hkan lebih sedikit modal daripada membuka gerai,
dan merambah lebih banyak pelanggan dari segi demografi. Di
Inggris, dikenal ada pop-up stores yang memakai mobil
(mirip lapak sementara). Tujuan mereka adalah mengikuti di
mana ada keramaian.
Tantangan franchise dengan gerai (brick and mortar franch-
ises) adalah pergantian tren yang begitu cepat dan pelayanan
dengan akses demografi bermobilitas tinggi. Tren kedua
melibatkan pelayanan profesional, seperti dokter gigi, dokter
hewan, pelayanan hukum. Mereka membentuk sistem waralaba
dengan mengandalkan kekuatan otak.
Tren lain ada dalam usaha kesehatan, seperti fitness center
yang buka 24 jam. Evolusi dari franchise ini adalah personal class
di mana seseorang dilatih secara personal. Orang-orang rela
membayar mahal untuk pelatih pribadi di bawah lisensi merek
tertentu.
Evolusi tren waralaba makanan tampaknya telah bergeser
dari fast food menjadi quality food di mana orang-orang rela
membayar lebih mahal untuk mendapat makanan yang
berkualitas daripada makanan siap saji murah meriah yang lebih
berisiko.
Literasi Teknologi, Humanisme, dan Data
Menurut laporan dari Nielsenwire (2010), di bulan Desem-
ber 2009, warga dunia menghabiskan waktu lebih dari lima
setengah jam di internet setiap hari dengan mengakses media
sosial seperti Facebook dan Twitter9. Sepuluh tahun sesudah
laporan itu dirilis, waktu rata-rata warga dunia di dunia
internet adalah 6 jam 42 menit per hari dalam rentangan usia 16
hingga 64 tahun10. Kirtley (2012) menyatakan bahwa sudah
saatnya literasi teknologi diterapkan pada pendidikan sedini
mungkin. Ia mencontohkan pemakaian Twitter, Facebook dan
media sosial lain untuk membuat kerangka karangan naratif
untuk tugas anak-anak sekolah. Apa yang dilakukan Kirtley
membuahkan hasil signifikan. Daripada mengunggah status
yang tidak penting atau memakai perangkat digital
mereka hanya untuk bermain game daring, anak-anak itu mulai
memakai media sosial, terutama Facebook dan blog, untuk
membuat outline naratif yang lebih bermanfaat.
Gambar 3.3 | Data Center Google di Belanda. Satu data center bisa
menampung jutaan gigabit data. Literasi data memungkinkan kita mengambil
kesimpulan dari jumlah data yang besar dan mengambil langkah antisipasi.
Gaung literasi teknologi, humanisme dan data (yang dike-
nal sebagai literasi baru) di dunia pendidikan tinggi Indonesia
kali pertama dicetuskan dalam Rapat Kerja Kemenristek Dikti
tahun 2018 lalu oleh Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan
(Belmawa)11. Istilah ‗literasi baru‘ ini mencakup literasi teknologi,
data dan sumber daya manusia karena digitalisasi telah menjadi
paradigma baru dalam tatanan kehidupan masa kini. Literasi
lama, yakni mencakup membaca, menulis dan mengarsipkan,
harus ditambah dengan literasi baru.
Literasi data mencakup kemampuan manusia untuk mem-
baca data, menulis data, dan mengelompokkan data (termasuk
mengarsipkan data). Dunia pendidikan tinggi khususnya tidak
bisa lepas dari data. Secara akademik dan keilmuan, data
menentukan bahwa suatu kajian itu fakta atau bukan. Karena
itu, literasi data juga mencakup kemampuan seseorang untuk
memilah yang mana data dan yang mana ―data-data‖ (dalam
bahasa Bali berarti ‗hal-hal yang tidak penting‘). Oleh sebab itu,
literasi data juga mencakup minimal kesadaran terhadap hoaks,
penipuan berbasis teknologi, data skimming dan sebagainya.
Dari sisi literasi teknologi, hal yang mesti dikuasai generasi
masa kini adalah pengembangan ilmu pengetahuan dan tekno-
logi (bukan hanya memakai , namun juga melihat keber-
manfaatan teknologi untuk menghasilkan kreativitas yang lebih
baik), penerapan pilar literasi secara digital, serta kemampuan
untuk memakai teknologi secara bijak, friendly dan tepat
guna. Teknologi ibarat pisau yang sangat tajam, dan teknik
memakai pisau itu adalah literasi teknologi. Sayuran yang
akan kita potong adalah data, dan kita yang memotongnya
adalah human, manusia, yang memiliki cipta, rasa dan karsa.
Kita mesti tahu betul pisau jenis apa yang akan kita gunakan,
sayuran jenis apa yang akan kita olah, dan bagaimana teknik
pemotongannya,—apakah dicincang, dipotong besar, dadu atau
match stick.
Dalam dunia ekonomi, literasi baru juga memiliki andil dan
dampak yang besar. Dalam bagian ini, hubungan antara literasi
baru dengan waralaba dibahas berdasarkan riset-riset dan
kasus-kasus yang tejadi belakangan ini.
Literasi Digital dan Waralaba
Banyak definisi literasi digital yang bisa Anda lihat di
berbagai portal informasi daring. Definisi yang lebih spesifik
juga dinyatakan oleh berbagai ilmuwan dan peneliti dari
berbagai bidang. bila Anda adalah seorang mahasiswa S1,
maka Wikipedia bisa menjadi sumber acuan yang lumayan baik
dan cocok dengan level kualifikasi akademik Anda. Walaupun
mengambil referensi dari Wikipedia bukan hal yang tabu bagi
mahasiswa S2 maupun S3 (asalkan Anda tahu betul bagaimana
proses sitasi yang benar dan Anda bisa memastikan bahwa
artikelnya bukan abal-abal), Anda seharusnya juga mencoba
beranjak ke platform yang lebih bergengsi. Bagi mahasiswa S2,
mengambil bagian dalam Academia.edu sudah lumayan baik,
apalagi jika Anda bisa mendaftar sebagai kontributor paper dan
berbagi pengetahuan dengan banyak orang. Sumber-sumber
yang lebih kredibel ada pada portal jurnal internasional, seperti
Elsevier Scopus dan Sage Journals. Mereka memiliki kronikel
riset yang mumpuni dan terpercaya, dengan standardisasi yang
juga tinggi. Tak heran jika harga per artikel mencapai lima ratus
ribu rupiah atau lebih,—nyaris menandingi harga satu gram
emas antam. Di portal-portal itu, Anda bisa benar-benar
menyelam dalam lautan pengetahuan yang serius dan dalam. Di
sana Anda akan benar-benar menyadari bahwa ilmu penge-
tahuan dan kekayaan intelektual itu sangat mahal harganya.
bila Anda ingin menjadi mahasiswa pembelajar atau
pendidik sejati, Anda seharusnya menyelam di lautan ilmu
pengetahuan ini.
Literasi digital dan waralaba tentu memiliki hubungan yang
erat. Yang satu menjadi lampu dan roda, yang satunya lagi
adalah mesin double injectors yang mengantar Anda pada
tujuan laba instan dengan lebih cepat. Ada banyak hal menarik
terkait warlaba dan literasi digital. Kasus waralaba yang kepo
dan diam-diam melakukan riset terhadap konsumen dan calon
franchisee lewat website, misalnya, ditemukan oleh Pénard dan
Perrigot di Perancis12. Mereka meneliti 130 situs web franchisor
di Perancis mulai tahun 2011 dan menemukan dua fungsi dasar
dari situs web franchisor, yakni online search dan fungsi
pembelian online. Dengan kedua fungsi ini, para franchisor bisa
menggali informasi dari pelanggan dan di waktu yang sama
menyediakan semakin banyak informasi dan kemudahan bagi
konsumen. Semakin besar ekspansi suatu franchise, maka
semakin beragam pula web tools dan fungsi web yang
ditawarkan. Jadi, baik franchisor, franchisee dan konsumen bisa
sama-sama kepo dan saling melengkapi satu sama lain.
Yang menarik dari temuan Pénard dan Perrigot adalah
adanya waralaba incumbent (pemain lama) yang masih enggan
untuk bertransformasi dan berkiprah di dunia maya. Mereka
menyimpulkan bahwa usia waralaba berpengaruh negatif pada
keinginan pengusaha untuk masuk dalam ranah digital. Temuan
terakhir mereka adalah bahwa waralaba ritel lebih memilih fitur
pembelian online daripada waralaba industri, membuktikan
pelanggan atau konsumen usaha ritel lebih beragam dan ‗lebih
rewel‘ daripada waralaba industri.
