Home »
waralaba 1
» waralaba 1
waralaba 1
Waralaba (Franchise)
Istilah-istilah
Franchise = waralaba : sistim keterkaitan usaha dengan memberi
keuntungan istimewa
Franchising = pewaralabaan : aktivitas dengan sistim waralaba.
Franchisor = pengwaralaba : orang yang memberi waralaba
Franchisee = pewaralaba : orang yang diberi waralaba.
Manisnya usaha franchise (waralaba) telah dirasakan para pelaku bisnis di tanah air, meskipun franchise
merupakan sistem pengembangan bisnis yang paling aman dan minim modal finansial. Namun kurangnya wawasan
tentang sistem ini bisa membuat bisnis yang dikembangkan itu hanya bertahan seumur jagung, sebab tidak semua
orang paham bagaimana cara mengembangkan bisnis memakai sistem franchise. Akibatnya, baik pelaku bisnis
maupun warga yang menjadi mitranya menanggung beban kerugian. Mayoritas justru mencampuradukkan
antara sistem konvensional dengan sistem franchise, padahal sistem franchise tidak dapat dicampuradukkan dengan
sistem pengembangan bisnis lainnya. Inilah yang membuat sistem franchise disebut-sebut sebagai bisnis dengan
jaminan keberhasilan diatas 75%. Penulis mengatakan bahwa mengembangkan bisnis dengan sistem franchise murni
itu mudah sekali, hanya melalui 10 tahapan saja.
Buku ini membahas 10 rahasia membangun bisnis franchise yang memiliki ketahanan dan penulis menulis
buku ini secara khusus ditujukan untuk pengusaha kecil yang ingin mengembangkan usahanya menjadi besar. Ilmu
manajemen praktis ini tidak pernah diajarkan para motivator bisnis maupun di bangku sekolah. Kesepuluh rahasia itu
adalah: “Rahasia 1: Tentukan bidang usaha Anda, mengapa kita harus menentukan bidang usaha secara spesifik dan
18 macam bidang usaha yang prospektif untuk bisnis franchise di Indonesia”, “Rahasia 2: Tetapkan spesialisasi usaha
Anda serta apa pentingnya dan bagaimana cara menetapkan spesialisasi usaha”, “Rahasia 3: Dirikan usaha Anda, apa
pentingnya dan bagaimana cara mendirikan usaha serta bagaimana cara mengembangkan usaha yang sudah berdiri
dan beroperasi dengan sistem franchise”, “Rahasia 4: Tetapkan standar kerjanya, apa pentingnya dan bagaimana cara
menetapkan standar kerja, serta mengapa standar kerja yang sudah ditetapkan harus diterapkan”, “Rahasia 5:
Tetapkan standar peralatan dan perlengkapan kerjanya serta apa pentingnya dan bagaimana cara menetapkan
standar peralatan dan perlengkapan kerja”, “Rahasia 6: Lakukan set-up manajemen, apa pentingnya dan bagaimana
cara set-up manajemen”, “Rahasia 7: Tetapkan sistem operasionalnya, apa pentingnya dan bagaimana cara
menetapkan sistem operasional usaha”, “Rahasia 8: Tetapkan standar penampilan usaha Anda, apa pentingnya dan
bagaimana cara menetapkan standar penampilan usaha”, “Rahasia 9: Buatlah track record usaha yang bagus, apa
pentingnya dan bagaimana cara membuat track record usaha yang bagus”, “Rahasia 10: Tawarkan prospectus
pengembangan usaha kepada calon investor, apa pentingnya dan bagaimana cara melakukan penawaran kepada
calon investor”.
Banyak orang salah paham bahkan sama sekali tidak memahami alur menjadi pengusaha sukses yang benar.
Mayoritas pengusaha pemula di Indonesia hanya ingin kaya, ingin terkenal dan ingin cepat berfoya-foya. Padahal
pengusaha itu adalah pengorbanan seumur hidup untuk memperkaya orang lain, bukan untuk memperkaya diri
sendiri. Di akhir bab penulis mengingatkan para pengusaha untuk tidak terjebak dalam perilaku konsumtif yang
seringkali menjerumuskan pada jurang kenistaan dan harus bisa memisahkan uang pribadi dan uang bisnis. Banyak
pengusaha yang awalnya bekerja sangat keras dan berhasil mendapatkan kemakmuran, terjebak pada kebutuhan dan
gaya hidup yang besar pasak daripada tiang, dan keserakahan yang menjerumuskannya ke jurang kehancuran. Hanya
perlu konsisten terhadap bidang usaha dan jenis usaha yang sudah dipilih, kemudian dikelola dan dikembangkan
dengan sistem franchise seperti 10 rahasia yang disebutkan di dalam buku ini. Setelah itu kendalikan ego supaya tetap
berjalan di jalur rel yang telah ditetapkan. Jadi, sekeras apa pun usaha kita dan sesempurna apa pun bisnis kita, jika
masih belum bisa mengendalikan kebutuhan hidup, gaya hidup, keserakahan dan nafsu diri, bisnis kita hanya akan
berakhir sia-sia dan mengalami kebangkrutan.
Penulis buku ini memiliki banyak keahlian yaitu konsultan, motivator, penulis buku, pengusaha, dan
pembicara di berbagai acara seminar di Indonesia. Buku pedoman praktis ini ditulis berdasarkan pengalaman dan
pengetahuannya yang bisa diterapkan secara menyeluruh untuk semua jenis bidang usaha dengan sistem franchise.
Kelebihan buku ini, yaitu memakai gaya bahasa sederhana yang mudah dimengerti oleh pembacanya,
memuat tips dan strategi rahasia sukses bisnis franchise. Buku ini disertai catatan Quote hukum bisnis dari penulis per
tanggal, dilengkapi tambahan uraian tentang perbedaan antara bidang usaha dengan jenis usaha, serta analisa SWOT
(kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan) 18 macam usaha untuk bisnis franchise. Kekurangan buku ini, yaitu
kurang menariknya lay out dan tampilan isi buku yang monoton, tanpa ilustrasi gambar yang menarik dan tidak
berwarna. Buku yang ditulis dari sudut pandang pelaku bisnis franchise ini sangat bermanfaat bagi pembaca yang ingin
memulai usaha sekaligus jendela inspirasi bagi yang sudah dan akan menekuni wirausaha mulai dari awal.
