enerasi milenial pergi ke tempat-tempat ekstrem untuk
berswafoto dan mengunggahnya di media sosial. Semua demi
pengakuan. Bahkan, ada remaja yang mampir ke Malaysia
hanya untuk berfoto di depan gedung pencakar langit Pertonas,
lalu pulang.
Kebutuhan generasi milenial akan pengakuan dan prestise
memunculkan banyak dampak. Prestise tidak hanya masalah
merek-merek terkenal, olah raga ekstrem, pergi ke negara lain
bersama pasangan, foto prewed yang glamor, atau foto wisuda
di kampus ternama. Prestise juga menyangkut ucapan bela-
sungkawa kepada seseorang yang ditinggal oleh sanak
keluarganya. Prestise juga menyangkut ucapan terima kasih
lebay seseorang kepada semua pihak yang telah membantu
upacara pernikahannya. Prestise juga adalah tatkala Anda
mengunggah ekspresi betapa tegangnya diri Anda ketika akan
mencoba paralayang untuk kali pertamanya di tebing-tebing
curam Patagonia. Tak hanya itu, prestise juga menyangkut
tindakan keterlaluan netizen yang berswafoto ramai-ramai di
pusara Prof. B.J. Habibie sebagai bukti bahwa mereka ‗bersedih‘
dan ‗berbelasungkawa‘ agar mendapat simpati sebagai
orang budiman.
Bukti-bukti tak terbantahkan ini menunjukkan bahwa
generasi milenial telah bergeser dari pemenuhan kebutuhan
dasar ke pemenuhan kebutuhan akan prestise. Jadi, ada sebuah
lompatan yang cukup signifikan. Barangkali inilah yang menjadi
sebab mengapa generasi milenial kadang lebih mementingkan
prestise daripada persahabatan dan cinta (di tingkat ketiga)
serta rasa aman (di tingkat kedua). Anda mungkin masih ingat
kasus Erri Yunanto tahun 2015. Pemuda itu nekad memanjat
tebing rapuh di puncak Merapi hanya untuk selfie. Nahas,
pemuda itu terjatuh ke kawah Merapi yang menggelora, dan
tewas sia-sia. Bayangkan. Untuk memenuhi kebutuhan akan
pengakuan bahwa dia orang hebat atau apalah, dia melompati
kebutuhan akan rasa aman. Tak hanya itu, dia juga melompati
kebutuhan untuk mencintai dan dicintai,—terutama mencintai
dirinya sendiri.
bila Anda berbicara tentang kebutuhan manusia, maka
Anda pasti berbicara tentang ekonomi, sebab ekonomi adalah
ilmu tentang bagaimana cara memenuhi kebutuhan. Jadi,
shifting atau pergeseran pada kebutuhan generasi ini
menyebabkan pergeseran besar pula di dunia ekonomi. Sejak
generasi muda datang ke puncak gunung hanya untuk
mengambil beberapa foto saja, ada kecurigaan dari para pakar
ekonomi bahwa generasi milenial melakukan perjalanan wisata
bukan untuk bersenang-senang, namun untuk prestise. Hal itu
terbukti benar. Maka, sejak itu muncullah istilah esteem
economy,—sebuah taktik ekonomi yang merangsang kebutuhan
generasi milenial akan pengakuan dan prestise16.
Pergeseran besar ini tentunya berpengaruh pula pada
sektor industri, terutama waralaba. Kemunculan generasi
milenial yang haus pengakuan dan prestise membuat sektor
waralaba mesti berkembang lebih kreatif lagi. Di bagian akhir
bab ini, Anda barangkali akan tercengang melihat bahwa jenis-
jenis waralaba telah mulai merambah sektor-sektor yang tidak
terpikirkan sebelumnya. Semua itu adalah impact dari
kebutuhan generasi milenial yang tidak tanggung-tanggung.
Esteem economy berpusat pada bagaimana memenuhi
kebutuhan generasi milenial akan pengakuan. Generasi milenial
akan bangga jika dia menjadi orang pertama yang mengunggah
foto berdiri di punuk gajah, memerah susu singa di kebun
binatang, atau bahkan jadi manusia pertama yang terjangkiti flu
di antara kawan-kawan sekolahnya. Di media sosial, generasi
pemburu self-esteem akan menunjukkan bahwa dirinyalah yang
paling pintar di grup WhatsApp atau Facebook. Dinding
Facebook mereka kebanyakan berisikan foto-foto narsis atau
swafoto. Secara psikologis, tindakan seperti ini mencerminkan
bahwa si pemilik akun itu adalah tipe orang yang kurang
produktif, membuang-buang waktu, dan bahkan bisa jadi
pengangguran. Menurut psikolog, orang-orang yang sering
mengunggah swafoto atau berkomentar panjang di media
sosial adalah tipe orang yang kurang kreatif, kurang kritis dan
tidak produktif,
Anda bisa melihat perbedaannya. Teman-teman Anda yang
produktif dan kreatif rata-rata jarang mengunggah status aneh
di media sosial, apalagi bercerita tentang keadaan emosinya,
pacarnya, komplain istri atau suaminya, dan hal-hal negatif lain.
bila dia sempat online dan mengunggah sesuatu, paling-
paling dia mengunggah foto-foto kegiatan ala kadarnya, foto
kebunnya sekali waktu, ide kreatifnya, atau membagikan sebuah
laman web informatif yang tengah dibacanya. Karena itu, jika
suatu hari Anda ingin merekrut pegawai untuk usaha Anda,
mintalah alamat media sosialnya dan selidikilah apa saja yang
diunggahnya. Dinding media sosial seseorang sedikit tidaknya
dapat mewakili kepribadiannya.
Social climber
Yang menjadi sumber kekuatan waralaba milenial adalah
kecenderungan anak-anak muda untuk menjadi social climber‗
pendaki sosial‘,—yang secara lazim diterjemahkan sebagai
‗pencari status sosial‘. Pencari status sosial ini adalah mereka
yang memiliki motif untuk berada pada lingkungan sosial
tertentu, sehingga mereka menjadikan komunitas di sekeliling-
nya sebagai acuan standar yang harus mereka capai agar
mendapat suatu penerimaan sosial18. Kebalikan dari social
climber adalah social sinker, saat seseorang kehilangan penga-
kuan status sosial dalam ranah digital, utamanya di media sosial.
Secara lebih sederhana dapat dinyatakan bahwa social
climber adalah mereka yang menampilkan diri sebagai orang
lain demi mendapat pengakuan. Biasanya, para social
climber selalu menampilkan diri dengan pakaian-pakaian serta
pernak-pernik kekinian, walaupun sejatinya mereka membeli
semua itu dengan cara mencicil atau menghabiskan gaji.
Yang menyebabkan seseorang menjadi social climber di era
milenial ini adalah karena terbukanya akses informasi di seluru
belahan dunia. generasi milenial cenderung membanding-
bandingkan dirinya sendiri dengan orang yang lebih prestigius.
Ada rasa tidak percaya diri tatkala seseorang melihat artis-artis
Korea yang molek dan berpakaian elegan. Ada pula rasa minder
ketika melihat wajah artis Eropa yang cantik. Mereka kadang
tidak menyadari bahwa ada efek Photoshop dan Ilustrator di
balik semua keelokan itu.
Fenomena social climber adalah akibat dari motivasi yang
ada pada diri generasi milenial. Menurut Schiffman dan Kanuk
(2010), motivasi adalah faktor dorongan yang ada dalam setiap
manusia. Faktor dorongan ini memunculkan alasan untuk
bertindak karena ada kebutuhan yang belum terpenuhi. Di sisi
lain, Solomon (2009) menyebutkan bahwa motivasi berarti
proses mental yang membuat seseorang melakukan tindakan
tertentu sebagai respons terhadap kebutuhan yang timbul dan
ingin dipenuhi. Definisi serupa juga dibahas oleh ahli-ahli sosial
dan psikologi lainnya. Pada intinya, motif atau dorongan yang
membuat Anda melakukan sesuatu disebut motivasi.
Secara teori, tanpa adanya motivasi, maka seluruh kegiatan
manusia otomatis tidak ada, sebab semua kegiatan manusia
didorong oleh motivasi baik yang disadarinya maupun tidak
(berada di pikiran bawah sadar). Yang menjadi masalah adalah
bahwa motivasi generasi milenial tengah meluap-luap ke hirarki
keempat. Motivasi dalam keseharian mereka rata-rata adalah
untuk mendapat prestise. Bahkan, mereka rela mengabaikan
makan dan minum hanya untuk mendapat senjata canggih
dalam sebuah game daring yang membutuhkan waktu berjam-
jam hingga berhari-hari. bila mereka mendapat senjata
canggih itu, mereka mendapat apresiasi dan kebanggaan.
