Usaha kuliner 1

 




Sejarah perihal ini bisa dilihat dari 

upaya Bung Karno, presiden pertama 

RI yang berinisiatif untuk menerbitkan 

sebuah artikel  tentang aneka macam 

makanan Nusantara. Tajuknya: “artikel  

Masakan negara kita  Mustika Rasa: Resep-

resep Masakan negara kita  dari Sabang 

sampai Merauke”. Baru terbit tahun 

1967, setahun (lebih) setelah Soekarno 

jatuh. artikel  yang disusun cukup lama 

tersebut berisi kurang lebih 1.600 

resep masakan, 900 resep di antaranya 

menggunakan penekanan asal daerah. 

Menurut Fadly Rahman dalam artikel  

“Jejak rasa Nusantara: Sejarah Makanan 

negara kita ” (2016) resep-resep tersebut 

sudah sejak lama popular seperti dari 

Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Maluku, 

tetapi tidak sedikit resep baru—entah 

baru dikenal tapi sudah lama ada atau 

baru dikenal karena baru ditemukan. 

Dengan segala kelebihan dan 

kelemahannya, artikel  tersebut relatif 

bisa menjadi tonggak penting betapa 

Negara telah peduli untuk mengelola 

makanan sebagai salah satu kosa budaya 

yang mampu diberdayakan sebagai 

bagian dari identitas dan kekuatan 

sumber daya negara kita .

Setidaknya itu menjadi jawaban 

atas keprihatinan Soekarno tentang 

dunia makanan negara kita  yang justru 

direndahkan oleh orang negara kita  

sendiri akibat mentalitas anak jajahan. 

Ini tecermin dari ujaran Soekarno 

yang dicatat oleh Cindy Adams dalam 

“Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat 

negara kita ” (1966): “Sampai sekarang 

orang negara kita  masih terbawa-bawa 

oleh sifat rendah diri, jang masih sadja 

mereka pegang teguh setjara tidak sadar. 

Hal ini menjebabkan kemarahanku 

antara daftar menunya. Dugaan 

targetnya jelas, bahwa itu ingin 

menyasar konsumen dari negara kita  

atau masyarakat kosmopolitan lainnya 

yang ingin merasakan menu yang 

mendunia: nasi goreng.

Mendunianya dengan segera kuliner 

negara kita  pada momen ini, pada sisi 

lain, sekaligus menerbitkan sebuah 

keprihatinan. Mengapa rendang, sate, 

nasi goring dan sekian banyak nama 

makanan negara kita  justru diglobalkan 

oleh orang atau pihak asing, dan bukan 

oleh manusia-manusia negara kita  

sendiri? Kenapa Thailand, Jepang, 

India, bahkan Vietnam bisa lebih 

dulu mampu menginternasionalkan 

kuliner mereka? Apakah keragaman dan 

kekayaan kosa kuliner Nusantara atau 

negara kita , gagal diinternasionalkan 

dengan masif karena kita tidak mampu 

menguasai jejaring kerja (networking) 

dunia lewat political will negara? 

Apakah kita memang tak mampu 

memberdayakan aspek kultural 

(termasuk di dalamnya dunia kuliner) 

sebagai bagian penting dari diplomasi 

politik atau diplomasi budaya itu 

sendiri?

Saya tidak tahu persis perkara tersebut. 

Mungkin teramat kompleks. Atau 

rumit bahkan ruwet. Meski demikian, 

kalau kita menelisik jelujur kronologi 

sejarah, ada upaya yang telah dilakukan 

oleh negara atau pemerintah dalam 

mengupayakan perkara kuliner sebagai 

garda penting dalam menerakan 

perkara identitas bangsa/nasional, atau 

problem kuliner sebagai siasat untuk 

memberikan alternatif “perlawanan” 

terhadap kekuatan “luar”.

baru-baru ini. Wanita-wanita dari 

kabinetku selalu menjediakan djualan 

makanan Eropa. ‘Kita mempunjai 

panganan enak kepunjaan kita sendiri,’ 

kataku dengan marah. ‘Mengapa 

tidak itu sadja dihidangkan?’ ‘Ma’af, 

Pak,’ kata mereka dengan penjesalan,’ 

Tentu bikin malu kita sadja. Kami 

rasa orang Barat memandang rendah 

pada makanan kita jang melarat.’ Ini 

yaitu  suatu pemantulan-kembali 

daripada djaman dimana Belanda masih 

berkuasa. Itulah perasan rendah diri 

kami jang telah berabad-abad umurnja 

kembali memperlihatkan diri. Edjekan 

jang terus-menerus dipompakan oleh 

pemerintah Hindia Belanda tentang 

ketidakmampuan kami, menjebabkan 

kami jakin akan hal tersebut.”

Mata Jendela edisi kali ini berupaya 

membuka kembali ingatan kita tentang 

dunia makanan atau kuliner yang 

penuh keragaman. Sudah pasti ini 

hanya secuil narasi tentang kekuatan 

salah satu budaya kita yang bisa 

dikembangkan, dan diberdayakan 

lebih lanjut menjadi sebaris “kekuatan 

nasional” yang bisa diandalkan. Kenapa 

kita tidak terus mengupayakannya? 

Kenapa harus Obama dan CNN yang 

memancing kekuatan diplomasi olah 

cita rasa kita di panggung dunia? ***

Kuss Indarto, pemimpin redaksi Mata 

Jendela.

6

ini terbilang absen dalam ranah 

gastronomi perlu dipahami; mengingat 

akar boga negara kita  (negara kita n 

cuisine) telah ada jejaknya sejak silam. 

          

Dari Mitos Rempah hingga 

Terbitnya Kookboek Pertama

Fondasi boga negara kita  secara historis 

mulanya tidak bisa lepas dari citra 

silam negara kita  sebagai ”kepulauan 

rempah-rempah” (spices islands). 

Istilah ini menyekam mitos eksotisme 

rempah sebagai konsumsi massa paling 

diburu dunia. Di Eropa, rempah 

bukan hanya dipakai ”membumbui” 

citra makanan Abad Pertengahan yang 

dikenal suram dan tak mengundang 

selera. Tapi juga simbol kemakmuran 

PADA 29 Maret 2017 Akademi 

Gastronomi negara kita  

mengadakan acara Dialog 

Gastronomi Nasional di Kementerian 

Pariwisata, Jakarta. Dialog bertajuk 

From Food to Root: The Rise of 

Gastronomy Tourism ini menyajikan 

pembahasan lintas bidang, mencakup 

sejarah, gastronomi, industri kuliner, 

dan pariwisata. Tujuan utamanya 

yaitu  merumuskan bagaimana 

idealnya memajukan gastronomi 

negara kita  dengan menjalin hubungan 

sinergis antarberbagai pihak, mulai 

dari hulu (pangan) hingga ke 

hilirnya (kuliner). Untuk memahami 

bagaimana sinergi itu dibangun, maka 

pemahaman sejarah yang selama 

meja makan kaum bangsawan hingga 

sebagai pemulih kesehatan.2 Dalam 

ranah kuliner, rempah-rempah jugalah 

yang membuat orang-orang di Eropa 

pada abad ke-16 bergairah menulis 

artikel  masak sebagai salah satu simbol 

identitas kebudayaan mereka.3

Namun kepulauan rempah-rempah 

juga menyekam mitos yang menjebak 

cara pandang terhadap kenyataan 

sebenarnya. ”Kisah manis” rempah-

rempah di Eropa kontras dengan 

tanah asal (baca: Nusantara) yang 

menumbuhkannya. Selain berlumur 

darah, pertikaian, dan derita 

perbudakan, hingga abad ke-18, kisah 

citarasa rempah terkesan tidak terlalu 

Dari Indische Keuken

“Adiboga kita, sebenarnya bahan ada, elemennya semua ada, cuma creative person-nya yang belum. 

Creative person itu harus menguasai bukan saja sejarah negara kita , tetapi juga ilmu bumi dan 

pertanian negara kita ”. 

abad ke-19 pun masih melaporkan 

sebatas kekaguman pada bahan-

bahan makanan yang melimpah,6 

bukan pada bagaimana mengelola dan 

mengolahnya ke arah nilai seni hingga 

fisiologi rasa7 layaknya boga.8 

Orang-orang Eropa khususnya 

Belanda yang bermukim di berbagai 

wilayah Hindia agaknya abai 

mengurus persoalan rasa di tanah 

koloni. Hingga akhirnya sebuah artikel  

memasak terbit pada 1857. Judulnya 

banyak menyentuh urusan dapur di 

tanah asalnya sendiri.

Pada abad ke-19, citra sebagai 

kepulauan rempah-rempah itu lantas 

digantikan dengan pengembangan 

masif sistem tanaman budidaya 

di Hindia Belanda, mulai dari 

Cultuurstelsel (1830 – 1870) hingga 

penerapan Undang-Undang Agraria 

(1870). Susie Protschky (2007: 

187) berkata-kata  bahwa orang-

orang Belanda bertanggung jawab 

mengenalkan perubahan radikal 

terhadap lanskap tanah jajahan dan 

kehidupan di dalamnya. Lanskap 

paling menghipnotis pesona orang-

orang Eropa yaitu  agraria.

Namun, hingga dan selama paruh 

pertama abad ke-19, hasil-hasil 

tanaman budidaya di berbagai 

wilayah belum menampakkan adanya 

kenikmatan seni kuliner di Hindia 

Belanda. Orang-orang Belanda 

cenderung sibuk menempatkan lada, 

pala, dan cengkih semata sebagai 

komoditas ekspor ke pasar dunia.4 

Adapun komoditas ekspor antarpulau 

lebih pada beras dan kelapa. Disusul 

pengenalan tanaman komersial 

seperti singkong, kopi, dan teh yang 

hasilnya meningkat pada abad ke-19.5 

Sumber-sumber tertulis pada awal 

Sampul Kokki Bitja karya Cornellia

Sumber: dokumentasi penulis

Kokki Bitja atoe Kitab Masak-Masakan 

India yang Bahroe dan Semporna. 

Disusun oleh Nonna Cornelia. 

Perempuan ini memperkenalkan aneka 

makanan berikut bahan-bahannya 

yang ada dan memungkinkan diolah 

di Hindia dalam sebuah artikel  masak 

(kookboek). Tersirat kesan Cornelia 

tengah menyusun kumpulan resep 

yang mewakili citarasa di berbagai 

daerah Hindia dalam nama-nama 

aneh, seperti: ”Ajam orang Boegis”, 

”boendoek boendoek Makassar”, 

”gadon daging Soerabaija”, ”gobe 

Betawi”, hingga yang agak rasis: 

”Masak babi seperti orang tjina” dan 

”seperti Ceilon” (sic.). 

artikel  berpengantar bahasa Belanda 

tapi memuat resep-resep berbahasa 

Melayu ini sepertinya hanya sekedar 

hobi atau hasil bertukar resep dari 

sesama perempuan Eropa dan Pribumi 

yang nama-nama aslinya disamarkan 

begitu lucu memakai nama-nama 

makanan: Mevrouw Sarondeng, 

Mejufvrouw Sesaté, Njonja Smoor, 

Nonna Lalawar, Makokki Karmanatji, 

Embok Kottelet, firma Bami, Kimblo 

& Co, dan Mevrouw Katimoen 

(Cornelia, 1859: vi). Meski hobi, artikel  

masak ini dicetak berkali-kali dari edisi 

pertamanya tahun 1857. Edisi 1859 

sudah masuk cetakan ke-5.9

8

Berbeda dengan Cornelia yang 

menggunakan bahasa Melayu, 

kedua artikel  memasak yang disebut 

terakhir menggunakan bahasa 

Belanda. artikel  anonim diterbitkan di 

Semarang, sehingga jelas ini ditujukan 

untuk publik Belanda di Jawa. 

Namun, artikel  Gallas diterbitkan di 

Nijmegen (Belanda). Sehingga kuat 

kecenderungan modifikasi masakan 

”Indische” lebih dititikberatkan pada 

kebutuhan mempertahankan citarasa 

Barat. Jika kecenderungan sang 

pengarang anonim yaitu  melokalkan 

yang Barat, maka sebaliknya Gallas 

lebih cenderung membaratkan yang 

lokal.