Rupa-rupanya, literasi digital belum mendapat perhatian
khusus, terutama bagi para peneliti dalam bidang ekonomi. Tak
hanya di Indonesia, gap juga terjadi di kancah penelitian
internasional. Tentang bagaimana digitalisasi berpengaruh pada
konsumen, waralaba dan sistem waralaba agaknya bisa menjadi
celah riset yang amat signifikan mulai tahun 2004 hingga kini13.
Fokus yang masih bisa dikaji adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi pemberi waralaba maupun penerima waralaba
untuk beranjak ke platform e-commerce. Kremez dan Thaichon
sendiri menemukan bahwa sebagian besar waralaba di Australia
memilih pindah platform ke ranah digital karena dapat
mengurangi beban kerja karena konsumen bisa berbelanja
swalayan melalui fitur online. Alasan kuat lain adalah karena
platform daring menyediakan ruang gratis dan dapat menjang-
kau siapa saja yang memiliki koneksi internet. Yang paling
diidam-idamkan adalah bahwa dengan adanya e-commerce,
pengusaha waralaba bisa ‗menghasilkan uang ketika tidur‘. Jadi,
platform e-commerce berfungsi sebagai alat marketing tambah-
an yang powerful dan memungkinkan produsen atau penerima
waralaba meriset keperluan konsumen dengan lebih personal.
Beranjak ke ranah digital bukan hal yang mudah ternyata,
bahkan di negara maju sekelas Australia. Para penguasa
incumbent yang enggan beranjak ke ranah e-commerce ternyata
memiliki ketakutan. Para pengusaha ‗golongan tua‘ ini enggan
mengambil risiko karena rasa takut pada medan lapangan e-
commerce yang menurut mereka sangat baru. Selain itu, mereka
juga terkendala penguasaan teknologi, waktu yang akan mereka
pergunakan untuk mengembangkan keahlian dan penguasaan
teknologi, dan tingkat kepercayaan pada pewaralaba.
Memaknai apa yang telah ditemukan oleh Kremez dan
Thaichon, kita sedikit tidaknya menjadi lebih menyadari tentang
betapa pentingnya literasi digital. Faktor-faktor yang membuat
para golongan tua enggan untuk beranjak ke ranah digital
adalah karena adanya ketakutan dan keengganan untuk menco-
ba hal baru dan belajar terus-menerus14. Itulah sebabnya salah
satu kelemahan generasi sebelumnya adalah berpikir bahwa
belajar hanya terjadi di bangku sekolah dan kuliah. Generasi
yang lebih muda, yang dibesarkan oleh teknologi, seharusnya
tidak berpikir lagi bahwa belajar hanya terjadi di dalam kelas.
Mahasiswa apalagi. Mahasiswa milenial seharusnya bisa belajar
di mana saja, dan dosen milenial seharusnya bisa mengakses
ilmu pengetahuan dari mana saja.
Siapa pun kini bisa belajar apa pun dan di mana pun,
namun literasi digital lebih dari sekadar hal itu. Literasi digital
lebih kepada sebuah kebermanfaatan teknologi dan digitalisasi
bagi akses kebutuhan hidup dengan lebih efisien. Dengan
demikian, keterbukaan wawasan kita pada perubahan teknologi
dan kemauan kita untuk terus belajar sepanjang hayat akan
mengatasi segala ketakutan atas tantangan yang menanti di
masa depan.
Literasi Teknologi, Waralaba dan Kekuatan Followers
Saat ini teknologi memungkinkan seseorang melakukan
prinsip-prinsip waralaba terhadap orang lain dalam berbagai
jenis usaha. Jadi, dalam dunia maya, waralaba sebenarnya tidak
hanya sebatas toko ritel, toko pakaian atau gerai makanan.
Dalam media sosial, Anda bisa berkomunikasi dengan sebuah
perusahaan bagaikan berkomunikasi dengan seseorang. Berkat
teknologi real-time data, banyak perusahaan kini menyediakan
layanan chat 24 jam, sehingga Anda selalu bisa bertanya hal apa
pun kapan saja.
Anehnya, yang memberlakukan sistem chat ini biasanya
adalah perusahaan swasta atau startup yang berdiri di tahun
2000-an. Anda bisa coba belanja di toko-toko daring dan
mencoba fitur chat langsung dengan pedagangnya. Ini tentu
saja menghemat waktu dan biaya. Kalau dulu, Anda harus me-
nelepon dan membayar begitu banyak pulsa interlokal, namun
kini, Anda bahkan bisa berhubungan langsung via WhatsApp
dengan pedagang arca-arca marmer eksotis di India.
Dalam kancah perwaralabaan, adanya akses digital mem-
buat sistem waralaba menjadi sangat mudah diterapkan di
dunia maya.Anda mungkin sadar atau tidak sadar telah meng-
gunakan prinsip-prinsip waralaba jika memiliki sebuah website,
apalagi jika Anda memakai platform pembangun web
semisal Wordpress, Joomla atau paling tidak Blogspot.
Mari kita lihat sebuah fakta. Di seluruh dunia, 74,6 juta
website memakai platform Wordpress. Buat Anda yang
belum paham, Wordpress menyediakan sebuah platform di
mana Anda bisa membangun website, baik untuk perusahaan,
pribadi, maupun organisasi, yang bisa dikelola dengan sangat
cepat dan mudah.Begitu Anda memiliki hosting, Anda bisa
menginstal platform Wordpress dan memasang template sesuka
hati Anda. Jadi, dengan bantuan Wordpress, Anda bisa mem-
bangun sebuah website tanpa repot-belajar koding html.
Wordpress menyediakan template website yang gratis dan
berbayar (premium). Harga premiumnya berkisar antara 20
dolar hingga 60 dolar Amerika Serikat per instalasi. Sekali Anda
membeli dan mengunduh template itu (bisa lewat PayPal atau
kartu kredit), Anda hanya bisa memasangnya di satu situs web.
Dalam template itu ada standardisasi yang dikeluarkan oleh
Wordpress, walaupun dalam template premium Anda bisa
mendesain hampir sesuka hati. Standardisasi ini terkait
pemakaian koding standar Wordpress, plug-ins yang wajib
diinstal, dan file koding khas Wordpress yang harus ada di
dalam file hosting. Dengan kata lain, jika Anda membuta kode
.html untuk website Anda, Anda masih menemukan ‗jejak-jejak
Wordpress yang tak bisa dihapus‘. Dengan kata lain, Anda
sesungguhnya telah membeli beberapa persen dari lisensi
Wordpress untuk situs Anda. Jadi, Anda sebenarnya telah
membeli sebuah waralaba platform website, meski Anda
menganggapnya sebagai sebuah pembelian biasa, seperti
membeli sepasang sepatu.
Ini adalah hal yang lumrah. Bahkan situs web sekelas
Washington Post pun masih memakai platform Wordpress,
membeli koding standar Wordpress, dan mengubahnya dalam
rentang tertentu. Ini mirip seperti waralaba konversi Indomaret
dan Alfamart yang kini bisa diganti-ganti menjadi nama toko
sesuai keinginan si penerima waralaba. Jadi, Anda bisa
mengganti nama waralaba Indomaret Anda dengan ―Andi Mart‖
atau ―Sule Mart‖ namun begitu orang masuk, dia akan disambut
pegawai berseragam Indomaret.
Dengan sistem ini, Wordpress melesat menjadi platform
web dengan ratusan juta pengunjung setiap bulan. Padahal,
jumlah pekerjanya hanya dua ratusan orang. Di sisi lain, Amazon
mempekerjakan 80 ribu orang di seluruh dunia namun tidak
memiliki visitor sebanyak Wordpress. Menurut data Technorati15
tahun 2018, dari seratus blog terbaik di dunia, 48 blog
memakai platform Wordpress. Namun kini Anda tahu
bahwa setiap kali Anda membeli template Wordpress versi
premium atau mengunduh versi gratisnya (yang fiturnya sangat
minim dibandingkan versi premium), Anda kurang lebih telah
melakukan sebuah perjanjian waralaba dalam dunia maya.
