Sejarah perihal ini bisa dilihat dari
upaya Bung Karno, presiden pertama
RI yang berinisiatif untuk menerbitkan
sebuah artikel tentang aneka macam
makanan Nusantara. Tajuknya: “artikel
Masakan negara kita Mustika Rasa: Resep-
resep Masakan negara kita dari Sabang
sampai Merauke”. Baru terbit tahun
1967, setahun (lebih) setelah Soekarno
jatuh. artikel yang disusun cukup lama
tersebut berisi kurang lebih 1.600
resep masakan, 900 resep di antaranya
menggunakan penekanan asal daerah.
Menurut Fadly Rahman dalam artikel
“Jejak rasa Nusantara: Sejarah Makanan
negara kita ” (2016) resep-resep tersebut
sudah sejak lama popular seperti dari
Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Maluku,
tetapi tidak sedikit resep baru—entah
baru dikenal tapi sudah lama ada atau
baru dikenal karena baru ditemukan.
Dengan segala kelebihan dan
kelemahannya, artikel tersebut relatif
bisa menjadi tonggak penting betapa
Negara telah peduli untuk mengelola
makanan sebagai salah satu kosa budaya
yang mampu diberdayakan sebagai
bagian dari identitas dan kekuatan
sumber daya negara kita .
Setidaknya itu menjadi jawaban
atas keprihatinan Soekarno tentang
dunia makanan negara kita yang justru
direndahkan oleh orang negara kita
sendiri akibat mentalitas anak jajahan.
Ini tecermin dari ujaran Soekarno
yang dicatat oleh Cindy Adams dalam
“Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat
negara kita ” (1966): “Sampai sekarang
orang negara kita masih terbawa-bawa
oleh sifat rendah diri, jang masih sadja
mereka pegang teguh setjara tidak sadar.
Hal ini menjebabkan kemarahanku
antara daftar menunya. Dugaan
targetnya jelas, bahwa itu ingin
menyasar konsumen dari negara kita
atau masyarakat kosmopolitan lainnya
yang ingin merasakan menu yang
mendunia: nasi goreng.
Mendunianya dengan segera kuliner
negara kita pada momen ini, pada sisi
lain, sekaligus menerbitkan sebuah
keprihatinan. Mengapa rendang, sate,
nasi goring dan sekian banyak nama
makanan negara kita justru diglobalkan
oleh orang atau pihak asing, dan bukan
oleh manusia-manusia negara kita
sendiri? Kenapa Thailand, Jepang,
India, bahkan Vietnam bisa lebih
dulu mampu menginternasionalkan
kuliner mereka? Apakah keragaman dan
kekayaan kosa kuliner Nusantara atau
negara kita , gagal diinternasionalkan
dengan masif karena kita tidak mampu
menguasai jejaring kerja (networking)
dunia lewat political will negara?
Apakah kita memang tak mampu
memberdayakan aspek kultural
(termasuk di dalamnya dunia kuliner)
sebagai bagian penting dari diplomasi
politik atau diplomasi budaya itu
sendiri?
Saya tidak tahu persis perkara tersebut.
Mungkin teramat kompleks. Atau
rumit bahkan ruwet. Meski demikian,
kalau kita menelisik jelujur kronologi
sejarah, ada upaya yang telah dilakukan
oleh negara atau pemerintah dalam
mengupayakan perkara kuliner sebagai
garda penting dalam menerakan
perkara identitas bangsa/nasional, atau
problem kuliner sebagai siasat untuk
memberikan alternatif “perlawanan”
terhadap kekuatan “luar”.
baru-baru ini. Wanita-wanita dari
kabinetku selalu menjediakan djualan
makanan Eropa. ‘Kita mempunjai
panganan enak kepunjaan kita sendiri,’
kataku dengan marah. ‘Mengapa
tidak itu sadja dihidangkan?’ ‘Ma’af,
Pak,’ kata mereka dengan penjesalan,’
Tentu bikin malu kita sadja. Kami
rasa orang Barat memandang rendah
pada makanan kita jang melarat.’ Ini
yaitu suatu pemantulan-kembali
daripada djaman dimana Belanda masih
berkuasa. Itulah perasan rendah diri
kami jang telah berabad-abad umurnja
kembali memperlihatkan diri. Edjekan
jang terus-menerus dipompakan oleh
pemerintah Hindia Belanda tentang
ketidakmampuan kami, menjebabkan
kami jakin akan hal tersebut.”
Mata Jendela edisi kali ini berupaya
membuka kembali ingatan kita tentang
dunia makanan atau kuliner yang
penuh keragaman. Sudah pasti ini
hanya secuil narasi tentang kekuatan
salah satu budaya kita yang bisa
dikembangkan, dan diberdayakan
lebih lanjut menjadi sebaris “kekuatan
nasional” yang bisa diandalkan. Kenapa
kita tidak terus mengupayakannya?
Kenapa harus Obama dan CNN yang
memancing kekuatan diplomasi olah
cita rasa kita di panggung dunia? ***
Kuss Indarto, pemimpin redaksi Mata
Jendela.
6
ini terbilang absen dalam ranah
gastronomi perlu dipahami; mengingat
akar boga negara kita (negara kita n
cuisine) telah ada jejaknya sejak silam.
Dari Mitos Rempah hingga
Terbitnya Kookboek Pertama
Fondasi boga negara kita secara historis
mulanya tidak bisa lepas dari citra
silam negara kita sebagai ”kepulauan
rempah-rempah” (spices islands).
Istilah ini menyekam mitos eksotisme
rempah sebagai konsumsi massa paling
diburu dunia. Di Eropa, rempah
bukan hanya dipakai ”membumbui”
citra makanan Abad Pertengahan yang
dikenal suram dan tak mengundang
selera. Tapi juga simbol kemakmuran
PADA 29 Maret 2017 Akademi
Gastronomi negara kita
mengadakan acara Dialog
Gastronomi Nasional di Kementerian
Pariwisata, Jakarta. Dialog bertajuk
From Food to Root: The Rise of
Gastronomy Tourism ini menyajikan
pembahasan lintas bidang, mencakup
sejarah, gastronomi, industri kuliner,
dan pariwisata. Tujuan utamanya
yaitu merumuskan bagaimana
idealnya memajukan gastronomi
negara kita dengan menjalin hubungan
sinergis antarberbagai pihak, mulai
dari hulu (pangan) hingga ke
hilirnya (kuliner). Untuk memahami
bagaimana sinergi itu dibangun, maka
pemahaman sejarah yang selama
meja makan kaum bangsawan hingga
sebagai pemulih kesehatan.2 Dalam
ranah kuliner, rempah-rempah jugalah
yang membuat orang-orang di Eropa
pada abad ke-16 bergairah menulis
artikel masak sebagai salah satu simbol
identitas kebudayaan mereka.3
Namun kepulauan rempah-rempah
juga menyekam mitos yang menjebak
cara pandang terhadap kenyataan
sebenarnya. ”Kisah manis” rempah-
rempah di Eropa kontras dengan
tanah asal (baca: Nusantara) yang
menumbuhkannya. Selain berlumur
darah, pertikaian, dan derita
perbudakan, hingga abad ke-18, kisah
citarasa rempah terkesan tidak terlalu
Dari Indische Keuken
“Adiboga kita, sebenarnya bahan ada, elemennya semua ada, cuma creative person-nya yang belum.
Creative person itu harus menguasai bukan saja sejarah negara kita , tetapi juga ilmu bumi dan
pertanian negara kita ”.
abad ke-19 pun masih melaporkan
sebatas kekaguman pada bahan-
bahan makanan yang melimpah,6
bukan pada bagaimana mengelola dan
mengolahnya ke arah nilai seni hingga
fisiologi rasa7 layaknya boga.8
Orang-orang Eropa khususnya
Belanda yang bermukim di berbagai
wilayah Hindia agaknya abai
mengurus persoalan rasa di tanah
koloni. Hingga akhirnya sebuah artikel
memasak terbit pada 1857. Judulnya
banyak menyentuh urusan dapur di
tanah asalnya sendiri.
Pada abad ke-19, citra sebagai
kepulauan rempah-rempah itu lantas
digantikan dengan pengembangan
masif sistem tanaman budidaya
di Hindia Belanda, mulai dari
Cultuurstelsel (1830 – 1870) hingga
penerapan Undang-Undang Agraria
(1870). Susie Protschky (2007:
187) berkata-kata bahwa orang-
orang Belanda bertanggung jawab
mengenalkan perubahan radikal
terhadap lanskap tanah jajahan dan
kehidupan di dalamnya. Lanskap
paling menghipnotis pesona orang-
orang Eropa yaitu agraria.
Namun, hingga dan selama paruh
pertama abad ke-19, hasil-hasil
tanaman budidaya di berbagai
wilayah belum menampakkan adanya
kenikmatan seni kuliner di Hindia
Belanda. Orang-orang Belanda
cenderung sibuk menempatkan lada,
pala, dan cengkih semata sebagai
komoditas ekspor ke pasar dunia.4
Adapun komoditas ekspor antarpulau
lebih pada beras dan kelapa. Disusul
pengenalan tanaman komersial
seperti singkong, kopi, dan teh yang
hasilnya meningkat pada abad ke-19.5
Sumber-sumber tertulis pada awal
Sampul Kokki Bitja karya Cornellia
Sumber: dokumentasi penulis
Kokki Bitja atoe Kitab Masak-Masakan
India yang Bahroe dan Semporna.
Disusun oleh Nonna Cornelia.
Perempuan ini memperkenalkan aneka
makanan berikut bahan-bahannya
yang ada dan memungkinkan diolah
di Hindia dalam sebuah artikel masak
(kookboek). Tersirat kesan Cornelia
tengah menyusun kumpulan resep
yang mewakili citarasa di berbagai
daerah Hindia dalam nama-nama
aneh, seperti: ”Ajam orang Boegis”,
”boendoek boendoek Makassar”,
”gadon daging Soerabaija”, ”gobe
Betawi”, hingga yang agak rasis:
”Masak babi seperti orang tjina” dan
”seperti Ceilon” (sic.).
artikel berpengantar bahasa Belanda
tapi memuat resep-resep berbahasa
Melayu ini sepertinya hanya sekedar
hobi atau hasil bertukar resep dari
sesama perempuan Eropa dan Pribumi
yang nama-nama aslinya disamarkan
begitu lucu memakai nama-nama
makanan: Mevrouw Sarondeng,
Mejufvrouw Sesaté, Njonja Smoor,
Nonna Lalawar, Makokki Karmanatji,
Embok Kottelet, firma Bami, Kimblo
& Co, dan Mevrouw Katimoen
(Cornelia, 1859: vi). Meski hobi, artikel
masak ini dicetak berkali-kali dari edisi
pertamanya tahun 1857. Edisi 1859
sudah masuk cetakan ke-5.9
8
Berbeda dengan Cornelia yang
menggunakan bahasa Melayu,
kedua artikel memasak yang disebut
terakhir menggunakan bahasa
Belanda. artikel anonim diterbitkan di
Semarang, sehingga jelas ini ditujukan
untuk publik Belanda di Jawa.
Namun, artikel Gallas diterbitkan di
Nijmegen (Belanda). Sehingga kuat
kecenderungan modifikasi masakan
”Indische” lebih dititikberatkan pada
kebutuhan mempertahankan citarasa
Barat. Jika kecenderungan sang
pengarang anonim yaitu melokalkan
yang Barat, maka sebaliknya Gallas
lebih cenderung membaratkan yang
lokal.