Menurut Warren J. Keegen dalam bukunya
Global Marketing Management menyatakan, pe-
ngembangan usaha secara internasional dapat di-
lakukan melalui sekurangnya lima macam cara,
yaitu: 1. dengan cara ekspor; 2. melalui pemberian
lisensi; 3. dalam bentuk franchising (waralaba); 4.
pembentukan perusahaan patungan (joint ventures);
atau 5. total ownership atau pemilikan menyeluruh
yang dapat dilakukan melalui direct ownership (ke-
pemilikan langsung) atau akuisisi.(Waren, 1989)
Ekspor merupakan salah satu bentuk inter-
nasionalisasi produk yang paling sederhana, dimana
kegiatan ekapor pada dasarnya merupakan kegiatan
jual beli yang dilakukan secara internasional yang
melibatkan berbagai macam sarana dan lembaga
lain. Namun bagi pemilik usaha/pengusaha, kegia-
tan ekspor ini kurang mendatangkan keuntungan
yang disebabkan karena faktor-faktor teritorial yang
berdampak ekonomis dan faktor-faktor yang bersi-
fat politis, serta faktor biaya dan risiko.
Demikian juga bentuk usaha patungan un-
tuk memproduksi barang atau jasa, dapat menimbul-
kan risiko yang cukup besar bagi seorang pengusaha
terutama masalah sosial politik dari negara dimana
investasi akan dilakukan. Sedangkan bentuk inves-
tasi langsung dan akuisisi bisnis, hanya mungkin
dapat dilakukan jika secara ekonomis, sosial dan
politik dimungkinkan.
Sebaliknya, cara lisensi yang Lisensi meru-
pakan suatu bentuk pemberian hak yang dapat ber-
sifat ekslusif maupun berbentuk non eksklusif, dira-
sakan cukup mengurangi risiko, dimana dengan li-
sensi produsen lebih berusaha mendekatkan diri
kepada konsumen di negara tujuan dan memperkecil
risiko biaya tinggi, risiko hilangnya barang atau
mungkin embargo dalam kaitannya dengan masalah
politik. Dengan lisensi, maka dapat meningkatkan
penjualan, menekan biaya dan perolehan keuntu-
ngan yang optimal. (Waren, 1989)
Akan tetapi dalam perkembangannya, pem-
berian lisensi initidak dapat dirasakan cukup
optimal terutama jika pemberi lisensi bermaksud
untuk melakukan penyeragaman total baik dalam
bentuk hak maupun dalam bentuk kewajiban-ke-
wajiban untuk mematuhi dan menjalankan segala
perintah yang dikeluarkan termasuk pada sistem pe-
laksanaan operasional kegiatan atau usaha yang
diberikan lisensi ini.
Dengan permasalahan ini, maka sudah ber-
kembang suatu bentuk pemberian hak dan kegiatan
usaha yang disebut waralaba (Franchise) sebagai
salah bentuk alternatif pengembangan usaha yang
khususnya dilakukan secara internasional. Waralaba
(Franchise) seperti halnya lisensi, mengandalkan
kepada kemampuan mitra usaha dalam mengem-
bangkan dan menjalankan kegiatan usaha waralaba-
nya melalui tata cara, proses serta suatu code of
conduct dan sistem yang sudah ditentukan oleh pe-
ngusaha franchisor.
Dalam Waralaba (Franchise) ini dapat dika-
takan bahwa sebagai bagian dari kepatuhan mitra
usaha terhadap aturan main yang diberikan oleh pe-
ngusaha Franchisor, maka mitra usaha atau
penerima Franchise diberikan hak untuk meman-
faatkan Hak Atas Kekayaan Intelektual dari pe-
ngusaha Franchisor, baik dalam penggunaan merek
dagang, merek jasa, hak cipta atas logo, desain in-
dustri, paten berupa teknologi maupun rahasia
dagang dan sebaliknya, pengusaha Franchisor
memperoleh royalti atas penggunaan Hak Atas Ke-
kayaan Intelektual mereka. (Gunawan, 2001)
Waralaba (Franchise) pada dasarnya yaitu
sebuah perjanjian mengenai metode pendistribusian
barang dan jasa kepada konsumen. Dalam hal ini
franchisor memberikan lisensi kepada franchisee
untuk melakukan kegiatan pendistribusian barang
dan jasa di bawah nama dan identitas franchisor
dalam wilayah tertentu, dimana usaha inidija-
lankan sesuai dengan prosedur dan cara yang dite-
tapkan franchisor dan franchisor memberikan ban-
tuan (assistance) terhadap franchise. Sebagai im-
balannya francisee membayar beberapa uang berupa
innitial fee dan royalti. (Suharnoko, 2004)
Jenis usaha Waralaba (Franchise) lahir di
Amerika Serikat kurang lebih satu abad yang lalu
ketika perusahaan mesin jahit Singer mulai mem-
perkenalkan konsep Waralaba (Franchise) sebagai
suatu cara mengembangkan distribusi produknya.
Demikian pula dengan perusahaan-perusahaan bir
yang memberikan lisensi kepada perusahaan kecil
sebagai usaha mendistribusikan produk mereka.
(Suharnoko, 2004)
Di negarakita bentuk usaha bisnis ini juga
berkembang dengan pesat, dimana bentuk usaha
franchise ini banyak dipakai dalam usaha fast
food restaurant seperti Kentucky Fried Chiken,
Pizza Hut, Mc Donald, Hotel dan jasa penyewaan
mobil. Bentuk ini juga dipakai oleh bisnis lokal
di negarakita seperti Es Teller 77.
Dengan perkembangan yang pesat ini,
maka untuk memberikan perlindungan dan kepas-
tian hukum, Pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Republik negarakita No. 16 tahun 1997
tentang Waralaba dan Keputusan Menteri Perin-
dustrian dan Perdagangan Republik negarakita No.
259/MPP/KEP/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba. Kedua-
nya diubah dengan Peraturan No. 42 Tahun Tahun
2007 tentang Waralaba dan Peraturan Menteri Per-
dagangan RI No. 12/M-DAG/PER/3/2006 Tentang
Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda
Pendaftaran Usaha Waralaba. Perangkat hukum ter-
sebut sudah memberikan definisi tersendiri mengenai
waralaba.
