dapat dikatakan 
sebagai proses pemberian bantuan dan bimbingan yang terus menerus ini, meliputi : 
1) Kunjungan berkala dari dan akses ke staf pendukung lapangan pemberi waralaba guna 
membantu memperbaiki atau mencegah penyimpangan-penyimpangan terhadap 
pelaksanaan cetak biru yang diperkirakan dapat menyebabkan kesulitan dagang bagi 
penerima waralaba 
2) Menghubungkan antara pemberi waralaba dan seluruh penerima waralaba secara 
bersama-sama untuk saling bertukar pikiran dan pengalaman. 
 
3) Inovasi produk atau konsep, termasuk penelitian mengenai kemungkinan-kemungkinan 
pasar serta kesesuaiannya dengan bisnis yang ada. 
4) Pelatihan dan fasilitas pelatihan kembali untuk penerima waralaba dan menjadi stafnya. 
5) Riset pasar 
6) Iklan dan promosi pada tingkat lokal dan nasional 
7) Peluang-peluang pembelian secara besar-besaran 
8) Nasehat dan jasa manajemen dan akunting 
9) Penerbitan newsletter 
10) Riset mengenai matril, proses dan metode bisnis.
20
 Stephen, mengemukakan ada 3 (tiga) jenis dalam franchise format bisnis, yaitu : 
a. Franchise pekerjaan 
 Dalam bentuk ini penerima waralaba yang menjalankan usaha waralaba pekerjaan 
sebenarnya membeli dukungan untuk usahanya sendiri, misalnya ia menjual jasa 
penyetelan mesin mobil dengan merek waralaba. 
b. Franchise usaha 
 Bentuk waralaba usaha ini mungkin dapat berupa toko eceran yang menyediakan barang 
atau jasa atau restoran fast food, seperti KFC dan pizza ekspres yang merupakan contoh 
paling banyak dikenal dalam kelompok ini. 
 
Biaya yang dibutuhkan lebih besar dari franchise pekerjaan karena dibutuhkan 
biaya-biaya untuk tempat usaha dan peralatan khusus. 
 
c. Franchise investasi 
Ciri utama yang membedakan jenis franchise ini dari waralaba pekerjaan dan 
franchise usaha yaitu besarnya usaha khususnya investasi yang dibutuhkan. 
Franchise investasi yaitu perusahaan yang sudah mapan dan investasi awal yang 
dibutuhkan mungkin mencapai milyaran. Perusahaan yang mengambil franchise ini 
biasanya ingin melakukan diversifikasi atau penganekaragaman dalam pengelolaan 
tetapi karena manajemen tidak berpengalaman dalam pengelolaan usaha baru sehingga 
ia memilih jalan dengan mengambil sistem franchise ini.
Pada dasarnya bagi penerima waralaba memperoleh waralaba yang sebenarnya sama 
dengan membeli sebuah bisnis pada umumnya, tetapi berbeda dari jual beli biasa artinya 
pemberi waralaba tidak kehilangan dan sebaliknya penerima waralaba tidak mengambil 
alih bisnis yang diwaralabakan. Selanjutnya penerima waralaba juga tidak akan dapat 
menjalankan bisnis yang diperolehnya melalui waralaba sesuai dengan keinginannya 
sendiri. 
Dalam bisnis waralaba terdapat sejumlah faktor penting yang harus dipertimbangkan. 
Pemberi atau penerima waralaba akan memasuki jangka panjang untuk mencapai 
kesuksesan bisnis secara luas. 
 
Ada 4 (empat) faktor utama dalam bisnis waralaba yang tidak akan dijumpai dalam 
melakukan kegiatan usaha atau bisnis secara independen diluar sistem waralaba, yakni : 
 
a. Keberadaan pemberi waralaba dan penerima dalam suatu hubungan yang terus 
menerus. 
b. Kewajiban untuk memakai nama dan sistem pemberi waralaba, dan patuh 
pada pengendaliannya 
c. Resiko terhadap kejadian yang dapat merusak bisnis waralaba yang berada di luar 
kemampuan dan kesiapan penerima waralaba untuk menghadapinya (misalnya 
kegagalan bisnis pemberi waralaba, atau tindakan penerima waralaba lain yang 
membuat reputasi waralaba ini menjadi buruk). 
d. Kemampuan pemberi waralaba untuk tetap memberikan jasa sesuai dengan 
standar yang telah ditetapkan, yang dianggap bernilai dan wajar yang bisa membuat 
bisnis waralaba ini berhasil.
 
 
Tentu setiap orang yang akan memasuki usaha franchise, haruslah mempelajari lebih 
dahulu bagaimana franchise secara mendalam. Artinya belum tentu usaha franchise yang 
dilakukan oleh seseorang, akan sama keberhasilannya dengan usaha franchise yang 
dilakukan oleh orang lain, bahkan mungkin dapat jadi bangkrut/pailit. Namun diakui 
secara umum tingkat keberhasilan usaha franchise lebih tinggi dibandingkan dengan 
usaha mandiri. 
Mendelson, mengemukakan bahwa ada beberapa keuntungan dan kerugian usaha 
franchise format bisnis, yakni : 
a. Keuntungan usaha franchise, antara lain : 
1) Kurangnya pengetahuan dasar dan pengetahuan khusus yang dimiliki oleh 
franchise (penerima waralaba) ditanggulangi dengan program dari franchisor 
(pemberi waralaba). 
2) Franchisee mendapat insentif dengan memiliki bisnis sendiri yang memiliki 
keuntungan tambahan dari bantuan terus menerus franchisor. 
 
3) Franchisee akan menerima (apabila perlu) bantuan berikut :  
 a) Penyeleksian tempat 
b) Mempersiapkan rencana untuk memperbaiki model gedung, termasuk rencana 
tata kota yang diperlukan atau persyaratan-persyaratan hukum yang diperlukan. 
c) Mendapatkan dana untuk sebagian biaya akuisisi dari bisnis yang difranchisekan. 
d) Pelatihan stafnya  
e) Pembelian peralatan  
f) Membantu membuka bisnis dan menjalankannya dengan lancar 
4) Franchise mendapat keuntungan dari aktivitas iklan dan promosi franchisor pada 
tingkat nasional. 
5) Franchisee mendapat keuntungan dari daya beli yang besar dan kemampuan 
negoisasi yang dilakukan franchisor atas nama seluruh franchisee se-jajarannya. 
6) Franchisee mendapatkan pengetahuan khusus dan berskill tinggi serta pengalaman 
dari organisasi dan manajemen kantor pusat franchisor, walaupun ia tetap mandiri 
7) Resiko bisnis franchisee berkurang sangat besar 
8) Franchisee mengambil keuntungan dari program riset dan pengembangan franchisor 
yang terus menerus yang dilakukan untuk memperbaiki bisnis dan membuatnya tetap 
up to date dan kompetitif 
9) Franchisor mengumpulkan informasi dan pengalaman yang tersedia 
sebanyak-banyaknya untuk dibagi kepada seluruh franchisee dalam sistemnya. 
 
b. Sedangkan kerugian usaha franchise, yaitu : 
1) Tidak dapat dihindari bahwa hubungan antara franchisor dengan franchisee pasti 
melibatkan penekanan kontrol, artinya kontrol ini akan mengatur kualitas jasa 
dan produk yang akan diberikan kepada masyarakat melalui franchisee. 
2) Franchisee harus membayar franchisor untuk jasa jasa yang didapatkannya untuk 
penggunaan sistem, yaitu dengan uang franchise (franchise fee) pendahuluan dan 
uang franchise terus menerus. 
3) Kesukaran dalam menilai kualitas franchisor. 
4) Kontrak franchise akan berisi beberapa pembatasan terhadap bisnis yang 
difranchisekan 
5) Franchisee mungkin menemukan dirinya menjadi terlalu tergantung terhadap 
franchisor. 
6) Kebijakan-kebijakan franchisor mungkin mempengaruhi keberuntungan franchisee. 
7) Franchisor mungkin membuat kesalahan dalam kebijakan-kebijakannya. 
 
8) Reputasi dan citra merek dari bisnis yang difranchisekan mungkin menjadi turun 
citranya karena alasan-alasan di luar kontrolnya.
Selain pendapat di atas Lewison dan Delozier, mengulas tentang retailing juga 
mengemukakan beberapa keuntungan utama dalam memiliki franchise dan beberapa 
kerugian yang diperhadapkan kepada franchisee. 
Adapun beberapa keuntungan utama, antara lain : 
 
a. Model yang diperlukan untuk usaha franchise lebih sedikit dibanding dengan usaha 
mandiri yang independen. 
b. Kerapkali tidak harus memiliki pengetahuan tentang tipe utama bisnis, karena 
franchisor melatih program. 
c. Resiko bisnis berkurang karena nama dan produk franchisor sudah dikenal dan 
mempunyai goodwill. Hal ini karena adanya bantuan yang terus menerus yang 
diberikan franchisor di dalam menjalankan bisnis. 
 