Padahal, kebanggaan itu kadang hanya semu belaka.
Ini tentu berbeda jauh dengan mereka yang benar-benar
mengaktualisasikan diri dan produktif. Anda bisa membedakan
yang mana social climber dan mana orang kreatif-produktif dari
postingan media sosialnya. Para social climber gemar
memposting hal-hal menyangkut dirinya sendiri namun tidak
memiliki latar peristiwa yang worthy and valuable ‗bermakna
dan bernilai‘. Misalnya, seorang social climber senang
menampilkan foto tas belanjanya yang dilabeli merek terkenal
seperti Gucci, Prada, Hermes atau Louis Vuitton. Namun dalam
kenyataannya, orang-orang yang melihat fotonya tidak
mendapat kesan apa pun kecuali kagum, atau malah iri.
Sementara itu, orang-orang yang kreatif atau produktif
mungkin saja memposting foto dirinya saat sibuk memper-
siapkan presentasi yang penting, atau memposting foto saat
dirinya menerima penghargaan gubernur. Namun, dari kedua
ilustrasi ini , Anda tentu bisa menentukan mana yang
memiliki nilai genuity yang tinggi.
Keinginan warga perdesaan untuk merasakan sensasi
makan di restoran siap saji ternama seperti McDonalds dan KFC
mendorong ACK untuk merambah wilayah-wilayah desa dan
menyasar warga kelas menengah ke bawah. Lagi-lagi,
motifnya adalah self-esteem. Gucci membuka gerai waralaba di
pusat-pusat perbelanjaan di tanah air karena warga
memiliki motif self-esteem yang tinggi.
warga Indonesia dinobatkan sebagai salah satu ma-
syarakat paling hedonistik di Asia19. Padahal, tipikal warga
Indonesia adalah religius. Dua-duanya adalah paham yang
bertolak belakang, namun ada dalam warga Indonesia.
Gaya hidup hedonisme menekankan pada kenikmatan jasmani,
kemewahan dan kesempurnaan hidup di dunia. Sementara itu,
religi mengajarkan seseorang untuk tawakal, hidup sederhana,
beramal dan bersyukur20. Menurut lembaga survei media GfK
Asia, Indonesia adalah negara Asia yang penduduknya paling
banyak membeli gadget. Tak cukup sampai di sana, Indonesia
adalah negara ASEAN yang paling boros listrik21 selama tahun
2010 hingga kini.
Gabungan antara hedonisme dan religi ini menimbulkan
campuran yang unik dan juga nyeleneh. Dalam sektor ekonomi,
religi bisa berbalik menjadi sebuah hedonisme bagi warga
Indonesia. Muncullah wisata religi, kuliner religi, wisata halal,
kuliner halal, fashion religi, belanja religi, dan segala sesuatu
yang dihubung-hubungkan dengan religiusitas warga
Indonesia. Di Bali sendiri, ada hedonisme upacara agama.
Orang-orang dari kelas menengah ke atas biasanya membuat
upacara religi dengan biaya yang besar, rentetan upacara yang
sangat panjang, melibatkan ribuan orang, dan mereka kadang
menikmatinya sebagai sebuah prestise. Padahal, upacara yang
sama bisa dilakukan dengan cara yang jauh lebih sederhana dan
hemat. Bahkan, hedonisme religi ini tampaknya merambah tidak
hanya dalam ruang lingkup individu, namun juga kelompok
warga .
Di akhir tahun 2019 hingga awal 2020, ada kecenderungan
signifikan terhadap pembelian mobil di Bali. Sebenarnya,
kecenderungan ini telah dideteksi sejak 2014 lalu, namun
Subawa et. al. (2020)22 menspesifikasi bahwa kecenderungan
seperti ini dipengaruhi oleh budaya hedonistik yang tampaknya
semakin tinggi. Dalam petikan wawancaranya dengan respon-
den sampel, terungkap bahwa kebanyakan dari mereka membe-
li mobil karena terpikat pada model terbaru, warna dan tekno-
logi terkini yang ditawarkan. Kalangan profesional hingga
mahasiswa pun ‗dirasuki‘ konsep hedonistik seperti ini, yang
benar-benar mengubah perilaku belanja mereka sejak awal ta-
hun 2000-an. Bahkan, beberapa official kredit bank yang diwa-
wancarainya mengaku bahwa banyak konsumen sesungguhnya
tidak mampu membayar kredit mobil karena mereka masih
memiliki tunggakan kredit rumah, emas dan lain-lain.
Hedonisme di Indonesia juga merambah pada ranah bu-
daya, yang menjadi senjata andalan dalam promosi pariwisata,
khususnya di Bali. Subawa (2020) menemukan bahwa telah
terjadi hegemoni terhadap konsumen pariwisata di Bali di era
desruptif ini23. Dia menyimpulkan bahwa saat ini konsumen
tidak hanya dijadikan target pasar pariwisata, namun juga agen
wisata. Ini bisa terjadi dengan adanya media sosial yang me-
mungkinkan setiap orang untuk berbagi pengalaman mereka
selama berada di Bali. Dengan memposting banyak foto dan
video, serta memakai fitur tag, maka secara tidak langsung
konsumen terhegemoni untuk memasarkan produk wisata. Mari
kita sebut ini sebagai desruptive mindset on producers.
Beberapa contoh nyata ini menjadi bahan kajian dan
renungan tentang betapa fenomena pendakian sosial berdam-
pak pada segala lini kehidupan warga milenial. bila
dibahas dari sidut pandang ekonomi, segala peristiwa dan
fenomena kehidupan manusia adalah peluang untuk mening-
katkan keuntungan. Ekonomi tidak berbicara tentang perasaan
manusia atau perbaikan pola pikir manusia. Ekonomi berbicara
tentang keuntungan dengan pengorbanan yang seminimal
mungkin. Karena itu, menyikapi berbagai fenomena yang
melanda generasi milenial, sektor ekonomi akan terus giat
mencari peluang.
Tipikal warga membuat sistem waralaba juga harus
berevolusi dan mencari celah agar dapat memberikan keun-
tungan bagi warga . warga Indonesia yang religius,
dan konsumtif juga pada saat yang sama, memunculkan jenis-
jenis waralaba baru yang kadang terkesan aneh dan unik.
Sistem waralaba ini sesungguhnya telah ada di negara-negara
barat, sebab mereka telah terlebih dahulu mengalami fenomena
hedonisme. Jenis-jenis waralaba ini mulai masuk ke Indonesia di
era sekarang, menjadi peluang segar bagi para pelaku ekonomi
untuk menjadi lebih kreatif lagi.
Kecenderungan waralaba dalam esteem economy
Tiga kata kunci dalam bab ini yakni waralaba, milenial dan
instan(isasi) memunculkan beragam topik pembahasan yang
menarik untuk dikaji. Waralaba, tatkala dipertemukan dengan
milenial, bisa berarti sebuah perusahaan yang meningkatkan
self-esteem bagi konsumennya. Di sisi lain, self-esteem yang
sesungguhnya didapatkan dengan kerja keras, perjuangan serta
dedikasi yang lama bisa diperoleh secara instan dengan sistem
waralaba. Kehadiran merek-merek terkenal dunia di tanah air
membuka kesempatan besar bagi para social climber untuk
meningkatkan self-esteem-nya dengan cepat.
Beberapa jenis waralaba baru bermunculan sebagai respons
terhadap tuntutan kebutuhan dan motivasi generasi milenial.
Sekalipun jenis waralabanya sama dan tidak berubah, bidang
usahanya yang membuat waralaba menjadi unik, dan bahkan
aneh. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, untuk meres-
pons kebutuhan warga yang mengeluh pada gangguan serang-
ga di musim panas, waralaba khusus pembasmi serangga
terbentuk. Waralaba ini memberikan alat pembasmi serangga
dan metode penyingkiran dengan SOP yang profesional. Di
county-county terpencil, waralaba ini lumayan dibutuhkan. Siapa
pun yang mengakui diri sebagai pecinta serangga (sekaligus
pembenci serangga) bisa membeli waralaba ini dengan harga
miring.
