waralaba 1

Waralaba (Franchise) 

Istilah-istilah 
Franchise = waralaba  :  sistim keterkaitan usaha dengan memberi 
keuntungan istimewa 
Franchising = pewaralabaan  :  aktivitas dengan sistim waralaba. 
Franchisor = pengwaralaba  :  orang yang memberi waralaba 
Franchisee = pewaralaba  :  orang yang diberi waralaba. 

Manisnya usaha franchise (waralaba) telah dirasakan para pelaku bisnis di tanah air, meskipun franchise 
merupakan sistem pengembangan bisnis yang paling aman dan minim modal finansial. Namun kurangnya wawasan 
tentang sistem ini bisa membuat bisnis yang dikembangkan itu hanya bertahan seumur jagung, sebab tidak semua 
orang paham bagaimana cara mengembangkan bisnis memakai sistem franchise. Akibatnya, baik pelaku bisnis 
maupun warga yang menjadi mitranya menanggung beban kerugian. Mayoritas justru mencampuradukkan 
antara sistem konvensional dengan sistem franchise, padahal sistem franchise tidak dapat dicampuradukkan dengan 
sistem pengembangan bisnis lainnya. Inilah yang membuat sistem franchise disebut-sebut sebagai bisnis dengan 
jaminan keberhasilan diatas 75%. Penulis mengatakan bahwa mengembangkan bisnis dengan sistem franchise murni 
itu mudah sekali, hanya melalui 10 tahapan saja. 
Buku ini membahas 10 rahasia membangun bisnis franchise yang memiliki ketahanan dan penulis menulis 
buku ini secara khusus ditujukan untuk pengusaha kecil yang ingin mengembangkan usahanya menjadi besar. Ilmu 
manajemen praktis ini tidak pernah diajarkan para motivator bisnis maupun di bangku sekolah. Kesepuluh rahasia itu 
adalah: “Rahasia 1: Tentukan bidang usaha Anda, mengapa kita harus menentukan bidang usaha secara spesifik dan 
18 macam bidang usaha yang prospektif untuk bisnis franchise di Indonesia”, “Rahasia 2: Tetapkan spesialisasi usaha 
Anda serta apa pentingnya dan bagaimana cara menetapkan spesialisasi usaha”, “Rahasia 3: Dirikan usaha Anda, apa 
pentingnya dan bagaimana cara mendirikan usaha serta bagaimana cara mengembangkan usaha yang sudah berdiri 
dan beroperasi dengan sistem franchise”, “Rahasia 4: Tetapkan standar kerjanya, apa pentingnya dan bagaimana cara 
menetapkan standar kerja, serta mengapa standar kerja yang sudah ditetapkan harus diterapkan”, “Rahasia 5: 
Tetapkan standar peralatan dan perlengkapan kerjanya serta apa pentingnya dan bagaimana cara menetapkan 
standar peralatan dan perlengkapan kerja”, “Rahasia 6: Lakukan set-up manajemen, apa pentingnya dan bagaimana 
cara set-up manajemen”, “Rahasia 7: Tetapkan sistem operasionalnya, apa pentingnya dan bagaimana cara 
menetapkan sistem operasional usaha”, “Rahasia 8: Tetapkan standar penampilan usaha Anda, apa pentingnya dan 
bagaimana cara menetapkan standar penampilan usaha”, “Rahasia 9: Buatlah track record usaha yang bagus, apa 
pentingnya dan bagaimana cara membuat track record usaha yang bagus”, “Rahasia 10: Tawarkan prospectus 
pengembangan usaha kepada calon investor, apa pentingnya dan bagaimana cara melakukan penawaran kepada 
calon investor”. 
Banyak orang salah paham bahkan sama sekali tidak memahami alur menjadi pengusaha sukses yang benar. 
Mayoritas pengusaha pemula di Indonesia hanya ingin kaya, ingin terkenal dan ingin cepat berfoya-foya. Padahal 
pengusaha itu adalah pengorbanan seumur hidup untuk memperkaya orang lain, bukan untuk memperkaya diri 
sendiri. Di akhir bab penulis mengingatkan para pengusaha untuk tidak terjebak dalam perilaku konsumtif yang 
seringkali menjerumuskan pada jurang kenistaan dan harus bisa memisahkan uang pribadi dan uang bisnis. Banyak 
pengusaha yang awalnya bekerja sangat keras dan berhasil mendapatkan kemakmuran, terjebak pada kebutuhan dan 
gaya hidup yang besar pasak daripada tiang, dan keserakahan yang menjerumuskannya ke jurang kehancuran. Hanya 
perlu konsisten terhadap bidang usaha dan jenis usaha yang sudah dipilih, kemudian dikelola dan dikembangkan 
dengan sistem franchise seperti 10 rahasia yang disebutkan di dalam buku ini. Setelah itu kendalikan ego supaya tetap 
berjalan di jalur rel yang telah ditetapkan. Jadi, sekeras apa pun usaha kita dan sesempurna apa pun bisnis kita, jika 
masih belum bisa mengendalikan kebutuhan hidup, gaya hidup, keserakahan dan nafsu diri, bisnis kita hanya akan 
berakhir sia-sia dan mengalami kebangkrutan. 
Penulis buku ini memiliki banyak keahlian yaitu konsultan, motivator, penulis buku, pengusaha, dan 
pembicara di berbagai acara seminar di Indonesia. Buku pedoman praktis ini ditulis berdasarkan pengalaman dan 
pengetahuannya yang bisa diterapkan secara menyeluruh untuk semua jenis bidang usaha dengan sistem franchise. 
Kelebihan buku ini, yaitu memakai gaya bahasa sederhana yang mudah dimengerti oleh pembacanya, 
memuat tips dan strategi rahasia sukses bisnis franchise. Buku ini disertai catatan Quote hukum bisnis dari penulis per 
tanggal, dilengkapi tambahan uraian tentang perbedaan antara bidang usaha dengan jenis usaha, serta analisa SWOT 
(kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan) 18 macam usaha untuk bisnis franchise. Kekurangan buku ini, yaitu 
kurang menariknya lay out dan tampilan isi buku yang monoton, tanpa ilustrasi gambar yang menarik dan tidak 
berwarna. Buku yang ditulis dari sudut pandang pelaku bisnis franchise ini sangat bermanfaat bagi pembaca yang ingin 
memulai usaha sekaligus jendela inspirasi bagi yang sudah dan akan menekuni wirausaha mulai dari awal. 


