merger akusisi g

 ketidakpastian serta 
kerumitan merger dan akuisisi menyediakan konteks yang sangat baik untuk 
menganalisa efek keragaman gender TMT terhadap kinerja perusahaan.

ada argumen yang mengatakan bahwa seiring dengan peningkatan 
keragaman TMT, pengambilan keputusan strategi akan semakin baik sebab 
keragaman ini  memiliki lebih banyak sumber daya pengetahuan, baik 
dalam menetapkan masalah maupun menyelesaikan masalah, Selain itu tim yang heterogen atau beragam juga memiliki 
kemampuan memproses informasi yang lebih baik dibandingkan dengan 
tim yang homogen sehingga meningkatkan kualitas pengambilan keputusan 
Namun keragaman ini  juga menimbulkan efek negatif dalam 
pembuatan keputusan. Keragaman tingkat tinggi dapat menurunkan 
integrasi tim seperti dalam hal komunikasi  kecepatan pengambilan keputusan 
bahwa pemimpin wanita lebih inovatif   proaktif  dan transformasional  serta lebih hati-hati 
dan menghindari risiko  dibandingkan dengan 
pemimpin pria. Hal ini yang membuat TMT yang ada wanita di 
dalamnya akan menghasilkan kualitas yang lebih baik dalam pengambilan 
keputusan. Namun, keragaman ini  juga dapat meningkatkan konfl ik 
interpersonal sebab keragaman ini akan menimbulkan kebencian, amarah 
serta frustasi di dalam tim . Sehingga dapat dikatakan 
bahwa keragaman gender TMT berpengaruh terhadap pengambilan 
keputusan secara positif dan secara negatif.
TMT yang beragam lebih mampu melakukan environmental scanning
dibanding TMT homogen. Selain itu wanita juga lebih mampu dalam 
kegiatan networking sebab  jaringan wanita lebih bervariasi dibanding pria 
baik dalam komposisi maupun karakteristik hubungan . Wanita 
juga lebih menghindari risiko dan lebih berhati-hati dalam menyeleksi ,Sehingga secara keseluruhan keragaman gender dalam 
TMT dapat meningkatkan kualitas seleksi dan cenderung menyeleksi target 
yang tidak terlalu berisiko. Atas argumen ini  peneliti menduga bahwa 
keragaman gender TMT akan meningkatkan kinerja dalam jangka pendek 
sebelum mencapai proses integrasi. Oleh sebab  itu dibentuklah hipotesis 
pertama:
H1 : Keragaman gender dalam TMT berhubungan positif dengan kinerja 
pra integrasi pada merger dan akusisi
Dalam tahap integrasi diperlukan tindakan yang tegas dan bertujuan 
dari anggota TMT. Pengambilan keputusan yang jelas, pemahaman tujuan 
dan tindakan yang tepat dapat mengurangi ketidakpastian serta kecemasan 
anggotanya  Keragaman gender dapat 
menghalangi proses tindakan yang tegas dan bertujuan ini . Halangan 
pertama yaitu  diperlukannya waktu yang lebih lama dalam memproses 
berbagai informasi  Kedua, kekuatan sentralisasi 
sangat diperlukan dalam pengambilan keputusan yang cepat. sebab  
wanita cenderung membagi kekuatan mereka, tim yang memiliki gender 
beragam akan lebih condong ke desentralisasi sehingga akan memperlambat 
pengambilan keputusan. Ketiga, konfl ik dan perdebatan dapat mengganggu 
proses pengambilan keputusan 
Dengan adanya argumen-argumen yang menyatakan efek negatif 
keragaman gender TMT dalam proses integrasi ini , peneliti berhipotesis:
H2 : Keragaman gender dalam TMT berhubungan negatif dengan kinerja 
pasca-integrasi pada merger dan akuisisi.
Walaupun keragaman gender dalam TMT memberikan efek negatif 
bagi kinerja pasca integrasi, pengalaman pengakuisisi diduga mampu 
mengurangi efek negatif ini . Pengalaman akuisisi sebelumnya dapat 
membentuk pedoman bagi organisasi yang membantu para anggota TMT 
dalam mengatur proses integrasi baik sekarang maupun masa depan , Seiring dengan pengembangan rutinitas dan kemampuan 
pengakuisisi, efek negatif dari keragaman gender ini  akan semakin 
berkurang. Selain itu kemampuan yang semakin bertambah ini  juga 
membantu anggota TMT dalam mengambil keputusan selama proses 
integrasi. Pengalaman akuisisi juga akan mengurangi hambatan kinerja pasca integrasi dengan cara menyamakan visi, meningkatkan kecepatan 
pengambilan keputusan dan menghasilkan konsensus strategis yang lebih 
besar. Sehingga peneliti membuat hipotesis yang ketiga:
H3 : Hubungan negatif antara keragaman gender dalam TMT dengan 
kinerja pasca integrasi secara positif dimoderasi oleh pengalaman 
dalam akuisisi.
Hasil dari penelitian ini yaitu :
 Terbukti bahwa keragaman gender dalam TMT berhubungan positif 
dengan kinerja pra integrasi pada merger dan akusisi
 Terbukti bahwa keragaman gender dalam TMT berhubungan negatif 
dengan kinerja pasca-integrasi pada merger dan akuisisi.
 Terbukti bahwa hubungan negatif antara keragaman gender dalam 
TMT dengan kinerja pasca integrasi secara positif dimoderasi oleh 
pengalaman dalam akuisisi.
“Double-edged sword” keragaman gender telah menunjukkan adanya efek 
positif pada tahap seleksi dan efek negatif pada tahap integrasi merger 
dan akuisisi jika perusahaan memiliki anggota TMT wanita. Selain itu 
ditemukan juga bahwa pengalaman pengakuisisi dapat mengurangi efek 
negatif keragaman dengan adanya rutinitas organisasi dan pedoman yang 
membantu anggota TMT dalam mengambil keputusan dan mencapai 
mufakat (konsensus) secara cepat.
Penelitian ini meneliti keragaman jender TMT dalam konteks 
merger dan akuisisi sebab  pada konteks ini memerlukan pengambilan 
keputusan yang tepat di tengah-tengah perubahan yang kompleks sehingga 
meningkatkan peran TMT itu sendiri. Peneliti menemukan bahwa memiliki 
anggota TMT wanita dapat memberikan manfaat maupun biaya pada 
merger dan akuisisi. Namun dengan adanya pengelolaan sumber daya, 
networking serta pemrosesan informasi yang baik akan mengurangi konfl ik 
antarpribadi maupun hambatan dalam tahap integrasi.
Penelitian ini juga memberikan kontribusi menarik bagi penelitian 
selanjutnya. Pertama, penelitian selanjutnya memperoleh kesempatan 
dalam memeriksa moderator hubungan antara keragaman jender dan proses integrasi merger selain pengalaman pengakuisisi. Kedua, penelitian 
selanjutnya dapat mempertimbangkan bagaimana perbedaan kekuatan 
dalam keragaman jender TMT dapat memberi efek pada hasil merger dan 
akuisisi di berbagai tahapan proses. Ketiga, penelitian selanjutnya juga dapat 
mempertimbangkan peran keragaman anggota TMT pada perusahaan target 
merger dan akuisisi. TMT perusahaan target dapat memberikan sumber 
daya pada perusahaan pengakuisisi serta memiliki peran penting dalam 
tahap integrasi sebab  dapat meningkatkan value creation (Graebner, 2004). 
Keempat, keragaman TMT dapat diteliti lebih mendalam yaitu meliputi 
ras maupun etnis yang mungkin juga mempengaruhi kinerja perusahaan 
merger dan akuisisi.

Walaupun banyak perusahaan yang telah melakukan merger akuisisi, 
namun banyak juga di antaranya yang mengalami kegagalan. Untuk 
meneliti kegagalan ini , banyak peneliti yang mengaitkan pentingnya 
faktor sumber daya manusia dalam aktivitas M&A (Aguilera and Dencker, 
2004). Namun hanya sedikit penelitian sebelumnya yang membahas tentang 
hubungan antara kepemimpinan transformasional dan kinerja pasca akuisisi 
(Nemanich dan Keller, 2007). Adanya research gap ini  mendorong 
peneliti untuk meneliti lebih lanjut tentang hubungan antara kepemimpinan 
transformasional dan kinerja pasca akuisisi dengan memakai mediator 
yaitu perilaku karyawan, pada konteks ekonomi transisi. Penelitian ini juga 
menyoroti pentingnya kepemimpinan transformasional pada tingkat hirarki yang lebih rendah terutama selama terjadi perubahan organisasi seperti saat 
akuisisi berlangsung.
Pemimpin yang transformasional memberi dukungan pada bawahannya 
melalui karisma mereka (an idealized infl uence), mengkomunikasikan visi 
yang menarik dan menginspirasi (inspirational motivation), mendorong 
kreativitas dan inovasi dalam organisasi (intellectual stimulation), serta 
merespon kebutuhan dan masalah yang dihadapi karyawan (individual 
considerations) (Bass, 1999). Pemimpin transformasional menggambarkan 
masa depan sebagai sesuatu yang berbeda dengan masa sekarang sehingga 
menginspirasi karyawannya untuk bekerja dalam rangka mewujudkan 
masa depan ini  (Nemanich dan Keller, 2007). Visi masa depan yang 
kuat yang dimiliki oleh pemimpin transformasional mendorong karyawan 
menghadapi tantangan baru, menambah usaha dan bekerja lebih efi sien 
selain itu pemimpin transformasional juga 
menyadari pentingnya perubahan dan mampu mengarahkan karyawan 
dalam rangka beradaptasi pada perubahan ini  serta menginspirasi 
mereka mencapai tujuan yang menantang 
Sikap kepemimpinan ini  tentu dapat meningkatkan kinerja 
pasca akuisisi. Pengaruh ini  akan semakin kuat pada tingkat hirarki 
yang rendah sebab  mereka lebih dekat dengan karyawan. Hal ini  
memungkinkan mereka dalam mendengar keluhan dan membantu masalah 
yang dihadapi karyawan dengan cara melakukan percakapan tatap muka. 
Dengan adanya pertukaran interpersonal ini , karyawan akan lebih 
termotivasi dan berkomitmen dalam mencapai tujuan organisasi yang akan 
berpengaruh terhadap peningkatan kinerja pasca akuisisi.
Penelitian-penelitian terdahulu telah meneliti dampak dari 
kepemimpinan transformasional terhadap kinerja perusahaan ( kepemimpinan transformasional berkontribusi terhadap 
peningkatan kinerja perusahaan. juga menemukan 
bahwa pada masa perubahan, pemimpin transformasional mendorong 
masing-masing karyawan dalam tim dalam mebangung kreativitas dan 
inovasi.Pernyataan dan penelitian-penelitian di atas mendorong peneliti 
merumuskan hipotesis pertama:
H1 : Pada konteks akuisisi, kepemimpinan transformasional yang 
menginspirasi dan mendorong karyawan serta merespon masalah 
mereka, memiliki pengaruh positif terhadap kinerja pasca akuisisi 
Banyak penelitian sebelumnya yang berfokus pada bagaimana karyawan berperilaku terhadap proses perubahan , Bahkan ada istilah “merger syndrome” di mana karyawan bereaksi 
secara tertekan sebab  adanya perubahan yang tidak dapat terhindarkan 
sesudah M&A berlangsung sehingga dapat berpengaruh buruk terhadap 
hubungan antarpribadi mereka. Kesulitan karyawan dalam menghadapi 
perubahan akuisisi dapat menimbulkan persepsi negatif mereka terhadap 
akuisisi yang membuat komitmen mereka berkurang terhadap perusahaan 
baru ini  . Meskipun banyak penelitian 
yang menyoroti reaksi negatif karyawan terhadap M&A, masih ada beberapa penelitian lain yang menyoroti reaksi positif mereka  ,Alasan di balik perilaku positif mereka yaitu mereka mempersepsikan akuisisi sebagai suatu kesempatan dan bukan ancaman serta menyadari 
bahwa perubahan itu penting. Jadi perilaku positif maupun negatif mereka 
dipengaruhi oleh bagaimana mereka mempersepsikan masa depan perusahaan itu.
Beberapa penelitian telah meneliti hubungan antara kepemimpinan 
transformasional dan perilaku karyawan terhadap perubahan . bahwa pemimpin 
transformasional berpengaruh positif terhadap motivasi karyawan, kepuasan 
mereka serta keefektifan mereka dalam bekerja.  bahwa pemimpin transformasional berpengaruh 
terhadap penerimaan akuisisi, kepuasaan pekerjaan serta kinerja karyawan. 
Dari pernyataan dan penelitian terdahulu ini  peneliti merumuskan 
hipotesis kedua yaitu:
H2 : Pada konteks akuisisi, kepemimpinan transformasional yang menginspirasi dan. mendorong karyawan serta merespon masalah mereka, 
memiliki pengaruh positif terhadap perilaku karyawan terhadap perubahanDalam meneliti hubungan antara kepemimpinan transformasional 
dengan kinerja perusahaan, banyak penelitian terdahulu yang memakai 
berbagai variabel mediasi. Salah satu variabel yang berperan sebagai 
mediasidalam hubungan antara kepemimpinan transformasional dan kinerja 
paska akuisisi yaitu  sikap karyawan atas perubahan yang terjadi melalui 
merger akuisisi. saat  karyawan merasa bahwa mereka diperlakukan 
secara adil, mereka kemungkinan besar akan membangun suatu sikap dan 
perilaku positif dalam mendukung dan mencapai tujuan organisasi. Yang 
paling penting yaitu  kepemimpinan yang berkarisma dapat memotivasi 
karyawan untuk meletakkan tujuan organisasi di atas tujuan pribadinya 
dimana hal ini  akan berdampak positif terhadap kinerja perusahaan. 
Oleh sebab  itu, peneliti menganggap bahwa sikap karyawan terhadap 
perubahan yaitu  mediator dari hubungan antara kepemimpinan 
transformasional terhadap kinerja paska akuisisi
H3 : Dalam konteks akuisisi, sikap karyawan terhadap perubahan 
yaitu  mediator dari hubungan positif antara kepemimpinan 
transformasional terhadap kinerja paska akuisisi
Untuk menguji semua hipotesis ini , data diambil dari sumber 
primer selama 3 bulan dari bulan Februari hingga April 2013 yaitu 
perusahaan-perusahaan Serbia yang menjadi subjek akuisisi selama lebih 
dari 10 tahun (dari tahun 2002 hingga 2011). Sampel akhir dalam penilitian ini 
yaitu  208 responden. Pengujian hipotesis dilakukan dengan memakai 
multiple linear regression.
Pengujian H1 dan H2 dilakukan dengan memakai regresi linier 
berganda. Hasilnya menunjukkan bahwa H1 dapat diterima, sedang 
untuk H2 hanya dapat diterima sebagian. Peneliti lalu melakukan 
prosedur milik Baron dan Kenny (1986) untuk menguji efek mediasi dari 
sikap karyawan terhadap perubahan dalam hubungan antara kepemimpinan 
transformasional dan kinerja akuisisi. Hasilnya menunjukkan bahwa 
variabel sikap karyawan terhadap perubahan memiliki efek signifi kan 
terhadap kinerja paska akuisisi. 
Literatur ini mengindikasikan bahwa efi siensi reaksi dari karyawan 
untuk berubah tergantung kepada kepemimpinan yang bagus yang dapat menciptakan suasana yang kondusif dan karyawan membuat karyawan 
mampu melihat tujuan besar dari merger akuisisi. Secara keseluruhan, 
penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam kondisi perubahan yang 
kompleks seperti merger dan akuisisi, pemimpin harus dapat memahami 
apa yang menjadi kebutuhan dan aspirasi karyawan. Dalam kondisi seperti 
itu, kepemimpinan transformasional sangat diperlukan untuk peningkatan 
kinerja sesudah akuisisi. Pemimpin harus dapat bertindak dan berperilaku 
yang menginspirasi dan menstimulasi sehingga dapat menciptakan sikap 
positif karyawan yang akhrinya berdampak kepada kinerja sesudah akuisisi. 
Selain itu, dengan menyediakan dukungan dan bantuan serta merespon 
semua masalah karyawan, pemimpin yang transformasional akan membantu 
karyawan untuk menghadapi tantangan dari suatu perubahan dan bekerja 
dengan lebih baik sehingga dapat berkontribusi pada peningkatan kinerja 
paska merger. 
Sample : Semua aktivitas Merger dan Acquisisi bilateral (crossborder) dari 9 negara berkembang di Asia yaitu China, 
Hong Kong, India, negara kita , Korea, Malaysia, Philipina, 
Singapura dan Thailand selama tahun 2000 hingga 2009. 
Data didapatkan dari Thomson One Reuter.
Metode : Regression Model
Merger dan Akuisisi (M&A) dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan 
dalam satu negara atau yang biasa disebut dengan merger akuisisi domestik 
dan yang dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan antar negara 
atau yang biasa disebut dengan M&A Cross-Border. Sebenarnya, secara 
konseptual, M&A Cross-Border terjadi sebab  adanya alasan yang sama dengan merger akuisisi domesik yaitu sebab  saat  kombinasi dari kedua 
perusahaan ini  dapat meningkatkan kinerja bisnis kedua perusahaan. 