Waralaba (franchise) yaitu perikatan an-
tara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba
dimana Penerima Waralaba diberikan hak untuk
menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan/atau
memakai hak kekayaan intelektual atau pe-
nemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki Pemberi
Waralaba dengan suatu imbalan berdasar per-
syaratan yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba de-
ngan beberapa kewajiban menyediakan dukungan
konsultasi operasional yang berkesinambungan oleh
Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba.
Melihat perkembangan yang ada di negarakita
terhadap usaha Waralaba (Franchise), maka diper-
lukan adanya kepastian hukum dan perlindungan
hukum bagi pelaku usaha terutama bagi franchisee
terhadap tindakan franchisor yang merugikan fran-
chisee.
Aspek Hukum Franchise
Waralaba (Franchise) berasal dari bahasa
Perancis, yaitu franchir yang memiliki arti mem-
beri kebebasan kepada para pihak (Salim, 2003).
PH. Collin, dalam Law Dictionary memberikan di-
finisi franchise sebagai, Lincense to trade using
and paying a royalty for it dan Franchising seba-
gai act of selling a license to trade as a Franchisee
(Gunawan, 2002). Definisi inimenekankan
pada pentingnya peran nama dagang dalam pem-
berian waralaba dengan imbalan royalti.
Dengan pemberian royalti berarti ada pem-
berian lisensi yang merupakan, suatu bentuk hak
untuk melakukan satu atau serangkaian tindakan
atau perbuatan yang diberikan oleh mereka yang
berwenang dalam bentuk izin. Tanpa adanya izin
ini, maka tindakan atau perbuatan ini
merupakan tindakan atau perbuatan yang terlarang,
yang tidak sah yang merupakan perbuatan melawan
hukum. (Gunawan, 2001). Dalam Black’s Law
Dictionary, Franchise diartikan sebagai :
“A special privilege granted or sold, such as to use
a name or to sell products or service.In its simple
terms, a Franchise is a license from owner of a
trade mark or trade name permitting another to sell
a product or service under that name or mark.
More bradly stated, a Franchise has evolved into
an elaborate agreement under whice the Franchise
undertakes to conduct a business or sell a product
or service in accordance with methods and proce-
dures prescribed by the Franchisor, and the Fran-
chisor under takes to assist the Franchisee thorugh
advertising promotion and other advisory
service.(Gunawan, 2001)
Dari rumusan Black’s Law Dictionary ter-
sebut menunjukan bahwa Waralaba (Franchise) ter-
nyata juga mengandung unsur-unsur sebagaimana
yang diberikan kepada lisensi hanya saja lebih me-
nekankan kepada pemberian hak untuk menjual
produk berupa barang-barang atau jasa dengan me-
manfaatkan merek dagang Franchisor (pemberi
waralaba) dengan kewajiban kepada Frinchisee (pe-
nerima waralaba) untuk mengikuti metode dan tata
cara atau prosedur yang sudah ditetapkan.
Dari seluruh pengertian di atas, Waralaba
(Franchise) dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek
yuridis dan bisnis. Pengertian franchise dari segi
yuridis, dapat dilihat dalam ketentuan peraturan pe-
rundang undangan, berbagai pendapat, dan pan-
dangan ahli. Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerin-
tahan nomor 42 tahun 2007 tentang Waralaba,
Waralaba (Franchise) diartikan sebagai :
Waralaba yaitu hak khusus yang dimiliki oleh
orang perseorangan atau badan usaha terhadap sis-
tem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka me-
masarkan barang dan/atau jasa yang sudah terbukti
berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau dipakai
oleh pihak lain berdasar perjanjian waralaba.
Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Perda-
gangan No. 12/M-DAG/PER/3/2006 Tentang Ke-
tentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pen-
daftaran Usaha Waralaba, Waralaba (franchise) ada-
lah perikatan antara Pemberi Waralaba dengan Pe-
nerima Waralaba dimana Penerima Waralaba dibe-
rikan hak untuk menjalankan usaha dengan meman-
faatkan dan/atau memakai hak kekayaan inte-
lektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang di-
miliki Pemberi Waralaba dengan suatu imbalan ver-
dasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemberi
130
Waralaba dengan beberapa kewajiban menyediakan
dukungan konsultasi operasional yang berkesinam-
bungan oleh Pemberi Waralaba kepada Penerima
Waralaba.
Dari definisi Keputusan Menteri Perda-
gangan di atas, maka unsur-unsur yang dapat diru-
muskan dari Waralaba yaitu 1) adanya perikatan;
2) adanya hak dan pemanfaatan dan/atau penggu-
naan; 3) adanya objek, yaitu hak atas kekayaan inte-
lektual atau penemuan baru atau ciri khas usaha; 4)
adanya imbalan atau jasa; dan 5) adanya persyaratan
dan penjualan barang.
Bryce Webster mengemukakan pengertian
Waralaba (Franchise) dari aspek yuridis, yaitu:
lisensi yang diberikan oleh franchisor dengan pem-
bayaran tertentu, lisensi yang diberikan itu bisa
berupa lisensi paten, merek perdagangan, merek
jasa, dan lain-lain yang dipakai untuk tujuan
perdagangan inidi atas. (Ridhwan, 1992).
Definisi ini belum memperlihatkan adanya
hubungan hukum antara franchisor dan franchisee
karena yang ditonjolkan di sini yaitu pemberian li-
sensi dari franchisor kepada franchisee, sementara
fokus pada pembuatan kontrak antara para pihak
yaitu adanya hubungan hukum di antara mereka
tidaklah tampak.
berdasar hal ini, dapatlah di-
rumuskan bahwa Waralaba (Franchise)yaitu suatu
kontrak yang dibuat antara franchisor dan fran-
chisee, dengan ketentuan pihak franchisor mem-
berikan lisensi kepada franchisee untuk mengguna-
kan merek barang atau jasa dalam jangka waktu ter-
tentu dan pembayaran beberapa royalti tertentu ke-
pada franchisor (Salim, 2003). Sehingga unsur-un-
sur secara yuridis dari franchise yaitu : 1. adanya
subjek hukum, yaitu franchisor dan franchisee; 2.
adanya lisensi atas merek barang atau jasa; 3) untuk
jangka waktu tertentu; 4. adanya pembayaran ro-
yalti.
Selanjutnya, pengertian Waralaba (Fran-
chise) dari aspek bisnis sebagaimana dikemukakan
oleh Bryce Webster, yaitu salah satu metode pro-
duksi dan distribusi barang dan jasa kepada kon-
sumen dengan suatu standar dan sistem eksploitasi
tertentu. Pengertian standar dan eksploitasi ini
meliputi kesamaan dan penggunaan nama peru-
sahaan, merek, sistem produksi, tata cara penge-
masan dan penggunaan nama pengedarnya (Ridwan,
1992).