Sedangkan kerugian bagi franchisee, antara lain 
a. Biasanya hubungan antara franchisee dan franchisor melibatkan kontrol atas berbagai 
aspek dari pengoperasian bisnisnya franchisee, bahkan terlalu membatasi. 
b. Untuk mendapatkan a blue-chip franchise menghendaki pertimbangan sumber dana 
dan pembayaran royalty yang tinggi. 
c. Keberhasilan dari setiap unit franchise individu tergantung pada bekerjanya 
perusahaan induk (franchisor).
24
 
 
 
3. Perbedaan Pemberian Waralaba dan Lisensi 
Untuk produk-produk atau jasa sederhana yang didistribusikan, kedua macam pemberian 
hak dari suatu Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) yaitu hampir sama. Seringkali tidak 
diketahui sifat dasar transaksi suatu waralaba hanya dari permukaannya saja. 
 
Walaupun demikian, waralaba memiliki sejumlah ciri khas yang lebih ditekankan 
dalam waralaba ini dibandingkan dengan lisensi biasa. Contohnya : bisnis dengan 
format waralaba umumnya memperoleh jaminan bisnis, ini terjadi karena pemberi 
waralaba telah mengetes sistem bisnisnya dan dapat memberikan jaminan kepada 
pemegang waralaba akan bekerjanya sistem ini, format bisnis waralaba semacam ini 
sering telah dipatenkan di sejumlah negara

 . 
Pemberi waralaba melakukan kontrol yang sangat ketat terhadap penerima waralaba, 
artinya penerima waralaba harus mengikuti sistem yang ada dan memproduksi barang 
dan jasa yang identik dengan barang atau jasa produk pemberi waralaba. 
Walaupun hubungan pemberi waralaba dengan penerima waralaba seringkali terlihat 
seperti atasan dan bawahan, perjanjian waralaba memuat secara jelas bahwa penerima 
waralaba yaitu kontraktor independen (secara hukum terpisah dari pemberi waralaba, 
kecuali untuk hubungan kontrak yang dibuat). 
Secara financial, penerima waralaba membayar royalty secara reguler kepada pemberi 
waralaba, layaknya dilakukan pemegang lisensi pada umumnya. Dalam kaitannya dengan 
sistem waralaba, penerima waralaba juga membayar biaya waralaba kepada pemberi 
waralaba yang tidak dikembalikan kepada penerima waralaba. 
 
Perjanjian waralaba umumnya memuat pasal-pasal non kompetisi usaha yang tegas 
untuk mencegah penerima waralaba membuat usaha saingan atau usaha dalam bidang 
industri serupa dalam jangka waktu yang telah ditentukan. 
 
B. Pengaturan Waralaba di Indonesia 
 1. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 TWaralaba 
 
Pengaturan waralaba di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 
1997 tentang Waralaba, sedangkan pengertian waralaba sudah diuraikan pada bab 
sebelumnya. Adapun rumusan yang diberikan ini dapat diuraikan hal-hal sebagai  
berikut : 
a. Waralaba merupakan suatu perikatan 
Rumusan ini menyatakan bahwa sebagai suatu perikatan, waralaba 
tunduk pada ketentuan umum mengenai perikatan yang diatur dalam KUHPerdata. 
b. Waralaba melibatkan hak untuk memenfaatkan dan atau memakai hak atas 
kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha. 
Adapun hak atas kekayaan intelektual meliputi yakni : merk, nama dagang, 
logo, desain, hak cipta, rahasia dagang dan paten. Sedangkan penemuan atau ciri khas 
usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi 
yang merupakan karakteristik khusus dari pemiliknya. 
Ketentuan ini membawa akibat bahwa sampai pada derajat tertentu, waralaba 
tidak berbeda dengan lisensi (hak atas kekayaan intelektual), khususnya yang 
berhubungan dengan waralaba nama dagang atau merek dengan baik untuk produk 
berupa bawang dan atau jasa tertentu. 
Dalam Peraturan Pemerintah tentang Waralaba, adanya 2 (dua) bentuk waralaba, 
yaitu : 
1) Waralaba dalam bentuk linsensi merek dagang atau produk.  
2) Waralaba sebagai suatu formal bisnis. 
c. Waralaba diberikan dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan dan atau penjualan 
barang dan atau jasa. 
Ketentuan ini pada dasarnya menekankan kembali bahwa waralaba tidaklah 
diberikan dengan cuma-cuma. Pemberian waralaba senantiasa dikaitkan dengan suatu 
bentuk imbalan tertentu. Secara umum dikenal adanya 2 (dua) macam atau jenis 
kompensasi yang dapat diminta oleh pemberi waralaba dari penerima waralaba, yakni : 
1) Kompensasi langsung dalam bentuk nilai moneter (Direct monetary compensation). 
Yang termasuk dalam “Direct monetary compensation” yaitu : 
 a) Lump-sum payment, suatu jumlah uang yang telah dihitung terlebih dahulu “pre 
calculated amount” yang wajib dibayarkan oleh penerima waralaba pada saat 
persetujuan pemberian waralaba disepakati untuk diberikan oleh penerima waralaba. 
Pembayaran ini 
dapat dilakukan sekaligus maupun dalam beberapa kali pembayaran cicilan. 
b) Royalty
, yang besar atau jumlah pembayarannya dikaitkan dengan suatu 
persentase tertentu yang dihitung dari jumlah produksi dan/atau penjualan 
barang atau jasa yang diproduksi atau dijual berdasarkan perjanjian waralaba, 
baik yang disertai dengan ikatan suatu jumlah minimum atau maksimum 
jumlah royalty tertentu atau tidak. Besarnya royalty yang terkait dengan 
jumlah produksi, penjualan dan atau yang cenderung meningkat ini pada 
umumnya disertai dengan penurunan besarnya persentase royalty yang harus 
dibayarkan, meskipun secara absolut royalty dibayarkan tetap akan 
menunjukkan kenaikan seiring dengan peningkatan jumlah produksi, 
penjualan atau keuntungan penerima lisensi. 
 Bagi pemberian waralaba lintas negara “cross border”, masalah perpajakan 
menjadi pertimbangan utama dalam proses dan cara pembayaran royalty. 
 Pada umumnya, pemberi waralaba menginginkan royalty yang diterima 
olehnya bebas dari segala macam beban pajak dan biaya-biaya maupun 
ongkos-ongkos, sehingga dengan demikian pemberi waralaba dapat melakukan 
perhitungan secara pasti akan “return” yang 
 
 
26 Royalti yaitu pembayaran oleh pihak franchisee kepada pihak franchisor sebagai imbalan dari 
pihak franchise oleh franchisee, sedangkan fee yaitu merupakan bayaran yang harus dilakukan oleh 
franchisee yang biasanya dilakukan dengan jumlah tertentu yang pasti dilakukan sekaligus dan hanya sekali 
saja. Dibayar hanya pada tahap saat franchise akan dimulai atau pada saat penandatanganan akta franchise. 
 
diharapkan dari waralaba yang diberikan jika diharapkan dengan ongkos dan 
biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan Hak atas Kekayaan Intelektual 
maupun sistem atau proses atau ciri khas yang diwaralabakan ini.
2) Kompensasi tidak langsung yang dalam bentuk nilai moneter atau kompensasi 
yang diberikan dalam bentuk nilai moneter indirect and non-monetary compensation, 
meliputi antara lain : 
 
a. Keuntungan sebagai akibat dari penjualan barang modal atau bahan mentah, 
bahan setengah jadi termasuk barang jadi, yang merupakan satu paket dengan 
pemberian waralaba (exclusive purchase arrangement). 
b. Pembayaran dalam bentuk dividen ataupun bungan pinjaman dalam hal 
pemberian waralaba juga turut memberikan bantuan finansial baik dalam 
bentuk ekuitas “equity participation” atau dalam bentuk wujud pinjaman 
“loan” jangka pendek maupun jangka panjang. 
c. Cost shifting atau pengalihan atas sebagian biaya yang harus dikeluarkan oleh 
pemberi waralaba. Pengalihan ini biasanya dilakukan dalam bentuk kewajiban 
bagi penerima waralaba untuk mengeluarkan segala biaya yang diperlukan 
untuk mencegah terjadinya pelanggaran maupun untuk mempertahankan 
perlindungan hak atas kekayaan intelektual yang termasuk dalam paket yang 
diwaralabakan kepadanya. 
d. Perolehan data pasar dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh penerima lisensi 
dengan ini berarti pemberi waralaba memiliki akses yang lebih luas untuk 
mengembangkan lebih lanjut waralaba diberikan ini. 
e. Dimungkinkan terjadinya penghematan biaya oleh pemberi waralaba dalam 
banyak hal dan ini dimungkinkan karena pada prinsipnya kegiatan 
operasional pelaksanaan waralaba yang diberikan berada dalam pundak 
penerima waralaba. Ini berarti pemberi waralaba hanya cukup melakukan 
pengawasan saja atas jalannya pemberian waralaba ini.
Berdasarkan pernyataan persyaratan dan atau penjualan barang dan atau jasa, jelas 
kompensasi yang diijinkan dalam pemberian waralaba menurut Peraturan 
Pemerintah No. 16 Tahun 1997 ini hanyalah imbalan dalam bentuk “Direct 
monetary compensation”. 
 