Perbedaan antara M&A Cross-Border dan domestik terletak pada perbedaan 
geografi , budaya, pemerintahan tiap negara, serta efek pajak internasional 
Belakangan ini, M&A Cross-Border menjadi salah satu pilihan yang 
banyak dipraktekkan perusahaan-perusahaan di seluruh dunia. Hal ini dapat 
dibuktikan dengan meningkatnya saham outward foreign direct investment 
(OFDI) secara global dari US$549 milyar di tahun 1980 hingga menjadi US$ 
19 triliun di tahun 2009. OFDI tahunan negara-negara berkembang di dunia 
mengalami perkembangan yang pesat yang bahkan turut memberikan 
kontribusi cukup signifi kan selama kesulitan ekonomi yang baru saja 
terjadi. Dari semua negara berkembang, Negara-negara berkembang di Asia 
memberikan kontribusi OFDI yang paling besar yaitu mencapai lebih dari 
US$2 triliun atau 10,5% dari total semua di dunia pada tahun 2009. 
FDI (Foreign Direct Investment) akhir-akhir ini sebagian besar dilakukan 
dalam bentuk M&A cross-border dibandingkan dengan investasi greenfi eld 
. Hal ini dapat dibuktikan dengan meningkatnya jumlah 
M&A cross-border dari tahun 1998 yang sebesar 23% menjadi 45% di tahun 
2007. Di tahun 2008, jumlah M&A mencapai US$707 milyar yang meningkat 
hampir sepuluh kali lipat dari tahun 1991-1996 yang hanya sebesar US$77 
milyar. Walaupun sebagian besar pembelian M&A berasal dari negara maju 
namun pertumbuhan pembelian M&A dari negara berkembang sudah 
meningkat sangat signifi kan dalam beberapa dekade terakhir.
Tetapi, perkembangan merger dan akusisi yang semakin pesat dan 
semakin terlibatnya banyak perusahaan dari berbagai negara tidak diimbangi 
dengan perkembangan literatur mengenai merger dan akuisisi. Penelitianpenelitian terdahulu banyak yang berfokus pada kegiatan merger akusisi 
domestik yang hanya berpusat pada transaksi antar perusahaan publik yang 
ada di Amerika Serikat. meneliti kegiatan M&A selama 
2000-2010 dalam 9 negara Asia berkembang yaitu China, Hong Kong, 
India, negara kita , Korea, Malaysia, Philipina, Singapura dan Thailand. Hal 
ini disebabkan sebab  negara-negara ini  yaitu  pemain-pemain 
utama aktivitas M&A di Asia.Foreign Direct Investment (FDI) sendiri biasanya terjadi sebab  keputusan 
dari perusahaan multinasional (MNE) untuk masuk ke dalam produksi 
internasional dan memindahkan sebagian aktivitasnya ke negara lain 
dalam bentuk M&A cross-border atau bentuk lainnya. Namun, belum ada 
kerangka berpikir analitis yang menjelaskan mengenai semua motivasi 
dari seluruh kegiatan investasi yang ada di suatu negara. 
mencoba membuat model yang menunjukkan hubungan positif antara 
pendapatan suatu negara (GDP) dengan tingkat investasi negara ini . 
Namun, model yang dihasilkan ini  kurang dapat 
menjelaskan sebab  lingkungan FDI dan M&A yang semakin kompleks. 
Hal ini mengindikasikan bahwa ada beberapa faktor krusial lainnya yang 
menentukan level investasi. Perusahaan-perusahaan memiliki motivasimotivasi tertentu untuk berinvestasi di negara lain. Motivasi ini dapat dibagi 
menjadi 5 kelompok besar berdasarkan teori dan literatur empiris, yaitu:
 Motivasi untuk mendapatkan sumber daya alam tertentu dari negaranegara yang kaya dengan sumber daya alam terutama sumber daya 
alam yang langka akan menarik minat para pemain M&A cross-border.
 Kesempatan untuk ekspansi atau akses ke pangsa pasar baru yang 
bertujuan untuk memperkuat pasar yang sudah ada atau untuk 
membangun dan membuat pasar baru (market development).
 Meningkatkan efi siensi sehingga biasanya para investor akan mencari 
wilayah berbiaya rendah dan memiliki kesempatan skala ekonomi 
untuk kegiatan produksi dan operasi.
 Kesempatan untuk mendapatkan aset sehingga perusahaan yang 
mengakuisisi dapat menciptakan, menjaga dan memelihara posisi 
bersaing mereka. Biasanya motivasi ini mengarah pada investasi dari 
negara berkembang kepada negara yang lebih maju dibandingkan 
dengan investasi antar negara berkembang
 Financial development, dimana perekonomian suatu negara memegang 
peranan penting dalam mempengaruhi keputusan investor untuk 
investasi di luar negeri. 
Model empiris dari penelitian ini yaitu  M&A cross-border bilateral 
antara negara yang ditetapkan sebagai fungsi dari ukuran pasar antara 
perekonomian negara yang mengakuisisi dengan negara yang diakuisisi dengan proxy GDP per kapita yang sesungguhnya dan jarak negara. Sampel 
yang dipakai  yaitu  semua aktivitas M&A cross-border dari 9 negara 
berkembang di Asia yaitu China, Hong Kong, India, negara kita , Korea, 
Malaysia, Philipina, Singapura dan Thailand selama tahun 2000 hingga 
2009. Data didapatkan dari Thomson One Reuter yang meliputi tanggal 
pengumuman, tanggal kesepakatan efektif, negara asal pengakuisisi dan 
target akuisisi, nilai transaksi dan cara pembayaran. 
Peneliti mengharapkan adanya hubungan yang positif antara ukuran 
pasar negara tuan rumah dengan M&A cross-border dan hubungan negatif 
antara jarak dengan M&A cross border. Hipotesis utama dari penelitian ini 
yaitu  implikasi fi nancial development terhadap M&A cross-border. Financial 
development diukur dengan jumlah kredit relatif yang disediakan oleh bank 
atau institusi keuangan terhadap GDP, kapitalisasi pasar saham relatif 
terhadap GDP (equity) dan jumlah total mata uang lokal obligasi relatif 
terhadap GDP (bond).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terbukti adanya hubungan 
positif yang signifi kan antara proxy dari fi nancial development dengan M&A 
cross-border. Selain itu, terbukti bahwa sektor perbankan masih memegang 
peranan penting dalam memfasilitasi kegiatan M&A cross-border sebab  hasil 
menunjukkan bahwa nilai sektor perbankan (credit) lebih tinggi dibandingkan  
equity dan bonds yang juga memiliki hubungan yang positif signifi kan 
terhadap M&A cross-border. Hal ini bisa saja terjadi apabila di wilayah 
ini  metode pembayaran M&A cross-border masih banyak didominasi 
oleh kas sehingga pinjaman dari bank memegang peranan penting dalam 
memfasilitasi suatu transaksi. Hanya saja, banyak negara yang tidak 
menganjurkan untuk memakai bonds sebagai sumber pendanaan untuk 
melakukan investasi terutama di luar negeri. Hal ini sesuai dengan pecking 
order theory of corporate capital structure yang menyatakan bahwa suatu 
perusahaan akan memprioritaskan dan mengurutkan sumber pendanaan 
mereka berdasarkan biaya pendanaan yang harus dikeluarkan
Ukuran pasar yaitu  faktor lain yang berkontribusi dalam 
meningkatnya M&A cross-border. Namun hasil penelitian menunjukkan 
bahwa hubungan antara keduanya relatif rendah dan lemah sehingga 
ditemukan bahwa ada faktor-faktor lain yang lebih dapat menjelaskan pergerakan dari aktivitas M&A cross-border. Hal yang serupa juga terjadi 
dengan variabel jarak yang memiliki hubungan negatif signifi kan terhadap 
M&A cross-border sebab  biaya informasi meningkat dengan jarak terutama 
apabila dalam informasi yang asimetris. 
Selain hal-hal ini , tujuan/destinasi M&A cross-border juga 
memegang peranan penting dalam menentukan peran pembangunan 
keuangan di negara asal. Negara maju dan negara berkembang memiliki 
hasil penelitian yang berbeda. Hasil menunjukkan bahwa kebanyakan 
investasi di negara yang berpenghasilan tinggi dilakukan dengan tukar 
menukar saham sedang sebaliknya, di negara yang berpenghasilan 
sedang dan rendah, sektor perbankan masih memegang peran krusial dalam 
mendorong aktivitas M&A cross-border. 

Seiring dengan meningkatnya integrasi ekonomi di dunia, M&A cross-border
menjadi hal yang semakin penting di masa mendatang baik bagi negara 
berkembang maupun negara maju. Hal ini terbukti sebab  hingga tahun 
2007, sepertiga merger yang telah dilakukan di dunia berasal dari dua negara 
yang berbeda. Alasan-alasan untuk melakukan OFDI dan M&A cross-border
bagi perusahaan-perusahaan di negara berkembang juga tidak jauh berbeda 
dengan yang ada di negara maju termasuk memperluas kesempatan untuk 
bertumbuh atau membangun pangsa pasar baru, dekat dengan pelanggan, 
dan akses terhadap teknologi dan pengetahuan.
Adanya hubungan yang negatif signifi kan antara jarak dan M&A 
cross-border yaitu  suatu hal yang sudah diperkirakan, namun 
hubungan yang rendah antara variabel ukuran pasar menunjukkan bahwa 
faktor-faktor lain yang menjadi faktor pemicu M&A cross-border yang lebih 
penting. Selain itu, pembangunan sektor keuangan di suatu negara menjadi 
salah satu yang dapat memicu terjadinya merger dan akuisisi cross-border. 
Negara yang lebih maju cenderung memiliki persyaratan pendanaan dan 
modal untuk M&A yang lebih kompleks terutama apabila perusahaan target 
berada di negara yang jauh lebih maju dibandingkan  negara asalnya. Dalam hal 
pendanaan, kredit di bank masih menjadi faktor dominan dalam pendanaan 
eksternal walaupun pendanaan melalui equity juga cukup signifi kan.

Selama beberapa dekade terakhir, banyak penelitian yang membahas 
mengenai pengaruh perbedaan budaya terhadap kinerja perusahaan merger 
akuisisi (M&A). Beberapa di antaranya mengatakan bahwa perbedaan 
budaya dapat menjadi hambatan besar dalam mencapai integrasi. Hal 
ini  konsisten dengan hipotesis cultural distance yaitu kesulitan, 
biaya dan risiko akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya 
perbedaan budaya di antara dua individu, grup, atau organisasi (Hofstede, 
1980). Sementara beberapa penelitian menemukan adanya hubungan 
negatif antara perbedaan budaya dengan kinerja perusahaan merger dan 
akuisisi. Namun ada juga penelitian lain yang memiliki pandangan berbeda 
yang mengatakan bahwa perbedaan budaya antara perusahaan-perusahaan 
ini  dapat menghasilkan value creation dan pembelajaran antar satu 
sama lain 
Dalam penelitian ini peneliti berpendapat bahwa perbedaan 
budaya dalam merger dan akuisisi jauh lebih kompleks dibanding yang 
dijelaskan dalam hipotesis cultural distance. Peneliti mengemukakan bahwa 
hasil penelitian yang berlawanan ini  disebabkan sebab  mereka 
membandingkan perusahaan yang memiliki level berbeda dalam hal: 
budaya (nasional atau organisasi) dan organisasi yang diteliti (pengakuisisi 
atau target). Selain itu penelitian-penelitian terdahulu tidak terlalu fokus 
meneliti perbedaan budaya mana yang mempengaruhi kinerja perusahaan 
merger dan akuisisi. Maka dengan menghubungkan perspektif sumber daya 
manusia dan organisasi dalam perusahaan merger dan akusisi, peneliti ingin mengembangkan dan meneliti lebih lanjut mengenai pengaruh perbedaan 
budaya terhadap kinerja merger dan akuisisi. 
Penelitian ini lebih fokus pada aspek-aspek integrasi sosiokultural yang 
bersangkutan dengan realisasi sinergi. Sinergi yang dimaksud yaitu  
pembentukan perilaku positif terhadap organisasi baru dan penyatuan 
identitas serta kepercayaan antar anggota organisasi. ada bukti yang 
lebih mendalam pada penelitian sosial-psikologi yang menyatakan bahwa 
seseorang akan lebih tertarik pada orang lain yang memiliki perilaku serta 
nilai yang mirip dengannya (Darr dan Kurtzberg, 2000). Penelitian lain 
menyebutkan bahwa konfl ik akan semakin meningkat saat  anggotaanggota organisasi tidak saling menghormati nilai-nilai dan tidak ada 
kepercayaan satu sama lain (Lewicki dan Bunker, 1995). 
Di sisi lain, manajer yang mengakuisisi biasanya berperilaku superior 
dan memperlakukan anggota perusahaan target sebagai inferior. Dalam 
merger dan akuisisi lintas budaya biasanya muncul perasaan permusuhan, 
kebencian dan ketidakpercayaan yang mungkin disebabkan oleh pandangan 
stereotip antar satu sama lain. Argumen-argumen ini  mendorong 
peneliti membuat hipotesis pertama:
Hipotesis 1 (H1
) : Perbedaan budaya antara perusahaan merger 
berhubungan negatif dengan hasil integrasi sosial 
budaya.
Peneliti terdahulu menyatakan bahwa akan sulit memprediksi apakah 
manfaat perbedaan budaya dalam hal peningkatan transfer kemampuan, 
berbagi sumber daya serta pembelajaran satu sama lain akan mengimbangi 
atau melebihi hambatan yang disebabkan oleh perbedaan itu sendiri. Dengan 
kata lain integrasi sosial budaya yang buruk tidak akan mencapai realisasi 
sinergi yang baik. Selain itu seiring dengan meningkatkan cultural distance, 
akan semakin besar kemungkinan meningkatnya praktek perusahaan yang 
tidak kompatibel sehingga justru merusak kesuksesan transfer kemampuan, 
pembagian sumber daya serta pembelajaran satu sama lain Oleh sebab  itu peneliti menyimpulkan hipotesis kedua yaitu:Hipotesis 2 (H2
) : Perbedaan budaya antara perusahaan merger berhubungan negatif dengan realisasi sinergi
 bahwa persepsi perbedaan budaya 
mempengaruhi harapan investor mengenai kinerja masa depan perusahaan. 
Hal ini  didasarkan pada prinsip utama ekonomi yaitu pasar saham 
menggabungkan semua informasi yang tersedia ke dalam harga saham saat 
ini. Pasar saham juga tidak hanya mempertimbangkan kinerja keuangan 
perusahaan namun juga faktor lain seperti sumber daya manusia dan 
situasi organisasi ini . Sehingga dapat dikatakan bahwa investor juga 
mempertimbangkan kesesuaian budaya dalam penggabungan perusahaan 
ini . Dari penelitian terdahulu ini  peneliti menyimpulkan hipotesis 
berikutnya yaitu:
Hipotesis 3 (H3
) : Perbedaan budaya antara perusahaan merger berhubungan negatif dengan return pemegang saham pengakuisisi/acquirers.
Peneliti memakai moderat dalam menghubungkan antara 
perbedaan budaya dengan realisasi sinergi dan return pemegang saham. 
Dua moderat yang dipakai  antara lain dimensi perbedaan budaya 
dan tingkat keterkaitan antar perusahaan. Telah dikemukakan bahwa 
budaya organisasi dan budaya nasional yaitu  dimensi yang berbeda 
dengan berbagai macam sikap dan perilaku. 
menyatakan bahwa budaya nasional lebih memiliki kesadaran dan lebih 
menerima perubahan dibanding budaya organisasi. Selain itu ditemukan 
bahwa perbedaan budaya tingkat organisasi berhubungan negative dengan 
komitmen serta kerja sama karyawan perusahaan. Penelitian ini juga 
menunjukkan bahwa beberapa masalah terkait integrasi sosial budaya justru 
semakin kuat dalam tingkat domestik dibanding tingkat cross-border. Hal 
ini  disebab kan level nasional cenderung lebih memperhatikan isuisu budaya yang penting namun kurang terlihat, dibanding level organisasi 
yang cenderung menngabaikannya. Pernyataan ini mendorong peneliti 
menyimpulkan hipotesis keempat yaitu:
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, perbedaan budaya dapat 
meningkatkan keunggulan bersaing suatu perusahaan sebab  adanya 
sumber daya dan kemampuan yang unik dan potensial. Namun nyatanya tidak semua perbedaan budaya memiliki nilai yang berpotensi. bahwa akuisisi antar negara yang berbeda 
dapat meningkatkan pengembangan keahlian teknologi, memicu solusi 
baru dan mendorong inovasi sebab  perbedaan level nasional ini  lebih 
memiliki beragam ide, praktik dan rutinitas yang melengkapi satu sama lain. 