Dari Budidaya Pangan hingga 

Budaya Bangsa

Sejak awal abad ke-20 para ahli sains 

dan gastronomi10 mengembangkan 

boga di Hindia Belanda yang ditandai 

dengan pemuliaan budidaya (vegetasi 

dan hewani) secara sistematis. 

Setelah Cornelia, sebuah artikel  masak 

bertajuk Oost Indische Kookboek 

dengan pengarang anonim terbit pada 

1866. Salah satu yang disarankan 

sang pengarang kepada para pembaca 

artikel nya yaitu  mengganti bahan 

kembang kol yang lazim dipakai 

di selatan Belanda dengan daun 

pepaya muda. artikel  ini sendiri jelas 

ditujukan untuk orang-orang Belanda. 

Tapi yang patut disimak yaitu  

penggunaan kata ”Oost Indische” 

yang berarti sang pengarang tengah 

mencoba mewujudkan konsep ruang 

untuk berbagai resep makanan yang 

dikumpulkannya. Hal ini dilakukan 

juga Gallas Haak-Bastiaanse yang pada 

1872 menerbitkan artikel  masaknya 

Indische Kookboek. Kebalikan dari 

pengarang anonim, justru Gallas 

memberi salah satu saran menarik, 

mengganti makanan oriental seperti 

bamie (sic.) dengan macaroni (sic.).

Aktivitas pengembangan pengetahuan 

bahan-bahan makanan di Hindia 

mulai berdenyut setelah lembaga 

Laboratorium Koloniaal Museum di 

Haarlem menerbitkan secara rutin 

laporan analisis bahan makanan di 

Hindia Belanda melalui Bulletin van 

Het Koloniaal te Haarlem-nya.11 Dr. 

A.G. Vorderman berperan menggagas 

ini selepas ia terlibat dalam eksibisi 

internasional makanan di Paris pada 

1900. Sejak penerbitan laporan 

analisis bahan-bahan makanan itu 

terwujud secara berkala dalam arahan 

Dr. M. Greshoff, penelitian bahan-

bahan makanan pun mulai serius 

dikembangkan oleh para ahli12 hingga 

dipetakan kegunaannya dalam olah-

olah makanan di seluruh wilayah 

Hindia. Tidak hanya itu. Pada 1902, 

pemerintah juga mendirikan sebuah 

komisi khusus untuk meneliti sebab-

sebab menurunnya kesejahteraan 

Pribumi. Salah satu perhatiannya 

diarahkan pada persoalan pangan.13

”...orang-orang Belanda bertanggung 

jawab mengenalkan perubahan 

radikal terhadap lanskap tanah 

jajahan dan kehidupan di dalamnya. 

Lanskap paling menghipnotis pesona 

orang-orang Eropa yaitu  agraria.”

9


makanan dengan aspek saintifik. 

Makanan masih ditempatkan dalam 

ruang lingkup gastronomis yang 

sempit. artikel  masak tak lebih hanya 

simbol atas hobi, kesenangan, dan 

sekedar pengisi waktu luang bagi 

penulisnya.

Sejak masa 1900 kontestasi citarasa 

berkembang bukan hanya di kancah 

artikel  masak (kookboek). Para ahli 

sains mulai dari dokter hingga botanis 

gencar menerbitkan berbagai artikel . 

Konsep ”Indische voeding” diurai lebih 

menyeluruh dan saintifik. Sains seakan 

dipakai untuk ”mengadabkan” kualitas 

rasa di kawasan Hindia. Misalnya ada 

Dr. C. L. Van der Burg yang sejak 

akhir abad ke-19 mengangkat isu-isu 

kesehatan dalam makanan. Pada 1904 

ia menerbitkan secara khusus artikel  De 

Voeding in Nederlandsch Indie. artikel  

Burg ini memuat pelbagai informasi 

lengkap bahan-bahan makanan 

nabati dan hewani di wilayah Hindia 

Upaya pemerintah meningkatkan 

kesejahteraan pangan faktanya 

membuahkan akibat-akibat yang 

menarik bagi perkembangan dunia 

boga di Hindia. Ketika kesejahteraan 

beringsut bangkit pada dasawarsa 

kedua abad ke-20, budidaya pangan 

pun turut berkembang secara mantap. 

Kondisi ini turut mendukung 

tumbuhnya lembaga penelitian sains 

makanan, spirit mengembangkan 

pendidikan gastronomi, hingga 

produksi artikel -artikel  masak.

Hal penting dari itu semua yaitu  

mulai terbentuknya hubungan 

makanan sebagai identitas kolektif 

masyarakat di Hindia. Ini terumuskan 

melalui konsep Indische keuken yang 

dipopulerkan para ahli makanan 

sepanjang 1900 - 1942.

Meskipun pada abad ke-19 artikel -artikel  

masak sudah beredar, tapi citranya 

masih mengabaikan hubungan 

berikut takaran serta kandungan gizi 

hingga kimiawinya. Van der Burg 

menerangkan bahwa penyelidikan 

saintifik secara fisiologis diperlukan 

untuk menanamkan kesehatan dalam 

kandungan makanan di Hindia.14

Tren saintifikasi makanan di Hindia 

pun diikuti oleh pembuat artikel  

masak. Tampilan kookboek tidak lagi 

seperti masa abad ke-19. Awal abad 

ke-20 memunculkan salah seorang 

gastronom kenamaan bernama J.M.J. 

Catenius-van der Meijden yang serius 

mendalami makanan di Hindia secara 

ilmiah sebagai dasar karya-karyanya 

seperti Ons Huis in Indië (rumah kita 

di Hindia, 1908) dan Groot Nieuw 

Volledig Oost Indisch Kookboek (artikel  

masak Hindia terbesar, terbaru dan 

terlengkap, 1925).

Catenius-van der Meijden memiliki 

lisensi diploma dan penghargaan 

Gouden Medaille dari Haagsche 

Catenius-van der Meijden dan karya masyhurnya Groot Nieuw 

Volledig Indisch Kookboek


memengaruhi kualitas masakan diurai 

rinci oleh Catenius-van der Meijden 

secara statistik berikut hitungan 

nutrisinya. Misalnya bagaimana 

ia membuat perbandingan gizi 

antara kroepoek-kerbo (sic.) dengan 

kroepoek-ikan Palembang (sic.); hingga 

mengukur proses mencerna nasi, telur 

mentah, telur goreng di dalam perut.

Karir Catenius-van der Meijden 

terus melejit hingga dasawarsa 

ketiga abad ke-20. Salah satu artikel  

memasaknya Groot Nieuw Volledig 

Oost Indisch Kookboek terbit 1925. 

Dijelaskan di muka artikel nya bahwa 

ia yaitu  seorang ”Lauréate Institut 

International d’alimentation d’hygiene 

et de cuisine” (Pemenang penghargaan 

Institut Internasional Makanan 

Sehat dan Boga) di Paris. Gastronom 

dengan spesialisasi Indische keuken 

ini menjadikan Prancis sebagai kiblat 

pengetahuan boga dan higienitas 

makanannya. Berbeda dengan artikel  

terdahulunya, dalam artikel  ini tampak 

sekali Catenius-van der Meijden 

menampilkan ”prancisasi” citarasa 

terhadap Indische keuken melalui 

berian kata-kata Prancis semisal: bain 

marie, bouquet, consommé, dan entrées.

Kooktentoonstelling (Sekolah Tinggi 

Memasak) pada 1904. Satu karyanya 

yang melambungkan namanya Ons 

Huis in Indië menampilkan citra 

ilmiah makanan di Hindia. Dalam 

sebuah kongres yang membahas 

makanan di Amsterdam pada 1902, 

Catenius mengutip pembahasan 

seorang ahli makanan, Dr. Schrijver 

yang mempertanyakan: ”apa yang 

dimulai dari makanan kita?”, 

jawabnya: bukanlah di mulut!” lalu 

apa? Di perut? ’Juga bukan’, imbuh sang 

dokter, ’makna makanan ada dalam seni 

memasak.”15

Pernyataan sang dokter pun 

diterapkan oleh Catenius-van der 

Meijden terhadap makanan di Hindia 

dalam satu bagian artikel nya yang 

membahas ”De Voeding”. Hal yang 

esensial dari apa yang dimakan di 

Hindia bukan hanya dari bahannya 

(voedingsmiddelen), tapi nutrisinya 

(voedingsstoffen). Masalah terkait 

bagaimana temperatur makanan dan 

minuman diatur, proses pencernaan, 

komposisi makanan, lama pencernaan 

berbagai makanan yang diasup, 

higienitas makanan, hingga bahan 

peralatan memasak yang dapat 

Kehadiran sekian banyak artikel  masak 

hingga awal abad ke-20 sendiri semata-

mata bukan karena kerja mengolah 

kelezatan makanan akan menggiring 

pada gaya hidup belaka. Tapi 

kebutuhan para gastronom atas bahan-

bahan memasak sebagaimana dimuat 

dalam karya mereka sebenarnya berkait 

dengan kian perlunya mereka pada 

bahan-bahan rempah, sayuran, dan 

buah-buahan agar dikultivasi luas. 

Seperti dilakukan Osche dan van 

den Brink (1931: vii)) yang meneliti 

pelbagai jenis tumbuhan di Hindia, 

cara budidayanya, hingga keterangan 

penggunaannya sebagai bahan 

makanan dan obat. Sayang, dikatakan 

keduanya, masyarakat di Hindia tidak 

maksimal memanfaatkan kekayaan 

vegetasi di tanahnya sendiri.

Ketika rasa diolah secara saintifik lalu 

diabadikan secara tekstual dan artikel -

artikel nya terdistribusikan massal ke 

berbagai wilayah Hindia, menjalar 

kesadaran baru di kalangan Pribumi 

untuk mengimbangi bahkan terkesan 

menandingi para saintis Eropa. 

Misalnya saja, ketika pemerintah 

kolonial memiliki Voedingsmiddellen 

Commisie yang didirikan pada 1914, 

11


Tegal (artikel  pedoman memasak di 

Sekolah Wismo-Pranowo di Tegal) 

(terbit 1918) dan Lajang Panoentoen 

Bab Olah-Olah Kanggo para Wanita 

(terbit 1936 & 1941) yang ditujukan 

bagi murid-muridnya (lihat juga 

warisan resep-resep memasak Kartini, 

Kardinah, dan Roekmini dalam artikel  

Ganie, 2003).

Selain itu pada 1930-an penerbit Balai 

Pustaka menerbitkan seri artikel  masak 

berbahasa daerah. Contohnya artikel  

masak berbahasa Sunda Masakan 

djeung Amis-Amis (masakan dan manis-

manis) yang terbit perdana pada 1934 

dan mengalami beberapa kali cetak 

ulang. Namun diterangkan dalam 

pengantar cetakan keempat (1951), 

selama Perang Dunia II, artikel  laris ini 

sempat berhenti dicetak ulang akibat 

suasana peperangan. Itu mengapa 

publikasi artikel  masak terbilang absen 

pada 1940-an.

Namun hal yang penting disimak, 

format resep dalam rubrik dan juga 

artikel  masak berbahasa Melayu dan 

daerah ternyata memuat komposisi 

hidangan yang tak berbeda dengan 

karya-karya gastronom Belanda dan 

maka pada 1937 muncul Dr. Poorwo 

Soedarmo menggagas pendirian 

Lembaga Makanan Rakjat.

Makanan juga mulai ditempatkan 

ke dalam ruang pers pribumi. 

Lembaga-lembaga pers dan organisasi 

perempuan pribumi pun mengemuka 

sejak awal abad 20. Sebut saja Poetri 

Hindia di Jawa, Soenting Melajoe di 

Padang, Soeara Iboe dari tanah Batak, 

dan Soeara Istri Kristen di Jawa Timur. 

Media-media massa perempuan itu 

memuat rubrik resep-resep masakan 

dalam terbitannya.16

Sebuah kisah dari Raden Ajoe 

Adipati Arija Reksa-Nagara alias R.A. 

Kardinah  (saudari R.A. Kartini), juga 

patut diketengahkan di sini. Kardinah 

yaitu  gastronom didikan Eropa yang 

mendirikan sekolah Wismo Pranowo 

(rumah yang meluaskan pandangan) 

di Tegal bagi anak-anak perempuan 

Pribumi yang didirikannya pada 

1916 (Coté [ed.], 2008: 303 – 310). 