Definisi Waralaba (Franchise) ini ada kesa-
maan dengan difinisi yang tercantum dalam kamus
Black’s Law Dictionnary, yaitu Lisensi atau izin da-
ri pemilik suatu merek atau nama dagang kepada
pihak lain untuk menjual produk atau jasa di bawah
merek atau nama dagangannya. Dari difinisi me-
nurut aspek bisnis ini, dapat diperleh unsur-
unsur franchise sebagai berikut: 1. metode pro-
duksinya; 2. adanya izin dari pemilik, yaitu fran-
chisor kepada franchisee; 3) adanya suatu merek
atau nama dagang; 4) untuk menjual produk barang
atau jasa; 5) di bawah merek atau dagang dari fran-
chise. Brayce Webster mengemukakan ada tiga
bentuk dari Waralaba (Franchise), yaitu :
1. Product franchising
Product franchising, yaitu suatu franchise,
yang franchisor-nya memberikan lisensi kepada
franchisee untuk menjual barang hasil produk-
sinya. Franchisee berfungsi sebagai distributor
produk franchisor. Sering kali terjadi franchisee
diberi hak eksklusif untuk memasarkan produk
inidi suatu wilayah tertentu. Misalnya dea-
ler mobil, stasiun pompa bensin.
2. Manufacturing franchises
Manufacturing franchise franchisor memberikan
know-how dari suatu proses produksi. Franchisee
memasarkan barang-barang itu dengan standar
produksi dan merek yang sama dengan yang di-
131
miliki franchisor. Bentuk franchise semacam ini
banyak dipakai dalam produksi dan distribusi
minuman soft drink,seperti Coca Cola dan Pepsi.
3. Business format franchising
Business format franchising yaitu suatu bentuk
franchise yang franchisee-nya mengoprasikan
suatu kegiatan bisnis dengan memakai nama
franchisor. Sebagai imbalan dari penggunaan na-
ma franchisor, maka franchisee harus mengikuti
metode-metode standar pengoperasian dan ber-
ada dibawah pengawaan franchisor dalam hal
bahan-bahan yang dipakai, pilihan tempat
usaha, desain tempat usaha, jam penjualan, per-
syaratan karyawan, dan lain-lain. Sehingga fran-
chisor memberikan seluruh konsep bisnis yang
meliputi strategi pemasaran, pedoman dan stan-
dar pengoperasian usaha dan bantuan dalam
mengoperasikan franchise. Sehingga franchisee
memiliki identitas yang tidak terpisahkan dari
franchisor (David, 1995).
Selain ketiga bentuk diatas, di negarakita ju-
ga mulai berkembang group tranding franchise,
yang menunjukan pada pemberian hak toko grosir
maupun pengecer.
Kontrak Waralaba
Kontrak Waralaba (Franchise) berada di-
antara kontrak lisensi dan distributor. Adanya pem-
berian izin oleh pemegang Hak Milik Intelektual
atau know-how lainnya kepada pihak lain untuk
memakai merek ataupun prosedur tertentu me-
rupakan unsur perjanjian lisensi. Sedangkan di lain
pihak juga adanya quality control dari franchisor
terhadap produk-produk pemegang lisensi yang ha-
rus sama dengan produk-produk pemegang lisensor,
seakan-akan pemegang franchise merupakan distri-
butor franchisor. (Salim, 2003)
Pemegang Waralaba (Franchise) wajib
membayar beberapa royalti untuk penggunaan me-
rek dagang dan proses pembuatan produk yang be-
sarnya ditetapkan bardasarkan perjanjian. Royalti
kadang-kadang bukan ditetapkan dari persentase
keuntungan melainkan dari beberapa unit. Dalam
hal demikian pihak franchisor tidak peduli apakah
pemegang franchisee untung atau tidak. Disamping
harus membayar royalti, pihak pemegang franchise
harus mendesain perusahaannya sedemikian rupa se-
hingga mirip dengan perusahaan franchisor. Begitu
pula dengan manajemen, tidak jarang franchisor ju-
ga memberikan asistensi dalam manajemen.
Dalam hal demikian pemegang franchise
perlu membayar fee tersendiri untuk asistensi ter-
sebut. Tidak jarang pula franchisor dalam keperluan
pembuatan produknya mewajibkan pemegang fran-
chise untuk membeli bahan-bahan dari pemasok
yang ditunjuk franchisor. Hal itu dalam hukum kon-
trak disebut sebagai tying-in agreement. Bahkan ka-
dang-kadang pemegang franchise berdasar kon-
trak membolehkan franchisor melakukan auditing
terhadap keuangan franchisee. Semua ini diwa-
jibkan oleh franchisor dengan alasan quality con-
trol. Namun di lain pihak, melalui kontrak lisensi
maupun franchise diharapkan terjadinya alih tek-
nologi antara licensor/franchisor terhadap licen-
se/franchisee.
Bentuk Waralaba (Franchise) menurut Pa-
sal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Ta-
hun 2007 tentang Waralaba dan Pasal 2 Keputusan
Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/3/
2006 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan
Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba yaitu
berbentuk tertulis.
Sifat perjanjian Waralaba (Franchise)
(agreement franchise) yaitu, sebagai berikut :
1. Suatu perjanjian yang dikuatkan oleh hukum (le-
gal agreement)
2. Memberi kemungkinan pewaralaba/franchisor
tetap memiliki hak atas nama dagang dan atau
merek dagang, format/pola usaha, dan hal-hal
khusus yang dikembangkannya untuk suksesnya
usaha ini.
3. Memberikan kemungkinan pewaralaba/ fran-
chisor mengendalikan sistem usaha yang dilin-
sensikannya.
4. Hak, Kewajiban, dan tugas masing-masing pihak
dapat diterima pewaralaba/franchisee.