Menurut Warren J. Keegen dalam bukunya 
Global Marketing Management menyatakan, pe-
ngembangan usaha secara internasional dapat di-
lakukan melalui sekurangnya lima macam cara, 
yaitu:  1. dengan cara ekspor;  2. melalui pemberian 
lisensi; 3. dalam bentuk franchising  (waralaba);  4. 
pembentukan perusahaan  patungan (joint ventures); 
atau 5. total ownership atau pemilikan menyeluruh 
yang dapat dilakukan melalui direct ownership (ke-
pemilikan langsung) atau akuisisi.(Waren, 1989) 
Ekspor merupakan salah satu bentuk inter-
nasionalisasi produk yang paling sederhana, dimana 
kegiatan ekapor pada dasarnya  merupakan kegiatan 
jual beli yang dilakukan secara internasional yang 
melibatkan berbagai macam sarana dan lembaga 
lain. Namun bagi pemilik usaha/pengusaha, kegia-
tan ekspor ini  kurang mendatangkan keuntungan 
yang disebabkan karena faktor-faktor teritorial yang 
berdampak ekonomis  dan  faktor-faktor yang bersi-
fat politis, serta  faktor biaya dan risiko. 
Demikian juga bentuk usaha patungan un-
tuk memproduksi barang atau jasa, dapat menimbul-
kan risiko yang cukup besar bagi seorang pengusaha 
terutama masalah sosial politik  dari negara dimana 
investasi akan dilakukan. Sedangkan bentuk inves-
tasi langsung  dan akuisisi bisnis, hanya mungkin 
dapat dilakukan  jika secara ekonomis, sosial dan 
politik dimungkinkan.  
Sebaliknya, cara lisensi yang Lisensi meru-
pakan suatu bentuk pemberian hak yang  dapat ber-
sifat ekslusif maupun berbentuk non eksklusif, dira-
sakan  cukup mengurangi risiko, dimana dengan li-
sensi  produsen lebih berusaha  mendekatkan diri  
kepada konsumen di negara tujuan dan memperkecil 
risiko biaya tinggi, risiko hilangnya barang atau 
mungkin embargo dalam kaitannya dengan masalah 
politik. Dengan lisensi, maka dapat  meningkatkan 
penjualan, menekan biaya dan perolehan keuntu-
ngan yang optimal. (Waren, 1989) 
Akan tetapi dalam perkembangannya, pem-
berian lisensi initidak dapat dirasakan cukup 
optimal terutama jika pemberi lisensi bermaksud  
untuk melakukan penyeragaman  total baik dalam 
bentuk hak maupun dalam bentuk kewajiban-ke-
wajiban untuk mematuhi dan menjalankan segala 
perintah yang dikeluarkan termasuk pada sistem  pe-
laksanaan operasional  kegiatan atau usaha yang 
diberikan lisensi ini. 

 
Dengan permasalahan ini, maka  sudah ber-
kembang suatu bentuk pemberian hak dan kegiatan 
usaha yang disebut waralaba (Franchise) sebagai 
salah bentuk alternatif pengembangan usaha yang 
khususnya dilakukan secara internasional. Waralaba 
(Franchise) seperti halnya lisensi, mengandalkan 
kepada kemampuan mitra usaha dalam mengem-
bangkan dan menjalankan kegiatan usaha waralaba-
nya melalui tata cara, proses serta suatu code of 
conduct dan sistem  yang  sudah ditentukan  oleh pe-
ngusaha franchisor. 
Dalam Waralaba (Franchise) ini dapat dika-
takan bahwa sebagai bagian dari kepatuhan mitra 
usaha terhadap aturan main yang diberikan oleh pe-
ngusaha Franchisor, maka mitra usaha atau 
penerima Franchise diberikan hak untuk meman-
faatkan Hak Atas Kekayaan Intelektual dari pe-
ngusaha Franchisor, baik dalam penggunaan merek 
dagang, merek jasa, hak cipta atas logo, desain in-
dustri, paten berupa teknologi maupun rahasia 
dagang dan sebaliknya, pengusaha Franchisor 
memperoleh royalti atas penggunaan Hak Atas Ke-
kayaan Intelektual mereka. (Gunawan, 2001) 
Waralaba (Franchise) pada dasarnya yaitu  
sebuah perjanjian mengenai metode pendistribusian  
barang dan jasa kepada konsumen. Dalam hal ini 
franchisor memberikan lisensi kepada franchisee 
untuk melakukan kegiatan pendistribusian barang 
dan jasa di bawah nama dan identitas franchisor 
dalam wilayah tertentu, dimana usaha inidija-
lankan  sesuai dengan prosedur dan cara yang dite-
tapkan franchisor dan franchisor memberikan ban-
tuan  (assistance) terhadap  franchise. Sebagai im-
balannya francisee membayar beberapa uang berupa 
innitial fee dan royalti. (Suharnoko, 2004)  
Jenis usaha Waralaba (Franchise)  lahir di 
Amerika Serikat  kurang lebih satu abad yang lalu 
ketika perusahaan mesin jahit Singer mulai mem-
perkenalkan konsep Waralaba (Franchise) sebagai 
suatu cara mengembangkan distribusi produknya. 
Demikian pula dengan perusahaan-perusahaan bir 
yang memberikan lisensi kepada perusahaan kecil 
sebagai usaha mendistribusikan produk mereka. 
(Suharnoko, 2004)  
Di negarakita bentuk usaha bisnis  ini juga 
berkembang dengan pesat, dimana bentuk usaha 
franchise ini banyak dipakai dalam usaha fast 
food restaurant seperti Kentucky Fried Chiken, 
Pizza Hut, Mc Donald, Hotel dan jasa penyewaan 
mobil. Bentuk ini juga dipakai oleh bisnis lokal 
di negarakita seperti Es Teller 77. 
Dengan perkembangan yang pesat ini, 
maka untuk memberikan perlindungan dan kepas-
tian hukum, Pemerintah mengeluarkan Peraturan 
Pemerintah Republik negarakita  No. 16 tahun  1997 
tentang Waralaba dan Keputusan  Menteri Perin-
dustrian  dan Perdagangan Republik negarakita No. 
259/MPP/KEP/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata 
Cara  Pelaksanaan Pendaftaran  Waralaba.  Kedua-
nya diubah dengan  Peraturan No. 42 Tahun Tahun  
2007 tentang Waralaba dan Peraturan Menteri Per-
dagangan RI No. 12/M-DAG/PER/3/2006  Tentang 
Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda 
Pendaftaran Usaha Waralaba. Perangkat hukum ter-
sebut sudah memberikan definisi tersendiri mengenai 
waralaba.  
  Waralaba (franchise) yaitu perikatan an-
tara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba 
dimana Penerima Waralaba diberikan hak untuk 
menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan/atau 
memakai hak kekayaan intelektual atau pe-
nemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki Pemberi 
Waralaba dengan suatu imbalan berdasar per-
syaratan yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba de-
ngan beberapa kewajiban menyediakan dukungan 
konsultasi operasional yang berkesinambungan oleh 
Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba.  
Melihat perkembangan yang ada di negarakita 
terhadap usaha Waralaba (Franchise), maka diper-
lukan adanya kepastian hukum dan perlindungan 
hukum bagi pelaku usaha terutama bagi franchisee 
terhadap tindakan franchisor yang merugikan fran-
chisee.     
Aspek Hukum Franchise 
Waralaba (Franchise) berasal dari bahasa 
Perancis, yaitu franchir yang memiliki arti mem-
beri kebebasan kepada para pihak (Salim, 2003). 
PH. Collin, dalam Law Dictionary memberikan  di-
finisi franchise  sebagai, Lincense to trade using 
and paying  a royalty for it dan   Franchising  seba-
gai  act of selling  a license to trade as a Franchisee 
(Gunawan, 2002).  Definisi inimenekankan  
pada pentingnya  peran nama dagang dalam pem-
berian waralaba  dengan imbalan  royalti.  
Dengan pemberian royalti berarti ada pem-
berian lisensi yang merupakan,  suatu bentuk hak 
untuk melakukan  satu atau serangkaian  tindakan 
atau perbuatan  yang diberikan oleh mereka yang 
berwenang  dalam bentuk izin. Tanpa adanya izin 
ini, maka tindakan atau perbuatan ini
merupakan tindakan atau perbuatan yang terlarang, 
yang tidak sah yang  merupakan perbuatan melawan 
hukum. (Gunawan, 2001). Dalam  Black’s Law 
Dictionary, Franchise diartikan sebagai :  
“A special privilege granted or sold, such as to use 
a name or to sell products or service.In its simple 
terms, a Franchise is a license from owner of a 
trade mark or trade name permitting another to sell 
a product or service under that name or mark. 
More bradly stated, a Franchise has evolved into 
an elaborate agreement under whice the Franchise 
undertakes to conduct a business or sell a product 
or service in  accordance with methods and proce-
dures prescribed by the Franchisor, and  the Fran-
chisor under takes to assist the Franchisee thorugh 
advertising promotion and other advisory 
service.(Gunawan, 2001) 
 