Kardinah juga produktif menulis 

artikel  masak –selain menjahit dan 

membatik– seperti artikel  Lajang 

Panoentoen Bab Olah-Olah, ing 

Pamoelangan Wisma-Pranawa ing  

Indo. Dalam artikel  Masakan djeung 

Amis-Amis yang disebut di atas, 

konsep Indische Keuken yang meliputi: 

Inlandsche (Pribumi) – Chineesche 

(Tionghoa) – Europeesche (Eropa) 

masih hadir dalam komposisi: 

”Masakan”, ”Masakan Tionghoa”, 

dan ”Masakan Eropa.” Meski 

disajikan dalam bahasa Sunda, tidak 

sedikitpun sang pengarang anonim itu 

menggunakan kata ”masakan Sunda,”; 

malah dalam satu menunya digunakan 

kata: ”goreng hajam negara kita ” (sic). 

 

Citarasa Membangun Bangsa

Indische keuken mulai mengalami 

penurunan pamor pada masa 

kekuasaan Jepang (1942 – 1945). 

Pada masa itu Jepang menerapkan 

penghapusan terhadap berbagai wujud 

kebudayaan kolonial. Lepas dari 

kekuasaan Jepang dan masuk ke masa 

kemerdekaan bukan berarti situasi 

menjadi membaik dan mendukung 

hidupnya kembali kegairahan dalam 

aktivitas kuliner terkait dengan belum 

stabilnya harga bahan-bahan pangan. 

Hal itu terungkap dalam artikel  masak 

karya W.C. Keijner (1948):

”Seiring rampungnya cetakan 

terbaru artikel  masak ini, harga 

12

menampilkan citarasa Eropa. Hal itu 

terasa dari penerbit yang menyinggung 

kenaikan harga buncis dan wortel 

sebagai jenis sayuran yang notabene 

identik dengan bahan makanan 

Belanda. Komposisi 23 jenis resep 

dalam artikel  masaknya meliputi olahan 

Belanda, Tionghoa, dan negara kita  

yang terasa mirip dengan artikel -artikel  

masak masa kolonial. Bedanya pada 

dua cetakan terakhir tahun 1948, 

artikel  masak ini mulai mengganti label 

makanan Indische atau Inlandsche 

dengan nama Indonesische (makanan 

negara kita ). Beberapa jenis olahan dari 

daerah-daerah di negara kita  pun tampil 

di dalamnya, seperti dari Padang 

(pangéh, gulai, rendang), Cirebon (sate 

manis), Tegal (besengèk), Manado 

(ayam dibulu, lemper), hingga Ambon 

(schuimpjes).

Meski diterbitkan ulang pada masa 

kemerdekaan, artikel  masak Keijner ini 

jelas berbeda jika dibandingkan dengan 

sayuran dan bahan-bahan lainnya 

tengah naik. Resep-resep dalam 

artikel  masak ini menggunakan 

bahan-bahan makanan dengan 

kisaran 5 sen buncis, 2 sen 

wortel kecil dll, yang tentu tidak 

proporsional lagi dengan harga 

saat ini. Cukup jelas bahwa 

sayuran dan bahan-bahan lainnya 

akan lebih mahal daripada masa 

sebelum perang, tapi semua ini 

harus didasarkan pada perkiraan 

bahwa kelak harga akan stabil. 

Dengan alasan ini, kami memiliki 

perkiraan bahwa tingkatan harga 

rata-rata tidak berubah. Oleh 

karena itu, sedianya ibu rumah 

tangga mencoba untuk merancang 

harga seperti pada masa sebelum 

perang.17

Meski terkesan berusaha menyiasati 

tingginya harga pangan, pada dasarnya 

artikel  masak Keijner ini berusaha 

mereproduksi citra selera kolonial yang 

artikel  masak seorang gastronom 

Pribumi asal Minang bernama 

Chailan Sjamsu Dt. Toemenggoeng. 

Dibandingkan Keijner yang lebih 

berkiblat pada selera Eropa, Chailan 

Sjamsu lebih cenderung memikirkan 

konsep boga nasional bagi negara kita  

pada masa awal kemerdekaan. Dalam 

cetakan ke-2 Boekoe Masak-Masakan-

nya yang terbit pada 1948, Chailan 

Sjamsu menilai bahwa isi dari cetakan 

sebelumnya (tahun 1940) ia rasakan 

sudah cukup dipakai oleh pembacanya. 

Namun, dalam cetakan ke-2 nya ia 

menambahkan:

”Hanja ada ditambah beberapa 

boeah resép, jang moengkin perloe 

bagi wanita di negeri-negeri ketjil. 

Dibeberapa daérah sekarang masih 

soelit mendapat mentéga dan 

tepoeng terigoe. Oléh karena itoe 

dimoeatkan sekarang resép mentéga 

dan beberapa boeah resép taart 

dan koewé dimana tidak perloe 

memakai tepoeng terigoe. Moedah-

13


Apabila seluruh resep negara kita  

(termasuk lima kelompok resep 

daerah) itu dihimpun, maka jumlah 

totalnya 204 resep. Ini jauh dengan 

jumlah gabungan resep Eropa, 

Tionghoa, Arab, dan India di dalam 

artikel  masaknya yang hanya berjumlah 

76 resep. Jelas komposisi Chailan 

Sjamsu ini yaitu  hal yang baru 

dilakukan oleh seorang gastronom 

negara kita  pada awal kemerdekaan. 

artikel  masak ini sebentuk penyelisihan 

dari keumuman komposisi resep 

dalam artikel -artikel  masak masa 

prakemerdekaan.

Pada bagian akhir artikel nya Chailan 

Sjamsu juga mencoba merumuskan 

konsep ”hidangan makanan 

negara kita ” melalui seleksi berbagai 

makanan (daerah dan asing). Seleksi 

yang dimaksudnya yaitu  dengan 

melakukan berbagai kombinasi, yaitu 

bahan makanan diusahakan sebisa 

mungkin harus mengandung unsur 

moedahan tjétakan kedoea ini 

lebih memoeaskan pada pengoeroes-

pengoeroes roemah-tangga” 


                       

Meski terbit ulang pada tahun yang 

sama dengan artikel  masak Keijner, 

tapi cara pandang Chailan Sjamsu 

berbeda sekali dengan selera serba 

Eropa-nya Keijner. Chailan Sjamsu 

lebih mendorong pembacanya dari 

kalangan rakyat negara kita  di desa dan 

di kota agar memberdayakan bahan-

bahan pangan lokal untuk membuat 

olahan aneka makanan kue dan 

masakan. artikel  masak Chailan Sjamsu 

pun jauh lebih banyak memasukkan 

jumlah variasi makanan dan kue-kue 

negara kita , seakan ini mewakili citarasa 

nasionalisme Chailan Sjamsu. Selain 

terobsesi ingin mewujudkan sejenis 

boga nasional, ia juga menampilkan 

kelompok lima resep bercitarasa 

kedaerahan, yang mencakup Sumatra, 

Jawa dan Madura, Sunda, Borneo dan 

Sulawesi Selatan.

protein nabati dan hewani –sekalipun 

dalam hidangan sangat sederhana; serta 

jenis dan asal makanan dalam setiap 

hidangan diusahakan harus mewakili 

dari daerah-daerah tertentu.

Pada masa kemerdekaan, gastronom 

seperti Chailan Sjamsu berusaha 

mengubur segala gaya hidup kolonial 

dalam hal kemewahan makannya. 

Secara tidak langsung, justru ia 

ingin menyadarkan rakyat negara kita  

di berbagai daerah untuk bangga 

terhadap makanannya sendiri. 

Kesadarannya menampilkan resep-

resep makanan daerah di negara kita  

pun mungkin tidak lepas dari 

pemikirannya bahwa setiap makanan 

mulanya yaitu  “makanan daerah” 

(regional dish). Makanan daerah sendiri 

lahir sebagai respons terhadap iklim, 

sumber daya, dan kebiasaan setiap 

kelompok orang di daerahnya masing-

masing. Dengan kata lain, ia ingin 

menyadarkan pembacanya di berbagai 

14 dengan memuliakan bahan-bahan 

mahal seperti mentega dan terigu 

saja. Namun, ia lebih optimal 

memberdayakan sumber daya pangan 

lokal di negara kita . Maka itu, artikel  

masaknya bukan sekedar menyajikan 

galeri resep-resep saja, tapi ia juga 

menyertakan berbagai pengetahuan 

umum memasak, mulai dari perkakas 

yang diperlukan di dapur; macam-

macam cara memasak; hal-hal yang 

harus diperhatikan seputar bahan 

makanan dan ketika memasaknya; 

hingga memahami cara mengukur 

dan menimbang bahan makanan yang 

benar. Chailan Sjamsu menempatkan 

pemahaman seputar bahan 

makanan sebagai hal pokok. Hal ini 

terhubung dengan pemikiran dan 

pertimbangannya dalam menseleksi 

resep-resep daerah dan asing serta 

alasannya menghimpun ke dalam 

”makanan negara kita ”.

daerah agar mampu memberdayakan 

potensi sumber daya bahan makanan 

untuk dapat diolah menjadi olahan 

yang lezat dan sehat. Tujuan pokok 

lainnya yaitu  menseleksi beberapa 

makanan di setiap daerah agar dapat 

hadir dalam lingkup “hidangan 

makanan negara kita ”. Dengan 

mengemas komposisi hidangan, 

dapat diartikan Chailan Sjamsu 

mendorong pembacanya agar dapat 

saling menerima makanan antardaerah. 

Misalnya, pembaca di Manado bisa 

membuat sendiri dan menikmati 

rawon daging dan pecel dari Jawa. 

Begitupun sebaliknya, pembaca di 

Jawa dapat membuat sendiri dan 

menikmati  rica-rica dan ayam isi 

dibulu dari Manado.

Hal yang ditekankan Chailan Sjamsu 

dari konsep ”makanan negara kita ”-

nya itu bukan hanya sekedar lezat 

Setelah era Chailan Sjamsu, pada 

kurun 1951 hingga 1961, muncul 

nama Nyonya Rumah, seorang 

pengasuh rubrik ”Rahasia Dapur” 

di majalah mingguan Star Weekly. 

Nyonya Rumah sendiri yaitu  nama 

pena yang digunakan oleh seorang 

Peranakan Tionghoa asal Lasem, Julie 

Sutardjana. Sejak 1951, Julie dipercaya 

oleh redaktur Star Weekly untuk setiap 

pekannya mengasuh rubrik ”Rahasia 

Dapur”.

Dalam setiap ulasan resepnya, Nyonya 

Rumah tidak pernah mengutamakan 

resep-resep khusus, sebut saja seperti 

resep bercitarasa negara kita , Tionghoa, 

atau Eropa. (Pengecualian pada hari-

hari besar Tionghoa seperti Imlek 

dan Cap Go Meh, Nyonya Rumah 

lebih cenderung mengulas resep-resep 

bercitarasa Tionghoa, mengingat 

pembaca Star Weekly kebanyakan 

”apa yang dimulai dari makanan 

kita?”, jawabnya: bukanlah di mulut!” 

lalu apa? Di perut? ’Juga bukan’, 

imbuh sang dokter, ’makna makanan 

ada dalam seni memasak.”

15


permintaan mereka. Praktis, Nyonya 

Rumah selalu disibukkan menyeleksi 

dan memenuhi permintaan resep 

mana yang harus didahulukan untuk 

dimuat. Misalnya, pada Star Weekly 

edisi 14 Mei 1955, ada tiga pembaca 

dari Tegal, Bandung, dan Purwokerto 

yang salah satunya meminta resep 

klappertaart. Kue berbahan kelapa 

muda yang identik dari Manado ini 

ternyata cukup dikenal dan disukai 

para pembacanya di Jawa. Nyonya 

Rumah lantas memenuhi pemuatan 

resep itu. 