Dari Budidaya Pangan hingga
Budaya Bangsa
Sejak awal abad ke-20 para ahli sains
dan gastronomi10 mengembangkan
boga di Hindia Belanda yang ditandai
dengan pemuliaan budidaya (vegetasi
dan hewani) secara sistematis.
Setelah Cornelia, sebuah artikel masak
bertajuk Oost Indische Kookboek
dengan pengarang anonim terbit pada
1866. Salah satu yang disarankan
sang pengarang kepada para pembaca
artikel nya yaitu mengganti bahan
kembang kol yang lazim dipakai
di selatan Belanda dengan daun
pepaya muda. artikel ini sendiri jelas
ditujukan untuk orang-orang Belanda.
Tapi yang patut disimak yaitu
penggunaan kata ”Oost Indische”
yang berarti sang pengarang tengah
mencoba mewujudkan konsep ruang
untuk berbagai resep makanan yang
dikumpulkannya. Hal ini dilakukan
juga Gallas Haak-Bastiaanse yang pada
1872 menerbitkan artikel masaknya
Indische Kookboek. Kebalikan dari
pengarang anonim, justru Gallas
memberi salah satu saran menarik,
mengganti makanan oriental seperti
bamie (sic.) dengan macaroni (sic.).
Aktivitas pengembangan pengetahuan
bahan-bahan makanan di Hindia
mulai berdenyut setelah lembaga
Laboratorium Koloniaal Museum di
Haarlem menerbitkan secara rutin
laporan analisis bahan makanan di
Hindia Belanda melalui Bulletin van
Het Koloniaal te Haarlem-nya.11 Dr.
A.G. Vorderman berperan menggagas
ini selepas ia terlibat dalam eksibisi
internasional makanan di Paris pada
1900. Sejak penerbitan laporan
analisis bahan-bahan makanan itu
terwujud secara berkala dalam arahan
Dr. M. Greshoff, penelitian bahan-
bahan makanan pun mulai serius
dikembangkan oleh para ahli12 hingga
dipetakan kegunaannya dalam olah-
olah makanan di seluruh wilayah
Hindia. Tidak hanya itu. Pada 1902,
pemerintah juga mendirikan sebuah
komisi khusus untuk meneliti sebab-
sebab menurunnya kesejahteraan
Pribumi. Salah satu perhatiannya
diarahkan pada persoalan pangan.13
”...orang-orang Belanda bertanggung
jawab mengenalkan perubahan
radikal terhadap lanskap tanah
jajahan dan kehidupan di dalamnya.
Lanskap paling menghipnotis pesona
orang-orang Eropa yaitu agraria.”
9
makanan dengan aspek saintifik.
Makanan masih ditempatkan dalam
ruang lingkup gastronomis yang
sempit. artikel masak tak lebih hanya
simbol atas hobi, kesenangan, dan
sekedar pengisi waktu luang bagi
penulisnya.
Sejak masa 1900 kontestasi citarasa
berkembang bukan hanya di kancah
artikel masak (kookboek). Para ahli
sains mulai dari dokter hingga botanis
gencar menerbitkan berbagai artikel .
Konsep ”Indische voeding” diurai lebih
menyeluruh dan saintifik. Sains seakan
dipakai untuk ”mengadabkan” kualitas
rasa di kawasan Hindia. Misalnya ada
Dr. C. L. Van der Burg yang sejak
akhir abad ke-19 mengangkat isu-isu
kesehatan dalam makanan. Pada 1904
ia menerbitkan secara khusus artikel De
Voeding in Nederlandsch Indie. artikel
Burg ini memuat pelbagai informasi
lengkap bahan-bahan makanan
nabati dan hewani di wilayah Hindia
Upaya pemerintah meningkatkan
kesejahteraan pangan faktanya
membuahkan akibat-akibat yang
menarik bagi perkembangan dunia
boga di Hindia. Ketika kesejahteraan
beringsut bangkit pada dasawarsa
kedua abad ke-20, budidaya pangan
pun turut berkembang secara mantap.
Kondisi ini turut mendukung
tumbuhnya lembaga penelitian sains
makanan, spirit mengembangkan
pendidikan gastronomi, hingga
produksi artikel -artikel masak.
Hal penting dari itu semua yaitu
mulai terbentuknya hubungan
makanan sebagai identitas kolektif
masyarakat di Hindia. Ini terumuskan
melalui konsep Indische keuken yang
dipopulerkan para ahli makanan
sepanjang 1900 - 1942.
Meskipun pada abad ke-19 artikel -artikel
masak sudah beredar, tapi citranya
masih mengabaikan hubungan
berikut takaran serta kandungan gizi
hingga kimiawinya. Van der Burg
menerangkan bahwa penyelidikan
saintifik secara fisiologis diperlukan
untuk menanamkan kesehatan dalam
kandungan makanan di Hindia.14
Tren saintifikasi makanan di Hindia
pun diikuti oleh pembuat artikel
masak. Tampilan kookboek tidak lagi
seperti masa abad ke-19. Awal abad
ke-20 memunculkan salah seorang
gastronom kenamaan bernama J.M.J.
Catenius-van der Meijden yang serius
mendalami makanan di Hindia secara
ilmiah sebagai dasar karya-karyanya
seperti Ons Huis in Indië (rumah kita
di Hindia, 1908) dan Groot Nieuw
Volledig Oost Indisch Kookboek (artikel
masak Hindia terbesar, terbaru dan
terlengkap, 1925).
Catenius-van der Meijden memiliki
lisensi diploma dan penghargaan
Gouden Medaille dari Haagsche
Catenius-van der Meijden dan karya masyhurnya Groot Nieuw
Volledig Indisch Kookboek
memengaruhi kualitas masakan diurai
rinci oleh Catenius-van der Meijden
secara statistik berikut hitungan
nutrisinya. Misalnya bagaimana
ia membuat perbandingan gizi
antara kroepoek-kerbo (sic.) dengan
kroepoek-ikan Palembang (sic.); hingga
mengukur proses mencerna nasi, telur
mentah, telur goreng di dalam perut.
Karir Catenius-van der Meijden
terus melejit hingga dasawarsa
ketiga abad ke-20. Salah satu artikel
memasaknya Groot Nieuw Volledig
Oost Indisch Kookboek terbit 1925.
Dijelaskan di muka artikel nya bahwa
ia yaitu seorang ”Lauréate Institut
International d’alimentation d’hygiene
et de cuisine” (Pemenang penghargaan
Institut Internasional Makanan
Sehat dan Boga) di Paris. Gastronom
dengan spesialisasi Indische keuken
ini menjadikan Prancis sebagai kiblat
pengetahuan boga dan higienitas
makanannya. Berbeda dengan artikel
terdahulunya, dalam artikel ini tampak
sekali Catenius-van der Meijden
menampilkan ”prancisasi” citarasa
terhadap Indische keuken melalui
berian kata-kata Prancis semisal: bain
marie, bouquet, consommé, dan entrées.
Kooktentoonstelling (Sekolah Tinggi
Memasak) pada 1904. Satu karyanya
yang melambungkan namanya Ons
Huis in Indië menampilkan citra
ilmiah makanan di Hindia. Dalam
sebuah kongres yang membahas
makanan di Amsterdam pada 1902,
Catenius mengutip pembahasan
seorang ahli makanan, Dr. Schrijver
yang mempertanyakan: ”apa yang
dimulai dari makanan kita?”,
jawabnya: bukanlah di mulut!” lalu
apa? Di perut? ’Juga bukan’, imbuh sang
dokter, ’makna makanan ada dalam seni
memasak.”15
Pernyataan sang dokter pun
diterapkan oleh Catenius-van der
Meijden terhadap makanan di Hindia
dalam satu bagian artikel nya yang
membahas ”De Voeding”. Hal yang
esensial dari apa yang dimakan di
Hindia bukan hanya dari bahannya
(voedingsmiddelen), tapi nutrisinya
(voedingsstoffen). Masalah terkait
bagaimana temperatur makanan dan
minuman diatur, proses pencernaan,
komposisi makanan, lama pencernaan
berbagai makanan yang diasup,
higienitas makanan, hingga bahan
peralatan memasak yang dapat
Kehadiran sekian banyak artikel masak
hingga awal abad ke-20 sendiri semata-
mata bukan karena kerja mengolah
kelezatan makanan akan menggiring
pada gaya hidup belaka. Tapi
kebutuhan para gastronom atas bahan-
bahan memasak sebagaimana dimuat
dalam karya mereka sebenarnya berkait
dengan kian perlunya mereka pada
bahan-bahan rempah, sayuran, dan
buah-buahan agar dikultivasi luas.
Seperti dilakukan Osche dan van
den Brink (1931: vii)) yang meneliti
pelbagai jenis tumbuhan di Hindia,
cara budidayanya, hingga keterangan
penggunaannya sebagai bahan
makanan dan obat. Sayang, dikatakan
keduanya, masyarakat di Hindia tidak
maksimal memanfaatkan kekayaan
vegetasi di tanahnya sendiri.
Ketika rasa diolah secara saintifik lalu
diabadikan secara tekstual dan artikel -
artikel nya terdistribusikan massal ke
berbagai wilayah Hindia, menjalar
kesadaran baru di kalangan Pribumi
untuk mengimbangi bahkan terkesan
menandingi para saintis Eropa.
Misalnya saja, ketika pemerintah
kolonial memiliki Voedingsmiddellen
Commisie yang didirikan pada 1914,
11
Tegal (artikel pedoman memasak di
Sekolah Wismo-Pranowo di Tegal)
(terbit 1918) dan Lajang Panoentoen
Bab Olah-Olah Kanggo para Wanita
(terbit 1936 & 1941) yang ditujukan
bagi murid-muridnya (lihat juga
warisan resep-resep memasak Kartini,
Kardinah, dan Roekmini dalam artikel
Ganie, 2003).
Selain itu pada 1930-an penerbit Balai
Pustaka menerbitkan seri artikel masak
berbahasa daerah. Contohnya artikel
masak berbahasa Sunda Masakan
djeung Amis-Amis (masakan dan manis-
manis) yang terbit perdana pada 1934
dan mengalami beberapa kali cetak
ulang. Namun diterangkan dalam
pengantar cetakan keempat (1951),
selama Perang Dunia II, artikel laris ini
sempat berhenti dicetak ulang akibat
suasana peperangan. Itu mengapa
publikasi artikel masak terbilang absen
pada 1940-an.
Namun hal yang penting disimak,
format resep dalam rubrik dan juga
artikel masak berbahasa Melayu dan
daerah ternyata memuat komposisi
hidangan yang tak berbeda dengan
karya-karya gastronom Belanda dan
maka pada 1937 muncul Dr. Poorwo
Soedarmo menggagas pendirian
Lembaga Makanan Rakjat.
Makanan juga mulai ditempatkan
ke dalam ruang pers pribumi.
Lembaga-lembaga pers dan organisasi
perempuan pribumi pun mengemuka
sejak awal abad 20. Sebut saja Poetri
Hindia di Jawa, Soenting Melajoe di
Padang, Soeara Iboe dari tanah Batak,
dan Soeara Istri Kristen di Jawa Timur.