2. Keputusan Memperindag No.259/MPP/KEP/7/1997 Tentang Ketentuan dan 
Tatacara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba 
Sebagaimana Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan pada pokoknya 
bahwa pengertian tentang waralaba hanya merupakan pengulangan dari pengertian yang 
diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. 
Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.259/ 
MPP/Kep/7/199729, menegaskan kembali bahwa pemberian waralaba dapat dilakukan 
dengan pemberian hak lebih lanjut kepada penerima waralaba utama untuk 
mewaralabakannya kembali kepada penerima waralaba lanjutan. Dalam praktek biasanya 
disebut dengan istilah Master Franchises, yang kesepakatan pemberian waralabanya 
dibuat dalam suatu perjanjian penerima waralaba lanjutan (Master Franchisee 
agreement). 
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 259/MPP/KEP/7/1997 Tentang Ketentuan 
dan Tatacara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba, dalam pasal 1 ayat (4), memberikan pengertian bahwa 
“Penerima Waralaba utama dalah penerima waralaba yang melaksanakan hak membuat perjanjian waralaba 
lanjutan yang diperoleh dari pemberi waralaba”, sedangkan pasal 1 ayat (5) Keputusan Menteri Perindustrian 
dan Perdagangan No. 259/MPP/KEP/7/1997, menyebutkan bahwa “Penerima waralaba lanjutan yaitu badan 
usaha atau perorangan yang menerima hak untuk memanfaatkan dan atau memakai hak atas kekayaan 
intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba melalui penerima waralaba 
utama”. 
 
Dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan 
No.259/MPP/KEP/7/1997,
 hal ini tidak dirumuskan pengertian dari Master Franchisee 
agreement, melainkan hanya diberikan pengertian dari perjanjian waralaba, yang 
dibedakan dari perjanjian waralaba lanjutan. Artinya pengertian ini merupakan ada 
tidaknya hak untuk memberikan waralaba lanjutan dalam suatu perjanjian pemberian 
waralaba kepada penerima waralaba utama, hal ini dijelaskan juga dalam perjanjian 
waralaba. 
Sebagai pelaksanaan perjanjian, sebelumnya pemberi waralaba wajib menyampaikan 
keterangan tertulis dan benar kepada penerima waralaba, hal ini diatur dalam Keputusan 
Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.259/MPP/Kep/7/1997.
30 Pasal 3, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.259/MPP/KEP/7/1997, menyebutkan 
bahwa : 
1.Perjanjian waralaba antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba dapat disertai atau tidak 
disertai dengan pemberian hak untuk membuat perjanjian waralaba lanjutan. 
2.Semua ketentuan mengenai pemberian waralaba sebagaimana yang diatur dalam keputusan ini 
berlaku juga bagi penerima waralaba utama yang melaksanakan hak membuat perjanjian waralaba 
lanjutan dengan penerima waralaba lanjutan. 
31 Pasal 5 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, mensyaratkan bahwa sebelum membuat 
perjanjian, pemberi waralaba wajib menyampaikan keterangan tertulis dan benar kepada penerima waralaba 
yang sekurang -kurangnya mengenai : 
1.Identitas pemberi waralaba, berikut keterangan mengenai kegiatan usahanya termasuk neraca dan 
daftar rugi laba selama 2 (dua) tahun terakhir). 
2.Hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang menjadi objek waralaba. 
3.Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi penerima waralaba. 
4. Bantuan atau fasilitas yang ditawarkan pemberi waralaba kepada penerima waralaba. 
5.Hak dan kewajiban pemberi waralaba dan penerima waralaba. 
6.Cara-cara dan syarat pengakhiran, pemutusan dan perpanjangan perjanjian waralaba. 
7.Hal-hal lain yang perlu diketahui penerima waralaba dalam rangka pelaksanaan perjanjian 
waralaba. 
Demikian juga pemberian waralaba lanjutan, dalam Keputusan Menteri Perindustrian 
dan Perdagangan ini juga diisyaratkan bahwa sebelum membuat perjanjian waralaba 
lanjutan, penerima waralaba utama wajib memberitahukan secara tertulis dengan 
dokumen otentik kepada penerima waralaba lanjutan bahwa penerima waralaba utama 
memiliki hak atau ijin membuat perjanjian waralaba lanjutan yang dibuat antar penerima 
waralaba utama dengan penerima waralaba lanjutan wajib dibuat dengan sepengetahuan 
pemberian waralaba. 
Dalam ketentuan isi perjanjian waralaba, menyebutkan bahwa perjanjian waralaba 
antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba datur dalam Keputusan Menteri 
Perindustrian dan Perdagangan No.259/MPP/ KEP/7/1997.
 Pasal 7 ayat (Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.259/MPP/KEP /7/1997), hal ini 
mengatur isi perjanjian waralaba yang menyebutkan bahwa perjanjian waralaba antara pemberi waralaba dengan 
penerima waralaba sekurang-kurangnya membuat klausula, mengenai : 
1.Nama, alamat dan tempat kedudukan perusahaan masing-masing pihak, hal ini berhubungan 
dengan identitas pemberi waralaba, yang meliputi : 
a. Pemberi waralaba dari luar negeri harus mempunyai bukti legalitas dari instansi berwenang di 
negara asalnya dan diketahui oleh pejabat perwakilan Republik Indonesia setempat. 
b. Pemberi waralaba dari dalam negeri wajib memiliki SIUP dan atau ijin usaha dari Departemen 
teknis lainnya. 
2.Nama dan jabatan masing-masing pihak yang berwenang menandatangani perjanjian, ketentuan 
ini pada prinsipnya berhubungan dengan kewenangan bertindak para pihak, yang merupakan 
persyaratan sahnya suatu perjanjian menurut ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata. 
3.Nama dan jenis hak atas kekayaan intelektual, penemuan atau ciri khas usaha, misalnya sistem 
manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik 
khusus yang menjadi objek waralaba. Dalam ketentuan ini para pihak akan memperjelas dan 
menegaskan kembali jenis waralaba yang diberikan. Hanya terbatas pada waralaba nama dagang 
atau produk atau meliputi juga formal bisnis. 
4.Hak dan kewajiban masing-maing pihak serta bantuan dan fasilitas yang diberikan kepada 
penerima waralaba. Secara umum dapat dirumuskan hak-hak dan kewajiban pemberi waralaba 
maupun penerima waralaba sebagai berikut : 
a. Kewajiban Pemberi Waralaba (Franchisor) 
 
 
1)memberikan segala macam informasi yang berhubungan dengan Hak Kekayaan Intelektual, 
penemuan atau ciri khas usaha, misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau 
cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba, dalam 
rangka pelaksanaan waralaba yang diberikan ini. 
2)memberikan bantuan pada penerima waralaba pembinaan, bimbingan dan pelatihan kepada 
penerima waralaba. 
b. Hak Pemberi Waralaba (Franchisor) 
1)melakukan pengawasan jalannya pelaksanaan waralaba. 
2)memperoleh laporan-laporan secara berskala atas jalannya kegiatan usaha penerima 
waralaba. 
3)mewajibkan penerima waralaba untuk menjaga kerahasiaan Hak atas Kekayaan Intelektual, 
penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau 
cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba. 
4)mewajibkan agar penerima lisensi tidak melakukan kegiatan yang sejenis, serupa ataupun 
yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan persaingan dengan kegiatan 
usaha yang mempergunakan Hak Kekayaan Intelektual. 
5)menerima pembayaran royalty dalam bentuk, jenis dan jumlah yang dianggap layak olehnya. 
6)atas pengakhiran waralaba, meminta kepada penerima waralaba untuk mengembalikan 
seluruh data, informasi maupun keterangan yang diperoleh penerima waralaba selama masa 
pelaksanaan waralaba. 
c. Kewajiban Penerima Waralaba (Franchisee) 
1)melaksanakan seluruh instruksi yang diberikan oleh pemberi waralaba kepadanya guna 
melaksanakan Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem 
manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik 
khusus yang menjadi objek waralaba. 
2)memberikan keleluasaan bagi pemberi waralaba untuk melakukan pengawasan maupun 
inspeksi berkala maupun secara tiba-tiba, guna memastikan bahwa penerima lisensi telah 
melaksanakan waralaba yang diberikan dengan bai. 
3)memberikan laporan-laporan baik secara berkala maupun atas permintaan khusus dari 
pemberi waralaba. 
4)membeli barang modal tertentu maupun barang-barang tertentu lainnya dalam rangka 
pelaksanaan waralaba dari pemberi waralaba. 
5)menjaga kerahasiaan atas Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri khas usaha 
misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan 
karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba yang ditemukan dalam praktek. 
6)melakukan pendaftaran waralaba. 
7)melakukan pembayaran royalty dalam bentuk, jenis dan jumlah yang telah disepakati secara 
bersama. 
8)atas pengakhiran waralaba, mengembalikan seluruh data, informasi maupun keterangan yang 
diperolehnya. 
 