Di Australia, yang populer malah waralaba penangkap
binatang liar. National Geographic Society menobatkan Benua
Australia sebagai benua paling berbahaya di dunia,—di mana
Anda bisa tidur berdampingan dengan ular sanca, laba-laba
black widow yang paling beracun di dalam sepatu, atau
serangan buaya raksasa yang masuk ke ruang TV. Karena itu,
penduduk Australia sangat memerlukan penanganan ahli hewan
liar. Setiap tahun, waralaba penangkap binatang liar sekurang-
kurangnya menangkap 250 buaya air asin dan ‗mendeportasi‘
ratusan hewan beracun lainnya seperti ular dan lipan raksasa ke
alam bebas. Biasanya, waralaba ini bekerja sama dengan
petugas fauna bila hewan liar yang tertangkap adalah satwa
dilindungi atau langka.
Membahas tentang waralaba dalam hubungannya dengan
ekonomi milenial, sedikit tidaknya ini pasti mengarah pada
esteem economy, walaupun tidak semua. Waralaba resto yang
menjamur belakangan ini sebagian memiliki motif esteem eco-
nomy. Produk-produk kuliner milenial, seperti produk makanan
olahan pisang besutan Kaesang Pangarep, memiliki unsur
esteem economy. Orang-orang yang membeli produk makanannya sedikitnya berpikir bahwa mereka sedang mencicipi
masakan putra sulung Joko Widodo,—dan itu adalah sebuah
prestise. Sebuah waralaba tailor di Amerika Serikat bahkan
membuat slogan ekstrem we design for gods ‗kami mendesain
untuk para dewa‘ untuk menarik perhatian pelanggan (selain
karena kualitas dan jenis jahitannya yang profesional dan
elegan).
Waralaba Jualan Tangis
Kita telah membahas beberapa contoh perusahaan
waralaba yang bermotif menyediakan kebutuhan self-esteem.
Ternyata, di Ghana, sebuah republik di Afrika, orang mati juga
perlu self-esteem. Sama halnya dengan di Bali, prestise orang-
orang Ghana terhadap upacara kematian sanak keluarga
mereka menentukan derajat prestise keluarga. Bedanya adalah,
di Bali belum ada perusahaan waralaba yang bisa menggarap
upacara kematian sebab sebagian besar tanah kuburan adalah
milik adat. Karena itu, hampir 90% upacara kematian Hindu di
Bali masih digarap oleh warga adat. Jadi, sasaran self-
esteem upacara kematian di Bali pada umumnya adalah penga-
kuan dari warga adat.
Di Ghana dan negara-negara maju di Eropa, tradisi pema-
kaman juga dibalut dengan prestise. Ada waralaba menangis
yang khusus menyediakan jasa jual tangis. Ada keyakinan di
antara orang-orang kelas menengah ke atas di Ghana bahwa
semakin banyak tangisan yang mengiringi upacara kematian
sanak keluarga mereka, maka itu adalah pertanda prestise yang
tinggi. Karena itu, kian banyak keluarga orang kaya di Ghana
yang menyewa arak-arkan tangis saat upacara penguburan.
Semakin besar upacara kematian, semakin mahal pula harga
tangisan yang mereka tawarkan.
Mirip seperti di Bali, upacara pemakaman di Ghana tergo-
long upacara prestigius yang meriah. Di Bali, pengiring jenazah
adalah sanak keluarga dan orang-orang terdekat, serta dibantu
oleh anggota adat. Namun di Ghana, orang-orang memasang
billboard untuk mengundang partisipasi dalam upacara
kematian yang meriah.
Ternyata, jasa waralaba menangis ini rela mengeluarkan ‗air
mata buaya‘ mereka karena menguntungkan untuk keluarga
mendiang. Semakin tangisan mereka menyayat hati, semakin
banyak uang duka yang terkumpul dari para tamu. Ada-ada
saja.
Tak hanya di Ghana bisnis ‗air mata aligator‘ ini laris manis.
Di negara serumpunnya Republik Kongo, jasa pelayat profe-
sional juga digandrungi. Ada vested interest yang berkembang
di Afrika sejak dahulu kala, bahwa bila sanak keluarga tidak
menangis tatkala upacara pemakaman, maka leluhur yang
meninggal tak akan tenang. bila sanak keluarga yang
ditinggalkan tidak menangis, itu menandakan suatu ketidak-
pedulian pada arwah yang meninggal. Yang jadi masalah
adalah, sangat sulit menangis ketika upacara pemakaman
karena sanak keluarga biasanya sibuk mempersiapkan upacara
yang begitu meriah. The Economist mencatat bahwa penge-
luaran untuk sebuah upacara kematian di Ghana mencapai rata-
rata dua ratus juta rupiah, sama dengan pengeluaran upacara
pernikahan24. Dalam kesempatan inilah para pelayat profesional
mengadu nasib.
Yang miris namun unik justru ada di Taiwan. Orang-orang
Taiwan terkenal karena kesibukannya yang sangat padat, sama
seperti orang Jepang di kota-kota besar. Jadi, mereka hampir
tidak punya waktu bahkan untuk mempersiapkan upacara
kematian bagi sanak keluarga mereka, atau bahkan hanya untuk
menjenguk orang meninggal. Alhasil, yang dilakukan keluarga
mendiang adalah menyewa jasa pelayat profesional. Di sana,
para pelayat profesional menangis dengan penuh penghayatan.
Mereka juga mengisi sesi ungkapan belasungkawa dan hiburan
bagi sanak keluarga yang merupakan acara prestigius bagi
keluarga-keluarga Taiwan. Akibatnya, muncullah waralaba
pelatihan pelayat bayaran yang memiliki standar operasi
tentang jenis-jenis isakan tangis dan jumlah bayarannya.
Sebuah kelompok pelayat profesional dibayar enam ratus dolar
dalam sekali sesi. Karena jumlah waralabanya kian menjamur,
perusahaan ini bisa mengakomodasi hingga 30 upacara
kematian ‗bertangis buaya‘ setiap hari.
Dalam sistem waralaba air mata ini, yang dijual adalah
sistem cara menangis sesuai dengan status orang yang
meninggal. Standar operasionalnya mewajibkan setiap pene-
rima waralaba (yang biasanya terdiri atas seorang atau
beberapa orang) untuk mendapat pelatihan sebelum layak
menyandang merek jasa dan sistem waralaba ini.
Yang membuat geleng-geleng kepala adalah tatkala sistem
operasional jasa air mata ini diadopsi di Inggris. Peminatnya
semakin besar dari tahun ke tahun. Ini membuktikan bahwa
warga Inggris juga dilanda demam self-esteem sesudah
mati. Sebuah perusahaan jasa tangis, Rent a Mourner, terpaksa
tutup di Maret 2019 karena pelanggan yang membeludak. Jika
saja pemiliknya mewaralabakan perusahaannya, mungkin ia
akan menjadi jauh lebih kaya.
Bagaimana dengan Bali? Satu fakta yang mengagetkan
adalah, orang Bali tidak perlu tangisan saat upacara kematian.
Sanak keluarga sibuk mempersiapkan upacara dan meyakini
bahwa orang yang meninggal hanya berganti badan saja, dari
badan kasar ke badan lain sesuai dengan perbuatannya selama
hidup. Yang ada dalam sebuah upacara kematian di Bali adalah
sebuah perpaduan rasa yang biasa, seolah-olah yang meninggal
sedang tertidur pulas. Yang dibutuhkan dalam sebuah upacara
kematian di Bali adalah sarana upacara dan sesajen. Kendala
lain datang dari warga Bali yang tinggal di rantauan.
Mereka yang tinggal di rantauan merasa kesulitan bila sanak
keluarganya meninggal sebab mereka tidak tertaut dalam
lingkungan adat. Mereka takut jikalau tidak ada pihak yang
berkenan mengurus jenazah mereka.
Waralaba untuk mencegah pemalsuan
Sebagai pengusaha, satu hal yang pasti membuat jantung
Anda menegang dan tekanan darah Anda naik mendadak
adalah ketika produk Anda dipalsu kompetitor tak sehat. Lagi
dan lagi, motif pemalsuan adalah self-esteem buat perusahaan
kompetitor. Untuk mencegah pemalsuan, sistem waralaba bisa
dipakai . Karena penerima waralaba dipatok oleh sistem yang
ketat dari pemberi waralaba, pemalsuan dapa dicegah.
Mencegah pemalsuan melalui waralaba bisa ditempuh
dengan dua cara. Pertama, Anda memasarkan produk dan jasa
dengan sistem waralaba biasa. Jadi, Anda merekrut orang atau
usaha lain untuk memasarkan produk dan jasa Anda di tempat-
tempat yang jauh untuk menghindari pemalsuan dan
plagiarisme usaha Anda. Cara kedua lebih berani, yakni dengan
mengajak kompetitor Anda untuk menjadi penerima waralaba
Anda (seperti yang dilakukan beberapa studio film terkenal di
Amerika Serikat).