Media-media massa perempuan itu
memuat rubrik resep-resep masakan
dalam terbitannya.16
Sebuah kisah dari Raden Ajoe
Adipati Arija Reksa-Nagara alias R.A.
Kardinah (saudari R.A. Kartini), juga
patut diketengahkan di sini. Kardinah
yaitu gastronom didikan Eropa yang
mendirikan sekolah Wismo Pranowo
(rumah yang meluaskan pandangan)
di Tegal bagi anak-anak perempuan
Pribumi yang didirikannya pada
1916 (Coté [ed.], 2008: 303 – 310).
Kardinah juga produktif menulis
artikel masak –selain menjahit dan
membatik– seperti artikel Lajang
Panoentoen Bab Olah-Olah, ing
Pamoelangan Wisma-Pranawa ing
Indo. Dalam artikel Masakan djeung
Amis-Amis yang disebut di atas,
konsep Indische Keuken yang meliputi:
Inlandsche (Pribumi) – Chineesche
(Tionghoa) – Europeesche (Eropa)
masih hadir dalam komposisi:
”Masakan”, ”Masakan Tionghoa”,
dan ”Masakan Eropa.” Meski
disajikan dalam bahasa Sunda, tidak
sedikitpun sang pengarang anonim itu
menggunakan kata ”masakan Sunda,”;
malah dalam satu menunya digunakan
kata: ”goreng hajam negara kita ” (sic).
Citarasa Membangun Bangsa
Indische keuken mulai mengalami
penurunan pamor pada masa
kekuasaan Jepang (1942 – 1945).
Pada masa itu Jepang menerapkan
penghapusan terhadap berbagai wujud
kebudayaan kolonial. Lepas dari
kekuasaan Jepang dan masuk ke masa
kemerdekaan bukan berarti situasi
menjadi membaik dan mendukung
hidupnya kembali kegairahan dalam
aktivitas kuliner terkait dengan belum
stabilnya harga bahan-bahan pangan.
Hal itu terungkap dalam artikel masak
karya W.C. Keijner (1948):
”Seiring rampungnya cetakan
terbaru artikel masak ini, harga
12
menampilkan citarasa Eropa. Hal itu
terasa dari penerbit yang menyinggung
kenaikan harga buncis dan wortel
sebagai jenis sayuran yang notabene
identik dengan bahan makanan
Belanda. Komposisi 23 jenis resep
dalam artikel masaknya meliputi olahan
Belanda, Tionghoa, dan negara kita
yang terasa mirip dengan artikel -artikel
masak masa kolonial. Bedanya pada
dua cetakan terakhir tahun 1948,
artikel masak ini mulai mengganti label
makanan Indische atau Inlandsche
dengan nama Indonesische (makanan
negara kita ). Beberapa jenis olahan dari
daerah-daerah di negara kita pun tampil
di dalamnya, seperti dari Padang
(pangéh, gulai, rendang), Cirebon (sate
manis), Tegal (besengèk), Manado
(ayam dibulu, lemper), hingga Ambon
(schuimpjes).
Meski diterbitkan ulang pada masa
kemerdekaan, artikel masak Keijner ini
jelas berbeda jika dibandingkan dengan
sayuran dan bahan-bahan lainnya
tengah naik. Resep-resep dalam
artikel masak ini menggunakan
bahan-bahan makanan dengan
kisaran 5 sen buncis, 2 sen
wortel kecil dll, yang tentu tidak
proporsional lagi dengan harga
saat ini. Cukup jelas bahwa
sayuran dan bahan-bahan lainnya
akan lebih mahal daripada masa
sebelum perang, tapi semua ini
harus didasarkan pada perkiraan
bahwa kelak harga akan stabil.
Dengan alasan ini, kami memiliki
perkiraan bahwa tingkatan harga
rata-rata tidak berubah. Oleh
karena itu, sedianya ibu rumah
tangga mencoba untuk merancang
harga seperti pada masa sebelum
perang.17
Meski terkesan berusaha menyiasati
tingginya harga pangan, pada dasarnya
artikel masak Keijner ini berusaha
mereproduksi citra selera kolonial yang
artikel masak seorang gastronom
Pribumi asal Minang bernama
Chailan Sjamsu Dt. Toemenggoeng.
Dibandingkan Keijner yang lebih
berkiblat pada selera Eropa, Chailan
Sjamsu lebih cenderung memikirkan
konsep boga nasional bagi negara kita
pada masa awal kemerdekaan. Dalam
cetakan ke-2 Boekoe Masak-Masakan-
nya yang terbit pada 1948, Chailan
Sjamsu menilai bahwa isi dari cetakan
sebelumnya (tahun 1940) ia rasakan
sudah cukup dipakai oleh pembacanya.
Namun, dalam cetakan ke-2 nya ia
menambahkan:
”Hanja ada ditambah beberapa
boeah resép, jang moengkin perloe
bagi wanita di negeri-negeri ketjil.
Dibeberapa daérah sekarang masih
soelit mendapat mentéga dan
tepoeng terigoe. Oléh karena itoe
dimoeatkan sekarang resép mentéga
dan beberapa boeah resép taart
dan koewé dimana tidak perloe
memakai tepoeng terigoe. Moedah-
13
Apabila seluruh resep negara kita
(termasuk lima kelompok resep
daerah) itu dihimpun, maka jumlah
totalnya 204 resep. Ini jauh dengan
jumlah gabungan resep Eropa,
Tionghoa, Arab, dan India di dalam
artikel masaknya yang hanya berjumlah
76 resep. Jelas komposisi Chailan
Sjamsu ini yaitu hal yang baru
dilakukan oleh seorang gastronom
negara kita pada awal kemerdekaan.
artikel masak ini sebentuk penyelisihan
dari keumuman komposisi resep
dalam artikel -artikel masak masa
prakemerdekaan.
Pada bagian akhir artikel nya Chailan
Sjamsu juga mencoba merumuskan
konsep ”hidangan makanan
negara kita ” melalui seleksi berbagai
makanan (daerah dan asing). Seleksi
yang dimaksudnya yaitu dengan
melakukan berbagai kombinasi, yaitu
bahan makanan diusahakan sebisa
mungkin harus mengandung unsur
moedahan tjétakan kedoea ini
lebih memoeaskan pada pengoeroes-
pengoeroes roemah-tangga”
Meski terbit ulang pada tahun yang
sama dengan artikel masak Keijner,
tapi cara pandang Chailan Sjamsu
berbeda sekali dengan selera serba
Eropa-nya Keijner. Chailan Sjamsu
lebih mendorong pembacanya dari
kalangan rakyat negara kita di desa dan
di kota agar memberdayakan bahan-
bahan pangan lokal untuk membuat
olahan aneka makanan kue dan
masakan. artikel masak Chailan Sjamsu
pun jauh lebih banyak memasukkan
jumlah variasi makanan dan kue-kue
negara kita , seakan ini mewakili citarasa
nasionalisme Chailan Sjamsu. Selain
terobsesi ingin mewujudkan sejenis
boga nasional, ia juga menampilkan
kelompok lima resep bercitarasa
kedaerahan, yang mencakup Sumatra,
Jawa dan Madura, Sunda, Borneo dan
Sulawesi Selatan.
protein nabati dan hewani –sekalipun
dalam hidangan sangat sederhana; serta
jenis dan asal makanan dalam setiap
hidangan diusahakan harus mewakili
dari daerah-daerah tertentu.
Pada masa kemerdekaan, gastronom
seperti Chailan Sjamsu berusaha
mengubur segala gaya hidup kolonial
dalam hal kemewahan makannya.
Secara tidak langsung, justru ia
ingin menyadarkan rakyat negara kita
di berbagai daerah untuk bangga
terhadap makanannya sendiri.
Kesadarannya menampilkan resep-
resep makanan daerah di negara kita
pun mungkin tidak lepas dari
pemikirannya bahwa setiap makanan
mulanya yaitu “makanan daerah”
(regional dish). Makanan daerah sendiri
lahir sebagai respons terhadap iklim,
sumber daya, dan kebiasaan setiap
kelompok orang di daerahnya masing-
masing. Dengan kata lain, ia ingin
menyadarkan pembacanya di berbagai
14 dengan memuliakan bahan-bahan
mahal seperti mentega dan terigu
saja. Namun, ia lebih optimal
memberdayakan sumber daya pangan
lokal di negara kita . Maka itu, artikel
masaknya bukan sekedar menyajikan
galeri resep-resep saja, tapi ia juga
menyertakan berbagai pengetahuan
umum memasak, mulai dari perkakas
yang diperlukan di dapur; macam-
macam cara memasak; hal-hal yang
harus diperhatikan seputar bahan
makanan dan ketika memasaknya;
hingga memahami cara mengukur
dan menimbang bahan makanan yang
benar. Chailan Sjamsu menempatkan
pemahaman seputar bahan
makanan sebagai hal pokok. Hal ini
terhubung dengan pemikiran dan
pertimbangannya dalam menseleksi
resep-resep daerah dan asing serta
alasannya menghimpun ke dalam
”makanan negara kita ”.
daerah agar mampu memberdayakan
potensi sumber daya bahan makanan
untuk dapat diolah menjadi olahan
yang lezat dan sehat. Tujuan pokok
lainnya yaitu menseleksi beberapa
makanan di setiap daerah agar dapat
hadir dalam lingkup “hidangan
makanan negara kita ”. Dengan
mengemas komposisi hidangan,
dapat diartikan Chailan Sjamsu
mendorong pembacanya agar dapat
saling menerima makanan antardaerah.
Misalnya, pembaca di Manado bisa
membuat sendiri dan menikmati
rawon daging dan pecel dari Jawa.
Begitupun sebaliknya, pembaca di
Jawa dapat membuat sendiri dan
menikmati rica-rica dan ayam isi
dibulu dari Manado.
Hal yang ditekankan Chailan Sjamsu
dari konsep ”makanan negara kita ”-
nya itu bukan hanya sekedar lezat
Setelah era Chailan Sjamsu, pada
kurun 1951 hingga 1961, muncul
nama Nyonya Rumah, seorang
pengasuh rubrik ”Rahasia Dapur”
di majalah mingguan Star Weekly.
Nyonya Rumah sendiri yaitu nama
pena yang digunakan oleh seorang
Peranakan Tionghoa asal Lasem, Julie
Sutardjana. Sejak 1951, Julie dipercaya
oleh redaktur Star Weekly untuk setiap
pekannya mengasuh rubrik ”Rahasia
Dapur”.
Dalam setiap ulasan resepnya, Nyonya
Rumah tidak pernah mengutamakan
resep-resep khusus, sebut saja seperti
resep bercitarasa negara kita , Tionghoa,
atau Eropa. (Pengecualian pada hari-
hari besar Tionghoa seperti Imlek
dan Cap Go Meh, Nyonya Rumah
lebih cenderung mengulas resep-resep
bercitarasa Tionghoa, mengingat
pembaca Star Weekly kebanyakan
”apa yang dimulai dari makanan
kita?”, jawabnya: bukanlah di mulut!”
lalu apa? Di perut? ’Juga bukan’,
imbuh sang dokter, ’makna makanan
ada dalam seni memasak.”