  Dari rumusan Black’s Law Dictionary ter-
sebut menunjukan bahwa Waralaba (Franchise) ter-
nyata juga mengandung unsur-unsur sebagaimana 
yang diberikan kepada lisensi hanya saja lebih me-
nekankan  kepada pemberian hak untuk menjual 
produk berupa barang-barang atau jasa dengan me-
manfaatkan merek dagang Franchisor (pemberi 
waralaba) dengan kewajiban kepada Frinchisee (pe-
nerima waralaba) untuk mengikuti metode dan tata 
cara atau prosedur yang sudah ditetapkan. 
  Dari seluruh pengertian di atas, Waralaba 
(Franchise) dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek 
yuridis dan bisnis. Pengertian  franchise dari segi 
yuridis, dapat dilihat dalam ketentuan peraturan pe-
rundang undangan, berbagai pendapat, dan pan-
dangan ahli.  Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerin-
tahan nomor 42 tahun 2007 tentang Waralaba, 
Waralaba (Franchise) diartikan sebagai :  
Waralaba yaitu hak khusus yang dimiliki oleh 
orang perseorangan atau badan usaha terhadap sis-
tem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka me-
masarkan barang dan/atau jasa yang sudah terbukti 
berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau dipakai 
oleh pihak lain berdasar perjanjian waralaba. 
  Pasal 1 ayat (1)  Keputusan Menteri Perda-
gangan  No. 12/M-DAG/PER/3/2006   Tentang Ke-
tentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pen-
daftaran Usaha Waralaba, Waralaba (franchise) ada-
lah perikatan antara Pemberi Waralaba dengan Pe-
nerima Waralaba dimana Penerima Waralaba dibe-
rikan hak untuk menjalankan usaha dengan meman-
faatkan dan/atau memakai hak kekayaan inte-
lektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang di-
miliki Pemberi Waralaba dengan suatu imbalan ver-
dasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemberi 

 

 
130 
Waralaba dengan beberapa kewajiban menyediakan 
dukungan konsultasi operasional yang berkesinam-
bungan oleh Pemberi Waralaba kepada Penerima 
Waralaba. 
  Dari definisi Keputusan Menteri Perda-
gangan di atas, maka unsur-unsur yang dapat diru-
muskan dari Waralaba yaitu 1) adanya perikatan; 
2) adanya hak dan pemanfaatan dan/atau penggu-
naan; 3) adanya objek, yaitu hak atas kekayaan inte-
lektual atau penemuan baru atau ciri khas usaha; 4)  
adanya imbalan atau jasa; dan 5) adanya persyaratan 
dan penjualan barang.  
  Bryce Webster mengemukakan pengertian 
Waralaba (Franchise) dari aspek yuridis,  yaitu: 
lisensi yang diberikan oleh franchisor dengan pem-
bayaran tertentu, lisensi yang diberikan itu bisa 
berupa lisensi paten, merek perdagangan, merek 
jasa, dan lain-lain yang dipakai untuk tujuan 
perdagangan inidi atas. (Ridhwan, 1992).  
 