Gunawan Widjaja, mengemukakan bahwa dalam Menteri Perindustrian dan Perdagangan 
No.259/MPP/ KEP/7/1997, adapun yang mengatur ketentuan yang bersifat preventif dapat 
dilakukan dalam bentuk yakni : 
 
a. kewajiban bagi penerima waralaba untuk menyampaikan keterangan tertulis dan benar 
kepada penerima waralaba sebelum perjanjian waralaba ditandatangani oleh kedua belah 
pihak, pemberi waralaba dan penerima waralaba. 
b. Adanya ketentuan yang mengatur mengenai klausula minimum yang diatur dalam 
perjanjian waralaba antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba. 
c. Kewajiban untuk melakukan pendaftaran perjanjian waralaba pada Dinas Perindustrian 
dan Perdagangan, termasuk atas setiap perubahannya. 
d. Kewajiban untuk melakukan pelaporan berkala atas pelaksanaan waralaba. 
Dalam hal ini, sebagai suatu bentuk perjanjian maka para pihak dalam perjanjian 
waralaba, yaitu pemberi waralaba dan penerima waralaba bebas untuk mengaturnya selama 
dan sepanjang 
a. memenuhi persyaratan sahnya perjanjian sebagai diatur dalam Buku III Kitab 
Undang-Undang Hukum Perdata.  
d. Hak Penerima Waralaba (Franchisee) 
1)Memperoleh segala macam informasi yang berhubungan dengan Hak atas Kekayaan Intelektual, 
penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara 
distribusi yang merupakan karakteristik yang menjadi objek waralaba yang diperlukan olehnya untuk 
melaksanakan waralaba yang diberikan ini. 
2)Memperoleh bantuan dari pemberi waralaba atas segala macam cara pemanfaatan dan atau 
penggunaan Hak atas Kekayaan Intelektual, penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem 
manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus 
yang menjadi objek waralaba. 
 
b. tidak bertentangan dengan ketentuan memaksa yang telah diatur dalam Peraturan 
Pemerintah No. 16 Tahun 1997 dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan 
No.259/MPP/KEP/7/1997. 
Adapun yang menjadi dasar perbandingan bahwa ketentuan yang demikian yang diatur 
dalam peraturan mengenai waralaba yang diatur di Amerika Serikat dapat dipakai untuk lebih 
menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi pemberi waralaba maupun penerima waralaba, 
selama dan sepanjang hal ini disepakati oleh para pihak. 

waralaba 3

Istilah franchise menurut S. Muharam (http://www.SMfr@nchise) menjadi
istilah yang akrab dengan masyarakat, khususnya masyarakat bisnis negarakita.
Istilah ini kemudian menarik perhatian banyak pihak untuk mendalaminya.
Karena perhatian itu maka istilah franchise dimodifikasi dengan istilah
waralaba. Istilah Waralaba diperkenalkan pertama kali oleh Lembaga
Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (LPPM) sebagai padanan istilah
franchise. Waralaba berasal dari kata wara (lebih atau istimewa ) dan laba (
untung ), maka waralaba berarti usaha yang memberikan laba lebih / istimewa.
Lebih lanjut S. Muharam mengatakan waralaba digambarkan sebagai
perpaduan bisnis “besar” dan “kecil” yaitu perpaduan antara energi dan
komitmen individual dengan sumber daya dan kekuatan sebuah perusahaan
besar. Waralaba yaitu suatu pengaturan bisnis dimana sebuah perusahaan
(franchisor ) memberi hak pada pihak independen (franchisee) untuk menjual
produk atau jasa perusahaan tersebut dengan peraturan yang ditetapkan oleh
franchisor. Franchisee menggunakan nama, goodwill, produk dan jasa,
prosedur pemasaran, keahlian, sistem prosedur operasional, dan fasilitas
penunjang dari perusahaan franchisor. Sebagai imbalannya franchisee
membayar royalti ( biaya pelayanan manajemen ) pada perusahaan franchisor
seperti yang diatur dalam perjanjian waralaba.
vDalam rangka meningkatkan pembinaan usaha waralaba di seluruh
negarakita maka perlu mendorong pengusaha nasional terutama pengusaha
kecil dan menengah untuk tumbuh sebagai pemberi waralaba nasional yang
handal dan mempunyai daya saing di dalam negeri dan luar negeri khususnya
dalam rangka memasarkan produk dalam negeri. Oleh karrena itu dibutuhkan
perana npemerintah (negara) dalam menatakelola waralaba 
Pemerintah memandang perlu mengetahui legalitas dan bonafiditas usaha
Pemberi Waralaba baik dari luar negeri dan dalam negeri guna menciptakan
transparansi informasi usaha yang dapat dimanfaatkan secara optimal oleh
usaha nasional dalam memasarkan barang dan/atau jasa dengan Waralaba.
Disamping itu, Pemerintah dapat memantau dan menyusun data waralaba baik
jumlah maupun jenis usaha yang diwaralabakan. Untuk itu, Pemberi Waralaba
sebelum membuat perjanjian Waralaba dengan Penerima Waralaba, harus
menyampaikan prospektus penawaran Waralaba kepada Pemerintah dan calon
Penerima Waralaba. Disisi lain, apabila terjadi kesepakatan perjanjian
Waralaba, Penerima Waralaba harus menyampaikan perjanjian Waralaba
tersebut kepada Pemerintah.
Kegiatan waralaba (franchise) sebagai bentuk usaha banyak mendapat
perhatian para pelaku bisnis, dikarenakan dapat menjadi salah satu cara untuk
meningkatkan kegiatan perekonomian dan memberikan kesempatan kepada
golongan ekonomi lemah untuk berusaha, ini berarti, Franchise dapat
memberikan kesempatan kerja, pemerataan dan juga menciptakan lapangan
kerja masyarakat.
Bidang atau sektor yang sering dilakukan dengan cara franchise yaitu
bidang minuman (Coca Cola), makanan (Mc Donald’s dan Kentucky Fried
Chiken), Perhotelan (Hyatt, Ibis, Natour Garuda), Restoran, Pendidikan, Fast
Food dan lain sebagainya (Deden Setiawan, 2007:13)
Sering disebut-sebut bahwa franchise merupakan The hottest business in the
world, (Bambang Tjatur Iswanto, 2007:5) betapa tidak, dengan konsep bisnis
ini, orang dapat langsung dengan sekejap berkibar di bidang-bidang bisnis
tertentu yang merek, paten atau sistem bisnisnya sudah sangat populer bukan
saja di negarakita bahkan di seluruh dunia, padahal untuk mempopulerkan
merek, paten atau sistem bisnis tadi memerlukan waktu puluhan tahun.
Namun tidak sedikit juga yang gagal, dengan konsep bisnis franchise ini,
seorang franchisee (penerima franchise) dapat langsung “ngompreng”
popularitas produk dan merek orang lain tanpa perlu harus
mengembangkannya sendiri produk tersebut. Berkat adanya inovasi di bidang
transaksi bisnis ini yang kemudian dikenal dengan sebutan franchise maka kita
dapat mencicipi lezatnya hamburger produk Mc Donald yang berasal dari
negara Amerika itu, orang tidak perlu jauh-jauh harus ke Amerika, tetapi cukup
menikmatinya di salah satu restoran Mc Donald yang bertebaran di kota-kota di
negarakita..
Perjanjian waralaba merupakan salah satu aspek perlindungan hukum
kepada para pihak. Jika salah satu pihak melanggar isi perjanjian waralaba,
maka pihak yang lain dapat menuntut pihak yang melanggar sesuai dengan
hukum yang berlaku.
Saat ini sektor bisnis waralaba sudah sangat beragam artinya tidak
hanya didominasi oleh sektor makanan saja tetapi mulai dari sektor usaha
pendidikan, salon, retail, laundry, kebugaran, pencucian mobil, aksesoris
kendaraan sudah banyak yang diwaralabakan. Bahkan apotek misalnya Apotek
K-24 Semarang yang mencanangkan untuk go public melalui franchise 
Bisnis waralaba yaitu bisnis favorit di negarakita. Ini terlihat dari jumlah
pelaku waralaba yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Ketua WALI
(Waralaba & Lisensi negarakita), Levita Supit, menyebutkan bahwa sepanjang
tahun 2010 ini omzet waralaba di negarakita diperkirakan sebesar 100 triliun
rupiah. Jumlah pekerja yang berada di sektor waralaba di tahun 2010 ini
diperkirakan sebesar 1,2 juta jiwa. Ini artinya sektor waralaba yaitu sektor
bisnis yang potensial dalam meningkatkan perekonomian dan menyerap tenaga
kerja di negarakita.(http://www.waralabaku.com/)
Di lain pihak menurut situs terebut bahwa sepanjang tahun 2010 ini pula,
sudah 13 waralaba asing masuk ke negarakita. Bagi negara lain, terutama
negara-negara tetangga, negarakita dianggap sebagai pangsa pasar yang
potensial untuk bisnis waralaba. Amir Karamoy selaku Ketua Komite Tetap
Waralaba & Lisensi negarakita menyebutkan bahwa pertumbuhan waralaba lokal
di negarakita yaitu salah satu yang terpesat di dunia, bahkan yang terpesat di
Asia, yaitu sekitar 6-7% per tahun. Namun sayangnya hanya sebagian kecil dari
usaha tsb yang dianggap layak dan siap untuk bersaing dengan waralaba asing
untuk memasuki pasar internasional. Beberapa dari mereka mencoba untuk
menembus pangsa internasional namun kebanyakan hanya bertahan paling
lama 2 tahun.