Apa yang dilakukan Wordpress adalah sebuah contoh
waralaba dengan royalti skala kecil namun berkekuatan pasar
yang besar. bila kita membahas teknologi digital di abad ini,
maka kita berbicara tentang jumlah pengikut (followers), bukan
semata-mata keuntungan besar yang didapatkan. Jumlah foll-
owers menentukan tingkat keuntungan. Di era sebelum tekno-
logi digital melesat, orang mungkin bertanya kepada Anda
berapa jumlah penghasilan Anda, jumlah motor atau besar
rumah, namun di era ini, orang akan bertanya berapa jumlah
followers media sosial Anda. Karena itu, di era teknologi,
followers telah bertransformasi menjadi aset penting dalam
suatu usaha.
Literasi Data mendukung Waralaba
Literasi data menjadi bagian integral dari bisnis di era
perkembangan teknologi. Saat ini, dunia usaha bergantung
pada data dalam berbagai aspek perusahaan, utamanya dalam
menentukan kebijakan. Sinkronisasi semua data ini memun-
culkan suatu paradigma baru yang disebut sebagai business
intelligence, kecerdasan bisnis16. Data yang terkumpul dalam Big
Data akan menentukan jumlah barang atau jasa yang ditawar-
kan, kebijakan promosi, target pasar dan jangka waktu pen-
jualan. Semua data itu, ajaibnya, bisa diakses hanya dengan
sekali klik.
Contoh platform analisis big data yang paling populer
adalah Google Analytics yang menyajikan data yang kompleks
dan simpang siur, didapatkan dari ribuan klik per detik yang
dilakukan oleh pengguna internet dari seluruh dunia.
Mortier, et. al17 menulis bahwa literasi data mencakup cara-
cara mengeksplorasi isu-isu transparansi data, bagaimana suatu
data diambil dan dianalisis, dan bagaimana meningkatkan akses
pada data sehingga seseorang dapat mengambil makna dan
nilai dari data yang tersaji. Literasi data yang tinggi dibutuhkan,
bahkan sejak usia dini, sebab teknologi di zaman ini tidak hanya
terbatas pada kalangan usia tertentu saja. Bayangkan.Kebijakan
politik, laporan media, survei, kalkulasi suara hingga menu ma-
kanan favorit diputuskan melalui analisis data.Karena itu, literasi
data sangat diperlukan di era milenial ini sehingga semua orang
bisa mendapat akses secara kritis terhadap akurasi dari se-
buah informasi sebelum ia bisa memutuskan bahwa itu benar-
benar sebuah fakta.
Satu hal penting lain tentang mengapa literasi data mesti
dijadikan sebuah top-list skills dalam rencana belajar Anda
adalah karena warga kian hari kian bergantung pada
teknologi yang dikendalikan data (data-driven technology), yang
kita kenal dengan istilah teknologi pintar (smart technology).
Mulai dari ponsel pintar, kini segala hal ketularan pintar.Ada
listrik pintar, TV pintar hingga burger pintardan segala mesin
pintar lainnya yang membuat hidup manusia lebih efisien.
Literasi Humanisme dalam Social franchise
Di antara semua jenis literasi, literasi sumber daya manusia
menjadi faktor paling menentukan sukses atau tidaknya manu-
sia itu sendiri. Literasi sumber daya manusia terpusat pada
pengetahuan tentang diri sendiri, menggali potensi diri sendiri
dan memakai segala pengetahuan, kemampuan dan kete-
rampilan yang dimiliki untuk mentransformasi proses belajar
dan kehidupan18.
Literasi humanisme atau literasi sumber daya manusia
menjadi dasar penerapan long-life learning ‗belajar sepanjang
hayat‘. Dengan literasi humanisme, seseorang mengetahui bah-
wa ia harus berubah sesuai dengan perubahan zaman. Padahal,
konsep ini sudah termuat dalam naskah-naskah tradisional Bali
dan Jawa sebagai bhuwana agung dan buwana alit, alam sekitar
dan diri sendiri. bila alam sekitar berubah, maka diri sendiri
mesti berubah. Long-life learning memungkinkan setiap orang
untuk terhindar dari keengganan untuk menerima perubahan
bahkan saat penghujung usia pun. Literasi humanisme me-
mungkinkan warga negara senior untuk tetap produktif dengan
memanfaatkan sumber daya digital yang semakin canggih.
Tidak menutup kemungkinan Anda bercita-cita menjadi seorang
youtuber sesudah pensiun nanti, dengan konten-konten menarik
tentang jalan-jalan di pegunungan dan pantai yang tenang dan
alami. Atau, Anda lebih tertarik menulis banyak buku tentang
kehidupan dan lika-likunya, lalu menjualnya secara daring.
Semua itu membutuhkan sinergi antara literasi teknologi, data
dan humanisme.
Tampaknya, tujuan-tujuan itu lebih kepada tujuan literasi
humanisme yang mengarah ke dalam. Di sisi lain, yang
mengarah ke luar, literasi humanisme juga terkait dengan being
social, menjadi sosial. Elemen lain yang membentuk literasi
humanisme adalah kemampuan manusia untuk saling mema-
hami satu dengan lainnya. Layaknya sebuah sistem komputer
yang mampu memahami komputer lain dengan cara bertukar
informasi, maka manusia sebagai pencipta komputer hendaknya
mampu saling memahami satu dengan lainnya melalui komu-
nikasi, kolaborasi, dan toleransi. Kemampuan manusia untuk
mengutarakan apa yang menjadi maksudnya dan membuat
orang lain memahami maksudnya dengan seutuhnya adalah
tujuan akhir dari literasi humanisme yang mengarah ke luar.
Kasus literasi sumber daya manusia di era digital salah satu-
nya ditemukan pada pelayanan e-health di Kanada. Maciejewski
et. al mengkaji kesenjangan digital dan humanisme yang terjadi
di pelayanan waralaba e-health di Kanada. Kasusnya adalah,
telah terjadi kesenjangan dalam pemenuhan layanan kesehatan
di Kanada karena terjadinya shifting pada e-health19. Menurut-
nya, karena adanya banyak inovasi, pergerakan e-health
terkesan lambat. Yang menghambatnya adalah faktor sumber
daya manusia, fragmentasi sistem (sistem yang sinerginya sudah
tidak baik), data yang tidak sinkron dan kapasitas data yang
terbatas, pemutakhiran teknologi yang lambat, budaya pekerja
layanan kesehatan yang tidak mau ambil risiko, dan fokus yang
kurang pada inovasi.
Untuk mempercepat perubahan, pemerintah membuat pro-
gram social franchising.Teorinya adalah, ada suatu perusahaan
model yang dikembangkan dan diekspansi dalam konteks lokal
yang mengkombinasikan implikasi sosial dan ketangguhan
keuangan. Akselerator franchise sosial ini kali pertama dilakukan
di Afrika tahun 2014 dalam bidang pelayanan kesehatan. Di
Kanada, social franchise ini berkembang dalam ranah pendi-
dikan, pengembangan daerah terpencil, sanitasi, air bersih,
perumahan dan perdamaian.
Permasalahan yang paling berat dari semua pekerjaan
sosial ini adalah pengintegrasian sistem. Sistem yang tidak
sinkron dan tidak terintegrasi akan menciptakan fragmentasi
yang menghambat pemberian layanan, pertukaran informasi
dan manajemen. Fragmentasi sistem ini rupanya bisa diperbaiki
dengan cara waralaba. Selain hemat biaya, kepatuhan pada
standar yang telah ditentukan juga lebih terjamin.
Social franchise yang tengah berkembang saat ini adalah
waralaba kesehatan. Anda yang mengenal produk-produk
Andalan, yang didirikan pada tahun 2001, mungkin baru me-
ngetahui bahwa ia adalah entitas waralaba sosial dalam bidang
keluarga berencana, kesehatan reproduksi dan kesehatan ibu
dan anak. Andalan adalah pihak penerima waralaba dari DKT
International yang bergerak dalam penangguangan HIV/AIDS
dan masalah kesehatan reproduksi yang bebasis di Amerika
Serikat.
Dalam social franchise, pihak penerima waralaba lazim
disebut para donor. Baru-baru ini, ada organisasi sosial Bali
Green yang diprakarsai oleh sekelompok anak-anak muda di
Bali. Yang mengherankan adalah, mereka semua warga negara
asing yang mencintai lingkungan Bali. Misi mereka adalah
membersihkan Bali dari sampah platik. Pihak yang ingin ikut
serta boleh memakai label mereka dengan standar opera-
sional yang telah ditentukan, mulai dari mekanisme pemungut-
an sampah, packing sampah hingga pengolahan lebih lanjut.