Selain itu, permintaan pembaca 

dari suatu daerah terhadap resep 

makanan dari daerah lainnya hampir 

ada setiap pekan, misalnya pembaca 

dari Jakarta yang meminta resep 

”Soto Bandung” atau pembaca dari 

terdiri dari kalangan Tionghoa 

Peranakan). Sebagian besar terbitan 

resepnya cenderung mengulas secara 

acak dan campur resep-resep dari 

berbagai unsur. Kecenderungan 

acak dan campur itu bukan atas 

kehendaknya, melainkan permintaan 

resep dari para pembaca setianya yang 

berasal dari berbagai daerah di Jawa 

(mulai dari Jakarta, Bandung, Slawi, 

Purwokerto, Semarang, Surabaya 

hingga Bangkalan) dan juga di 

luar Jawa (seperti Padang, Medan, 

Palembang Makassar, Manado, 

Palangkaraya, Balikpapan, hingga 

Ternate).

Setiap pekannya, banyak surat dari 

para pembaca setia Rahasia Dapur 

yang ditujukan ke Nyonya Rumah agar 

dapat membuat dan memuat resep 

Surabaya yang meminta resep ”Dodol 

Garut”. Nyonya Rumah sendiri 

mungkin tidak menyadari bahwa ia 

telah berhasil membentuk komunitas 

pembaca nasional yang merasakan 

saling-silang rasa dari berbagai unsur 

citarasa antardaerah di negara kita . 

Hebatnya lagi, Nyonya Rumah tidak 

pernah kehabisan stok resep. Ini 

menandakan betapa luas pengetahuan 

gastronominya, selain kekuatan 

energi, pikiran, dan kreativitas serta 

keluangan waktunya untuk memenuhi 

permintaan para pembaca setianya 

setiap pekan.

Kiprahnya mengasuh rubrik Rahasia 

Dapur sejak 1951 hingga 1961 tentu 

patut diperhitungkan bahwa tanpa 

disadarinya ia telah berperan penting 

menyadarkan suatu konsep citarasa 

Sampul artikel  masak Mustika Rasa

Sumber: dokumentasi penulis

16

besar negara kita  pertama yang 

menampilkan resep-resep Nusantara. 

Sebuah kategorisasi resep berdasarkan 

spirit (etno) nasionalisme yang citranya 

tidak didapati dalam artikel -artikel  

masak pada masa-masa sebelumnya. 

Menariknya, dari 1500 aneka resep 

”masakan negara kita ” itu, terselip 

berbagai pengaruh resep bercitarasa 

Tionghoa, Arab, India, dan Eropa.

Penyusunan Mustika Rasa sendiri 

berlandas pada pemikiran bahwa 

yang pokok dari penciptaan boga 

nasional untuk konteks negara kita  

yaitu  menjalin secara apik dan 

menyeluruh hubungan strategi pangan 

nasional. Hubungan yang dimaksud 

itu ditentukan terlebih dahulu dari 

kualitas budidaya pangannya sebelum 

diolah di dapur dan terhidang di meja 

makan hingga dijadikan sebagai bagian 

dari identitas bangsa.

artikel  masak nasional pertama 

negara kita  ini terbit pada 8 Februari 

1967 atau bertepatan dengan tahun 

dan bulan kala Presiden Soekarno 

menyerahkan kekuasaan kepada 

Soeharto (20 Februari 1967). Ironi, 

mungkin kata yang tepat jika melihat 

kenyataan itu. Namun, di balik itu, 

artikel  masak yang dicita-citakan 

Sukarno ini patut dicatat sebagai 

perkembangan revolusioner dalam 

sejarah boga negara kita .

Citra boga negara kita  masa sekarang 

dengan kata lain merupakan akumulasi 

dari perjalanan pembentukan boga 

sejak masa terbitnya artikel  masa 

pertama Kokki Bitja pada 1857 hingga 

terbitnya artikel  masak besar nasional 

pertama negara kita  Mustika Rasa 

bersama dalam pengembangan 

kuliner negara kita  pada masa 

pascakemerdekaan. Melihat tingginya 

antusiasme permintaan resep, maka 

banyak pembaca setia rubrik ”Rahasia 

Dapur” menyurati redaksi Keng Po, 

selaku yang menerbitkan Star Weekly, 

dan menyarankan agar resep-resep 

Nyonya Rumah yang berserak di 

majalah mingguan itu sebaiknya 

diartikel kan agar membuat praktis 

pembaca mencari resep-resepnya. 

Permintaan itu diamini dan akhirnya 

terwujud pada 1957 ketika Penerbit 

Kinta (Jakarta) menerbitkan dua jilid 

artikel  Pandai Masak karya Nyonya 

Rumah yang laris dicetak ulang hingga 

dasawarsa 1960-an.

Baik kiprah Chailan Sjamsu maupun 

juga Julie Sutardjana di atas sejalan 

dengan proyek”revolusi makanan 

rakjat” yang digelorakan Presiden 

Sukarno sepanjang tahun 1950-an 

hingga medio 1960-an. Puncaknya 

yaitu  pada 1967 ketika terbit artikel  

besar masakan nasional berjudul 

Mustika Rasa: Resep2 Masakan 

negara kita  dari Sabang sampai 

Merauke.18 artikel  ini diterbitkan 

Departemen Pertanian. Pengerjaannya 

memakan waktu tujuh tahun (1960 

– 1967) di bawah koordinasi Menteri 

Pertanian Brigadir Jenderal dr. Azis 

Saleh yang kemudian baru bisa 

diselesaikan oleh penggantinya, Mayor 

Jendral Sutjipto.

 

Jelajah resep dari Sumatra hingga 

Papua digarap melalui metode mulai 

dari angket, pengumpulan resep, 

hingga uji memasak yang disunting 

oleh Harsono Hardjohutomo dkk. 

Hasilnya yaitu  sebuah artikel  masakan 

pada 1967. Terbitnya Mustika Rasa 

menandakan boga bukan hanya terkait 

masalah dapur dan ruang makan 

saja, tapi kepentingan negara-bangsa 

juga akhirnya masuk di dalamnya. 

Kenyataan dari pembentukan hingga 

perkembangan boga negara kita  

sejatinya dibangun melalui jejalin 

hubungan antarsistem budidaya, 

gastronomi, sains, dan kebudayaan 

yang sudah digeliatkan sejak masa 

kolonial hingga beralih pada geliat 

politik nasionalisasi kebudayaan pada 

masa setelah kemerdekaan.

Fadly Rahman, sejarawan makanan, 

penulis Jejak Rasa Nusantara : Sejarah 

Makanan negara kita  & Rijsttafel : 

Budaya Kuliner di negara kita  Masa 

Kolonial. 

 

Daftar Sumber

Anonim. 1866. Oost Indische Kookboek. 

Semarang: van Dorp.

Anonim. 1951. Masakan djeung Amis-

Amis. Jakarta: Balai Pustaka.

Bosz, J.E. Quintus. 1911. “De 

Samenstelling van Indische 

Voedingsmiddelen”, dalam Koloniaal 

Museum te Haarlem. Bulletin van het 

Koloniaal Museum te Haarlem (no. 46). 

Amsterdam: J.H. Bussy. 

Brillat-Savarin, Jean Anthelme. 

1866 (1825). Physiologie du gout ou 

méditations gastronomie transcendante 

ouvrage théorique, historique, et à l’ordre 

du Jour. Paris : Charpentier.

Van der Burg, C.L. 1904. De Voeding 

in Nederlandsch-Indië. Amsterdam: 

J.H. de Bussy.

17


______. 2016. Jejak Rasa Nusantara: 

Sejarah Makanan negara kita . Jakarta: 

Gramedia Pustaka Utama. 

Gallas, Haak-Bastiaanse. 1872. 

Indische Kookboek. Nijmegen: Thieme.

Haryani. 1995. “Perlukah Adiboga 

negara kita ?”, Selera, No. 9/th. XIV, 

Desember. 

Lombard-Salmon, Claudine. 1977. 

“Presse féminine ou féministe?” dalam 

Archipel. Vol. 13.

Keijner, W.C. 1948. Het Kookboek voor 

Hollandsche, Chineesche en Indonesische 

gerechten (terbit pertama tahun 1927). 

Bandung: G. Kolff & Co.

Ochse, J.J & R.C. Bakhuizen van den 

Brink. 1931. Vegetables of the Dutch 

East Indies (Edible Tubers, Bulbs, 

Rhizomes, and Spices Included); Survey 

of the Indigenous and Foreign Plants 

Serving as Pot-Herbs and Side-Dishes. 

Buitenzorg: Archipel.

Protschky, Susie. 2007. Cultivated 

Tastes; Colonial Art, Nature, and 

Landscape in the Netherlands Indies. 

Sydney: School of History, University 

of New South Wales.

Raden Ajoe Adipati Arija Reksa-

Nagara. 1919. Lajang Panoentoen Bab 

Olah-Olah, ing Pamoelangan Wisma-

Pranawa ing  Tegal. Weltevreden: 

Albrecht & Co.

______. 1941 (cetak ulang dari tahun 

1936). Lajang Panoentoen Bab Olah-

Olah Kanggo para Wanita. Batavia: J.B. 

Wolters.

Catenius-van der Meijden, J.M.J. 

1908. Ons Huis in Indië. Semarang: 

Masman & Stroink.

______. 1925. Groot nieuw volledig 

Indisch kookboek: 1381 recepten van 

de volledige Indische rijsttafel met een 

belangrijk aanhangsel voor de bereiding 

der tafel in Holland. Semarang: G.C.T. 

van Dorp.

Chailan Sjamsu Dt. Toemenggoeng. 

1948. Boekoe Masak-Masakan 

(Pedoman Roemah Tangga 2, cetakan 

ke-2, terbit pertama kali tahun 1940). 

Jakarta: Balai Pustaka.

Cornelia. 1859. Kokki Bitja, atau, 

Kitab Masak-Masakan India, jang 

Baharoe dan Samporna, jang telah 

Terseboet Didalamnja bagimana Orang-

Orang Sediakan Segala Roepa-Roepa 

Makanan, Manisan, Atjaran, Sambalan 

dan Ijs. Batavia: Lange.

Coté, Joost (ed.). 2008. Realizing the 

Dreams of R.A. Kartini: Her Sister 

Letters from Colonial Java. Leiden: 

KITLV.

Harsono Hardjohutomo (et.al.). 

1967. Mustika Rasa: Resep2 Masakan 

negara kita  dari Sabang sampai Merauke. 

Jakarta: Departemen Pertanian R.I. 

Donkin, Robin A. 2003. Between 

East and West: the Moluccas and the 

Traffic in Spices up to the Arrival of 

Europeans. Philadelphia: Memoirs of 

the American Philosophical Society.

Fadly Rahman. 2016 (2011). Rijsttafel: 

Budaya Kuliner di negara kita  Masa 

Kolonial. Jakarta: Gramedia Pustaka 

Utama.

Sri Owen. 1999. negara kita n Regional 

Food & Cookery. London: Frances 

Lincoln.

Stockdale, John Joseph. 2004 (2811). 

Island of Java.. Singapore: Periplus. 

Suryatini N. Ganie. 2005. Kisah & 

Kumpulan Resep Putri Jepara: Rahasia 

Kuliner R.A. Kartini, R.A. Kardinah, 

R.A. Roekmini. Jakarta: Gaya Favorit 

Press.

Turner, Jack. 2004. The History of a 

Temptation. New York: Vintage Books.

Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 

1997. Kamus Jawa Kuna – negara kita , 

(bagian 1 A – O). Jakarta: Gramedia. 

18

berkembang, merawat, dan membenahi 

kehilangan-kehilangan (dari kebiasaan makan 

sebelumnya) sebagai akibat dari perubahan vital. 

Mengatur tubuh untuk tidak makan dengan cara 

sama –sebagai pembeda dengan tubuh-tubuh 

lainnya, menghasilkan kreasi, meragamkan 

metode dan pengaruhnya dalam menentukan 

aneka cara pengelolaannya, itu semua yaitu  

serangkaian dari beroperasinya (fungsi) rasa.

8     Boga diambil dari bahasa Sansekerta, bhoga 

atau bhogi, yang artinya kenikmatan, hal 

makan; segala objek kenikmatan, makanan, 

kesenangan…, lihat P.J. Zoetmulder dan S.O. 