M&A cross-border yang yaitu  bagian dari culture distance juga 
dapat menghasilkan berbagai macam manfaat dalam hal skala ekonomi, 
ketersediaan sumber daya yang langka dan masih banyak lagi Sehingga dapat disimpulkan bahwa strategi M&A cross-border
akan lebih mampu mengeksploitasi peluang pasar asing dibanding strategi 
lain. Argumen-argumen ini  mendorong peneliti menyimpulkan 
hipotesis keempat yaitu:
Hipotesis 4A : Perbedaan budaya level organisasi antara perusahaan 
merger lebih berhubungan negatif dengan integrasi sosial 
budaya dibanding perbedaan budaya level negara (crossborder)
Hipotesis 4B : Perbedaan budaya level organisasi antara perusahaan 
merger lebih berhubungan negatif dengan realisasi sinergi 
dibanding perbedaan budaya level negara (cross-border)
Hipotesis 4C : Perbedaan budaya level organisasi antara perusahaan 
merger lebih berhubungan negatif dengan return 
pemegang saham dibanding perbedaan budaya level 
Negara (cross-border)
Tingkat keterkaitan antar perusahaan dapat menjadi moderator 
yang cukup potensial antara perbedaan budaya dan hasil dari merger dan 
akuisisi sebab  sangat berpengaruh pada level integrasi 
Peneliti terdahulu menyatakan bahwa merger dan akuisisi yang memiliki 
hubungan kuat umumnya memerlukan level integrasi yang lebih tinggi 
yang dapat mengantar perusahaannya menuju organisasi yang lebih besar 
serta memiliki karyawan yang berinteraksi secara intensif. 
juga berargumen bahwa perbedaan antara satu budaya dengan yang lainnya 
tidak terlalu memiliki arti sampai budaya ini  harus berinteraksi satu sama lain. Sejalan dengan pendapat ini , merger dan akuisisi yang 
memerlukan level integrasi yang rendah akan memerlukan lebih sedikit 
interaksi antar anggota dalam masing-masing perusahaannya sehingga 
mengurangi tekanan paska akuisisi dan kemungkinan terjadinya masalah 
antara budaya ini . 
Selain itu perusahaan merger yang keterkaitannya kuat akan memakan 
biaya lebih besar dan meningkatkan masalah dalam hal budaya maupun 
sumber daya di dalamnya . Integrasi dengan level tinggi juga 
dapat memicu karyawan lebih menolak perubahan sehingga justru 
mengagalkan realisasi sinergi. Situasi ini  akan semakin parah jika 
perbedaan budaya semakin besar.
 bahwa saat  tim top
management lebih menoleransi perbedaan budaya, maka ekspektasi earning 
pasar akan semakin tinggi. saat  merger dan akuisisi dalam integrasi 
yang kuat, pengakuisisi akan cenderung kurang menoleransi budaya 
dan justru memaksakan budaya dan prakteknya terhadap perusahaan 
target. Hal ini  dapat menimbulkan konfl ik dan menurunkan kinerja 
karyawan seperti pernurunan produktivitas, tingginya tingkat absensi 
bahkan perpindahan karyawan (Hambrick dan Cannella, 1993). Penelitianpenelitian ini  mendorong peneliti menyimpulkan hipotesis kelima:
Hipotesis 5A : Perbedaan budaya berhubungan negatif dengan hasil 
integrasi sosial budaya saat  level keterkaitan antar 
perusahaan tinggi
Hipotesis 5B : Perbedaan budaya berhubungan negatif dengan realisasi 
sinergi saat  level keterkaitan antar perusahaan tinggi
Hipotesis 5C : Perbedaan budaya berhubungan negatif dengan return
pemegang saham saat  level keterkaitan antar perusahaan 
tinggi
Hasil penelitian dari penelitian ini menunjukkan seperti di bawah ini:
 Terbukti bahwa perbedaan budaya antara perusahaan merger 
berhubungan negatif dengan hasil integrasi sosial budaya.
 Terbukti bahwa perbedaan budaya antara perusahaan merger 
berhubungan negatif dengan realisasi sinergi. Terbukti bahwa perbedaan budaya antara perusahaan merger 
berhubungan negatif dengan return pemegang saham pengakuisisi / 
acquirers.
 Terbukti bahwa perbedaan budaya level organisasi antara perusahaan 
merger lebih berhubungan negatif dengan integrasi sosial budaya 
dibanding perbedaan budaya level negara (cross-border)
 Terbukti bahwa perbedaan budaya level organisasi antara perusahaan 
merger lebih berhubungan negatif dengan realisasi sinergi dibanding 
perbedaan budaya level negara (cross-border)
 Tidak terbukti bahwa perbedaan budaya level organisasi antara 
perusahaan merger lebih berhubungan negatif dengan return pemegang 
saham dibanding perbedaan budaya level Negara (cross-border)
 Terbukti bahwa perbedaan budaya berhubungan negatif dengan hasil 
integrasi sosial budaya saat  level keterkaitan antar perusahaan tinggi
 Terbukti bahwa perbedaan budaya berhubungan negatif dengan 
realisasi sinergi saat  level keterkaitan antar perusahaan tinggi
 Tidak terbukti bahwa perbedaan budaya berhubungan negatif dengan 
return pemegang saham saat  level keterkaitan antar perusahaan tinggi
Hasil dari meta-analisis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa 
perbedaan budaya memiliki dampak terhadap integrasi sosial budaya, 
realisasi sinergi dan return pemegang saham. Penelitian ini memakai 
meta analisis yang memisahkan hasil penelitian-penelitan dan mendeteksi 
efek moderasi yang tidak diuji dalam penelitian-penelitian terdahulu 
sehingga menghasilkan hasil menarik dalam meta analisis penelitian ini. 
Dengan meta analisis, peneliti dapat mencapai konklusi bahwa perbedaan 
budaya dapat menjadi harta maupun kewajiban dalam merger dan akuisisi, 
tergantung dari dimensi budaya dan tingkat keterkaitan antar perusahaan. 
Hasil dari analisa moderator menunjukkan bahwa merger dan akuisisi 
yang memerlukan level integrasi yang tinggi justru menciptakan hambatan 
menuai manfaaat integrasi berupa masalah sosial budaya. Bahkan semakin 
kuat level intergrasinya, akan semakin tinggi risiko kegagalan implementasi 
dan realisasi sinergi dalam perusahaan ini . sedang merger dan 
akuisisi yang memerlukan level integrasi yang lebih rendah, khususnya yang 
memiliki perbedaan budaya dalam level nasional (cross-border) lebih mampu menciptakan manfaat dari integrasi itu sendiri tanpa harus menghadapi 
masalah sosial budaya.
Penelitian ini memberikan wawasan baru mengenai dampak perbedaan 
budaya terhadap merger dan akuisisi. Namun seperti penelitian-penelitian 
lainnya, penelitian ini juga memiliki batasan dan kekurangan yang mungkin 
dapat dikembangkan bagi penelitian selanjutnya. Hambatan pertama yaitu 
penelitian ini meneliti dampak perbedaan budaya pada perusahaan pra 
merger terhadap kinerja perusahaan pasca merger. Sehingga ada beberapa 
isu yang berhubungan dengan proses integrasi yang butuh dieksplorasi lebih 
lanjut, termasuk proses integrasi yang bersifat sementara; bagaimana sosialbudaya dan proses integrasi tugas berinteraksi dalam menghasilkan sinergi 
realisasi; dan bagaimana perbedaan-perbedaan budaya ini  mampu 
mengembangkan pemindahan kemampuan dan pembelajaran satu sama 
lain. Hal-hal tersbut tidak dapat dengan mudah diteliti dengan penelitian 
cross-sectional maupun dengan survei. Penelitian langsung di lapangan atau 
studi masalah longitudinal dapat menghasilkan pemahaman yang lebih kaya 
mengenai pengaruh perbedaan budaya terhadap kesuksesan merger dan 
akuisisi. 
Hambatan kedua yaitu  moderator yang dipakai  dalam penelitian 
ini hanya menangkap aspek statis dalam hubungan antara pengakuisisi dan 
target. Padahal sebenarnya dampak perbedaan budaya terhadap merger 
dan akuisisi ini  juga sangat tergantung dari bagaimana perbedaan 
ini  dikelola seperti adanya toleransi budaya dari pengakuisisi, tingkat 
otonomi atau keefektifan kepemimpinan. Sehingga isu selanjutnya yang 
perlu dipertanyakan dan diteliti lebih lanjut bukan lagi mengenai apakah 
perbedaan budaya menjadi persoalan dalam merger dan akuisisi, namun 
lebih kepada bagaimana perbedaan ini  mempengaruhi proses integrasi 
dan apa yang dapat dilakukan untuk mengelola perbedaan ini  secara 
lebih efektif.
 
Dalam persaingan pasar global yang semakin ketat, perusahaan akan 
mengalami kemunduran apabila tidak melakukan perkembangan terus 
menerus untuk memenuhi strategi yang diperlukan untuk menghadapi 
lingkungan yang semakin kompetitif. Untuk memenuhi kebutuhan ini , 
merger dan akuisisi menjadi pilihan strategi yang sering dipakai  oleh 
perusahaan susaha mendapatkan sumber daya yang baru. Walaupun 
strategi ini sering dipakai  oleh perusahaan-perusahaan di seluruh dunia, bahwa sebanyak 60% hingga 
80% dari semua kegiatan M&A tidak berhasil untuk meningkatkan nilai/
value organisasi. Penelitian ini didasari oleh penelitian-penelitian terdahulu 
yang mencoba untuk menjelaskan kesuksesan dan kegagalan merger dengan 
strategi yang dimiliki.
Kegiatan M&A menurut perspektif resources-based dapat dilihat 
sebagai suatu tindakan strategik yang dapat membantu perusahaan untuk 
mendapatkan sumber daya yang ada untuk tetap mengikuti perubahan 
lingkungan yang ada , bahwa penekanan strategi terutama strategi 
prioritas perusahaan akan berdampak pada kinerja keuangan perusahaan. 
Berdasarkan hal-hal ini , peneliti berpendapat bahwa persamaan atau 
perbedaan strategi menjadi kunci penting perusahaan merger dan dengan 
adanya penekanan terhadap strategi dapat diketahui apakah konfi gurasi 
sumber daya perusahaan merger dapat meningkatkan nilai (value). Dengan 
memeriksa reaksi investor terhadap berbagai tipe motif merger, perusahaan 
dapat memposisikan merger untuk memberi sinyal nilai kepada investor. 
Secara ringkas, ada tiga tujuan utama dalam penelitian ini, yaitu:
 Menekankan pentingnya penyelarasan strategi sebagai salah satu hal 
yang berpengaruh terhadap peningkatan nilai (value) organisasi pascamerger yang dapat menyamakan orientasi strategi perusahaan hasil 
merger.Melihat dampak motif merger dalam peningkatan nilai organsiasi atas 
proses M&A yang terjadi.
 Mendemonstrasikan bagaimana aspek marketing terutama iklan (yang 
berhubungan dengan R&D) dapat mempengaruhi peningkatan nilai 
dalam aktivitas merger dan akuisisi di industri yang berbeda.
Dalam penelitian ini, portfolio abnormal return menjadi variabel dependent 
yang menangkap adanya peningkatan nilai dalam konteks merger. 
Konsisten dengan penelitian terdahulu peneliti fokus kepada dampak merger akuisisi kepada 
perusahaan gabungan dan menilai keseluruhan portfolio abnormal return
yang timbul di perusahaan gabungan. Pengukurannya didasarkan pada 
reaksi pasar saham terhadap perusahaan pengakuisisi dan perusahaan 
target atas dilakukannya merger. Apabila hal ini dilakukan maka dapat 
menangkap keyakinan investor sehingga dapat mengetahui selisih antara 
nilai perusahaan gabungan dibandingkan dengan nilai kedua perusahaan 
sebelum bergabung yang dimana ekspektasinya dapat tercermin pada arus 
kas perusahaan gabungan di masa depan.
Mensinergikan strategi (strategic alignment) berarti melihat seberapa 
banyak kesamaan konfi gurasi sumber daya pemasaran dan R&D yang 
dimiliki oleh perusahaan gabungan. Penekanan keselarasan strategi 
yang tinggi berarti perusahaan gabungan memiliki kesamaan pola yang 
tinggi atas alokasi sumber dayanya sehingga dapat meningkatkan kinerja 
perusahaan dengan tiga cara. Pertama, apabila perusahaan gabungan dapat 
mengelompokkan sumber daya maka dapat meningkatkan economies of scale
baik dari sisi produksi dan distribusi yang berdampak pada pengurangan 
biaya dan meningkatnya kinerja perusahaan pasca merger, Kedua, merger antar perusahaan dengan strategi sejenis 
dapat memfasilitasi pemasaran dan integrasi organisasi dan memperkuat 
hubungan dengan pelanggan (Homburg and Bucerius 2005). Dan yang 
terakhir, perusahaan gabungan akan memiliki norma dan nilai yang sama 
yang menjadi salah satu alasan kuat keberhasilan merger Banyak penelitian terdahulu yang 
menemukan bahwa kesamaan antar perusahaan gabungan meningkatkan 
nilai dan berdampak besar bagi kinerja perusahaan ,Dengan banyaknya diskusi mengenai peran penting baik tinggi atau 
rendahnya penekanan strategi dalam mempengaruhi kinerja pasca merger 
secara positif maka terbentuklah hipotesis:
H1 : Tingginya penekanan keselarasan strategi berdampak pada lebih 
besarnya nilai perusahaan sesudah merger diumumkan dibandingkan 
dengan rendahnya penekanan keselarasan strategi
H1Alt : Rendahnya penekanan keselarasan strategi berdampak pada lebih 
besarnya nilai perusahaan sesudah merger diumumkan dibandingkan 
dengan tingginya penekanan keselarasan strategi
Namun peneliti sadar bahwa motivasi dari merger itu sendiri harus 
dipertimbangkan sehingga motivasi-motivasi yang memicu terjadinya 
merger harus dijelaskan terlebih dahulu. Basis dari merger dibagi menjadi 
dua yaitu konsolidasi dan diversifi kasi (Anand and Singh 1997). Dengan 
memakai konsolidasi, perusahaan dapat memperkuat posisinya di 
pasar produk yang sudah ada, meningkatkan efi siensi, mampu menawarkan 
banyak produk. Dengan peningkatan yang dialami, perusahaan dapat 
mencapai efi siensi dalam hal produksi, pemasaran bahkan distribusi yangdapat membawa perusahaan pada sinergi operasional yang lebih tinggi dan 
biaya yang lebbih rendah ,
sedang dengan diversifi kasi, perusahaan mampu memperluas 
bisnisnya baik di bidang/industri bisnis yang sama maupun berbeda. 
Tujuan utama dari diversifi kasi yaitu  mencapai economies of scope diantara 
tahap-tahap produksi yang sukses (Wernerfelt 2005). dengan industri 
terkait, perusahaan dapat meningkatkan teknologi atau produk ( sedang dengan bisnis yang tidak terkait perusahaan 
dapat meningkatkan pangsa pasar dengan produk-produk terbaru. 
Peneliti berpendapat bahwa baik merger konsolidasi maupun diversifi kasi 
dapat menciptakan atau menurunkan nilai tergantung dari penekanan 
keselarasan strategi diantara perusahaan-perusahaan yang terlibat merger. 
Dengan mempertimbangkan motif merger dalam penelitian ini maka dapat 
dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H2a : Merger berbasis konsolidasi dibawah penekanan keselarasan strategi 
yang tinggi berdampak pada meningkatnya nilai perusahaan sesudah 
pengumuman merger dikeluarkan dibandingkan dengan merger 
berbasis konsolidasi dibawah penekanan keselarasan strategi yang 
rendah
H2b : Merger berbasis diversifi kasi dibawah penekanan keselarasan strategi 
yang rendah berdampak pada meningkatnya nilai perusahaan sesudah 
pengumuman merger dikeluarkan dibandingkan dengan merger 
berbasis diversifi kasi dibawah penekanan keselarasan strategi yang 
tinggi
Pengujian terhadap model menunjukkan bahwa dampak dari selisih/
perbedaan penekanan strategi yaitu  negatif dan signifi kan yang artinya 
penekanan strategi yang semakin mirip/sama semakin baik bagi perusahaan 
gabungan. Hasil ini lebih mendukung hipotesis 1 (H1
) dibandingkan  hipotesis 
1 alternatif (H1Alt). Selain itu, model juga menunjukkan bahwa perbedaan 
penekanan strategi dalam konsolidasi yaitu  negatif dan signifi kan. Hal 
ini berarti bahwa merger dalam motivasi konsolidasi dengan penekanan 
keselarasan strategi yang tinggi mengarahkan perusahaan pada peningkatan 
nilai yang lebih tinggi sehingga membuktikan hipotesis 2a (H2a). Di lain pihak, dampak perbedaan penekanan strategi diantara pihak pengakuisisi 
dan target dalam motivasi diversifi kasi menghasilkan hasil yang positif 
dan signifi kan. Hasil ini berarti bahwa rendahnya penekanan keselarasan 
strategi dalam motivasi diversifi kasi membawa pada return yang tinggi 
sehingga hipotesis 2b (H2b) terbukti.




Dari beberapa penelitian seperti Tower Watson (), Davis () 
dan Limieux () dalam melakukan Merger dan Akuisisi tentu 
banyak sekali faktor yang menentukan keberhasilan dan kegagalan 
perusahaan. Menurut beberapa penelitian, ada 20 faktor yang mempengaruhi 
keberhasilan dan kegagalan dalam merger dan akuisisi. Dari dua puluh 
faktor ini  lalu di rangkum menjadi tiga kelompok besar yaitu 
aspek due diligence, budaya dan kepemimpinan.
 ASPEK DUE DILIGENCE
Due diligence yaitu  penilaian mendalam mengenai hukum, keuangan, 
dan risiko bisnis yang terkait dengan merger atau akuisisi, yang dilakukan 
kedua belah pihak terlepas sebagai pihak yang membeli, menjual, atau 
menggabungkan perusahaan. Due diligence dilakukan bukan tanpa adanya 
tujuan. Berikut ini yaitu  tujuan dilakukannya due diligence menurut Davis ).