Permasalahan dalam artikel ini yaitu bagaimanakan perkembangan
hukum kontrak internasional terhadap kegiatan bisnis franchise (waralaba)



Sejarah franchise dimulai di Amerika Serikat oleh perusahaan mesin jahit
Singer sekitar tahun 1850 – an. Pada saat itu, Singer membangun jaringan
distribusi hampir di seluruh daratan Amerika untuk menjual produknya. Di
samping menjual mesin jahit, para distributor tersebut juga memberikan
pelayanan purna jual dan suku cadang. Jadi para distributor tidak semata
menjual mesin jahit, akan tetapi juga memberikan layanan perbaikan dan
perawatan kepada konsumen  Walaupun tidak
terlampau berhasil, Singer telah menebarkan benih untuk franchising di masa
yang akan datang dan dapat diterima secara universal.
Walaupun usahanya tersebut gagal, namun dialah yang pertama kali
memperkenalkan format bisnis waralaba ini di AS. Kemudian, caranya ini diikuti
oleh pewaralaba lain yang lebih sukses, John S Pemberton, pendiri Coca Cola.
Namun, menurut sumber lain, yang mengikuti Singer kemudian bukanlah Coca
Cola, melainkan sebuah industri otomotif AS, General Motors Industry ditahun
1898. (http://id.wikipedia.org/wiki/Waralaba).
Pola ini kemudian diikuti oleh industri minyak dengan pompa bensinnya
serta industri minuman ringan. Mereka ini yaitu para produsen yang tidak
mempunyai jalur distribusi untuk produk-produk mereka, sehingga
memanfaatkan sistem franchise di akhir abad ke 18 dan diawal abad ke 19.
xSesudah perang dunia ke II, usaha eceran mengadakan perubahan dari
orientasi produk ke orientasi pelayanan. Disebabkan kelas menengah mulai
sangat mobile dan mengadakan relokasi dalam jumlah besar ke daerah-daerah
pinggiran kota, maka banyak rumah makan / restoran atau drive in
mengkhususkan diri dalam makanan siap saji dan makanan yang bisa segera di
makan di perjalanan (http : www.waralaba.com)
Pada awalnya istilah franchise tidak dikenal dalam kepustakaan Hukum
negarakita, hal ini dapat dimaklumi karena memang lembaga franchise ini sejak
awal tidak terdapat dalam budaya atau tradisi bisnis masyarakat negarakita.
Namun karena pengaruh globalisasi yang melanda di berbagai bidang, maka
franchise ini kemudian. masuk ke dalam tatanan budaya dan tatanan hukum
masyarakat negarakita 
Waralaba mulai ramai dikenal di negarakita sekitar tahun 1970-an dengan
mulai masuknya franchise luar negeri seperti Kentucky Fried Chicken,
Swensen, Shakey Pisa dan kemudian diikuti pula oleh Burger King dan Seven
Eleven, Walaupun sistem franchise ini sebetulnya sudah ada di negarakita
seperti yang diterapkan oleh Bata dan yang hampir menyerupainya ialah SPBU-
pompa bensin 

Pengertian Franchise berasal dari bahasa Perancis affranchir yang
berarti to free yang membebaskan. Dengan istilah franchise di dalamnya

terkandung makna, bahwa seseorang memberikan kebebasan dari ikatan yang
menghalangi kepada orang untuk menggunakan atau membuat atau menjual
sesuatu ,Dalam bidang bisnis franchise berarti
kebebasan yang diperoleh seorang wirausaha untuk menjalankan sendiri suatu
usaha tertentu di wilayah tertentu (Richard Burton Simatupang, 2003:56).
Franchise ini merupakan suatu metode untuk melakukan bisnis, yaitu
suatu metode untuk memasarkan produk atau jasa ke masyarakat. Selanjutnya
disebutkan pula bahwa franchise dapat didefinisikan sebagai suatu sistem
pemasaran atau distribusi barang dan jasa, di mana sebuah perusahaan induk
(franchisor) memberikan kepada individu atau perusahaan lain yang berskala
kecil dan menengah (franchisee), hak – hak istimewa untuk melaksanakan
suatu sistem usaha tertentu dengan cara yang sudah ditentukan, selama waktu
tertentu, di suatu tempat tertentu 
franchise atau sering disebut juga dengan istilah waralaba yaitu suatu cara
melakukan kerjasama di bidang bisnis antara 2 ( dua ) atau lebih perusahaan,
di mana 1 ( satu ) pihak akan bertindak sebagai franchisor dan pihak yang lain
sebagai franchisee, di mana di dalamnya diatur bahwa pihak - pihak franchisor
sebagai pemilik suatu merek dari know - how terkenal, memberikan hak kepada
franchisee untuk melakukan kegiatan bisnis dari / atas suatu produk barang
atau jasa.
Santoso Lolowang (http:www.santosololowang.com) mengatakan ada
banyak definisi dan pendapat yang dikemukakan tentang sistim ini, beberapa
diantaranya :
1. Franchise yaitu sistim pemasaran atau distribusi barang dan jasa, dimana
sebuah perusahaan induk (franchisor) memberikan kepada individu atau
perusahaan lain (franchisee) yang berskala kecil dan menengah, hak
istimewa untuk melakukan suatu sistem usaha tertentu, dengan cara
tertentu, waktu tertentu, dan di suatu tempat tertentu.
2. Franchise yaitu sebuah metode pendistribusian barang dan jasa kepada
masyarakat konsumen, yang dijual pada pihak lain yang berminat. Pemilik
dari metode yang dijual ini disebut “Franchisor”, sedangkan pembeli hak
untuk menggunakan metode itu disebut “Franchisee”.
3. Franchising yaitu suatu hubungan berdasarkan kontrak antara franchisor
dan franchisee. Franchisor berkewajiban untuk menyediakan perhatian
terus-menerus pada bisnis dari franchisee melalui penyediaan pengetahuan
dan pelatihan. Franchisee beroperasi dengan menggunakan nama dagang,
format, atau prosedur yang dipunyai serta dikendalikan oleh franchisor.
Franchisee melakukan investasi dalam bisnis yang dimilikinya.
4. Hubungan kerjasasama (franchising) terwujud bila terdapat sebagai berikut:
- Ada paket usaha yang ditawarkan oleh franchisor.
- Franchisee yaitu pemilik unit usaha.
- Ada kerjasama antara franchisee dan franchisor dalam pengelolaan unit
usaha.

- Ada kontrak tertulis yang mengatur kerjasama antara franchisor dan
franchisee.