Robson, Kamus Jawa Kuna – negara kita , (bagian 

1 A – O), (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm. 129. 

Kata boga sendiri dipakai dan diterjemahkan 

ke dalam bahasa negara kita  oleh gastronom 

negara kita  Suryatini N. Ganie sebagai cuisine, 

sehingga haute cuisine diterjemahkannya 

menjadi “upaboga” atau “adiboga”. Lihat Suryatini 

N. Ganie, Upaboga di negara kita : Ensiklopedia 

Pangan & Kumpulan Resep, (Jakarta: Gaya Favorit 

Press, 2003). 

9     Iklan artikel  masak Cornelia bahkan menghiasi 

halaman surat kabar seperti dimuat di koran 

Loccomotief  19 Desember 1881 hingga bahkan 

awal abad 20 di De Sumatra Post 21 Februari 

1914.

10    Menurut Dictionary of Food (Sinclair, 2005: 

242), gastronom yaitu  “a connoisseur of fine 

food and wine” (ahli meneliti makanan dan 

anggur berkualitas) dan gastronomi sebagai “the 

study and knowledge of fine food and wine” 

(studi dan ilmu pengetahuan tentang makanan 

dan anggur berkualitas). Pengertian gastronomi 

sendiri diartikan pertama kali oleh Brillat-

Savarin (Physiologie du goût, 1948: 44) sebagai 

pengetahuan cermat tentang keseluruhan 

hubungan manusia dengan makanannya (la 

gastronomie est la connaissance raisonnée de 

tout ce qui a rapport à l’homme, en tant qu’il se 

nourritt).

11     Baik dalam edisi bahasa Belanda 

(Samenstelling van Indische Voedingsmiddelen) 

maupun edisi bahasa Perancis (Analyses de 

denrées alimentaires des Indes)

12    Para ahli yang terlibat dalam penelitian 

ini di antaranya J. Sack, van Eck, Weerman, 

Bloemendal, Ritsema, Meyer Cluwen, de Fouw, 

dan Bosz.

        

13Furnival, Hindia Belanda: Studi tentang 

Ekonomi Majemuk (2009 : 415); lihat juga Vlekke, 

Nusantara: Sejarah negara kita  (2008: 374).

1     Haryani, “Perlukah Adiboga negara kita ?”, Selera, 

No. 9/th. XIV, (Desember, 1995), hlm. 61.

2     Riset khusus sejarah global rempah-rempah 

misalnya dikerjakan oleh Terence McKenna 

(1993), Robin A. Donkin (2003), dan Jack Turner 

(2011). 

3     Transisi boga Eropa dari budaya lisan ke 

tulisan yang terjadi pada abad ke-16 seiring 

masa-masa bergairahnya menjelajahi samudera 

dan berniaga rempah-rempah mewakili sebuah 

tahap penting dalam memperbaiki standar 

menakar dan durasi memasak yang patut untuk 

sebuah resep (Higman, 1998: 79). Di Eropa Barat, 

artikel -artikel  memasak mulai menggeliat dicetak 

pada medio abad ke-16 dan ditulis dalam bahasa 

ibu di masing-masing wilayah. Jauh sebelum 

masa abad ke-16, orang-orang Tionghoa telah 

mencetak artikel  memasak sejak masa Dinasti 

Tang (618 – 907 M). Di Eropa, artikel  masak yaitu  

sebuah fenomena revolusi kedua setelah Kitab 

Injil yang dicetak masif selepas era Guttenberg.

4     Jika dibandingkan negara Eropa seperti Italia, 

Perancis, dan Spanyol, maka Belanda terbilang 

sangat terlambat untuk merumuskan konsep 

national-cuisine-nya melalui bahan-bahan 

rempah dari tanah koloninya melalui artikel -

artikel  masak. Malah Belanda mengadopsi boga 

Perancis pada abad ke-19, mengingat Belanda 

sendiri pernah dikuasai oleh negeri Napoleon itu.

5     Selain juga komoditas non-bahan makanan 

seperti indigo, kapas, tembakau, dan karet.

6     John Joseph Stockdale dalam artikel nya Island 

of Java (1811), misalnya, mengungkapkan betapa 

di Jawa sumber pangan, rempah-rempah, dan 

pohon-pohon yang menghasilkan berbagai 

jenis buah begitu melimpahnya. Produksi padi 

melimpah, sehingga Stockdale menjulukinya 

sebagai “lumbung Timur”, maksudnya, produksi 

padi di Jawa cukup untuk memenuhi persediaan 

pangan di daerah lainnya. Rata-rata sumber 

pustaka semacam Stockdale dan yang sejaman 

dengannya sering menyinggung berbagai 

pengamatan semacam ini.

7     Istilah ini kali pertama dicetuskan oleh 

gastronom Perancis Jean Anthelme Brillat-

Savarin sesuai dengan judul artikel nya Physiologie 

du goût yang terbit pada 1825. Rasa (goût) 

sebagaimana diartikan Brillat-Savarin yaitu  

sebuah indera yang terhubung dengan sensasi 

kenikmatan di mana tubuh menyadari sensasi 

tersebut. Rasa sebagai perangsang selera, lapar, 

dan haus yaitu  dasar beberapa tindakan yang 

menghasilkan bagaimana individu bertumbuh, 

14    C.L van der Burg, (De Voeding in 

Nederlandsch-Indië, 1904: vii – viii).

15    Waar begint onze voeding? ’t Antwoord 

daaroop is: ”Niet in den mond!” Waar dan? In de 

maag? ”Ook niet”, zegt de dokter, ”de voeding 

vangt aan in de keuken” (Catenius-van der 

Meijden, Ons huis in Indië , 1908: 53). 

16    Namun tidak semua lembaga pers perempuan 

identik dengan penyaluran boga. Misalnya Istri 

Sedar yang digagas pada 1930 di Bandung oleh 

Soewarni Djojosepoetro mengecam organisasi-

organisasi keperempuanan yang aktivitasnya 

melulu belajar memasak sebagai bentuk tidak 

memiliki kepekaan sosial (Lombard-Salmon, 

“Presse féminine ou féministe?”1977).

17    Teks aslinya berbunyi:“Bij het gereedkomen 

van deze druk zijn de prijzen van groenten 

en ingredienten hooger geworden. In de 

recepten is verschillende malen aangegeven, 

5 cent boontjes, 2 cent worteltjes enz, die niet 

in verhouding met de huidige prijzen staan. 

Het is vrij zeker, dat groenten enz duurder 

zullen blijven, dan voor den oorlog, doch het is 

slechts gissen op welke basis de prijzen zullen 

stabiliseeren. Om deze reden hebben wij de 

vermelde prijzen onveranderd gelaten. De 

huisvrouw houde er derhalve rekening mede, 

dat bedoeld zijn vooroorlogsche prijzen”. (W.C. 

Keijner, 1948: halaman kata pengantar).

18    Pertama kali saya mengetahui artikel  ini dari Sri 

Owen, seorang praktisi boga negara kita  kelahiran 

Sumatra Barat yang kini menetap di London 

bersama suaminya, Roger Owen. Pada 1987 di 

Wimbledon, Sri membuka toko bahan makanan 

bernama Mustika Rasa, sesuai dengan judul artikel  

terbitan Departemen Pertanian tahun 1967 yang 

dikatakannya sebagai the first negara kita  regional 

cookbook atau the first serious negara kita n 

cookbook (Sri Owen, negara kita n Regional Food 

and Cookery, 1999).

19


Sesajen Nyekar 

Pundhen Nyai Rantamsari 

di Gunung Sumbing

Deni S. Jusmani1

Panggah A. Putranto2

20

diperuntukkan bagi bumi, alam, 

tumbuhan, dan berfungsi simbolik 

untuk berkomunikasi dengan 

makhluk halus (J. Van Baal, dalam 

Koentjaraningrat, 1984: 365). 

Esensinya, bentuk nyata kasih sayang 

atau welas asih antarsesama makhluk 

penghuni jagad raya.

Pengantar

Di masyarakat Kwadungan mengenal 

makanan sesajian, di antaranya: bubur 

merah, bubur putih, ayam ingkung, 

dan sega golong. Sesajian terkait erat 

dengan upacara adat atau ritual tradisi 

yang sudah dilaksanakan dalam kurun 

waktu lama. Pengetahuan tentang 

makanan yang menjadi sajian dalam 

ritual tradisi, diwariskan secara turun 

temurun. Tidak saja dalam bentuk 

kasar wujud makanan, tetapi mengenai 

makna dan perlambangan yang 

terimplementasi di dalamnya. Ritual 

tradisi dalam masyarakat Kwadungan 

terbagi atas tiga bagian, yaitu: pertama, 

ritual  tradisi  yang  berhubungan  

dengan  perjalanan  hidup  seseorang, 

Di dataran Gunung Sumbing, 

Dusun Kwadungan 

Desa Wonotirto Bulu 

Temanggung, Provinsi Jawa Tengah, 

terdapat ritual yang diselenggarakan 

ketika diketemukan pada waktu-waktu 

tertentu, yang menurut hitungan 

tanggal Jawa, atau karena kejadian 

tertentu. Ritual tersebut masih 

diselenggarakan sampai hari ini di 

tahun 2017, yang menjadi semangat 

spritual masyarakat Kwadungan, 

sebagai sarana untuk mencapai maksud 

dan tujuan tertentu. Terdapat beberapa 

ritual yang sering dilaksanakan di 

Kwadungan, yaitu: nyadran desa 

dan kesenian Sandhul, yang terkait 

erat dengan nyekar  pundhen Nyi 

Rantamsari di bulan Rejeb. Di dalam 

ritual tradisi atau upacara adat 

tersebut, terdapat sesajian, sesaji.  Sesaji 

bersumber dari  Kamus  Besar Bahasa  

negara kita  (2005: 979) diartikan 

sebagai makan (atau bunga-bungaan) 

yang disajikan untuk makhluk halus. 

Sesajian bermakna hidangan, sifatnya 

plural. Suatu aktivitas sedekah yang 

seperti:  upacara  adat  sebelum  

seseorang  lahir (contoh: mitoni),  

upacara  adat  sesudah  lahir,  dan 

upacara  adat  sesudah  meninggal.  

Kedua,  upacara  tradisi  berhubungan  

dengan pemenuhan kebutuhan 

hidup, misalnya: membangun 

rumah, membuat jalan baru, 

menanam dan memanen  tanaman 

tembakau. Upacara adat yang ke 

tiga  berhubungan  dengan  peristiwa  

tertentu,  misal:  bersih desa,  saparan, 

ruwahan, sawalan, kupatan, dan  

suran. Upacara adat, dikatakan oleh 

Bastomi (1992: 1) sebagai upacara 

yang berhubungan dengan  suatu  

masyarakat,  dapat berupa  kegiatan  

manusia  dalam  hidup  bermasyarakat, 

didorong  oleh  hasrat  untuk  

memperoleh  ketentraman  batin  

atau  mencari keselamatan dengan 

memenuhi tata cara yang ditradisikan 

di dalam  masyarakat.

Menurut Koentjaraningrat (1979: 

341) upacara tradisi digolongkan 

menjadi 4 jenis, sesuai dengan 

Persiapan upacara tradisi Nyadran Desa 

Foto: Panggah A. Putranto, 2014

1     Dosen Seni Rupa di Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. Tinggal di Semarang. deni.setiawan@mail.unnes.ac.id.

2     Pengamat Budaya Jawa, tinggal di Kwadungan Wonotirto Temanggung Jawa Tengah. panggahadi@gmail.com.

21


penghuni planet bumi. Selanjutnya, 

dikenal pula pisungsung yang artinya 

persembahan. Dalam konteks ini, 

pisungsung lebih difokuskan kepada 

eksistensi supernatural being, misalnya: 

ancesters atau ancient spirit (leluhur), 

yaitu orang-orang yang hidup di 

dimensi abadi. Pisungsung merupakan 

wujud ekspresi nyata tentang bakti 

kepada para leluhur, dalam wujud 

suatu persembahan. Pisungsung 

tidak terbatas benda fisik, dapat 

berwujud persembahan melalui lisan 

misalnya: doa, ucapan terimakasih, 

ucapan sembah pangabekti, hingga 

persembahan berupa tindakan nyata, 

seperti: ziarah kubur, nyekar, ritual 

menghaturkan aneka ragam uborampe 

untuk pisungsung, dan membersihkan 

pusara (sabdalangit.wordpress.com).