15
permintaan mereka. Praktis, Nyonya
Rumah selalu disibukkan menyeleksi
dan memenuhi permintaan resep
mana yang harus didahulukan untuk
dimuat. Misalnya, pada Star Weekly
edisi 14 Mei 1955, ada tiga pembaca
dari Tegal, Bandung, dan Purwokerto
yang salah satunya meminta resep
klappertaart. Kue berbahan kelapa
muda yang identik dari Manado ini
ternyata cukup dikenal dan disukai
para pembacanya di Jawa. Nyonya
Rumah lantas memenuhi pemuatan
resep itu.
Selain itu, permintaan pembaca
dari suatu daerah terhadap resep
makanan dari daerah lainnya hampir
ada setiap pekan, misalnya pembaca
dari Jakarta yang meminta resep
”Soto Bandung” atau pembaca dari
terdiri dari kalangan Tionghoa
Peranakan). Sebagian besar terbitan
resepnya cenderung mengulas secara
acak dan campur resep-resep dari
berbagai unsur. Kecenderungan
acak dan campur itu bukan atas
kehendaknya, melainkan permintaan
resep dari para pembaca setianya yang
berasal dari berbagai daerah di Jawa
(mulai dari Jakarta, Bandung, Slawi,
Purwokerto, Semarang, Surabaya
hingga Bangkalan) dan juga di
luar Jawa (seperti Padang, Medan,
Palembang Makassar, Manado,
Palangkaraya, Balikpapan, hingga
Ternate).
Setiap pekannya, banyak surat dari
para pembaca setia Rahasia Dapur
yang ditujukan ke Nyonya Rumah agar
dapat membuat dan memuat resep
Surabaya yang meminta resep ”Dodol
Garut”. Nyonya Rumah sendiri
mungkin tidak menyadari bahwa ia
telah berhasil membentuk komunitas
pembaca nasional yang merasakan
saling-silang rasa dari berbagai unsur
citarasa antardaerah di negara kita .
Hebatnya lagi, Nyonya Rumah tidak
pernah kehabisan stok resep. Ini
menandakan betapa luas pengetahuan
gastronominya, selain kekuatan
energi, pikiran, dan kreativitas serta
keluangan waktunya untuk memenuhi
permintaan para pembaca setianya
setiap pekan.
Kiprahnya mengasuh rubrik Rahasia
Dapur sejak 1951 hingga 1961 tentu
patut diperhitungkan bahwa tanpa
disadarinya ia telah berperan penting
menyadarkan suatu konsep citarasa
Sampul artikel masak Mustika Rasa
Sumber: dokumentasi penulis
16
besar negara kita pertama yang
menampilkan resep-resep Nusantara.
Sebuah kategorisasi resep berdasarkan
spirit (etno) nasionalisme yang citranya
tidak didapati dalam artikel -artikel
masak pada masa-masa sebelumnya.
Menariknya, dari 1500 aneka resep
”masakan negara kita ” itu, terselip
berbagai pengaruh resep bercitarasa
Tionghoa, Arab, India, dan Eropa.
Penyusunan Mustika Rasa sendiri
berlandas pada pemikiran bahwa
yang pokok dari penciptaan boga
nasional untuk konteks negara kita
yaitu menjalin secara apik dan
menyeluruh hubungan strategi pangan
nasional. Hubungan yang dimaksud
itu ditentukan terlebih dahulu dari
kualitas budidaya pangannya sebelum
diolah di dapur dan terhidang di meja
makan hingga dijadikan sebagai bagian
dari identitas bangsa.
artikel masak nasional pertama
negara kita ini terbit pada 8 Februari
1967 atau bertepatan dengan tahun
dan bulan kala Presiden Soekarno
menyerahkan kekuasaan kepada
Soeharto (20 Februari 1967). Ironi,
mungkin kata yang tepat jika melihat
kenyataan itu. Namun, di balik itu,
artikel masak yang dicita-citakan
Sukarno ini patut dicatat sebagai
perkembangan revolusioner dalam
sejarah boga negara kita .
Citra boga negara kita masa sekarang
dengan kata lain merupakan akumulasi
dari perjalanan pembentukan boga
sejak masa terbitnya artikel masa
pertama Kokki Bitja pada 1857 hingga
terbitnya artikel masak besar nasional
pertama negara kita Mustika Rasa
bersama dalam pengembangan
kuliner negara kita pada masa
pascakemerdekaan. Melihat tingginya
antusiasme permintaan resep, maka
banyak pembaca setia rubrik ”Rahasia
Dapur” menyurati redaksi Keng Po,
selaku yang menerbitkan Star Weekly,
dan menyarankan agar resep-resep
Nyonya Rumah yang berserak di
majalah mingguan itu sebaiknya
diartikel kan agar membuat praktis
pembaca mencari resep-resepnya.
Permintaan itu diamini dan akhirnya
terwujud pada 1957 ketika Penerbit
Kinta (Jakarta) menerbitkan dua jilid
artikel Pandai Masak karya Nyonya
Rumah yang laris dicetak ulang hingga
dasawarsa 1960-an.
Baik kiprah Chailan Sjamsu maupun
juga Julie Sutardjana di atas sejalan
dengan proyek”revolusi makanan
rakjat” yang digelorakan Presiden
Sukarno sepanjang tahun 1950-an
hingga medio 1960-an. Puncaknya
yaitu pada 1967 ketika terbit artikel
besar masakan nasional berjudul
Mustika Rasa: Resep2 Masakan
negara kita dari Sabang sampai
Merauke.18 artikel ini diterbitkan
Departemen Pertanian. Pengerjaannya
memakan waktu tujuh tahun (1960
– 1967) di bawah koordinasi Menteri
Pertanian Brigadir Jenderal dr. Azis
Saleh yang kemudian baru bisa
diselesaikan oleh penggantinya, Mayor
Jendral Sutjipto.
Jelajah resep dari Sumatra hingga
Papua digarap melalui metode mulai
dari angket, pengumpulan resep,
hingga uji memasak yang disunting
oleh Harsono Hardjohutomo dkk.
Hasilnya yaitu sebuah artikel masakan
pada 1967. Terbitnya Mustika Rasa
menandakan boga bukan hanya terkait
masalah dapur dan ruang makan
saja, tapi kepentingan negara-bangsa
juga akhirnya masuk di dalamnya.
Kenyataan dari pembentukan hingga
perkembangan boga negara kita
sejatinya dibangun melalui jejalin
hubungan antarsistem budidaya,
gastronomi, sains, dan kebudayaan
yang sudah digeliatkan sejak masa
kolonial hingga beralih pada geliat
politik nasionalisasi kebudayaan pada
masa setelah kemerdekaan.
Fadly Rahman, sejarawan makanan,
penulis Jejak Rasa Nusantara : Sejarah
Makanan negara kita & Rijsttafel :
Budaya Kuliner di negara kita Masa
Kolonial.
Daftar Sumber
Anonim. 1866. Oost Indische Kookboek.
Semarang: van Dorp.
Anonim. 1951. Masakan djeung Amis-
Amis. Jakarta: Balai Pustaka.
Bosz, J.E. Quintus. 1911. “De
Samenstelling van Indische
Voedingsmiddelen”, dalam Koloniaal
Museum te Haarlem. Bulletin van het
Koloniaal Museum te Haarlem (no. 46).
Amsterdam: J.H. Bussy.
Brillat-Savarin, Jean Anthelme.
1866 (1825). Physiologie du gout ou
méditations gastronomie transcendante
ouvrage théorique, historique, et à l’ordre
du Jour. Paris : Charpentier.
Van der Burg, C.L. 1904. De Voeding
in Nederlandsch-Indië. Amsterdam:
J.H. de Bussy.
17
______. 2016. Jejak Rasa Nusantara:
Sejarah Makanan negara kita . Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Gallas, Haak-Bastiaanse. 1872.
Indische Kookboek. Nijmegen: Thieme.
Haryani. 1995. “Perlukah Adiboga
negara kita ?”, Selera, No. 9/th. XIV,
Desember.
Lombard-Salmon, Claudine. 1977.
“Presse féminine ou féministe?” dalam
Archipel. Vol. 13.
Keijner, W.C. 1948. Het Kookboek voor
Hollandsche, Chineesche en Indonesische
gerechten (terbit pertama tahun 1927).
Bandung: G. Kolff & Co.
Ochse, J.J & R.C. Bakhuizen van den
Brink. 1931. Vegetables of the Dutch
East Indies (Edible Tubers, Bulbs,
Rhizomes, and Spices Included); Survey
of the Indigenous and Foreign Plants
Serving as Pot-Herbs and Side-Dishes.
Buitenzorg: Archipel.
Protschky, Susie. 2007. Cultivated
Tastes; Colonial Art, Nature, and
Landscape in the Netherlands Indies.
Sydney: School of History, University
of New South Wales.
Raden Ajoe Adipati Arija Reksa-
Nagara. 1919. Lajang Panoentoen Bab
Olah-Olah, ing Pamoelangan Wisma-
Pranawa ing Tegal. Weltevreden:
Albrecht & Co.
______. 1941 (cetak ulang dari tahun
1936). Lajang Panoentoen Bab Olah-
Olah Kanggo para Wanita. Batavia: J.B.
Wolters.
Catenius-van der Meijden, J.M.J.
1908. Ons Huis in Indië. Semarang:
Masman & Stroink.
______. 1925. Groot nieuw volledig
Indisch kookboek: 1381 recepten van
de volledige Indische rijsttafel met een
belangrijk aanhangsel voor de bereiding
der tafel in Holland. Semarang: G.C.T.
van Dorp.
Chailan Sjamsu Dt. Toemenggoeng.
1948. Boekoe Masak-Masakan
(Pedoman Roemah Tangga 2, cetakan
ke-2, terbit pertama kali tahun 1940).
Jakarta: Balai Pustaka.
Cornelia. 1859. Kokki Bitja, atau,
Kitab Masak-Masakan India, jang
Baharoe dan Samporna, jang telah
Terseboet Didalamnja bagimana Orang-
Orang Sediakan Segala Roepa-Roepa
Makanan, Manisan, Atjaran, Sambalan
dan Ijs. Batavia: Lange.
Coté, Joost (ed.). 2008. Realizing the
Dreams of R.A. Kartini: Her Sister
Letters from Colonial Java. Leiden:
KITLV.
Harsono Hardjohutomo (et.al.).
1967. Mustika Rasa: Resep2 Masakan
negara kita dari Sabang sampai Merauke.
Jakarta: Departemen Pertanian R.I.
Donkin, Robin A. 2003. Between
East and West: the Moluccas and the
Traffic in Spices up to the Arrival of
Europeans. Philadelphia: Memoirs of
the American Philosophical Society.
Fadly Rahman. 2016 (2011). Rijsttafel:
Budaya Kuliner di negara kita Masa
Kolonial. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Sri Owen. 1999. negara kita n Regional
Food & Cookery. London: Frances
Lincoln.
Stockdale, John Joseph. 2004 (2811).
Island of Java.. Singapore: Periplus.
Suryatini N. Ganie. 2005. Kisah &
Kumpulan Resep Putri Jepara: Rahasia
Kuliner R.A. Kartini, R.A. Kardinah,
R.A. Roekmini. Jakarta: Gaya Favorit
Press.
Turner, Jack. 2004. The History of a
Temptation. New York: Vintage Books.
Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson.
1997. Kamus Jawa Kuna – negara kita ,
(bagian 1 A – O). Jakarta: Gramedia.