  Definisi ini belum memperlihatkan adanya 
hubungan hukum antara franchisor dan franchisee 
karena yang ditonjolkan di sini yaitu pemberian li-
sensi dari franchisor kepada franchisee, sementara 
fokus pada pembuatan kontrak antara para pihak 
yaitu adanya hubungan hukum di antara mereka 
tidaklah tampak.  
  berdasar hal ini,  dapatlah di-
rumuskan bahwa Waralaba (Franchise)yaitu suatu 
kontrak yang dibuat antara franchisor dan fran-
chisee, dengan ketentuan pihak franchisor mem-
berikan lisensi kepada franchisee untuk mengguna-
kan merek barang atau jasa dalam jangka waktu ter-
tentu dan pembayaran beberapa royalti tertentu ke-
pada  franchisor (Salim, 2003). Sehingga  unsur-un-
sur secara yuridis dari franchise yaitu : 1. adanya 
subjek hukum, yaitu franchisor dan franchisee; 2. 
adanya lisensi atas merek barang atau jasa; 3) untuk 
jangka waktu tertentu; 4. adanya pembayaran ro-
yalti. 
  Selanjutnya,  pengertian  Waralaba (Fran-
chise) dari aspek bisnis sebagaimana dikemukakan 
oleh  Bryce Webster, yaitu salah satu metode pro-
duksi dan distribusi barang dan jasa kepada kon-
sumen dengan suatu standar dan sistem eksploitasi 
tertentu. Pengertian standar dan eksploitasi ini
meliputi kesamaan dan penggunaan nama peru-
sahaan, merek, sistem produksi, tata cara penge-
masan dan penggunaan nama pengedarnya (Ridwan, 
1992). 
  Definisi Waralaba (Franchise) ini ada kesa-
maan dengan difinisi yang tercantum dalam kamus 
Black’s Law Dictionnary, yaitu  Lisensi atau izin da-
ri pemilik suatu merek atau nama dagang kepada 
pihak lain untuk menjual produk atau jasa di bawah 
merek atau nama dagangannya. Dari difinisi me-
nurut aspek bisnis ini, dapat diperleh unsur-
unsur franchise sebagai berikut: 1. metode pro-
duksinya;  2. adanya izin dari pemilik, yaitu fran-
chisor kepada franchisee; 3) adanya suatu merek 
atau nama dagang; 4) untuk menjual produk barang 
atau jasa; 5) di bawah merek atau dagang dari fran-
chise. Brayce Webster mengemukakan  ada tiga 
bentuk  dari Waralaba (Franchise), yaitu :  
1. Product franchising 
 Product franchising, yaitu suatu franchise, 
yang franchisor-nya memberikan lisensi kepada 
franchisee untuk menjual barang hasil produk-
sinya. Franchisee berfungsi sebagai distributor 
produk franchisor. Sering kali terjadi franchisee 
diberi hak eksklusif untuk memasarkan produk 
inidi suatu wilayah tertentu. Misalnya dea-
ler mobil, stasiun pompa bensin.  
2. Manufacturing franchises 
 Manufacturing franchise franchisor memberikan 
know-how dari suatu proses produksi. Franchisee 
memasarkan barang-barang itu dengan standar 
produksi dan merek yang sama dengan yang di-

 

 
131 
miliki franchisor. Bentuk franchise semacam ini 
banyak dipakai dalam produksi dan distribusi 
minuman soft drink,seperti Coca Cola dan Pepsi. 
3. Business format franchising 
 Business format franchising yaitu suatu bentuk 
franchise yang franchisee-nya mengoprasikan 
suatu kegiatan bisnis dengan memakai nama 
franchisor. Sebagai imbalan dari penggunaan na-
ma franchisor, maka franchisee harus mengikuti 
metode-metode standar pengoperasian dan ber-
ada dibawah pengawaan franchisor dalam hal 
bahan-bahan yang dipakai, pilihan tempat 
usaha, desain tempat usaha, jam penjualan, per-
syaratan karyawan, dan lain-lain. Sehingga fran-
chisor memberikan seluruh konsep  bisnis yang 
meliputi strategi pemasaran, pedoman dan stan-
dar pengoperasian usaha dan bantuan dalam 
mengoperasikan  franchise. Sehingga franchisee 
memiliki identitas  yang tidak terpisahkan dari 
franchisor (David, 1995). 
 
  Selain ketiga bentuk diatas, di negarakita ju-
ga mulai berkembang group tranding franchise, 
yang menunjukan pada pemberian hak toko grosir 
maupun pengecer.  
 
Kontrak Waralaba 
  Kontrak Waralaba (Franchise) berada di-
antara kontrak lisensi dan distributor. Adanya pem-
berian izin oleh pemegang Hak Milik Intelektual 
atau know-how lainnya kepada pihak lain untuk 
memakai merek ataupun prosedur tertentu me-
rupakan unsur perjanjian lisensi. Sedangkan di lain 
pihak juga adanya quality control dari  franchisor 
terhadap produk-produk pemegang lisensi yang ha-
rus sama dengan produk-produk pemegang lisensor, 
seakan-akan pemegang franchise merupakan distri-
butor franchisor. (Salim, 2003) 
  Pemegang Waralaba (Franchise) wajib 
membayar beberapa royalti untuk penggunaan me-
rek dagang dan proses pembuatan produk yang be-
sarnya ditetapkan bardasarkan perjanjian. Royalti 
kadang-kadang bukan ditetapkan dari persentase 
keuntungan melainkan dari beberapa unit. Dalam 
hal demikian pihak franchisor tidak peduli apakah 
pemegang franchisee untung atau tidak. Disamping 
harus membayar royalti, pihak pemegang franchise 
harus mendesain perusahaannya sedemikian rupa se-
hingga mirip dengan perusahaan franchisor. Begitu 
pula dengan manajemen, tidak jarang franchisor ju-
ga memberikan asistensi dalam manajemen. 
Dalam hal demikian pemegang franchise 
perlu membayar fee tersendiri untuk asistensi ter-
sebut. Tidak jarang pula franchisor dalam keperluan 
pembuatan produknya mewajibkan pemegang fran-
chise untuk membeli bahan-bahan dari pemasok 
yang ditunjuk franchisor. Hal itu dalam hukum kon-
trak disebut sebagai tying-in agreement. Bahkan ka-
dang-kadang pemegang franchise berdasar kon-
trak membolehkan franchisor melakukan auditing 
terhadap keuangan franchisee. Semua ini diwa-
jibkan oleh franchisor dengan alasan quality con-
trol. Namun di lain pihak, melalui kontrak lisensi 
maupun franchise diharapkan terjadinya alih tek-
nologi antara licensor/franchisor terhadap licen-
se/franchisee. 
Bentuk  Waralaba (Franchise) menurut Pa-
sal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Ta-
hun 2007 tentang Waralaba dan Pasal 2 Keputusan 
Menteri Perdagangan  No. 12/M-DAG/PER/3/ 
2006   Tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan 
Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba yaitu 
berbentuk tertulis.  
Sifat perjanjian Waralaba (Franchise) 
(agreement franchise) yaitu, sebagai berikut :  
1. Suatu perjanjian yang dikuatkan oleh hukum (le-
gal agreement) 
2. Memberi kemungkinan pewaralaba/franchisor 
tetap memiliki hak atas nama dagang dan atau 
merek dagang, format/pola usaha, dan hal-hal 
khusus yang dikembangkannya untuk suksesnya 
usaha ini. 
3. Memberikan kemungkinan pewaralaba/ fran-
chisor mengendalikan sistem usaha yang dilin-
sensikannya. 
4. Hak, Kewajiban, dan tugas masing-masing pihak 
dapat diterima pewaralaba/franchisee. 
 