Di dalam negeri, waralaba untuk mencegah pemalsuan
diterapkan oleh perusahaan botani pemasok bibit. Kasus
pemalsuan bibit kelapa sawit banyak terjadi di Sulawesi dan
Kalimantan dan membuat banyak petani kelapa sawit merugi.
Agar siap tanam, benih kelapa sawit harus disemai dan
dibibitkan selama 9 hingga 12 bulan. bila petani melakukan
ini tanpa bantuan perusahaan waralaba, maka pekerjaan petani
menjadi sulit karena terbatasnya fasilitas pembibitan. Karena itu,
waralaba bibit kelapa sawit menjadi populer.
Sebelum adanya waralaba benih kelapa sawit, petani harus
menjemput benih sendiri ke tempat pembibitan karena
pemalsuan bibit kelapa sawit kerap terjadi dan dilakukan oleh
agen pemasok yang tidak bertanggung jawab. Dengan hadirnya
waralaba benih kelapa sawit di berbagai area pertanian, petani
tidak perlu merasa khawatir lagi karena bibit yang mereka
terima pasti bibit unggul dan kendala biaya transportasi bolak-
balik ke sumber pembenihan juga lumayan terpangkas.
Kehadiran waralaba benih kelapa sawit ini ternyata bisa
meningkatkan produktivitas petani hingga lebih dari 50%. Jika
petani memakai bibit bukan unggul, produktivitasnya
turun hingga kurang dari separuh25. Sistem waralaba sejenis
juga diterapkan pada bibit karet, kelapa dan sayur mayur untuk
mencegah pemalsuan. Unit-unit waralaba mereka menyebar di
wilayah transmigrasi di Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera.
Maraknya Pemalsuan Logo Merk, Blue Bird
Bali Tawarkan Kerjasama Operasional
Selasa, 09 Juli 2019 | 23:00 WITA
Beritabali.com, Denpasar. Terkait maraknya
kasus pemalsuan merek logo Blue Bird yang
belakangan ini marak terjadi, Blue Bird Group
menawarkan kerjasama operasional (KSO)
kepada perusahaan atau koperasi yang
menaungi taksi lainnya di Bali.
Tawaran kerjasama ini dilakukan agar tidak
merugikan perusahaan transportasi terbesar di
Indonesia ini termasuk juga para konsumen
atau pelanggannya.
“Sebenarnya tawaran KSO (kerjasama
operasional, red) ini sudah sejak lama kami
komunikasikan dengan level pimpinan
perusahaan taksi maupun koperasi yang
mengelola taksi di Bali. Termasuk juga dengan
teman-teman di Organda unit taksinya,” ujar
General Manager Blue Bird area Bali dan
Lombok, dr I Putu Gede Panca Wiadnyana saat
jumpa pers di Jimbaran, Selasa (9/7).
Namun diakuinya, tawaran kerjasama itu belum
membuahkan hasil yang maksimal hingga
25Dalimunthe, et. Al (2009). Meraup Untung dari Bisnis Waralaba Bibit Kelapa Sawit.
Tangerang: Agromedia Pustaka.
belakangan ini marak muncul kasus pemalsuan
merek logo Blue Bird.
“Nah, dengan adanya kasus ini kami jadikan
momentum lagi untuk mengingatkan lagi
kepada teman-teman untuk bekerjasama, ya
daripada sembunyi-sembunyi memakai merek
logo kami,” kata dr Panca didampingi Kuasa
Hukum Blue Bird Group, Ketut Mulya Arsana
SH MHum dan Mahendra Ishartono SH.
dr Panca mengilustrasikan kerjasama ini
seperti franchise bisnis penjual ayam goreng
atau fried chicken, dimana perusahaan
berbeda-beda tapi mereka bisa memakai
merek terkenal yang menjual.
“Nah, hal serupa kami tawarkan kepada
pengelola taksi di Bali. Jadi teman-teman di
perusahaan taksi lain nantinya bisa
memakai brand logo kami secara legal,”
katanya.
Tentunya, kata dr Panca, sesudah menjalin
kerjasama, perusahaan taksi ini
standarnya harus menyesuaikan dengan Blue
Bird.
“Ya, mulai dari kendaraan yang minimal
umurnya 5 tahun, pengemudinya yang harus
terlatih hingga pelayanannya. Jadi semuanya
standarnya seperti yang ada di Blue Bird,”
tegasnya.
dr Panca menyebut, kerjasama operasional
yang ditawarkan Blue Bird ini sudah
dilakukannya di Jogjakarta dan Bandung.
“Kalau di Jogja kita kerjasama dengan Koperasi
Serba Usaha (KSU) Pataga sebagai pengelola
Pataga Taksi. Kalau di Bandung dengan Rina
Rini Taksi,” ucapnya.
Ketika ditanya keuntungan apa yang didapat
perusahaan atau koperasi yang diajak
kerjasama? dr Panca belum mau menjawab
lebih detail, namun yang pasti kata dia, seperti
di Jogja dan Bandung itu, perbankan akan lebih
percaya terutama dalam dalam pemberian
kredit.
“Ya, bisa kita bayangkan kalau bank sudah
percaya berarti perusahaan itu adalah sehat,”
imbuhnya.
Sementara itu, Kuasa Hukum Blue Bird Group,
Ketut Mulya Arsana SH MHum menambahkan
terkait maraknya kasus pemalsuan merek logo
Blue Bird, pihaknya sudah melakukan berbagai
upaya mulai dari pencegahan seperti
pemasangan pengumuman peringatan
penyalahgunaan merek terdaftar di media
massa, hingga upaya hukum lainnya bagi yang
membandel seperti membawa pelaku ke
pengadilan.
“Bahkan kami juga mewarning kepada para
usaha pembuat dan pemasangan stiker bahwa
mereka ini juga kena tindak pidana jika
memasang logo stiker Blue Bird tanpa izin,”
ujarnya.
Dalam uraian ini kita mendapat satu lagi fungsi dan
keuntungan waralaba, yakni melindungi merek dan mencegah
pemalsuan. Dari pihak pemberi waralaba, keuntungan pem-
bukaan waralaba besar-besaran adalah untuk menarik royalti
atas pemakaian logo dan merek usahanya. Biasanya, peru-
sahaan terdorong oleh motif ini adalah perusahaan-perusahaan
besar yang sudah mendunia. Ini dilakukan untuk mencegah
pemalsuan produk. Di pihak penerima, waralaba membuatnya
terhindar dari tindak pidana pemalsuan produk dan peng-
gunaan merek tanpa izin. Selain itu, keuntungan lainnya untuk
bergabung dalam sistem waralaba adalah adanya support dan
training dari pihak pewaralaba resmi yang pastinya akan
meningkatkan wawasan bisnisnya.
Dari kasus-kasus di atas, kita dapat menyimpulkan juga
bahwa pemalsuan bukan hanya berarti meniru bentuk, kualitas
dan cara kerja suatu barang, namun juga memakai nama
resmi suatu usaha untuk barang serupa yang dijual tanpa izin.
Beberapa perusahaan fashion ternama membuha franchise
sebesar-besarnya untuk menghindari pemalsuan. Billabong,
misalnya, yang mereknya sudah terkenal dan logonya dengan
mudah sekali ditemukan di internet. Daripada memalsukan
produk Billabong, orang lebih memilih untuk bergabung
menjadi franchisee dengan banyak sekali keuntungan. Gerai-
gerai Billabong di seluruh dunia adalah hasil dari franchise-nya
yang bernilai tinggi. Taktik waralaba yang sama juga diber-
lakukan oleh Adidas, yang ternyata memasok bahan baku
sepatu dari Indonesia. Jadi, walaupun bahan sepatu Adidas yang
melegenda itu berasal dari perdesaan di Indonesia, yang Adidas
jadikan kekuatan ekonomi bernilai tinggi sekarang adalah me-
reknya. Karena itu, sengketa merek biasanya berujung pada
sengketa yang jauh lebih sengit daripada hanya sekadar
pemalsuan barang atau jasa.
Waralaba perfilman
Apakah Anda salah satu pecinta film Avenger? Dalam dunia
perfilman, dikenal istilah film franchise. Menurut Vermaak
(2019), film franchise memiliki pengertian yang sedikit berbeda
dengan franchise yang lumrah, meskipun pada dasarnya prinsip
kerjanya sama. Yang dimainkan dalam waralaba perfilman
adalah elemen-elemen esensial seperti hak cipta alur, hak cipta
karakter, dan pemeran26.