18
berkembang, merawat, dan membenahi
kehilangan-kehilangan (dari kebiasaan makan
sebelumnya) sebagai akibat dari perubahan vital.
Mengatur tubuh untuk tidak makan dengan cara
sama –sebagai pembeda dengan tubuh-tubuh
lainnya, menghasilkan kreasi, meragamkan
metode dan pengaruhnya dalam menentukan
aneka cara pengelolaannya, itu semua yaitu
serangkaian dari beroperasinya (fungsi) rasa.
8 Boga diambil dari bahasa Sansekerta, bhoga
atau bhogi, yang artinya kenikmatan, hal
makan; segala objek kenikmatan, makanan,
kesenangan…, lihat P.J. Zoetmulder dan S.O.
Robson, Kamus Jawa Kuna – negara kita , (bagian
1 A – O), (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm. 129.
Kata boga sendiri dipakai dan diterjemahkan
ke dalam bahasa negara kita oleh gastronom
negara kita Suryatini N. Ganie sebagai cuisine,
sehingga haute cuisine diterjemahkannya
menjadi “upaboga” atau “adiboga”. Lihat Suryatini
N. Ganie, Upaboga di negara kita : Ensiklopedia
Pangan & Kumpulan Resep, (Jakarta: Gaya Favorit
Press, 2003).
9 Iklan artikel masak Cornelia bahkan menghiasi
halaman surat kabar seperti dimuat di koran
Loccomotief 19 Desember 1881 hingga bahkan
awal abad 20 di De Sumatra Post 21 Februari
1914.
10 Menurut Dictionary of Food (Sinclair, 2005:
242), gastronom yaitu “a connoisseur of fine
food and wine” (ahli meneliti makanan dan
anggur berkualitas) dan gastronomi sebagai “the
study and knowledge of fine food and wine”
(studi dan ilmu pengetahuan tentang makanan
dan anggur berkualitas). Pengertian gastronomi
sendiri diartikan pertama kali oleh Brillat-
Savarin (Physiologie du goût, 1948: 44) sebagai
pengetahuan cermat tentang keseluruhan
hubungan manusia dengan makanannya (la
gastronomie est la connaissance raisonnée de
tout ce qui a rapport à l’homme, en tant qu’il se
nourritt).
11 Baik dalam edisi bahasa Belanda
(Samenstelling van Indische Voedingsmiddelen)
maupun edisi bahasa Perancis (Analyses de
denrées alimentaires des Indes)
12 Para ahli yang terlibat dalam penelitian
ini di antaranya J. Sack, van Eck, Weerman,
Bloemendal, Ritsema, Meyer Cluwen, de Fouw,
dan Bosz.
13Furnival, Hindia Belanda: Studi tentang
Ekonomi Majemuk (2009 : 415); lihat juga Vlekke,
Nusantara: Sejarah negara kita (2008: 374).
1 Haryani, “Perlukah Adiboga negara kita ?”, Selera,
No. 9/th. XIV, (Desember, 1995), hlm. 61.
2 Riset khusus sejarah global rempah-rempah
misalnya dikerjakan oleh Terence McKenna
(1993), Robin A. Donkin (2003), dan Jack Turner
(2011).
3 Transisi boga Eropa dari budaya lisan ke
tulisan yang terjadi pada abad ke-16 seiring
masa-masa bergairahnya menjelajahi samudera
dan berniaga rempah-rempah mewakili sebuah
tahap penting dalam memperbaiki standar
menakar dan durasi memasak yang patut untuk
sebuah resep (Higman, 1998: 79). Di Eropa Barat,
artikel -artikel memasak mulai menggeliat dicetak
pada medio abad ke-16 dan ditulis dalam bahasa
ibu di masing-masing wilayah. Jauh sebelum
masa abad ke-16, orang-orang Tionghoa telah
mencetak artikel memasak sejak masa Dinasti
Tang (618 – 907 M). Di Eropa, artikel masak yaitu
sebuah fenomena revolusi kedua setelah Kitab
Injil yang dicetak masif selepas era Guttenberg.
4 Jika dibandingkan negara Eropa seperti Italia,
Perancis, dan Spanyol, maka Belanda terbilang
sangat terlambat untuk merumuskan konsep
national-cuisine-nya melalui bahan-bahan
rempah dari tanah koloninya melalui artikel -
artikel masak. Malah Belanda mengadopsi boga
Perancis pada abad ke-19, mengingat Belanda
sendiri pernah dikuasai oleh negeri Napoleon itu.
5 Selain juga komoditas non-bahan makanan
seperti indigo, kapas, tembakau, dan karet.
6 John Joseph Stockdale dalam artikel nya Island
of Java (1811), misalnya, mengungkapkan betapa
di Jawa sumber pangan, rempah-rempah, dan
pohon-pohon yang menghasilkan berbagai
jenis buah begitu melimpahnya. Produksi padi
melimpah, sehingga Stockdale menjulukinya
sebagai “lumbung Timur”, maksudnya, produksi
padi di Jawa cukup untuk memenuhi persediaan
pangan di daerah lainnya. Rata-rata sumber
pustaka semacam Stockdale dan yang sejaman
dengannya sering menyinggung berbagai
pengamatan semacam ini.
7 Istilah ini kali pertama dicetuskan oleh
gastronom Perancis Jean Anthelme Brillat-
Savarin sesuai dengan judul artikel nya Physiologie
du goût yang terbit pada 1825. Rasa (goût)
sebagaimana diartikan Brillat-Savarin yaitu
sebuah indera yang terhubung dengan sensasi
kenikmatan di mana tubuh menyadari sensasi
tersebut. Rasa sebagai perangsang selera, lapar,
dan haus yaitu dasar beberapa tindakan yang
menghasilkan bagaimana individu bertumbuh,
14 C.L van der Burg, (De Voeding in
Nederlandsch-Indië, 1904: vii – viii).
15 Waar begint onze voeding? ’t Antwoord
daaroop is: ”Niet in den mond!” Waar dan? In de
maag? ”Ook niet”, zegt de dokter, ”de voeding
vangt aan in de keuken” (Catenius-van der
Meijden, Ons huis in Indië , 1908: 53).
16 Namun tidak semua lembaga pers perempuan
identik dengan penyaluran boga. Misalnya Istri
Sedar yang digagas pada 1930 di Bandung oleh
Soewarni Djojosepoetro mengecam organisasi-
organisasi keperempuanan yang aktivitasnya
melulu belajar memasak sebagai bentuk tidak
memiliki kepekaan sosial (Lombard-Salmon,
“Presse féminine ou féministe?”1977).
17 Teks aslinya berbunyi:“Bij het gereedkomen
van deze druk zijn de prijzen van groenten
en ingredienten hooger geworden. In de
recepten is verschillende malen aangegeven,
5 cent boontjes, 2 cent worteltjes enz, die niet
in verhouding met de huidige prijzen staan.
Het is vrij zeker, dat groenten enz duurder
zullen blijven, dan voor den oorlog, doch het is
slechts gissen op welke basis de prijzen zullen
stabiliseeren. Om deze reden hebben wij de
vermelde prijzen onveranderd gelaten. De
huisvrouw houde er derhalve rekening mede,
dat bedoeld zijn vooroorlogsche prijzen”. (W.C.
Keijner, 1948: halaman kata pengantar).
18 Pertama kali saya mengetahui artikel ini dari Sri
Owen, seorang praktisi boga negara kita kelahiran
Sumatra Barat yang kini menetap di London
bersama suaminya, Roger Owen. Pada 1987 di
Wimbledon, Sri membuka toko bahan makanan
bernama Mustika Rasa, sesuai dengan judul artikel
terbitan Departemen Pertanian tahun 1967 yang
dikatakannya sebagai the first negara kita regional
cookbook atau the first serious negara kita n
cookbook (Sri Owen, negara kita n Regional Food
and Cookery, 1999).
19
Sesajen Nyekar
Pundhen Nyai Rantamsari
di Gunung Sumbing
Deni S. Jusmani1
Panggah A. Putranto2
20
diperuntukkan bagi bumi, alam,
tumbuhan, dan berfungsi simbolik
untuk berkomunikasi dengan
makhluk halus (J. Van Baal, dalam
Koentjaraningrat, 1984: 365).
Esensinya, bentuk nyata kasih sayang
atau welas asih antarsesama makhluk
penghuni jagad raya.
Pengantar
Di masyarakat Kwadungan mengenal
makanan sesajian, di antaranya: bubur
merah, bubur putih, ayam ingkung,
dan sega golong. Sesajian terkait erat
dengan upacara adat atau ritual tradisi
yang sudah dilaksanakan dalam kurun
waktu lama. Pengetahuan tentang
makanan yang menjadi sajian dalam
ritual tradisi, diwariskan secara turun
temurun. Tidak saja dalam bentuk
kasar wujud makanan, tetapi mengenai
makna dan perlambangan yang
terimplementasi di dalamnya. Ritual
tradisi dalam masyarakat Kwadungan
terbagi atas tiga bagian, yaitu: pertama,
ritual tradisi yang berhubungan
dengan perjalanan hidup seseorang,
Di dataran Gunung Sumbing,
Dusun Kwadungan
Desa Wonotirto Bulu
Temanggung, Provinsi Jawa Tengah,
terdapat ritual yang diselenggarakan
ketika diketemukan pada waktu-waktu
tertentu, yang menurut hitungan
tanggal Jawa, atau karena kejadian
tertentu. Ritual tersebut masih
diselenggarakan sampai hari ini di
tahun 2017, yang menjadi semangat
spritual masyarakat Kwadungan,
sebagai sarana untuk mencapai maksud
dan tujuan tertentu. Terdapat beberapa
ritual yang sering dilaksanakan di
Kwadungan, yaitu: nyadran desa
dan kesenian Sandhul, yang terkait
erat dengan nyekar pundhen Nyi
Rantamsari di bulan Rejeb. Di dalam
ritual tradisi atau upacara adat
tersebut, terdapat sesajian, sesaji. Sesaji
bersumber dari Kamus Besar Bahasa
negara kita (2005: 979) diartikan
sebagai makan (atau bunga-bungaan)
yang disajikan untuk makhluk halus.
Sesajian bermakna hidangan, sifatnya
plural. Suatu aktivitas sedekah yang
seperti: upacara adat sebelum
seseorang lahir (contoh: mitoni),
upacara adat sesudah lahir, dan
upacara adat sesudah meninggal.
Kedua, upacara tradisi berhubungan
dengan pemenuhan kebutuhan
hidup, misalnya: membangun
rumah, membuat jalan baru,
menanam dan memanen tanaman
tembakau. Upacara adat yang ke
tiga berhubungan dengan peristiwa
tertentu, misal: bersih desa, saparan,
ruwahan, sawalan, kupatan, dan
suran. Upacara adat, dikatakan oleh
Bastomi (1992: 1) sebagai upacara
yang berhubungan dengan suatu
masyarakat, dapat berupa kegiatan
manusia dalam hidup bermasyarakat,
didorong oleh hasrat untuk
memperoleh ketentraman batin
atau mencari keselamatan dengan
memenuhi tata cara yang ditradisikan
di dalam masyarakat.
Menurut Koentjaraningrat (1979:
341) upacara tradisi digolongkan
menjadi 4 jenis, sesuai dengan
Persiapan upacara tradisi Nyadran Desa
Foto: Panggah A. Putranto, 2014
1 Dosen Seni Rupa di Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. Tinggal di Semarang. deni.setiawan@mail.unnes.ac.id.