Dari ranah budaya dan humaniora, ada waralaba sosial
CERITA (Community Empowerment in Raising Inclusivity and
Trust through Technology Application). Program berbasis
waralaba sosial ini didirikan tahun 2017 oleh the Habibie Center.
Tujuan dari program CERITA adalah untuk menangkal pengaruh
radikalisme dan intoleransi di Indonesia yang banyak disebab-
kan oleh misinformasi atau kurangnya saling pemahaman
antara satu kelompok warga dengan yang lainnya. Jadi,
program CERITA mengajak anak-anak muda Indonesia dari
agama, suku, budaya, etnis dan kelompok mana pun untuk
berbagai cerita-cerita unik sebagai referensi berharga bagi
kemajemukan bangsa.
Program CERITA telah melahirkan duta cerita di beberapa
kota besar di Indonesia, temasuk Bali di tahun 2019. Duta
CERITA ini bertugas sebagai ambassador yang mengajak sema-
kin banyak anak-anak muda Indonesia untuk berbagi cerita
tentang keunikan diri dan warga mereka, pengalaman
mereka dalam ranah radikalisme dan intoleransi, dan bagai-
mana mereka menghadapi hal ini dan mencari solusi
bersama.
Program CERITA memakai sistem waralaba untuk
melakukan program replikasi, yakni program-program sharing
session dan short talks yang mengundang banyak kalangan
muda untuk berbagi cerita tentang keanekaragaman Indonesia.
Dalam program replikasi ini, the Habibie Center menetapkan
kriteria dan standar operasional yang mesti diikuti dan ditaati
demi terselenggaranya program replikasi dengan lancar.
Sejak diselenggarakan mulai 2017 silam, program CERITA
telah menghasikan ribuan cerita dari berbagai daerah di
Indonesia melalui program duta cerita maupun aplikasi daring
mereka. Program CERITA adalah salah satu program nonprofit
berbasis sistem waralaba sosial yang sukses menyatukan
generasi muda Indonesia dalam nuansa kebhinekaan yang sarat
perbedaan dalam persatuan.
Literasi Finansial
Meski menteri riset, teknologi dan pendidikan tinggi
menyebutkan tiga jenis literasi digital yang mesti dimiliki di era
digital, orang tidak boleh lupa pada literasi finansial. Hampir
segala hal dalam interaksi manusia di era milenial ini membu-
tuhkan kekuatan finansial, dan wawasan tentang potensi,
implikasi serta manajemen finansial ini menjadilife skill yang
esensial karena manusia milenial sebagai konsumen harus bisa
membedakan produk, jasa serta penyedia produk keuangan
dalam ruang lingkup yang sangat luas20.
Literasi finansial secara harfiah berarti seperangkat penge-
tahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang untuk
melindungi dirinya dari segi keuangan dan bertindak aktif
dalam pasar produk dan jasa keuangan21. Warga yang melek
secara finansial mengetahuai dnegan baik tentang isu keuangan
dan harga, serta dapat mengatur keuangan pribadi dan
keluarganya dengan bertanggung jawab. Menurut Tomáškova
dan kawan-kawan penelitinya, literasi keuangan harus diajarkan
di sekolah-sekolah.
Kenyataannya, masih banyak generasi milenial belum
memiliki pengetahuan tentang investasi keuangan. Generasi
milenial secara umum,—katakanlah yang kini duduk di SMA
atau kuliah—barangkali hanya mengetahui tentang tabungan di
bank. Sangat sedikit yang menyadari perbedaan antara investasi
dan tabungan, atau antara reksadana dan saham. Beberapa
orang mungkin beranggapan bahwa pengetahuan semacam itu
terlalu dini untuk anak-anak, tetapi wawasan keuangan bukan
sesuatu hal yang tabu. Kita tidak bisa mengharapkan anak SMA
masih berpikir bahwa uang bisa keluar begitu saja lewat mesin
ATM tanpa simpanan, bukan?
Kesadaran anak-anak muda dalam literasi finansial inilah
yang diteliti oleh Moreno-Herrero dan rekan sejawatnya di
tahun 2017-2018 di kalangan anak-anak muda Spanyol. Yang
menarik dari penelitian yang melibatkan remaja berusia 13
hingga 19 tahun ini adalah bahwa sebelum mereka mengenal
literasi finansial lebih lanjut, keingintahuan mereka tentang
wawasan finansial dipacu pertama-tama oleh keluarga. Remaja
yang diberikan pengetahuan tentang manfaat dan nilai mena-
bung dan mengelola keuangan oleh keluarganya cenderung
memiliki literasi keuangan yang tinggi, bahkan sampai memiliki
tabungan dan produk keuangan lainnya. Dengan demikian,
remaja bisa belajar mengelola keuangannya dengan bijak sejak
usia dini.
Sampai tahun 2017, Tiongkok memiliki tingkat literasi
keuangan tertinggi di dunia, mengalahkan Rusia, Amerika Seri-
kat dan Kanada22. Pemahaman tentang literasi keuangan dari
usia dini menjadi salah satu faktor mengapa Tiongkok memiliki
ketahanan ekonomi yang semakin kuat.
Literasi keuangan di Indonesia adalah sebuah kabar baik.
Riset Otoritas Jasa Keuangan dari tahun 2017 hingga 2019
mengungkap bahwa lebih dari 70 persen warga Indonesia
telah sadar akan pentingnya pengetahuan keuangan. Otoritas
Jasa Keuangan menargetkan jumlah ini melampaui 75% di akhir
201923. Peluang riset dalam bidang literasi keuangan masih
menjanjikan, terutama di dalam negeri sebab ada banyak
research gaps yang teredia buat peneliti untuk mengembangkan
praktik keilmuan terutama yang berhubungan dengan literasi
keuangan di pendidikan formal dan bagaimana metode yang
tepat untuk mengajarkannya.Sementara ini, literasi keuangan
diajarkan sebagai mata pelajaran inklusi, bukan sebagai mata
pelajaran tersendiri. Literasi perpajakan juga diajarkan secara
inklusif di seluruh Indonesia di jenjang pendidikan tinggi.
Big Data dan Platform Digital
Pernahkah Anda mendengar Jupiter? Dalam ranah astronomi,
itu adalah nama planet, tetapi dalam ranah kehidupan sehari-
hari, Jupiter adalah jaringan yang membuat Android Anda
terkoneksi satu sama lain, dan mesin pencari Google Anda bisa
beroperasi dengan begitu cepatnya.
Google merekayasa Jupiter tahun 2005 untuk mengakomo-
dasi jumlah data simpang-siur yang semakin banyak. Kecepatan
jaringan Jupiter ini mencapai 10 GB per detik. Dengan jaringan
Jupiter, Google mampu mentransfer lima film HD Blu-ray dalam
satu detik ke semua server-nya di seluruh dunia.
Sejak tahun 2000, umat manusia mengalami shifting besar-
besaran pada bagaimana data disimpan. Di era sebelum
kemunculan jaringan internet dan integrasi sistem secara digital,
data-data disimpan secara analog. Data pasien, misalnya,
disimpan berupa lembaran-lembaran kertas yang jumlahnya
kian menumpuk setiap hari. Karena permintaan akan data
semakin tinggi, Anda bisa membayangkan bagaimana arsip-
arsip penting itu disimpan dalam bentuk kertas. Jika sebuah
rumah sakit, bank atau sekolah memiliki jumlah data yang
begitu besar, maka menyimpannya dalam modus analog akan
memakan tak hanya waktu yang banyak, namun tempat dan
juga menguras otak.
Berdasarkan riset dari Universitas Southern California tahun
201124, jumlah data di seluruh dunia dari tahun 1986 hingga
2007 mencapai 295 milyar gigabit. Tahun 1986 adalah masa di
mana komputer generasi pertama dipakai dalam penyim-
panan data digital, meskipun jumlahnya belum sebanyak
sekarang. Jumlah data sebesar itu pada tahun 2007 berlipat
ganda setiap tahun mulai saat itu karena perkembangan tekno-
logi komputer dan jaringan internet. Tahun 2011 saja, jumlah
data digital yang tersimpan dalam berbagai media di dunia
mencapai lebih dari 600 milyar gigabit. bila semua data itu
dicetak dalam bentuk buku, maka buku-buku itu bisa menutupi
semua wilayah Tiongkok dengan ketebalan setengah meter.