 Untuk memastikan harga dan metode pembayaran yang tepat jika 
sepakat melakukan merger dan akuisisi.
 Untuk menentukan detail yang mungkin relevan dalam penyusunan 
perjanjian merger atau akuisisi
 Untuk mengevaluasi risiko hukum dan keuangan dari transaksi
 Untuk mengevaluasi kondisi fi sik peralatan dan juga properti berwujud 
dan tidak berwujud lainnya yang termasuk dalam transaksi
 Untuk menganalisis masalah terjadinya monopoli yang potensial yang 
dapat menghambat merger atau akuisisi
 Untuk memastikan kepatuhan terhadap hukum yang relevan dan 
mengungkapkan pembatasan regulasi untuk transaksi yang diusulkan
 Untuk mengetahui kewajiban atau risiko yang mungkin dapat 
menghancurkan kesepakatan
Faktor yang memicu keberhasilan dan kegagalan merger dan 
akuisisi menurut Mallikarjunapa dan Nayak (2007) yang terkait dalam due 
diligence yaitu  kelengkapan dan kecukupan due Diligence. Due diligence yang 
tidak lengkap dan tidak memadai cukup sering memicu kegagalan 
merger. Ada 2 hal menurut Lemieux dan Banks (2007) yang penting dalam 
due diligence yang mempengaruhi kelengkapan dan kecukupan due diligence
yang nantinya akan mempengaruhi keberhasilan suatu due diligence, yaitu 
jumlah orang yang melakukan due diligence dan durasi pelaksanan due 
diligence. 
Due diligence harus dilakukan dalam waktu yang cukup dan realistis 
untuk memperoleh data-data dan informasi yang memadai untuk menilai 
apakah merger dan akuisisi dapat dilakukan, menguntungkan dan dapat 
bertahan di dunia bisnis. Seringkali due diligence dilakukan dalam tempo 
yang terlalu singkat atau biasanya proses due diligence dilakukan tidak 
sampai selesai, sebab  masing-masing pihak terlalu percaya satu sama 
lain. Ada kemungkinan perusahaan ini  yaitu  perusahaan yang 
besar dan sukses, tetapi tidak menutup kemungkinan perusahaan ini  
memiliki masalah yang tidak diketahui pihak luar, seperti kecurangan 
dalam pelaporan keuangan, yang tentu saja tidak bisa diketahui melalui due 
diligence yang dilakukan dalam waktu yang singkat.
Jumlah orang yang melakukan due diligence juga sebaiknya tidak 
terlalu banyak namun cukup untuk mendapatkan informasi yang cukup 
dan berguna dalam proses due diligence demi keberhasilan merger atau 
akuisisi dalam jangka waktu due diligence yang telah ditentukan. Berikut ini 
yaitu  lingkup standard due diligence yang harus diperiksa menurut Davis 
(2009) yang nantinya dapat menentukan keberhasilan due diligence dari segi 
kelengkapan dan kecukupan. Status organisasi
Memastikan memiliki semua dokumen penting perusahaan seperti 
akta pendirian dan laporan tahunan saat ini, untuk memastikan bahwa 
perusahaan yang dibeli sudah sepatutnya diatur sebagai perusahaan, 
kemitraan terbatas, LLC, dan sebagai entitas lainnya. Identitas petinggi 
dan direktur, serta otoritasnya juga harus diketahui. Selain itu semua 
notulen, catatan, dan suara pemegang saham, serta rapat direksi harus 
diperiksa untuk memastikan bahwa transaksi merger dan akusisi 
ini  disetujui. Selain itu langkah-langkah pertahanan perusahaan 
yang akan dibeli, seperti hak untuk membeli saham tambahan atau 
pembatasan direksi sebagai otoritas, harus diperiksa dan dievaluasi 
dampaknya pada transaksi merger dan akuisisi yang akan dilakukan. 
 Kewajiban kontraktual
Semua kewajiban kontraktual harus diperiksa, seperti perjanjian 
pemasok, perjanjian joint venture, sewa, lisensi, perjanjian kerja, dan 
kewajiban keuangan. Pembeli harus menentukan kewajiban kontraktual 
itu akan dilanjutkan atau tidak , dan apakah rencana penjualan kepada 
pembeli akan menghasilkan konsekuensi pada kontrak apapun. Setiap 
persetujuan kontrak perlu dianalisa untuk mencari masalah apapun pada 
kewajiban kontraktual pembeli. Hutang kepada pemasok, serta hutang 
kepada bank dan pihak lain harus dikonfi rmasi dan dipertimbangkan 
dalam setiap perhitungan nilai akuisisi.
 Karyawan
Pembeli mungkin akan mempertahankan karyawan kunci dari perusahaan yang akan dibeli, atau memfasilitasi perubahan kepemimpinan, 
atau tetap mempekerjakan karyawan yang sudah lama. Pembeli juga 
harus mempertimbangkan kontrak karyawan untuk menentukan gaji, 
bonus, dan benefi t, serta apakah merger dan akuisisi akan menyebabkan pembeli membayar kompensasi tambahan. Kontrak serikat, keluhan dan pengaduan semuanya harus diperiksa. Status karyawan yang 
bukan warga negara juga harus diperiksa, sebab  ijin imigrasi biasanya 
dipengaruhi oleh nama dari pemberi kerja, dan jika sebab  merger dan 
akuisisi pemberi kerja berubah, maka hal ini akan berpengaruh pada 
karyawan ini . Pemeriksaan latar belakang dan sejarah kejahatan 
dari karyawan kunci, pendiri, dan petinggi juga harus dilakukan. Asuransi
Kontrak asuransi harus ditinjau untuk kecukupan cakupan, konfl ik 
dengan perjanjian asuransi pembeli, dan kepatuhan oleh penjual. 
Pemberi asuransi harus diberitahu tentang perubahan kepemilikan.
 Pajak
Pajak selama beberapa tahun sebelumnya harus diperiksa, dan 
pembayaran pajak terutang, cukai, pajak penghasilan dan pajak lainnya 
harus dikonfi rmasi dengan otoritas perpajakan.
 Akuntansi
Pembeli harus memastikan bahwa perusahaan yang dibeli telah 
memakai standar akuntansi yang benar dalam menyiapkan laporan 
keuangan yang akurat dan lengkap. Perusahaan yang akan dibeli 
biasanya tidak mau membuktikan kepatuhan pada standar-standar 
ini , sebab  praktik akuntansi mereka tidak serinci dan tidak seketat 
sesuai standar-standar ini , sehingga memilih untuk dimerger atau 
diakuisisi dibandingkan  melakukan IPO susaha menjadi terbuka. 
 Imbalan kerja
Imbalan kerja seperti dana pensiun dan dana untuk cacat harus ditinjau 
untuk menentukan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. 
Pendanaan imbalan ini  harus dikaji oleh para ahli. Perusahaan 
pembeli ingin tahu apakah imbalan atau kompensasi akan dipicu oleh 
rencana penjualan. Dampak dari transaksi pada setiap opsi kepemilikan 
saham karyawan (ESOP) harus dievaluasi.
 Litigasi dan kewajiban produk
Tuntutan hukum yang ada harus diperiksa untuk menentukan 
kewajiban yang berpotensi akan ditanggung pembeli dan juga ancaman 
masalah hukum.
 Kewajiban lingkungan
Penilaian lokasi limbah berbahaya mungkin cocok untuk semua 
bangunan yang dimiliki atau dikuasai oleh penjual. sebab  pihak yang 
mencemari mungkin bertanggung jawab atas biaya pembersihan bahkan 
sesudah properti dijual, pembeli juga mungkin perlu untuk menilai 
properti yang telah dijual oleh perusahaan yang akan dibeli. Pembeli 
mungkin bertanggung jawab atas biaya pembersihan sebagai operator 
atau pemilik bangunan yang didapatkan dari merger dan akuisisi. Penilaian dari akuisisi
Proyeksi keuangan, yang yaitu  satu-satunya indikator yang wajar 
dari nilai akuisisi kepada pembeli, hanyalah tebakan untuk kinerja masa 
depan. Pembeli perlu mempelajari pasar dan basis pelanggan dari penjual 
dan memprediksi pengaruh transaksi pada para pelanggan. Pelanggan 
dari perusahaan yang diakuisisi atau dimerger harus dihubungi untuk 
menentukan masalah kontrol kualitas atau kekurangan produk lainnya, 
serta untuk memverifi kasi piutang. Pesaing juga harus diperhatikan, 
untuk menentukan bagaimana kinerja perusahaan yang akan dibeli 
relatif terhadap kompetisi dan prediksi pesaing di masa depan mengenai 
pasar.
 Antitrust. Pembeli harus memeriksa apakah merger dan akuisisi yang 
dilakukan akan menghasilkan monopoli atau tidak.
 Aturan luar negeri. Banyak perusahaan yang melakukan merger 
atau akuisisi dengan perusahaan luar negeri. Ahli hukum lokal harus 
disewa pada awal proses untuk menganalisa hukum setempat untuk 
menentukan transaksi merger atau akuisisi bisa dilakukan atau tidak, 
dan untuk menyediakan pendapat mendalam dari setiap konsekuensi 
hukum tambahan dari transaksi merger atau akuisisi.
 Properti intelektual
Semua paten, hak cipta, merek dagang dan rahasia dagang yang dimiliki 
oleh perusahaan yang akan dibeli perlu diidentifi kasi dan dikatalogkan. 
Tingkat review akan tergantung pada nilai yang diberikan oleh pembeli 
untuk aset ini . Jika tujuan utama pembeli dalam membuat akuisisi 
ini yaitu  untuk memperoleh produk kunci untuk meningkatkan lini 
produk, maka paten atau hak cipta yang melindungi hak-hak dalam 
produk yang akan menjadi jauh lebih penting. Pembeli perlu memastikan 
bahwa paten yang dimiliki oleh perusahaan yang akan dibeli, dan bahwa 
karyawan yang menemukan atau menciptakan produk tidak mengklaim 
hak-hak individu. Setiap lisensi paten perlu ditinjau. Klaim paten akan 
menentukan dengan tepat apa yang menjadi hak perusahaan untuk 
melarang pihak lain untuk membuat dan memasarkan produk serupa. 
Jika paten tidak dibuat secara cermat dan pintar, pembeli mungkin 
menemukan bahwa aset yang paling berharga menjadi tidak berharga 
sebab  pesaing dapat melakukan reverse engineering atau bekerja di 
sekitar itu. Penyimpanan dokumen. Pembeli perlu mengetahui lokasi semua 
dokumen, termasuk catatan keuangan dan pajak, catatan sumber daya 
manusia, dan bukti kepatuhan pemerintah. 
Sebelum melakukan due diligence, sebaiknya ditentukan dahulu 
lingkup informasi yang harus dicari, apakah semua informasi mengenai 
salah satu pihak, atau sebagian informasi saja seperti pendapatan saja, atau 
cash fl ow saja, dan lain-lain. Dalam due diligence sebaiknya informasi yang 
didapatkan sebaiknya sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Informasi 
yang terlalu banyak hanya membuang waktu dan sumber daya, sebab  tidak 
semuanya dipakai dalam mengambil keputusan terkait due diligence. Tetapi 
informasi yang terlalu sedikit lebih berpotensi memicu kegagalan 
dalam merger akuisisi, sebab  keputusan meger dan akuisisi yang diambil 
tidak berdasarkan informasi minimal yang diperlukan untuk melakukan 
merger atau akuisisi, atau dapat dikatakan terjadi information asymmetry.
 masalah  1: Mitta Steel Due Dilligence
Contoh masalah keberhasilan merger dan akuisisi yang terkait due diligence
yaitu  proses akuisisi pabrik baja Siscartsa II di Meksiko oleh ISPAT 
Steel (sekarang Mittal Steel), perusahaan dari India pada tahun 1991. 
Sebelum melakukan akuisisi terhadap Siscartsa II, Mittal Steel melakukan 
due diligence terlebih dahulu terhadap Siscartsa II yang dilakukan oleh 20 
orang manager yang mewakili semua fungsi dari cabang ISPAT steel di 
Trinidad dan negara kita . Mereka dibagi dalam tim yang masing –masing 
akan melakukan due diligence di area keuangan, pemasaran, manajemen 
dan biaya. Selain itu setiap tim diminta untuk memeriksa hasil pemeriksaan 
tim lainnya untuk mengurangi bias dan ketidaktelitian dalam due diligence. 
Hasil dari due diligence yang dilakukan ISPAT Steel yaitu  bahwa Iscartsa II 
sering terganggu sebab  masalah teknis, hanya beroperasi pada kapasitas 
20%, memproduksi lembaran baja yang berkualitas rendah, dan banyak 
karyawannya yang tidak bersemangat dalam bekerja. sesudah menemukan 
masalah dalam pabrik baja ini , ISPAT tetap melakukan akuisisi dengan 
biaya $ 220 juta yang menurut mereka tepat, sebab  mereka melihat Siscartsa 
II memiliki potensi yang bagus di masa depan selama masalah-masalah yang 
ditemukan dalam due diligence ini  dapat diatasi. Ternyata ISPAT tidak 
salah, dan dengan strategi yang tepat dalam mengatasi masalah-masalah yang ditemukan dalam due diligence dan juga kerja keras dari karyawankaryawannya, Siscartsa menjadi salah satu pusat pendapatan ISPAT Steel.
 masalah  2: Sherwood Brands Due Dilligence
Contoh kegagalan merger dan akuisisi terkait due diligence yaitu  Sherwood 
Brands dan Asher Candy, di mana Sherwood Brands mengakuisisi 
Asher Candy sesudah melakukan due diligence selama 21 hari, walaupun 
tidak menerima semua informasi yang diinginkan dari due diligence yang 
dilakukan. Dalam masalah ini, Sherwood Brands telalu percaya pada proyeksi 
pendapatan di masa depan yang dibuat oleh Asher Candy. Namun sesudah 
proses akuisisi terjadi, Sherwood Brands baru menemukan bahwa ternyata 
banyak kewajiban Asher Candy yang tidak diungkapkan, seperti kegagalan 
dalam membayar dana pensiun sebesar $401.000 dan pajak yang belum 
dibayar.
 masalah  3: CIMB Niaga
Bank Niaga dan Bank Lippo telah bergabung menjadi Bank CIMB Niaga 
pada 1 November 2008. Penggabungan kedua bank ini  yaitu  opsi 
terbaik bagi seluruh pemangku kepentingan yang diambil oleh Pemegang 
Saham dalam rangka mematuhi kebijakan Bank negara kita  khususnya 
mengenai Kebijakan Kepemilikan Tunggal. Merger ini menghasilkan bank 
dengan total aset di atas Rp 100 triliun dan mengkokohkan posisi sebagai 
bank keenam terbesar di negara kita  berdasarkan aset. Kebanyakan proses 
merger gagal untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Namun hal ini tidak 
terjadi pada merger yang dilakukan CIMB Niaga. Memahami masalah-masalah 
mengenai gagalnya merger yaitu  langkah awal untuk mencegah hal 
itu terjadi pada proses mergernya.
lalu CIMB Niaga mulai dengan merumuskan due diligence dan 
tata kelola proses merger dengan suatu pendekatan yang terstruktur. Hal ini 
diperlukan sebab  kompleksitas proses merger serta ketatnya jadwal waktu, 
sementara CIMB Niaga harus memastikan bahwa operasional perbankan 
terus berlangsung secara efi sien. CIMB Niaga harus mempertahankan 
kualitas layanan nasabah selama proses merger. Proses due diligence ini  
terdiri dari dua tahapan yaitu conduct feasibility study selama 5 bulan dan 
regulatory approval selama 5 bulan. Proses ini dimulai pada 14 Maret 2008. lalu pada 22 Juni 2008 perjanjian merger ini  telah ditandatangi. 
Due diligence dilakukan dengan mengumpulkan berbagai informasi 
mengenai aspek keuangan, aspek hukum dan aspek peraturan dari 
transaksi merger

merger akusisi h

Pencapaian yang dihasilkan dari proses due diligence ini 
yaitu  penandatangan S&P, menerima semua persetujuan peraturan yang 
diperlukan dalam merger, dan penyelesaian transaksi merger. Di dalam 
proses due diligence ini  dilakukan pula dealexecution. Deal Team dibentuk 
dari anggota-anggota dari Bank Niaga, Bank Lippo, dan CIMB Group. Tim 
ini bertanggungjawab atas sejumlah besar tugas yang meliputi mengelola 
transaksi merger, me-review pekerjaan yang telah dilakukan taskforces, dan 
menelusuri perkembangan dengan teliti. Untuk memastikan merger telah 
sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku, maka Deal Team didukung oleh 
Financial Advisor, Public Accountant, Legal Consultant dan Independent Valuer.
Berikutnya dibentuklah Business, Operational & IT Integration yang 
melibatkan bisnis dan unit pendukung bank. Tim ini bertugas untuk 
menetapkan metode, proses, kebutuhan-kebutuhan dan penyesuaian 
produk-produk dari bank yang bergabung. Hasil yang didapat oleh tim 
ini yaitu  perumusan Target Operating Model (TOM) untuk seluruh bisnis 
dan fungsi pendukung, serta merumuskan biaya penggabungan. Proses 
pengembangan rencana merger dilakukan selama 5 bulan, dilanjutkan 
dengan memulai rencana penggabungan selama kurang lebih 6 bulan, dan 
barulah melaksanakan penggabungan selama kurang lebih 12 bulan.