Perjanjian ini dibuat dalam Bahasa
negarakita dan terhadapnya berlaku hukum
negarakita. Sebelum membuat perjanjian, Pemberi
Waralaba wajib memberikan keterangan tertulis
atau prospektus mengenai data dan atau informasi
usahanya dengan benar kepada Penerima Waralaba
yang paling sedikit memuat: a. Identitas Pemberi
Waralaba, berikut keterangan mengenai kegiatan
usahanya termasuk neraca dan daftar rugi laba 1
(satu) thun terakhir; b. Hak kekayaan intelektual
atau penemuan atau ciri khas usaha yang menjadi
objek waralaba disertai dokumen pendukung; c. Ke-
terangan mengenai kriteria atau persyaratan-per-
syaratan yang harus dipenuhi Penerima Waralaba
termasuk biaya investasi; d. Bantuan atau fasilitas
yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima
Waralaba; e. Hak dan kewajiban antara Pemberi
Waralaba dan Penerima Waralaba; dan f. Data atau
informasi lain yang perlu diketahui oleh Penerima
Waralaba dalam rangka pelaksanaan perjanjian
Waralaba selain huruf a sampai dengan huruf e. Di
samping itu, penerima waralaba utama, wajib
memberitahukan secara tertulis dokumen autentik
kepada penerima waralaba lanjutan bahwa penerima
waralaba utama memiliki hak atau izin membuat
perjanjian waralaba lanjutan dari pemberi waralaba.
Hal-hal yang harus dimuat dalam perjanjian
Waralaba (Franchise), yaitu sebagai berikut :
a. Nama dan alamat perusahaan para pihak;
b. Nama dan jenis Hak Kekayaan Intelektual atau
penemuan atau ciri khas usaha seperti sistem
manajemen, cara penjualan atau penataan atau
distribusi yang merupakan karakteristik khusus
yang dimiliki Objek Waralaba;
c. Hak dan kewajiban para pihak serta bantuan
dan fasilitas yang diberikan kepada Penerima
Waralaba;
d. Wilayah usaha (zone) Waralaba;
e. Jangka waktu perjanjian;
f. Perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan
perjanjian;
g. Cara penyelesaian perselisihan;
h. Tata cara pembayaran imbalan;
i. Pembinaan, bimbingan dan pelatihan kepada
Penerima Waralaba;
j. Kepemilikan dan ahli waris.
Menurut Bryce Webster klausul-klausul yang
harus dimuat dalam perjanjian Waralaba
(Franchise), yaitu sebagai berikut :
1. trem of contrac; 2. contrac renewal; 3. location
selection; 4. territory and exclusively; 5. lease ap-
proval; 6. franchise fess, initial, and cash requi-
rements; 7. Royalitas regular fess; 8. Adveristing
policies; 9. Tradermark use resticion; 10. Training
offered by franchise company; 11. On-site assistance
and location preparation; 12. Use of peration ma-
nual; 13. Operating practices; 14. Obligation to
purchise; 15. Equipment and premiesess maintan-
ces; 16. Right of inspection; 17. Right to audit; 18.
Similar bussiness or noncompetation clause; 19.
Trade secret; 20. Cancellation clause; 21. Franchise
termination; 22. Accurate representation; 23. Rights
to transfer of the right of first refusal; 24. Rights to
inherit; 25. Sale equipment; 26. Contracnht enfor-
cement (Salim, 2003).
Yang menjadi subjek hukum dalam perjan-
jian franchise, yaitu franchisor dan franchisee.
Franchisor yaitu perusahaan yang memberikan
lisensi, baik, berupa paten, merek dagang, merek
jasa, maupun lainnya kepada franchisee. Sedangkan
franchisee yaitu perusahaan yang menerima lisensi
dari franchisor.
Di samping itu, ada dua pihak lainya dalam
perjanjian Waralaba (Franchise) yang terkena dam-
pak dari perjanjian ini, yaitu :
1. Franchisee lain dalam system franchise (fran-
chising system) yang sama.
2. Konsumen atau klien dari franchisee maupun
warga pada umumnya.
Objek dalam perjanjian franchisee yaitu li-
sensi. Lisensi yaitu izin yang diberikan oleh fran-
chisor kepada franchisee. Ada dua kriteria lisensi
sebagaimana dikemukakan oleh Dieter Plaff, yaitu
1. tujuan ekonomis, dan 2. acuan yuridis. Tujuan
ekonomis yaitu apa yang hendak dicapai oleh li-
sensi itu. Sedangkan acuan hukum, yaitu instrumen
hukum yang dipakai untuk mencapai tujuan ter-
sebut.
berdasar kriteria ini, maka lisensi
dibagi menjadi tiga macam, sebagaimana dikemu-
kakan berikut ini ;
1. Licence exchange contract, yaitu perjanjian an-
tara para pesaing yang bergerak dalam kegiatan
yang ama atau memiliki hubungan yang erat, se-
hingga disebabkan masalah teknis, mereka tidak
dapat melakukan kegiatan tanpa adanya pe-
langgaran hak-hak termasuk hak milik perindus-
turian dari pihak lain. Di sini, titik berat lisensi
terletak pada pemberian izin ataupun pem-
bayaran royalti.
2. Corak perjanjian lisensi yang kedua yaitu ke-
balikan dari corak yang pertama. Dari luarnya
tampak sebagai perjanjian lisensi, namun sebe-
narnya bukan perjanjian lisensi dalam arti sebe-
narnya. Perjanjian inidibuat semata-mata
untuk tujuan penyelundupan pajak; dengan cara
seolah-olah suatu cabang perusahaan di suatu
Negara tertentu membayar royalti kepada pe-
rusahaan induknya di Negara lain. Perjanjian se-
macam ini lazim dinamakan return contracts.
3. Perjanjian lisensi dalam arti sebenarnya, tanpa
camouflaging effects sebagaimana diuraikan di-
atas.
Kontrak yang dibuat oleh pihak franchisor
dengan franchisee berlaku sebagai undang-undang
bagi kedua belah pihak. Sejak penandatanganan
kontrak antara kedua belah pihak akan menimbul-
kan hak dan kewajiban. Kewajiban dari pihak fran-
chisor yaitu menyerahkan lisensi kepada fran-
chisee. Sedangkan yang menjadi haknya yaitu se-
bagai berikut :
1. Logo merek dagang (trade mark), nama dagang
(trade name), dan nama baik/repurtasi (goodwill)
yang terkait dengan merek dan atau nama ter-
sebut.
2. Format/pola usaha, yaitu suatu sistem usaha yang
terekam dalam bentuk buku pegangan (manual),
yang sebagian isinya dalam rahasia usaha.
3. Dalam kasus tertentu berupa rumus, resep, de-
sain, dan program khusus.