Bayangkanlah jumlah data sebanyak itu bersimpang siur di
atmosfer setiap hari. bila Anda melihat pemandangan awan
yang indah di pagi hari, sesungguhnya banyak data berseliwer-
an di udara saat itu, dibawa oleh gelombang satelit. Karena
sedemikian banyaknya data yang berseliweran, baik terstruktur
maupun tidak, maka semua data itu dikenal dengan istilah big
data,—si Data Besar.
Big data disimpan dalam banyak data center dan server yang
tersebar di seluruh dunia dan umumnya dimiliki oleh
perusahaan-perusahaan. Google saja, saat ini memiliki 100.000
data center di seluruh dunia. Pemerintah juga memiliki data
center yang dirahasiakan. Dalam data center ini, semua data,—
dari foto-foto selfie Anda sampai data jumlah uang di rekening
pribadi setiap orang, bahkan rancangan senjata nuklir dan kode
rahasia pemerintah disimpan. Jadi, Anda tentu bisa memahami
betapa pentingnya sebuah data. Karena itu, salah satu aset
besar di era milenial ini adalah data. Semakin besar jumlah data
yang Anda peroleh, maka semakin besar aset Anda untuk
menguasai, bahkan mengendalikan informasi,—dengan kata
lain,—mengendalikan dunia.
Shifting yang terjadi dalam cara pengolahan data memun-
culkan berbagai tantangan dan peluang baru, termasuk di dunia
bisnis. Kini, big data dipakai dalam berbagai ranah kehidupan,
dan ekonomi adalah salah satunya25. Beberapa tren belakangan
ini mengenai hubungan antara evolusi waralaba dan big data
mulai marak dikaji dari tahun 2017 lalu, meskipun kajian-kajian
dan penelitian mengenai tendensi yang mengarah kepada
teknologi ini sudah diramalkan dalam riset-riset dari tahun
1990-an. Widman & Bingmann26, misalnyanya, mengungkap
tren bahwa di masa depan akan ada kebutuhan transfer data
yang semakin besar. Balakrishnan27 menekankan tentang bagai-
mana video bisa menjadi komoditi yang menjanjikan di masa
depan. Kemudian, Imperiale28 menyimpulkan bahwa data kese-
hatan berupa real-time data sangat penting sehingga kecepatan
transfer data juga mesti ditingkatkan. Prediksi-prediksi itu kini
telah menjadi kenyataan.
Big Data memiliki enam karakteristik utama, yakni variety,
velocity, veracity, value dan complexity. Dalam dunai bisnis dan
industri, Mohammadpoor dan Torabi meneliti implementasi Big
Data Analyticspada perusahaan ladang minyak dan gas di
Kanada pada tahun 2017-2018. Teknologi Big Data telah dipakai
dalam mengumpulkan dan menganalisis data rekaman sensor
minyak dalam fase eksplorasi, pengeboran, dan operasi
produksi. Data yang paling penting adalah data seismik, dana
lapisan tanah dan sebagainya. sesudah teknologi Big Data
diaplikasikan pada perusahaan minyak di Kanada, terjadi opti-
malisasi kinerja pemompaan, sistem manajemen yang lebih
efisien serta regulasi yang lebih tertata. Meskipun demikian,
kendala yang dihadapi masih berada pada ketersediaan du-
kungan dana dan kesadaran warga dan pebisnis secara
luas tentang manfaat dan kemudahan Big Data29.
Masih di dunia perminyakan, Lean Yu dari Centre for Big Data
Science, Beijing University of Chemical Technology bersama tim
penelitiannya menyatakan bahwa konsumsi minyak dunia
adalah faktor paling penting dalam industri migas sekaligus
yang paling tidak pasti30. Mereka membangun sebuah model
terapan teknologi Big Data dengan memanfaatkan Google
Trendsuntuk memprediksi nilai dan tren konsumsi minyak. Uji
coba model ini membuktikan bahwa Google Trends sebagai
muara penting nan utama dari teknologi Big Data Google
mampu meningkatkan efisiensi kerja dan pengambilan
keputusan dalam industri perminyakan dunia.
Jun et. al31 dari Korea menyatakan hal senada dengan Lean
Yu. Di tahun yang sama, ia dan timnya melakukan review
terhadap 657 artikel ilmiah mengenai pemanfaatan Google
Trends. Yang mengejutkan adalah bahwa Google Trends sebagai
teknologi Big Data yang paling ramah dan dikenal-luas telah
dipakai dalam bidang kesehatan dan ekonomi, termasuk
pula pengobatan dan tentu saja ilmu komunikasi. Yang luar
biasa adalah, dalam dekade terakhir ini (2010-2018), peng-
gunaan Google Trends telah mengalami shifting fokus dari
analisis data tren tingkat dasar dan monitoring ke ranah
forecasting (prakiraan). Dengan Google Trends, banyak pihak
kini bisa ‗meramalkan‘ tren yang akan tiba dalam kurun waktu
tertentu. Jun dan kawan-kawan menyarankan bahwa karena
Google Trends adalah muara Big Data yang gratis namun
sangat powerful, ia bisamenjadi kandidat kuat untuk peluang
riset dari berbagai bidang, mulai dari manajemen, ekonomi
hingga ilmu politik. Bidang kajian riset yang disarankannya
adalah evolusi pemakaian Google Trends dalam ekonomi dan
manajemen, terutama dalam efektivitas pengambilan
keputusan. Saran ini didukung oleh Amado dan para rekan
sejawatnya di Portugal di tahun yang sama32. Ini membuktikan
bahwa Google Trends sebagai reservoir Big Data paling ramah-
pengguna dipakai rata-rata untuk tujuan dan roadmap yang
sama antara Asia dan Eropa.
Lebih lanjut lagi, ada kabar keren dari industri pangan.
Tampaknya apa yang dikaji oleh Wolfert et. al33 bisa menjadi
tonggak kesadaran warga akan pentingnya pengaplikasian
teknologi Big Data dalam berbagai kehidupan manusia. Disebut
smart farming, sistem rantai pangan berbasis digital ini tidak
hanya mengontrol pertanian, namun keseluruhan rantai pangan
mulai dari proses produksi hingga penguraian dan peremajaan
lahan. Dengan teknologi Big Data, petani-petani bisa
berkolaborasi secara lebih mudah dengan platform distributor
dan konsumen. Wolfert dan kawan-kawan penelitinya
meramalkan bahwa rantai suplai pangan berbasis teknologi
informasi akan memungkinkan kerja sama dan shift peran
antara perusahaan teknologi besar, kapitalis, perusahaan startup
dan bahkan perusahaan rintisan yang masih baru mulai. Semua
pelaku ekonomi ini bisa terhubung dengan lebih erat
melalui teknologi Big Data. Yang paling penting adalah,
teknologi Big Data memungkinkan banyak bidang pekerjaan
dalam rantai pangan diambil alih oleh kecerdasan buatan dan
robot yang terhubung satu sama lain melalui Internet of Things.
Dalam dunia bisnis dan ekonomi, Big Data memungkinkan
pengambilan keputusan yang jauh lebih cepat dengan berbasis
real-time data. Sen dan kawan-kawannya34 menemukan bahwa
Big Data memiliki peran sinergis terhadap UMKM yang memiliki
pengaruh besar dalam perekonomian kerakyatan. Perubahan
yang terjadi di pasar paling cepat direspons oleh UMKM
sehingga dengan adanya informasi real-time dari Big Data,
pengambilan langkah selanjutnya sesuai tren pasar bisa
dilakukan dengan jauh lebih cepat. Kendala yang ditemukan
oleh Sen dan rekan-rekan penelitinya relatif sama dengan
kendala-kendala dari bidang lain, yakni belum populernya
pemanfaatan Big Data dalam bidang ekonomi, terutama dari
kalangan UMKM. Ini disebabkan karena biaya sistem Big Data
yang lumayan besar (dan bahkan sangat besar bagi kebanyakan
UMKM yang ada). Dia menyarankan bahwa bila Big Data
bisa diakses oleh UMKM, akan terjadi pergerakan ekonomi yang
semakin sehat dan giat. Cara yang lebih efektif untuk tujuan ini
adalah sistem pewaralabaan Big Data.