Langkah berikutnya yaitu pembentukan integration committee. 
Integration committee ini terdiri dari Integration Governance Committee (IGC), 
Integration Steering Committee (ISC), dan Integration Program Offi ce (IPO). 
Ketiganya memiliki ruang lingkup dan tugas yang berbeda-beda. IPO 
mengawasi kemajuan tiap-tiap tim, membantu menyelesaikan permasalahan 
antar tim yang timbul, dan mengkoordinir program merger keseluruhan 
untuk memastikan proses merger yang tertib dan optimal. Dari waktu ke 
waktu secara berkala, IPO melaporkan perkembangan kepada ISC proses 
merger. IGC menetapkan arah program merger dan tujuan yang ingin 
dicapai, serta membuat berbagai keputusan strategis terkait merger. ISC 
bertanggungjawab menyelesaikan masalah-masalah di tingkat makro yang 
terkait dengan pencapaian tujuan-tujuan di lingkup global. Secara berkala, 
ISDC melaporkan kemajuan proses merger kepada IGC. Tahapan-tahapan
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi suatu organisasi/perusahaan 
yaitu  budaya dari organisasi ini . Budaya yaitu  keyakinan 
yang membentuk suatu norma perilaku dan menentukan yang dapat 
dilakukan didalam sebuah organisasi. Budaya dapat didefi nisikan sebagai 
sistem kepercayaan yang tertanam dalam masyarakat dan tercermin dalam 
perilaku organisasi dan orang-orang. Menurut Hofstede, budaya yaitu  
sebuah pemikiran yang membedakan anggota satu kelompok dari kelompok lainnya. Budaya ini secara tidak langsung mengatur bagaimana suatu 
organisasi harus bertindak. Faktor budaya di dalam Merger dan Akusisi 
dapat dilihat melalui perspektif budaya organisasi dan budaya nasional.
 Budaya Nasional
Budaya nasional ini ada didalam sebuah lingkup suatu negara. Budaya 
nasional memiliki pengaruh yang besar bagi organisasi yakni melalui 
karyawan organisasi ini . Hal ini terlihat dalam respon karyawan atas 
proses merger akuisisi yang terjadi di dalam organisasi. Salah satu studi 
yang paling menonjol pada nilai-nilai budaya (national cultural dimensions) 
yang dilakukan oleh Hofstede, merumuskan enam dimensi budaya: power 
distance, uncertainty avoidance, individualism, masculinity, long-term orientation 
dan indulgence. Dimensi ini dipakai  untuk membandingkan antara satu 
budaya negara dengan budaya negara lain. Hal ini akan bermanfaat saat  
sebuah organisasi melakukan M&A cross-border. 
Dengan memakai kerangka Hofstede ini maka organisasi dapat 
mendapatkan gambaran mengenai organisasi yang sedang dijadikan target 
merger akuisisi. Hal ini dapat dilanjutkan dengan membandingkan organisasi 
yang dimiliki oleh organisasi yang membeli (bidder). Dimensi pertama yaitu  
“power distance”,yaitu  suatu tingkat kepercayaan atas suatu “power”. 
Budaya di mana orang menganggap lebih superior dibandingkan dengan 
yang lain sebab  status sosial, gender, ras, umur, pendidikan, kelahiran, 
pencapaian, latar belakang atau faktor lainnya yaitu  bentuk power 
distance yang tinggi. Dalam konteks negara kita , secara siginifkan terlihat 
bahwa budaya ini sangat tinggi terjadi di negara kita  dibandingkan negara 
lain seperti Jerman atau USA. “Uncertainty Avoidance” yakni mengenai 
kemampuan atau keinginan untuk beradaptasi terhadap ketidakpastian. 
negara kita  memiliki skor yang hampir sama dengan USA namun lebih 
rendah dibandingkan Jerman. “Individualism” yakni yaitu tingkatan di mana 
individu terintegrasi ke dalam kelompok. Collectivism yang yaitu  
paradoks dari individualism akan mengacu pada ketergantungan individu 
yang besar pada individu yang lain. Dalam hal ini tentu saja individualism 
negara Asia seperti negara kita  sangat rendah dibandingkan Jerman dan 
USA. “Masculinity” yakni menyangkut perbedaan budaya dengan analogi 
jenis kelamin. Pada budaya masculinity yang ditonjolkan yaitu  ketegasan
dan kompetitif, sedang pada femininity yang yaitu  lawan dari 
masculinity yaitu  kesopanan dan perhatian. negara kita  memiliki nilai 
masculinity terendah dibandingkan Jerman dan USA. “Long-term orientation” 
yakni menjelaskan tentang pandangan seseorang terhadap waktu baik masa 
lalu, sekarang dan masa yang akan datang. Pada budaya dengan long-term 
orientation nilai kehematan dan ketekunan lebih diutamakan sedang pada 
budaya dengan short-term orientation lebih menghargai sebuah tradisi. Dalam 
konteks negara kita  memiliki nilai long-term yang lebih rendah dibandingkan 
Jerman namun lebih tinggi dibandingkan USA. Terakhir yaitu  Indulgence, 
yang yaitu  tingkatan budaya dalam hal pengendalian akan keinginan 
manusia. Tingkatan indulgence yang rendah seperti negara kita  artinya 
masyarakat negara kita  memiliki tingkat pengendalian yang cukup tinggi 
(restraint) atas keinginan manusia dalam rangka mematuhi norma yang 
ada di masyrakat. Dibawah ini yaitu  perbandingan tiga negara (Asia, 
Eropa, USA) atas culture nations dengan model Hofstede.
 Budaya Organisasi
Menurut Silversweig and Allen, budaya organisasi yaitu  
seperangkat perilaku yang diharapkan didukung oleh sebuah kelompok.
Sementara Robins (2000), dalam Organizational Behavior, menambahkan 
bahwa kompatibilitas budaya organisasi yang akan bergabung dalam 
sebuah merger seringkali menjadi faktor non ekonomi yang krusial dalam 
mendukung keberhasilan sebuah proses merger. Budaya organisasi 
yaitu  sebuah nilai yang dapat menjadi sebuah pegangan manusia 
dalam menjalankan kewajibannya dan perilakunya saat  berada di dalam 
sebuah organisasi. 
Analisis dari budaya organisasi membantu untuk mengidentifi kasi 
struktur dari organisasi dan kepercayaan dari karyawan. Hofstede membagi 
budaya organisasional ke dalam enam dimensi praktek: (1) Process-Oriented 
vs. Results Oriented, (2) Employee-Oriented vs. Job-Oriented, (3) Parochial vs. 
Professional, (4) Open System vs. Closed System (5) Loose Control vs. Tight Control
(6) Normative vs. Pragmatic. 
1. “Process Oriented versus Result Oriented” menekankan pada organisasi 
yang berorientasi proses dengan organisasi yang berorientasi pada 
hasil. Organisasi dengan budaya berorientasi hasil lebih dinamis 
dibandingkan dengan organisasi dengan budaya berorientasi proses.
2. “Employee-Oriented vs. Job-Oriented” menekankan pada organisasi yang 
berorientasi pegawai dengan organisasi yang berorientasi pekerjaan. 
Budaya organisasi yang berorientasi pegawai artinya organisasi ini  
mendahulukan kepentingan dan kebutuhan pegawai dibandingkan 
pekerjaaan. sedang budaya organisasi berorientasi pekerjaan 
beranggapan bahwa pekerjaan yaitu  yang terpenting. Pekerjaan harus 
selalu didahulukan.
3. “Parochial vs. Professional” yakni pada budaya organisasi Parochial, 
tingkat ketergantungan karyawan pada atasan dan pada organisasi 
cenderung sangat tinggi. Sebaliknya, pada budaya Profesional tingkat 
ketergantungan karyawan pada organisasi cenderung rendah sebab  
alasan organisasi merekrut mereka yaitu  semata-mata sebab  
kompetensi yang mereka miliki.
4. “Open System vs. Closed System” yakni menjelaskan penerapan budaya 
terbuka dan tertutup pada lingkungannya. Dengan budaya sistem 
terbuka, maka organisasi menjadi lebih terbuka dan responsif atas 
perubahan dan mendorong terjadinya learning organization. sedang 
pada budaya sistem tertutup dijelaskan bahwa organisasi seakan-akan sebuah mesin yang bekerja mengikuti pola yang sudah ada tanpa banyak 
melakukan perubahan.
5. “Loose Control vs. Tight Control” yakni adanya Budaya organisasi yang 
serba longgar berdampak pada ketidakdisiplinan karyawan dan 
organisasi. Sebaliknya pada organisasi dengan budaya yang ketat 
menjelaskan bahwa organisasi menerapkan aturan-aturan organisasi 
secara ketat dan kaku. Penyimpangan terhadap aturan sangat tidak 
ditolerir.
6. “Normative vs. Pragmatic” yang menjelaskan orientasi organisasi 
terhadap konsumen. Pada budaya pragmatis, konsumen yaitu  
segalanya. Aturan dan prosedur dapat saja dilanggar jika hal ini  
menghambat pencapaian hasil dan pemenuhan kebutuhan konsumen. 
sedang organisasi dengan budaya normatif menjelaskan bahwa 
organisasi memiliki  tanggung jawab moral untuk menjaga aturanaturan ini .
 Pengaruh Budaya dalam Merger dan Akuisisi
Salah satu dari faktor dalam teori merger dan akuisi yakni perbedaan 
budaya antar partisipan. Budaya yaitu  sesuatu yang tidak terpisahkan 
dalam sebuah merger atau akuisisi. Baik national culture maupun corporate 
culture memberikan dampak terhadap kinerja organisasi. Hofstede, Stahl 
dan Voigt mengembangkan pemikiran dalam hal integrasi dalam merger 
dan akuisi. Mereka membuktikan bahwa budaya dari perusahaan yang 
menggabungkan usahanya dengan perusahaan lain harus kompatibel dalam 
rangka untuk keberhasilan berintegrasi. 
Peleburan budaya sesudah merger dan akuisisi dianggap sebagai 
atribut penting untuk mencapai sebuah keberhasilan. Hal itu juga menjadi 
saksi bahwa orang-orang menolak untuk menerima perubahan budaya. Di 
dalam sebuah perusahaan, budaya perusahaan yang mengakuisi dan yang 
diakuisisi dapat dievaluasi secara positif atau benar-benar ditolak. Sebagian 
besar sesudah dilakukan merger dan akuisisi, manajemen berfokus untuk 
mengurangi kesalahpahaman yang disebabkan oleh perbedaan budaya. 
Tentu dalam hal ini sangat penting bagi perusahaan yang mengakuisisi 
untuk mengerti dalam mengatur perubahan budaya perusahaan yang 
diakuisisi.Sebuah langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi perbedaan 
budaya yakni dengan interaksi, komunikasi dan cultural learning. Adanya 
sebuah interaksi diharapkan dapat mendukung pembelajaran mengenai 
budaya. Menurut Schweiger (1993), menemukan bahwa cultural learning
dapat dilakukan dalam memfasilitasi pemahaman, kesamaan budaya, 
komunikasi dan kerjasama.
 Poor Cultural Fit
Cultural fi t dan pelaksanaan akuisisi ini berhubungan satu sama lain. 
Masalah budaya ini tentunya akan sangat berpengaruh saat  melakukan 
merger dan akuisisi. Tentu cukup susah untuk melakukan implementasi 
merger apabila belum membenahi masalah cultural fi t. Kurangnya cultural 
fi t antara perusahaan yang melakukan merger tentunya akan menimbulkan 
kesalahpahaman, kebingungan dan konfl ik. Dibutuhkan cultural due diligence
yang tepat untuk keberhasilan M&A. Cultural due diligence melibatkan 
langkah-langkah seperti menentukan pentingnya budaya dan menilai 
budaya perusahan yang diakuisisi maupun perusahaan yang mengakuisi. 
Hal ini diperlukan untuk mengidentifi kasi dampak kesenjangan budaya, 
dan mengembangkan dan melaksanakan strategi untuk memakai 
informasi dalam profi l budaya untuk menilai dampak perbedaan yang 
dimiliki. Hal yang penting yang harus dianalisa pada culture due diligence  yaitu  sebagai berikut:
 Kepemimpinan, gaya, hubungan dan praktik manajemen
 Prinsip pemerintahan
 Prosedur formal
 Kebiasaan
 Kepuasan karyawan
 Kepuasan pelanggan
 Pendorong utama dari bisnis
 Karakteristik organisasi
 Persepsi dan harapan
 Bagaimana pekerjaan dilakukan di dalam organisasi
Tidak selamanya temuan yang didapatkan dari due diligence sesuai 
dengan keinginan pelaku merger atau akuisisi. Kadang-kadang muncul 
suatu temuan yang tidak diharapkan dalam due diligence yang nantinya akan menjadi penyebab gagalnya suatu proses merger atau akuisisi. ada tiga 
pilihan yang dapat dipilih dalam menyikapi temuan ini :
 Mengakhiri transaksi merger dan akuisisi
 Mengubah syarat transaksi untuk mengurangi resiko yang ditemukan
 Mengubah rencana bisnis terkait transaksi merger dan akuisisi
 Culture Due Diligence
Culture due diligence sama pentingnya dengan fi nancial dan legal due diligence. 
Perusahaan harus mengevaluasi apakah kebudayaan kedua perusahaan 
nantinya dapat dipadukan atau tidak. Perpaduan kedua budaya perusahaan 
baru terjadi sesudah terjadinya merger atau akuisisi, di mana kedua 
perusahaan dipaksa untuk bekerja sama. Jika perusahaan tidak melakukan 
culture due diligence, maka perusahaan tidak akan mengetahui apakah 
budaya perusahaan mereka dapat disatukan atau tidak, dan jika perusahaan 
tidak memiliki budaya yang tidak dapat dipadukan, tentu saja akan terjadi 
perpecahan dalam perusahaann yang nantinya akan mempengaruhi kinerja 
perusahaan, yang berujung pada gagalnya proses merger dan akuisisi yang 
telah dilakukan. Hal yang mungkin terjadi jika tidak melakukan culture
due diligence yaitu  perusahaan mungkin kehilangan karyawan kunci 
sebab  perbedaan budaya yang terjadi sebab  merger dan akuisisi, yang 
tentunya hal ini akan mempengaruhi kinerja perusahaan dan nantinya 
juga akan berujung pada kegagalan merger atau akuisisi. Berbeda jika 
perusahaan melakukan culture due diligence, perusahaan menjadi mengerti 
apakah kebudayaan kedua perusahaan dapat dipadukan atau tidak, 
sehingga untuk menghindari kegagalan, perusahaan dapat membatalkan 
kesepakatan merger atau akuisisi sebelum hal ini  terjadi. Dan jika 
perusahaan melakukan culture due diligence, perusahaan akan mendapatkan 
keunggulan bersaing dibandingkan  perusahaan yang tidak melakukan culture 
due diligence, dan dapat mempertahankan nilai dari kedua perusahaan yang 
menjadi nilai kunci keberhasilan perusahaan dan nantinya akan menjadi 
nilai yang akan membawa keberhasilan pada merger dan akuisisi yang telah 
dilakukan. Bagian culture due diligence ini akan lebih dalam dibahas dalam 
bab berikutnya.
Kepemimpinan itu bukan tentang kebutuhan pemimpin, akan tetapi 
lebih berfokus kepada kebutuhan orang dan organisasi yang dipimpin. 
Gaya kepemimpinan bukanlah sesuatu yang harus dicoba terus menerus, 
untuk melihat mana yang sesuai dengan perusahaan, sebaliknya, gaya 
kepemimpinan harus disesuaikan dengan kebutuhan dari situasi yang ada 
di perusahaan ,ada 4 tipe gaya kepemimpinan yang 
dikenal dalam organisasi, yaitu:
1. Autocratic. Gaya kepemimpinan ini memungkinkan manajer untuk 
mengambil keputusan dengan pemikirannya sendiri tanpa membutuhkan 
ide orang lain. Disini manajer memiliki otoritas penuh sehingga manajer 
cenderung akan memaksakan kehendak kepada karyawan. Tidak ada 
satupun karyawan yang berani menentang pemimpin yang memiliki 
tipe autocratic. Contoh negara yang memakai gaya kepemimpinan 
autocratic yaitu  Kuba dan Korea Utara.
2. Participative. Participative atau juga bisa disebut demokratis yaitu  
gaya kepemimpinan yang menghargai masukan dari anggota tim dan 
rekan kerja, tetapi untuk tanggung jawab keputusan akhir tetap ada pada 
pemimpin ini . Gaya kepemimpinan demokratis ini meningkatkan 
semangat kerja karyawan, sebab  mereka diberi kesempatan untuk 
berkontribusi didalam pengambilan sebuah keputusan. Kesulitan 
pemimpin yang menganut gaya kepemimpinan ini yaitu  saat 
dibutuhkannya keputusan dengan waktu yang pendek.