Perjanjian ini dibuat dalam Bahasa 
negarakita dan terhadapnya berlaku hukum 
negarakita. Sebelum membuat perjanjian, Pemberi 
Waralaba wajib memberikan keterangan tertulis 
atau prospektus mengenai data dan atau informasi 
usahanya dengan benar kepada Penerima Waralaba 
yang paling sedikit memuat:  a. Identitas Pemberi 
Waralaba, berikut keterangan mengenai kegiatan 
usahanya termasuk neraca dan daftar rugi laba 1 
(satu) thun terakhir; b. Hak kekayaan intelektual 
atau penemuan atau ciri khas usaha yang menjadi 
objek waralaba disertai dokumen pendukung; c. Ke-
terangan mengenai kriteria atau persyaratan-per-
syaratan yang harus dipenuhi Penerima Waralaba 
termasuk biaya investasi; d. Bantuan atau fasilitas 
yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima 
Waralaba; e. Hak dan kewajiban antara Pemberi 
Waralaba dan Penerima Waralaba; dan  f. Data atau 
informasi lain yang perlu diketahui oleh Penerima 
Waralaba dalam rangka pelaksanaan perjanjian 
Waralaba selain huruf a sampai dengan huruf e. Di 
samping itu, penerima waralaba utama, wajib 
memberitahukan secara tertulis dokumen autentik 
kepada penerima waralaba lanjutan bahwa penerima 
waralaba utama memiliki hak atau izin membuat 
perjanjian waralaba lanjutan dari pemberi waralaba.  
Hal-hal yang harus dimuat dalam perjanjian 
Waralaba (Franchise), yaitu sebagai berikut : 
a. Nama dan alamat perusahaan para pihak; 
b. Nama dan jenis Hak Kekayaan Intelektual atau 
penemuan atau ciri khas usaha seperti sistem 
manajemen, cara penjualan atau penataan atau 
distribusi yang merupakan karakteristik khusus 
yang dimiliki Objek Waralaba; 
c. Hak dan kewajiban para pihak serta bantuan 
dan fasilitas yang diberikan kepada Penerima 
Waralaba; 
d. Wilayah usaha (zone) Waralaba; 
e. Jangka waktu perjanjian; 
f. Perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan 
perjanjian; 
g. Cara penyelesaian perselisihan; 
h. Tata cara pembayaran imbalan; 
i. Pembinaan, bimbingan dan pelatihan kepada 
Penerima Waralaba; 
j. Kepemilikan dan ahli waris. 
  
Menurut Bryce Webster klausul-klausul yang 
harus dimuat dalam perjanjian Waralaba 
(Franchise),  yaitu  sebagai berikut  :  
1. trem of contrac; 2. contrac renewal; 3. location 
selection; 4. territory and exclusively; 5. lease ap-
proval; 6. franchise fess, initial, and cash requi-
rements; 7. Royalitas  regular fess; 8. Adveristing 
policies; 9. Tradermark use resticion; 10. Training 
offered by franchise company; 11. On-site assistance 
and location preparation; 12. Use of peration ma-
nual; 13. Operating practices; 14. Obligation to 
purchise; 15. Equipment and premiesess maintan-
ces; 16. Right of inspection; 17. Right to audit; 18. 
Similar bussiness or noncompetation clause; 19. 
Trade secret; 20. Cancellation clause; 21. Franchise 
termination; 22. Accurate representation; 23. Rights 
to transfer of the right of first refusal; 24. Rights to 
inherit; 25. Sale equipment; 26. Contracnht enfor-
cement (Salim, 2003). 
Yang menjadi subjek hukum dalam perjan-
jian franchise, yaitu franchisor dan franchisee. 
Franchisor yaitu perusahaan yang memberikan 
lisensi, baik, berupa paten, merek dagang, merek 
jasa, maupun lainnya kepada franchisee. Sedangkan 
franchisee yaitu perusahaan yang menerima lisensi 
dari franchisor.  
Di samping itu, ada dua pihak lainya dalam 
perjanjian Waralaba (Franchise)  yang terkena dam-
pak dari perjanjian ini, yaitu  : 
1. Franchisee lain dalam system franchise (fran-
chising system) yang sama. 
2. Konsumen atau klien dari franchisee maupun 
warga pada umumnya. 
 
 Objek dalam perjanjian franchisee yaitu li-
sensi. Lisensi yaitu izin yang diberikan oleh fran-
chisor kepada franchisee. Ada dua kriteria lisensi 
sebagaimana dikemukakan oleh Dieter Plaff, yaitu 
1. tujuan ekonomis, dan 2. acuan yuridis. Tujuan 
ekonomis yaitu apa yang hendak dicapai oleh li-
sensi itu. Sedangkan acuan hukum, yaitu instrumen 
hukum yang dipakai untuk mencapai tujuan ter-
sebut.  
 berdasar kriteria ini, maka lisensi 
dibagi menjadi tiga macam, sebagaimana dikemu-
kakan berikut ini ; 
1. Licence exchange contract, yaitu perjanjian an-
tara para pesaing yang bergerak dalam kegiatan 
yang ama atau memiliki hubungan yang erat, se-
hingga disebabkan masalah teknis, mereka tidak 
dapat melakukan kegiatan tanpa adanya pe-
langgaran hak-hak termasuk hak milik perindus-
turian dari pihak lain. Di sini, titik berat lisensi 
terletak pada pemberian izin ataupun pem-
bayaran royalti. 
2. Corak perjanjian lisensi yang kedua yaitu ke-
balikan dari corak yang pertama. Dari  luarnya 
tampak sebagai perjanjian lisensi, namun sebe-
narnya bukan perjanjian lisensi dalam arti sebe-
narnya. Perjanjian inidibuat semata-mata 
untuk tujuan penyelundupan pajak; dengan cara 
seolah-olah suatu cabang perusahaan di suatu 
Negara tertentu membayar royalti kepada pe-
rusahaan induknya di Negara lain. Perjanjian se-
macam ini lazim dinamakan return contracts.  
3. Perjanjian lisensi dalam arti sebenarnya, tanpa 
camouflaging effects sebagaimana diuraikan di-
atas. 
Kontrak yang dibuat oleh pihak franchisor 
dengan franchisee berlaku sebagai undang-undang 
bagi kedua belah pihak. Sejak penandatanganan 
kontrak antara kedua belah pihak akan menimbul-
kan hak dan kewajiban. Kewajiban dari pihak fran-
chisor yaitu menyerahkan lisensi kepada fran-
chisee. Sedangkan yang menjadi haknya yaitu se-
bagai berikut : 
1. Logo merek dagang (trade mark), nama dagang 
(trade name), dan nama baik/repurtasi (goodwill) 
yang terkait dengan merek dan atau nama ter-
sebut. 
2. Format/pola usaha, yaitu suatu sistem usaha yang 
terekam dalam bentuk buku pegangan (manual), 
yang sebagian isinya dalam rahasia usaha. 
3. Dalam kasus tertentu berupa rumus, resep, de-
sain, dan program khusus. 
4. Hak cipta atas sebagian dari hal di atas bisa da-
lam bentuk tertulis dan terlindungi dalam un-
dang-undang hak cipta. 
Hak franchisee yaitu menerima lisensi, 
sedangkan kewajibannya yaitu membayar royalti 
kepada franchisor dan menjaga kualitas barang dan 
jasa yang di-franchise.  
Walaupun para pihak diberikan kebebasan 
untuk menentukan jangka waktu berakhirnya kon-
trak franchise (waralaba), namun Pemerintah me-
lalui Menteri Perindusturian dan Perdagangan sudah 
menetapkan jangka waktu perjanjian waralaba 
sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun. Jangka 
waktu itu dapat diperpanjang.  
 