Terkait lagi dengan tren waralaba sosial yang telah dibahas
pada bagian sebelumnya, Big Data juga punya andil dan potensi
besar dalam pelayanan kesehatan yang lebih maksimal. Jika
setiap pasien memiliki keluhan yang berbeda-beda, dan ada
lebih dari seribu pasien di sebuah rumah sakit, maka
menyimpan datanya secara analog adalah pekerjaan yang
sangat melelahkan. Belum lagi jika masing-masing pasien punya
riwayat penyakit yang rumit. Dengan teknologi Big Data, semua
masalah itu bisa diatasi. Saheb dan Izadi dari Iran35 telah me-
rangkum 46 artikel penelitian mengenai aplikasi Big Data dalam
ranah pelayanan kesehatan dari berbagai negara. Big Data
terbukti meningkatkan efisiensi birokrasi pelayanan kesehatan,
rekapitulasi data rekam medis pasien, dan manajemen unit-unit
kesehatan di beberapa negara di dunia.
Hoaks
Sebuah kabar mengejutkan datang dari Kementerian Ko-
munikasi dan Informasi. Dari satu juta situs web yang terjaring
pada tahun 2018-2019, delapan puluh persennya adalah situs
berita bohong, atau hoaks. Dari semua situs berita bohong itu,
tersebar 771 subtopik hoaks yang paling banyak menyangkut
isu politik36.
Media sosial menjadi platform utama untuk penyebaran
maupun penangkal hoaks, terbukti dari 37,9% responden yang
menyatakan bahwa mereka mengetahui berita hoaks dari
klarifikasi sosmed.
Kesadaran warga Indonesia atas berita bohong me-
ningkat 4,2 persen dari tahun 2017 hingga 2019 berkat
meleknya warga untuk memeriksa kebenaran berita dan
mencocokkannya dengan portal-portal berita terpercaya.
Namun demikian, banyak orang juga yang masih terpe-
ngaruh dan ikut menyebarkan berita hoaks karena berita itu
didapat dari orang yang bisa dipercaya (43,5%). Tendensi ini
menjadikan tren penyebaran hoaks di media sosial menyerupai
tren penyebaran gosip. Biasanya, gosip menyebar dari mulut ke
mulut melalui orang-orang yang dipercaya. Hoaks juga menye-
bar dari ponsel ke ponsel melalui akun yang dipercaya oleh
seseorang.
Sebanyak 76,4% responden setuju jika hoaks menghambat
pembangunan negara dari berbagai sektor. Hoaks juga berpo-
tensi mengubah tren bisnis dan arah kebijakan pasar.
Tahun 2018 lalu, sebuah studi dilakukan oleh akademisi di
Minessota, Amerika Serikat, terkait hubungan antara isu sains
yang dibumbui isu politik dan hoaks37. Penelitian ini membuk-
tikan bahwa orang-orang lebih percaya kepada hoaks yang
tersebar di media sosial bila hoaks itu terkait dengan hal-hal
yang mereka pentingkan dalam kehidupan sehari-hari, yakni isu
makanan dengan label rekayasa genetika. Kesimpulannya
adalah, masih banyak kalangan warga yang lebih percaya
kepada hoaks daripada menumbuhkan literasi yang lebih
mapan untuk menanggulanginya.
Alasan adanya hoaks di ranah internet ditemukan oleh
Aldwairi dan Alwahedi dari Zayed University, Abu Dhabi38.
Dalam artikel yang dipublikasikan tahun 2018 silam itu, mereka
mendefinisikan hoaks internet sebagai cara instan untuk
mendapat keuntungan advertisi dari clickbait, atau umpan
klik. Sudah menjadi hal biasa dalam tren advertisi internet
bahwa suatu website bisa mendapat keuntungan berlipat ganda
dari jumlah klik pada suatu link yang dikomersilkan. Ini mirip
seperti AdSense YouTube yang mengukur jumlah tontonan, like
dan subscribe dan menghitung penghasilan seseorang dari
sana. Berita hoaks yang heboh dan headline-nya yang
mengundang rasa penasaran mampu meningkatkan penda-
patan penyebar hoaks dari umpan klik. Kedua peneliti ini
menyimpulkan bahwa hoaks sosial media lebih banyak disebab-
kan oleh motif ekonomi.
Lebih jauh dalam penelitian Aldwairi dan Alwahedi adalah
temuan metode yang dapat mendeteksi dan memfilter situs
yang mengandung hoaks dan berita menyesatkan. Mereka
mengklaim bahwa akurasinya mencapai 99,4% dengan
memakai logistic classifier. Metode yang mereka gunakan
adalah dengan memakai perangkat lunak filter yang
menjaring kata-kata bermuatan slang dan hiperbolis sebagai
artikel berpotensi hoaks. Kemudian, jumlah kata dalam judul
sebuah laman web atau artikel juga menjadi factor penentu
apakah suatu konten merupakan hoaks atau bukan. Langkah
selanjutnya adalah memeriksa tanda baca pada artikel. Artikel
yang berisi banyak tanda seru, tanda tanya dan koma, serta
memiliki tata kalimat yang tidak terstruktur adalah artikel yang
berpotensi sebagai hoaks.
Cara selanjutnya adalah dengan mendeteksi bounce rate,
atau rasio lompat-balik. bila Anda menemukan sebuah
tautan yang menarik dan Anda mengkliknya, tiba-tiba Anda
masuk ke sebuah laman web yang benar-benar berbeda dari-
pada yang Anda harapkan. Anda akan segera menekan tombol
back. Seringnya pengunjung menekan tombol back ini disebut
bounce rate. Situs-situs dengan bounce rate tinggi adalah situs
yang disinyalir mengandung hoaks.
Kabar-kabar bohong yang beredar dan besarnya jumlah
situs yang memuat berita bohong juga berdampak pada eko-
nomi. Aspek ekonomi yang paling terkena dampak dari hoaks
adalah perjanjian jual-beli, kontrak perdagangan, waralaba,
serta pengambilan keputusan perdagangan. Malin et. al
menyatakan dalam buku mereka Deception in the Digital Age
bahwa sejak penipuan dan hoaks bertebaran di ranah internet,
pihak penjual dan pembeli memilih jalan escrow service sebagai
langkah antisipasi yang disebutnya sebagai trust inducing
mechanism ‗mekanisme pemacu kepercayaan.
Mekanisme escrow ini adalah berupa pihak ketiga yang
independen dan dipercaya oleh pihak pertama (penjual) dan
kedua (pembeli). Misalnya, Perusahaan A adalah pihak pemberi
waralaba yang ingin mewaralabakan usaha kentang goreng
crispy-nya kepada UD Nanas Mekar. Namun, untuk menjamin
kepercayaan kedua belah pihak, mereka mengundang pihak
ketiga sebagai escrow service. Pihak pemberi waralaba
memercayakan komponen perusahaan yang akan
diwaralabakannya sampai pihak kedua memenuhi semua
persyaratan kontrak waralaba. Pihak escrow dapat menarik atau
menahan hak pihak kedua maupun pihak pertama bila ada
perjanjian yang tidak dipenuhi. Menurut Malin et. al, perusa-
haan escrow ini memiliki andil besar dan makin diminati dalam
perekonomian digital di Inggris dan Amerika.
Anda mungkin ingat dengan brand u-eco-city yang
digaungkan Korea di awal dekade milenial. Tahun 2013 lalu,
Korea menggaungkan konsep kota abad ke-21 yang ramah
lingkungan dan nihil emisi gas buang. Yang melakukan
penelitian ini adalah Yigitcanlar dan Lee, dua ahli tata kota dari
Australia dan Korea. Mereka ingin memastikan apakah konsep
kota ramah lingkungan ini telah memenuhi kriteria atau
hanyalah branding hoax belaka. Ternyata, dari banyak aspek tata
kota yang mereka teliti, konsep u-eco-city di Korea (dan juga
negeri-negeri Asia lainnya) masih jauh dari harapan karena
terbentur dengan berbagai aspek sosial dan ekonomi yang
belum memadai untuk sebuah tata kota ‗utopia‘ yang baru
semacam itu. Mereka menyebutnya sebagai sebuah utopia
wishful thinking,
Terlepas dari hoaks jenis apa yang terjadi di luar negeri dan
bagaimana mereka menanggulanginya, Indonesia juga punya
cara tersendiri. Dalam ranah hukum, penyebaran kabar bohong
telah diatur dalam Pasal 390 KUHP tentang penyiaran kabar
bohong. Ada pula Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik. Dalam
ranah hukum, penyebaran berita dan kabar bohong termasuk
dalam upaya penyesatan publik. Di Aceh sendiri, sebagaimana
dinyatakan oleh Adli dan Sulaiman, hukum adat telah mengatur
tentang penyebaran hoaks dan sanksi adat yang diterima oleh
para pelaku hoaks. Meskipun kekuatan hukumnya hanya
mencakup kelompok warga tertentu, cara ini bisa menjadi
alternatif upaya membatasi penyebaran berita bohong dengan
cara sanksi atas pelanggaran norma sosial41.