3. Transactional. Gaya kepemimpinan ini berfokus kepada hasil kinerja 
manajer dan karyawan dan dengan hasil kinerja ini  akan 
menentukan apakah manajer dan karyawan mendapat reward atau 
hukuman. Tujuan yang akan dicapai telah ditetapkan bersama–sama, 
dan semua pihak setuju untuk mengikuti arah dan kepemimpinan 
manajer untuk pencapaian tujuan itu. Dengan gaya kepemimpinan ini 
manajer memiliki otoritas untuk meninjau hasil kinerja dan melakukan 
pelatihan kepada karyawan yang berhasil maupun gagal mencapai 
tujuan.
4. Transformational. Transformational sangat bergantung kepada komunikasi 
dari manajemen untuk tercapainya tujuan perusahaan. Pemimpin akan 
berusaha untuk memotivasi karyawan dan meningkatkan produktivitas mereka melalui komunikasi dan visibilitas yang tinggi. Ciri–ciri 
yang sangat menonjol dalam gaya kepemimpinan ini yaitu  adanya 
pendelegasian tugas untuk setiap tim yang ada di perusahaan.
Gaya kepemimpinan diatas memiliki sudut pandang masing–masing 
dalam mengatur dan mengelola sebuah perusahaan, dimana ada kelebihan 
dan kekurangannya. Ini yaitu  konsekuensi bagi perusahaan yang 
akan melakukan merger dan akuisisi. Kedua perusahaan yang melakukan 
merger harus berjuang menghadapi gaya kepemimpinan masing-masing. 
Kerjasama di bidang ekonomi sekarang tidak memiliki batasan apapun, 
perusahaan dapat bekerja sama dengan perusahaan di negara lain, sehingga 
membuat merger dan akuisisi menjadi salah satu strategi yang dipakai  
untuk memperbesar pasar perusahaan ini .
Merger dan akuisisi lintas benua itu memiliki berbagai macam resiko, 
salah satunya ada pada gaya kepemimpinan perusahaan ini . Gaya 
kepemimpinan sebuah perusahaan di tiap negara dapat berbeda–beda, 
sehingga perusahaan yang akan melakukan merger dan akuisisi juga harus 
menetapkan gaya kepemimpinan mana yang akan dipakai , dan salah satu 
pihak pasti akan elakukan adaptasi. Merger dan akuisisi sendiri memiliki 
aturan masing– masing didalam penentuan gaya kepemimpinan yang mana 
yang akan dipakai  sesudah dilakukan merger dan akuisisi.
Merger itu kombinasi dari dua perusahaan dan hanya satu perusahaan 
yang survive, berarti untuk gaya kepemimpinannya harus memakai 
salah satu perusahaan. Pihak manajemen wajib untuk menentukan 
gaya kepemimpinan yang akan dipakai , dan salah satu pihak wajib 
untuk beradaptasi terhadap gaya kepemimpinan. sedang akuisisi 
itu dua perusahaan masih berdiri, salah satu perusahaan hanya memiliki 
beberapa persen saham perusahaan lainnya. Berarti untuk akuisisi gaya 
kepemimpinannya masih memakai dan mempertahankan milik masing–
masing perusahaan, pada akuisisi yang paling penting yaitu  pencapaian 
tujuan yang sudah ditentukan bersama. Jadi gaya kepemimpinannya boleh 
berbeda, asalkan tujuan yang sudah ditentukan harus tercapai.
Contoh pengaruh gaya kepemimpinan di dunia ekonomi, yaitu: 
Daimler yaitu  perusahaan asal Jerman, dan Chrysler berasal dari 
Amerika. Pada saat itu merger antara 2 perusahaan ini  yaitu  akuisisi terbesar perusahaan Amerika oleh perusahaan luar. Melalui strategi 
ini  Daimler Chrysler akan menjadi produsen otomotif terbesar kelima 
di dunia. Saat itu direncanakan bahwa merger ini  akan membuat 
distribusi produk mereka semakin efi sien dan menguntungkan, memang 
rencana itu sukses di awal–awal periode.
Daimler dan Chrysler memiliki kultur dan perbedaan gaya 
kepemimpinan yang sangat tajam. Daimler memiliki karakter pengambilan 
keputusan secara birokrasi, sementara Chrysler mengedepankan kreativitas 
dari karyawannya. Gaya kepemiminan Chrysler lebih fl eksibel dan 
mudah untuk melakukan adaptasi. Chrysler menjunjung tinggi efi siensi, 
pemberdayaan dan kesamaaan kedudukan antar karyawan. Berbeda 
dengan Daimler yang mementingkan otoritas dan pengambilan keputusan 
secara terpusat. Daimler dan Chrysler gagal sebab  2 perusahaan ini  
memiliki ego yang sangat tinggi, jadi meskipun sudah melakukan merger 
masing – masing perusahaan ini  tetap ingin mempertahankan gaya 
kepemimpinan masing – masing, sehingga terjadi perbedaan yang berujung 
kepada kegagalan.


Seperti dibahas dalam bab sebelumnya, perbedaan budaya perusahaan 
antara perusahaan yang akan bergabung dapat menjadi penyebab 
utama kegagalan dalam proses penggabungan. Dalam konteks 
merger dan akuisisi, perbedaan budaya perusahaan dapat dipahami sebagai 
perbedaan kepercayaan, nilai-nilai dan praktik-praktik antara perusahaan 
yang mengambilalih dengan perusahaan yang diambil alih (Schein, 2010). 
Model di atas menunjukkan kinerja perusahaan yang melakukan 
akuisisi dipengaruhi oleh kemampuan menggabungkan budaya perusahaan 
yang mana meliputi cultural due diligence, cross-cultural communication, 
connection, dan control. Cultural due diligence yaitu  penetapan kesesuaian 
budaya dalam akuisisi internasional. Kesesuaian budaya bukan berarti 
budaya ini  harus sama persis, melainkan dua kebudayaan yang dapat 
digabungkan. Cultural due diligence dilakukan sebelum proses akuisisi 
yang mana dapat memampukan pihak pengambilalih menentukan apakah 
penggabungan dari budaya yang berbeda ini  memiliki kemungkinan 
keberhasilan sesudah tahap akuisisi terjadi. Faktor kedua yang perlu 
dilakukan sebelum proses akuisisi yaitu  cross-cultural communication, 
yaitu komunikasi dua arah antara perusahan yang terlibat dalam akuisisi 
yang mana dapat memastikan bahwa manajer dan pekerja dari masingmasing perusahaan dapat saling bertukar informasi mengenai budaya 
perusahaan mereka. Buruknya komunikasi antar kedua belah pihak dapat memicu timbulnya ketidakjelasan, ketakutan dan desas-desus antara 
perusahaan yang terlibat, sehingga dapat memicu gagalnya proses 
akuisisi. Faktor ketiga yaitu  connection, yaitu ikatan sosial dan hubungan 
terstruktur antara perusahaan yang terlibat dalam akuisisi. Dan yang terakhir 
yaitu  control yang mana harus dilakukan agar dapat membentuk komitmen, 
kepercayaan dan kerjasama antara perusahaan yang bergabung yang dapat 
berkontribusi bagi keberhasilan penggabungan budaya perusahaan. Control
ini  harus dilakukan baik dari sisi perusahaan pengambilalih maupun 
perusahaan yang diambil alih.Bagian proses perencanaan meliputi evaluasi perbedaan budaya yang 
dilakukan sebelum merger dan selama proses negosiasi berlangsung. 
Dengan kata lain, penting untuk melakukan evaluasi (apabila pengukuran tidak dilakukan) atas perbedaan budaya sesegera mungkin sebelum proses 
due diligence dilakukan. Evaluasi budaya dan perbedaan budaya yaitu  
tugas yang cukup kompleks. Metode evaluasi yang dipakai  dapat berupa 
direct atau indirect contact dengan perusahaan yang akan diambilalih. Berikut 
ini yaitu  sumber-sumber yang dapat memberikan informasi mengenai 
perusahaan target.
 Informasi yang dikeluarkan oleh perusahaan itu sendiri, yang 
menggambarkan karakteristik, paham, misi perusahaan dan sebagainya. 
Sumber yang baik dari informasi ini dapat berupa laporan perusahaan 
pada web site-nya atau berupa press releases.
 Artikel-artikel dan wawancara dengan manajer senior yang mana dapat 
membantu mengumpulkan pendekatan-pendekatan manajemen dalam 
menangani berbagai isu.
 Ceramah dan pidato yang diberikan oleh anggota tim manajemen dari 
perusahaan target.
 Mengumpulkan informasi dari beberapa perusahaan di sektor industri 
dimana perusahaan target beroperasi.
 Wawancara dengan manajer dan pekerja dari perusahaan sendiri yang 
pernah bekerja atau memiliki hubungan bisnis dengan perusahaan 
target.
 Percakapan dan wawancara dengan klien, pemasok dan pesaing yang 
pernah berhubungan dengan perusahaan target.
 Percakapan dan wawancara dengan pemegang informasi, seperti 
akuntan, pengacara, konsultan manajemen, orang bank, dan lain-lain 
yang pernah berhubungan dengan manajer dari perusahaan target.
 Percakapan dengan manajer dan pekerja dari perusahaan target dalam 
waktu yang berbeda-beda seperti workshop, seminar, exhibitions, dan 
lain-lain.
Apabila perusahaan target yaitu  perusahaan publik, maka informasi 
bisa didapatkan dari laporan tahunan yang dapat memberikan informasi 
mengenai budaya perusahaan. Semua informasi yang telah dikumpulkan 
lalu diperiksa reliabilitasnya dan memastikan validitasnya. Informasi 
ini juga yang akan dipakai  oleh tim dalam melakukan negosiasi. Setiap 
tim dapat memberikan ranking terhadap informasi atau perbedaan budaya 
perusahaan target, sehingga mereka dapat mempertimbangkan dan 
membuat keputusan berdasarkan urutan perbedaan budaya ini .
Penelitian-penelitian terkait merger dan akuisisi telah banyak dilakukan oleh 
peneliti terdahulu. Mereka melakukan analisa terhadap faktor-faktor yang 
mempengaruhi kesuksesan dan kegagalan merger dan akuisisi dari berbagai 
sisi, contohnya memakai variabel dari sisi due diligence, dari sisi budaya 
perusahaan, dari sisi kinerja keuangan dan lain sebagainya.Hasil penelitian 
yang didapatkan pun beraneka ragam. Ada penelitian yang menunjukkan 
hasil positif, hasil negatif, atau tidak adanya pengaruh antara variabel yang 
diteliti dengan kesuksesan dan kegagalan merger dan akuisisi. Beberapa 
penelitan terdahulu ini  telah dirangkum dalam tabel berikut ini, yang 
mana telah menjadi dasar bagi penelitian ini. Hampir semua penelitian 
yang telah dirangkum dalam tabel ini  menunjukkan bahwa budaya 
perusahaan sangat mempengaruhi kesuksesan dan kegagalan merger dan 
akuisisi. Dan sebagian besar penelitian ini  menyimpulkan bahwa 
perbedaan budaya telah memicu gagalnya merger dan akuisisi yang 
dilakukan.
Merger dan akuisisi yaitu  proses penggabungan dua atau lebih 
perusahaan dengan nilai, budaya dan gaya yang berbeda menjadi satu unit 
yang bersatu. Berdasarkan teori yang telah dijelaskan sebelumnya, ada 
dua jenis merger yaitu horizontal merger dan vertical merger. Horizontal 
merger yaitu  penggabungan perusahaan dengan area bisnis yang serupa/
mirip, contohnya yaitu  Chevron dan Texaco. Sementara vertical merger
yaitu  penggabungan perusahaan dengan area bisnis yang berbeda, 
contohnya yaitu  AOL dan Time Warner, yang mana akan menjadi contoh 
penggabungan yang dijelaskan pada bab ini nantinya.
Merger dan akuisisi tidak hanya dilihat dari perspektif keuangan 
saja, tetapi juga penggabungan dua perusahaan yang berbeda dan dua 
budaya yang berbeda yang mana akan membawa beberapa hambatan bagi 
perusahaan-perusahaan yang bergabung ini  apabila tidak diatasi 
pada tahapan sebelum melakukan merger dan akuisisi. Oleh sebab  itu, 
manajemen dari tiap perusahaan perlu terlibat secara aktif dalam proses 
penggabungan ini  sehingga mereka dapat memahami perbedaan, 
khususnya perbedaan budaya, yang terjadi dan dapat merencanakan 
perubahan secara perlahan-lahan, sehingga nantinya proses merger dan 
akuisisi ini  dapat membawa keberhasilan.
 masalah  1: AOL & Time Warner
Selama merger dan akuisisi, pemimpin dari kedua perusahaan akan 
menghadapi banyak tantangan antara lain: cultural management, stress 
management, redundancies, restrukturisasi sumber daya manusia, keengganan 
untuk berubah, ketidakamanan dalam bekerja, penurunan talenta, motivasi 
yang rendah dan lain sebagainya. Semua faktor yang disebutkan ini  
yaitu  dampak dari perubahan yang akan terjadi akibat merger dan 
akuisisi. Berdasarkan survey KPMG disebutkan bahwa sekitar 80% dari 
merger dan akuisisi gagal sebab  penanganan yang tidak tepat atas perubahan 
manajemen ini . Berikut ini yaitu  daftar beberapa perusahaan yang 
gagal sebab  kegagalan penanganan perbedaan yang terjadi 
Tabel  Daftar Merger dan Akuisisi yang Gagal
Daftar Merger dan Akuisisi yang Gagal Tahun
AOL/Time Warner 2000
HP/Compaq 2001
Alcatel/Lucent 2008
Daimler Benz/Chrysler 1998
Novell/Word Perfect 1994
National Semiconductor/Fairchild Semiconductor 1999
JDS Uniphase/SDL 2000
Mattel/The Learning Company 1999
Borland/Ashton Tate 1991
Excite/@Home 1999

Perubahan yaitu  sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam merger 
dan akuisisi. Sebagai seorang manajer, kita harus dapat berkomunikasi dengan para karyawan dan bagaimana cara kita mengatasi berbagai macam masalah yang muncul akan sangat mempengaruhi kesuksesan dan kegagalan 
merger dan akuisisi. Masalah utama yang seringkali dihadapi yaitu  ketidakmauan untuk berubah atau mempelajari budaya perusahaan lainnya. Hal 
ini tentu saja menjadi tugas yang berat bagi manajemen perusahaan.
Dalam pembahasan kali ini, kami akan menjelaskan contoh perusahaan 
yang melakukan merger dan akuisisi yang berhasil dan gagal dari sisi 
budaya perusahaan. Perusahaan yang gagal yaitu  merger antara AOL
dan Time Warner (Ray, 2012), sedang perusahaan yang berhasil yaitu  
merger antara Deutsche Bank dan Bankers Trust, British Petroleum dan 
Amoco, Volvo dan Ford (Salama, Holland, & Vinten, 2003). Namun dalam 
pembahasan ini penulis berfokus pada satu contoh merger yang berhasil 
yaitu Volvo dan Ford.
Sejumlah perusahaan di seluruh dunia mencoba memperluas 
perusahaannya memakai merger dan akuisisi. Namun dalam 
beberapa masalah, kurangnya kesadaran akan budaya perusahaan justru akan 
memberikan hasil sebaliknya. Salah satu contohnya yaitu  kegagalan merger 
AOL dan Time Warner untuk memindahkan aset perfi lman dan musik Time 
Warner ke AOL sebagai akibat perbedaan budaya sesudah merger terjadi. 
Bagi Warner bergabung dengan perusahaan yang sudah ada yaitu  
cara yang lebih efektif untuk mendistribusikan bisnisnya secara online 
dalam rangka membangun kapabilitas perusahaannya. Membentuk internet 
branch sendiri akan memakan waktu dan biaya yang besar. Kombinasi 
dari broadband system, media contents dan subscriber base milik Warner akan 
menciptakan sinergi dan keuntungan strategis dengan online brand, internet 
infrastructure dan subscriber base dari 30 juta pelanggan milik AOL. 
AOL didirikan pada tahun 1983 dan pada tahun 1985 diberi nama 
Quantum Computer. Pada tahun 1991, perusahaan berganti nama menjadi 
America Online (AOL). Di tahun 1992 perusahaan menjadi go public di 
NASDAQ (National Association of Securities Dealers Automated Quotations). 
Harga sahamnya meningkat dalam 2 tahun. Sementara profi l Time Warner 
yaitu  Time Warner yaitu  hasil merger antara Time dan Warner 
Brothers di tahun 1989 yang bernilai $14 milyar. Time didirikan tahun 1922, 
yang mana bisnis utamanya yaitu  penerbitan majalah dan Warner Brothers 
didirikan tahun 1923 dengan bisnis utamanya yaitu  produksi fi lm.
Merger antara AOL dan Time Warner dilakukan pada 11 Januari 
2001.The Federal Communication Commission di USA menyetujui merger 
antara AOL (Internet Service Provider terbesar di dunia) dengan Time 
Warner (perusahaan media dan entertainment di bidang majalah, studio 
fi lm, TV kabel, dan produksi musik dan berita). Tujuan dari penggabungan 
perusahaan ini  agar Time Warner dapat menambah sekitar 30 juta 
konsumen baru dari pelanggan AOL dan untuk menyebarkan produknya 
melalui jaringan internet, sementara AOL akan memakai high speed cable lines Time Warner untuk mengirimkan kepada pelanggan AOL mengenai 
produk Time Warner yaitu majalah, buku, musik dan fi lm. Penggabungan 
usahan ini  dapat menciptakan 130 juta pelanggan.Jenis merger yang 
dilakukan AOL dan Time Warner ini termasuk dalam jenis vertical merger, 
sebab  telah menggabungkan perusahaan dengan industri yang berbeda, 
model ekonomi yang berbeda, dan batasan geografi s yang berbeda.
sesudah penggabungan usaha dilakukan tidak seperti yang diharapkan, 
pertumbuhan serta profi tabilitas AOL terhenti sebab  pengaruh iklan 
dan subscriber slowdown sebab  adanya dot-com bubble dan sebab  resesi 
ekonomi sesudah September 2001. Nilai dari AOL turun secara signifi kan dan 
memicu AOL-Time Warner melaporkan kerugian sebesar 99 miliar 
dolar Amerika pada tahun 2002. Total nilai saham AOL juga turun dari 226 
miliar dolar Amerika menjadi sekitar 20 miliar dolar Amerika.