Sebuah film dapat dikatakan sebagai film franchise bila
sekuelnya lebih dari dua episode. Sebuah franchise film memer-
lukan sistem perjanjian yang ketat. bila dalam sekuel sebuah
film ada pemeran yang diganti, maka franchise menjadi gagal
atau di-reboot. bila franchise film di-reboot, maka produser
film, sutradara dan pembuat naskah harus berpikir keras lagi
untuk membuat sekuel yang diawali dari episode-episode film
yang di-reboot.
Salah satu contoh film franchise fenomenal adalah sekuel
Harry Potter. Tatkala Daniel Radcliffe terpilih untuk memerankan
Harry Potter di usia 11 tahun, produser film membuat perjanjian
bahwa Daniel harus bersedia memerankan Harry Potter sampai
dia berusia 18 tahun. Orang tuanya sempat tidak setuju dengan
kontrak selama itu, namun begitulah syarat sebuah film
franchise. Tak pelak lagi, film franchise mendulang keuntungan
hingga triliyunan rupiah per episode. Karena itu, banyak studio
film rela bersusah payah untuk menggarap sebuah film
franchise sekelas Fast and Furious (8 sekuel) demi keuntungan
super besar itu.
Prosedur franchise film rata-rata berlangsung seperti ini.
Sebuah film franchise biasanya diangkat dari kisah novel yang
panjang atau seri komik. Waralaba the Avengers, misalnya,
diangkat dari kisah komik tahun 90-an. Demikian pula DC
Movies yang diangkat dari kisah komik. Selain itu, sebuah
rentetan film franchise (seperti Star Wars dan Star Trek) diangkat
dari sebuah skenario yang panjang tentang suatu kisah
perseteruan yang begitu lama. Karena sebuah film franchise
tidak boleh mengganti pemerannya dalam setiap sekuel, maka
dalam rentetan film franchise ceritanya akan selalu bersambung,
atau tokoh utamanya diubah-ubah sepanjang cerita. Dalam Star
Wars, misalnya, yang kini memiliki sembilan sekuel, tokoh-tokoh
utama mengalami pergantian seiring bergantinya latar zaman di
hampir setiap sekuel.
Pertama-tama, produser film (yang adalah sebuah studio
bermodal besar) membeli hak cipta suatu kisah dari seorang
penulis novel. Sebagai contoh, Universal Studios membeli hak
cipta cerita Jurassic Park dari Michael Crichton. sesudah
perjanjian waralaba ini dibuat, maka Michael Crichton selaku
pemberi waralaba memberikan hak ciptanya kepada Universal
Studios untuk dijadikan film. Sebagai kewajiban penerima
waralaba, Universal Studios wajib memberikan royalti kepada
sang penulis. Ini adalah waralaba film jenis pertama, yakni film
yang diangkat dari kisah nyata. Di Indonesia, film yang diangkat
dari kisah nyata adalah Laskar Pelangi, yang memiliki empat
sekuel. Namun, film ini belum dapat digolongkan sebagai
franchise karena pemerannya berganti-ganti di setiap sekuel.
Jenis film franchise kedua adalah ketika hak kreasi film
ini dipindahtangankan ke perusahaan penerima waralaba
karena dibeli atau diakuisisi. Sebagai contoh, 20th Century Fox
memproduksi sekuel-sekuel X-Men, Avatar, The Simpsons, Alien
dan Predator. Kemudian, di awal tahun 2019, Disney
mengakuisisi Fox dalam sebuah perjanjian franchise bernilai
triliyunan rupiah. Secara otomatis, semua tokoh yang tercipta
dari Fox kini berada di bawah naungan Disney. Dalam dunia
perfilman Marvel, ini dikenal sebagai peristiwa ‗pindah semesta‘.
Dalam kenyataannya, peristiwa jual-beli franchise film ini
lumrah di jagat Holywood. Tujuannya adalah untuk menambah
permodalan dan memperkaya khazanah cerita. Dengan
diakuisisinya Fox oleh Disney, kini Disney bisa menggabungkan
X-Men dengan Jungle Book, Avatar dengan John Carter of Mars,
atau Alien dengan Aladin. Gabungan cerita semacam itu
pastinya akan membuka tabir kreativitas yang baru pula.
Franchise perfilman ini yang membuat Amerika Serikat
selalu menduduki peringkat pertama dalam industri perfilman
dilihat dari jumlah pendapatan. Pendapatan rata-rata seorang
sutradara film franchise ternama di Holywood adalah 2 milyar
dolar per tahun27. bila kita memperhatikan tren perfilman
mulai tahun 2010, film-film Holywood yang bukan berbentuk
franchise cenderung memiliki tema yang monoton. Berbeda
halnya dengan film franchise yang ide-idenya selalu kaya dan
mencengangkan. Buat Anda yang tergila-gila pada the
Avengers, the Lord of the Rings, atau DC Films, akan Anda
saksikan lika-liku plot yang memukau. Maka sadarilah bahwa
semua hal keren di layar Holywood itu ada berkat kekuatan
waralaba, sang tangan kanan kapitalisme.
Waralaba wisata
Perlu kita ingat bersama bahwa di era milenial ini, wisata
adalah prestise. Orang luar Bali mungkin bangga sekali jika bisa
berwisata ke tempat-tempat eksotis di Bali, tetapi orang Bali
juga mengalami shifting pada preferensi wisatanya. Dua puluh
tahun lalu, obyek wisata Sangeh masih diminati dan jadi
primadona wisata di Badung utara. Kini, pamornya kalah
dengan Monkey Forest Ubud. Walaupun banyak turis lokal yang
masih datang ke sana kala liburan, orang Bali secara umum kini
lebih mengenal Pandawa Beach, air terjun Tukad Cepung, atau
Batur Trekking. Dua puluh tahun lagi, mungkin berkembang
obyek-obyek dan tempat-tempat wisata baru dengan berbagai
tawaran keindahannya.
Bagaikan bunga yang lama-kelamaan layu, keindahan suatu
tempat bisa berkurang karena kedatangan semakin banyak
manusia. Hanya untuk self-esteem, pernah suatu ketika ladang
bunga kasna di Besakih rusak gara-gara ratusan orang datang
hanya untuk swafoto. Belum lama ini, fenomena embun
membeku di Dieng jadi pusat perhatian. Banyak orang datang
ke sana, menghabiskan waktu berjam-jam di jalan, dan ujung-
ujungnya hanya selfie. sesudah itu, manusia pergi meninggalkan
plastik. Pelataran Candi Dieng yang sakral dan eksotis jadi
tempat pembuangan sampah.
Self-esteem, sebagaimana telah kita bahas dalam bagian
sebelumnya, adalah sebuah kebutuhan yang melompat ke level
empat,—melangkahi kebutuhan akan rasa aman, rasa cinta,
persahabatan dan kasih sayang. Karena itu tak jarang para
pemburu likes mengabaikan kasih sayang dan cinta pada
lingkungan.
Untuk mengakomodasi para wisatawan dengan gaya
barunya itu, banyak waralaba wisata bermunculan. Waralaba
yang banyak digandrungi adalah waralaba paket tur dan travel,
karena bisa dioperasikan hanya dengan smartphone biasa.
Banyak layanan waralaba paket perjalanan yang memberikan
akses lebih dekat ke konsumen. Bahkan, ada biro perjalanan
wisata privat yang berbasis waralaba. Di era milenial ini bisnis
semacam ini kian menjamur. Banyak penyedia layanan sopir
wisata privat tinggal di kos-kosan dan membuka layanan antar-
jemput tamu. Hanya berbekal kemampuan bahasa Inggris yang
standar dan rasa percaya diri, mereka mengambil waralaba
paket wisata dan mendapat keuntungan. Secara ekonomi,
ini tentu sangat positif.
Yang dilakukan Inggris lain lagi. Para pekerja sektor
pariwisata di Inggris melakukan promo wisata syuting film.
Caranya, mereka membeli waralaba dari merek dan properti film
terkenal dan mempromosikannya. Misalnya, seperti yang
sedang naik daun, ada waralaba merek Harry Potter yang
mengambil lokasi syuting di tempat-tempat kuno di Inggris.
Dengan berbekal hak cipta Harry Potter, pengusaha pariwisata
membuat promo perjalanan wisata ke tempat-tempat syuting
Harry Potter dengan biaya terjangkau.