Pentingnya kesadaran terhadap berita-berita bohong
menjadi salah satu poin pokok dalam literasi digital. Selain
kemampuan untuk mengakses data secara digital, literasi digital
juga membutuhkan kolaborasi, referensi silang dan triangulasi
yang mapan untuk menghindari berita-berita bohong yang
beredar di ranah internet. Selain literasi digital, literasi human-
isme juga perlu mendukung langkah seseorang agar menyadari
bahwa dia perlu mendapat informasi yang benar dan tahu
bagaimana cara mengakses informasi yang terpercaya. Tak
hanya itu, literasi humanisme diperlukan agar seseorang tidak
mudah terprovokasi dan menyebarkan berita tanpa sumber
yang jelas.
Tendensi waralaba di era digital
Data bulan Januari 2019 yang dihimpun berbagai
perusahaan platform tools seperti GSMA Intelligence, Internet-
WorldStats dan sebagainya mengungkap bahwa pertumbuhan
pengguna internet di dunia naik 9,1% dari tahun sebelumnya.
Ini berarti bahwa di sepanjang tahun 2018 ada peningkatan
sekitar 367 juta pengguna internet di seluruh dunia. Hampir95%
dari semua pengguna internet itu juga adalah pengguna media
sosial. Peningkatan ini menakjubkan karena mencapai hampir
sepuluh kali lipat pertumbuhan penduduk. Ini berarti bahwa
internet sudah merambah ke hampir segala lini kehidupan
manusia dari segala usia.
Yang signifikan juga adalah data dari GSMA Intelligence di
awal tahun 2019 lalu yang menyatakan bahwa jumlah pengguna
ponsel pintar di seluruh dunia sudah mencapai lebih dari lima
milyar pengguna. Mungkin saja, satu orang bisa memiliki lebih
dari satu ponsel, tetapi jumlah sebesar itu sama dengan 67%
populasi manusia di Bumi.
Apa yang bisa Anda bayangkan dengan jumlah sebesar itu?
bila Anda memiliki akun media sosial, dan Anda mempos-
ting produk sabun herbal buatan Anda, maka Anda memiliki
target pelanggan sebanyak itu di seluruh dunia. Akan tetapi,
yang menjadi kendala besar bagi usaha Anda adalah bahwa
Anda tidak sendirian. Banyak sekali usaha-usaha sejenis yang
akan menyaingi Anda. Karena itu, Anda harus menjadi produsen
yang unik (dan tentunya itu memerlukan kerja keras, perjuang-
an dan kesabaran). Jika tidak, Anda bisa mencoba bisnis
waralaba digital atau sistem endorsement (yang juga mahal,
tentunya).
Melihat peluang ini, para pemberi waralaba juga berpikir
keras. Mau tidak mau, mereka juga harus mengikuti tren digital
sebab separuh calon pelanggan mereka sudah beralih platform.
Perkembangan ini mengharuskan para pemberi maupun
penerima waralaba agar melek digital, melek teknologi. Dengan
kata lain, menguasai literasi digital.
Beberapa tren dan perkembangan jaringan dunia digital
berpotensi besar menjadi inspirasi bagi banyak bisnis waralaba
di masa depan, terutama dari bidang usaha entertainment,
makanan dan minuman42. Tiga bidang usaha itu menjadi prima-
dona bagi generasi milenial. Makanan dan minuman kreatif,
cepat saji, namun sehat menjadi pilihan, sedangkan pilihan
dunia hiburan adalah kisah-kisah epik yang dikemas dalam
berbagai media dari berbagai sudut pandang yang luas.
Generasi milenial,—karena kemudahan akses informasi—
menginginkan semesta hiburan yang lebih kompleks, menan-
tang, melibatkan penonton, dan terlihat lebih realistis43.
Brainbridge44 menemukan fakta bahwa ada tren waralaba
yang didorong oleh keinginan manusia untuk melestarikan
lingkungan hidup. Menurutnya, Jepang adalah salah satu
negara yang ingin menyeimbangkan antara perkembangan
ekonomi dan perlindungan lingkungan hidup, sehingga tren
waralaba yang berkembang di Jepang adalah waralaba yang
mengkolaborasikan antara materialisme, environmentalisme,
biodiversitas dan sustainable development. Gabungan antara
ketiga tren ini sangat populer di kalangan anak muda Jepang
mulai 2013 lalu dan juga di kalangan pada akademisi negeri
Sakura itu. Anda bisa membuktikan ini dari acara-acara kartun
Jepang kekinian yang rata-rata menggabungkan antara
modernitas dan lingkungan hidup. Naruto, Pokemon, Dorae-
mon45 serta Digimon Adventures, misalnya, yang rata-rata lahir
sebelum era ledakan teknologi informasi, sudah mengede-
pankan siergi antara teknologi dan lingkungan hidup.
Dalam ranah parwisata, tendensi waralaba merambah pada
apa yang bisa kita sebut sebagai labelisasi wisata. Salah satu
kasus menarik tentang waralaba dalam dunia pariwisata terjadi
pada program kerja UNESCO. Anda mungkin berpikir bahwa
kini Anda bisa membeli merek UNESCO dan menjadi arkeolog
dadakan, namun kasus UNESCO ini lebih kepada sebuah pro-
gram idealis yang dijalankan dengan prinsip waralaba, atau
yang lebih halus—sebuah ideologi yang diwaralabakan oleh
salah satu pihak, baik pihak penerima atau pihak ketiga yang
sebenarnya tidak terlibat dalam perjanjian.
Anda pasti mengenal World Heritage ‗Warisan Dunia‘. Jika
Anda pergi ke Jatiluwih, di sana terpampang sebuah label
dengan tulisan ‗situs warisan dunia UNESCO‘. Tak hanya itu, Tari
Pendet pun kini jadi warisan dunia UNESCO.
Word Heritage adalah sebuah ‗label‘ yang diberikan oleh
UNESCO untuk situs bersejarah, warisan budaya benda maupun
tak benda, atau warisan alam yang unik, memiliki nilai universal
dan bermanfaat bagi generasi di masa depan. Pada awalnya,
UNESCO memiliki program besar untuk mendata situs-situs
bersejarah dan budaya endemik di dunia sebagai daftar warisan
dunia dalam kategori benda maupun tak benda. Tahun 1978,
situs-situs pertama didokumentasikan dan dimanajemen, lalu
diberi label ‗World Heritage‘. Tahun 2017 lalu, Tari Pendet,
sistem pengairan Subak dan aksara Bali juga menjadi warisan
dunia UNESCO. Sampai kini, ada 1121 situs dan warisan budaya
yang terdaftar sebagai warisan dunia, terdiri atas 869 warisan
budaya, 213 warisan alam, dan 39 campuran46.
Apa yang dilakukan UNESCO dalam proses pelabelan
warisan dunia ini persis seperti sebuah perjanjian waralaba.
Karena itu, beberapa pelaku ekonomi melihat peluang besar di
balik label World Heritage ini dalam sektor pariwisata. Para
penggiat dan pengamat pariwisata Bali pun merespons hal ini.
Bayangkan sebuah lesung peninggalan nenek moyang
Anda. Anda berkisah tentang sejarah panjang lesung itu lewat
sebuah proposal,—menyatakan sebaik-baiknya bahwa lesung
itu adalah peninggalan terakhir kebudayaan endemik di desa
Anda. Ternyata, proposal Anda diterima dan lesung itu menjadi
warisan dunia karena keunikan arsitektur dan teknik pembuat-
annya. Tentu akan ada banyak ilmuwan, sejarawan dan wisata-
wan yang mengunjungi Anda. Bayangkan berapa keuntungan
yang bisa Anda peroleh dari setiap saku yang mendekat ke
lesung kuno itu.