2 Pengamat Budaya Jawa, tinggal di Kwadungan Wonotirto Temanggung Jawa Tengah. panggahadi@gmail.com.
21
penghuni planet bumi. Selanjutnya,
dikenal pula pisungsung yang artinya
persembahan. Dalam konteks ini,
pisungsung lebih difokuskan kepada
eksistensi supernatural being, misalnya:
ancesters atau ancient spirit (leluhur),
yaitu orang-orang yang hidup di
dimensi abadi. Pisungsung merupakan
wujud ekspresi nyata tentang bakti
kepada para leluhur, dalam wujud
suatu persembahan. Pisungsung
tidak terbatas benda fisik, dapat
berwujud persembahan melalui lisan
misalnya: doa, ucapan terimakasih,
ucapan sembah pangabekti, hingga
persembahan berupa tindakan nyata,
seperti: ziarah kubur, nyekar, ritual
menghaturkan aneka ragam uborampe
untuk pisungsung, dan membersihkan
pusara (sabdalangit.wordpress.com).
Bagi sebagian masyarakat Kwadungan,
mempercayai ritual tradisi
merupakan tuntutan yang diyakini
akan mendatangkan keberuntungan,
keselamatan, dan keberkahan terkait
dengan satu proses atau tindakan
dalam kehidupan. Bentuk dan wujud
penghormatan yang dilakukan
masyarakat dengan memberikan
persembahan dan sesajian melalui
acara slametan (selamatan). Masyarakat
Kwadungan melakukan selamatan
melalui pelaksanaan ritual tradisi
nyekar pundhen Nyai Rantamsari.
Ritual tradisi nyekar pundhen
Nyai Rantamsari pada hakikatnya
dipercaya sebagai upacara adat yang
dianggap dapat menjadi sarana
untuk menghormati leluhur di
desa tersebut dan menyingkirkan
malapetaka, serta mendatangkan
keselamatan. Ritual merupakan
suatu bentuk upacara adat yang
berhubungan dengan beberapa
peristiwa atau kejadian dalam
kehidupan sehari-hari, yaitu: selamatan
dalam rangka lingkaran hidup
seseorang, seperti: selamatan hamil
tujuh bulan, kelahiran, kematian, dan
saat-saat setelah kematian; selamatan
yang berkaitan dengan bersih desa,
penggarapan lahan pertanian,
dan pascapanen; selamatan yang
berhubungan dengan hari-hari dan
bulan-bulan besar Islam; selamatan
saat tidak tertentu, yang berkenaan
dengan kejadian-kejadian, seperti:
menempati rumah baru, menolak
bahaya, dan hajat.
Secara umum dikenal tiga macam
sesajen, yaitu: bancakan, suatu sesaji
yang ditujukan untuk sedekah kepada
sesama manusia, dalam rangka ritual
syukuran, ritual selamatan, atau ritual
doa permohonan. Sedekah merupakan
cara terbaik untuk memantaskan diri
menjadi orang yang layak menerima
anugerah. Bancakan dibuat untuk
dibagi-bagikan, kemudian dimakan
oleh orang. Bancakan biasanya dibuat
dengan aneka rasa yang enak di lidah
dan berupa hidangan khusus untuk
menimbulkan selera makan. Selain
bancakan, dikenal pula istilah bebono
atau pengorbanan atau kurban. Bebono
juga merupakan konsep sedekah,
kepada seluruh makhluk sesama
penghuni planet bumi. Manusia yang
memiliki kesadaran kosmologis, akan
memaklumi bahwa hidup di alam
dunia selalu berdampingan dengan
beraneka ragam makhluk hidup,
baik kasat mata, maupun yang tidak
kasat mata. Bebono tidak lain untuk
mewujudkan rasa menghormati,
menghargai, rasa syukur dan sebagai
ekspresi sikap welas asih secara
nyata kepada seluruh makhluk
kepercayaan, ditandai oleh sifat
khusus, menimbulkan rasa hormat
yang luhur dalam arti merupakan
pengalaman suci. Pengalaman tersebut
mencakup segala sesuatu yang dibuat
dan dipergunakan oleh manusia
untuk menyatakan hubungan dengan
alam transendental, aplikasinya
berupa suguh pada dhanyang /sing
mbahureksa desa.
Kisah Leluhur Kwadungan: Nyai
Rantamsari
Nyai Rantamsari merupakan leluhur
Desa Wonotirto yang dipercaya oleh
masyarakat sebagai sing mbahureksa
atau penjaga lingkungan sekitar. Nyai
Rantamsari yaitu seorang puteri
di zaman Kerajaan Demak. Nyai
Rantamsari yaitu seorang puteri
saudagar yang mempunyai penyakit
kebutaan pada matanya. Pada suatu
hari ayah sang puteri berkelana
mencari obat untuk putrinya,
tanpa disengaja bertemu dengan
seorang pemuda bernama Joko
Teguh. Joko Teguh yaitu seorang
wali yang membuka daerah Kedu,
dikenal dengan nama Ki Ageng Kedu
Makukuhan (1471-1497), murid dari
Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga.
Joko Teguh mampu menyembuhkan
sakit sang putri dan diperbolehkan
meminta apa saja yang diinginkan.
Joko meminta kuda sembrani dan sang
puteri dijadikan istri.
Nyai Rantamsari dan Ki Ageng
Makukuhan berkelana di daereh
Kedu untuk menyebarkan agama
Islam. Selama penyebaran agama
Islam, Nyai Rantamsari tidak selalu
bersama Ki Ageng Makukuhan.
Ketika dalam penyebaran agama
22
kehidupan sehari- hari, serta sebagai
rasa hormat menghormati antar sesama
mahkluk hidup di dunia. Maksud
sesaji yaitu untuk mendukung
kepercayaan masyarakat terhadap
adanya kekuatan makhluk-makhluk
halus, lelembut, demit, jin yang
berdiam di tempat-tempat tertentu,
agar tidak mengganggu keselamatan,
ketentraman, dan kebahagiaan
keluarga yang bersangkutan. Atau
sebaliknya, untuk meminta berkah
dan perlindungan dari sing mbahureksa
(Herusatoto, 2001: 91).
Sesajian yang digunakan dan
dibawa ke pundhen, yaitu: kembang
wangi, kemenyan, rokok, dan uang
dengan jumlah nominal tertentu,
sedangkan sesajian yang diletakkan
di rumah, yaitu: sega golong, wedang
jembawuk dan kopi, wedang teh legi,
dan wedang salam. Sesaji tersebut
ditempatkan di rumah juru kunci dan
rumah Mbah Suwarno selaku sesepuh
desa. Pelaksanaan tradisi dimulai
pada pukul 20.00 WIB, dimulai
oleh Mbah Mulyono selaku juru
kunci pundhen. Juru kunci memulai
dengan membakar menyan yang
telah diramal doa. Setelah kemenyan
dibakar, Mbah Mulyono dan para
pelaku ritual membaca doa yang
dipimpin oleh juru kunci. Sesudah
membaca doa, para pelaku melakukan
tirakatan di paseban yang berada di
pundhen.
Adanya rasa hormat kepada
sang leluhur memunculkan
suatu kebijakan-kebijakan berupa
sikap, ide atau gagasan untuk
menghidupkan tradisi guna
menjawab berbagai masalah yang
terjadi pada masyarakat Wonotirto.
Islam, Nyai Rantamsari beristirahat di
sebuah mata air yang bernama Tukji
atau Tuk Ajining Diri, di tempat itu
juga terdapat pohon beringin besar
dan lebat daunnya, dari sinilah awal
mbabat alas atau mbubak desa yang
diyakini sampai saat ini dikenal
dengan Dusun Kwadungan Desa
Wonotirto. Kwadungan berarti
kuwat dongane dan Wonotirto berarti
hutan berlimpah air.
Tradisi Nyekar Pundhen
Tradisi nyekar pundhen dilakukan
oleh masyarakat Kwadungan setiap 35
hari sekali, di malam Selasa Kliwon
dan Jumat Kliwon. Ritual tradisi
dilaksanakan di Pundhen Tukji yang
berada di sebelah selatan Desa
bertujuan untuk mendoakan leluhur
desa, yaitu Nyai Rantamsari yang
telah mbubak desa dan menyebarkan
agama Islam. Atas jasa beliau, maka
warga desa melakukan selamatan
tradisi nyekar pundhen untuk
mendoakan Nyai Rantamsari dan
meminta keselamatan bagi masyarakat.
Tradisi nyekar pundhen dengan sesajian
rutin diadakan setiap bulan Rejeb,
merupakan sarana perwujudan
rasa syukur warga Kwadungan
kepada Tuhan Yang Maha Esa,
atas pertolongan dan keselamatan
warga, dikabulkan hajatnya,
serta permohonan ketika musim
tembakau, agar diberikan tanaman
yang subur, dapat memanen hasil
yang melimpah, dan harga jual yang
tinggi. Nyekar pundhen yaitu
sarana untuk berdoa dan meminta
kemakmuran, keselamatan kepada
Tuhan agar terhindar dari musibah.
Nyekar pundhen juga sebagai
permohonan untuk ketentraman
masyarakat Desa Wonotirto dalam
Kebijakan-kebijakan berupa sikap, ide
atau gagasan tersebut direalisasikan
dalam bentuk upacara tradisi
nyekar pundhen sebagai wujud
penghormatan warga Wonotirto
kepada Nyai Rantamsari, meminta
keselamatan dalam kehidupan sehari-
hari, meminta hasil panen yang
melimpah, serta sebagai pelindung
agar terhindar dari musibah yang
dikarenakan owah gingsire zaman
atau perubahan zaman. Pelaksanaan
tradisi nyekar pundhen mendapatkan
pengaruh dari kebudayaan Islam
yang berkembang di Jawa, khususnya
Wonotirto. Pengaruh Islam memiliki
andil yang kuat dalam pelaksanaan
nyekar pundhen. Di dalam agama Islam
memiliki budaya untuk mendo’akan
orang yang telah meninggal,
dilakukan mengirimkan do’a ketika 7
hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari.
Budaya Islam Jawa juga mengajarkan
tradisi ziarah kubur. Nyekar pundhen
berarti mengirimkan do’a. Sejarah
nyekar pundhen berkaitan dengan
kebudayaan Islam yang berkembang
di Jawa.
Tradisi Nyadran Desa dan Kesenian
Sandhul
Tradisi nyadran desa (nyadran berasal
dari kata sraddha berarti selamatan
di Bulan Ruwah) dan kesenian
Sandhul dilakukan setiap bulan Rejeb,
berkaitan erat dengan tradisi nyekar
pundhen yang rutin diadakan sebagai
selamatan desa. Akan tetapi tradisi
nyadran dilakukan warga Kwadungan
pada bulan Rejeb, sudah menjadi
tradisi turun temurun dilakukan
oleh warga, sekaligus menjadi
panyuwunan dari Nyai Rantamsari
yang dilaksanakan setiap hari Jumat,
jam tujuh pagi. Jatuhnya pelaksanaan
23
1. Sega golong
Golong Malaikat Kasim yaitu
salah satu simbol dari pelengkap
sesaji upacara tradisi nyekar.