Pada bulan Mei 2009 Time Warner memutuskan untuk berhenti 
beroperasi dengan AOL. Salah satu faktor yang memicu AOL tidak 
lagi menjadi bagian dari Time Warner mulai 9 Desember 2009 yaitu  sebab  
perbedaan budaya. Perbedaan budaya ini  membuat AOL-Time Warner 
tidak dapat menciptakan sinergi untuk meningkatkan kinerja perusahaan 
dan tujuan yang semula diharapkan tidak dapat tercapai.
Budaya yaitu  sekelompok nilai-nilai yang juga mempengaruhi 
strategi manajemen serta mempengaruhi hubungan kerja dan layanan 
terhadap konsumen. Budaya sangat mempengaruhi strategi dari organisasi 
ini , sehingga apabila ada konfl ik budaya akan dua perusahaan 
yang tergabung, maka akan sangat berpengaruh terhadap kinerja perusahaan 
dan berdampak pada pelayanan terhadap konsumen. Budaya yaitu  
faktor yang sangat mempengaruhi kesuksesan dan kegagalan merger dan 
akuisisi sebab  budaya dapat membawa konsekuensi yang tidak dapat 
diprediksi dan tidak diinginkan jika proses pembuatan keputusan tidak 
mempertimbangkan sisi budaya. Konfl ik budaya perusahaan bisa terjadi 
apabila dua perusahaan ini  memiliki pendapat yang berbeda tentang 
apa yang terjadi, apa yang harus diukur, bagaimana membuat keputusan 
yang baik, bagaimana mengelola sumber daya, bagaimana mensupervisi 
karyawan, bagaimana membagikan informasi dan lain-lain. Konfl ik budaya 
dapat mengganggu tidak hanya perusahaan yang terlibat dalam proses 
merger, tetapi juga dapat memicu konfl ik di seluruh industri.
Konfl ik budaya dalam proses merger dan akuisisi terjadi dalam 4 
tahap (Ray, 2012):
  Tahap pertama, perbedaan belum muncul dan manajemen mengira 
semuanya menjadi mudah seperti kehidupan nyata.
  Tahap kedua, perbedaan mulai muncul, seperti gaya kepemimpinan, 
symbol, ritual, dan mulai kelihatan dengan jelas.
  Tahap ketiga, perbedaan ini  semakin bertambah dan setiap orang 
mulai menemukan perbandingan antara “kita” dan “mereka”.
  Tahap keempat, bagian atas dan bawah dapat dilihat.
Perbedaan budaya dalam merger AOL dan Time Warner memicu 
sinergi tidak terbentuk dengan baik.Untuk mengatasi perbedaan budaya 
ini , maka diperlukanlah analisa strategi budaya perusahaan.AOL 
memiliki budaya perusahaan yang cepat dan kolaboratif, sedang Time 
Warner memiliki budaya perusahaan yang lambat dan desentralisasi. 
Berikut ini yaitu  tabel yang menunjukkan perbedaan dimensi budaya dari 
merger yang dilakukan AOL dan Time Warner.
AOL Time Warner
Perusahaan internet terbesar dengan 
sistem manajemen terpusat
Time Warner memiliki sistem 
manajemen desentralisasi yang 
memberikan otonomi pada tingkat 
divisi
AOL memakai teknologi tingkat 
tinggi berbasis Internet Service Provider
(ISP)
Time Warner yaitu  perusahaan 
yang sebelumnya terpisah dari sektor 
computing, telekomunikasi, dan media 
entertainment
AOL reltif masih kecil dan baru sejak 
berdirinya tahun 1991
Time Warner sudah besar dengan 44 
juta majalah dan 12 juta pelanggan TV 
kabel, dan juga mature
Top-down management style Improvisational style
Unitary culture dari AOL 
berkonsentrasi untuk menyediakan 
layanan internet bagi para pelanggan
Diversifi ed enterprises – bergerak dalam 
media dan entertainment namun juga 
menyediakan majalah, studio fi lm, TV 
kabel dan produksi majalah dan berita
Ketat dalam keuangan atau 
pengurangan biaya
Pemboros, sebab  Time Warner 
menghabiskan banyak uangnya untuk 
pemasaran
AOL dan Time Warner gagal menerapkan visi mereka dan tidak 
mampu menciptakan lingkungan perusahaan yang bersinergi seperti yang 
diinginkan. Analisa struktur budaya AOL dan Time Warner menunjukkan 
bahwa merger dan akuisisi bukanlah strategi dan hal yang biasa, perhatian 
yang diberikan terhadap desain percampuran atau penggabungan budaya 
perusahaan masih sangat sedikit di antara kedua perusahaan yang 
bergabung ini. Pandangan diri dari manajemen atas dan konsep sinergi 
yang palsu dapat membawa ke dalam konfl ik budaya. Diketahui juga bahwa 
Divisional Autonomy pada Time Warner enggan untuk berbagi informasi 
yang diperlukan untuk menciptakan layanan internet tetap berjalan, adanya 
komunikasi yang buruk dan perbedaan pendapat mengenai bisnis utama 
yang tidak kelihatan di awal merger, telah menjadi sumber penyebab 
terjadinya bentrokan budaya perusahaan dari kedua perusahaan.
Kedua perusahaan ini gagal menggabungkan budaya perusahaannya 
masing-masing, serta gagal menemukan strategi untuk dapat mengatasi 
perbedaan ini . Pemimpin dari kedua perusahaan ini  juga telah 
gagal untuk meyakinkan semua divisinya bahwa merger dan akuisisi 
ini  akan membawa keuntungan bagi masing-masing perusahaan. 
Perbedaan budaya yang terjadi ini sebagai akibat tidak dilakukannya 
culture due diligence oleh kedua perusahaan sebelum melakukan merger dan 
akuisisi.Culture due diligence yaitu  proses menganalisa key cultural domains
yang meliputi:
  kepemimpinan dan praktik manajemen, gaya dan hubungan manajemen,
  prinsip pemerintahan,
  prosedur formal,
  praktik informal,
  kepuasan pekerja,
  kepuasan pelanggan,
  key business drivers,
  karakteristik perusahaan,
  persepsi dan ekspektasi, dan
  bagaimana pekerjaan diselesaikan di perusahaanm

Dengan melakukan culture due diligence, maka perusahaan yang 
akan terlibat merger akan mengetahui terlebih dahulu bagaimana budaya 
perusahaan dari perusahaan target, sehingga perusahaan pengambilalih 
dapat memperkirakan apakah perusahaannya mampu bergabung dan 
menyatukan budaya perusahaannya dengan perusahaan target. Bila 
perusahaan pengambilalih yakin dengan adanya merger dan akuisisi 
ini  dapat meningkatkan profi tabilitas dan kinerja perusahaan tanpa 
terhambat oleh perbedaan budaya, maka keputusan untuk melakukan 
merger dan akuisisi yaitu  keputusan yang tepat. Namun apabila sejak 
awal perusahaan pengambilalih tidak yakin akan merger ini  sebagai 
akibat adanya perbedaan budaya yang terlalu besar dan sulit diatasi, 
maka sebaiknya keputusan merger dan akuisisi ini  dapat dipikirkan 
kembali. Hal inilah yang terjadi pada merger antara AOL dan Time Warner. 
Perbedaan yang sangat besar terjadi antara budaya perusahaan keduanya, 
dan disebab kan mereka tidak melakukan culture due diligence sebelumnya, 
maka dapat dikatakan merger dan akuisisi yang dilakukan antara AOL dan 
Time Warner gagal.
 masalah  2: Volvo & Ford
Berikutnya yaitu  penjelasan mengenai merger yang dilakukan antara 
Volvo dan Ford yang yaitu  contoh nyata merger yang berhasil. 
Kedua perusahaan ini berhasil mengembangkan cara mereka sendiri untuk 
bergabung bersama. Volvo dan Ford juga memiliki perbedaan budaya 
perusahaan (Salama, Holland, & Vinten, 2003), seperti yang ditampilkan 
pada tabel berikut.
Volvo Ford
Decentralized fi rm dan teamwork oriented. 
Volvo menerapkan participatory style of 
management yang membebaskan level 
bawah untuk membuat keputusan
Structured, hierarchical dan centralized
Manajemen, pekerja, dan serikat 
pekerja mampu bekerjasama dalam 
rangka pencapaian hasil bisnis yang 
baik
Manajemen atas kurang dapat 
bekerjasama dengan pekerja bagian 
bawah
Pekerja Volvo mendapat gaji setiap 
bulan, termasuk juga blue collarworkers
Pekerja Ford bagian blue collar workers
tidak mendapat gaji setiap bulan

Melihat beberapa perbedaan budaya perusahaan yang terjadi antara 
Volvo dan Ford, menjadikan para pekerja dari kedua perusahaan ini  
berada dalam proses pembelajaran akan nilai-nilai dan kepercayaan dari 
tiap perusahaan, yang mendasari perilaku dan praktik bisnis mereka yang 
berbeda. Kesadaran akan perbedaan budaya ini dipandang sebagai suatu 
hal yang penting dalam usaha menggabungkan kedua perusahaan dan 
memaksimalkan potential synergies. Perbedaan yang terjadi tidak dapat 
diatasi, melainkan harus saling menghargai dan masing-masing perusahaan 
harus memahami perbedaan ini .
Strategi penggabungan dan proses akulturasi Volvo dan Ford 
yaitu  pembelajaran yang menarik bagi kedua pihak. Pekerja Volvo 
merasakan sekali dampak pergerakan dari penggabungan AB Volvo Groups 
dengan Ford Motors Group.Sebelumnya Volvo memegang 51% dari seluruh 
bisnis di grupnya, yang meliputi bis, mesin kapal laut dan produk terkait 
lainnya.sesudah diambilalih oleh Ford, maka posisi ini  telah berubah 
secara drastis. Volvo kini hanya memegang 8% dari total bisnis pada Ford 
Motor Company. Hal ini  tentu saja yaitu  perubahan yang sangat 
besar bagi Volvo.Dulunya Volvo memegang mayoritas bisnis namun kini 
menjadi minoritas. Namun hal ini tidak membuat Volvo menyerah dalam 
posisinya. Volvo dan Ford berusaha untuk menggabungkan dua product lines
utama mereka. Ford Motor Company mendirikan 2 divisi utama: Premium 
Automotive Group (PAG) dan Ford Cars. Divisi Ford berkonsentrasi pada 
produk-produk yang lebih tradisional seperti Ford Fiesta.Sementara divisi 
PAG berfokus pada produknya yang premium, seperti Jaguar, Land-Rover, 
Astin Martin, Lincoln dan Volvo.
Sebelum melakukan merger dan akuisisi, kedua perusahaan ini 
melakukan due diligence untuk memahami dan mengenal lebih dalam 
perusahaan target.Proses due diligence ini  memakan waktu sekitar 
6 bulan dan berfokus terutama pada sinergi faktor keuangan. lalu 
dibentuklah integration team. Tim ini melaporkan hasil pemahaman yang 
mereka dapatkan mengenai perusahaan target kepada para eksekutif Volvo 
dan Ford. Integration team dibentuk untuk menemukan sinergi di beberapa 
area seperti power trend, pembelian, pemasaran, R&D, dan lain-lain. Tim ini 
terdiri dari sejumlah anggota dari kedua perusahaan dengan jumlah yang
sama dan bekerja bersama-sama dengan dasar yang sama yaitu mengatasi 
perbedaan budaya dari kedua perusahaan.
Salah satu area yang diperhatikan oleh tim integrasi yaitu  technology 
transfer. Volvo engineers telah mentransfer sistem teknologinya seperti 
mesin-mesin baru, bahan mentah yang berbeda dan lebih modern kepada 
Ford. Proses transfer ini dirasakan oleh para pekerja dari kedua perusahaan 
sebagai hasil yang sangat positif dari proses akuisisi. Para pekerja Volvo 
sangat menikmari hubungan yang baik dengan dealer mobil. Menjadi brand
yang kecil, sangat sulit bagi Volvo untuk menemukan dealer yang tepat 
yang hanya menjual Volvo dalam lingkup yang terbatas. Namun kini Volvo 
menjadi lebih tertarik dengan pasar dealer sesudah bergabung dengan Ford. 
Penggabungan ini memicu kinerja keuangan semakin kuat.
Aspek lainnya yang juga menarik dari penggabungan Volvo dan Ford 
yaitu  research and development dan pengembangan bahan bakar di masa 
mendatang. Aktivitas ini masih dikembangkan dalam Ford group dan Volvo 
telah memberikan pekerjanya untuk bergabung dalam proyek ini . 
Volvo menyerahkan engineer-nya yang terbaik dalam proses pengembangan 
proyek ini . Semuanya ini dilakukan demi tercapainya peningkatan 
kinerja perusahaan sesudah merger dilakukan.
Berdasarkan penjelasan masalah merger antara Volvo dan Ford di 
atas, maka dapat dilihat bahwa proses merger yang dilakukan kedua 
perusahaan ini  telah berhasil membawa pada peningkatan kinerja 
keuangan. Meskipun kedua perusahaan ini  juga memiliki perbedaan 
budaya perusahaan, namun sebab  sebelum proses merger telah dibentuk 
integration team yang bertugas untuk melakukan culture due diligence, maka 
perbedaan budaya ini  tidak menjadi hambatan bagi merger Volvo dan 
Ford. Pekerja dari masing-masing perusahaan berusaha memahami dan 
mempelajari budaya dari perusahaan ini . Hal ini tidak lain dilakukan 
dengan tujuan untuk meminimalkan ketidaknyamanan di tempat kerja dan 
meningkatkan kesadaran untuk bekerjasama dan mencipatakan budaya 
perusahaan yang baru. Bahkan Volvo rela menyerahkan engineer terbaiknya 
untuk bergabung dalam pengembangan proyek bahan bakar yang sedang 
diteliti oleh Ford.Ide-ide baru telah diciptakan dan ide yang lama menjadi 
menantang, sehingga diperlukan budaya perusahaan yang baru yang dapat 
menciptakan profi tabilitas dan kinerja yang lebih baik lagi.Analisa  masalah  1 & 2
Dari kedua contoh masalah yang telah dibahas di atas, maka dapat dilihat 
bahwa budaya perusahaan sangat berpengaruh terhadap kesuksesan dan 
kegagalan proses merger dan akuisisi. Budaya perusahaan sebenarnya 
memegang dua peranan, yaitu sistem kepercayaan yang memampukan 
penerjemahan dunia yang kompleks dan ketidakpastian menjadi lebih 
dikenal, yang kedua yaitu  menyediakan kesinambungan dan stabilitas 
saat  ancaman perubahan mengurangi pengetahuan yang ada Peranan ini  menjadikan budaya perusahaan hal yang 
penting bagi siapa yang membagikannya, namun pada saat yang bersamaan 
budaya juga dapat menjadi sulit dalam memikul perubahan yang diperlukan, 
seperti dalam masalah merger dan akuisisi, dan telah menjadi akar penyebab 
konfl ik budaya antara dua perusahaan yang bergabung


Dalam melakukan merger atau akuisisi antara dua perusahaan 
dibutuhkan proses atau tahapan yang harus dilewati sebelum 
perusahaan melakukan merger atau akuisisi ini . Hal ini agar 
semua dapat berjalan sesuai rencana. Tahap melakukan merger dan akuisisi 
di negara kita  berdasarkan UU no. 40 tahun 2007 meliputi:
1. Memenuhi Syarat-syarat Penggabungan
Syarat-syarat penggabungan sudah diatur dalam Undang-Undang 
Perseroan dan Peraturan Pemerintah. Melakukan merger & akuisisi 
berarti juga harus mendapat persetujuan dan memperhatikan 
kepentingan instansi yang terkait, mulai dari perusahaan, para pemegang 
saham, karyawan, kreditor dan mitra usaha, hingga masyarakat. Hal itu 
agar nantinya tidak ada hal-hal yang terjadi yang dapat menghalangi 
proses merger & akuisisi.
2. Menyusun Rancangan Penggabungan
Semua direktur perusahaan yang berniat untuk mengkonsolidasikan 
atau menggabungkan perusahaan harus mempersiapkan rancangan 
merger & akuisisi, yang harus disetujui oleh Dewan Komisaris dan 
Direksi perusahaan masing-masing. Minimal, rancangan yang dibuat 
ada hal-hal berikut: Nama perusahaan yang berniat untuk melakukan merger atau 
akuisisi.
 Alasan dan penjelasan tentang diusulkan merger atau akuisisi oleh masing-masing direktur perusahaan yang berniat untuk melakukan merger atau akuisisi dan syarat-syarat dalam 
melakukan merger atau akuisisi. 