4. Hak cipta atas sebagian dari hal di atas bisa da-
lam bentuk tertulis dan terlindungi dalam un-
dang-undang hak cipta.
Hak franchisee yaitu menerima lisensi,
sedangkan kewajibannya yaitu membayar royalti
kepada franchisor dan menjaga kualitas barang dan
jasa yang di-franchise.
Walaupun para pihak diberikan kebebasan
untuk menentukan jangka waktu berakhirnya kon-
trak franchise (waralaba), namun Pemerintah me-
lalui Menteri Perindusturian dan Perdagangan sudah
menetapkan jangka waktu perjanjian waralaba
sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun. Jangka
waktu itu dapat diperpanjang.
Perlindungan Hukum Terhadap Franchise
di negarakita
Pengaturan Hukum
Bidang usaha Waralaba (Franchise) di
negarakita diatur dalam Buku ke III Kitab Undang
Undang Hukum Perdata sebagai aturan umum dan
Peraturan Pemerintah RI. tanggal 23 Juli 2007 No.
42 Tahun 2007 tentang Waralaba serta Peraturan
Menteri Perdagangan RI No. 12/M-DAG/PER/3/
2006 tanggal 29 Maret 2006 Tentang Ketentuan
dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran
Usaha Waralaba.
Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan pemerin-
tahan nomor 42 tahun 2007 tentang waralaba, Wa-
ralaba (Franchise) diartikan sebagai: hak khusus
yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan
usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha
dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa
yang sudah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan
dan/atau dipakai oleh pihak lain berdasar per-
janjian waralaba.
Pasal 4 Peraturan Pemerintahan nomor 42
tahun 2007 menyatakan bahwa Waralaba diseleng-
garakan berdasar perjanjian tertulis antara Pem-
beri Waralaba dengan Penerima Waralaba dengan
memperhatikan hukum negarakita. Dalam hal per-
janjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis
dalam bahasa asing, perjanjian iniharus diter-
jemahkan ke dalam bahasa negarakita.
Sebelum membuat perjanjian, franchisor ha-
rus memberikan keterangan secara tertulis kepada
franchisee mengenai :
1. Identitas franchisor berikut keterangan me-
ngenai kegiatan usahanya termasuk rencana
dan daftar laba rugi selama dua tahun terakhir.
2. Hak Atas Kekayaan Intelektual atau penemuan
atau ciri khas usaha yang menjadi objek
waralaba.
3. Persayaratan yang harus dipenuhi oleh fran-
chisee.
4. Bantuan atau fasilitas yang ditawarkan fran-
chisor kepada franchisee.
5. Hak dan kewajiban franchisor kepada fran-
chisee.
6. Cara-cara dan syarat pengakhiran, pemutusan
dan perpanjangan perjanjian waralaba.
7. Hal-hal lain yang perlu diketahui franchisee
dalam rangka pelaksanaan perjanjian waralaba.
Ketentuan pasal 7 Peraturan Pemerintah RI.
No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba jo pasal 5
Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12/M-
DAG/PER/3/2006 tanggal 29 Maret 2006 Tentang
Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda
Pendaftaran Usaha Waralaba, mewajibkan fran-
chisor sebagai pemberi waralaba melakukan dis-
closure terhadap berbagai aspek material yang da-
pat mempengaruhi keputusan franchisee sebagai
penerima waralaba untuk menolak atau menerima
persyaratan yang akan dituangkan dalam suatu per-
janjian waralaba atau franchise Agreement yang
meliputi: a. data identitas Pemberi Waralaba; b. le-
galitas usaha Pemberi Waralaba; c. sejarah kegiatan
usahanya; d. struktur organisasi Pemberi Waralaba;
e. laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir; f. jumlah
tempat usaha; g. daftar Penerima Waralaba;dan h.
hak dan kewajiban Pemberi Waralaba dan Penerima
Waralaba.
Klausula yang tertuang dalam Perjanjian Wa-
ralaba (Franchise) sebagaimana ketentuan pasal 7
ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan RI No.
12/M-DAG/PER/3/2006 tanggal 29 Maret 2006
Tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat
Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba yaitu :
a. Nama dan alamat perusahaan para pihak;
b. Nama dan jenis Hak Kekayaan Intelektual
atau penemuan atau ciri khas usaha seperti
sistem manajemen, cara penjualan atau pena-
taan atau distribusi yang merupakan karak-
teristik khusus yang dimiliki Objek Wara-
laba;
c. Hak dan kewajiban para pihak serta bantuan
dan fasilitas yang diberikan kepada Penerima
Waralaba;
d. Wilayah usaha (zone) Waralaba;
e. Jangka waktu perjanjian;
f. Perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan
perjanjian;
g. Cara penyelesaian perselisihan;
h. Tata cara pembayaran imbalan;
i. Pembinaan, bimbingan dan pelatihan kepada
Penerima Waralaba;
j. Kepemilikan dan ahli waris.
Jangka waktu Perjanjian waralaba ini
menurut ketentuan pasal 7 Peraturan Menteri Perda-
gang yaitu:
1. Jangka waktu Perjanjian Waralaba antara Pem-
beri Waralaba dengan Penerima Waralaba Uta-
ma berlaku paling sedikit 10 (sepuluh) tahun.
2. Jangka waktu Perjanjian Waralaba antara Pene-
rima Waralaba Utama dengan Penerima Wara-
laba Lanjutan berlaku paling sedikit 5 (lima)
tahun.
Menurut pasal 7 Peraturan Pemerintah No.
16 tahun 1997 jo pasal 11 Peraturan Menteri Perda-
gangan RI No. 12/M-DAG/PER/3/2006 tanggal 29
Maret 2006 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pe-
nerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba,
perjanjian waralaba beserta keterangan tertulis wa-
jib didaftarkan kepada Direktur Jendral Perdaga-
ngan Dalam Negeri Departemen Perdagangan da-
lam hal Penerima Waralaba Utama yang berasal da-
ri Pemberi Waralaba Luar Negeri wajib dan Kepa-
da Kepala Dinas yang bertanggung jawab dibidang
perdagangan daerah setempat dalam hal Penerima
Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Wa-
ralaba Dalam Negeri dan Penerima Waralaba Lan-
jutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Luar Ne-
geri dan Dalam Negeri wajib, paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak berlakunya perjanjian
franchise untuk memperleh Surat Tanda Pendaftaran
Usaha Waralaba (STPUW). Pendaftaran ini dilak-
sanakan dalam rangka dan untuk kepentingan pem-
binaan usaha dengan cara waralaba.
Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba
(STPUW) berlaku untuk jangka waktu 5 tahun dan
dapat diperpanjang jika jangka waktu perjanjian
waralaba masih berlaku. Jika franchisor memutus-
kan perjanjian franchise sebelum berakhir masa
berlakunya dan kemudian menunjuk franchisee ba-
ru, maka penerbitan STPUW bagi franchisee baru
hanya akan diberikan jika franchisor sudah menye-
lesaikan seluruh permasalahan yang timbul sebagai
akibat pemutusan iniyang dituangkan dalam
bentuk Surat Pernyataan Bersama (clean break).
Demikian sanksi yang diberikan oleh Pasal 14
Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12/M-
DAG/PER/3/2006.
Pembatalan Perjanjian Franchise
Undang undang No. 9 Tahun 1995 tentang
usaha kecil menyebutkan bahwa Waralaba (Fran-
chise) yaitu salah satu pola kemitraan antara usaha
kecil dengan usaha menengah dan usaha besar. Na-
mun kenyataan menunjukan bahwa franchise asing
berkembang lebih pesat dari franchise lokal.
Berbagai faktor mengakibatkan lambatnya
pertumbuhan Waralaba (Franchise)lokal. Sistem
franchise membutuhkan 5-15 tahun untuk pengem-
balian modalnya padahal pengusaha bisnis eceran
negarakita ingin meraih keuntungan dalam jangka
pendek. Selain itu sebagai franchisor, pengusaha
harus membuka rahasia suksesnya, seperti sistem
manajemen, resep masakan, dan sebagainya. Tim-
bul kekhawatian rahasia suksesnya ditiru oleh fran-
chise. Karena itu bisnis di negarakita lebih suka ber-
kembang sendiri dengan membuka cabang usaha
meskipun perkembangannya lebih lambat daripada
melibatkan orang lain dengan sistem franchise.
Di pihak pengusaha lemah dan kecil timbul
kekhawatiran pasar. Jika keadaan pasar tidak me-
nguntungkan, maka franchisor akan memutuskan
perjanjian. Demikian pula bila keadaan pasar me-
nguntungkan, maka franchisor akan memutuskan
perjanjian dan akan membuka tempat usaha sendiri,
sesudah franchise memperkenalkan produk dan na-
ma franchisor.
Hubungan hukum antara franchisor dan fran-
chisee ditandai dengan ketidakseimbangan kekua-
tan tawar menawar (unequal bargaining power).
Perjanjian franchise merupakan perjanjian baku
yang dibuat oleh franchisor, yang menetapkan sya-
rat-syarat dan standar yang harus diikuti oleh fran-
chisee yang memungkinkan franchisor dapat mem-
batalkan perjanjian jika dia menilai franchisee
tidak dapat memenuhi kewajibannya. Dalam perjan-
jian dicantumkan kondisi-kondisi bagi pemutusan
perjanjian seperti: kegagalan memenuhi jumlah pen-
jualan, kegagalan memenuhi standar pengoperasian,
dan sebagainya.
Franchisor memiliki discretionary power
untuk menilai semua aspek usaha franchisee, se-
hingga perjanjian tidak memberikan perlindungan
yang memadai bagi franchisee dalam menghadapi
pemutusan perjanjian dan penolakan franchisor un-
tuk memperbaruhi perjanjian. (David,1995:342) Da-
lam hal ini Franchisor dapat memanfaatkan kedu-
dukan franchisee untuk menguji pasar, sesudah me-
ngetahui bahwa kondisi pasar menguntungkan, ma-
ka franchisor memutuskan perjanjian dengan fran-
chisee, selanjutnya franchisor mengoperasikan out-
let atau tempat usaha sendiri diwilayah franchisee.
Terdapat dua pandangan mengenai hubungan
antara franchisor dengan franchisee, yang melahir-
kan conflicting polities, yaitu :
1. Pandangan Protecsionist
Menurut pandangan ini, alasan yang bersifat
ekonomis tidak dapat dijadikan alasan atau da-
sar pemutusan perjanjian karena jika alasan
ekonomis dijadikan dasar pemutusan perjan-
jian, maka undang-undang yang dibuat untuk
melindungi kepentingan franchise dari kesera-
kahan franchisor akan kehilangan maknanya
dan membiarkan franchisor bertindak opurtu-
nistic. Hal ini karena Franchisor berada dalam
kedudukan yang sangat kuat, dimana ia me-
nguasai semua informasi biaya, keuntungan,
jangka waktu yang diperlukan untuk strategi
pemasaran. Sementara franchisee hanya men-
jalankan suatu pre-exising system dengan me-
nandatangani perjanjian yang memberi kekua-
saan kepada franchisor untuk mengontrol se-
mua aspek usaha franchisee termasuk keten-
tuan tentang pemutusan perjanjian (Robert,
1994). Sehingga jika franchisor memutuskan
perjanjian karena kondisi pasar yang tidak
menguntungkan, maka ia sudah bertindak opur-
tunistic.
2. Pandangan Law and Economics
Menurut pandangan law and economic, per-
janjian yang efisien yaitu perjanjian yang da-
pat mengurangi biaya. Melalui franchising,
franchisor dapat mendistribusikan dan mem-
perkenalkan produknya dalam wilayah yang
luas tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk
membuka outlet sendiri. Franchisee dapat
menjalankan usaha yang sudah mapan dan
memperoleh keuntungan dari reputasi yang di-
miliki franchisor. Untuk mencapai economic
efficiency maka resources harus dialokasikan
pada nilai yang tertinggi. Mekanisme pasar
akan berjalan menuju efesiensi dan perjanjian
dipandang sebagai sarana atau fasilitas untuk
mencapai efesiensi. Oleh karenanya jika ada
pihak ketiga yang lebih berhasil memasarkan
produk yang bersangkutan, maka franchisor
seharusnya memutuskan perjanjian dengan
franchisee dan mengalihkan hubungannya ke-
pada pihak ketiga dengan membayar ganti ru-
gi kepada franchisee. Perjanjian baru dipan-
dang lebih efisien karena lebih menguntung-
kan dan meningkatkan nilai produk yang di-
pasarkan. Sehingga meskipun franchisor me-
langgar perjanjian, hukum harus mendukung
pemutusan perjanjian dengan membayar ganti
rugi kepada franchisee. (Jeffrey, 1995)
Dalam hal Franchisee berkali-kali melanggar
perjanjian seperti terlambat membayar, meng-
halangi franchisor melakukan pemeriksaan dan
tidak melaporkan hasil penjualannya secara
lengkap kepada franchisor, sehingga Fran-
chisor kehilangan beberapa royalti yang diha-
rapkan. Dalam hal yang demikian karena
franchisee sudah berkali-kali melanggar perjan-
jian maka perjanjian dapat dibatalkan dan fran-
chisee tidak perlu diberikan kesempatan untuk
memperbaiki kesalahannya.