Bagi  sebagian masyarakat Kwadungan, 

mempercayai ritual  tradisi  

merupakan tuntutan  yang  diyakini 

akan mendatangkan keberuntungan, 

keselamatan, dan keberkahan terkait 

dengan satu proses atau tindakan 

dalam kehidupan. Bentuk dan wujud 

penghormatan yang dilakukan  

masyarakat dengan  memberikan  

persembahan dan sesajian melalui 

acara slametan (selamatan). Masyarakat 

Kwadungan melakukan selamatan  

melalui pelaksanaan ritual  tradisi 

nyekar  pundhen  Nyai  Rantamsari.  

Ritual  tradisi  nyekar  pundhen  

Nyai Rantamsari  pada hakikatnya 

dipercaya sebagai upacara adat yang 

dianggap dapat menjadi sarana  

untuk  menghormati  leluhur  di  

desa  tersebut  dan menyingkirkan 

malapetaka, serta mendatangkan 

keselamatan. Ritual  merupakan  

suatu  bentuk  upacara  adat  yang  

berhubungan dengan beberapa  

peristiwa atau kejadian dalam 

kehidupan sehari-hari, yaitu: selamatan 

dalam rangka lingkaran hidup 

seseorang, seperti: selamatan hamil 

tujuh bulan, kelahiran, kematian, dan 

saat-saat setelah kematian; selamatan 

yang berkaitan dengan bersih desa, 

penggarapan lahan pertanian, 

dan pascapanen; selamatan yang 

berhubungan dengan hari-hari dan 

bulan-bulan besar Islam; selamatan 

saat tidak tertentu, yang berkenaan 

dengan kejadian-kejadian, seperti: 

menempati rumah baru, menolak 

bahaya, dan hajat.

Secara umum dikenal tiga macam 

sesajen, yaitu: bancakan, suatu sesaji 

yang ditujukan untuk sedekah kepada 

sesama manusia, dalam rangka ritual 

syukuran, ritual selamatan, atau ritual 

doa permohonan. Sedekah merupakan 

cara terbaik untuk memantaskan diri 

menjadi orang yang layak menerima 

anugerah. Bancakan dibuat untuk 

dibagi-bagikan, kemudian dimakan 

oleh orang.  Bancakan biasanya dibuat 

dengan aneka rasa yang enak di lidah 

dan berupa hidangan khusus untuk 

menimbulkan selera makan. Selain 

bancakan, dikenal pula istilah bebono 

atau pengorbanan atau kurban. Bebono 

juga merupakan konsep sedekah, 

kepada seluruh makhluk sesama 

penghuni planet bumi. Manusia yang  

memiliki kesadaran kosmologis, akan 

memaklumi bahwa hidup di alam 

dunia selalu berdampingan dengan 

beraneka ragam makhluk hidup, 

baik kasat mata, maupun yang tidak 

kasat mata. Bebono tidak lain untuk 

mewujudkan rasa menghormati, 

menghargai, rasa syukur dan sebagai 

ekspresi sikap welas asih secara 

nyata kepada seluruh makhluk 

kepercayaan, ditandai  oleh  sifat  

khusus, menimbulkan  rasa  hormat  

yang  luhur  dalam  arti  merupakan  

pengalaman  suci. Pengalaman tersebut 

mencakup segala sesuatu yang dibuat 

dan dipergunakan oleh manusia 

untuk menyatakan hubungan dengan 

alam transendental, aplikasinya 

berupa  suguh  pada  dhanyang /sing 

mbahureksa desa.

Kisah Leluhur Kwadungan: Nyai 

Rantamsari

Nyai Rantamsari  merupakan  leluhur 

Desa Wonotirto yang dipercaya oleh 

masyarakat sebagai sing mbahureksa 

atau penjaga lingkungan sekitar. Nyai 

Rantamsari  yaitu  seorang puteri  

di  zaman  Kerajaan  Demak. Nyai  

Rantamsari  yaitu   seorang  puteri  

saudagar  yang  mempunyai penyakit  

kebutaan  pada  matanya.  Pada suatu  

hari  ayah  sang  puteri  berkelana 

mencari  obat  untuk  putrinya,  

tanpa  disengaja  bertemu  dengan  

seorang  pemuda bernama Joko 

Teguh. Joko Teguh yaitu  seorang 

wali yang membuka daerah Kedu, 

dikenal dengan nama Ki Ageng Kedu 

Makukuhan (1471-1497), murid dari 

Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga. 

Joko Teguh mampu menyembuhkan  

sakit sang  putri dan  diperbolehkan 

meminta apa saja yang diinginkan. 

Joko meminta kuda sembrani dan sang 

puteri dijadikan istri.

Nyai  Rantamsari  dan  Ki  Ageng 

Makukuhan  berkelana di daereh 

Kedu untuk menyebarkan agama 

Islam. Selama penyebaran agama 

Islam, Nyai Rantamsari tidak selalu 

bersama Ki Ageng  Makukuhan.  

Ketika dalam  penyebaran  agama  

22

kehidupan  sehari- hari,  serta sebagai 

rasa hormat menghormati antar sesama 

mahkluk hidup di dunia. Maksud 

sesaji yaitu  untuk mendukung 

kepercayaan masyarakat terhadap 

adanya kekuatan  makhluk-makhluk  

halus,  lelembut, demit, jin  yang 

berdiam di  tempat-tempat  tertentu,  

agar  tidak  mengganggu  keselamatan,  

ketentraman,  dan kebahagiaan 

keluarga yang bersangkutan. Atau 

sebaliknya, untuk meminta berkah 

dan perlindungan dari sing mbahureksa 

(Herusatoto,  2001: 91).

Sesajian  yang  digunakan  dan  

dibawa  ke  pundhen,  yaitu:  kembang 

wangi,  kemenyan,  rokok,  dan  uang  

dengan  jumlah  nominal  tertentu,  

sedangkan sesajian  yang diletakkan 

di rumah,  yaitu:  sega golong, wedang 

jembawuk dan kopi, wedang teh legi, 

dan  wedang  salam. Sesaji tersebut 

ditempatkan di  rumah juru kunci dan 

rumah Mbah Suwarno selaku sesepuh 

desa. Pelaksanaan  tradisi  dimulai  

pada  pukul  20.00  WIB,  dimulai  

oleh  Mbah  Mulyono  selaku  juru  

kunci  pundhen.  Juru  kunci  memulai 

dengan  membakar  menyan  yang  

telah  diramal  doa.  Setelah  kemenyan  

dibakar, Mbah Mulyono dan para  

pelaku   ritual  membaca doa  yang 

dipimpin oleh juru kunci. Sesudah 

membaca doa, para pelaku melakukan 

tirakatan di paseban  yang berada di 

pundhen.

Adanya  rasa  hormat  kepada  

sang  leluhur  memunculkan  

suatu  kebijakan-kebijakan  berupa  

sikap,  ide  atau  gagasan  untuk  

menghidupkan  tradisi  guna 

menjawab berbagai masalah yang 

terjadi pada masyarakat Wonotirto. 

Islam, Nyai Rantamsari beristirahat di 

sebuah mata air yang bernama Tukji 

atau Tuk Ajining Diri, di tempat itu 

juga terdapat pohon beringin besar 

dan lebat daunnya,  dari sinilah awal 

mbabat alas  atau  mbubak desa  yang 

diyakini sampai saat ini dikenal 

dengan  Dusun Kwadungan Desa 

Wonotirto.  Kwadungan  berarti  

kuwat dongane dan Wonotirto berarti 

hutan berlimpah air.

Tradisi Nyekar Pundhen

Tradisi nyekar pundhen dilakukan 

oleh masyarakat Kwadungan setiap 35 

hari sekali, di malam  Selasa  Kliwon  

dan  Jumat  Kliwon. Ritual tradisi  

dilaksanakan  di Pundhen  Tukji  yang  

berada  di  sebelah  selatan  Desa  

bertujuan  untuk mendoakan  leluhur  

desa,  yaitu  Nyai  Rantamsari  yang  

telah  mbubak  desa  dan menyebarkan  

agama  Islam.  Atas jasa  beliau,  maka  

warga  desa  melakukan selamatan 

tradisi  nyekar pundhen  untuk 

mendoakan Nyai Rantamsari dan 

meminta keselamatan bagi masyarakat. 

Tradisi nyekar pundhen dengan sesajian 

rutin diadakan setiap  bulan  Rejeb, 

merupakan  sarana perwujudan 

rasa syukur  warga  Kwadungan  

kepada  Tuhan Yang Maha Esa, 

atas  pertolongan  dan  keselamatan  

warga,  dikabulkan hajatnya, 

serta  permohonan  ketika  musim 

tembakau, agar  diberikan  tanaman  

yang  subur, dapat  memanen  hasil  

yang melimpah, dan harga jual yang 

tinggi. Nyekar  pundhen  yaitu   

sarana untuk  berdoa  dan  meminta  

kemakmuran,  keselamatan   kepada  

Tuhan  agar terhindar  dari  musibah.  

Nyekar  pundhen  juga  sebagai  

permohonan  untuk ketentraman  

masyarakat  Desa  Wonotirto  dalam  

Kebijakan-kebijakan berupa sikap, ide 

atau gagasan tersebut direalisasikan 

dalam bentuk  upacara  tradisi  

nyekar  pundhen  sebagai  wujud  

penghormatan  warga Wonotirto  

kepada  Nyai  Rantamsari,  meminta  

keselamatan  dalam  kehidupan sehari-

hari,  meminta  hasil  panen  yang  

melimpah, serta  sebagai  pelindung  

agar terhindar  dari  musibah  yang  

dikarenakan  owah  gingsire  zaman  

atau  perubahan zaman. Pelaksanaan  

tradisi  nyekar  pundhen  mendapatkan 

pengaruh dari kebudayaan Islam 

yang berkembang di Jawa, khususnya 

Wonotirto. Pengaruh  Islam  memiliki 

andil  yang kuat dalam pelaksanaan  

nyekar pundhen. Di dalam agama Islam 

memiliki budaya untuk mendo’akan 

orang yang  telah  meninggal, 

dilakukan mengirimkan do’a ketika 7 

hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari. 

Budaya  Islam Jawa juga mengajarkan 

tradisi  ziarah kubur. Nyekar  pundhen  

berarti  mengirimkan  do’a. Sejarah 

nyekar  pundhen berkaitan  dengan  

kebudayaan  Islam  yang  berkembang  

di  Jawa.  

Tradisi Nyadran Desa dan Kesenian 

Sandhul

Tradisi nyadran desa (nyadran  berasal 

dari kata  sraddha  berarti  selamatan 

di Bulan  Ruwah)  dan  kesenian 

Sandhul dilakukan setiap bulan  Rejeb, 

berkaitan erat dengan tradisi  nyekar 

pundhen  yang rutin diadakan sebagai 

selamatan  desa. Akan tetapi  tradisi  

nyadran dilakukan warga Kwadungan 

pada bulan Rejeb, sudah menjadi 

tradisi turun temurun dilakukan 

oleh warga, sekaligus menjadi 

panyuwunan dari Nyai Rantamsari 

yang dilaksanakan setiap hari Jumat, 

jam  tujuh pagi. Jatuhnya pelaksanaan 

23


1. Sega  golong

Golong  Malaikat Kasim yaitu  

salah satu simbol dari pelengkap 

sesaji upacara  tradisi nyekar.  

Golong merupakan bagian dari 

pelengkap sesajian yang dibuat  

dengan  menggunakan bahan  baku  

beras. Beras dibersihkan dengan 

air, kemudian dimasak seperti 

menanak nasi. Setelah beras masak, 

lalu ditunggu panasnya berkurang 

dan dibentuk seperti bucu,  tetapi  

ukurannya  lebih  kecil di atas piring. 

Pembuatan golong sebagai do’a 

agar diberikan kesempurnaan yang 

ditujukan kepada Malaikat Kasim. 