Tak hanya itu, franchise Harry Potter juga dibeli untuk
konstruksi sebuah desa sihir yang sama persis dengan desain di
film Harry Potter. Desa itu, yang dibangun menyerupai sebuah
Disneyland, meraup keuntungan jutaan pounsterling dari
kunjungan wisatawan mancanegara. Pembelian franchise serupa
dilakukan juga oleh pegiat pariwisata Selandia Baru. Mereka
membeli franchise film the Lord of the Rings karena film
spektakuler itu mengambil lokasi syuting di pegunungan-
pegunungan Selandia Baru yang eksotis.
Kecenderungan baru dalam berwisata di era milenial ini
disebut sebagai millenial leisure29. Tujuan wisata bukan lagi
untuk menghilangkan penat, namun sebagai lambang prestise.
Dengan munculnya Instagram, setiap orang ingin berkunjung ke
tempat paling aneh, paling terpencil, paling mahal, dan ‗paling‘
lainnya hanya untuk berfoto. Akibat milenial leisure ini, muncul
bisnis wisata mikro/kecil degan bermodal sebuah pohon besar
dan tempat duduk menyerupai sarang burung yang digantung
di dahannya. Pasangan-pasangan yang baru menikah, yang
akan melakukan sesi prewed atau bahkan yang sudah memiliki
anak akan berebutan masuk ke dalam sarang burung raksasa itu
dan melakukan selfie session hingga berjam-jam. Milenial leisure
seolah-olah menggeser aspek leisure untuk menghilangkan
penat ke arah menambah prestise, sehingga kegiatan wisata
keluarga pada zaman ini secara umum telah bergeser kepada
kegiatan selfie dan foto makanan daripada kegiatan yang lebih
mendekatkan manusia dengan alam.
Waralaba untuk hewan peliharaan
Di Jepang dan Amerika Serikat, ada waralaba pet shop, yang
menyediakan berbagai keperluan hewan peliharaan, pengi-
napan dan penitipan hewan, serta klinik hewan. Permintaan
para pecinta hewan peliharaan akan fasilitas ini semakin tinggi,
terutama jika si pemilik akan keluar kota atau ke luar negeri.
Waralaba pet shop juga merambah Indonesia. Raja Pet
Shop misalnya, adalah waralaba kebutuhan hewan peliharaan
yang berbasis di Jakarta. Klien mereka mulai dari ikan, kucing,
anjing, burung, hamster, hingga binatang-binatang ekstrem
seperti iguana, ular dan salamander. Untuk membeli waralaba
Raja Pet Shop, Anda akan diberikan pelatihan tentang standar
operasionalnya. Untuk dokter hewan, Anda tidak perlu khawatir.
Jasa layanan kesehatan hewan adalah tanggung jawab para
profesional yang ditanggung oleh pemberi waralaba.
Bagi sebagian warga perkotaan, memiliki hewan
peliharaan adalah sebuah ungkapan rasa bosan akan hiruk
pikuk kota. Penelitan tahun 2017 di California mengungkap
bahwa orang-orang California yang memelihara hewan
peliharaan memiliki risiko stres dan sakit jantung yang lebih
kecil dibandingkan mereka yang tidak memiliki hewan
peliharaan30. Sebuah penelitian lain di Universitas Bristol,
Inggris, mengungkap bahwa ada kecenderungan manusia telah
mengalami shifting dari ‗memelihara hewan peliharaan‘ ke
‗terikat kepada hewan peliharaan‘31. Dalam hal ini, hewan
peliharaan adalah cerminan dari self-esteem dari pemiliknya.
Tatkala Haloween, yang dibelikan pakaian Haloween mewah
adalah anjing atau kucing peliharaan mereka. Semakin lucu
pakaian hewan peliharaan mereka, maka semakin besar self-
esteem pemiliknya. Maka, tak heran jika waralaba pet shop
begitu laris di negara-negara dengan self-esteem pada hewan
peliharaan seperti itu.
Beberapa waralaba hewan peliharaan di Amerika Serikat
bahkan menyediakan jasa spa dan pijat untuk hewan. Tak hanya
itu, mereka menyediakan jasa pedicure, rebonding, salon dan
barber. Di Indonesia, kecintaan orang pada hewan peliharaan
tidak sampai seekstrem itu (walaupun tentunya ada), namun
grafik perkembangan waralaba pet shop positif dari tahun ke
tahun. Kebanyakan para pecinta hewan peliharaan datang dari
para penggemar burung, penggemar ikan hias hingga hewan-
hewan konvensional seperti anjing dan kucing sebagai
penunggu rumah.
Kesehatan, Kecantikan dan Pendidikan Instan
Menjalarnya waralaba juga dirasakan di dunia kesehatan,
kecantikan dan pendidikan tinggi. Tatkala waralaba merambah
banyak aspek kehidupan manusia, maka aspek-aspek itu
menjadi kapitalis. Jadi, bila suatu sistem telah bertrans-
formasi menjadi waralaba, maka tujuan akhirnya pastilah profit
yang sebesar-besarnya. Dunia pendidikan, contohnya. Waralaba
telah merambat ke dunia pendidikan dan menjadikannya
ladang yang subur bagi penanaman modal dan keuntungan
finansial.
Kebutuhan warga akan pendidikan nyaris sama
dengan kebutuhan dasar. Posisi pendidikan ada dalam hirarki
terbawah Piramida Maslow, yang berarti bahwa pendidikan,
angka harapan hidup dan pemenuhan kebutuhan dasar (air,
makanan, dan perumahan) adalah tiga hal pokok yang paling
dibutuhkan manusia. Karena itu, UNDP menetapkan tiga
komponen ini sebagai komponen indeks pembangunan
manusia32.
Hebatnya, waralaba telah merambah sektor dasar ini.
Dengan kata lain, bahkan kebutuhan dasar manusia pun telah
begitu dikomersilkan dan dikapitalisasi. Waralaba pendidikan,
misalnya, yang kini banyak bertumbuh di kota-kota. Yang
ditonjolkan oleh waralaba pendidikan biasanya adalah merek
yang telah terkenal serta metode pengajaran yang telah terbukti
sukses. Kursus Lulus STAN, misalnya, sebuah waralaba yang
memperkenalkan metode jitu untuk lulus tes STAN. Waralaba ini
diminati betul oleh anak SMA. Salah satu kantor franchise-nya di
Denpasar dipenuhi banyak sekali siswa SMA/SMK yang akan
melamar di STAN. Bayarannya tak murah pula. Dengan meng-
gandeng merek ternama, franchisee langsung dikenal luas.
Lain kursus lulus STAN, lain pula Kumon. Target pasar
Kumon di Indonesia adalah anak-anak, walaupun di negeri
asalnya di Jepang, Kumon juga menawarkan pelatihan
matematika sampai tingkat menengah hingga mahir. Di
Indonesia, Kumon memang menyasar pasar pembelajar usia
dini dan dasar. Kekuatan Kumon ada pada teknik pengajaran
baca-tulis-hitung yang membuat si anak cepat paham.
Waralaba bisnis ini telah memiliki 800 kelas di seluruh Indonesia
dan lebih dari 130 ribu siswa. Di luar negeri, Kumon juga
memiliki cabang franchise di Amerika Serikat, Korea dan hingga
Asia Tenggara.
Anda yang menyukai perawatan kecantikan pasti tidak
asing lagi dengan merek Royal GardenSpa dan Jelita Mobile
Clinics. Kedua merek ini adalah waralaba kecantikan paling
diminati di Indonesia. Royal Garden Spa telah membuka 56
cabang di seluruh Indonesia dan membuka peluang bisnis
waralaba spa sebesar-besarnya. Dalam situs webnya, Royal
Garden Spa menawarkan kerja sama waralaba dan fasilitas yang
akan didapatkan oleh penerima waralaba. Jadi, bila tetangga
Anda tiba-tiba menjadi pengusaha spa yang langsung terkenal,
Anda sudah bisa menebak bahwa dia mengikuti program
waralaba. Keunikan yang ditawarkan oleh Royal Garden Spa
adalah fasilitas dan paket spa keluaga. Jadi, prinsip waralaba
Royal Garden adalah memberikan pelayanan spa, massage,
perawatan kulit dan perawatan rambut bagi seluruh keluarga.
Tak cukup sampai sana, Royal Garden Spa juga memberi
pelayanan refleksiologi dan produk-produk kecantikan dari
rempah-rempah asli Indonesia. Royal Garden Spa memberi
kisaran harga 200 hingga 400 juta rupiah untuk tiga paket
waralabanya.