Perlindungan Hukum Terhadap Franchise 
di negarakita  
Pengaturan Hukum 
Bidang usaha Waralaba (Franchise) di 
negarakita diatur dalam Buku ke III Kitab Undang 
Undang  Hukum Perdata  sebagai aturan umum dan  
Peraturan Pemerintah RI.  tanggal 23  Juli 2007  No. 
42 Tahun 2007  tentang Waralaba serta Peraturan 
Menteri Perdagangan RI No. 12/M-DAG/PER/3/ 
2006  tanggal 29 Maret 2006 Tentang Ketentuan 
dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran 
Usaha Waralaba.  
Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan pemerin-
tahan nomor 42 tahun  2007 tentang waralaba,  Wa-
ralaba (Franchise) diartikan sebagai: hak khusus 
yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan 
usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha 
dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa 
yang sudah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan 
dan/atau dipakai oleh pihak lain berdasar per-
janjian waralaba. 
Pasal 4   Peraturan Pemerintahan nomor 42 
tahun 2007 menyatakan bahwa  Waralaba diseleng-
garakan berdasar perjanjian tertulis antara Pem-
beri Waralaba dengan Penerima Waralaba dengan 
memperhatikan hukum negarakita. Dalam hal per-
janjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditulis 
dalam bahasa asing, perjanjian iniharus diter-
jemahkan ke dalam bahasa negarakita. 
Sebelum membuat perjanjian, franchisor ha-
rus memberikan keterangan  secara tertulis kepada 
franchisee mengenai  : 
1. Identitas franchisor berikut keterangan me-
ngenai kegiatan usahanya termasuk rencana 
dan daftar laba rugi selama dua tahun terakhir. 
2. Hak Atas Kekayaan Intelektual atau penemuan 
atau ciri khas usaha yang menjadi objek 
waralaba. 
3. Persayaratan yang harus dipenuhi oleh fran-
chisee. 
4. Bantuan atau fasilitas yang ditawarkan fran-
chisor kepada franchisee. 
5. Hak dan kewajiban  franchisor kepada fran-
chisee. 
6. Cara-cara dan syarat pengakhiran, pemutusan 
dan perpanjangan perjanjian waralaba. 
7. Hal-hal lain yang perlu diketahui franchisee 
dalam rangka pelaksanaan perjanjian waralaba.  
 
Ketentuan pasal 7 Peraturan Pemerintah RI.  
No.  42 Tahun  2007  tentang Waralaba   jo  pasal 5 
Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12/M-
DAG/PER/3/2006  tanggal 29 Maret 2006 Tentang 
Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda 
Pendaftaran Usaha Waralaba, mewajibkan fran-
chisor  sebagai pemberi waralaba  melakukan dis-
closure terhadap berbagai  aspek material  yang da-
pat mempengaruhi keputusan franchisee  sebagai 
penerima waralaba untuk menolak atau menerima 
persyaratan yang akan dituangkan dalam suatu per-
janjian waralaba atau  franchise Agreement yang 
meliputi:  a. data identitas Pemberi Waralaba; b. le-
galitas usaha Pemberi Waralaba; c. sejarah kegiatan 
usahanya; d. struktur organisasi Pemberi Waralaba; 
e. laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir; f. jumlah 
tempat usaha; g. daftar Penerima Waralaba;dan h. 
hak dan kewajiban Pemberi Waralaba dan Penerima 
Waralaba. 
Klausula yang tertuang dalam Perjanjian Wa-
ralaba (Franchise) sebagaimana ketentuan pasal 7 
ayat (1)  Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 
12/M-DAG/PER/3/2006  tanggal 29 Maret 2006 
Tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat 
Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba yaitu :  
a. Nama dan alamat perusahaan para pihak; 
b. Nama dan jenis Hak Kekayaan Intelektual 
atau penemuan atau ciri khas usaha seperti 
sistem manajemen, cara penjualan atau pena-
taan atau distribusi yang merupakan karak-
teristik khusus yang dimiliki Objek Wara-
laba; 
c. Hak dan kewajiban para pihak serta bantuan 
dan fasilitas yang diberikan kepada Penerima 
Waralaba; 
d. Wilayah usaha (zone) Waralaba; 
e. Jangka waktu perjanjian; 
f. Perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan 
perjanjian; 
g. Cara penyelesaian perselisihan; 
h. Tata cara pembayaran imbalan; 
i. Pembinaan, bimbingan dan pelatihan kepada 
Penerima Waralaba; 
j. Kepemilikan dan ahli waris. 
 
Jangka waktu  Perjanjian waralaba   ini
menurut ketentuan pasal 7 Peraturan Menteri Perda-
gang  yaitu:  
1. Jangka waktu Perjanjian Waralaba antara Pem-
beri Waralaba dengan Penerima Waralaba Uta-
ma berlaku paling sedikit 10 (sepuluh) tahun. 
2. Jangka waktu Perjanjian Waralaba antara Pene-
rima Waralaba Utama dengan Penerima Wara-
laba Lanjutan berlaku paling sedikit 5 (lima) 
tahun. 
 