 Prosedur untuk mengkonversi saham masing-masing perusahaan 
kedalam saham perusahaan hasil merger atau akuisisi. 
 Perubahan-perubahan yang terjadi antara kedua perusahaan sesudah 
dilakukan merger akuisisi. Dalam berbagai masalah merger akuisisi, 
perubahan yang terjadi misalnya mengenai anggaran dasar. 
 Neraca dan laporan laba rugi terbaru selama tiga tahun terakhir 
dari perusahaan yang berniat untuk mengkonsolidasikan atau 
menggabungkan.
 Rincian ketetapan status karyawan.
 Pengaturan mengenai adanya perselisihan yang terjadi antar 
pemegang saham dan kreditur.
 Analisis manajemen pada masalah-masalah keuangan dan 
operasional terkait dengan semua perusahaan yang bersangkutan.
 Konfi rmasi perusahaan konsolidasi mengenai pemindahan hak dan 
asumsi seluruh kewajiban perusahaan yang berpartisipasi dalam 
merger.
 Adanya kawajiban untuk memberitahukan rencana kepada 
pemegang saham masing-masing perusahaan mengenai hal-hal 
penting yang perlu diketahui. 
3. Penggabungan Disetujui oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Penggabungan yang sudah disetujui oleh Dewan Komisaris perusahaan 
masing-masing lalu diajukan kepada RUPS untuk mendapat 
persetujuan. Untuk menyetujui penggabungan ini , RUPS yang 
diadakan paling sedikit tiga perempat dari jumlah seluruh saham 
dengan hak suara hadir atau diwakili dan keputusan yaitu  sah apabila 
disetujui paling sedikit tiga perempat bagian dari jumlah suara yang 
dikeluarkan. Jika RUPS pertama gagal dapat diadakan RUPS kedua 
dengan kuorum kehadiran paling sedikit dua pertiga, dan apabila gagal 
lagi bisa mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri 
agar ditetapkan kuorum RUPS yang baru.4. Pembuatan Akta Penggabungan
sesudah masing-masing RUPS menyetujui rancangan penggabungan yang 
diajukan, maka rancangan ini  dibuat kedalam Akta Penggabungan 
yang dibuat didepan notaris yang lalu diberitahukan kepada 
Menteri Hukum dan HAM untuk dicatat. Kalau ada perubahan pada 
anggaran dasar maka perlu adanya persetujuan dari menteri.
5. Pengumuman Hasil Penggabungan
sesudah semua tahapan sebelumnya sudah selesai dilakukan maka hasil 
dari tahapan-tahapan atau proses sebelumnya harus diumumkan oleh 
Direksi perusahaan pada 2 surat kabar juga pada karyawan secara 
tertulis. Pengumuman ini dilakukan paling lambat 30 hari sejak tanggal 
berlakunya penggabungan. Hal ini agar pihak ketiga mengetahui 
adanya penggabungan yang dilakukan. Dalam hal ini pengumuman 
ini  terhitung sejak tanggal persetujuan Menteri atas perubahan 
anggaran dasar.
 ASPEK HUKUM M&A DI negara kita 
Secara umum merger dan akuisisi di negara kita  diatur berdasarkan undangundang dan peraturan berikut:
 UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) serta 
peraturan pelaksanaannya. UU ini tidak hanya membahas ketentuan 
mengenai merger tetapi juga mengatur ketentuan mengenai pemisahan 
perseroan. Selain itu, UU No. 40 Tahun 2007 juga turut memperhatikan 
kepentingan karyawan serta memuat prosedur dan tata cara melakukan 
merger dan akuisisi. 
 Peraturan Pemerintah RI No 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, 
Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas. Peraturan ini juga 
menekankan perlindungan secara khusus pada kepentingan perusahaan, 
perlindungan terhadap kepentingan para kreditor,pemegang saham 
minoritas, dan karyawan perusahaan, serta kepentingan masyarakat 
dan persaingan usaha yang sehat. 
 Peraturan Pemerintah RI No 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi 
dan Akuisisi Bank. Peraturan ini dibuat untuk mengatur aktivitas 
merger dan akuisisi yang dilakukan pada sektor Perbankan serta diatur 
juga dalam Surat Keputusan Direksi Bank negara kita  Nomor 32/51/KEP/DIR tanggal 14 mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara 
Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank Umum. Merger, Konsolidasi 
dan Akuisisi Bank dapat dilakukan atas:
o inisiatif Bank yang bersangkutan; atau
o permintaan Bank negara kita ; atau
o inisiatif badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka 
penyehatan perbankan.
Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank dilakukan dengan memperhatikan 
kepentingan Bank, kreditor, pemegang saham minoritas dan karyawan 
Bank; dan kepentingan rakyat banyak dan persaingan yang sehat dalam 
melakukan usaha Bank. Pada PP RI No. 28/1999 menjelaskan pula 
mengenai prosedur yang dilakukan dan syarat-syarat dalam merger, 
konsolidasi dan akuisisi dalam sektor perbankan.
 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Peraturan Presiden 
RI no 39 tahun 2014 tentang bidang usaha yang tertutup dan bidang 
usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal, 
Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) No.5 
tahun 2013 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan non-Perizinan 
Penanaman Modal sebagaimana telah diamandemen oleh Peraturan 
Nomor 12 tahun 2013. Undang-undang dan peraturan ini  hanya 
berlaku untuk merger dan akusisi yang melibatkan investasi asing.
 PP RI No. 57 Tahun 2010 tentang Peleburan Badan Usaha dan 
Pengambilalihan Saham Perusahaan yang dapat memicu 
terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Secara 
garis besar PP RI No. 57 Tahun 2010 menyangkut 4 (empat) hal yaitu cara 
penilaian merger dan akuisisi yang memicu praktik monopoli dan 
persaingan usaha tidak sehat, batas nilai notifi kasi atau pemberitahuan, 
tata cara penyampaian pemberitahuan, serta konsultasi. Pada Pasal 2 
disebutkan pelaku usaha dilarang melakukan Penggabungan Badan 
Usaha, Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilan saham perusahaan 
lain yang dapat memicu terjadinya Praktik Monopoli dan/atau 
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Hal ini dapat terjadi jika pelaku usaha 
diduga melakukan:
a. perjanjian yang dilarang;
b. kegiatan yang dilarang; dan/atau
c. penyalahgunaan posisi dominan.KPPU memberikan penilaian yang telah berlaku efektif secara yuridis 
dan diduga dapat memicu terjadinya Praktik Monopoli dan/
atau Persaingan Usaha Tidak Sehat, penilaian dilakukan dengan 
memakai analisis: 
a. konsentrasi pasar;
b. hambatan masuk pasar;
c. potensi perilaku anti persaingan;
d. efi siensi; dan/atau
e. kepailitan.
 Untuk M & A di sektor lain, perusahaan diwajibkan untuk mematuhi 
hukum tertentu dan peraturan (misalnya, sektor perbankan, sektor 
asuransi, sektor Broadcasting dan sektor telekomunikasi). Hal ini 
disebabakan, sebab  pada sektor industri tertentu memiliki badan 
tertentu yang mengatur M&A, seperti perusahaan keuangan dan 
asuransi diatur oleh Departemen keuangan, perbankan diatur oleh Bank 
negara kita .
 BADAN REGULASI TERKAIT M&A DI negara kita 
 BKPM
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yaitu  sebuah badan 
layanan penanaman modal Pemerintah negara kita  yang dibentuk 
dengan maksud untuk menerapkan secara efektif penegakan hukum 
terhadap penanaman modal asing maupun dalam negeri , BKPM bertugas untuk membuat kebijakan terkait dengan 
penanaman modal sesuai dengan peraturan perundang-undangan 
di negara kita . Setiap ada investor asing maupun dalam negeri yang 
hendak menanamkan modalnya harus melalui syarat dan ketentuan 
yang ditetapkan oleh BKPM. Dalam M&A, BKPM diperlukan untuk 
memberikan persetujuan regristasi saat adanya perubahan dalam 
rencana investasi
 Bapepam-LK
Bapepam-LK yaitu  sebuah lembaga di bawah Kementerian Keuangan 
negara kita  yang bertugas membina, mengatur dan mengawasi sehari-hari 
kegiatan pasar modal serta merumuskan dan melaksanakan kebijakan 
dan standardisasi teknis di bidang lembaga keuangan Otoritas Jasa Keuangan
Sektor jasa keuangan yaitu  sektor industri yang kompleks dan selalu 
berubah sehingga para pelaku usaha harus mampu bertahan dan 
regulator harus mampu mengikuti perubahan yang terjadi. Untuk 
mengurangi risiko yang ada pada sektor ini, pemerintah menyadari 
pentingnya lembaga yang mengawasi kegiatan sektor jasa keuangan. 
Oleh sebab  itu, pemerintah membentuk lembaga independen OJK. 
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yaitu  lembaga Negara yang dibentuk 
berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi 
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi 
terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan baik di 
sektor perbankan, pasar modal, dan sektor jasa keuangan non-bank 
seperti Asuransi, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga 
Jasa Keuangan lainnya (Website OJK, 2016). Tugas Kementerian 
Keuangan dan Bapepam-LK ke OJK pada 31 Desember 2012, sedang 
pengawasan di sektor perbankan beralih ke OJK pada 31 Desember 2013. 
Pembentukan OJK ini ditujukan untuk mewujudkan sistem keuangan 
yang stabil, meningkatkan transparansi, melindungi kepentingan 
konsumen, serta mengurangi praktik kecurangan. Hal ini diharapkan 
kegiatan sektor jasa keuangan berjalan efektif dan efi sien.
 KPPU
Pemerintah negara kita  berusaha untuk menjaga persaingan yang sehat 
antar pelaku usaha di negara kita . Pemerintah negara kita  mendirikan 
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yaitu institusi pemerintah 
independen yang didirikan untuk memenuhi larangan praktik monopoli 
dan persaingan usaha tidak sehat. Komisi ini berhak mengambil 
tindakan sesuai dengan kewenangannya terhadap merger dan akuisisi 
yang diduga memicu praktek monopoli dan persaingan usaha 
tidak sehat dan juga berhak membatalkan merger dan akuisisi apabila 
terbukti dapat memicu praktek monopoli dan persaingan usaha 
tidak sehat.
 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Entitas yang melakukan merger dan ingin mengubah anggaran dasar 
harus memberitahu atau mendapatkan persetujuan dari Menteri Hukum 
dan Hak Asasi Manusia.
Salah satu tujuan kegiatan merger dan akuisisi yaitu  untuk melakukan 
penghematan pajak secara legal. Peraturan perpajakan terkait merger dan 
akuisisi diperbarui pada tahun 2008 sebab  pada tahun-tahun sebelumnya 
banyak perusahaan yang melakukan merger dengan tujuan untuk 
mendapatkan keuntungan pajak. Peraturan-peraturan perpajakan yang 
berlaku yang berkaitan dengan penggabungan usaha, dalam bentuk merger 
dan akuisisi, meliputi (Karyadi and Irawati, 2015):
 Peraturan No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (Hasil 
amandemen dari Peraturan No. 7 Tahun 1983)
 Peraturan No. 42 Tahun 2009 tentangg Value Added Tax (Hasil amandemen 
dari Peraturan No. 8 Tahun 1983)
 Peraturan No. 20 Tahun 2000 tentang akuisisi tanah atau bangunan 
(Hasil amandemen dari Peraturan No. 21 Tahun 1997).
Aspek perpajakan juga memiliki pengaruh dalam menentukan metode 
apa yang akan dipakai  untuk melakukan transaksi penggabungan usaha. 
Dalam Undang-Undang Perpajakan No.10 Tahun 1994 dinyatakan bahwa 
 Pasal 4 Ayat 1 Huruf d Angka 1: menyebutkan bahwa keuntungan 
sebab  penjualan atau pengalihan harta termasuk keuntungan sebab  
likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau 
pengambilan usaha yaitu  salah satu objek pajak.
 Pasal 10 Ayat 3: mengatur tentang dasar pengenaan pajak atas 
penggabungan usaha. Dalam pasal ini diatur bahwa “Nilai perolehan atau 
pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, 
peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilan usaha yaitu  
jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga 
pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan”
Oleh sebab  itu secara garis besar, dalam penggabungan usaha ada 
2 metode kemungkinan yang dipakai , yaitu metode By Purchase dan By 
Pooling of Interest.
 By Purchase: Dalam metode ini, harta kekayaan yang diperoleh oleh 
perusahaan yang melakukan penggabungan usaha harus dicatat dan diakui sebesar nilai pasarnya. Maka dari itu dalam metode ini ada 
pengenaan pajak atas aktiva tidak berwujud atau goodwill.
 By Pooling of Interest: Dalam metode ini, semua harta, hutang, dan hak 
pemegang saham dicatat dan diakui sebesar nilai buku. Maka dalam 
metode ini tidak ada pengenaan pajak sebab  tidak ada penambahan 
nilai asset.
Metode yang diperbolehkan dalam pemindahan atau transfer 
aset dalam praktek merger atau akuisisi, yaitu metode By Purchase yang 
didasarkan pada nilai pasar. Keuntungan yang muncul akibat dari transaksi 
penggabungan usaha, dalam bentuk merger dan akuisisi, dapat dinilai, 
sedang kerugian yang muncul akibat dari transaksi ini diklaim sebagai 
pengurang dari pendapatan perusahaan. Pemindahan atau transfer aset 
antar perusahaan yang didasarkan pada nilai buku (metode By Pooling of 
Interest) diperbolehkan tetapi di bawah persetujuan yang dinyatakan oleh 
Direktur Jendral Pajak, dimana rencana merger yang dimiliki perusahaan 
harus lulus tes tujuan bisnis oleh Direktur Jendral Pajak. Kerugian pajak yang 
dimiliki oleh perusahaan yang bergabung atau merger tidak dapat secara 
otomatis ditransferkan ke perusahaan yang masih bertahan. Umumnya, 
merger dan konsolidasi dapat dilakukan dengan dasar bebas pajak (kecuali 
PPN) tersedia kondisi tertentu yang harus dipenuhi yaitu:
 Pengalihan aset harus dicatat pada nilai buku dan kesatuan saat 
mentransfer
 Persetujuan untuk merger atau konsolidasi harus diperoleh dari Direktur 
Jenderal Pajak (dalam praktek ini mungkin menjadi persetujuan pascatransaksi bahkan jika persetujuan prinsip diperoleh sebelum transaksi 
terjadi)
 Akuntan publik wajib menyampaikan laporan tentang hal-hal yang 
ditentukan. Pengajuan ini  dianggap telah selesai disetujui jika 
tidak ada penolakan dalam satu bulan.
 ISU KARYAWAN ATAS AKTIVITAS M&A DI negara kita 
Pada saat perusahaan akan melakukan merger dan akuisisi, karyawan 
yaitu  salah satu aspek yang pent ing yang perlu dipertimbangkan 
sebab  karyawan bisa mempengaruhi kelancaran proses merger dan akuisisi. 
Hampir semua karyawan menganggap tindakan merger dan akuisisi yaitu  hal yang negatif sehingga mereka akan langsung resah saat  perusahaan 
tempat mereka bekerja mengumumkan akan melakukan merger dan akuisisi. 
Dalam UU No. 40 Tahun 2007, karyawan termasuk salah satu pihak 
yang harus diperhatikan kepentingannya dalam M&A. Menurut Pasal 127 
UU-PT, setiap rencana perubahan kepemilikan harus diumumkan kepada 
seluruh karyawan paling lambat 30 hari sebelum pemanggilan Rapat 
Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam rangka perubahan kepemilikan di 
perusahaan. 
Undang-undang mengenai ketenagakerjaan diatur dalam UndangUndang No 13 Tahun 2003. Dalam UU ini dijelaskan tentang pemutusan 
hubungan kerja (PHK) terkait merger dan akuisisi pada Pasal 163 (Republik 
negara kita , 2003): 
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap 
pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, 
peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh 
tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh 
berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 
156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 
156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 
ayat (4).
(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap 
pekerja/buruh sebab  perubahan status, penggabungan, atau peleburan 
perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh 
di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon 
sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan 
masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang 
penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
 PERBANDINGAN M&A DI negara kita  DAN ASEAN
Kegiatan merger dan akuisisi telah dilakukan tidak hanya di negara maju 
tetapi juga di Asia Tenggara. Di negara ASEAN kegiatan investasi yang 
dilakukan antar negara mencapai US$ 4,4 milliar pada tahun 2009, dimana 
banyak dilakukan di Singapura (46%), negara kita  (31%), dan Thailand (13%) 
(KPPU, 2010). Ketiga negara ini memiliki berbagai aturan investasi terutama 
yang berkaitan dengan merger dan akuisisi. Hal ini penting untuk menjaga kegiatan pasar yang kompetitif dan efi sien. Untuk peraturan yang berkaitan 
dengan merger dan akuisisi, baru 5 (lima) negara ASEAN yang memiliki 
hukum persaingan yaitu negara kita , Singapura, Thailand, Vietnam dan Laos. 
Aturan merger dan akuisisi yang dimiliki tiap negara berbeda-beda dari 
berbagai aspek, baik itu cakupan, sifat notifi kasi, pembiayaan, dan sanksi 
yang terkait. Tabel dibawah ini menunjukkan perbedaan aturan merger di 
ASEAN