Golong merupakan bagian dari
pelengkap sesajian yang dibuat
dengan menggunakan bahan baku
beras. Beras dibersihkan dengan
air, kemudian dimasak seperti
menanak nasi. Setelah beras masak,
lalu ditunggu panasnya berkurang
dan dibentuk seperti bucu, tetapi
ukurannya lebih kecil di atas piring.
Pembuatan golong sebagai do’a
agar diberikan kesempurnaan yang
ditujukan kepada Malaikat Kasim.
Sega golong dibuat menggunakan
nasi yang telah dimasak, dibentuk
menyerupai gunungan ditempatkan di
piring sebagai wadahnya.
2. Wedang jembawuk dan Wedang kopi
pait
Wedang jembawuk yaitu minuman
terbuat dari kopi dan air santan
yang dicampur dan diseduh
menggunakan air panas, maknanya
yaitu perwujudan rasa susah pada
manusia.
3. Wedang teh legi
Salah satu sesaji dalam upacara
tradisi yang pembuatannya
menggunakan teh dan air panas,
diseduh menggunaakan gelas. Proses
pembuatan sesaji harus menggunakan
teh yang masih berbentuk daun, tidak
boleh menggunakan teh kemasan
atau teh seduhan.
4. Wedang salam
Wedang salam digunakan dalam
sesaji upacara nyekar pundhen. Proses
pembuatannya menggunakan daun
salam satu lembar diseduh di dalam
gelas menggunakan air panas.
5. Udud dan Uang
Rokok yang digunakan untuk sesaji
dalam ritual upacara berupa rokok
filter atau kretek tergantung dari
pelaku ritual. Sesaji dilengkapi
dengan saksi. Saksi berupa rokok
dan uang yang berjumlah ganjil dari
Rp.1.100, berlaku kelipatannya yang
disertakan bersama dengan bunga dan
kemenyan.
6. Kemenyan dan Kembang Wangi
Bunga yang digunakan dalam upacara
tradisi nyekar yaitu kembang wangi,
antara lain: bunga mawar merah
dan putih, bunga melati, bunga
kenanga, daun pandan, bunga kanthil.
Kembang wangi sebelumnya telah
disiapkan di rumah para pelaku tradisi
yang diperoleh dari pasar.
Fungsi dan Makna Sesajian bagi
Masyarakat Gunung Sumbing
Fungsi spiritual dalam pelaksanaan
upacara tradisional nyekar pundhen
berhubungan dengan pemujaan
manusia untuk memohon keselamatan
pada leluhur, roh halus atau Tuhannya.
Tradisi nyekar pundhen merupakan
sarana meminta kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Baik meminta rejeki,
keselamatan, jabatan, atau permintaan
lain, dengan mengirimkan do’a
kepada Nyai Rantamsari. Tradisi ini
merupakan sarana mengucap syukur
segenap masyarakat Desa Wonotirto
kepada Tuhan yang memberikan
anugerah berupa rezeki, ketenteraman,
dan keselamatan. Nyekar pundhen
juga bertujuan agar saling hormat-
menghormati antarsesama mahkluk
hidup di dunia. Nyekar pundhen
dapat memberikan rasa ketentraman
bagi masyarakat Desa Wonotirto dan
sekitarnya.
pada hari Jumat, dilihat dari umur
lurah, jika berumur muda maka
jatuh pada Jumat Legi, tetapi jika
berumur tua jatuh pada Jumat Wage.
Penentuan hari pasaran pada nyadran
desa bersumber atas ketentuan dari
Nyai Rantamsari. Tradisi kesenian
sandhul dilaksanakan pada bulan
Rejeb, dilaksanakan setelah sholat
Jum’at, berlangsung sampai malam
hari. Sandhul menceritakan tentang
perputaran zaman, babad-babad sarat
akan tuntunan hidup dan nilai-nilai
luhur. Sandhul merupakan kesenian
peninggalan leluhur, pelaksanaannya
berlangsung secara sakral.
Masyarakat Kwadungan menggunakan
kesenian sandhul sebagai sarana untuk
menyampaikan pesan religi atau
keagamaan. Selain menyampaikan
hal-hal yang baik, juga menyampaikan
adegan-adegan yang dilarang dalam
agama, misalnya: main perempuan,
berjudi dan mengadu ayam.
Pementasan kesenian sandhul terdiri
atas empat babak, yaitu: badhut ngarep,
badhut tengah, badhut sunthi, Ki Haji
Sandhul. Di tengah-tengah panggung
terdapat sebuah oncor/senthir dengan
kayu sebagai penyangga, sekaligus
sebagai titik pusat pementasan atau
pusat perhatian. Pelaksanaan kesenian
sandhul dilaksanakan di perempatan
dusun.
Sesajian dalam Nyekar Pundhen
Sega golong, wedang jembawuk,
wedang kopi pait, wedang teh legi,
dan wedang putih salam, merupakan
sesaji yang dipersiapkan dalam ritual
tradisi nyekar pundhen hari Selasa dan
Jumat Kliwon.
24
pendukungnya. Masyarakat Desa
Wonotirto sebagai fungsi pelestari
tradisi, masih tetap melaksanakan
Tradisi nyekar pundhen, mempunyai
dampak yang bagus dalam
masyarakat baik dari segi spiritual,
ekonomi, dan sosial. Tradisi nyekar
pundhen dipandang baik di masyarakat
dan memiliki nilai kebaikan.
Beberapa makna sesajian bagi
masyarakat Kwadungan Desa
Wonotirto di Gunung Sumbing,
diuraikan sebagai berikut.
Sega golong
Golong Malaikat Kasim merupakan
bagian dari pelengkap sesajian yang
dibuat untuk upacara tradisi nyekar.
Golong berfungsi sebagai tanda
penghormatan kepada yang membagi
rezeki. Dengan diberikannya golong
ini, diharapkan akan memberikan
kesempurnaan terhadap do’a yang
diharapkan oleh masyarakat Desa
Wonotirto. Diberi nama Golong
Malaikat Kasim sebagai salah satu
penghormatan kepada Malaikat Kasim.
Malaikat Kasim, konon menjadi salah
satu pembagi rezrki dari kepercayaan
para sesepuh dan masyarakat Desa
Wonotirto, mistis yang sudah turun-
temurun dan menjadi kepercayaan.
Golong mempunyai tujuan agar
Sang Pembagi Rezeki, membagikan
rezeki yang melimpah, terutama hasil
pertanian tembakau.
Golong yang dibuat ini bertujuan
untuk permohonan doa kepada sang
penjaga yang dipercaya berkuasa,
menjaga baik dan buruk di Desa
Wonotirto. Golong merupakan sebuah
doa yang ditunjukkan dengan suatu
simbol. Semua simbol-simbol dibuat
oleh masyarakat Desa Wonotirto
bertujuan untuk berdo’a agar diberikan
sesuatu yang terbaik dalam pertanian
tembakau. Golong mempunyai makna
Fungsi sosial berkaitan dengan
interaksi atau hubungan antara
manusia dengan manusia. Pada
tradisi nyekar pundhen dapat
digunakan sebagai media interaksi
antara sesama manusia. Interaksi
yang terjalin selama pelaksanaan
nyekar pundhen secara langsung
dapat mempererat tali persaudaraan,
kegotongroyongan dan kebersamaan
antarwarga. Tradisi nyekar pundhen
berfungsi sebagai sarana meningkatkan
hubungan sosial dan menjadi ajang
silaturahmi antarwarga masyarakat.
Warga yang menghadiri nyekar
pundhen berasal dari Desa Wonotirto
dan sekitarnya, terkadang terdapat
warga yang datang dari jauh, luar
Temanggung. Kontak sosial yang
terjadi saat mengikuti pelaksanakan
nyekar pundhen menggambarkan rasa
kebersamaan dan persaudaraan warga
tanpa membedakan status sosial dan
ekonomi.
Pelaksanaan tradisi nyekar pundhen
berfungsi sebagai sarana untuk
melestarikan tradisi. Fungsi ini erat
hubungannya dengan pelestarian,
perlindungan terhadap adat kebiasaan
yang sudah dilaksanakan turun-
temurun dari nenek moyang dan
masih dilaksanakan oleh masyarakat
Sega Golong di piring
Kopi Pait dan Wedang Jembawuk
Teh legi
Wedang Salam.
Foto: Panggah A. Putranto, 2014
25
rahim sang ibu, manusia dibayang-
bayangi oleh Naga Kala atau bahaya.
Ketika manusia telah lahir, maka harus
berhati-hati pula karena segala penjuru
mata angin selalu ada Naga Kala
(Doyodipuro, 2005:580). Oleh karena
itu, manusia memiliki ancaman bahaya
pada waktu, hari, minggu, bulan dan
tahun tertentu, sehingga manusia
berusaha untuk meminta keselamatan
dengan menggunakan sego golong.
Perlambangan untuk mengumpulkan
hari, minggu, bulan dan tahun,
kemudian hari yang digunakan untuk
ritual, sehingga yang bersangkutan
diberikan keselamatan atas semua
waktu tersebut.
Wedang jembawuk dan Wedang
kopi pait
Wedang jembawuk yaitu minuman
terbuat dari kopi dan air santan yang
dicampur, bermakna perwujudan
rasa susah pada manusia. Manusia
diharapkan selalu ingat kepada Sang
Pencipta agar selalu diberi jalan dan
kemudahan ketika dalam kehidupan di
dunia.
Wedang teh legi
Wedang teh legi bermakna perwujudan
rasa senang. Pembuatan wedang teh
legi harus menggunakan dengan teh
berdaun, tidak boleh menggunakan
teh celup. Hal ini mengandung
makna, bahwa kehidupan manis di
dunia tidak lepas dari penderitaan dan
kesengsaraan, untuk mendapatkan
kebahagiaan harus berjuang untuk
mendapatkan manisnya dunia.
Wedang salam
Wedang salam bermakna perwujudan
memberi salam dengan rasa yang suci
tulus ikhlas dari hati terdalam.
Udud dan Uang
Rokok mempunyai fungsi ditujukan
kepada makhluk halus atau para
leluhur laki- laki dengan tujuan agar
ngeses. Rokok dalam sajen digunakan
sebagai persembahan kepada
makhluk yang tidak lelihatan,
diharapkan apabila makhluk halus
itu laki-laki agar ududa. Uang
merupakan sesaji yang digunakan
sebagai pelengkap, uang yang
digunakan juga tergantung dari
pelaku besarnya nominal seikhlasnya
dari sang pelaku yang meminta
permintaan khusus. Menurut Suhardi
(1997: 65) uang dimaknai sebagai
ucapan terimakasih kepada kaum
yang telah menyampaikan tujuan dari
sesaji, dan juga terimakasih kepada
semua pihak. Uang merupakan
sebagai tanda syukur yang diucapkan
kepada sang mbahurekso di Desa
Wonotirto.
Berdasarkan pengamatan Shelia
Windya Sari, pada ritual tingkeban
misalnya, nasi golong dibuat berjumlah
9 dan diwadahi menggunakan daun
pisang. Golong berasal dari kata
gemolong (menyatu), diartikan agar
sesama manusia mampu rukun
menjadi satu. Golong di daun pisang
perlambang tidak kotor dan tetap
bersih. Demikian halnya dengan
manusia, diharapkan memiliki watak
bersih, tidak banyak bertingkah
aneh. Jumlah 9 dimaksudkan
untuk memuliakan 9 Wali, yang
menunjukkan bahwa Islam telah
terimplementasi dalam adat Jawa.