Menurut pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 
16 tahun 1997 jo pasal 11 Peraturan Menteri Perda-
gangan RI No. 12/M-DAG/PER/3/2006  tanggal 29 
Maret 2006 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pe-
nerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba, 
perjanjian waralaba  beserta keterangan tertulis  wa-
jib didaftarkan  kepada  Direktur Jendral  Perdaga-
ngan Dalam Negeri  Departemen Perdagangan da-
lam hal  Penerima Waralaba Utama yang berasal da-
ri Pemberi Waralaba Luar Negeri wajib  dan  Kepa-
da Kepala Dinas yang bertanggung jawab dibidang 
perdagangan daerah setempat dalam hal Penerima 
Waralaba Utama yang berasal dari Pemberi Wa-
ralaba Dalam Negeri dan Penerima Waralaba Lan-
jutan yang berasal dari Pemberi Waralaba Luar Ne-
geri dan Dalam Negeri wajib, paling lambat 30 (tiga 
puluh) hari terhitung sejak  berlakunya perjanjian 
franchise untuk memperleh Surat Tanda Pendaftaran 
Usaha Waralaba (STPUW). Pendaftaran ini dilak-
sanakan dalam rangka dan untuk kepentingan  pem-
binaan usaha dengan cara waralaba.  
Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba 
(STPUW) berlaku untuk jangka waktu  5 tahun dan 
dapat diperpanjang jika  jangka waktu perjanjian 
waralaba masih berlaku. Jika franchisor  memutus-
kan perjanjian franchise sebelum  berakhir masa 
berlakunya dan kemudian menunjuk  franchisee ba-
ru, maka penerbitan STPUW bagi franchisee baru  
hanya akan diberikan jika  franchisor sudah menye-
lesaikan seluruh permasalahan yang timbul sebagai 
akibat pemutusan iniyang dituangkan dalam 
bentuk Surat Pernyataan Bersama (clean break). 
Demikian sanksi yang diberikan oleh Pasal 14 
Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12/M-
DAG/PER/3/2006.  
Pembatalan Perjanjian Franchise 
Undang undang No. 9 Tahun 1995 tentang 
usaha kecil menyebutkan bahwa Waralaba (Fran-
chise) yaitu salah satu pola kemitraan antara usaha 
kecil dengan usaha menengah dan usaha besar. Na-
mun kenyataan menunjukan bahwa franchise asing 
berkembang lebih pesat dari franchise lokal.  
Berbagai faktor mengakibatkan lambatnya 
pertumbuhan Waralaba (Franchise)lokal. Sistem 
franchise membutuhkan 5-15 tahun untuk pengem-
balian modalnya padahal pengusaha bisnis eceran 
negarakita ingin meraih keuntungan dalam jangka 
pendek. Selain itu sebagai franchisor, pengusaha 
harus  membuka rahasia suksesnya, seperti sistem 
manajemen, resep masakan, dan sebagainya. Tim-
bul kekhawatian rahasia suksesnya ditiru oleh fran-
chise. Karena itu bisnis di negarakita lebih suka ber-
kembang sendiri dengan membuka cabang usaha 
meskipun perkembangannya lebih lambat daripada  
melibatkan orang lain  dengan sistem franchise. 
Di pihak pengusaha lemah dan kecil timbul 
kekhawatiran pasar. Jika keadaan pasar tidak me-
nguntungkan, maka franchisor akan memutuskan 
perjanjian. Demikian pula bila keadaan pasar me-
nguntungkan, maka franchisor akan memutuskan 
perjanjian dan akan membuka tempat usaha sendiri, 
sesudah franchise memperkenalkan produk dan na-
ma franchisor.   
Hubungan hukum antara franchisor dan fran-
chisee ditandai dengan ketidakseimbangan  kekua-
tan tawar menawar (unequal bargaining power). 
Perjanjian franchise merupakan perjanjian baku 
yang dibuat oleh franchisor,  yang menetapkan sya-
rat-syarat dan standar yang harus diikuti oleh fran-
chisee yang memungkinkan franchisor dapat mem-
batalkan perjanjian jika dia menilai franchisee 
tidak dapat memenuhi kewajibannya. Dalam perjan-
jian dicantumkan kondisi-kondisi bagi pemutusan 
perjanjian seperti: kegagalan memenuhi jumlah pen-
jualan, kegagalan memenuhi standar pengoperasian, 
dan sebagainya.  
Franchisor memiliki discretionary power 
untuk menilai semua aspek usaha franchisee, se-
hingga perjanjian tidak memberikan perlindungan 
yang memadai bagi franchisee dalam menghadapi 
pemutusan perjanjian dan penolakan franchisor un-
tuk memperbaruhi perjanjian. (David,1995:342) Da-
lam hal ini Franchisor dapat memanfaatkan kedu-
dukan franchisee untuk menguji pasar, sesudah me-
ngetahui bahwa kondisi pasar menguntungkan, ma-
ka franchisor memutuskan perjanjian dengan fran-
chisee, selanjutnya franchisor mengoperasikan out-
let atau tempat usaha sendiri diwilayah franchisee.    
Terdapat dua pandangan mengenai hubungan 
antara franchisor  dengan franchisee,  yang melahir-
kan conflicting polities, yaitu :  
1. Pandangan Protecsionist 
Menurut pandangan ini, alasan yang bersifat 
ekonomis tidak dapat dijadikan alasan  atau da-
sar pemutusan perjanjian karena jika alasan 
ekonomis dijadikan dasar pemutusan perjan-
jian, maka  undang-undang yang dibuat untuk 
melindungi kepentingan franchise dari kesera-
kahan franchisor akan kehilangan maknanya 
dan membiarkan  franchisor bertindak opurtu-
nistic.  Hal ini karena Franchisor  berada dalam 
kedudukan yang sangat kuat, dimana  ia me-
nguasai semua informasi biaya, keuntungan, 
jangka waktu yang diperlukan untuk strategi 
pemasaran. Sementara  franchisee hanya men-
jalankan suatu pre-exising system dengan me-
nandatangani perjanjian yang memberi kekua-
saan kepada franchisor untuk mengontrol se-
mua aspek  usaha franchisee termasuk keten-
tuan  tentang pemutusan perjanjian (Robert, 
1994). Sehingga jika franchisor  memutuskan 
perjanjian  karena kondisi pasar yang tidak 
menguntungkan, maka ia sudah bertindak  opur-
tunistic.  
2. Pandangan  Law and Economics 
Menurut pandangan  law  and economic,  per-
janjian yang efisien yaitu perjanjian yang da-
pat mengurangi biaya. Melalui franchising, 
franchisor dapat mendistribusikan  dan mem-
perkenalkan produknya dalam wilayah yang 
luas tanpa perlu mengeluarkan biaya untuk 
membuka outlet sendiri. Franchisee dapat 
menjalankan usaha yang sudah mapan dan 
memperoleh  keuntungan dari reputasi yang di-
miliki franchisor.  Untuk  mencapai economic 
efficiency maka resources harus dialokasikan 
pada nilai yang tertinggi. Mekanisme pasar 
akan berjalan menuju efesiensi dan perjanjian 
dipandang sebagai sarana atau fasilitas untuk 
mencapai efesiensi. Oleh karenanya jika ada 
pihak ketiga yang  lebih berhasil memasarkan 
produk yang bersangkutan, maka franchisor 
seharusnya memutuskan  perjanjian dengan 
franchisee dan mengalihkan hubungannya ke-
pada  pihak ketiga  dengan membayar ganti ru-
gi kepada franchisee. Perjanjian baru dipan-
dang lebih efisien  karena lebih menguntung-
kan dan meningkatkan nilai produk yang di-
pasarkan. Sehingga meskipun franchisor  me-
langgar perjanjian, hukum harus mendukung 
pemutusan perjanjian dengan membayar ganti 
rugi kepada franchisee. (Jeffrey, 1995) 
Dalam hal  Franchisee  berkali-kali melanggar 
perjanjian seperti terlambat membayar, meng-
halangi franchisor melakukan pemeriksaan dan 
tidak melaporkan hasil penjualannya  secara 
lengkap kepada franchisor, sehingga  Fran-
chisor kehilangan beberapa royalti yang diha-
rapkan. Dalam hal yang demikian karena 
franchisee  sudah berkali-kali melanggar perjan-
jian maka perjanjian dapat dibatalkan dan fran-
chisee  tidak perlu diberikan kesempatan untuk 
memperbaiki kesalahannya.  
 