Dalam franchise, dasar hukum dari penyelenggaraannya yaitu kontrak
antara kedua belah pihak. Kontrak franchise biasanya menyatakan bahwa
franchise yaitu kontraktor independent dan bukannya agen atau pegawai
franchisor. Namun demikian perusahaan induk dapat membatalkan franchise
tersebut, bila franchisee melanggar persyaratan - persyaratan dalam
persetujuan itu. Sebagaimana halnya lisensi yaitu suatu bentuk perjanjian
yang isinya memberikan hak dan kewenangan khusus kepada pihak penerima
waralaba. Unsur yang terdapat dalam waralaba menurut Mariam Darus
Badrulzaman (2005:27) tersebut yaitu :
1. Merupakan suatu perjanjian
2. Penjualan produk / jasa dengan merek dagang pemilik waralaba (franchisor)
3. Pemilik waralaba membantu pemakai waralaba (franchisee) di bidang
pemasaran, manajemen dan bantuan tehnik lainnya.
4. Pemakai waralaba membayar fee atau royalty atas penggunaan merek
pemilik waralaba.
Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang –
undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan – persetujuan itu tidak
dapat ditarik kembali, selain kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan
– alasan yang oleh undang – undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan –
persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik . Karena itu pula suatu perjanjian franchise yang dibuat
oleh para pihak yaitu franchisor dan franchise berlaku sebagai undang-undang
pula bagi mereka. KUH Perdata tidak menempatkan perjanjian franchise
sebagai suatu perjanjian bernama secara langsung, seperti jual beli, sewa-
menyewa dan sebagainya.
Di dalam perjanjian diperlukan kata sepakat, sebagai langkah awal
sahnya suatu perjanjian yang diikuti dengan syarat-syarat lainnya maka setelah
perjnjian tersebut maka perjanjian itu akan berlaku sebagai undang- undang
bagi para pihaknya hal itu diatur dalam pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata.
Disamping kedua asas diatas ada satu faktor utama yang harus dimiliki
oleh para pihak yaitu adanya suatu itikad baik dari masing-masing pihak untuk
melaksanakan perjanjian. Asas tentang itikad baik itu diatur didalam pasal 1338
ayat 3 KUHPerdata yang berbunyi : “Suatu Perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik”.
Didalam membuat suatu perjanjian para pihak harus memenuhi
ketentuan pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian :
a. Adanya kata sepakat diantara para pihak.
b. Kecakapan para pihak dalam hukum.
c. Suatu hal tertentu.
d. Kausa yang halal.
Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contract. Hukum kontrak
merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu contract of law, sedangkan
dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah Overeenscom-strecht. Dalam
tampilannya yang klasik, untuk istilah kontrak ini sering disebut dengan istilah
“perjanjian” sebagai terjemahan dari “agreement” dalam bahasa Inggris. Namun
demikian istilah “kontrak” ( sebagai terjemahan dari istilah Inggris “contract” )
yaitu paling modern, paling luas dan paling lazim digunakan, termasuk
pemakaiannnya dalam dunia bisnis Yang dimaksud dengan kontrak yaitu
suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement) di antara 2 (dua)
atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan
hubungan hokum 
Definisi lain menurut Ensiklopedia negarakita berpendapat bahwa hukum
kontrak yaitu “Rangkaian kaidah-kaidah hukum yeng mengatur berbagai
persetujuan dan ikatan antara warga – warga hukum.” Definisi hukum kontrak
yang tercantum dalam Ensiklopedia negarakita mengkaji dari aspek ruang
lingkup pengaturannya, yaitu persetujuan dan ikatan warga hukum. Definisi ini
menyamakan pengertian antara kontrak ( perjanjian ) dengan persetujuan,
padahal antara keduanya yaitu berbeda. Kontrak ( perjanjian ) merupakan
salah satu sumber perikatan, sedangkan persetujuan salah satu syarat sahnya
kontrak, sebagaimana yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata 
Pengertian perjanjian atau kontrak diatur di pasal 1313 KUH Perdata
pasal 1313 KUH Perdata berbunyi “ Perjanjian yaitu suatu perbuatan dengan
mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih.” Munir Fuady, 2005:9 mengutip pendapat M. Yahya Harahap yang
menegaskan maksud dalam pasal tersebut bahwa tindakan / perbuatan
(handeling) yang menciptakan persetujuan, berisi “pernyataan kehendak” ( wils
verklaring) antara para pihak. Dengan demikian persetujuan tiada lain dari pada
“persesuaian kehendak” antara para pihak. Selanjutnya dijelaskan lebih lanjut
bahwa tidak semua tindakan / perbuatan mempunyai akibat hukum (rechtgevolg
) dan hanya tindakan hukum sajalah yang dapat menimbulkan akibat hukum.
Dalam pasal 1319 KUH Perdata ditentukan dua macam kontrak menurut
namanya yaitu kontrak nominaat ( bernama / benoemde ) dan kontrak
innominaat ( tidak bernama ) yang tunduk pada buku III KUH Perdata.
Kontrak innominaat yaitu kontrak yang timbul, tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat seperti kontrak production sharing, joint venture, kontrak
karya, kontrak konstruksi, leasing, beli sewa, franchise, manajemen kontrak,
technical assistance contract. Dan lain-lain peristilahan. Kontrak nominaat
yaitu kontrak yang dikenal dan terdapat dalam pasal 1319 KUH Perdata yang
berbunyi “ semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang
tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang
termuat dalam bab ini dan bab yang lalu  Yang
termasuk di dalam kontrak nominaat yaitu jual beli, tukar menukar, sewa –
menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam
meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian dan lain-lain.
Untuk mewujudkan kesempurnaan hukum kontrak inominaat harus memenuhi
lima unsur (Syahrin Naihasy, 2005:68) yaitu :
1. Adanya kaidah hukum, baik kaidah tertulis tidak tertulis
2. Adanya subjek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban
3. Adanya obyek hukum, yang erat kaitannya dengan pokok prestasi
4. Adanya kata sepakat yang merupakan persesuaian pernyataan kehendak
para pihak tentang substansi dan obyek kontrak
5. Akibat hukum yaitu yang berkaitan dengan timbulnya hak dan kewajiban dari
para pihak
Yang dimaksud dengan asas hukum kontrak yaitu prinsip yang harus di
pegang bagi para pihak yang mengikatkan diri ke dalam hubungan hukum
kontrak. Menurut Hukum Perdata, sebagai dasar hukum utama dalam
berkontrak, dikenal 5 ( lima ) asas penting menurut HS, Salim (2003:34-35)
sebagai berikut :
.a. Asas Kebebasan Berkontrak ( Freedom of contract ). Sistem pengaturan
hukum kontrak yaitu sistem terbuka ( open sistem ) artinya bahwa setiap
orang bebas untuk mengadakan perjanjian baik yang sudah diatur maupun
yang belum diatur di dalam undang-undang.
.b. Asas Konsensualisme. Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam
Pasal 1320 ayat ( 1 ) KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah
satu syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian
pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian
antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
.c. Asas Pacta Sunt Servanda atau disebut juga dengan asas kepastian
hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt
servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana
layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi
terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt
servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat ( 1 ) KUH Perdata yang
bunyinya : Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang.
.d. Asas Itikad Baik ( Goede Trouw ). Asas itikad baik dapat disimpulkan dari
Pasal 1338 ayat ( 3 ) KUH Perdata Pasal 1338 ayat ( 3 ) KUH Perdata
berbunyi “ Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itikad
merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus
melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan
yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.
.e. Asas Kepribadian ( Personalitas ). Asas kepribadian merupakan asas yang
menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat
kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat
dalam pasal 1315 dan pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata
berbunyi “ Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan
atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”
2.6. Syarat-syarat Sahnya Kontrak
Waralaba merupakan suatu perikatan / perjanjian antara dua pihak.
Sebagai perjanjian dapat dipastikan terikat pada ketentuan dalam Hukum
Perdata sehingga sahnya suatu perjanjian menurut pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata diperlukan empat syarat yaitu :
a. Kesepakatan ( toesteming / izin ) kedua belah pihak. Kesepakatan ini diatur
dalam pasal 1320 ayat ( 1 ) KUH Perdata,
Juajir Sumardi (1995:46) mengatakan untuk menjamin kepastian hukum,
sebaiknya perjanjian franchise dibuat dihadapan pejabat yang berwenang
(Notaris). Dalam hal ini, perlu memperhatikan secara seksama mengenai
partner (Partner yang dimaksudkan disini yaitu franchise lainnya dan
konsumen), pemeliharaan standar ( Sistem Franchise hanya akan berjalan
dengan baik jika seluruh pihak yang terlibat dalam sistem franchise tersebut
dengan sungguh-sungguh memelihara sistem yang telah ditentukan oleh
franchisor, hubungan para pihak (kerjasama franchise berlangsung
sebagaimana ditentukan dalam perjanjian dan perlu ditegaskan apakah
hubungan kerjasama tersebut dapat diperpanjang lagi atau tidak), segi
komersial Franchise pada dasarnya yaitu hubungan bisnis, oleh karena itu
segi pembagian keuntungan atau segi pembayaran franchisee kepada
franchisor harus diatur secara jelas agar tidak menimbulkan permasalahan
di kemudian hari), teknik operasional (apabila dalam perjanjian standar
masih kurang lengkap, maka bisa dibuat perjanjian tambahan sebagai
pedoman dalam pengoperasian franchise), dan masalah antisipasi masa
datang (misalnya meninggal atau bubarnya franchisee, pemindahan lokasi,
perubahan).
b. Kecakapan Bertindak. Kecakapan bertindak yaitu kecakapan atau
kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum yaitu
perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang – orang yang akan
mengadakan perjanjian haruslah orang – orang yang cakap dan mempunyai
wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang
ditentukan oleh undang – undang sebagai bekwaam ( cakap ) merupakan
syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu
harus sudah dewasa, sehat akal pikiran, dan tidak dilarang oleh sesuatu
peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu
.c. Mengenai suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu yaitu barang yang
menjadi obyek dalam kontrak. Menurut pasal 1333 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, barang yang menjadi obyek suatu kontrak harus tertentu,
setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya. Demikian juga jumlahnya perlu
ditentukan asal dapat ditentukan dan diperhitungkan
.d. Suatu sebab yang halal (Geoorloofde oorzaak).
Halal merupakan syarat keempat sebagai sahnya suatu kontrak. Pasal
1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan “jika kontrak
tanpa sebab, atau kontrak karena sebab palsu atau terlarang maka tidak
mempunyai kekuatan”
Menurut Subekti (2000:17) dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-
syarat subyektif, karena
mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,
sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena
mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang
dilakukan itu.
Oleh karena itu Salim HS selanjutnya mengatakan apabila syarat
pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan.
Artinya, bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan utuk
membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Tetapi apabila para pihak tidak
ada yang keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Syarat ketiga dan
keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya bahwa
dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada 
Ada beberapa syarat untuk kontrak yang berlaku umum tetapi di atur di
luar pasal 1320 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut :
a. Kontrak harus dilakukan dengan itikad baik
b. Kontrak tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
c. Kontrak harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan
d. Kontrak tidak boleh melanggar kepentingan umum
Apabila kontrak dilakukan dengan melanggar salah satu dari 4 ( empat )
prinsip tersebut, maka konsekuensi yuridisnya yaitu bahwa kontrak yang
demikian tidak sah dan batal demi hukum ( null and void ).
Adapun pasal 1338 ayat ( 1 ) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya”. Persetujuan-persetujuan itu tidak
dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Aspek Hukum Waralaba (Franchise)
Waralaba menurut pasal 1 Peraturan Pemerintah RI No 16 tahun 1997
yaitu “perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan
dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri
khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan
persyaratan dan atau penjualan barang dan atau jasa”.
Sedangkan berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2007
pasal 1 ayat ( 1 ) menyebutkan pengertian waralaba yaitu: “hak khusus yang
dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis
dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan / atau jasa yang
telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan / atau digunakan oleh pihak
lain berdasarkan perjanjian waralaba”
Dalam franchise ada dua pihak yang terlibat yaitu franchisor atau
pemberi waralaba dan franchisee atau penerima waralaba di mana masing –
masing pihak terikat dalam suatu perjanjian yaitu perjanjian waralaba. Peraturan
Pemerintah RI No. 42 Tahun 2007 dalam pasal 1 ayat ( 2 ) yang dimaksud
franchisor atau pemberi waralaba yaitu orang perseorangan atau badan
usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan / atau menggunakan
waralaba yang dimilikinya kepada penerima waralaba dan dalam pasal 1 ayat
(3) yang dimaksud franchisee atau penerima waralaba yaitu orang
perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh pemberi waralaba
untuk memanfaatkan dan / atau menggunakan waralaba yang dimiliki pemberi
waralaba.
Sementara itu dalam pasal 3 ada enam syarat yang harus dimiliki suatu
usaha apabila ingin diwaralabakan yaitu :
a. Memiliki ciri khas usaha. Suatu usaha yang memiliki keunggulan atau
perbedaan yang tidak mudah ditiru dibandingkan dengan usaha lain sejenis,
dan membuat konsumen selalu mencari ciri khas dimaksud. Misalnya sistem
manajemen, cara penjualan dan pelayanan, atau penataan atau cara
distribusi yang merupakan karakteristik khusus dari pemberi waralaba.
b. Terbukti sudah memberikan keuntungan. Menunjuk pada pengalaman
pemberi waralaba yang telah dimiliki yang kurang lebih 5 tahun dan telah
mempunyai kiat – kiat bisnis untuk mengatasi masalah – masalah dalam
perjalanan usahanya, dan ini terbukti dengan masih bertahan dan
berkembangnya usaha tersebut dengan menguntungkan.
c. Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan / atau jasa yang
ditawarkan yang dibuat secara tertulis. Usaha tersebut sangat mebutuhkan
standar secara tertulis supaya penerima waralaba dapat melaksanakan
usaha dalam kerangka kerja yang jelas dan sama yang dikenal dengan
Standard Operasional Prosedur (SOP).
d. Mudah diajarkan dan diaplikasikan. Mudah dilaksanakan sehingga penerima
xxv
waralaba yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan mengenai
usaha sejenis dapat melaksanakannya dengan baik sesuai dengan
bimbingan operasional dan manajemen yang berkesinambungan yang
diberikan oleh pemberi waralaba.
e. Adanya dukungan yang berkesinambungan. Dukungan dari pemberi
waralaba kepada penerima waralaba secara terus – menerus seperti
bimbingan operasional, pelatihan dan promosi.
f. Hak kekayaan Intelektual yang telah terdaftar. Hak kekayaan intelektual
yang terkait dengan usaha seperti merek, hak cipta atau paten atau lisensi
dan / atau rahasia dagang sudah didaftarkan dan mempunyai sertifikat atau
sedang dalam proses pendaftaran di instansi yang berwenang.
Pelaksanaan perjanjian waralaba ini dalam Peraturan Pemerintah RI No.
42 Tahun 2007 pada pasal 4 ayat ( 1 ) disebutkan bahwa waralaba
diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi waralaba
dengan penerima waralaba dengan memperhatikan Hukum negarakita dan pada
pasal 4 ayat ( 2 ) disebutkan pula dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud
pada ayat ( 1 ) ditulis dalam bahasa asing, perjanjian tersebut harus
diterjemahkan ke dalam bahasa negarakita. Dengan demikian, apabila pihak
pewaralaba pihak asing, sedangkan terwaralaba yaitu negarakita, maka
perjanjiannnya terikat pada peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2007 tentang
waralaba. Sedangkan untuk format perjanjian itu sendiri tidak menyebutkan
harus menggunakan akta notaris atau tidak, baik dalam peraturan yang lama
maupun peraturan yang baru.
Ketentuan pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2007, perjanjian
waralaba memuat klausula paling sedikit :
a. nama dan alamat para pihak;
b. jenis hak kekayaan intelektual;
c. kegiatan usaha;
d. hak dan kewjiban para pihak;
e. bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang
diberikan pemberi waralaba kepada penerima waralaba;
f. wilayah usaha;
g. jangka waktu perjanjian;
h. tata cara pembayaran imbalan;
i. kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris;
j. penyelesaian sengketa; dan
k. tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian;
Selanjutnya dijelaskan pula dalam pasal 6 ayat ( 1 )bahwa dalam
perjanjian waralaba ini dapat memuat klausula pemberian hak bagi penerima
waralaba untuk menunjuk penerima waralaba lain dan dalam ayat ( 2 )
ditegaskan kembali bahwa penerima waralaba yang diberi hak untuk menunjuk
penerima waralaba lain, harus memiliki dan melaksanakan sendiri paling sedikit
1 ( satu ) tempat usaha waralaba.
Dalam pasal 7 disebutkan kewajiban pemberi waralaba, dimana pemberi