Satu lagi yang tidak boleh dilewatkan dalam waralaba di
bidang kesehatan adalah waralaba air minum alkalin. Waralaba
ini sesungguhnya adalah transformasi dari waralaba depot air
minum isi ulang yang marak di tahun 2000-an awal. Dengan
semakin menjamurnya depot air minum isi ulang, yang juga
menimbulkan banyak kasus penipuan hingga kualitas air yang
tidak bagus, datanglah air minum alkalin. Air minum alkalin
adalah air yang disterilisasi dengan cahaya ultraviolet dan
dinaikkan pH-nya hingga menjadi alkali (basa). Tingkat
keasaman air yang normal adalah 6 atau 7, namun air alkali
memiliki tingkat pH hingga 8 hingga 10 sehingga baik bagi
pemeliharaan sel. Waralaba air alkalin yang cukup dikenal
antara lain Milagros dan Kangen Water. Untuk membeli
waralabanya, Anda perlu merogoh uang sekitar 50 juta rupiah.
Saat gereja California jadi waralaba
Kasusnya sudah lumayan lama, namun kini masih ada dan
malah tak berkurang. Nama franchise ini adalah Church Chain
Franchise, yang populer mulai tahun 2000-an awal di California
hingga wilayah-wilayah lain di Amerika Serikat seperti Denver,
Detroit, New York, dan Chicago.
Istilah lain untuk franchise ini adalah multisite church,
dikelola oleh Community Christian dan Willow Creek
Community Church. Gereja-gereja yang mengikuti tren
waralaba ini menyulap tampilannya menjadi apa yang
distandardisasikan oleh multisite church, mengambil tata cara
operasional gereja, termasuk gaya gereja, gaya musik dan
bagaimana lagu-lagu rohani dimainkan. Saat ini, multisite
church memiliki cabang lebih dari seribu gereja di Amerika
Serikat dan memiliki keuntungan yang besar. Berkat waralaba
ini, gereja-gereja yang bergabung bisa mengadakan konser-
konser religi besar, membuat bioskop spiritual dan melakukan
berbagai aktivitas amal. Tak hanya itu, multisite church ini
tentunya memberikan hidup yang layak bagi para pewaralaba
dan terwaralabanya.
Agaknya kajian yang lebih mendalam dari kacamata ilmu
agama perlu dilakukan lagi mengenai hal ini. Dari perspektif
ekonomi, waralaba adalah sebuah manifestasi dari prinsip
mencari keuntungan finansial. Apakah pantas jika keyakinan
seseorang dijadikan ladang untuk mencari keuntungan, bukan
hak ilmu ekonomi untuk menjawab hal itu.
Komersialisme Spiritual di India
Tak bisa dimungkiri bahwa India ibarat gudang play store
bagi waralaba berbasis spiritual. Di sepanjang tempat-tempat
suci seperti Kasi, Ramasetu dan Vrindavana, banyak sekali
organisasi spiritual yang menawarkan waralaba. Dengan
berbasis ajaran agama, mereka menggabungkan ajaran spiritual
dan pedagogi, spiritual dan kuliner, atau spiritual dan
kesetaraan gender33. UNDP mencatat bahwa India adalah salah
satu negara Asia dengan kesetaraan gender paling rendah,
sehingga sangat besar komparasi para pekerja laki-laki dan
wanita di negara itu. Beberapa organisasi waralaba menjanjikan
kesetaraan gender, terutama menyangkut pendidikan dan
pelatihan. Isu ini menarik banyak minat perempuan India untuk
melanjutkan sekolah. Dampaknya lumayan positif bagi
kesejahteraan dan pembangunan sumber daya manusia.
Beberapa institusi waralaba di India adalah Sri Sri Ravi Shankar
Bal Mandir, yang menyediakan pendidikan reguler dan spiritual
(sejenis pesantren atau pasraman) bagi anak-anak. Lain lagi
dengan maharishi Vidya Mandir yang mengutamakan
kesetaraan gender berbasis ajaran spiritual.
Ada yang nyata baik, ada juga yang nyata berkedok. Yang
jadi masalah dalam jagat spiritual India adalah munculnya
waralaba professional reciters dan professional preachers. Para
professional reciters dibayar untuk melantunkan lagu-lagu
rohani dan mantra-mantra dalam setiap upacara. Mereka bisa
berasal dari mana saja, dan mendapat pelatihan di sebuah
lembaga waralaba khusus. Dengan berbekal branding waralaba
spiritual terkenal, mereka tampil di mana-mana dengan alunan
musik yang merdu dan mantra-mantra yang syahdu.
Professional preachers adalah para pengkotbah agama yang
bernaung dalam waralaba. Sifatnya memang tidak terbuka,
namun mereka memang terstruktur secara rapi. Para calon
professional preachers mendapat pelatihan SOP dan
mendapat hak merek sebuah organisasi spiritual. Kemudian,
sesudah menghapalkan banyak ayat, mereka terjun dan menjadi
penceramah yang dibayar.
Sekelumit kisah waralaba aneh tapi nyata dari beberapa
pelosok dunia ini mungkin bisa membuka mata kita
bahwa kapitalisme telah masuk dalam hampir setiap lini
kehidupan manusia. Motif manusia untuk mencari keuntungan
belakangan telah merambah hal-hal yang semestinya
diagungkan, disakralkan dan dihormati sebagai sesuatu yang
mulia dan suci. Beberapa-kasus waralaba yang tak lazim ini
memang memiliki dampak positif bagi perbaikan kesejahteraan
banyak orang, terutama yang terkait dengan sekolah atau
pelayanan publik. Akan tetapi, banyak juga yang berbuat nista
dengan memakai prinsip waralaba. Meskipun waralaba
selalu berorientasi pada keuntungan, ia bagaikan pisau yang
bisa dipakai untuk memotong bahan makanan atau untuk
melukai tangan,—tergantung ke mana manusia mengarahkan
keuntungan finansialnya.
pembahasan mengenai literasi berarti mengupas tentang
segala sesuatu yang membuat orang menjadi lebih tahu,
lebih kritis, tidak mudah termakan isu, dan yang paling
penting adalah lebih terbuka terhadap segala kemungkinan dan
peluang1. Literasi secara umum berarti kemampuan seseorang
untuk memahami bacaan, menulis, mengkalkulasi dan meme-
cahkan masalah dalam tingkat keahlian tertentu. Yang menjadi
fokus dalam literasi lagi-lagi adalah bagaimana seseorang bisa
menemukan solusi yang terbaik atas suatu masalah. Literasi
dalam pengertian yang lebih luas tidak hanya berarti mengha-
biskan waktu membaca buku dan menulis, tetapi terlebih
kepada membentuk sebuah pola pikir rasional yang sistematis,
memformulasikan solusi, mensintesis ide dari berbagai sudut
pandang, dan pemikiran multifaset2.
Dari waktu ke watu, kompleksitas dan kuadran literasi pun
berubah-ubah. Dalam kaitannya dengan ranah perekonomian,
literasi memiliki tujuan-tujuan yang juga berevolusi. Di masa
terdahulu, yang mari kita sebut sebagai masa generasi X,—
penguasaaan literasi sebagian besar bertujuan untuk peman-
faatan sumber daya. Kala itu, yang menjadi paradigma ekonomi
resource-based economy, saat orang berlomba-lomba mengeks-
plorasi sumber daya alam maupun manusia sebagai aset ter-
penting dalam perekonomian. Yang terjadi sekarang adalah hal
yang berbeda. Dengan munculnya platform digital, aset bukan
lagi berpusat pada sumber daya, melainkan bagaimana sumber-
sumber itu terkoneksikan. Semakin luas dan ramai konektivitas,
maka sumber daya yang dimanfaatkan semakin besar. Karena
itu, knowledge-based economy ‗ekonomi berbasis pengetahuan‘
menjadi paradigma baru di era ini3. Barangsiapa menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi, dia memiliki kemampuan
mengkoneksi berbagai sumber daya.
Gambar 3.1 | Sang Pisang Kaesang, mengkombinasikan cemilan pisang
goreng, manisnya topping, cita rasa gorengan, serta kompatibilitas ukuran
yang pas untuk cemilan keluarga. Dari bahan-bahan yang simpel, kolaborasi
telah menciptakan nilai yang baru dan profit yang berlipat.
Pablo Picasso, seorang pelukis Italia, dahulu sekali pernah
menulis bahwa sebagai seorang pelukis, kreativitas bukan
tentang menciptakan warna-warna yang baru. Kreativitas adalah
tentang bagaimana orang mencampurkan warna-warna yang
lama menjadi sesuatu yang baru dan bernilai lebih tinggi.
warga milenial sangat menyukai kebaharuan, updates, dan
kreativitas yang tanpa henti. Kebaharuan adalah aset bagi
generasi milenial. Di era ini, intensifikasi maksimum dari satu
atau beberapa jenis sumber daya lebih bernilai sebab isu
penipisan sumber daya mulai disadari oleh banyak pihak.