Dari kedua pandangan ini, pandangan 
protecsionist mengutamakan tujuan undang-undang 
untuk melindungi kepentingan franchisee. Oleh ka-
rena itu, berdasar pandangan ini, Hakim tidak 
akan menemukan good clauses kecuali jika  fran-
chisee melanggar perjanjian secara substansial. 
Walaupun mungkin saja franchisor memutuskan 
perjanjian dengan didasarkan pada  alasan-alasan 
yang tidak wajar dengan didasari self motive.  Se-
baliknya dalam pandangan Law and Economic,  
mengabaikan  tujuan undang-undang untuk melin-
dungi franchisee dari keserakahan franchisor. Se-
hingga  yang diperhatikan dalam hubungan antara 
franchisor  dengan franchisee hanyalah manfaat 
ekonomi. (Suharnoko, 2004)  
Faktor-faktor yang dapat dijadikan acuan bagi 
hakim dalam mengadili kasus pemutusan  perjanjian 
franchise yaitu, sebagai berikut (Tracey, 1994): 
Motif  dari franchisor  untuk memutuskan 
perjanjian franchise. Jika beberapa bukti menun-
jukkan bahwa franchisor menyalahgunakan untuk 
kepentingan sendiri dengan memutuskan perjanjian 
franchise,  maka  pemutusan perjanjian initi-
dak berdasar good cause. 
a. Dampak tindakan franchisee terhadap na-
ma perusahaan franchisor. Jika franchisor 
tidak menyalahgunakan kekuasaannya maka 
franchisor dapat memutuskan perjanjian ber-
dasarkan good cause, karena franchise  me-
langgar perjanjian dan merugikan nama baik 
perusahaan franchisor.  
b. Investasi dan pengharapan franchisee. Jika 
franchisee melanggar perjanjian dan tidak 
merugikan nama perusahaan franchisor, ma-
ka harus diperhatikan apakah tindakan  fran-
chisor memutuskan perjanjian tidak me-
rugikan investasi dan pengharapkan fran-
chisee.  Dalam hal ini perlu dipertimbangkan  
jumlah investasi yang sudah  dilakukan fran-
chisee, jangka waktu  yang sudah dilakukan 
franchisee dalam menjalankan usahanya, dan 
keuntungan yang diharapkan  franchisee  da-
ri investasinya berdasar informasi yang 
diberikan oleh franchisor. Maka  dalam hal 
yang demikian franchisor  dapat memutus-
kan perjanjian berdasar good cause apa-
bila hal itu tidak merugikan  investasi dan 
pengharapan franchisee.  
 
Dalam hal terjadi pembatalan perjanjian, 
usaha hukum apa yang dapat dipakai untuk 
memulihkan kerugian franchisee, apakah pelaksa-
naan perjanjian atau ganti rugi beberapa uang? 
negarakita yang memiliki basic law  Kitab Un-
dang-Undang Hukum Perdata dipengaruhi oleh sis-
tem hukum Eropa Kontinental di mana tuntunan 
moral untuk memenuhi janji lebih diutamakan dari 
pada ganti rugi, khususnya dalam perjanjian yang 
prestasinya untuk berbuat sesuatu dan tidak berbuat 
sesuatu. Subekti mengistilahkan ganti rugi hanya 
bersifat pengarem-arem, pelaksanaan perjanjian 
yaitu sesuatu hal yang lebih penting (Subekti, 
1998). Akan tetapi, untuk perjanjian yang pres-
tasinya berupa menyerahkan sesuatu seperti fran-
chisor yang memiliki kewajiban untuk memasok 
barang kepada franchisee, maka usaha pemulihan 
hukumnya jika terjadi wanprestasi yaitu ganti ru-
gi. 
Menurut  ketentuan Pasal 1239 sampai de-
ngan Pasal 1242 Kitab Undang-Undang Hukum 
Perdata,  perikatan yang perestasinya berupa mela-
kukan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, maka pi-
hak kreditur, di samping memperoleh ganti rugi juga 
dapat menuntut pelaksanaan perjanjian. Bahkan se-
andainya debitur tidak mau menaati putusan pe-
ngadilan, maka kreditur dapat minta dikuasakan 
oleh hakim untuk melakukan prestasi itu sendiri atas 
biaya debitur atau dalam hal perikatan untuk tidak 
berbuat sesuatu dilanggar, maka kreditur berhak 
untuk minta dikuasakan oleh hakim untuk meng-
hapus sendiri segala sesuatu yang sudah dibuat oleh 
debitur. Dalam ilmu hukum hal ini dikenal dengan 
istilah relee executie atau eksekusi riil. Ketentuan 
seperti ini tidak dikenal dalam kasus di mana salah 
satu pihak sudah lalai memenuhi perjanjian yang 
perstasinya berupa kewajiban untuk menyerahkan 
sesuatu maka menurut Kitab Undang-Undang Hu-
kum Perdata kreditur hanya dapat menuntut ganti 
rugi.  
Aspek hukum dari Waralaba (Franchise)   
yaitu: bahwa  ada kontrak  franchise terdapat  
pemberian izin oleh pemegang Hak Milik Intelek-
tual atau know-how lainnya kepada pihak lain untuk 
memakai merek ataupun prosedur tertentu   dan 
sebagai kopensasinya Pemegang franchise wajib 
membayar beberapa royalti untuk penggunaan me-
rek dagang dan proses pembuatan produk yang be-
sarnya ditetapkan bardasarkan perjanjian.  
Perjanjian Waralaba (Franchise) berbentuk 
tertulis dalam bahasa negarakita  yang didalamnya 
memuat:  a. Nama dan alamat perusahaan para pi-
hak; b. Nama dan jenis Hak Kekayaan Intelektual 
atau penemuan atau ciri khas usaha seperti sistem 
manajemen, cara penjualan atau penataan atau 
distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang 
dimiliki Objek Waralaba; c. hak dan kewajiban para 
pihak serta bantuan dan fasilitas yang diberikan 

 

Related Posts:

  • waralaba 1 Waralaba (Franchise) Istilah-istilah Franchise = waralaba  :  sistim keterkaitan usaha dengan … Read More