waralaba harus memberikan prospektus penawaran waralaba kepada calon
penerima waralaba pada saat melakukan penawaran. Selanjutnya prospektus
penawaran waralaba sebagaimana dimaksud memuat paling sedikit
mengenai :
a. data identitas pemberi waralaba;
b. legalitas usaha pemberi waralaba;
c. sejarah kegiatan usahanya;
d. struktur organisasi pemberi waralaba;
e. laporan keuangan 2 ( dua ) tahun terakhir;
f. jumlah tempat usaha;
g. daftar penerima waralaba; dan
h. hak dan kewajiban pemberi waralaba dan penerima waralaba.
Selain harus memberikan prospektus penawaran waralaba kepada calon
penerima waralaba, pemberi waralaba berkewajiban pula untuk memberikan
pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen,
pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada penerima waralaba secara
berkesinambungan ( pasal 8 ) dan mengutamakan penggunaan barang dan /
atau jasa hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu
barang dan / atau jasa yang ditetapkan secara tertulis oleh pemberi waralaba
Pengertian franchise ( waralaba ) selalu diartikan berbeda dengan
lisensi. Padahal, intinya hampir sama. Dalam praktik lisensi (licensing) diartikan
lebih sempit, yakni perusahaan atau seseorang ( licencor ) yang memberi hak
kepada pihak tertentu ( licensee ) untuk memakai merek / hak cipta / paten
(hak milik kekayaan intelektual ) untuk memproduksi atau menyalurkan
produk/jasa pihak licencor. Imbalannya licensee membayar fee (Iman
Sjahputra, www.waralaba.com).
Lisencor tak mencampuri urusan manajemen dan pemasaran pihak licensee.
Misalnya, perusahaan Mattel Inc. yang memiliki hak karakter Barbie ( boneka
anak-anak) di AS memberikan hak lisensi kepada perusahaan mainan di
negarakita. Lisensi merupakan ijin yang diberikan kepada pihak lain untuk
memproduksi dan memasarkan produk atau jasa tertentu. Pihak pemberi lisensi
(licensor) hanya berkewajiban mengawasi mutu produk atau jasa yang dijual
oleh penerima lisensi (Deden Setiawan,2005:8)
Dalam perjanjian franchise ada beberapa ketentuan yang menonjol yang
dapat membedakan franchise dengan lisensi. Di dalam perjanjian franchise,
adanya lisensi merek dagang atau merek jasa diikuti oleh kewenangan pemilik
merek melakukan kontrol guna menjamin kualitas barang atau jasa yang
dilisensikan itu. Pemilik merek juga mempunyai kewenangan melakukan kontrol
atas bisnis yang bersangkutan yang tidak bertalian dengan persyaratan kualitas
yang disebutkan di atas. Dalam perjanjian franchise pemberian lisensi selalu
diikuti pelayanan (service) dalam bidang teknik (technical assistance), pelatihan
(training), perdagangan dan manajemen 
Menurut Deden Setiawan (2005:9) perbedaan antara kedua sistem ini
terletak pada tanggung jawab masing – masing pihak , dimana pada sistem
franchise kedua belah pihak terikat dalam sebuah kontrak kemitraan yang diikuti
dengan kewajiban dan tanggung jawab masing – masing pihak. Dalam konteks
itu, franchisor bertanggung jawab untuk memberikan seluruh informasi, mulai
dari proses produksi, sistem manajemen dan keuangan dari produk atau jasa
yang difranchisekan sepanjang kontrak masih berlaku. Di samping itu, perlu
diketahui sejak awal oleh pihak franchisee bahwa bisnis franchise harus
dijalankan sendiri oleh orang yang bersangkutan. Artinya pihak franchisee tidak
boleh bersikap pasif dengan cara memberikan atau menjual lagi hak bisnis itu
kepada orang lain.
Dalam hal pemberian lisensi, pihak pemberi lisensi tidak mempunyai
kewajiban dan tanggung jawab atas bisnis yang dijalankan oleh pihak penerima
lisensi. Pemberi lisensi hanya berkepentingan pada perhitungan royalti atau
pembagian keuntungan dari volume atau omzet penjualan setiap waktu. Selain
itu pemberi lisensi tidak tidak mempunyai tanggung jawab untuk melakukan
bimbingan atau pelatihan kepada penerima lisensi, demikian kata Deden
Setiawan.
Perjanjian franchise merupakan transaksi bisnis, dalam hal ini juga dapat
dimasukkan dalam Hukum Perdata Internasional (HPI) karena adanya unsur-
unsur asing antara franchisor dan franchisee, bila masing-masing negara
mempunyai pengertian yang berlainan maka diketahui hukum mana yang akan
digunakan dalam perjanjian franchise tersebut. Ada beberapa kemungkinan
mengenai hukum yang harus dipergunakan dalam perjanjian franchise
Hal ini disebabkan karena hak-hak dan kewajiban dari masing-masing pihak
yang harus dilaksanakan menurut perjanjian franchise dapat terjadi atau
berlangsung di negara yang bersangkutan atau dari negara ke tiga.
Lebih lanjut Bambang Tjatur Iswanto mengatakan bahwa di dalam
perjanjian franchise ini hukum yang berlaku dapat ditentukan oleh para pihak
sendiri atau berdasarkan asas- asas umum berlaku pada kontrak internasional.
Dan melengkapi pendapat diatas, British franchise Assosiation (BFA)
mendifinisikan franchise sebagai perjanjian lisensi yang diberikan oleh
franchisor kepada franchisee yang berisi :
1. Memberikan hak kepada franchisor untuk melakukan pengwasan yang
berlanjut selama periode berlangsung .
2. Mengharuskan franchisor untuk memberikan bantuan kepada franchise
dalam melaksanakan usahanya sesuai dengan subyek franchisenya
(berhubungan dengan pemberian pelatihan dan merchandicing dan lain-
lain).
3. Mewajibakan franchisee untuk secara berkala, selama franchise
berlangsung, harus membayar sejumlah uang sebagai pembayaran atas
produk atau jasa yang diberikan oleh franchisor kepada franchisee.
4. Bukan merupakan suatu transaksi antara perusahaan induk (Holding
Company) dengan cabangnya atau antara cabang dari perusahaan induk
yang sama, atau antara individu dengan perusahaan yang dikontrolnya.
Menurut Juajir Sumardi (1995:46-47) perjanjian franchise dibuat oleh
para pihak, yaitu franchisor dan franchisee, yang keduanya berkualifikasi
sebagai subyek hukum, baik ia sebagai badan hukum maupun hanya sebagai
perorangan. Perjanjian franchise yaitu suatu perjanjian yang diadakan antara
pemilik franchise (franchisor) dengan pemegang franchise (franchisee) dimana
pihak pihak franchisor memberikan hak kepada pihak franchisee untuk
memproduksi atau memasarkan barang barang (produk) dan atau jasa
(pelayanan) dalam waktu dan tempat tertentu yang disepakati di bawah
pengawasan franchisor, sementara franchisee membayar sejumlah uang
tertentu atas hak yang diperolehnya.
Hal tersebut dapat dilihat dalam praktek franchise (Santoso Lolowang,
http://www.santosololowang.comm) mulai dari jenis fast food seperti Kentucky
Fried Chicken, McDonald’s, Pizza Hut, sampai ke fitness centre. Tidak jarang
sampai mengakibatkan perang dagang antara sesama pemegang franchise.
Sekarang lembaga ini diakui tidak saja sebagai alat untuk mendorong investasi
xxxii
pada skala internasional tapi juga sebagai teknik pemasaran yang membantu
perkembangan bisnis kecil lokal. Untuk negarakita, kondisi itu dipengaruhi
banyak oleh deregulasi yang dilakukan pemerintah dalam bidang bisnis. Di
negara-negara lain gelombang franchise bergulir lebih cepat lagi.
Di Eropa, masyarakat Eropah secara bersama juga telah menyusun
franchising agreement regulation pada tahun 1988 yang memberi jaminan
kebebasan negara-negara itu melakukan monopoli untuk kegiatan franchising.
Santoso Lolowang juga mengatakan bahwa di kawasan ASEAN,
perkembangan franchise terasa semakin kuat. Sebagai contoh Waralaba Es
Teler 77 dan Lembaga Kursus International Language Programs (ILP) dalam
waktu dekat akan menembus Negara-negara ASEAN termasuk China.
1. Situs www.mypulau.com memberitakan Es Teler 77 akan menjadi Pemberi
Waralaba bagi Penerima Waralaba di China. Es Teler 77 didirikan oleh
Murniati Widjaja pada 1982. Murniati dengan dukungan suaminya membuka
restoran khusus es teler yang diberinya nama Es Teler 77. Dua angka di
belakang bukan tanpa makna. Bagi keluarga Widjaja, 77 merupakan nomor
keberuntungan. Pada 1987, franchise pertama dibuka di Solo Jawa Tengah.
Namun saat ini, Es Teler 77 telah mencapai 180 cabang dan
mempekerjakan dua ribu orang, hampir di seluruh provinsi ada. Es Teler 77
juga sudah merambah Singapura dan Australia.
2. Selain kedua waralaba itu, waralaba asal negarakita yang sudah terlebih
dahulu eksis di pasar luar negeri yaitu Auto Bridal. Auto Bridal menjadi
Pemberi Waralaba bagi sembilan Penerima Waralaba di Malaysia.
3. Alfamart juga tidak ketinggalan, mungkin beberapa tahun ke depan Alfamart
juga go internasional, barangkali akan diikuti oleh Indomart dan lain-lain.
4. Walaupun disana-sini masih banyak masalah menyangkut franchise tersebut
mkisalnya gugatan masyarakat (pemilik warung, took-toko kelontong yang
berdekatan dengan usaha franchise tersebut) namun harapan kiranya
mereka dapat menyaingi franchise terkenal di dunia misalnya Coca Cola, Mc
Donalds dan lain-lain.
Mc Donalds, salah satu pewaralaba rumah makan siap saji
terbesar di dunia
Perusahaan Coca cola di Atlanta, AS