Sega golong  dibuat  menggunakan  

nasi  yang telah dimasak, dibentuk 

menyerupai gunungan ditempatkan di 

piring sebagai wadahnya.

2. Wedang  jembawuk dan Wedang kopi 

pait

Wedang  jembawuk  yaitu  minuman 

terbuat dari kopi dan air santan 

yang  dicampur  dan  diseduh  

menggunakan  air  panas,  maknanya  

yaitu  perwujudan  rasa  susah  pada  

manusia.

3. Wedang teh legi

Salah satu sesaji dalam upacara 

tradisi yang pembuatannya  

menggunakan  teh  dan  air  panas, 

diseduh  menggunaakan gelas. Proses 

pembuatan sesaji harus menggunakan 

teh yang masih  berbentuk daun, tidak 

boleh  menggunakan  teh  kemasan 

atau teh seduhan.

4. Wedang salam

Wedang  salam  digunakan dalam 

sesaji  upacara nyekar pundhen. Proses 

pembuatannya  menggunakan  daun  

salam  satu  lembar diseduh di dalam 

gelas menggunakan air panas.

5. Udud dan Uang

Rokok yang digunakan untuk sesaji 

dalam ritual  upacara berupa rokok 

filter atau kretek tergantung dari 

pelaku ritual. Sesaji  dilengkapi  

dengan  saksi.  Saksi  berupa  rokok  

dan uang  yang berjumlah  ganjil  dari  

Rp.1.100,  berlaku  kelipatannya  yang  

disertakan  bersama dengan bunga dan 

kemenyan.

6. Kemenyan dan Kembang Wangi

Bunga yang digunakan dalam  upacara  

tradisi nyekar  yaitu   kembang wangi, 

antara  lain:  bunga  mawar  merah  

dan  putih,  bunga  melati,  bunga  

kenanga,  daun pandan, bunga kanthil. 

Kembang  wangi  sebelumnya telah 

disiapkan di rumah para pelaku tradisi 

yang diperoleh dari pasar.

Fungsi dan Makna Sesajian bagi 

Masyarakat Gunung Sumbing

Fungsi spiritual dalam pelaksanaan 

upacara  tradisional nyekar pundhen 

berhubungan dengan  pemujaan  

manusia untuk memohon keselamatan 

pada leluhur, roh halus atau Tuhannya. 

Tradisi  nyekar pundhen merupakan 

sarana meminta kepada Tuhan Yang 

Maha  Esa.  Baik  meminta rejeki, 

keselamatan, jabatan, atau permintaan 

lain, dengan mengirimkan do’a 

kepada Nyai Rantamsari.  Tradisi ini 

merupakan sarana mengucap syukur 

segenap masyarakat Desa Wonotirto 

kepada Tuhan yang memberikan 

anugerah berupa rezeki, ketenteraman, 

dan keselamatan. Nyekar pundhen 

juga  bertujuan agar saling  hormat-

menghormati antarsesama mahkluk 

hidup di dunia.  Nyekar pundhen  

dapat memberikan rasa ketentraman 

bagi masyarakat Desa Wonotirto dan 

sekitarnya.

pada hari Jumat, dilihat dari umur 

lurah,  jika berumur muda  maka 

jatuh pada Jumat Legi, tetapi jika 

berumur tua jatuh pada Jumat Wage. 

Penentuan hari pasaran pada  nyadran  

desa bersumber atas ketentuan dari 

Nyai Rantamsari. Tradisi  kesenian 

sandhul dilaksanakan pada bulan 

Rejeb, dilaksanakan setelah  sholat 

Jum’at, berlangsung sampai  malam  

hari. Sandhul menceritakan tentang 

perputaran  zaman,  babad-babad  sarat 

akan tuntunan  hidup  dan nilai-nilai  

luhur.  Sandhul merupakan kesenian 

peninggalan leluhur, pelaksanaannya 

berlangsung secara sakral.

Masyarakat Kwadungan menggunakan 

kesenian sandhul sebagai sarana untuk 

menyampaikan pesan religi atau 

keagamaan. Selain  menyampaikan 

hal-hal yang baik, juga menyampaikan 

adegan-adegan yang dilarang dalam 

agama,  misalnya: main perempuan, 

berjudi dan mengadu ayam. 

Pementasan kesenian sandhul terdiri 

atas empat babak, yaitu: badhut ngarep, 

badhut  tengah, badhut sunthi, Ki Haji 

Sandhul.  Di tengah-tengah panggung 

terdapat sebuah oncor/senthir dengan 

kayu sebagai penyangga, sekaligus 

sebagai titik pusat pementasan atau 

pusat perhatian. Pelaksanaan kesenian 

sandhul dilaksanakan di perempatan 

dusun.

Sesajian dalam Nyekar Pundhen

Sega  golong,  wedang  jembawuk,  

wedang kopi pait, wedang teh legi, 

dan wedang putih salam,  merupakan  

sesaji  yang  dipersiapkan  dalam  ritual 

tradisi nyekar pundhen hari Selasa dan 

Jumat Kliwon.

24

pendukungnya. Masyarakat Desa  

Wonotirto sebagai fungsi  pelestari  

tradisi,  masih  tetap melaksanakan  

Tradisi  nyekar  pundhen, mempunyai 

dampak  yang  bagus  dalam  

masyarakat  baik  dari  segi  spiritual, 

ekonomi, dan sosial. Tradisi nyekar 

pundhen dipandang baik di masyarakat 

dan memiliki nilai kebaikan.

Beberapa makna sesajian bagi 

masyarakat Kwadungan Desa 

Wonotirto di Gunung Sumbing, 

diuraikan sebagai berikut.

Sega golong

Golong Malaikat Kasim merupakan 

bagian dari pelengkap sesajian yang 

dibuat untuk  upacara tradisi nyekar. 

Golong berfungsi sebagai tanda 

penghormatan kepada yang membagi 

rezeki. Dengan diberikannya golong 

ini, diharapkan akan memberikan 

kesempurnaan terhadap do’a yang 

diharapkan oleh masyarakat Desa 

Wonotirto. Diberi nama Golong 

Malaikat Kasim sebagai salah satu 

penghormatan kepada Malaikat Kasim. 

Malaikat Kasim, konon menjadi salah 

satu pembagi rezrki dari kepercayaan 

para sesepuh dan  masyarakat  Desa 

Wonotirto,  mistis  yang sudah turun-

temurun dan menjadi kepercayaan. 

Golong mempunyai tujuan agar 

Sang Pembagi Rezeki, membagikan 

rezeki yang melimpah, terutama hasil 

pertanian tembakau.

Golong yang dibuat ini bertujuan 

untuk permohonan doa kepada sang 

penjaga yang dipercaya berkuasa, 

menjaga baik dan buruk di Desa 

Wonotirto. Golong merupakan sebuah 

doa yang ditunjukkan dengan suatu 

simbol. Semua simbol-simbol dibuat 

oleh masyarakat Desa Wonotirto 

bertujuan untuk berdo’a agar diberikan 

sesuatu yang terbaik dalam pertanian 

tembakau. Golong  mempunyai makna 

Fungsi  sosial  berkaitan  dengan  

interaksi  atau hubungan  antara  

manusia  dengan  manusia.  Pada  

tradisi nyekar pundhen dapat 

digunakan sebagai media interaksi 

antara sesama manusia. Interaksi 

yang terjalin selama  pelaksanaan  

nyekar  pundhen  secara  langsung  

dapat  mempererat  tali persaudaraan,  

kegotongroyongan  dan  kebersamaan  

antarwarga. Tradisi  nyekar pundhen  

berfungsi sebagai sarana meningkatkan 

hubungan sosial dan menjadi ajang 

silaturahmi antarwarga masyarakat. 

Warga yang menghadiri nyekar 

pundhen berasal dari Desa Wonotirto 

dan  sekitarnya, terkadang  terdapat 

warga yang  datang dari  jauh, luar 

Temanggung.  Kontak  sosial  yang 

terjadi saat mengikuti pelaksanakan 

nyekar pundhen menggambarkan rasa 

kebersamaan dan  persaudaraan warga 

tanpa membedakan status sosial dan 

ekonomi.

Pelaksanaan  tradisi nyekar pundhen 

berfungsi sebagai sarana untuk 

melestarikan tradisi.  Fungsi ini erat 

hubungannya dengan  pelestarian, 

perlindungan terhadap adat kebiasaan 

yang  sudah dilaksanakan turun-

temurun dari nenek  moyang  dan  

masih  dilaksanakan  oleh  masyarakat  

Sega Golong di piring

Kopi Pait dan Wedang Jembawuk

Teh legi

Wedang Salam.

Foto: Panggah A. Putranto, 2014

25


rahim sang ibu, manusia dibayang-

bayangi oleh Naga Kala atau bahaya. 

Ketika manusia telah lahir, maka harus 

berhati-hati pula karena segala penjuru 

mata angin selalu ada Naga Kala 

(Doyodipuro, 2005:580). Oleh karena 

itu, manusia memiliki ancaman bahaya 

pada waktu, hari, minggu, bulan dan 

tahun tertentu, sehingga manusia 

berusaha untuk meminta keselamatan 

dengan menggunakan sego golong. 

Perlambangan untuk mengumpulkan 

hari, minggu, bulan dan tahun, 

kemudian hari yang digunakan untuk 

ritual, sehingga yang bersangkutan 

diberikan keselamatan atas semua 

waktu tersebut.

Wedang  jembawuk dan Wedang 

kopi pait

Wedang  jembawuk  yaitu   minuman  

terbuat dari kopi dan air santan yang 

dicampur, bermakna perwujudan 

rasa susah pada manusia. Manusia 

diharapkan selalu ingat kepada Sang 

Pencipta agar selalu diberi jalan dan 

kemudahan ketika dalam kehidupan di 

dunia. 

Wedang teh legi

Wedang teh legi bermakna perwujudan  

rasa  senang. Pembuatan wedang teh 

legi harus  menggunakan dengan teh 

berdaun, tidak boleh menggunakan  

teh  celup. Hal ini mengandung  

makna, bahwa kehidupan manis di 

dunia tidak lepas dari penderitaan dan 

kesengsaraan, untuk mendapatkan 

kebahagiaan harus berjuang untuk 

mendapatkan manisnya dunia.

Wedang salam

Wedang salam bermakna perwujudan  

memberi salam dengan rasa yang suci 

tulus ikhlas dari hati terdalam.

Udud dan Uang

Rokok  mempunyai  fungsi ditujukan  

kepada  makhluk  halus  atau  para  

leluhur  laki- laki  dengan  tujuan  agar 

ngeses. Rokok  dalam  sajen  digunakan  

sebagai  persembahan  kepada  

makhluk  yang tidak  lelihatan,  

diharapkan  apabila  makhluk  halus  

itu  laki-laki agar ududa. Uang  

merupakan  sesaji  yang   digunakan  

sebagai  pelengkap,  uang  yang 

digunakan  juga  tergantung  dari  

pelaku  besarnya  nominal  seikhlasnya  

dari  sang pelaku   yang  meminta  

permintaan  khusus. Menurut Suhardi 

(1997: 65) uang dimaknai sebagai 

ucapan terimakasih kepada kaum 

yang telah menyampaikan tujuan dari 

sesaji, dan juga terimakasih kepada 

semua pihak. Uang  merupakan  

sebagai tanda syukur yang diucapkan 

kepada sang  mbahurekso di Desa  

Wonotirto.

Berdasarkan pengamatan Shelia 

Windya Sari, pada ritual tingkeban 

misalnya, nasi golong dibuat berjumlah 

9 dan diwadahi menggunakan daun 

pisang. Golong  berasal dari kata 

gemolong  (menyatu),  diartikan  agar  

sesama  manusia  mampu  rukun 

menjadi satu. Golong di daun pisang 

perlambang tidak kotor dan tetap 

bersih. Demikian halnya dengan 

manusia,  diharapkan  memiliki  watak 

bersih,  tidak  banyak bertingkah  

aneh.  Jumlah 9 dimaksudkan  

untuk memuliakan  9  Wali,  yang  

menunjukkan  bahwa  Islam  telah 

terimplementasi dalam adat Jawa. 

Golong atau nasi  yang  dikepal-kepal  

melambangkan  tekat  bulat  dalam  

menggapai sesuatu.