Dari kedua pandangan ini, pandangan
protecsionist mengutamakan tujuan undang-undang
untuk melindungi kepentingan franchisee. Oleh ka-
rena itu, berdasar pandangan ini, Hakim tidak
akan menemukan good clauses kecuali jika fran-
chisee melanggar perjanjian secara substansial.
Walaupun mungkin saja franchisor memutuskan
perjanjian dengan didasarkan pada alasan-alasan
yang tidak wajar dengan didasari self motive. Se-
baliknya dalam pandangan Law and Economic,
mengabaikan tujuan undang-undang untuk melin-
dungi franchisee dari keserakahan franchisor. Se-
hingga yang diperhatikan dalam hubungan antara
franchisor dengan franchisee hanyalah manfaat
ekonomi. (Suharnoko, 2004)
Faktor-faktor yang dapat dijadikan acuan bagi
hakim dalam mengadili kasus pemutusan perjanjian
franchise yaitu, sebagai berikut (Tracey, 1994):
Motif dari franchisor untuk memutuskan
perjanjian franchise. Jika beberapa bukti menun-
jukkan bahwa franchisor menyalahgunakan untuk
kepentingan sendiri dengan memutuskan perjanjian
franchise, maka pemutusan perjanjian initi-
dak berdasar good cause.
a. Dampak tindakan franchisee terhadap na-
ma perusahaan franchisor. Jika franchisor
tidak menyalahgunakan kekuasaannya maka
franchisor dapat memutuskan perjanjian ber-
dasarkan good cause, karena franchise me-
langgar perjanjian dan merugikan nama baik
perusahaan franchisor.
b. Investasi dan pengharapan franchisee. Jika
franchisee melanggar perjanjian dan tidak
merugikan nama perusahaan franchisor, ma-
ka harus diperhatikan apakah tindakan fran-
chisor memutuskan perjanjian tidak me-
rugikan investasi dan pengharapkan fran-
chisee. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan
jumlah investasi yang sudah dilakukan fran-
chisee, jangka waktu yang sudah dilakukan
franchisee dalam menjalankan usahanya, dan
keuntungan yang diharapkan franchisee da-
ri investasinya berdasar informasi yang
diberikan oleh franchisor. Maka dalam hal
yang demikian franchisor dapat memutus-
kan perjanjian berdasar good cause apa-
bila hal itu tidak merugikan investasi dan
pengharapan franchisee.
Dalam hal terjadi pembatalan perjanjian,
usaha hukum apa yang dapat dipakai untuk
memulihkan kerugian franchisee, apakah pelaksa-
naan perjanjian atau ganti rugi beberapa uang?
negarakita yang memiliki basic law Kitab Un-
dang-Undang Hukum Perdata dipengaruhi oleh sis-
tem hukum Eropa Kontinental di mana tuntunan
moral untuk memenuhi janji lebih diutamakan dari
pada ganti rugi, khususnya dalam perjanjian yang
prestasinya untuk berbuat sesuatu dan tidak berbuat
sesuatu. Subekti mengistilahkan ganti rugi hanya
bersifat pengarem-arem, pelaksanaan perjanjian
yaitu sesuatu hal yang lebih penting (Subekti,
1998). Akan tetapi, untuk perjanjian yang pres-
tasinya berupa menyerahkan sesuatu seperti fran-
chisor yang memiliki kewajiban untuk memasok
barang kepada franchisee, maka usaha pemulihan
hukumnya jika terjadi wanprestasi yaitu ganti ru-
gi.
Menurut ketentuan Pasal 1239 sampai de-
ngan Pasal 1242 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, perikatan yang perestasinya berupa mela-
kukan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, maka pi-
hak kreditur, di samping memperoleh ganti rugi juga
dapat menuntut pelaksanaan perjanjian. Bahkan se-
andainya debitur tidak mau menaati putusan pe-
ngadilan, maka kreditur dapat minta dikuasakan
oleh hakim untuk melakukan prestasi itu sendiri atas
biaya debitur atau dalam hal perikatan untuk tidak
berbuat sesuatu dilanggar, maka kreditur berhak
untuk minta dikuasakan oleh hakim untuk meng-
hapus sendiri segala sesuatu yang sudah dibuat oleh
debitur. Dalam ilmu hukum hal ini dikenal dengan
istilah relee executie atau eksekusi riil. Ketentuan
seperti ini tidak dikenal dalam kasus di mana salah
satu pihak sudah lalai memenuhi perjanjian yang
perstasinya berupa kewajiban untuk menyerahkan
sesuatu maka menurut Kitab Undang-Undang Hu-
kum Perdata kreditur hanya dapat menuntut ganti
rugi.
Aspek hukum dari Waralaba (Franchise)
yaitu: bahwa ada kontrak franchise terdapat
pemberian izin oleh pemegang Hak Milik Intelek-
tual atau know-how lainnya kepada pihak lain untuk
memakai merek ataupun prosedur tertentu dan
sebagai kopensasinya Pemegang franchise wajib
membayar beberapa royalti untuk penggunaan me-
rek dagang dan proses pembuatan produk yang be-
sarnya ditetapkan bardasarkan perjanjian.
Perjanjian Waralaba (Franchise) berbentuk
tertulis dalam bahasa negarakita yang didalamnya
memuat: a. Nama dan alamat perusahaan para pi-
hak; b. Nama dan jenis Hak Kekayaan Intelektual
atau penemuan atau ciri khas usaha seperti sistem
manajemen, cara penjualan atau penataan atau
distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang
dimiliki Objek Waralaba; c. hak dan kewajiban para
pihak serta bantuan dan fasilitas yang diberikan
Related Posts:
waralaba 1 Waralaba (Franchise) Istilah-istilah Franchise = waralaba : sistim keterkaitan usaha dengan … Read More