Dengan label World Heritage, ada peningkatan minat
wisatawan untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah di
dunia. Label UNESCO menjadikan situs itu sebagai symbol of
qualityand authenticity atau coveted brand and seal of
approval47. Inilah yang membuat Meskell melabeli UNESCO
sebagai sebuah shifting ideologi dari pelestarian menjadi
campuran kepentingan politik dan ekonomi negara pengusul48.
Sebenarnya, UNESCO sendiri samasekali tidak memiliki tujuan
waralaba di balik label warisan dunianya. Tujuan UNESCO
adalah murni untuk perlindungan warisan budaya. Namun mata
ekonomi telah meliriknya sejak 201249 sebagai potensi besar
untuk dijalankan dengan sistem ‗layaknya waralaba‘. Meskel
bahkan menyebutkan bahwa label World Heritage ini memiliki
potensi besar sebagai label komoditas yang mempercepat
mobilitas nasional dan internasional. Artinya, World Heritage ini
punya kekuatan ekonomi yang diincar oleh para pemburu dolar.
Label World Heritage UNESCO memiliki kebijakan-kebijakan
dan aturan. Sebenarnya, UNESCO tidak memiliki wewenang
menominasikan suatu warisan budaya. Suatu situs atau warisan
budaya harus terlebih dahulu diusulkan oleh pihak negara
pengusul. Yang harus dilakukan oleh negara pengusul adalah
mengilustrasikan keberadaan situs atau warisan budaya
ini dan menonjolkan nilai universal yang luar biasa.
UNESCO mendefinisikan warisan situs dan budaya yang layak
dinominasikan sebagai berikut.
Cultural and/or natural significance which is so exceptional
as to transcend national boundaries and to be of common
importance for present and future generations of all
humanity50.
[Keberadaan budaya dan/atau alam yang sangat unik
hingga melintasi batas-batas negara dan memiliki manfaat
menyeluruh bagi generasi seluruh umat manusia kini dan di
masa depan].
Negara pengusul harus membuat sebuah proposal yang
menunjukkan sebenar-benarnya bahwa warisan budaya atau
alam yang diusulkan sudah memenuhi kriteria umum ini .
UNESCO, melalui badan yang disebut World Heritage Committe,
akan menjalankan proses bidding untuk menentukan langkah-
langkah support dan fasilitas yang juga melibatkan pihak ketiga.
Proses ini mirip sekali dengan perjanjian antara franchisor dan
franchisee.
Yang membuat World Heritage nyaris sama dengan sebuah
waralaba merek adalah kewajiban negara pengusul untuk
membayar kontribusi bila negara yang bersangkutan ingin
menjadi anggota UNESCO. Dalam Anggaran Dasar UNESCO
tahun 2012 dinyatakan bahwa negara anggota wajib membayar
biaya awal keanggotaan yang dikategorikan sebagai penda-
patan organisasi. sesudah penominasian situs warisan budaya
selesai dan sah, akan ada otoritas eksekutif yang memiliki
wewenang untuk mengendalikan (1) pengakuan inventaris
warisan dunia, (2) menyatakan secara resmi bahwa status
warisan dunia dalam keadaan bahaya, dan (3) mengeluarkan
suatu situs atau budaya dari daftar warisan dunia.
Tak sampai sana. World Heritage Committe juga punya
advertising dan trademark. Dalam fase ini, ada sejenis perjanjian
yang dinamakan external monetary support untuk perlindungan
dan manajemen situs dan juga potensi pendapatan dari jumlah
kunjungan wisatawan sesudah penobatan. Mirip sekali dengan
prosedur dalam sistem waralaba, bukan?
Anda mungkin mulai berpikir kritis sekarang. Pada
dasarnya, yang dijadikan senjata dan aset baik oleh pihak
Komite Warisan Dunia maupun negara pengusul adalah label.
Negara pengusul memerlukan label World Heritage untuk
meningkatkan kunjungan wisata, dan untuk memperoleh label
ini negara bersangkutan harus membayar royalti kepada
UNESCO (yang diistilahkan dengan dana partisipasi—sebuah
kamoflase bahasa yang indah) sesudah melalui ‗uji kelayakan‘.
Jadi, bila Anda tinggal di sebuah desa yang memiliki tradisi
unik, Anda bisa membuat sebuah proposal yang luar biasa
menggugah tentang nilai-nilai universal dari desa Anda dan
kontribusinya bagi umat manusia. Kemudian, Anda menye-
tornya kepada pemerintah, lalu didisposisi ke UNESCO. Bayaran
royalti yang harus Anda setor tentu bukan puluhan juta lagi
dalam hitungan rupiah, tapi ratusan, bahkan milyaran.
Waralaba ‘setengah matang’?
Membahas mengenai tren kurang lebih berarti menyatakan
sebuah prediksi berdasarkan kecenderungan-kecenderungan
yang bisa diamati. Sebuah sistem waralaba lahir karena tren
kapitalis warga , dan begitu pula perkembangannya di
masa depan. Yang bisa kita lihat di masa kini adalah sebuah
pola pikir manusia yang menginginkan keuntungan dengan
cara paling cepat yang bisa dilakukan. Pengaruh kapitalisme
telah membuat manusia semakin gencar memenuhi kebutuhan
hidupnya yang semakin kompleks dan menggiurkan.
Setiap kali berangkat bekerja, Anda mungkin sempat
memperhatikan bahwa kian hari kian banyak orang yang
memakai sepeda motor merek terbaru. N-Max, contohnya. Di
pertengahan tahun 2018 saja, Nmax terjual sebanyak 24.875
unit di seluruh Indonesia51. Jumlahnya meningkat rata-rata 20%
hingga tahun 2019 dan bersaing sengit dengan Honda PCX. Di
Indonesia, kendaraan roda dua masih bisa dikatakan sebagai
salah satu lambang prestise bagi warga lapisan menengah
ke bawah. Buktinya, setiap tahun perusahaan-perusahaan motor
mengeluarkan tipe terbaru, penjualannya tak pernah turun. Ini
membuktikan bahwa tingkat konsumsi warga Indonesia
atas kendaraan bermotor masih sangat tinggi.
Hal ini tentunya berakar dari sebuah pertanyaan sederhana:
bagaimana mereka memutar uang dengan begitu cepat? Anda
tak perlu menjawab pertanyaan ini secara detail, sebab yang
menjadi fokus adalah kecenderungan manusia yang semakin
kapitalis. Waralaba menjadi kabar baik bagi mereka yang ingin
keuntungan dan pemenuhan kebutuhan secara instan.
Jika Anda membuka Google, Anda tak akan menemukan
jawaban memuaskan tentang waralaba ‗setengah matang‘
seperti judul sub-bab ini. Yang dimaksud ‗setengah matang‘
adalah sebuah sistem yang memiliki ciri khas dan prosedur
waralaba namun belum dijalankan sesuai dengan bagaimana
sebuah waralaba seharusnya berjalan. Motif orang-orang
tertarik pada sistem separuh waralaba ini lagi-lagi karena
keuntungan yang didapat dari kekuatan hak cipta, pangsa pasar
dan psikologi merek, namun sesungguhnya tujuan perjanjian
ini bukanlah motif ekonomi52. Perjanjian ini pada
akhirnya berkembang dan dianggap sebagai komoditas
ekonomi atau memiliki kekuatan pasar yang besar oleh
beberapa pihak yang berkepentingan. Jadilah seolah-olah
perjanjian ini sebagai versi komersil dari sebuah idealisme
(seperti label UNESCO yang telah kita bicarakan di bagian
terdahulu).
Contoh platform lain yang memiliki prinsip-prinsip franchise
adalah TripAdvisor. Sebuah perusahaan jasa travel, restoran,
penginapan atau vila yang memiliki stiker TripAdvisor akan
dipercaya oleh pelanggan. Lambangnya yang khas menjadi
impian setiap pelaku sektor pariwisata. Meskipun bukan
lembaga akreditasi, TripAdvisor menilai kinerja pelaku-pelaku
usaha pariwisata dari ulasan yang diberikan oleh wisatawan.
Antara TripAdvisor dengan pihak anggota memiliki ikatan
perjanjian yang dilakukan dengan konsep dan prinsip-prinsip
waralaba, walaupun tidak sepenuhnya menjadi waralaba merek.
TripAdvisor memberikan re