Menurut pengamatan Annisaul 

Dzikrun Ni’mah di wilayah Gunung 

Kelud, sego golong yang berjumlah 7, 

bermakna menyatukan 7 hari, tujuh 

malam, lima pasaran, tiga puluh 

hari, dua belas bulan, empat minggu, 

tepatnya di hari itu (Minggu Pon). 

Sego golong bermakna kemajemukan 

waktu dan hari. Sejak masih dalam 

26

yang menebar  memberikan  rasa  

tenang, meningkatkan kesabaran, 

dan keheningan  dalam  berpikir  

dan  bertindak.  Keharuman 

memberikan rasa tenteram  dan  

rasa  menyenangkan  bagi  yang  

menciumnya. Orang hidup di 

dunia  ini,  hendaknya  menebarkan  

aroma  harum,  seperti  harumnya  

bunga pudhak. Harumnya nama 

baik manusia sepanjang masa dan 

selalu dikenang, hanya  dapat  

diperoleh dengan perilaku nyata yang 

memberikan kebaikan terhadap sesama 

dan lingkungannya.

Ritual Nyekar Pundhen: Akulturasi 

Budaya Jawa dan Islam

Nyekar pundhen dalam konteks 

budaya Islam terkait dengan ziarah 

kubur. Akuluturasi budaya  ini dapat 

dibuktikan pula dengan mengamati 

do’a-do’a yang diucapkan selama 

prosesi pelaksanaan. Ziarah kubur 

dalam konteks Islam, merupakan cara 

yang dilakukan dengan mengunjungi 

kuburan, dalam rangka mengirim do’a 

kepada sanak kerabat. Nyekar pundhen 

merupakan bagian dari prosesi ngintun 

do’a kepada para leluhur desa. Peziarah 

pundhen atau Nyai Rantamsari 

datang membawa kembang wangi dan 

menyan. Kembang wangi dibungkus 

menggunakan daun pisang, yang 

berisikan bunga Mawar merah, Mawar 

putih, bunga Kenanga, daun pandan, 

dan bunga Kanthil.

Sebelum  acara dimulai warga 

yang telah  datang terlebih dahulu 

menunggu di dalam  ruangan   

pundhen.  Sembari  menunggu  warga  

bergantian  menghampiri juru  kunci, 

guna menyerahkan  kembang wangi  

dan menyan, serta menyampaikan 

maksud  dan  harapannya  kepada  

juru  kunci. Sebelum melaksanakan 

prosesi nyekar pundhen juru kunci  

terlebih  dahulu  membakar menyan 

yang dibawa oleh warga. Setelah 

menyan dibakar kemudian dilanjutkan 

dengan pembacaaan do’a. Juru kunci  

menjadi imam dalam pembacaan  do’a, 

diikuti oleh warga yang datang, untuk  

mendo’akan  Nyai  Rantamsari.

Urutan berdo’a dimulai dengan di 

awali dan mengirimkan surat Al 

Fatihah kepada beberapa nama, 

yaitu: Syekh Abdul Qodir Al Jaelani, 

Ki Ageng Makukuhan, dan Nyai 

Rantamsari. Setelah itu secara 

berurutan membaca Surat Al Ikhlas, 

Al Falaq, An-Naas, Al Baqarah 1-5, Al 

Baqarah 163 (Ayat Kursi), diteruskan 

dengan zikir La illaaha illaallahu 33X, 

Subhaballahu 33X, Allhamdulillahi 

33X, dan Allahu Akbar 33X. Pada 

tahap akhir ditutup dengan do’a 

sebagai berikut.

“Assalamu’alaikum warohmatullahi 

wabarakatuh, A’udzubilllahhimina

nyatonirrajim,  Allahumma  shalli  

‘ala  sayidina muhammadiwa’ala  

sayyidina  Muhammad,  sayidil  

awwalina  waakhririna wasalim  

warodiyallahu  ta’ala  rasulillahhi  

shalallahu’alaihi  wassalam ajma’in. 

Bismillahirakhmanirrakhin, 

Alhamdulullahirabbil ‘alamin, 

khamdan syakirin,  khamdan  na’’imin,  

khamdan  yuwafi  ni’amahu  wayukhafi 

ummayiddah,  Allahumma  shalli  

‘ala  sayyidina  Muhammad,  wa’ala  

ali sayyidina Muhammad, shalatan 

tunjina biha min jamingil ahwa li wal 

affwat, wataqdhilana  biha  jami’al  

hajat,  watarfa’una  biha  aqsal  ghayat,  

min  ja’il khairati  fil  kayati   wa  

ba’’dal  mamat.  Allahummah  dini  

sesaji  yang mempunyai makna untuk 

melancarkan dan mendatangkan 

rezeki, sesaji uang juga digunakan  

sebagai pelengkap dalam  memberikan  

sesaji,  jika  ada  sesajen  yang kurang.

Kembang Wangi dan Menyan

Menyan memiliki makna sebagai  

wewangian.  Kemenyan  memiliki 

makna  jika  akan  berdo’a  atau 

menghadap  Tuhan  Yang  Maha  

Esa  manusia  harus  dalam  kondisi  

yang  suci. Menyan juga bermakna 

sebagai pembakar sifat-sifat jelek 

di dalam hati manusia.  Kembang 

wangi  memiliki makna sebagai sarana 

memohon keselamatan dengan  tulus, 

mengagungkan  nama  Tuhan, serta  

selalu  mengingat jasa para  leluhur.  

Selain itu, sebagai pedoman  untuk  

manusia agar  menjalankan kehidupan  

dengan  baik.  Kembang  wangi  terdiri  

dari  bunga  mawar,  bunga

kenanga,  bunga  kanthil,  dan  daun  

pandan.  Masing-masing bunga 

mempunyai makna simbolik sebagai 

berikut.

a. Bunga  mawar  memiliki  makna  

awar-awar  ben  tawar, yang artinya 

sebagai simbol ketulusan atau 

keikhlasan dalam  menjalani  niat  

menjalankan  nyekar pundhen

b. Bunga  kenanga  memiliki  makna  

mengenang,  artinya  sebagai  simbol 

selalu  mengenang  dan  mengingat  

apa  yang  leluhur  berikan  dengan  

cara bersyukur.

c. Bunga kanthil memiliki makna 

kumanthil kanthil, artinya sebagai 

simbol selalu mengingat peringatan-

peringatan dari para leluhur agar selalu 

menjadi pedoman dalam kehidupan.

d. Daun  pandan  memiliki  makna  

keharuman, artinya  keharuman  

27


menuju paseban  untuk  melakukan 

tirakat sesuai petunjuk juru kunci.

Berdasarkan perilaku ziarah 

kubur dan do’a yang diucapkan, 

menunjukkan pengaruh Islam yang 

sangat kental. Perilaku dan do’a cara 

Islam ini didorong oleh keadaan 

Nyi Rantanmsari yang dipercayai 

oleh masyarakat dan berdasarkan 

pengetahuan turun temurun yaitu  

beragama Islam. Hal tersebut 

diperkuat pula oleh para peziarah dan 

juru kunci pundhen yang beragama 

Islam. Juru kunci sering menyebutkan 

agama yang dianutnya yaitu  Islam 

Kejawen. Tradisi kejawen memiliki 

keyakinan bahwa segala sesuatu di 

dunia pada hakikatnya yaitu  satu atau 

merupakan kesatuan hidup. Tradisi  

kejawen  memandang  kehidupan  

manusia  selalu  terpaut erat dalam 

kosmos alam  raya. Dengan demikian, 

kehidupan  manusia  merupakan 

suatu perjalanan yang penuh dengan 

pengalaman-pengalaman religius. Bagi  

masyarakat Kwadungan, percaya  atau  

yakin  terhadap  tradisi  merupakan 

perilaku yang  mendatangkan 

keberuntungan dan keselamatan  

dalam menjalani  proses  kehidupan.  

Hal  tersebut  juga merupakan  bentuk  

dan  wujud penghormatan  yang  

dilakukan  dengan  memberikan  

persembahan.

Ziarah kubur dan nyekar pundhen, 

merupakan sebuah pemikiran, 

kebudayaan, dan bentuk ideologi 

yang diwariskan. Ideologi pikir para 

peziarah pundhen, atau pelestari 

budaya tradisional semacam sandhul, 

dapat terbentuk berdasarkan kondisi 

alam, sosial, budaya, politik lokal, 

fiman  Hadhaiit, wa’afini fiman ‘afait, 

watawallani fii man tawalait, wabarikli 

fii maa a’toit, waqini birakhgmatika 

syarroma qodhoit, fainnaka taqdhi wala 

yuqdha ‘alaik, wainnahu layadhilluman 

‘afait, wala ya’izzuman ‘adait, tabarak 

tarabbbana wata’alait, walakal  

khamdu ‘ala ma qodhoit,  astaghfiruka 

wa atubu ilaik, washalallahu ‘ala 

sayyidina  muhammadin  nabiyyil  

ummmiyyil,  wa’ala alihi washakhbihi 

wasallam. Allahumma inna  nasaluka 

shalaamatan fiddiini wal’aafiyatna  

fil  jasadi  wa  ziyaadatan fil ‘ilmi  

wabaraakatan  firrizqi  wa taubatan 

qablal maut, warahmatan ‘indal maut, 

wamaghfiratan ba’dal maut. Allahumma 

hawwin ‘alainaa fii sakaraatil mauti 

wannajaata minannaari wal ‘afwa  

indal  hisaab.  Rabbana  laa  tuzig  

qulubana,  ba’daid  hadaitana, 

wahablana,  miladunka  rakhmah,  

innaka  antal  wah hab.  Rabbanaa  

aatinaa fiddunyaa  hasanataw  wafil 

aakhirati  hasanataw  waqinaa 

‘adzaabannar. Washalallahu’ala 

sayyidina Muhammad wa’ala sayyidina  

Muhammad, subkhana  rabbika  rabbil 

‘izzati ‘ammayasifun, wasalamun ‘alal 

mursalim, walkhamdumdulilahirabbil’

alamin”.

Setelah  selesai  pembacaan  do’a , 

warga  secara  bergantian  mendekati 

tempat  juru  kunci  membakar  

kemenyan, dan   berdoa  secara  

bergantian  untuk keselamatan  dan  

memohon  agar  apa dido’akan dan  di 

harapkan  dapat terkabulkan. Setelah 

berdo’a warga melakukan ngukup 

kukus  kemenyan dengan maksud agar  

doa  yang  dipanjatkan  merasuk  ke  

dalam  tubuh.   Setelah  selesai  berdo’a 

kemudian warga beralih  tempat 

dan pendidikan. Ideologi ini, dalam 

konteks kajian sosial, sangat dekat 

dengan “budaya”, menunjukkan 

koherensi yang berarti, bahwa sebuah 

ideologi dapat dirumuskan sebagai 

seperangkat proposisi saling terkait. 

Ideologi yaitu  bagian dari budaya 

yang bersangkutan, representasi 

dari sosial dan komitmen terhadap 

nilai-nilai pusat. Althusser  (1977) 

berpendapat ideologi dibuat sebagai 

bagian dari proses sejarah dengan 

cara merekonstruksi, pada bagian luar 

intensionalitas siapa pun. Selain itu, 

ideologi disebarkan oleh apa yang 

disebut “aparatur negara ideologis” 

seperti: keluarga, gereja, sekolah 

dan berbagai bentuk ritual. Dalam 

masyarakat modern pembentukan 

ideologi pada seseorang, sekolah dan 

keluarga paling penting, termasuk 

yaitu  peran agama (Barnard and 

Spencer, 1996: 369-370).

Akulturasi budaya Islam dan Jawa 

diwariskan secara turun temurun. 

Menurut Edward Tylor, akulturasi 

ini wujud dari pengetahuan bersama 

antara anggota kelompok. Ini berarti, 

budaya ditransmisikan antargenerasi 

melalui penggunaan simbol-simbol, 

bahasa, sistem pengetahuan, dan 

proses budaya. Budaya tidak terbatas 

pada “budaya tinggi”, seni, pakaian, 

tetapi mencakup domain yang luas 

dari pengalaman manusia (Moore, 

2009: 3). Cara-car