5. Situs http://id,wikipedia.org/wiki/Waralaba memberitakan di negarakita
waralaba yang berkembang pesat dan masih sangat menguntungkan yaitu
waralaba di bidang makanan (Wong Solo, Sapo Oriental, CFC, Hip Hop,
Red Crispy, Papa Rons dan masih banyak merek lainnya).
Waralaba berbentuk retail mini outlet (Indomaret, Yomart, AlfaMart) banyak
menyebar ke pelosok kampung dan pemukiman padat penduduk.
Di bidang Telematika atau Information & Communication Technology , juga
mulai diminati pada 3 tahun terakhir ini berkembang beberapa bidang
waralaba seperti distribusi tinta printer refill/cartridge (Inke, X4Print, Veneta
dll) , pendidikan komputer (Widyaloka, Binus) , distribusi peralatan komputer
( Micronics Distribution ) , Warnet / NetCafe (Multiplus, Java NetCafe, Net
Ezy) , Kantor Konsultan Solusi JSI , dll.
Yang juga menguntungkan yaitu waralaba di bidang pendidikan (Science
Buddies, ITutorNet,Primagama, Sinotif) , lebih menarik lagi terdapat Sekolah
robot ( Robota Robotics School ), taman bermain (SuperKids) dan taman
kanak-kanak(FastractKids, Kids2success , Townfor Kids) , Pendidikan
Bahasa Inggris (EF/English First, ILP, Direct English) dll.