Golong atau nasi yang dikepal-kepal
melambangkan tekat bulat dalam
menggapai sesuatu.
Menurut pengamatan Annisaul
Dzikrun Ni’mah di wilayah Gunung
Kelud, sego golong yang berjumlah 7,
bermakna menyatukan 7 hari, tujuh
malam, lima pasaran, tiga puluh
hari, dua belas bulan, empat minggu,
tepatnya di hari itu (Minggu Pon).
Sego golong bermakna kemajemukan
waktu dan hari. Sejak masih dalam
26
yang menebar memberikan rasa
tenang, meningkatkan kesabaran,
dan keheningan dalam berpikir
dan bertindak. Keharuman
memberikan rasa tenteram dan
rasa menyenangkan bagi yang
menciumnya. Orang hidup di
dunia ini, hendaknya menebarkan
aroma harum, seperti harumnya
bunga pudhak. Harumnya nama
baik manusia sepanjang masa dan
selalu dikenang, hanya dapat
diperoleh dengan perilaku nyata yang
memberikan kebaikan terhadap sesama
dan lingkungannya.
Ritual Nyekar Pundhen: Akulturasi
Budaya Jawa dan Islam
Nyekar pundhen dalam konteks
budaya Islam terkait dengan ziarah
kubur. Akuluturasi budaya ini dapat
dibuktikan pula dengan mengamati
do’a-do’a yang diucapkan selama
prosesi pelaksanaan. Ziarah kubur
dalam konteks Islam, merupakan cara
yang dilakukan dengan mengunjungi
kuburan, dalam rangka mengirim do’a
kepada sanak kerabat. Nyekar pundhen
merupakan bagian dari prosesi ngintun
do’a kepada para leluhur desa. Peziarah
pundhen atau Nyai Rantamsari
datang membawa kembang wangi dan
menyan. Kembang wangi dibungkus
menggunakan daun pisang, yang
berisikan bunga Mawar merah, Mawar
putih, bunga Kenanga, daun pandan,
dan bunga Kanthil.
Sebelum acara dimulai warga
yang telah datang terlebih dahulu
menunggu di dalam ruangan
pundhen. Sembari menunggu warga
bergantian menghampiri juru kunci,
guna menyerahkan kembang wangi
dan menyan, serta menyampaikan
maksud dan harapannya kepada
juru kunci. Sebelum melaksanakan
prosesi nyekar pundhen juru kunci
terlebih dahulu membakar menyan
yang dibawa oleh warga. Setelah
menyan dibakar kemudian dilanjutkan
dengan pembacaaan do’a. Juru kunci
menjadi imam dalam pembacaan do’a,
diikuti oleh warga yang datang, untuk
mendo’akan Nyai Rantamsari.
Urutan berdo’a dimulai dengan di
awali dan mengirimkan surat Al
Fatihah kepada beberapa nama,
yaitu: Syekh Abdul Qodir Al Jaelani,
Ki Ageng Makukuhan, dan Nyai
Rantamsari. Setelah itu secara
berurutan membaca Surat Al Ikhlas,
Al Falaq, An-Naas, Al Baqarah 1-5, Al
Baqarah 163 (Ayat Kursi), diteruskan
dengan zikir La illaaha illaallahu 33X,
Subhaballahu 33X, Allhamdulillahi
33X, dan Allahu Akbar 33X. Pada
tahap akhir ditutup dengan do’a
sebagai berikut.
“Assalamu’alaikum warohmatullahi
wabarakatuh, A’udzubilllahhimina
nyatonirrajim, Allahumma shalli
‘ala sayidina muhammadiwa’ala
sayyidina Muhammad, sayidil
awwalina waakhririna wasalim
warodiyallahu ta’ala rasulillahhi
shalallahu’alaihi wassalam ajma’in.
Bismillahirakhmanirrakhin,
Alhamdulullahirabbil ‘alamin,
khamdan syakirin, khamdan na’’imin,
khamdan yuwafi ni’amahu wayukhafi
ummayiddah, Allahumma shalli
‘ala sayyidina Muhammad, wa’ala
ali sayyidina Muhammad, shalatan
tunjina biha min jamingil ahwa li wal
affwat, wataqdhilana biha jami’al
hajat, watarfa’una biha aqsal ghayat,
min ja’il khairati fil kayati wa
ba’’dal mamat. Allahummah dini
sesaji yang mempunyai makna untuk
melancarkan dan mendatangkan
rezeki, sesaji uang juga digunakan
sebagai pelengkap dalam memberikan
sesaji, jika ada sesajen yang kurang.
Kembang Wangi dan Menyan
Menyan memiliki makna sebagai
wewangian. Kemenyan memiliki
makna jika akan berdo’a atau
menghadap Tuhan Yang Maha
Esa manusia harus dalam kondisi
yang suci. Menyan juga bermakna
sebagai pembakar sifat-sifat jelek
di dalam hati manusia. Kembang
wangi memiliki makna sebagai sarana
memohon keselamatan dengan tulus,
mengagungkan nama Tuhan, serta
selalu mengingat jasa para leluhur.
Selain itu, sebagai pedoman untuk
manusia agar menjalankan kehidupan
dengan baik. Kembang wangi terdiri
dari bunga mawar, bunga
kenanga, bunga kanthil, dan daun
pandan. Masing-masing bunga
mempunyai makna simbolik sebagai
berikut.
a. Bunga mawar memiliki makna
awar-awar ben tawar, yang artinya
sebagai simbol ketulusan atau
keikhlasan dalam menjalani niat
menjalankan nyekar pundhen
b. Bunga kenanga memiliki makna
mengenang, artinya sebagai simbol
selalu mengenang dan mengingat
apa yang leluhur berikan dengan
cara bersyukur.
c. Bunga kanthil memiliki makna
kumanthil kanthil, artinya sebagai
simbol selalu mengingat peringatan-
peringatan dari para leluhur agar selalu
menjadi pedoman dalam kehidupan.
d. Daun pandan memiliki makna
keharuman, artinya keharuman
27
menuju paseban untuk melakukan
tirakat sesuai petunjuk juru kunci.
Berdasarkan perilaku ziarah
kubur dan do’a yang diucapkan,
menunjukkan pengaruh Islam yang
sangat kental. Perilaku dan do’a cara
Islam ini didorong oleh keadaan
Nyi Rantanmsari yang dipercayai
oleh masyarakat dan berdasarkan
pengetahuan turun temurun yaitu
beragama Islam. Hal tersebut
diperkuat pula oleh para peziarah dan
juru kunci pundhen yang beragama
Islam. Juru kunci sering menyebutkan
agama yang dianutnya yaitu Islam
Kejawen. Tradisi kejawen memiliki
keyakinan bahwa segala sesuatu di
dunia pada hakikatnya yaitu satu atau
merupakan kesatuan hidup. Tradisi
kejawen memandang kehidupan
manusia selalu terpaut erat dalam
kosmos alam raya. Dengan demikian,
kehidupan manusia merupakan
suatu perjalanan yang penuh dengan
pengalaman-pengalaman religius. Bagi
masyarakat Kwadungan, percaya atau
yakin terhadap tradisi merupakan
perilaku yang mendatangkan
keberuntungan dan keselamatan
dalam menjalani proses kehidupan.
Hal tersebut juga merupakan bentuk
dan wujud penghormatan yang
dilakukan dengan memberikan
persembahan.
Ziarah kubur dan nyekar pundhen,
merupakan sebuah pemikiran,
kebudayaan, dan bentuk ideologi
yang diwariskan. Ideologi pikir para
peziarah pundhen, atau pelestari
budaya tradisional semacam sandhul,
dapat terbentuk berdasarkan kondisi
alam, sosial, budaya, politik lokal,
fiman Hadhaiit, wa’afini fiman ‘afait,
watawallani fii man tawalait, wabarikli
fii maa a’toit, waqini birakhgmatika
syarroma qodhoit, fainnaka taqdhi wala
yuqdha ‘alaik, wainnahu layadhilluman
‘afait, wala ya’izzuman ‘adait, tabarak
tarabbbana wata’alait, walakal
khamdu ‘ala ma qodhoit, astaghfiruka
wa atubu ilaik, washalallahu ‘ala
sayyidina muhammadin nabiyyil
ummmiyyil, wa’ala alihi washakhbihi
wasallam. Allahumma inna nasaluka
shalaamatan fiddiini wal’aafiyatna
fil jasadi wa ziyaadatan fil ‘ilmi
wabaraakatan firrizqi wa taubatan
qablal maut, warahmatan ‘indal maut,
wamaghfiratan ba’dal maut. Allahumma
hawwin ‘alainaa fii sakaraatil mauti
wannajaata minannaari wal ‘afwa
indal hisaab. Rabbana laa tuzig
qulubana, ba’daid hadaitana,
wahablana, miladunka rakhmah,
innaka antal wah hab. Rabbanaa
aatinaa fiddunyaa hasanataw wafil
aakhirati hasanataw waqinaa
‘adzaabannar. Washalallahu’ala
sayyidina Muhammad wa’ala sayyidina
Muhammad, subkhana rabbika rabbil
‘izzati ‘ammayasifun, wasalamun ‘alal
mursalim, walkhamdumdulilahirabbil’
alamin”.
Setelah selesai pembacaan do’a ,
warga secara bergantian mendekati
tempat juru kunci membakar
kemenyan, dan berdoa secara
bergantian untuk keselamatan dan
memohon agar apa dido’akan dan di
harapkan dapat terkabulkan. Setelah
berdo’a warga melakukan ngukup
kukus kemenyan dengan maksud agar
doa yang dipanjatkan merasuk ke
dalam tubuh. Setelah selesai berdo’a
kemudian warga beralih tempat
dan pendidikan. Ideologi ini, dalam
konteks kajian sosial, sangat dekat
dengan “budaya”, menunjukkan
koherensi yang berarti, bahwa sebuah
ideologi dapat dirumuskan sebagai
seperangkat proposisi saling terkait.
Ideologi yaitu bagian dari budaya
yang bersangkutan, representasi
dari sosial dan komitmen terhadap
nilai-nilai pusat. Althusser (1977)
berpendapat ideologi dibuat sebagai
bagian dari proses sejarah dengan
cara merekonstruksi, pada bagian luar
intensionalitas siapa pun. Selain itu,
ideologi disebarkan oleh apa yang
disebut “aparatur negara ideologis”
seperti: keluarga, gereja, sekolah
dan berbagai bentuk ritual. Dalam
masyarakat modern pembentukan
ideologi pada seseorang, sekolah dan
keluarga paling penting, termasuk
yaitu peran agama (Barnard and
Spencer, 1996: 369-370).
Akulturasi budaya Islam dan Jawa
diwariskan secara turun temurun.
Menurut Edward Tylor, akulturasi
ini wujud dari pengetahuan bersama
antara anggota kelompok. Ini berarti,
budaya ditransmisikan antargenerasi
melalui penggunaan simbol-simbol,
bahasa, sistem pengetahuan, dan
proses budaya. Budaya tidak terbatas
pada “budaya tinggi”, seni, pakaian,
tetapi mencakup domain yang luas
dari pengalaman manusia (Moore,
2009: 3). Cara-car






.jpeg)
.jpeg)