Semakin sumber-sumber daya digabungkan, dikolaborasikan,
atau dikreasikan, maka nilainya akan berlipat-lipat lebih tinggi
daripada hanya eksploitasi belaka.
Di sinilah ilmu pengetahuan dan teknologi diperlukan. Di
masa lalu, kakek Anda membeli pisang dari petani dengan
harga Rp 500 per biji, dan dijualnya dengan harga Rp 1.000.
Keuntungan yang diperoleh dari menjual barang yang tidak
diolah tentunya kecil. Kemudian, tatkala industri manufaktur
berkembang di era 80-90-an, ayah Anda mengolah pisang itu
menjadi keripik pisang. Satu biji pisang bisa menghasilkan satu
bungkus keripik yang dijual dengan harga Rp 5.000. Keun-
tungannya berlipat karena proses produksi yang lebih kreatif. Di
masa kini, yang menjadi fokus bukan lagi tentang menjual
pisang, namun membuat sesuatu yang berbeda dari pisang
yang sama. Dengan penguasaaan iptek, Anda berhasil membuat
selai pisang yang digabung dengan roti sandwich milik
Starbucks. Bahkan, dengan teknologi informasi, Anda bisa
bertemu dengan pengepul kulit pisang yang bisa dijadikan
pakan ternak. Anda bisa berkolaborasi dengan lebih banyak
resto, kafe, hotel atau gerai di mana Anda bisa memasarkan
produk Anda dengan kekuatan merek mereka. Terlebih lagi jika
Anda bisa berkolaborasi dengan perusahaan kosmetik yang bisa
membuat krim pelembab wajah dari ekstrak pisang yang kaya
asam folat dan kalium. Nilai jual sebutir pisang itu bisa berlipat-
lipat kali lebih tinggi. Belum lagi jika Anda berhasil membuat Ria
Ricis atau Deddy Corbuzier mencicipi pisang produksi Anda.
Pasti nilai jual pisang Anda jauh lebih tinggi.
Inilah kekuatan dari knowledge-based economy. Penguasa-
aan teknologi dan ilmu pengetahuan menjadi kunci pokok
perkembangan ekonomi di era ini. Setiap negara kini berlomba
menguasai iptek dengan menganggarkan dana besar bagi
penelitian dan pengembangan teknologi. Di tingkat ASEAN,
Singapura mengalokasikan 2,1% anggaran untuk pengem-
bangan riset, dan Malaysia memberi 1% dari GDP. Thailand
berada di urutan ketiga, yakni 0,25%, sementara Indonesia
hanya 0,09% dari GDP4. Jumlah ini tentu sangat kecil dengan
rasio penduduk yang begitu besar.
Pada tahun 2017 silam, PISA (Programme for International
Student Assessment) merilis data tentang penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi di sekian negara yang disurvei.
Serangkaian data yang unik ditemukan di Indonesia. Menurut
survei itu, angka pengguna internet aktif di Indonesia adalah
salah satu yang paling tinggi di Asia, berbalapan dengan
Tiongkok dan India. Jumlahnya mencapai hampir seratus juta
pengguna,—separuh dari jumlah populasi. Yang lebih hebat lagi
adalah, separuh jumlah penduduk Indonesia adalah penduduk
usia produktif dan anak-anak muda. Jadi, menurut survei PISA,
Indonesia punya potensi besar untuk menguasai perekonomian
regional maupun global dengan kekuatan demografi usia
produktif sebanyak itu.
Yang disayangkan adalah, ternyata tingkat penguasaaan
teknologi di Indonesia sangat minim. PISA mendefinisikan
penguasaaan teknologi lebih sebagai kemampuan untuk meng-
kreasi, mengkolaborasi, dan mereka-cipta dengan memanfaat-
kan teknologi, bukan semata-mata memakai teknologi.
Kalau dilihat dari pemakaian teknologi, bahkan balita-balita
Indonesia sudah bisa selfi sendiri dan memutar konten YouTube
tanpa diajari. Namun dari penguasaan teknologi, generasi
Indonesia masih di ranking bawah. Generasi Indonesia masih
‗dikuasai‘ teknologi, bukan menguasai teknologi.
Menguasai teknologi secara umum berarti kemampuan
seseorang dalam memakai teknologi untuk memecahkan
suatu persoalan. Dalam ruang lingkup yang lebih khusus,
penguasaan teknologi berarti kemampuan seseorang untuk
meningkatkan nilai produksi dengan memanfaatkan teknologi,
Kenyataannya, kemampuan ini belum dimiliki generasi muda
Indonesia. Masih sedikit sekali anak muda Indonesia yang
memanfaatkan teknologi untuk memajukan kesejahteraan,
meningkatkan pengetahuan, mencerahkan warga , mening-
katkan nilai sumber daya, menciptakan sesuatu yang bernilai
kebaharuan, atau membantu warga untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Thailand menguasai teknologi pertanian,
dan kini Vietnam mengejar dengan begitu cepat. Amerika
Serikat menguasai teknologi informasi, dan Jepang menguasai
teknologi robotik dan kecerdasan buatan. Di sisi lain, Korea dan
Tiongkok menjadi raja teknologi ponsel. Sementara itu,
Indonesia masih belum menguasai bidang teknologi spesifik
yang menonjol. Padahal, Indonesia punya segudang sumber
daya, baik otak maupun bahan. Yang diperlukan oleh Indonesia
kini adalah belajar lebih giat, mengembangkan literasi tak hanya
dari sisi baca tulis, namun juga digital, finansial dan humanisme.
Untuk menemukan solusi terbaik, orang perlu memahami
informasi, mengidentifikasi masalah, merumuskan beberapa
alternatif, melakukan uji coba, dan mengambil kesimpulan.
Semua langkah itu adalah bagian-bagian yang lebih rinci dari
literasi, walaupun kelihatannya literasi hanya terkait dengan
baca, tulis dan berhitung saja6. Setiap orang pada dasarnya
melakukan langkah-langkah itu dari yang paling sederhana
hingga yang paling kompleks. Masalahnya ada pada seberapa
efektif solusi yang bisa ditawarkan dan seberapa luas jaringan
yang bisa dijangkau. Semua itu dimungkinkan dengan literasi
digital. Dengan berkembangnya komputer, internet, perangkat
mobile, dan platform, warga dunia dituntut untuk mema-
hami seluk beluk dunia maya dan bagaimana mengoperasikan
teknologi secara efektif dan efisien demi mencapai tujuan yang
diharapkan.
Dalam bab ini, hal kunci utama yang akan dibahas adalah
bagaimana waralaba terkait dengan literasi digital. Kita akan
mencoba melihat sinergi-sinergi waralaba sebagai kekuatan
utama ekonomi kapitalis dan teknologi sebagai media eks-
pansinya dengan penghematan biaya yang luar biasa besar.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Daniels7, waralaba di era
digital mementingkan keluwesan mobilitas karena waralaba
milenial adalah ‗warung yang mengejar keramaian, sementara
keramaian mengejar esteem8‘. Karena itu, walaupun literasi
digital penting, tatkala seorang penjual benar-benar bertemu
dengan pelanggan, literasi humanisme mengambil alih. Jadi,
antara literasi data, teknologi dan humanisme mesti berjalan
beriringan.
Yang menarik juga dari bab ini adalah mengenai tendensi-
tendensi yang ada pada waralaba, atau perubahan idealisme
nonprofit yang tiba-tiba menjadi seperti waralaba atau benar-
benar berujung pada prinsip-prinsip waralaba. Berkat teknologi
dan akses informasi yang cepat, struktur-struktur waralaba
menjadi semakin luwes dari yang pada awalnya berupa brick
and stone menjadi kumpulan data yang bisa terkoneksi ke mana
saja nyaris tanpa sekat.
Banyak kegiatan dalam ranah sosial, budaya, hiburan,
bahkan spiritualitas yang kini mengambil beberapa konsep
waralaba untuk memudahkan ekspansi dan manajemen. Ini bisa
memberikan kita sedikit gambaran bahwa faktor ekonomi
adalah penggerak utama sektor-sektor lainnya. Sangat sulit kita
temukan di masa kini sebuah usaha yang tidak memiliki back up
ekonomi, walaupun usaha itu berlabel nonprofit sekalipun.
Di Inggris sendiri, tren waralaba masa kini adalah mobile
franchise dengan berusat pada pelayanan home-based,
terutama dalam bidang panganan dan kopi. Mobile franchise
membutu